Makalah Fiqih

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

Makalah fiqih

"Puasa pekerjaan berat"

DOSEN PENGAMPU :

Ustadz. H. Nafiuddin, Lc., M.A.Hum

DISUSUN OLEH :

- Devi Cahya Prawati

- Nyai ulpah

INSTITUT AGAMA ISLAM SHALAHUDDIN AL-AYYUBI


FAKULTAS TARBIYAH SEMETER 5
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
TAMBUN - BEKASI
2022
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Puasa dalam pengertian bahasa berasal dari kata SHAUM masdar dari lafal SHOMA yang
berarti menahan. Menurut istilah, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, nafsu,
serta segala yang membatalkan puasa sejak fajar sampai matahari terbenam.
Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh
dunia. Allah SWT telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah
diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad SAW. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang
telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu.
Sedang kewajiban puasa dalam Islam, orang akan tahu bahwa ia mempunyai aturan yang
tengah-tengah yang berbeda dari puasa kaum sebelumnya baik dalam tata cara, situasi dan
kondisi serta waktu pelaksanaannya tidak terlalu ketat sehingga kaum muslimin juga tidak
terlalu longgar sehingga mengabaikan aspek kejiwaan.
Pada masa sekarang ini masih banyak masyarakat ataupun orang-orang yang tidak ataupun
kurang mengetahui tentang Hukum Berpuasa Bagi Pekerja Berat, oleh karena itu studi Fiqih
Kontemporer sangat diperlukan agar masyarakat ataupun orang-orang dapat mempelajari
sedikit banyaknya mengenai Hukum-hukum Islam terutama mengenai puasa dan ruang
lingkupnya.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pengertian dari puasa?
2. Bagaimana syarat dan Rukun rukun puasa?
3. Bagaimana orang orang yang dibolehkan tidak berpuasa?
4. Bagaimana hukum berpuasa bagi pekerja berat di siang hari?
C. Tujuan
Untuk mengetahui pengertian puasa.
Untuk mengetahui syarat dan Rukun rukun puasa.
Untuk mengetahui orang orang yang dibolehkan tidak berpuasa.untuk mengetahui hukum
berpuasa bagi pekerja berat di siang hari

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian puasa
Puasa (Ash-Shawm) dalam pengertian bahasa adalah menahan dan berhenti dari sesuatu,
sedangkan dalam istilah agama artinya adalah menahan diri dari makan, minum, dan
hubungan kelamin, mulai dari waktu fajar sampai Maghrib, karena mencari Ridha Allah. Dalil
Al-Quran yang mewajibkan puasa adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183:

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Syarat dan Rukun rukun puasa
1. Syarat-syarat wajib puasa
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal (tidak gila atau mabuk), lelaki atau perempuan
d. Suci dari haid dan nifas bagi perempuan
e. Berada di kampung, tidak wajib bagi orang musafir
f. Sanggup puasa, tidak wajib bagi orang yang sakit dan orang yang lemah

2. Ada dua rukun puasa,

a. Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, semenjak terbit fajar hingga terbenam
matahari. Sesuai dengan firman Allah yang
Artinya : “Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam (QS.Al-
Baqarah:187)

b. Niat
Berniat itu hendaknya sebelum fajar, pada setiap malam bulan Ramadhan. Berdasarkan
hadist Hafsah, katanya: telah bersabda Rasulullah SAW, Barang siapa yang tidak
membulatkan niatnya buat berpuasa sebelum Fajar, maka tidak sah puasanya. (diriwayatkan
oleh Ahmad dan Ash-Habus Sunan, dan dinyatakan sah oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
HIbban).
Dan niat itu sah pada salah satu saat dimalam hari, dan tidak disyariatkan mengucapkannya,
karena itu merupakan pekerjaan hati, tak ada sangkut-pautnya dengan lisan. Hakikatnya niat
adalah menyengaja suatu perbuatan demi mentaati perintah Allah Taala dalam
mengharapkan keridhaaNya.

Orang orang yang dibolehkan tidak berpuasa ,Orang sakit ketika sulit berpuasa.
Orang yang bersafar ketika sulit berpuasa ,Orang yang sudah tua rentah dan dalam keadaan
lemah, juga orang sakit yang tidak kunjung sembuh.Pekerja Berat.Orang yang sedang
berperang dijalan Allah Swt.Wanita hamil dan menyusui.

Hukum berpuasa bagi pekerja berat di siang hari


Imam Abu Bakar Al-Ajiri mengatakan bahwa jika ia mengkhawatirkan kondisinya karena
pekerjaan berat yang ia lakukan maka dia boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadhanya.
Namun, mayoritas ulama mengatakan bahwa mereka tetap wajib berpuasa dan jika ternyata
ditengah hari dia tidak mampu lagi melanjutkan puasanya, barulah ia membatalkannya dan
wajib mengqadha nya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Annisa: 29:

Artinya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu, karena sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu. (QS. Annisa: 29).
Para ulama berbeda pendapat apakah pekerja berat boleh tak berpuasa atau tetap wajib
berpuasa Ramadhan. Pertama, pendapat jumhur ulama, bahwa pekerja berat tetap wajib
sahur dan berniat puasa pada malam hari, Lalu melaksanakan puasa sekuat kemampuannya.
Jika di tengah puasanya itu kemudian mereka merasakan haus atau lapar yang hebat, yang
dikhawatirkan terjadi dharar (bahaya) atas diri mereka, baru boleh tak berpuasa, dan
mereka wajib mengqadha, disamakan dengan orang sakit. (QS Al Baqarah:184). Bahkan jika
terjadinya dharar itu sudah menjadi kepastian, bukan sekedar kekhawatiran, mereka wajib
berbuka (QS An Nisaa:29).
Secara umum pekerja berat oleh jumhur fuqaha digolongkan mukallaf yang tetap wajib
berpuasa, karena tak ada dalil syari khusus yang memberikan rukhsah (keringanan) kepada
mereka, kecuali terjadi dharar. Pendapat ini disebutkan Syaikh Wahbah Zuhaili dan
dinisbatkannya kepada jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan
Hanabilah, sesuai penjelasan Imam Abu Bakar Al Ajiri dalam kitab Kasyaful Qina (2/361) dan
Ghayatul Muntaha (1/323). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 3/79). Ulama
kontemporer yang berpendapat semisal ini antara lain Syaikh Shaleh Al Fauzan, Syaikh
Nashiruddin Al Albani, dan Syaikh Utsaimin.
Kedua, pendapat sebagian ulama, bahwa pekerja berat boleh tak berpuasa dan cukup
membayar fidyah, selama mereka tak mampu berpuasa dan tak berkesempatan untuk
mengqadha puasanya. Jika mereka berkesempatan mengqadha, mereka boleh tak berpuasa
tapi wajib mengqadha. Ini pendapat sebagian ulama Hanafiyah, seperti penulis kitab Hasyiah
Ibnu Abidin (2/420). Ulama kontemporer yang berpendapat seperti ini antara lain Syaikh
Yusuf Qaradhawi.
Secara umum pekerja berat disamakan dengan laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit
yang tak ada harapan sembuh, yang tak mampu lagi berpuasa dan dicukupkan dengan
fidyah. Mereka mendapat rukhsah sesuai firman Allah dalam QS Al Baqarah:184:

