Makalah Mazhab

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH USHUL FIQH

MAZHAB SEBUAH PRODUK PEMIKIRAN HUKUM MATERIL

DOSEN PENGAMPU:
KHAIRUL ERWIN, SH, S.Pd.I, MA

DISUSUN OLEH:

MUHAMMAD HUDZAIFA : 23.02.0051


DWI AMANDA : 23.02.0061
PUTRI NABILA : 23.02.0039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “UISU”
PEMATANGSIANTAR
2023-2024
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan
rahmatnya makalah berjudul “MAZHAB SEBUAH PRODUK PEMIKIRAN HUKUM
MATERIL” untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh ini telah kami selesaikan.

Dengan ditulisnya makalah ini, kami berharap semoga makalah ini dapat di terima dan
membawa manfaat besar serta memberikan nuansa baru bagi pihak yang berkecimpung
dalam dunia ilmu keberagaman ushul fiqh.

Sebagai penyusun kami menyadari dalam proses penyusunan makalah ushul fiqh ini
tidak lepas dari hambatan, tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak segala hambatan itu
dapat teratasi. Akhirnya, jikalau dalam makalah ini ada hal-hal yang kurang berkenan atau
bahkan tidak sesuai menurut pengamatan pembaca, dengan lapang dada kami akan
menerima kritik dan saran demi pembenahan makalah kami selanjutnya.

Pematangsiantar, 23 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………………………………….

B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………..

C. Tujuan Makalah………………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN

A. Produk Pemikiran Fikih…………………………………………………………………..

B. Produk Pemikiran Fatwa Ulama………………………………………………………….

C. Produk Pemikiran Keputusan Pengadilan (Yurisprudensi)………………………………

D. Produk Pemikiran Undang-Undang……………………………………………………...

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN …………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis, yang
kemudian berkembang menjadi sebuah peroduk pemikiran hukum. Produk pemikiran hukum
tersebut menghasilkan materi-materi hukum berdasarkan kebutuhan masyarakat. Kemudian
dibentuk dan diformasi dalam sebuah konsep untuk dilaksanakan dan ditaati sebagai hasil dari
produk pemikiran hukum.
Dalam teori hukum Islam biasa disebut Islamic legal theory, mengenal berbagai
sumber tetapi sumber utamanya adalah al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer.
Sedangkan sumber yang lain merupakan sumber sekunder yang berasal dari ijtihad dan
interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus biasa disebut ijma’. Konsensus ini merupakan
suatu pencapaian kesepakatan yang telah dianggap mewakili kepastian hukum dan atau untuk
mewakili mayoritas komunitas masyarakat Islam.
Dalam sejarah sosial hukum Islam, tercatat dan tertulis pertama kali diterapkan pada
abad pertama Hijriah di Madinah oleh Nabi Muhammad saw. dengan dasar konstitusi Piagam
Madinah. Mukaddimah piagam tersebut tertulis, bahwa Piagam Madinah berlaku di kalangan
orang-orang yang beriman dan memeluk agama Islam yang berasal dari suku Quraisy dan
Yasrib. Selain orang Islam juga berlaku bagi orangorang yang mengikuti mereka,
mempersatukan diri, dan berjuang bersama mereka. Inti dari piagam tersebut adalah
perjanjian/kesepakatan antara kaum muslim dengan kaum nasrani dan yahudi (masyarakat
non- muslim) yang dijadikan sebagai aturan perundang-undangan. Nabi Muhammad saw.
memberi jaminan hidup terhadap mereka (non-muslim), hak milik, dan agama, serta
mempunyai kebebasan penuh untuk mengamalkan ajaran agama masing-masing. Hal ini
membuktikan bahwa Hukum Islam diterapkan bukan untuk memaksa dan menindas kaum
yang lain, melainkan untuk diajdikan sebagai aturan yang melindungi seluruh bangsanya
dalam kehidupan bermnasyarakat.
Aturan-aturan yang merupakan hasil dari produk pemikiran hukum Islam, apabila
ditinjau dari sejarah sosial hukum Islam, maka tumbuh dan berkembang sejak zaman Nabi
Muhammad saw. sampai sekarang, hingga kini berlaku di Indonesia. Akan tetapi sejarah
sosial hukum Islam ini muncul di dunia Barat pada akhir abad ke-20, ketika hukum Islam
(fikih) itu dibukukan dalam berbagai literatur dan menampilkan potretnya yang utuh.

Adanya pembukuan hukum Islam tersebut, umat Islam dapat mengetahui sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam mulai dari zaman Nabi Muhammad saw.
sampai zaman modern ini termasuk zaman reformasi di Indonesia.

Hukum Islam tumbuh dan berkembang di Indonesia yang diformulasi dalam empat
produk pemikiran hukum, yakni fikih, fatwa ulama, keputusan pengadilan (yurisprudensi), dan
undang-undang. Keempat produk pemikiran hukum tersebut dijadikan sebagai pedoman bagi
umat Islam dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana produk pemikiran fikih?
2. Bagaimana produk pemikiran fatwa ulama?
3. Bagaimana produk pemikiran keputusan pengadilan (yurisprudensi)?
4. Bagaimana produk pemikiran undang-undang?

C. TUJUAN MAKALAH
1. untuk mengetahui produk pemikiran fikih?
2. untuk mengetahui produk pemikiran fatwa ulama?
3. untuk mengetahui produk pemikiran keputusan pengadilan (yurisprudensi)?
4. untuk mengetahui produk pemikiran undang-undang?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Produk Pemikiran Fikih


Sejarah sosial hukum Islam merupakan suatu ilmu yang mempelajari sejarah
kehidupan suatu masyarakat yang ada hubungannya dengan proses lahirnya dan
berkembangnya hukum Islam. Adanya sejarah sosial hukum Islam sebagai sebuah ilmu,
maka dapat memberi suatu arah dan tujuan sehingga dapat melahirkan produkproduk
pemikiran hukum Islam di Indonesia, seperti fikih. Fikih sangat erat hubungannya dengan
hukum Islam, sehingga terkadang fikih disamakan dengan hukum Islam.
Kata fikih/fiqh (‫( ف قه‬dalam Kamus Al-Munawwir, fiqh (‫( ف قه‬berarti mengerti,
memahami, dan secara sederhana menurut bahasa, fikih bermakna tahu dan paham.
Menurut istilah fikih diartikan sama dengan agama yang disyari’atkan Allah untuk para
hamba yang melengkapi hukum-hukum agama yang berpautan dengan perkataan,
perbuatan, perikatan, dan lain-lain. Sedangkan menurut jumhur fuqaha, fikih diartikan
sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang
tafshili yakni dalil-dalil tentang hukum-hukum yang khusus yang diambil daripadanya
dengan jalan ijtihad. Pada sumber lain, fikih menurut pengertian istilah kebanyakan
fuqaha ialah “segala hukum syara’ yang diambila dari Kitab Allah swt. dan Sunnah
Rasulullah saw. dengan jalan mendalamkan faham dan penilikan, yakni dengan jalan
ijtihad dan istinbat. Fikih merupakan ilmu dasar untuk memahami ajaran Islam termasuk
hukum Islam yang dipahami dan diberlakukan di Indonesia. Dengan mengetahui fikih
berarti mengurangi perdebatan tentang masalah khilafiah, artinya toleransi dalam khilafiah
dijunjung tinggi.
Menurut H. Amir Syarifuddin, kata fikih (‫( ف قه‬berarti paham yang mendalam. Bila
paham dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fikih berarti paham
yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu batin. Fikih tentang sesuatu berarti
mengetahui batinnya sampai kedalamannya sesuatu itu. Orang yang mengetahui fikih
berarti melaksanakan hukum Islam dengan keyakinan yang mendalam. Sehingga dalam
berbuat dan bermuamalah termasuk dalam beribadah tidak mudah terombang-ambing oleh
pengaruh di sekitarnya.
Pengetahuan yang dihasilkan dari fikih dapat menuntun manusia untuk berbuat
dalam tataran hukum Islam yang diberlakukan. Maksud dari istilah hukum Islam adalah

3
hukum yang diyakini memiliki keterkaitan dengan sumber dan ajaran Islam, yaitu hukum
amali berupa interaksi sesama manusia, selain jinayat (pidana Islam).
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk digunakan dalam pidana
Islam, yang juga akan diterapkan dalam kehidupan masyarakat Islam, baik secara daerah
atau lokal maupun secara nasional, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan
sekarang dalam tahap rancangan untuk dialihkan menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Segala ketentuan yang berhubungan dengan ibadah murni (mahdah) tidak termasuk
dalam pengertian hukum Islam pada pembahasan ini. Yang termasuk adalah hukum
perdata Islam tertentu yang menjadi hukum positif bagi umat Islam, sekaligus merupakan
hukum terapan bagi Peradilan Agama.
Pada Kamus Hukum dijelaskan, bahwa hukum Islam (Indonesia) atau hukum syara’
ialah peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan
berdasarkan al-Qur’an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa hukum
Islam ialah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan berdasarkan al-
Qur’an dan hadis. Artinya, hukum Islam merupakan produk fikih Indonesia.
Pengertian hukum Islam atau hukum syara’ menurut istilah ulama usul, adalah
doktrin (khitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara
perintah atau diperintah memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Menurut T.M. Hasbi Ash-
Shiddieqy, hukum Islam adalah bagian dari ilmu fikih. Karena ilmu fikih merupakan suatu
kumpulan ilmu yang sangat luas pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai ragam
jenis hukum Islam dalam mengatur kehidupan untuk keperluan seseorang, golongan, dan
masyarakat secara umum. Kemudian dalam Ensiklopedi Hukum Islam, ulama ushul fikih
mendefenisikannya dengan tuntutan Allah Swt. yang berkaitan dengan perbuatan orang
mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu menjadi sebab, syarat,
penghalang, sah, batal, rukhsah (keringanan) atau ‘azîmah (perbuatan). Hukum Islam
dimaksudkan sebagai peraturan yang berpautan dengan kehidupan orang dewasa dalam
melaksanakan perintah dan atau meninggalkan larangan berdasarkan petunjuk al-Qur’an
atau hadis.
Hukum Islam di Indonesia merupakan hasil dari ijtihad ulama yang melahirkan kitab
fikih yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis, sehingga dipedomani oleh para peneliti
dan penulis tentang hukum Islam di Indonesia.
Hasil dari produk-produk pemikiran hukum Islam tersebut, diformulasikan dalam
satu kitab atau buku yang menjadi rujukan dalam mengambil keputusan atau kebijakan
dalam lembaga-lembaga perdilan dan instansi lainnya.

4
Produk pemikiran fikih adalah hasil dari produk hukum yang pertama dari formulasi
hukum Islam melalui kitab fikih. Kitab fikih pada awalnya hasil atau kumpulan dari
ceramah yang kemudian dihimpun dalam satu buku atau beberapa buku. Isi dari kumpulan
ceramah tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan manusia yang secara khusus bagi
kehidupan umat Islam.

Kitab fikih yang dimaksudkan adalah Buku yang membahas berbagai persoalan
hukum Islam seperti ibadah, muamalah, pidana, peradilan, jihad, perang, dan damai
berdasarkan hasil ijtihad ulama fikih dalam memahami al-Qur’an dan hadis yang dikaitkan
dengan realitas yang ada dengan menggunakan berbagai metode ijtihad.

Penyusunan kitab fikih mulanya mengalami permasalahan karena persoalan dalam


masyarakat belum banyak dipertanyakan sehingga tidak sistematis. Pembukuan kitab fikih
dimulai sekitar awal abad ke-2 Hijriah yang disebut zaman klasik. Penulisan kitab fikih
terus berkembang, mulai dari zaman klasik sampai sekarang zaman modern.

Kalau dilihat dari produk pemikiran fikih, maka isi kitab fikih paling tidak ada tiga
macam yaitu: kitab fikih lengkap, kitab fikih tematis, dan kitab fikih berbentuk fatwa.
Kitab fikih lengkap yaitu membahas seluruh persoalan fikih, mencakup masalah ibadah,
muamalah, perkawinan, kewarisan, perwakafan, pidana, peradilan dengan perangkat-
perangkatnya, politik, jihad, perang, dan damai.

Kitab fikih lengkap biasanya diproduk dan disusun dari mazhab tertentu, dan
adakalanya disusun dari berbagai mazhab dengan membandingkan pendapat-pendapat
mazhab lain, misalnya “Fikih Islam Lengkap” yang ditulis oleh H. Moh. Rifa’i.
Kitab fikih tematis yaitu kitab yang hanya membahas topik tertentu, seperti masalah
pemerintahan, masalah peradilan, masalah perdata, dan masalah pidana. Misalnya buku
“Peradilan Agama di Indonesia” yang ditulis oleh Cik Hasan Bisri. Di zaman kalsik, kitab
fikih tematis belum banyak diterbitkan. Tetapi di zaman modern ini telah banyak
diterbitkan karena ilmuwan telah banyak dan semakin meluas pembidangan ilmu.

Kitab fikih berbentuk kumpulan fatwa yaitu kitab yang disusun berdasarkan hasil
fatwa ulama atau sekelompok ulama tertentu. Misalnya buku “Fatwa-fatwa Seputar Ibadah
Mahdah” yang ditulis oleh M. Quraish Shihab. Setiap mazhab fikih mempunyai kitab fikih

5
standar yang menjadi sumber rujukan, baik berupa kitab fikih lengkap, kitab fikih tematis,
maupun kitab fikih berupa kumpulan fatwa.

B. Produk Pemikiran Fatwa Ulama


Setelah produk pemikiran fikih, maka produk pemikiran hukum yang kedua adalah
pemikiran fatwa ulama yang merupakan hasil dari konfigurasi formulasi hukum Islam.
Fatwa menurut bahasa berarti jawaban, keputusan, pendapat yang diberikan oleh mufti
tentang suatu masalah; nasihat orang alim, pelajaran baik.
Menurut ulama usul fikih, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seoramg
mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang
sifatnya tidak mengikat. Fatwa ini bersifat sanksi moral yang tidak mengikat seseorang
untuk berfatwa atau meminta fatwa, dan atau untuk menerima/taat pada fatwa.
Fatwa tersebut merupakan hasil dari ijtihad seorang mufti yang bertalian dengan
persoalan atau masalah yang diperhadapkan kepadanya. Fatwa ulama biasanya merupakan
himbauan dari sekelompak ulama dan terkadang merupakan seruan ulama tertentu kepada
masyarakat luas atau masyarakat tertentu. Oleh karena itu, produk pemikiran fikih tidak
dapat dipisahkan begitu saja dengan produk pemikiran fatwa ulama, karena fikih
merupakan produk hasil ijtihad ulama, dan ulama merupakan orang yang ahli dalam ilmu
fikih.
Hasil ijtihad ulama yang disebut fatwa terkadang dituangkan dalam bentuk buku
fikih untuk dipedomani bagi umat Islam di Indonesia. Hasil fatwa ulama di Indnesia,
secara nasional dituangkan dalam bentuk fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia). Selain
itu, ada dua fatwa ulama yang bersumber dari organisasi Islam yaitu Nahdatul Ulama dan
Muhammadiyah. Kedua organisasi Islam ini, selalu mewarnai fatwa MUI di Indonesia.
Hal ini dipengaruhi oleh kekuatan politik dan sistem pemerintahan/penguasa di Indonesia.

1. Peranan Fatwa Ulama Sebagai Produk Pemikiran Hukum Islam

a. Klasifikasi Ulama
Imam al-Gazali membagi ulama ke dalam dua kategori yaitu ulama dunia dan ulama
akhirat. Ulama dunia ialah orang-orang yang dengan ilmunya bertujuan semata-mata untuk
mencapai kesenangan, kedudukan dan kehormatan di dunia saja. Sedangkan ulama akhirat
adalah kebalikannya, yaitu orang-orang yang menggunakan ilmunya untuk kemaslahatan

6
dan mencapai kebahagian akhirat. Ulama dunia digambarkan oleh Allah dalam Q.S. Ali
Imran (3): 187

Terjemahnya: Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah
diberi kitab (yaitu): “hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan
kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung
mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang
mereka terima. Ulama akhirat digambarkan oleh Allah dalam Q.S. Ali Imran (3): 199 yang
berbunyi:

Terjemahnya: Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah
dan kepada apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah
dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan Nya.
Ulama akhirat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
 Tidak menggunakan ilmu pengetahuannya untuk mencapai keuntungan dunia.
 Konsekwen terhadap perbuatannya.
 Mengutamakan ilmu akhirat.
 Sederhana dan zuhud.
 Menjauhkan diri dari penguasa.
 Tidak tergesa-gesa membenarkan fatwa.
 Mementingkan ilmu batin dan memperhatikan gerak gerik hati yaitu berjuang
melawan hawa nafsu sehingga dapat memancarkan sumber-sumber hikmah.
 Memperkuat keyakinan.
 Tunduk sebagai bukti takutnya kepada Allah dalam hal ihwal, pada pakaian yang
dipakai, tingkah laku dan ucapannya.

7
 Mementingkan ilmu yang dapat diamalkan.
 Berperang pada mata hatinya sendiri.
 Sangat berhati-hati dalam menghadapai hal-hal yang baru.
Dengan demikian ciri-ciri ulama dunia adalah kebalikannya yang menghendaki dan
mempergunakan ilmunya untuk mendapatklan kepuasan dunia dan kebahagiaan dunia saja.
Oleh karenanya ulama semacam inilah yang selalu mempergunakan kesempatan dalam
kesempitan, bahkan memutar balikkan fakta yang sebenarnya.
Ulama yang dikehendaki adalah mereka yang betul-betul menguasai ilmu keislaman
dan ilmu kealaman lainnya. Dengan demikian mereka akan menguasai dan mampu
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, terutama dalam
pemikiran hukum Islam di Indonesia. Mereka mampu menghadapai berbagai macam
tantangan yang dihadapi oleh umat dewasa ini, terutama hal ihwal yang tidak mempunyai
nas secara jelas.

b. Tugas dan Peran Ulama


Dalam kehidupan masyarakat berlaku peraturan, ada perundang-undangan, hukum
agama, adat istiadat, sopan santun, tata krama, dan tiap-tiap peraturan itu ada asal usulnya
serta masing-masing mengandung sanksi. Pelanggaran hukum negara akan dihukum,
pelanggaran hukum agama akan mendapat siksa di akhirat. Pelanggaran adat istiadat, sopan
santun dan tata krama akan mendapat sanksi dari masyarakat dan dinilai sebagai orang yang
rendah dan hina dalam masyarakatnya. Dan inilah yang paling biasa ditakuti oleh
masyarakat.
Tetapi justru yang tidak ditakuti oleh banyak masyarakat adalah sanksi agama,
karena sifatnya abstrak yakni di akhirat kelak. Dan di sinilah yang merupakan tugas dan
tanggungjawab negara termasuk para ulama. Negara boleh disebut sebagai wadah
masyarakat, apabila masyarakat kuat, negarapun akan kuat. Dengan demikian untuk
mencapai hal tersebut, maka ulama dan umara harus sejalan, tidak saling tumpang tindih
antara satu dengan lainnya.
Telah dipahami bahwa ulama adalah ahli waris nabi. Oleh karenanya, sesuai dengan
tugas kenabian dalam mengembangkan al-Qur'an, maka tugas dan peran ulama yang utama
ada empat, yaitu:
1) Menyampaikan ajaran al-Qur'an.
2) Menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an.
3) Memutuskan perkara yang dihadapi masyarakat.
4) Memberi contoh pengalam.

8
Dengan menjalankan amanah tersebut, maka ulama mempunyai tugas yang mulia.
Mustafa Said al-Khin, seorang ahli fikih kontemporer dari Suriah, mengatakan bahwa ulama
akan mendapat kedudukan lebih tinggi di surga dibanding yang bukan ulama. Alasannya
adalah karena ulama memiliki ilmu yang dimanfaatkannya untuk dirinya dan orang lain.
Oleh karena itu ulama hendaknya dijaga dan dihargai. Allah telah menjelaskan dalam al-
Qur'an bahwa orang yang beriman dan berilmu pengetahuan akan ditinggikan beberapa
derajat dibanding orang yang beriman tetapi tidak memiliki ilmu pengetahuan dan demikian
pula sebaliknya
Dalam kaitannya dengan tugas ulama, tentu berbeda dengan para nabi. Para nabi
memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh para ulama. Artinya ulama tidak dapat
mewarisi nabi secara sempurna. Ulama hanya sekedar berusaha untuk memahami alQur'an
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman ilmiah mereka, kemudian menyampaikan hasil
pemikirannya kepada masyarakat. Dari dalam usaha inilah para ulama dapat saja mengalami
kekeliruan ganda yaitu; pertama , pada saat memahami; dan kedua ; pada saat
memaparkan.25 Kekeliruan tersebut tidak mungkin dialami oleh nabi, sebagaimana
firmannya dalam Q. S. al-Isra (17): 105

Terjemahnya: Dan kami turunkan al - Qur'an dengan sebenar - benarnya dan al - Qur'an itu
telah turun dengan membawa kebenaran .Dan kami tidak mengutus kamu , melainkan
sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.
Oleh karena itu, peran yang dituntut dari para ulama adalah berlomba dalam berbuat
kebajikan, yang titik tolaknya adalah mendekati para nabi, sehingga mampu memecahkan
problem sosial yang dihadapinya. Ulama mempunyai sifat-sifat terpuji dalam masyarakat.
Sifat yang dimaksud adalah sabar terhadap tema yang menyakitkan lebih baik dari
mencacinya. Mencaci adalah lebih baik dari pada memutuskan silaturahmi adalah lebih baik
dari pada berkelahi.Sifat terakhir inilah yang paling merusak dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Untuk mencapai kemaslahatan dalam berbangsa dan bernegara, maka ulama
mempunyai peranan yang sangat penting, yakni sebagai nara sumber dalam
mengistimbatkan hukum. Ulama harus memahami betul sifat-sifat yang baik dan buruk.
Pemahaman tersebut menuntut adanya usaha pemecahaan problema-problema sosial yang
dihadapi. Pemecahan tidak mungkin dapat dicetuskan tanpa memahami metode integrasi
antara al-Qur'an dan perkembangan masyarakat yang heterogen. Karena fatwa ulama dalam

9
pemaparan dan penyajiannya menuntut kemampuan dalam memahami materi dan
berdasarkan situasi dan kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sementara itu
pengalaman menuntut penjelmaan kongkrit isi kandungan al-Qur'an dalam bentuk tingkah
laku, agar fatwa ulama itu dapat menjadi panutan bagi masyarakat luas.
Oleh karena itu fatwa ulama merupakan salah satu sumber dalam produk pemikiran
hukum Islam di Indonesia. Ulama yang dimaksud adalah orang alim yang betul-betul
menguasai seluk beluk hukum Islam. Dan ulama yang demikian sangat langka. Dan
kelangkaan ulama ini diakibatkan alih profesi, sehingga tugas-tugas ulama semakin berat.
Akibatnya banyak ulama mendapat tugas rangkap yang melebihi kemampuannya yang
akhirnya mengakibatkan kelumpuhan dan ketidak berdayaan tugas-tugasnya, masyarakat
bingung, ikut kepada siapa dan kemudian mengakibatkan kepada kesenjangan sosial.

c. Fatwa Ulama sebagai Produk Pemikiran Hukum Islam


Kalau ada masyarakat yang mengatasnamakan kelompok masyarakat luas berkata
bahwa orientasi kepada hukum-hukum agama hendaknya dikurangi. Alasannya karena hal
tersebut menimbulkan kejenuhan masyarakat terhadap hal-hal yang menimbulkan
kesenjangan, maka yang dilakukan itu tidak terlalu meleset dari kebenaran. Memang harus
diakui bahwa pelanggaran-pelanggaran dan pertentantangan-pertentangan atas hukum
agama itu terjadi perbedaan yang sulit untuk disatukan. Sebagai contoh umat Islam di
Indonesia selalu dua kali melaksanakan hari lebaran, baik idul fitri maupun idul adha.
Mestinya persoalan semacam ini yang menyelesaikan adalah para ulama dalam hal ini
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa. Bahkan ulil amri atau
organisasi-organisasi kemasyarakatan. Perbedaan-perbedaan semacam ini diakibatkan
dalam penggunaan akal dan pikiran yang beraneka ragam, dan belum diadakan undang-
undang yang mengatur tentang hal tersebut.
Bagi para ulama perlu sekali mengetahui hubungan akal dan pikiran di dalam
memahami agama, sehingga masing-masing mendapatkan proporsi yang sebenarnya. Jika
dipahami urusan agama khususnya hukum Islam, karena agama itu wahyu dari Allah, maka
akal dan pikiran itu ditempatkan sebagai alat pelengkap dalam memahami hukum Islam.
Sehingga dengan demikian kesenjangan hukum Islam dapat diselesaikan dengan tidak
membawa dampak negatif dalam masyarakat yang mempunyai komunitas heterogen.
Berbeda halnya apabila masyarakatnya mempunyai komunitas yang heterogen,
misalnya dalam lingkungan kampus khususnya pesantren, mereka mendengar dan mematuhi
fatwa ulama. Apa kata ulama maka itulah yang mereka laksanakan.

