Inbound 7893011499405046956

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 19

EMOSI TOKOH UTAMA DALAM CERPEN “SI CANTIK

YANG TAK BOLEH KELUAR MALAM” KARYA EKA


KURNIAWAN:
KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA

Disusun oleh: Adhi Wahyu Pratama – 13010113140168

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG

50257

1. INTISARI

Pratama, Adhi Wahyu. 2019. “Emosi Tokoh Utama dalam Cerpen “Si Cantik
yang Tak Boleh Keluar Malam” Karya Eka Kurniawan Kajian: Psikologi Sastra”.
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.
Pembimbing 1: Dra. Mirya Anggrahini, M.Hum, Pembimbing 2: Drs. Moh
Muzakka, M.Hum.
Penelitian ini mengkaji tentang psikis tokoh utama yang terdapat dalam
cerpen “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam”. Penulis menggunakan metode
studi pustaka karena data diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang relevan
dengan masalah. Analisis data digunakan penulis untuk menggambarkan dan
memaparkan dengan kata dan kalimat yang jelas. Data ini dikaji menggunakan
dua teori yaitu teori struktural fiksi dan teori psikologi sastra.
Hasil penelitian menunjukkan ketidak seimbangan struktur kepribadian
tokoh utama serta emosi kesedihan yang dalam. Kekangan orang tua yang
berlebihan membentuk kepribadian yang buruk untuk anaknya. Id dalam diri
tokoh utama sangat dominan dibandingkan ego dan superego yang dimilikinya,
hal tersebut membentuk kepribadian tokoh utama yang bisa dikatakan buruk.

Kata Kunci: Cerpen, Struktur Kepribadian, Klasifikasi Emosi, Psikologi Sastr

1
1. Latar Belakang

Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium

(Damono, 1979:1). Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga menjadi media

karya sastra sebagai sarana penyampaiannya. Karya sastra memiliki unsur

pembangun, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah

unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Misalnya dalam cerita

rekaan berupa tema, amanat, alur (plot), tokoh, latar (setting), dan pusat

penceritaan (point of view). Setiap karya sastra juga mengandung unsur-unsur

ekstrinsik yaitu unsur-unsur dari luar yang memengaruhi isi karya sastra, misalnya

psikologi, sosiologi, agama, sejarah, filsafat, ideologi, politik, dan lain-lain (Noor,

2010:29).

Karya sastra terdiri dari berbagai macam, salah satunya adalah cerpen.

Cerpen digemari karena bentuknya, hal tersebut sejalan dengan pernyataan Rosidi

yang menyatakan bahwa bentuk cerpen adalah bentuk yang paling digemari dalam

dunia kesusastraan Indonesia sesudah perang kedua. Bentuk itu tidak saja

digemari oleh pengarang yang dengan sependek itu bisa menulis dan

mengutarakan kandungan pikiran yang ingin menikmati hasil karya sastra yang

tidak usah mengorbankan banyak tempo. Dalam beberapa bagian saja dari satu

jam, seseorang bisa menikmati sebuah cerpen. Rosidi juga mengatakan bahwa

cerpen di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh M. Kasim dengan kumpulan

cerita pendeknya yang berjudul Teman Duduk (melalui Rahmawati, 2015:1).

Dengan alasan tersebut penulis tertarik untuk menganalisis cerita pendek. Penulis

2
memilih cerita pendek yang berjudul Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam

karya Eka Kurniawan untuk dianalisis.

Dalam psikologi sastra, cerpen memiliki rasa emosionalitas yang dapat

mengakibatkan kondisi yang tidak nyaman bagi para pemain (tokoh), tetapi bagi

pembaca, rasa emosionalitas tersebut merupakan suatu hal yang sangat menarik

(Rahmawati, 2015:3). Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang

karya sebagai aktivitas kejiwaan. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena

psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika

kebetulan teks berupa drama maupun prosa (Endaswara, 2011:96). Freud

mengungkapkan bahwa karya sastra yang baik menurut pandangan psikologis

adalah karya sastra yang mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin

manusia, karena hakikat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi

kekalutan batinnya sendiri (2002: 438). Penulis ingin menganalisis emosi tokoh

utama dalam cerita pendek “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam” karya Eka

Kurniawan. Teori yang akan penulis gunakan untuk menganalisis cerita dengan

judul di atas adalah teori struktural fiksi dan teori psikologi sastra.

