Tugas DDPT

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

“DASAR DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN”

Dosen Pengampuh

Prof. Dr. Ir Flora Pasaru M.Si

Di Susun Oleh

Jlamprong putra pandu pontoh


E 321 22 116

AGRIBISNIS
UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS PERTANIAN
PALU
2022
1. Pestisida “ngendon” dalam makanan kita
Residu pestisida yang terdapat dalam hasil-hasil tanaman berasal dari pestisida
yang langsung diaplikasikan pada tanaman (untuk mengatasi hama dan penyakit
tanaman). Namun, residu dapat pula berasal dari kontaminasi melalui hembusan
angin, debu yang terbawa hujan dari daerah lain, maupun membudidayakan
tanaman pada tanah yang banyak mengandung pestisida. Beberapa contoh ;
hampir separuh (45%) dari keseluruhan produksi buah dan sayuran di Selandia
Baru pada periode 1990-1991, telah terkontaminasi pestisida. Bahkan, nyaris
seluruh (95%) buah peach, dan seledri (96%) di negara itu mengandung residu
pestisida.
Di Indonesia kadar residu pestisida yang terkandung dalam bahan pangan
cukup memprihatinkan. Wortel, kentang, kubis, bawang merah, tomat, dan kubis
dari berbagai tempat budidaya sayuran di Jawa Barat, dan Jawa Tengah pada
tahun 1987 diketahui memiliki residu yang melampai batas maksimal.

NO Pestisida Residu ppb Jenis sayuran Asal sampel btas maksimal

1 DDT 4,422 Wortel magelang 1,0


2 endosulfan 625 Wortel Kuncen ---
3 Lindana 265 Wortel Cipanas 3,0
4 Diazinon 227 Sawi Salatiga 0,75
5 Aldrin 170 Wortel Magelang 0,1
6 Malation 136 Bawang mera Brebes 3,0
7 Dieldrin 70 Tomat Ambrawa 0,1
8 MIPC 59 Kentang Sukamandi ---
9 Fention 34 Kubis (kol) Magelang 1,0
Batas maksimal residu pestisida ditetapkan oleh Depkes

Temuan lainnya, DDT yang sudah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 1991,
ternyata masih mampu meninggalkan residu (tertinggi) pada buah tomat dengan
kadar 0,5780 ppm (Kompas, Mei 1993). Hasil Penelitian YLKSS (yayasan
Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan) pada tahun 1990 menunjukkan bahwa satu
dari 16 sampel sayuran, yaitu tomat mengandung residu pestisida. Hasil analisis
densitimeter menunjukkan bahwa kadar senyawa Sipermetrin mencapai 2,167
ppm. Residu pestisida terdapat pula pada daging dan susu berasal dari ternak yang
diberi makan rumput dan limbah pertanian yang telah tercemar pestisida. Di
Pengalengan, Jawa Barat tahun 1987, susu sapi yang dipelihara petani mempunyai
kandungan turunan DDT sebanyak 0,0162 ppm.