10
Untuk mecapai keberhasilan suatu fatwa, maka dikembangkan kepercayaan, nilai-
nilai, norma-norma, asumsi-asumsi dasar, tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan unik dari
suatu masyarakat. Pendekatan semacam ini disebut quchi sebagai te ori Z yang memiliki
tiga kunci pokok, yaitu:
1) Adanya saling percaya ( trust ).
2) Adanya hubungan timbal balik ( sublety ).
3) Adanya keakraban ( intimacy ).
Apabila ketiga kunci pokok tersebut dilaksanakan dengan baik, maka segala fatwa
dari seorang mufti akan didengar dan diterima oleh lapisan masyarakatnya, apalagi kalau
bersumber dari fatwa ulama. Karena demikian halnya, maka fatwa ulama dapat dijadikan
sumber pemikiran hukum Islam. Karenanya ulama harus mempunyai ilmu yang luas, sebab
masyarakat banyak menghadapi problem.
Ulama salaf sangat benci terhadap orang yang menganggap remeh batas-batas atau
kriteria-kriteria fatwa dan orang tidak spesialis dalam berfatwa. Seseorang yang mengakui
kemuftian orang sesudah itu mengetahui kebodohan dan kekeliruannya, ia adalah orang
yang termasuk berkepentingan, dan orang tersebut ikut berdosa. Para ulama telah
memberikan fatwa:
Barang siapa memberikan fatwa tapi bukan ahlinya, maka orang itu seorang
durhaka, dan barang siapa yang mengikutinya dia adalah orang yang durhaka pula.
Ulama usul memberikan syarat-syarat untuk dijadikan dasar untuk menjadi mufti,
yaitu:
1) Mengetahui tentang hadis yang berkaitan dengan hukum.
2) Mengetahui tentang tempat perkiraan hadis, baik syarah maupun matannya.
3) Jeli terhadap kriteria dan pendapat-pendapat.
4) Mengetahui tentang ta’adil dan tarjihnya.
5) Mampu menelaah jika membutuhkan untuk berfatwa.
6) Kalau ternyata ia memiliki kemampuan menghafal lebih baik dan lebih sempurna.
Kriteria untuk menjadi seorang mufti (yang mengeluarkan fatwa) sangat berat,
apalagi jika menyangkut persoalan ibadah yang tidak mempunyai sumber, baik alQur'an
maupun dari hadis. Terlebih-lebih lagi jika berkaitan dengan hukum Islam yang dijadikan
sebagai produk pemikiran hukum Islam di Indonesia yang dikenal dengan hukum nasional.
Hukum nasional di Indonesia merupakan kumpulan norma-norma hukum yang
hidup dalam masyarakat yang berasal dari unsur-unsur hukum Islam, hukum adat, dan
hukum modern (hukum Barat). Hukum Islam di Indonesia merupakan peraturanperaturan
yang diambil dari al-Qur'an dan hadis, diformulasikan ke dalam empat produk pemikiran

11
hukum, yaitu fikih, fatwa ulama, keputusan pengadilan, dan undangundang yang
dipedomani dan diberlakukan bagi umat Islam di Indonesia. Fatwa ulama merupakan salah
satu unsur pembentukan hukum Islam di Indonesia.
Secara umum telah diketahui mengapa hukum Islam tidak diberlakukan secara
keseluruhan. Pada hal secara normatif, corak hukum Islam telah hidup dan berkembang di
Indonesia. Hazairin dalam pidatoinya tahun 1951, ia mempersoalkan mendirikan mazhab
sendiri di Indonesia, yang disebut sebagai mazhab nasional/mazhab Indonesia yang
langsung mempunyai kepentingan kemasyarakatan. Bukan berarti menyimpang dari imam-
imam mazhab, karena kebutuhan dan perkembangan zaman yang selalu berubah-ubah.
Penegasan itu mengandung beberapa hal yang fundamental bagi pembaharuan hukum Islam
di Indonesia, yaitu:
1) Perlunya pemberian corak kenasionalan bagi perkembangan hukum Islam di
Indonesia, dengan merangkumnya dalam suatu mazhab nasional yang menonjolkan
hal-hal yang sifatnya spesifik.
2) Dalam rangka pemberian identitas nasional terhadap hukum Islam Indonesia,
diadakan pembedaan dalam dua bidang; pertama, hukum Islam yang berkenaan
dengan masalah ibadah yang sifatnya tidak langsung bersangkut paut dengan
persoalan kemasyarakatan; kedua, hukum Islam langsung berkenaan dengan
kemasyarakatan.
3) Mazhab Syafi’i masih hidup dan dipertahankan untuk bidang hukum Islam yang
berkenaan dengan ibadah. Sedangkan bidang yang berkenaan dengan soal
kemasyarakatan kita dirikan mazhab nasional/mazhab Indonesia dan melepaskan diri
dari mazhab syafi’i dalam artian mengembangkan, mengubah dan memperbaiki
mazhab itu.
4) Untuk pembentukan mazhab nasional diperlukan lahirnya mujtahid baru yang
bercorak nasional untuk melakukan ijtihad/penerapan hukum Islam sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. 5) Pembaharuan dan pengembangan
hukum Islam di Indonesia perlu disalurkan dalam suatu ikatan mazhab bukan ijtihad
pribadi.

Fatwa Hazairin tersebut merupakan salah satu fatwa ulama yang merupakan produk
pemikiran hukum Islam di Indonesia. Dengan demikian, nyatalah bahwa fatwa ulama
merupakan produk pemikiran hukum Islam di Indonesia. Sebagai bukti lain adalah dengan
maraknya konsep pemberlakuan syariat Islam diberbagai provinsi di Indonesia, yang
merupakan hasil dari pembaruan hukum Islam.