Cerita pendek dengan judul “Si Cantik yang Tak Boleh keluar Malam”

menceritakan tentang ulang tahun tokoh utama yang ke tujuh belas. Tokoh utama

meminta kado spesial kepada ayahnya untuk diizinkan keluar malam.

Permintaannya tidak pernah dituruti oleh ayahnya sehingga membuatnya

membangkang dan kabur dari rumah menemui pujaan hatinya, cinta yang bagi

tokoh utama adalah sebuah penolong namun membuatnya hancur karena

3
penghianatan. Semua kekecewaan yang dialaminya membuat tokoh utama

memutuskan untuk menjadi kekasih malam.

Sinopsis cerita pendek di atas merupakan gambaran konflik yang terjadi pada

tokoh utama. Konflik tersebutlah yang membuat penulis semakin tertarik untuk

menganalisis emosi tokoh utama pada cerita pendek “Si Cantik yang Tak Boleh

Keluar Malam” karya Eka Kurniawan. Penulis akan menganalisis struktur cerita

pendek terlebih dahulu dengan menggunakan teori struktural fiksi, karena

menurut penulis teori tersebut lebih terstruktur untuk menganalisis cerpen. Teori

psikologi sastra penulis gunakan untuk menganalisis struktur kepribadian dan

emosi yang dialami tokoh utama pada cerita pendek yang berjudul “Si Cantik

yang Tak Boleh Keluar Malam”, karya Eka Kurniawan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, penulis merumuskan masalah

untuk analisis cerpen “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam” karya Eka

Kurniawan sebagaimana berikut:

1. bagaimana tokoh dan penokohan cerita pendek “Si Cantik yang Tak Boleh

Keluar Malam” karya Eka Kurniawan?

2. bagaimana struktur kepribadian dan emosi yang terjadi pada tokoh utama dalam

cerita pendek tersebut?

4
3. Metode Penelitian

Penulis akan menganalisis cerita pendek dengan judul “Si Cantik yang Tak Boleh

Keluar Malam”, karya Eka Kurniawan dengan metode deskripsi dimana penulis

menggunakan tiga tahapan yaitu, pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan

hasil data.

1. Metode Pengumpulan data

Pada metode ini penulis menggunakan metode studi pustaka untuk

mengumpulkan data, karena data diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang

relevan dengan masalah dalam penelitian ini. Teknik yang digunakan adalah

teknik baca catat, dengan langkah-langkah sebagai berikut.

a. Membaca berulang-ulang cerita pendek “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar

Malam”.

b. Menandai yang berkaitan dengan struktural dan psikologis.

c. Mencatat bagian-bagian yang berkaitan dengan objek penelitian.

2. Metode Analisis Data

Pada tahapan ini penulis melakukan analisis aspek-aspek struktural dan psikologis

terhadap cerita pendek “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam”. Melalui

tahapan; pertama, membaca cerita pendek tersebut dan mengelompokkan teks-

teks yang mengandung tokoh dan penokohan, serta alur dan latar, kedua;

menganalisis aspek psikologi cerita pendek tersebut.

5
3. Metode Pemaparan Hasil Data

Tahap yang terakhir yaitu pemaparan hasil analisis menggunakan metode

deskriptif analisis yakni, Mendeskripsikan hasil analisis menggunakan bahasa

yang baik dan benar.

4. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan dua teori, yaitu teori struktural fiksi dan teori

psikologi sastra. Teori struktural fiksi digunakan untuk menguraikan struktur

cerita pendek “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam”, kemudian teori

psikologi sastra digunakan untuk memaparkan struktur kepribadian serta emosi

yang dialami tokoh utama dalam cerita pendek tersebut.

1. Teori Struktural Fiksi

Menurut Ryan dan Tyson, setiap teks kesastraan memiliki struktur yang unik yang

khas yang menandai kehadirannya. Hal itulah yang membedakannya dengan teks-

teks yang lain. Struktur teks itu mengorganisasikan berbagai elemen untuk saling

berhubungan antara satu dan yang lain. Struktur itulah yang menyebabkan teks itu

menjadi bermakna, menjadi masuk akal, menjadi logis, menjadi dapat dipahami.

Dalam hal ini struktur dapat dipahami sebagai sistem aturan yang menyebabkan

berbagai elemen itu membentuk sebuah kesatuan yang “bersistem” sehingga

menjadi bermakna (Nurgiyantoro, 2015:58).

6
2. Teori Struktural Fiksi

Menurut Ryan dan Tyson, setiap teks kesastraan memiliki struktur yang unik yang

khas yang menandai kehadirannya. Hal itulah yang membedakannya dengan teks-

teks yang lain. Struktur teks itu mengorganisasikan berbagai elemen untuk saling

berhubungan antara satu dan yang lain. Struktur itulah yang menyebabkan teks itu

menjadi bermakna, menjadi masuk akal, menjadi logis, menjadi dapat dipahami.

Dalam hal ini struktur dapat dipahami sebagai sistem aturan yang menyebabkan

berbagai elemen itu membentuk sebuah kesatuan yang “bersistem” sehingga

menjadi bermakna (Nurgiyantoro, 2015:58).

Jika membaca cerita fiksi, kita akan bertemu dengan sejumlah tokoh,

berbagai peristiwa yang akan dilakukan atau dikenakan kepada para tokoh,

tempat, waktu dan latar belakang sosial budaya di mana cerita itu terjadi, dan lain-

lain. Kesemuanya tampak berjalan serempak dan saling mendukung. Misalnya,

bagaimana tokoh saling berhubungan, berbagai peristiwa saling terkait walaupun

penceritaannya berjauhan, bagaimana latar sosial budaya memfasilitasi dan

membentuk karakter tokoh, dan lain-lain. Hal itu semuanya dapat berjalan dengan

baik, cerita dapat dipahami dengan baik, karena ada benang merah yang mengatur

dan menghubungkan semua elemen, yaitu struktur (Nurgiyantoro, 2015:59).

Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekadar mendata unsur

tertentu sebuah karya fiksi, yang terpenting adalah menunjukkan bagaimana

hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan

estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai (Nurgiyantoro, 2015:60).

7
Berdasarkan konvensi yang berlaku, unsur-unsur yang membangun sebuah

karya sastra adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik sendiri

ialah unsur-unsur yang membagun dari dalam misalnya dalam cerita rekaan

berupa tema, amanat, alur, tokoh, latar, dan pusat penceritaan. Unsur ekstrinsik

merupakan unsur-unsur dari luar yang mempengaruhi karya sastra seperti

psikologi, sosiologi, agama, sejarah, filsafat, ideologi, politik, dan lain-lain (Noor,

2010:29).

Langkah pertama yang dilakukan penulis adalah menganalisis unsur

intrinsik cerita pendek Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam karya Eka

Kurniawan untuk menunjang analisis yang utama yaitu menganalisis struktur

kepribadian dan emosi tokoh utama pada cerita pendek tersebut. Analisis unsur

tersebut terbatas pada unsur struktur yang penulis anggap relevan dijadikan dasar

untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kepribadian dan emosi tokoh utama yang

menjadikan tokoh utama memilih menjadi kekasih malam.

a. Tokoh dan Penokohan

Tokoh cerita (character), menurut Abrams melalui Nurgiyantoro (2015: 247),

adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama,

yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan

tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam

tindakan. Keadaan ini justru sering berakibat kurang menguntungkan para tokoh

cerita itu sendiri dilihat dari segi kewajarannya dalam bersikap dan bertindak.

Tidak jarang para tokoh-tokoh cerita dipaksakan dan diperalat sebagai pembawa

8
pesan sehingga sebagai tokoh cerita dan sebagai pribadi kurang berkembang.

Secara ekstern boleh dikatakan, mereka hanya diperlukan sebagai robot yang

selalu tunduk pada kemauan pengarang dan tidak memiliki kepribadian sendiri.

Tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan, atau bahkan

mungkin merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan

pengarang (Nurgiyantoro, 2015:249-250).

Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian

Fiksi, menyatakan bahwa tokoh dan penokohan dapat dikategorikan ke dalam

beberapa jenis penamaan, yaitu:

1. Tokoh utama dan tokoh tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang paling diutamakan penceritaannya. Ia merupakan

tokoh yang paling banyak diceritakan. Baik sebagai pelaku kejadian maupun yang

dikenai kejadian, sedangkan tokoh tambahan kemunculannya di dalam cerita lebih

sedikit dan tidak terlalu dipentingkan (2015:259).

2. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh berwatak baik, tokoh yang dikagumi pembaca,

sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang berwatak jahat, biasannya tidak

membawa dampak positif dan tidak membawa nilai-nilai moral yang ada

(2015:261).

3. Tokoh sederhana dan tokoh bulat

Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu watak tertentu, tidak

memiliki sifat dan tingkah laku yang memberikan efek kejutan bagi pembaca,

9
sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang mampu menampilkan watak yang

bermacam-macam, bahkan bertentangan, dan sulit ditebak (2015:265).

4. Tokoh statis dan tokoh berkembang

Tokoh statis adalah tokoh yang memiliki sikap dan watak yang relative tetap,

tidak berkembang, sejak awal sampai akhir, sedangkan tokoh berkembang adalah

tokoh yang mengalami perubahan perwatakan sejalan dengan peristiwa dan plot

yang dikisahkan (2015:272-273).

5. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan

individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau

kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita

itu sendiri (2015:274-275).

6. Teknik Pelukisan Tokoh

Tokoh-tokoh cerita dalam teks naratif, tidak akan begitu saja secara serta-merta

hadir begitu saja hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan “sarana” yang

memungkinkan kehadirannya. Sebagai bagian dari cerita fiksi yang bersifat

menyeluruh dan padu, dan mempunyai tujuan artistik, kehadiran dan penghadiran

tokoh-tokoh cerita haruslah juga dipertimbangkan dan tidak lepas dari tujuan

tersebut. Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya dapat

dibedakan menjadi dua cara, yaitu:

a. Teknik ekspositori (analistis) atau langsung adalah pelukisan tokoh cerita

dilakukan dengan memberikan deskripsi, tokoh cerita dihadirkan secara langsung;

10
b. Teknik dramatik atau tidak langsung adalah pengarang tidak mendiskripsikan

secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tapi membiarkan para tokoh

cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri (2015:278-283).

b. Alur dan Pengaluran

Menurut Burhan Nurgiyantoro mengenai alur atau yang dikenal dengan istilah

plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang

menganggapnya sebagai yang terpenting diantara unsur fiksi yang lain

(2015:164). Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-

elemen lain, alur dapat dibuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang

lebar. Pengertian alur dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita

yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang

dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita. Tahapan peristiwa yang

menjalin suatu cerita bisa berbentuk dalam rangkaian yang berbagai macam.

(Aminuddin, 1991:83).

Pengaluran dalam cerita rekaan dan berbagai versi di antaranya pengaluran

maju (kronologis), pengaluran mundur (flashback), dan pengaluran campuran

(maju-mundur). Ketiga hal tersebut dapat diuraikan, yaitu: (1) Peristiwa adalah

peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain, peralihan dari satu aktivitas ke

aktivitas yang lain. Peristiwa yang ditampilakan dalam cerita fiksi pastilah banyak

sekali namun tidak semua peristiwa tersebut berfungsi sebagai pendukung plot;

(2) Konflik adalah kejadian yang tergolong terpenting, unsur esensial dalam

pengenmbangan plot sebuah cerita fiksi. Konflik menunjukan sesuatu yang

11
bersifat tidak menyenangkan oleh tokoh cerita, sesuatu yang dramatic mengacu

pada petarungan antara dua kekuatan yang seimbang, menyiratkan adanya aksi-

aksi balasan; (3) Klimaks adalah konflik yang mencapai tingkat intensitas

tertinggi dan tidak dapat dihindari, terjadinya klimaks juga menentukan titik

pertemuan Antara dua hal yang dipertentangkan dan memastikan bagaimana

permasalahan akan diselesaikan. (Nurgiyantoro, 2015:173-185).

Kemudian ada empat kaidah pengaluran yaitu plausibilitas, suspense,

surprise, dan kesatupaduan. Plausabilitas merujuk pada pemahaman bahwa harus

ada unsur logis dalam suatu hal. Hal ini berkaitan pada bagaimana sebuah alur

diatur sedemikian rupa sehingga pembaca percaya. Agar rasa ingin tau pembaca

bisa timbul, disisipkan suspense yaitu semacam perasaan kurang pasti terhadap

peristiwa-peristiwa yang terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang diberi rasa

simpati oleh pembaca. Suspense juga biasa dimaknai sebagai tekanan terhadap

pembaca. Selanjutnya, surprise merupakan kejutan yang diberikan kepada

pembaca. Alur sebuah karya sastra dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu

yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang, atau

bahkan bertentangan dengan harapan pembaca. Terakhir, kesatupaduan

merupakan sesuatu yang membuat setiap unsur yang ditampilkan dalam karya

sastra menjadi jalinan yang utuh, menyatu. Permasalahan kesatupaduan dalam

novel terdapat alur yang melahirkan sub-sub alur. Di setiap alur ada berbagai

gagasan yang mau tidak mau harus disatupadukan. (Kenny melalui Nurgiyantoro,

2005:130-134).

12
c. Latar dan Pelataran

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk

memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu

seolah-olah sungguh ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 2005:217).

Menurut Nurgiyantoro, ada dua tipe latar dalam karya fiksi yaitu netral

dan tripikal/khas. Latar netral artinya tidak ada deskripsi khusus mengenai suatu

lokasi yang digunakan dalam cerita rekaan. Sifat yang ditunjukkan mengenai latar

bersifat umum dan bahkan jika tempat dipindahkan atau diganti namanya,

pengaluran dan penokohan tidak terpengaruh. Sementara latar tipikal adalah

kebalikan dari latar netral. Ada kecenderungan untuk membuat sedemikian rupa

agar suatu karya sastra tampak realistis dengan menggambarkan suatu lokasi

secara teliti seruapa aslinya (Nurgiyantoro, 2005:221-222).

Latar terdiri atas tiga unsur (Nurgiyantoro, 2015:227-233) yaitu latar

tempat, waktu dan social. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan

mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial, mungkin lokasi

tanpa nama yang jelas. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar

sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial

masyarakat di suatu tempat. Tata cara sosial kehidupan masyarakat setempat

mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Masalah

13
tersebut berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan

hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.

3. Teori Psikologi Sastra

Psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos

yang berarti ilmu. Aktison melalui Minderop mengatakan psikologi berarti ilmu

jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah manusia (2010:3). Jiwa

dalam pskologi ini tidak dapat dilihat, diraba atau disentuh. Mengobservasi jiwa

haya dapat dilakukan melalui hasil yang ditimbulkan karena jiwa bersifat abstrak

(Rahmawati, 2015:21).

Pendekatan psikologi sangat mungkin dilakukan untuk menelaah karya-

karya sastra karena psikologi sastra menampilkan watak tokoh dengan berbagai

konflik dan problem psikologis, walaupun tokoh tersebut imajinatif. Secara

definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek yang terkandung

di dalam suatu karya.

4. Teori Psikologi Kepribadian

Kepribadian berasal dari kata personality (Inggris) yang berasal dari kata pesona

(Latin) yang berarti kedok atau topeng, yang mana dalam hal ini dimaksudkan

untuk menggambar perilaku, watak maupun kepribadian seseorang. Kepribadian

adalah suatu totalitas psikhoposis yang kompleks dari individu, sehingga tampak

dalam tingkah lakunya yang unik (Sujanto, 2008:12).

Menurut Freud (melalui Suryabrata, 2015:124-128), kepribadian terdiri atas tiga

14
system aspek, yaitu:

a. Das Es (The id)

Aspek ini adalah aspek biologis dan merupakan sistem yang original di dalam

kepribadian. Freud menyebutnya realitas psikis yang sebenar-benarnya, oleh

karena Das Es itu merupakan dunia batin (subjektif) manusia, dan tidak

mempunyai hubungan langsung dengan dunia objektif. Das es berisikan hal-hal

yang dibawa sejak lahir (unsur biologis), termasuk insting.

b. Das Ich (The Ego)

Aspek ini adalah aspek psikologis yang timbul karena kebutuhan organisme untuk

berhubungan secara baik dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan Id dan ego,

yaitu Id hanya mengenal dunia subjektif atau dunia dalam batin manusia, maka

ego dapat membedakan sesuatu yang ada di dalam dan sesuatu yang ada diluar,

tetapi keduanya tidak sama-sama tidak mengenal nilai baik dan buruk. Mencari

objek yang dapat memenuhi dan memuaskan adalah tugas utama yang penting

dari ego.

Das ich dapat pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian, oleh

karena itu das Ich ini mengontrol jalan-jalan yang ditempuh, memilih kebutuhan-

kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara-cara memenuhinya, serta memilih

obyek-obyek yang dapat memenuhi kebutuhan; di dalam menjalankan fungsi ini

seringkali das Ich harus mempersatukan pertentangan-pertentangan antara das Es

dan das Ueber Ich dan dunia luar. Namun haruslah selalu diingat, bahwa das Ich

adalah derivate dari das Es dan buka untuk merintanginya; peran utamanya adalah

15
menjadi perantara antara kebutuhan-kebutuhan instinktif dengan keadaan

lingkungan, demi kepentingan adanya organisme.

c. Uber Ich (Superego)

Superego mengacu pada moralitas dan kepribadian yang disamakan dengan “hati

nurani” yang mengenali nilai baik dan buruk (Minderop, 2011:22). Superego lebih

mementingkan kesempurnaan dari pada kesenangan, sehingga superego dapat

pula dianggap sebagai aspek sosiologi kepribadian, karena merupakan wakil dari

nilai-nilai tradisional yang ditafsirkan oleh orang tua kepada anaknya dan

diajarkan dengan berbagai larangan dan perintah. Fungsi pokok dari superego

adalah menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah, pantas atau tidak,

sehingga pribadi dapat bertindak sesuai moral masyarakat.

5. Klasifikasi Emosi

Klasifikasi emosi digunakan untuk menganalisis situasi yang bangkit dari

perasaan-perasaan yang terkait dengan tindakan tokoh utama pada cerita pendek

Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam.

Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali dianggap

sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotion). Situasi yang

membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang

ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan. Selain itu, kebencian

atau perasaan benci (hate) berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu,

dan iri hati. Ciri khas yang menandai benci ialah timbulnya nafsu atau keinginan

untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci

16
bukan sekadar timbulnya perasaan tidak suka atau aversi/enggan yang dampaknya

ingin menghindar dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya, perasaan

benci selalu melekat di dalam diri seseorang, dan ia tidak akan pernah merasa

puas sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas.

Perasaan bersalah dan menyesal, rasa malu serta cinta juga termasuk ke dalam

klasifikasi emosi (Minderop, 2011:39).