2. Hukum dan Peraturan Perlindungan Tanaman


Budaya hukum merupakan salah satu unsur dalam teori sistem hukum. Untuk
menganalisis budaya hukum perlu terlebih dahulu melihat kolaborasi tiga
unsur, yaitu unsur substantif yang merupakan unsur pertama terkait aturan hukum
baik itu yang primer dan sekunder. Aturan sebagai norma dasar senantiasa
dibutuhkan sebagai pedoman dasar bagi masyarakat berperilaku. Peraturan
tersebut dapat berbentukperaturan perundang-undangan ataupun peraturan
pelaksana.(Lawrence Friedman, 1984:293). Selama ini peraturan di bidang
varietas tanaman terdapat pada UU PVT, UU Sistem Budidaya Tanaman dan UU
Paten. Ketiga undang-undang ini memiliki konsep individual yang mewakili
kepentingan bagi pemulia, inventor dan pengusaha industri agrobisnis. Sehingga
terjadi mengabaikan kepentingan petani sebagai pengguna benih varietas.
Walaupun dalam UU PVT Pasal 10 ayat (1) huruf a yang menyatakan petani tidak
melanggar hak PVT selama penggunakan benih varietas hanya untuk memenuhi
kepentingan sendiri, tidak untuk tujuan komersial. Namun, kenyataannya hasil
pertanian selama ini tidak hanya memenuhi kebutuhannya, tetapi juga bertujuan
untuk dipasarkan dalam skala kecil. Selain itu, UU Paten tidak memuat
kepentingan petani, karena dalam Pasal 9 huruf e UU Paten yang menyatakan
bahwa “invensi tidak dapat diberikan paten pada proses biologis yang esensial
untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses
mikrobiologis”. Berdasarkan isi pasal ini, menyatakan bahwa perkembangan
varietas tanaman yang dilindungi paten hanya hasil dari rekayasa genetik. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa, kedua undang-undang ini memiliki perbedaan
yang signifikan. Dalam UU PVT ditujukan bagi pengembangan pemuliaan
tanaman, sedangkan UU Paten ditujukan bagi rekayasa genetik varietas tanaman
yang terkait dengan pengembangan DNA dan sel tanaman. Namun, ketiga
peraturan ini dalam prakteknya lebih didominasi oleh kepentingan pengusaha
sebagai pemegang hakdibandingkan kepentingan inventor maupun pemulia. Disisi
lain, mengabaikan kepentingan petani kecil. Berdasarkan analisis terlihat bahwa
ketiga undang-undang ini memiliki konsep individual. Sehingga ditinjau dari
sudut ideal hukum seharusnya suatu peraturan harus mampu mengimbangi
berbagai kepentingan agar tercipta keseimbangan perlindungan bagi semua pihak
terkait.(Satjipto Rahardjo, 1980: 86). Pengembangan unsur substantif bertujuan
menciptakan penegakkan hukum dalam melindungi semua pihak secara seimbang.
(Satjipto Rahardjo, 1980: 86). Namun, penegakkan hukum tidak dapat dilepaskan
dari perilaku hukum masyarakat, maka hukum kadangkala mengabaikan
kepentingan yang lemah dan menguntungkan kepentingan yang kuat secara
ekonomi. (Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, 2009: 46). Salah satu peraturan yang
berbeda warna adalah UU Sistem Budidaya Tanaman yang secara khusus
mengatur mengenai perijinan, dimulai dari awal produksi sampai pasca panen.
Oleh karenanya, pengaturannya lebih bersifat prosedural dan melindungi
pengusaha dalam mengembangkan teknologi pertanian.
Pengaturan perlindungan di bidang varietas tanaman berbeda antara negara
satu dengan lainnya, misalnya Amerika mengaturnya perlindungan di bidang
varietas tanaman dalam tiga undang-undang, yaitu The Plant Patent Act, The
Utility Paten Actdan The Plant Variety Protection Act. Sedangkan negara Brazil
perlindungan varietas hanya diatur dalam Undang-Undang Paten untuk teknologi
varietas hasil rekayasa genetik. Bagi negara tergabung di Uni Eropa
pengaturannya tidak selengkap Amerika. Negara yang tergabung di Uni Eropa
mengatur bahwa varietas tanaman tidak boleh dimintakan paten dengan jenis
utility patent. Namun, perlindungan varietas diatur tersendiri. Khusus bagi negara-
negara yang tergabung di WTO mengaturan varietas tanaman diatur dalam
undang-undang tersendiri. Sedangkan Indonesia mengaturnya dalam dua undang-
undang yaitu UU Paten dan UU PVT.(Tomi Suryo Utomo, 2020:179-
180).
Kondisi ini terjadi, karena lahirnya UU PVT maupun UU Paten atas
desakan negara maju agar ada peraturan yang relatifseragam dalam melindungi
varietas di negara-negara yang tergabung di WTO. Konsep ini dikenal dengan
transplantasi hukum yang tidak hanya metransplantasi aturan hukum saja, tetapi
keseluruhan sistem, termasuk institusi, konsep dan struktur. Sehingga tidak aneh,
apabila konsep ini mendapat cukup banyak penolakan. Salah satunya yang
menolak adalah Seidman berpendapat, bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari
nilai yang dianut masyarakat setempat. Sehingga hukum tidak dapat diseragamkan
atau dianut secara universal. Hal ini, dikarenakan setiap kelompok masyarakat
memiliki hukum sendiri. Oleh karena itu, hukum suatu kelompok dipengaruhi
oleh faktor nilai, budaya dan lingkungan yang dianut masyarakat satu dengan
lainnya berbeda. (Tri Budiyono, 2009: 61 &68). Pendapat ini sejalan dengan
pendapat Roni R Nitibaskara, bahwa hukum terkait erat dengan perilaku hukum
masyarakat.(Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, 2009: 46). Kondisi ini
mengakibatkan terjadinya benturan budaya hukum yang berdampak langsung
dengan efektivitas penerapan perlindungan di bidang varietas. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa penerapan hukum terkait langsung dengan perilaku
masyarakat, baik profesi hukum maupun masyarakat umum. (Friedman Lawrence,
2002: 481). Namun, tingkat pemahaman profesional hukum sebagai pelaksana
atau pembuat hukum sangatlah penting. Dalam teori sistem hukum, maka
pemahaman profesional hukum digolongkan dalam budaya hukum internal.
Berdasarkan konsep ini, maka menjadi menarik untuk mengkaji budaya
hukum sebagai salah satu unsur dalam teori sistem hukum. Kajian budaya hukum
menjadi penting karena transplantasi hukum berdampak pada benturan nilai
yangberujung adanya benturan budaya hukum dan berakibat tidak efektifnya
perlindungan hukum. Dalam negara kapitalis semua kegiatan yang dilakukan
berorientasi pada kemampuannya menghasilkan karya–karya intelektual untuk
menunjang ekonomi. Kondisi inilah yang melahirkan sistem individual yang lebih
menonjol, dibandingkan nilai-nilai kebersamaan yang bercorak komunal dalam
kehidupan bermasyarakat. Konsep individual ini yang mewarnai UU PVT
maupun UU Paten menjadi kendala saat diterapkan pada masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Bustani, S., Saleh, R., & Kansil, C. S. (2022). BUDAYA HUKUM


PENERAPAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DALAM
MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN INDONESIA DI ERA
GLOBAL. Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum, 4(2), 1-11.
Budiyono, Tri, (2009), Transplantasi Hukum Harmonisasi dan Potensi
Benturan, Salatiga: Griya Media.
Friedman Lawrence.M, (1984), American Law, New York: London
WW Norton Company
Friedman Lawrence.M, (2002) American Law In The 20 Th, Yale
University Press
Raharjo Satjipto, (1980), Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa
Rahman Tb. Ronny Nitibaskara,(2009) Perangkap Penyimpangan dan
Kejahatan Teori
Sulistiyono, L. (2004). Dilema penggunaan pestisida dalam sistem
pertanian tanaman hortikultura di Indonesia. Makalah Pribadi. Pengantar ke
Falsafah Sains. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai