Laporan Pendahuluan BPH

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)


Perceptor : Ani Mashunatul Mahmudah, S.Kep, Ns., M. Kep

Disusun oleh :
Nida Rahmawati
24201427

PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI


ILMU KESEHATAN STIKES SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2021
A. Konsep Teori Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)
1. Definisi Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)
BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana kelenjar
prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium uretra (Smeltzer dan Bare, 2013).
Menurut Tanto (2014) Hiperplasia prostat jinak (benign prostate hyperplasia-
BPH) merupakan tumor jinak yang paling sering terjadi pada laki-laki. Insidennya
terkait pertambahan usia, prevelensi yang meningkat dari 20 % pada laki-laki berusia
41-50 tahun menjadi lebih dari 90% pada laki-laki berusia lebih dari 80 tahun.
Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang
menimbulkan penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung kemih
dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan retensi urin ( Aulawi,
2014).
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit perbesaran
atau
hipertrofi dari prostate. Kata-kata hipertrofi sering kali menimbulkan kontroversi di
kalangan klinik karena sering rancu dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna
bahwa dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh
jumlah
(kualitas). Namun, hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel (kualitas) dan
diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH sering menyebabkan
gangguan dalam eliminasi urin karena pembesaran prostat yang cenderung
kearah
depan atau menekan vesika urinaria. (Prabowo & Pranata, 2014).
Benigna Prostat Hiperplasi adalah perbesaran prostat, kelenjar prostat membesar
memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine,
dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter (Brunner & Suddarth, 2000).
2. Anatomi dan fisiologi
a. Anatomi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak disebelah
inferior buli-buli di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20
gram. Kelenjar prostat yang terbagi atas beberapa zona, antara lain zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler, dan zona periuretra. Sebagian
besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional (zona yang terdapat
bagian salah satu organ genitalia pria yang menjadi besar akbat penumpukan
urine) (Tanto, 2014).

Kelenjar postat merupaka organ berkapsul yang terletak dibawah kandung


kemih dan ditembus oleh uretra. Uretra yang menembus kandung kemih ini
disebut uretra pars prostatika. Lumen uretra pars prostatika dilapisi oleh epitel
transisional.
b. Fisiologi
1) Menghasilkan cairan encer yang mengandung ion sitrat, ion phospat, enzim
pembeku, dan profibrinosilin. Selama pengisian kelenjar prostat berkontraksi
sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer dapat dikeluarkan
untuk menambah lebih banyak jumlah semen. Sifat yang sedikit basa dari
cairan prostat memungkinkan untuk keberhasilan fertilisasi (gumpalan) ovum
karena cairan vas deferens sedikit asam. Cairan prostat menetralisir sifat asam
dari cairan lain setelah ejakulasi (Syaifuddin, 2011 ).
2) Menambah cairan alkalis pada cairan seminalis yang berguna untukk
melindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang terdapat pada uretra.
Dibawah kelenjar ini terdapat kelenjar Rulbo Uretralis yang memiliki panjang
2-5 cm. Fungsi hampir sama dengan kelenjar prostat. Kelenjar ini
menghasilkan sekresi yang penyalurannya dari testis secara kimiawi dan
fisiologis sesuai kebutuhan spermatozoa (Wijaya & Putri,2013).
3. Klasifikasi
Benigne Prostat Hiperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya
(Kristiyanasari dan Jitowiyono, 2012) :
a. Derajat satu Keluhan prostatime ditemukan penonjolan prostatisme 1-2 cm, sisa
urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat kurang lebih 20 gram.
b. Derajat dua Keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat,
panas badan tinggi(menggigil), nyeri daerah pinggang postat lebih menonjol,
batas atas masih teraba, sisa urine 50-100cc dan beratnya kurang lebih 20-40
gram.
c. Derajat tiga Gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa
urine lebih 100cc, penonjolan prostat 3-4 cm, dan beratnya 40 gram.
d. Derajat empat Prostat lebih menonjol dari 4cm, ada penyulitke ginjal seperti
gagal ginjal, hydroneprosis.
4. Etiologi
Menurut Prabowo dkk (2014) etiologi BPH sebagai berikut:
a. Peningkatan DKT (dehidrotestosteron) Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto
androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hyperplasia.
b. Ketidak seimbangan esterogen-testosteron Ketidak seimbangan ini terjadi karena
proses degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria terjadi peningkan hormone
estrogen dan penurunan hormon testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya
hiperplasia stroma pada prostat.
c. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat peningkatan kadar epidermal
growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth
factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi
BPH.
d. Berkurangnya kematian sel ( apoptosis ) Estrogen yang meningkat akan
menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori stem sel Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit
dan memicu terjadi BPH.

5. Manifestasi klinik
BPH merupakan yang diderita oleh klien laki-laki dengan usia rata-rata
lebih dari 50 tahun di karenakan peningkatan usia akan membuat ketidak
seimbangan rasio antara estrogen dan testosteron, dengan meningkatnya kadar
estrogen diduga berkaitan dengan terjadinya hiperplasia stroma, sehingga timbul
dengan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya ploriferasi sel
tetapi kemudian estrogen lah yang berperan untuk memperkembang stroma.
Gambaran klinis dari BPH sebenarnya sekunder dari dampak obstruksi saluran
kencing, sehingga klien kesulitan untuk miksi. Berikut ini adalah beberapa
gambaran klinis pada klien BPH :
a. Gejala prostatimus (nokturia, urgency, penurunan daya aliran urin).
Kondisi ini dikarenakan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal
mengeluarkan urin secara sepontan dan reguler, sehingga volume urin masih
sebagaianbesar tertinggal dalam vesika.
b. Retensi urin.
Pada awal obstruksi,biasanya pancaran urin lemah, terjadi hesistansi,
intermitensi,urin menetes, dorongan mengejan yang kuat saat miksi dan
retensi urin. Retensi urin sering dialami oleh klaien yang mengalami BPH
kronis. Secarafisiologis,vesika urinariamemiliki kemampuan untuk
mengeluarkan urin melalui kontraksi otot detrusor. Namun obstruksi yang
berkepanjangan akan membuat beban kerja destrusor semakin berat dan pada
akhirnya mengalami dekompensasi.
c. Pembesaran prostatHal ini diketahui melalui pemeriksaan rektal toucher (RT)
anterior. Biasanya didapatkan gambaran pembesaran prostat dengan konsistensi
jinak.
d. Inkontinensia.
Inkontinensia yang terjadi menunjukan bahwa m.detrusor gagal dalam
melakukan kontraksi. Dekompensasi yang berlangsung lama akan
mengiritabilitas serabut syaraf urinarius, sehingga kontrol untuk miksi hilang
(Prabowo & Pranata, 2014).

6. Patofisiologi
Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya
usia,dimana terjadi perubahan keseimbangan testosterone, esterogen, karenaproduksi
testosterone menurun, produksi esterogen meningkat dan terjadikonversi
testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer.Keadaan ini
tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-selkelenjar prostat hormon ini
akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa
reduktase. Dehidrotestosteron inilahyang secara langsung memacu m-RNA di
dalam sel-sel kelenjar prostatuntuk mensistesis protein sehingga mengakibatkan
kelenjar prostatmengalami hyperplasia yang akan meluas menuju kandung kemih
sehinggamempersempit saluran uretra prostatika dan penyumbatan aliran urine.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapatmengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna
melawantahanan itu (Presti et al, 2013).
Seiring dengan penambahan usia,maka prostat akan lebih sensitifdengan
stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi
terhadap BPH. Dengan pembesaran yang melebihi dari normal, maka akan
terjadi desakan pada traktus urinarius. Pada tahap awal, obstruksi traktus urinarius
jarang menimbulkan keluhan, karena dengan dorongan mengejan dan
kontraksi yang kuat dari m.detrusor mampu mengeluarkan urin secara spontan.
Namun obstruksi yang
sudah kronis membuat dekompensasi dari m.detrusor untuk berkontraksi yang
ahirnya menimbulkan obstruksi saluran kemih (Prabowo & Pranata, 2014).
Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan
mengejan saat miksi yang kuat, pancaran urin lemah,disuria (saat kencing terasa
terbakar), palpasi rektal toucher menggambarkan hipertrofo prostat, distensi
vesika hipertrofi fibromuskuler yang terjadi pada klien BPH menimbulkan iritasi
padamukosa uretra. Iritabilitas ini lah nantinya akan menyebabkan keluhan
frekuensi, urgensi, inkontinensia urgensi dan nukturia. Obstruksi yang
berkelanjutanakan menimbulkan komplikasi yang lebih besar ,misalnya
hidronefrosis, gagal ginjal dan lain sebagainya. Oleh karena itu kateterisasi
untuk tahap awal sangat efektif untuk mengurangi distensi vesika urinaria
(Prabowo & Pranata, 2014).
Pembesaran pada BPH terjadi secara bertahap mulai dari zona periuretral
dan transisional.Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat zona transsisional
yang posisinya proksimal dari spinter externus dikedua sisi dari verumontanum
dan di zona periuretral.kedua zona tersebut hanya merupakan hanya dua persen
dari volume prostat.sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat.Hiperplasia ini
terjadi secara nodular dan sering diiringi oleh proliferasi fibro muskular untuk
lepas darijaringan epitel. Oleh karena itu, hiperplasia zona transisional
ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjr yang tumbuh pada pucuk dan cabang dari
pada duktus. Sebenarnya ploriferasi zona transisional dan zona sentral pada prostat
berasal dari turunan duktus Wolffi dan proliferasi zona periferberasal dari sinus
urogenital. Sehingga, berdasarkan latar belakang embriologis inilah bisa
diketahui mengapa BPH terjadi pada zona transisional dan sentral, sedangkan
Ca prostat terjadi pada zona perifer (Prabowo & Pranata, 2014).
7. Phatway

Sel sroma umur Prolikerasi abnormal sel


Hormon estrogen Faktor usia
panjang strem
dan progesteron
tidak seimbang
Sel stroma Produksi sroma dan
Sel yang mati kurang
bertumbuhan berpacu epitel berlebih

Prostat membesar

Penyempitan lumen ureter Resiko pendarahan


prostatika TRUP

Obstruksi Iritasi mukosa kandung Pemasangan


kemih, terputusnya jaringan DC Kurangnya
informasi thdp
pembedahan
Rangsangan saraf diameter
Retensi Urin Nyeri akut Luka
kecil
Ansietas

Hidro ureter Gate Tempat masuknya


kontrole mikroorganisme
Gangguan
terbuka
Hidronerfitis eliminasi Urin

Resiko infeksi
Resiko ketidakefektifan jaringan perifer
8. Komplikasi
Menurut Widijanto ( 2011 ) komplikasi BPH meliputi :
a. Aterosclerosis
b. Infark jantung
c. Impoten
d. Haemoragik post operasi
e. Fistula
f. Struktur pasca operasi dan inconentia uring.

InfeksiKomplikasi Benigna Prostat Hiperlasia kadang-kadang dapat


mengarah pada komplikasi akibat ketidak mampuan kandung kemih dalam
mengosongkan urin. Beberapa komplikasi yang mungkin muncul antara lain :

a. Retensi kronik dapat menyebabkan reluks vesiko-ureter, hidroureter,


hidronefrosis, gagal ginjal.
b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
Karena produksi urin terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak lagi mampu
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan
sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter
dan dilatasi. Ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak.
c. Hernia atau hemoroid. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan traktus urinarius
bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita
harus mengejan pada miksi yang meningkatkan pada tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Karena selalu
terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu
(Wijaya A. S., 2013).
9. Pemeriksaan penunjang
Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :
a. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan
tonus sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam rectum dan
prostat.
b. Ultrasonografi (USG) Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat
juga keadaan buli-buli termasuk residual urine.
c. Urinalisis dan kultur urine Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan
RBC (Red Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan atau
hematuria (prabowo dkk, 2014).
d. DPL (Deep Peritoneal Lavage) Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya
perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen dan
diperiksa jumlah sel darah merahnya.
e. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi
ginjal. Hal ini sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.
6. PA(Patologi Anatomi) Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca
operasi. Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk
10. Penatalaksanaan
Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi :
a. Terapi medikamentosa
1) Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin.
2) Penghambat enzim, misalnya finasteride
3) Fitoterapi, misalnya eviprostat
b. Terapi bedah Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung
beratnya gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah
meliputi:
1) Prostatektomi
a) Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat
kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
b) Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu
insisi dalam perineum.
c) Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di
banding [endekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah
mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan kandung
kemih tanpa memasuki kandung kemih.
2) Insisi prostat transurethral (TUIP) Yaitu suatu prosedur menangani BPH
dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan
ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam
mengobati banyak kasus dalam BPH.
3) Transuretral Reseksi Prostat (TURP) Adalah operasi pengangkatan
jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop dimana
resektroskop merupakan endoskopi dengan tabung 10-3-F untuk
pembedahan uretra yang di lengkapi dengan alat pemotong dan counter
yang di sambungkan dengan arus listrik.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)


1. Pengkajian
a. Anamnese :
1) Identitas :
2) Keluhan Utama : pada klien post operasi BPH biasanya muncul keluhan
nyeri, sehingga yang perlu dikaji untk meringankan nyeri (provocative/
paliative), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan/intensitas
(saverity) dan waktu serangan, lama, (time).
3) Riwayat penyakit sekarang: Keluhan yang sering dialami klien BPH dengan
istilah LUTS (Lower Urinary Tract Symtoms). Antara lain:hesistansi,
pancaran urin lemah, intermittensi, ada sisa urine pasca miksi, frekuensi dan
disuria (jika obstruksi meningkat).
4) Riwayat penyakit dahulu : tanyakan pada klien riwayat penyakit
yangpernah diderita, dikarenakan orang yang dulunya mengalami ISK
danfaal darah beresiko terjadinya penyulit pasca bedah.
5) Riwayat pengobatan alergi
6) Riwayat merokok
7) Riwayat kesehatan keluarga
b. Pola fungsi kesehatan
1) Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
2) Nutrisi
3) Aktivitas dan latihan
4) Tidur dan istirahat
5) Eliminasi
6) Persepsi diri (harga diri, ideal diri, peran diri, gambaran diri, idenitas diri)
7) Peran dan hubungan sosial
8) Reproduksi
9) Nilai dan kepercayaan
10) Manajeman koping
11) Kognitif perseptual
c. Pemeriksaan fisik
1) KU (baik, cukup, buruk)
2) Kesadaran (komposmetis, apatis, samnolent, sporocoma, coma)
3) GCS (E,V,M)
4) Nyeri/ketidaknyamanan
5) Pemeriksaan fisik
a) Kepala
b) Rambut
c) Wajah
d) Mata
e) Telinga
f) Hidung
g) Mulut
h) Gigi
i) Lidah
j) Tenggorokan
k) Leher
l) Dada
m) Respirasi
n) Janung
o) Abdomen
p) Genetalia
q) Anus dan rectum
r) Integumen
s) Ekstreminitas
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
2) Pemeriksaan radiologi
3) Terapi medik
e. Data fokus
1) Data subjektif
2) Data objektif
f. Analisis data
g. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan sumbatan pada pengeluaran
kandung kemih : benigna prostatic hyperplasia (BPH)
2) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan sebagai efek
skunder dari proses pebedahan.
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik.
4) Resiko pendarahan.
5) Ansietas
f. Rencana keperawatan

No Tgl/jam Dx Kep NOC NIC Ttd


.
1. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Bantuan berkemih
eliminasi urin keperawatan diharapkan 1. Lakukan pencatatan mengenai
berhubungan gangguan eliminasi urin teratasi spesifikasi kontinensia selama 3 hari
dengan sumbatan dengan kriteia hasil : untuk mendapatkan pola
pada pengeluaran 1. Pola eliminasi dari sangat pengeluaran urin.
kandung kemih : terganggu menjadi tidak 2. Berikan privasi untuk adanya
benigna prostatic terganggu aktivitas eliminasi.
hyperplasia 2. Jumlah urin dari sangat 3. Informasikan pada pasien waktu
(BPH) terganggu menjadi tidak untuk sesi eliminasi selanjutnya.
terganggu 4. Diskusikan catatan kontinensia
3. Warna urin dari sangat dengan staf untuk memberikan
terganggu menjadi tidak kekuatan dan dukungan kepatuhan
terganggu terhadap jadwal berkemih yang
4. Kejernihan urin dari sangat tepat.
terganggu menjadi tidak
terganggu
5. Intake cairan dari sangat
terganggu menjadi tidak
terganggu
6. Mengosongkan kantong
kemih sepenuhnya dari sangat
terganggu menjadi tidak
terganggu
7. Retensi urin dari berat
menjadi tidak ada
8. Nokturia dari berat menjadi
tidak ada
9. Inkontinensia urin dari berat
menjadi tidak ada
2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajeman nyeri
berhubungan keperawatan diharapkan nyeri 1. Pengkajian nyeri secara
dengan agen dapat terkontrol dengan kriteia komprehensif.
injuri fisik. hasil : 2. Tentukan kebutuhan frekuensi untuk
1. Mengenali kapan nyeri terjadi melakukan pengkajian
dari secara konsisten ketidaknyamana pasien dan
menunjukan nyeri menjadi mengimplementasikan rencana
tidak pernah menunjukan monitor.
nyeri. 3. Ajarkan prinsip manajeman nyeri.
2. Menggunakan tindakan 4. Berikan individu penurun nyeri
pengurangan nyeri tanpa yang optimal dengan peresepan
analgesik dari secara konsisten analgesik.
menunjukan nyeri menjadi 5. Kolaborasikan dengan pasien dan
tidak pernah menunjukan timkes untuk memilih dan
nyeri. mengimplemantasikan penurun
3. Menggunakan analgesik yang nyeri non farmakologi.
di anjurkan dari secara
konsisten menunjukan nyeri
menjadi tidak pernah
menunjukan nyeri.
4. Melaporkan nyeri yang
terkontrol dari secara
konsisten menunjukan nyeri
menjadi tidak pernah
menunjukan nyeri.

3. Ansietas Setelah dilakukan tindakan Pengurangan kecemasan


berhubungan keperawatan diharapkan ansietas 1. Pengkajian pendekatan yang tenang
dengan ancaman dapat teratasi dengan kriteia dan meyakinkan
pada status hasil : 2. Jelaskan semua prosedur termasuk
terkini. 1. Tidak dapat beristirahat dari sensai yang akan dirasakan yang
berat menjadi tidak ada. mungkin akan di alami klien selama
2. Perasaan gelisah dari berat prosedur tindakan.
menjadi tidak ada. 3. Bantu klien mengidentifikasi situasi
3. Wajah tegang dari berat yang memicu kecemasan.
menjadi tidak ada. 4. Kolaborasi dengan dokter
4. Serangan panik dari berat pemberian obat-obatan untuk
menjadi tidak ada. mengurangi kecemasan.
5. Rasa takut yang disampaikan
secara lisan dari berat menjadi
tiadak ada.
4. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Kontrol infeksi
berhubungan keperawatan diharapkan resiko 1. Observasi penyebab infeksi.
dengan kerusakan infeksi dapat teratasi dengan 2. Berikan terapi anibiotik yang sesuai.
jaringan sebagai kriteia hasil : 3. Ajarkan pasien dan keluarga tanda
efek skunder dari 1. Mengenali tanda dan gejala dan gejala infeksi dan kapan
proses pebedahan. yang mengindikasi risiko dari melaporkannya.
secara konsisten menunjukan 4. Kolaborasi dengan timkes lain untuk
menjadi tidak pernah menangani infeksi.
menujukan.
2. Mengidentifikasi
kemungkinan risiko kesehatan
dari secara konsisten
menunjukan menjadi tidak
pernah menujukan.
3. Menvalidasi risiko kesehatan
yang ada dari secara konsisten
menunjukan menjadi tidak
pernah menujukan.
4. Monitor status kesehatan dari
secara konsisten menunjukan
menjadi tidak pernah
menujukan.
5. Resiko Setelah dilakukan tindakan Pencegahan pendarahan
pendarahan. keperawatan diharapkan resiko 1. Monitor dengan ketat resiko
pendarahan dapat teratasi dengan terjadinya pendarahan.
kriteia hasil : 2. Pertahankan pasien tirah baring jika
1. Kehilangan darah yang terlihat terjadi pendarahan aktif.
dari berat menjadi tidak ada. 3. Berikan informasi pada pasien untuk
2. Hematuria dari berat menjadi makan makanan yang kaya vitamin
tidak ada. K.
3. Pendarahan paska 4. Kolaborasi pemberian obat bila di
pembedahan dari berat perlukan.
menjadi tidak ada.
g. Implementasi keperawatan
Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat. Hal-
hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah intervensi yang
dilaksanakan sesuai rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan
interpersonal, intelektual dan teknikal, intervensi harus dilakukan dengan cermat dan
efesien dan situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi dan didokumentasi
keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan
h. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah mengkaji respon pasien setelah dilakukan intervensi
keperawatan dan mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah diberikan (Deswani,
2009). Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk
menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan
dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan (Manurung, 2011).
Penilaian keberhasilan Penilaian adalah tahap yang menentukan apakah tujuan
tercapai. Evaluasi selalu berkaitan dengan tujuan, apabila dalam penilaian ternyata tujuan
tidak tercapai, maka perlu dicari penyebabnya. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa
faktor :

a. Tujuan tidak realistis.


b. Tindakan keperawatan yang tidak tepat.
c. Terdapat faktor lingkungan yang tidak dapat diatasi. Alasan pentingnya penilaian
sebagai berikut :
1) Menghentikan tindakan atau kegiatan yang tidak berguna.
2) Untuk menambah ketepatgunaan tindakan keperawatan.
3) Sebagai bukti hasil dari tindakan perawatan.
4) Untuk pengembangan dan penyempurnaan praktik keperawatan.
Daftar pustaka

Ackley, Betty, dkk. 2011. Nursing Diagnosis handbook:an evidence based cevide to
planning care.USA:mosby Elsevier
Aulawi, K. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishing.
Brunner & Suddarth , 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah. Terjemahan Suzanne
C. Smeltzer. Edisi 8. Vol 8. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Cooperberg MR, Presti JC, Shinohara K, & Carrol PR. (2013). Neoplasms of the prostate
glad in: McAninch JW, Lue TF, editors. Smith & Tanagho's general urology. 18th edition
New York: Mc Graw Hill. p.350-6 .
Jitowiyono, S dan Kristiyanasari, W. 2012. Asuhan Keperawatan Post Operasi
Dengan Pendekatan Nanda, NIC, NOC. Yogyakarta: Nuha Medika.
M. Bulechek, G. (2016). edisi enam Nursing interventions classification ( N I C ).
singapore: elsevier Global rights.
Moorhead, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran
Outcomes Kesehatan Edisi kelima. Singapore: Elsevier Icn.
NANDA. 2013-2015. Panduan Diagnosa Keperawatan (Terjemahan). Jakarta: EGC.
Prabowo Eko dan Pranata Eka. 2014 .Buku ajar asuhan keperawatan sistem
perkemihan. Yogyakarta : Nuha Medika
Smeltzer dan Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC
Syaifuddin. 2011. Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan
dan Kebidanan Edisi 4. Jakarta: EGC.
Tanto. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius : Jakarta
Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika
Widijanto G. 2011. Nursing: Menafsirkan Tanda-Tanda dan Gejala Penyakit. PT Indeks Permata
Puri Media : Jakarta Barat

Anda mungkin juga menyukai