Artinya: Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi
makan seorang miskin. (QS Al Baqarah:184).
Menurut kami, yang rajih (kuat) pendapat pertama, karena tiga alasan yaitu sebagai berikut:
Pertama, mengamalkan pendapat pertama berarti mengamalkan dua dalil (jama), yaitu dalil
wajibnya puasa (QS Al Baqarah:183) dan dalil wajibnya mencari nafkah (QS Al Baqarah:233).
Sedang pendapat kedua, mengamalkan satu dalil saja atas dasar tarjih, yaitu dalil wajibnya
mencari nafkah (QS Al Baqarah:233). Kaidah ushul fiqih : Imal al dalilain awlaa min ihmal
ahadihima bi al kulliyah (mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah
satunya secara menyeluruh).
Kedua, pendapat pertama mengamalkan azimah (hukum asal), yaitu wajibnya berpuasa,
sedang pendapat kedua mengamalkan rukhsah. Pengamalan azimah sudah yakin dalilnya,
sedang mengamalkan rukhsah masih diragukan karena tak ada dalil khusus yang memberi
rukhsah bagi pekerja berat. Kaidah fiqih : al yaqiin laa yazuulu bi as syakk (keyakinan tak
dapat hilang dengan keraguan).
Ketiga, pendapat pertama lebih tepat tahqiq manath-nya. Sebab pekerja berat yang
mengalami dharar lebih tepat digolongkan kepada orang sakit yang ada harapan sembuh (QS
Al Baqarah:184), bukan digolongkan kepada laki-laki/perempuan tua, atau orang sakit yang
tiada harapan sembuh (QS Al Baqarah:184). Kelompok terakhir ini kondisinya tak mungkin
pulih, yakni tak mungkin menjadi muda lagi, atau sembuh lagi. Ini berbeda dengan pekerja
berat yang kondisinya dapat pulih, sama dengan orang sakit yang ada harapan sembuh.
Di segi lain juga terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai hukum berpuasa bagi
pekerja berat, diantaranya :
Para Fuqoha (ahli fikih) memperbolehkan meninggalkan puasa bagi para pekerja keras yang
terpaksa harus bekerja di siang hari Ramadhan demi mencukupi kebutuhannya serta
keluarganya. Namun ia harus (wajib) mengqadha puasa yang ditinggalkannya di lain hari,
setelah terlepas dari kesibukan yang melelahkan demikian itu.
Apabila ia tidak menemukan hari luang hingga ia meninggal dunia, maka ia tidak terkena
hukum wajib qodha dan juga tidak terkena hukum wajib memberi wasiat bayar fidyah.
Apabila ia yakin atau mempunyai prediksi yang sangat kuat, bahwa ia tidak akan punya
kesempatan untuk mengqadha puasa di lain hari, maka ia dihukumi sebagaimana orang tua
renta (boleh meninggalkan puasa dan harus mengganti setiap harinya 1/2 sha bahan makan
atau nilai tukarnya (membayar fidyah).
Dalam fikih Hanafi, jika terpaksa harus bekerja di bulan Ramadhan dan ia mempunyai
dugaan yang sangat kuat (melalui saran dokter atau melalui pengalamannya sendiri), bahwa
puasa dapat menyebabkan kemudharatan bagi kesehatannya atau dapat mengganggu
fitalitasnya sehingga ia tidak dapat melaksanakan pekerjaannya (yang merupakan tumpuan
hidupnya) secara baik, maka dalam keadaan demikian diperbolehkan baginya untuk
meninggalkan puasa. Dan melihat ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh para ahli
fikih, maka kewajiban para pekerja keras adalah mengganti (mengqadha) puasa yang
ditinggalnya di lain hari yang luang dari pekerjaan keras.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa:
Puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu, baik berupa makan, minum, hawa nafsu dan
semua hal- hal yang membatalkan puasa.
Syarat-syarat wajib puasa yaitu (Islam, Baligh, Berakal (tidak gila atau mabuk), lelaki atau
perempuan, Suci dari haid dan nifas bagi perempuan, Berada di kampong, tidak wajib bagi
orang musafir, Sanggup puasa)
Orang orang yang dibolehkan tidak berpuasa yaitu (Orang sakit ketika sulit berpuasa, Orang
yang bersafar ketika sulit berpuasa, Orang yang sudah tua rentah dan dalam keadaan lemah,
juga orang sakit yang tidak kunjung sembuh, Pekerja Berat)
Hukum berpuasa bagi pekerja berat di siang hari yaitu boleh meningggalkan puasa dengan
catatan mengganti (mengqadha) puasa yang ditinggalnya di lain hari.

Saran
Dari hasil penulisan makalah ini, pemakalah berharap kepada teman-teman mahasiswa atau
mahasiswi untuk lebih banyak lagi membaca referensi lain tentang, Masailul Fiqhiyah
khususnya mengenai Hukum Puasa Ramadan bagi pekerja berat di siang hari, karena kami
merasa bahwa makalah ini kurang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, pedoman puasa,semarang:Pustaka Riski Putra.
Daradjat,Zakiah, 1993, puasa meningkatkan kesehatan mental, Jakarta: Ruhama,
Sabiq,Sayid, 1985,Fiqh Sunnah 3,Bandung:Almaarif
http://faraskiyodi.blogspot.com/2014/10/makalah-tentang-puasa-bagi-pekerja-berat.html
http://muslim.or.id/ramadhan/4-golongan-yang-mendapat-keringanan-tidak-berpuasa.html

Anda mungkin juga menyukai