6.Simpulan

Berdasarkan hasil analasis struktural yang dilakukan penulis terhadap cerita

pendek “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam” karya Eka Kurniawan, unsur

tokoh dan penokohan yang terdapat pada cerita pendek tersebut memiliki delapan

nama atau julukan tokoh. Diantaranya adalah Si Cantik, Si Cantik merupakan

tokoh utama dikarenakan kemunculannya sangat sering. Si Cantik muncul dari

awal cerita hingga akhir cerita, kemudian Si Cantik juga merupakan tokoh yang

mengalami konflik dalam cerita pendek “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar

Malam”. Tokoh-tokoh yang mempengaruhi konflik tokoh utama diantaranya

adalah Ayah, Ibu, Romeo. Sedangkan keempat tokoh lainnya hanya menjadi

pelengkap atau tambahan dalam cerita pendek “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar

Malam”.

Berdasarkan analisis alur dalam cerita pendek “Si Cantik yang Tak Boleh

Keluar Malam” memiliki alur maju, karena peristiwa-peristiwa dalam cerita

pendek tersebut bersifat kronologis. Dimulai dari tahap pengenalan konflik yakni

pengenalan situasi dan tokoh-tokoh cerita. Tahap pengenalan konflik dalam cerita

pendek “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam” di munculkan pengarang pada

17
awal cerita. Tahap ini diceritakan pengarang disaat malam ulang tahun Si Cantik

yang ke tujuh belas. Selanjutnya tahap pengembangan konflik, tahap yang berisi

peningkatan atau pengembangan konflik yang muncul pada bab sebelumnya.

Tahap pengembangan konflik dalam cerita pendek “Si Cantik yang Tak Boleh

Keluar Malam” dimunculkan pengarang pada saat Si Cantik yang tak pernah

mendapat izin keluar malam oleh ayahnya kemudian dia diberi telefon rumah. Si

Cantik berusaha membuat sang ayah mengizinkannya untuk keluar malam dengan

cara mengobrol dengan kenalan teman cowok baru lewat telfon hingga larut

malam yang akhirnya di hentikan karena ayahnya tidak dapat membayar

tanggungan dan mengundang teman-temannya untuk membuat keramaian sampai

pagi. Tetapi hal ini tidak menggoyahkan hati ayahnya dan Si Cantik masih tidak

diizinkan untuk keluar malam, pengengembangan konflik berlanjut ketika Si

Cantik jatuh cinta kepada Romeo. Tahap terakhir adalah tahap penyelesaian, tahap

penyelesaian dalam cerita pendek “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam”

terjadi ketika Si Cantik yang hancur karena lelaki yang dia cintai telah berpaling

ke pelukan wanita lain. Romeo telah memilih untuk melanjutkan kisah cinta

bersama Julliet di luar panggung. Hal tersebut menambah emosi dan hancurnya

hati Si Cantik dan semenjak malam itulah Si Cantik tak pernah lagi pulang

kerumah. Si Cantik yang selama ini tidak pernah diizinkan keluar malam oleh

ayahnya akhirnya dapat keluar malam seperti yang dia inginkan. Hal ini di

karenakan Si Cantik telah memutuskan untuk memilih jalan dalam kehidupan

yang menyimpang hingga ia menjadi wanita kekasih malam seperti yang telah dia

inginkan.

18
Berdasarkan pemaparan Struktur kepribadian dan Klasifikasi emosi yang

telah di paparkan penulis, penulis menyimpulkan bahwa di umur tokoh utama

yang ke tujuh belas, ia memiliki struktur kepribadian yang tidak seimbang

dikarenakan Id dari tokoh utama lebih dominan di dalam dirinya dibandingkan

Ego dan Superego. Kemudian emosi kesedihan tokoh utama sangat dalam hingga

Id dalam dirinya ikut terdorong oleh kesedihan yang dimiliki. Konflik bermula

karena adanya Id, tokoh utama berkeinginan untuk keluar malam namun

keinginannya selalu di tolak ayahnya dan selalu membuatnya bersedih.

Kemudian tokoh utama merasakan cinta, cinta membuatnya berani kabur

dari rumah. Ego yang terjadi pada tokoh utama selalu di dorong kuat oleh Id.

Tokoh utama kabur demi membalas cinta Romeo namun hal itu membuatnya

kecewa dan ia memutuskan untuk menjadi Kekasih Malam.

19

Anda mungkin juga menyukai