12
Pembaruan hukum Islam/hukum Islam kontemporer di Indonesia disebabkan
terbukanya pintu ijtihad. Walaupun ada pendangan bahwa ijtihad itu hanya dapat dilakukan
oleh ulama besar pembangun mazhab seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Iman
Syafi’i, dan Imam Ahman bin Hanbal. Ulama yang membolehkan pembaruan hukum Islam
memandang bahwa ijtihad bukan suatu pekerjaan yang ringan, tetapi ia merupakan suatu
pekerjaan yang memerlukan daya upaya semaksimal mungkin dengan syarat yang ketat.
Oleh karena itu ijtihad sangat diperlukan terutama dalam memecahkan persoalan-persoalan
hukum yang setiap saat muncul dalam masyarakat, sedangkan nas-nas sangat terbatas dalam
menghadapi kondisi masyarakat modern. Upaya pembaruan hukum Islam dewasa ini
tentunya berbeda dengan ujtihad masa lalu, sebab persoalan yang dihadapi oleh umat
dewasa ini semakin kompleks. Pemecahan persoalan yang semakin kompleks itu,
memerlukan berbagai macam pendekatan disiplin ilmu, bukan saja pengkajian dari aspek
hukum belaka, melainkan memerlukan pengkajian ilmu secara interdsipliner, seperti ilmu
politik, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya.
Menyikapi persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat majemuk, tidak
mudah dipecahkan oleh ijtihad secara perorangan, tetapi dapat diselesaikan dan dipecahkan
secara bersama dengan menggunakan logikan dan pendekatan ilmu secara interdisipliner.
Oleh karena itu bentuk metode yang digunakan dalam pembaruan hukum Islam
kontemporer terutama di Indonesia adalah metode kolektif dan atau metode kompilasi.
Permasalahan majemuk yang dihadapi masyarakat Islam tidaklah mudah
menyelesaikan dengan metode ijtihad fardi, tetapi dengan menggunakan metode ijtihad
jama’i. metode jama’i ini bisa disebut dengan metode kolektifatau metode kompilasi.
Metode ijtihad fardi merupakan ijtihad yang dilakukan secara sendiri tanpa
kesepakatan mujtahid terhadap suatu permasalahan. Metode ijtihad jama’i merupakan suatu
bentuk ijtihad terhadap suatu masalah yang dilakukan oleh mujtahid atau para ahli dari
berbagai disiplin ilmu. Metode jama’i biasa disebut dengan metode kolektif, dan dalam
pembaruan hukum Islam di Indonesia disebut dengan kompilasi.
Kolektif menurut bahasa artinya secara bersama atau secara gabungan, dan
kompilasi merupakan kumpulan yang tersusun secara teratur. Metode jama’i atau kolektif
sering digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengeluarkan fatwa tentang
putusan hukum yang muncul dalam masyarakat Islam. Sedangkan metode kompilasi
merupakan suatu bentuk atau metode yang digunakan sebagai pedoman dalam menemukan
materi hukum, baik yang lama maupun yang baru, tetapi lebih difokuskan pada persoalan
yang akurat atau masalah kekinian (tertuang dalam bentuk buku).

13
Bentuk metode kolektif yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia ialah seperti
pada kasus perkawinan beda agama, yakni: Seorang laki-laki muslim dilarang mengawini
wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab
terdapat perbedaan pendapat. Akan tetapi setelah mempertimbangkan mafsadahnya lebih
besar dari maslahatnya, maka MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.
Pengharaman ini merupakan suatu pembaruan hukum Islam dengan pertimbangan, bukan
saja dilihat dari segi muamalah tetapi juga dari aspek ikidah dan ibadah lainnya. Sebab
kalau dalam rumah tangga terjadi dualisme agama maka keharmonisan dalam menjalankan
ibadah tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal. Misalnya yang satu membolehkan untuk
melaksanakan sesuatu pekerjaan sedangkan yang lain melarang bahkan mengharamkan.
Kalau terjadi dualisme keinginan yang sifatnya mendasar, maka tujuan dari
perkawinan itu tidak dapat tercapai. Sedangkan tujuan pokok dari perkawinan dalam sebuah
rumah tangga adalah menciptakan keluarga yang harmonis, tenteram lahir dan batin.
Ketenangan dapat diperoleh jika persamaan emosional secara mendasar adalah sama dalam
hal ini satu agama, artinya sedangkan satu keyakinan dalam rumah tangga belum tentu
melaksanakan ibadah dengan baik, apalagi kalau berbeda keyakinan.
Selain menyangkut keyakinan, juga diatur secara jelas mengenai keturunan yang sah
berdasarkan hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia juga telah menyepakati hasil kemajuan
teknologi tentang bayi tabung yang tidak diatur dalam nas maupun fikih klasik, bahwa
hukum dari inseminasi buatan/bayi tabung ada yang boleh/halal dan ada yang diharamkan.
Inseminasi buatan/bayi tabung hukumnya boleh atau halal apabila sperma dan ovum
yang diambil dari pasangan suami istri yang sah. Inseminasi buatan/bayi tabung hukumnya
haram bila sperma dan ovum diambil dari pasangan suami istri untuk istrinya yang lain,
apalagi kalau bukan pasangan suami isteri. Dari keputusan MUI tersebut memberi peluang
bagi pasangan suami istri yang sah untuk mendapatkan keturunan dengan jalan bayi tabung
dari sperma kedua pasangan suami istri yang sah itu. Adanya kebolehan bayi tabung itu
karena hasil dari kemajuan teknologi dan tidak ditemukan dalam fikih klasik maupun dalam
al-Qur’an dan hadis, dengan syarat dari, oleh, dan untuk kedua pasangan suami istri yang
sah berdasarkan hukum Islam. Keputusan MUI ini merupakan hasil dari metode pembaruan
hukum Islam yang bersumber dari kesepakatan bersama yang disebut dengan metode
kolektif.
Demikian halnya masalah merokok, di Indonesia kebanyakan ulama berpendapat
bahwa merokok hukumnya makruh, termasuk pendapat seorang guru besar hukum Islam
UIN Alauddin Makassar (H. A. Qadir Gassing). Larangan tentang merokok tidak ada ayat
dan hadis yang melarang secara tegas, namun kaidah usul fikih mempunyai pertimbangan

14
dengan konsep mafsadat (dampak negatif) dan maslahat (dampak positif). Kedua kaidah
usul fikih ini bila diperhadapkan dengan masalah hukum, maka yang lebih diutamakan
adalah mencegah kerusakan atau dampak negatifnya daripada manfaatnya atau dampak
positifnya. Penetapan hukum tentang merokok merupakan hasil dari produk pemikiran
hukum Islam di Indonesia melalui fatwa ulama, kendatipun fatwa ulama merupakan suatu
keputusan yang tidak mengikat pada masyarakat karena tidak mempunyai sanksi hukum
pidana.
Pembaruan hukum Islam di Indonesia bila ditinjau dari pendekatan yurudis formal,
dapat ditemukan pada Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam. Kompilasi inilah yang merupakan metode pembaruan hukum Islam kontemporer
berdasarkan materi hukum Islam di Indonesia. Lahirnya KHI di Indonesia karena persoalan
yang dihadapi umat Islam semakin kompleks dan belum memperlihatkan hukum Islam
sebagai suatu hukum yang dipedomani dalam berbangsa dan bernegara.
Persoalan dikatakan kompleks, karena berlakunya hukum Islam di Indonesia
tergantung pada umat Islam sebagai umat mayoritas yang merupakan faktor pendukung
utama. Hukum Islam telah dilaksanakan di Indonesia selama kurun waktu ribuan tahun,
namun belum memperlihatkan dirinya sebagai hukum yang utuh berdasarkan konsep dasar
al-Qur’an dan Hadis. Kenyataan tersebut merupakan sebuah refleksi berlangsungnya proses
Islamisasi secara berkesinambungan, yang berpacu dengan kemajuan dan perkembangan
zaman.
Melihat proses Islamisasi perkembangan dan pembaruan hukum Islam di Indonesia,
dapat dilihat beberapa contoh pada KHI yang mengalami pembaruan, antara lain:
menyangkut harta gono-gini atau harta bersama suami istri (dalam fikih klasik tidak
ditemukan); bagian ayah dan ibu sama-sama bagiannya (masing-masing 1/3 dan atau 1/6,
sedangkan dalam al-Qur’an bagian ayah 1/6 atau mendapat sisa); ahli waris pengganti
(dalam fikih klasik tidak ditemukan ahli waris pengganti melainkan kasus munasakhah); dan
sebagainya.
Kalau tidak menggunakan metode yang sama dalam proses pemberlakuan hukum
Islam di Indonesia, maka akan mengakibatkan kerancuan dan ketidakberaturan materi
hukum yang diberlakukan. Dengan demikian, masyarakat dengan mudah dipermainkan oleh
penguasa dan atau oleh penegak hukum. Akan tetapi kalau dasar hukum dan metode yang
digunakan dalam pembaruan hukum itu, hasilnya pun akan meminimalisasi kerancuan dan
kecurangan dalam pemberlakuan materi hukum itu. Sebab tujuan utama dalam menerapkan
hukum adalah untuk melahirkan masyarakat yang hidup teratur dan tenteram yang akhirnya
hidup bahagia.

15
C . Produk Pemikiran Yurisprudensi
Yurisprudensi teridiri atas dua kata, yakni yuris dan prudensi (prudensial). Yuris
artinya ahli hukum atau sarjana hukum, dan prudensial artinya bersifat
bijaksana.Yurisprudensi adalah ajaran hukum melalui peradilan atau himpunan putusan
hakim. Kata jurisprudence (Inggris) artinya ilmu hukum. Yurisprudensi dalam bahasa latin
ialah ius/iuris berarti hukum dan prudentia berarti keahlian atau kecakapan, sehingga
yurisprudensi berarti keahlian atau kemampuan dalam bidang hukum. Yurisprudensi
merupakan ilmu tentang prinsip-prinsip utama hukum yang mengkhususkan diri pada
bidang hukum dalam berbagai aspeknya: analisis tradisionalnya, sejarah asal mula dan
perkembangannya, serta karakter ideal hukum tersebut.48 Dalam Kamus Hukum
yurisprudensi tertulis jurisprudentie (Belanda) adalah putusan-putusan pengadilan yang
dapat dianggap suatu sumber hukum, karena bila sudah ada suatu yurisprudensi yang tetap,
maka akan selalu diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya.49 Oleh karena
itu, yurisprudensi merupakan serangkaian keputusan majelis hakim yang kemudian
dirangkum dalam suatu putusan pengadilan untuk dipedomani oleh para hakim dalam
pemberlakuan peraturan hukum untuk mengadili dan memutuskan perkara yang serupa.
Yurisprudensi yang paling tinggi kekuatan hukumnya adalah keputusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
Produk pemikiran yurisprudensi merupakan hasil pemikiran hukum Islam dari
keputusan Pengadilan Agama, keputusan Pengadilan Tinggi Agama, dan keputusan
Mahkamah Agung, sehingga dijadikan sebagai hasil dari formulasi hukum Islam yang
kemudian melahirkan keputusan hukum tetap dan mengikat.
Yurisprudensi sebagai salah satu dasar hukum di Indonesia, sangat memegang
peranan penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam. Kedudukan
yurisprudensi dalam penerapan hukum Islam sangat penting, sebab yurisprudensi disusun
secara sistematis dan metodologis untuk dapat memahami sumber pokok hukum Islam,
yakni al-Qur’an dan hadis. Al-Qur’an dan hadis memuat peraturanperaturan dasar atau
pokok-pokoknya, sehingga diperlukan alat bantu untuk lebih memahami ajaran dasar
tersebut seperti yurisprudensi. Pemberlakuan yurisprudensi sebagai bagian dari jenis-jenis
produk pemikiran hukum Islam, dapat menghasilkan berbagai materi hukum Islam seperti
yang tersusun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia.
Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, mulanya
dikemukakan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali,
M.A. pada bulan Februari 1985 di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Mulai saat itu para

16
akademisi dan praktisi hukum Islam mulai menggelinding dan mendapat respons yang
positif. Malahan Presiden Republik Indonesia (Soeharto) mengambil prakarsa untuk
melahirkan gagasan mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Pada tanggal 25
Maret 1985, Mahkamah Agung dan Menteri Agama mengeluarkan keputusan dan
menandatangani bersama di Yogyakarta berdasarkan Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25
Tahun 1985.
Penandatanganan tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak di depan Ketuaketua
Pengadilan Tinggi Agama, Ketua-ketua Pengadilan Tinggi, dan Ketua-ketua Pengadilan
Tinggi Militer se-Indonesia. Isi dari keputusan bersama tersebut adalah proyek
“Pengembangan Hukum Islam melalui Yuriprudensi.” Yurisprudensi itu dinamakan
Kompilasi Hukum Islam yang dilaksanakan oleh sebuah tim pelaksana proyek. Tugas dari
tim pelaksana proyek tersebut mengkompilasikan aturan hukum Islam yang diambil dari
berbagai sumber dan mencakaup seluruh wilayah Indonesia. Sehingga pada tanggal 10 Juni
1991 keluarlah Instruksi Preseden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam dan diperkuat oleh Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991
Tanggal 10 Juni 1991. Materi KHI tersebut memuat tiga buku, buku pertama memuat
tentang perkawinan, buku kedua memuat tentang kewarisan, dan buku ketiga memuat
tentang perwakafan.
Yurisprudensi tertinggi dalam hal ini Mahkamah Agung dapat membatalkan
putusan pada tingkat Pengadilan Tinggi Agama. Putusan PTA tersebut dibatalkan oleh
Mahkamah Agung oleh karena adanya pertimbangan hukum yang lebih kuat, sehingga
Mahkamah Agung melahirkan yurisprudensi.

D. Produk Pemikiran Undang - Undang


Lahirnya produk pemikiran undang-undang tidak dapat dipisahkan dengan hasil
produk hukum lainnya. Undang-undang lahir setelah mendapat renspons positif dari
masyarakat, terutama di kalangan lembaga legislatif dan lembaga-lembaga peradilan.
Masyarakat yang taat pada hukum, berarti ia telah menerapkan peraturan
perundangundangan, sebab undang-undang merupakan bagian dari tata kehidupan dalam
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Undang-undang meliputi berbagai aspek, baik aspek hukum, polititik maupun sosial-
budaya lainnya. Undang-undang menurut bahasa Indonesia adalah: Ketentuan dan peraturan
negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dan sebagainya), disahkan
oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat, badan legislatif, dan sebagainya), ditandatangani

17
oleh kepala negara (presiden, kepala pemerintah, raja, dan sebagainya), dan mempunyai
kekuatan mengikat; aturan yang dibuat oleh orang atau badan yang berkuasa; hukum dalam
arti patokan yang bersifat alamiah atau sesuai dengan sifat-sifat alam.
Tetapi undang-undang yang dimaksudkan adalah peraturan negara yang dibuat oleh
pemerintah dalam hal ini presiden bersama menterinya, disahkan oleh DPR, dan
ditandatangani oleh presiden, kemudian dibuatkan peraturan pemerintah dan peraturan
menteri (permen) sebagai pedoman dalam implementasi pada masyarakat.
Hasil produk pemikiran hukum telah dituangkan dalam undang-undang dan
peraturan-peraturan lainnya dalam kerangka hukum Islam yang meliputi undangundang,
peraturan pemerintah, keputusan presiden/peraturan presiden (perpres) atau instruksi
presiden, keputusan/peraturan atau instruksi menteri (menag), dan lembaga tinggi lainnya.
Peraturan-peraturan tersebut meliputi tentang: Peradilan Agama; hukum keluarga Islam
(perkawinan, kewarisan, dan perwakafan); ibadah sosial ekonomi; pendidikan dan kesehatan
Islami; ekonomi syari’ah/ekonomi Islami; dan peraturan lainnya. Lembaga Peradilan Agama
dalam pengembangannya semakin kompleks apalagi dengan menyatunya lembaga-lembaga
peradilan di Mahkamah Agung.

a. Peradilan Agama:

1. Staatblaad Nomor 152 Tahun 1882 Tentang Peraturan Peradilan Agama Islam di Jawa
dan Madura.

2. Staatblaad Nomor 638 Tahun 1937 Jo. Nomor 639, Ordonansi Tentang Peradilan Agama
untuk Sebagian Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

3. Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-tindakan Sementara


untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-pengadilan
Sipil.

4. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1955 Tentang Perubahan UndangUndang


Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menye-
lenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Pengadilan


Agama/Mahkamah Syari’ah di Luar Jawa Madura.

6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 Tentang Penetapan Semua UndangUndang


Darurat dan Semua nPeraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang yang Sudah Ada
Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi UndangUndang.

18
7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

8. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor


14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

10. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1990 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

12. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang


ini menghapus Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman termasuk amandemennya.

13. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Revisi UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama tersebut merupakan inisiatif DPR dan pemerintah. Tanggal 13
Februari 2006 diadakan raker untuk membahas RUU tersebut, dan tanggal 20 Februari 2006
dilaksanakan pembicaraan tingkat kedua sebagai pengambilan keputusan mengenai RUU
tersebut, yang pada akhirnya disahkan dan diundang pada tanggal 28 Februari 2006. Inti
dari undang-undang tersebut adalah pengembangan materi hukum terutama pasal 49
undang-undang tersebut.

b. Hukum Keluarga Islam (Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan):

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor


1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

3) Instrukasi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang


Tanggal 21 November 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk di Seluruh Daerah
Luar Jawa dan Madura.

5) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban Pegawai Pencatat
Nikah dan Tata Kerja Peradilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-
Undangan Perkawinan Bagi yang Beragama Islam.

19
6) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil.

7) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Petunjuk Pelaksanaan PP.
Nomor 10 Tahun 1983.

8) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Tentang Wali Hakim.

9) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP. Nomor 10
Tahun 1983.

10) Surat Edaran Badan Administrasi Negara Nomor 48 Tahun 1990 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan PP. Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan PP. Nomor 10 Tahun 1983.

11) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1994 Tentang Pengertian Pasal 177
Kompilasi Hukum Islam (ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian).

12) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

13) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1961 Tentang Permintaan dan Pemberian Izin
Pemindahan Hak Atas Tanah.

14) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badanbadan Hukum
yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.

15) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.

16) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 Tentang Tata Pendaftaran Tanah
Mengenai Perwakafan Tanah Milik.

17) Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelaksanaan PP.
Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.

18) Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 Tentang Pendelegasian Wewenang
Kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi/Setingkat di Seluruh
Indonesia.

c. Ibadah Sosial Ekonomi:

1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Penye-lenggaraan Ibadah Haji.

2) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.

20
3) Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2001 Tentang Badan Amil Zakat Nasional.

4) Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Pengelolaan
Zakat.

5) Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat.

d. Pendidikan dan Kesehatan Islami:

1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

e. Ekonomi Syari’ah/Ekonomi Islami:

1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun


1992 Tentang Perbankan.

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

4) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2 Tahun 2000 Perihal Penilaian Aktiva Produktif
dalam Penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko.

5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/7/PBI/2003 Tentang Kualitas Aktiva Produkif Bagi
Bank Syari’ah.

6) Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/9/PBI/2003 Tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva


Produktif Bagi Bank Syari’ah.

f. Peraturan Lainnya:

1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

2) Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 Tentang Mahakamah Syari’ah dan


Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

21
3) Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan
Zakat.

4) Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2004 Tentang Tugas
Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam.

5) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

Salah satu sumber untuk mendapatkan pengembangan materi hukum dalam


masyarakat adalah melalui sosiologi hukum, sehingga muncul paradigma sosiologi hukum,
yaitu hukum diartikan dalam berbagai aspek yang meliputi:

 hukum sebagai ilmu pengetahuan;


 hukum sebagai suatu disiplin ilmu;
 hukum sebagai peraturan perundang-undangan atau kaidah;
 hukum sebagai tatanan hukum;
 hukum sebagai lembaga sosial;
 hukum sebagai alat dan petugas;
 hukum sebagai keputusan penguasa;
 hukum sebagai nilai;
 hukum sebagai tindak-tanduk perbuatan;
 hukum sebagai seni; dan lain-lain.

Secara umum dipahami bahwa hukum Islam merupakan peraturan yang telah
dibakukan di Indonesia untuk dijadikan sebagai peroduk pemikiran hukum di Indonesia.
Hukum Islam juga merupakan bagian dari hukum nasional, karena hukum nasional yang
berlaku di Indonesia adalah bersumber dari tiga sumber hukum, yaitu hukum adat, hukum
Barat, hukum Islam.

Sebenarnya hukum Islam telah lama dikenal di Indonesia yakni sejak zaman
kesultanan dan penjajahan hingga pasca kemerdekaan. Tetapi hukum Islam dijadikan
sebagai hukum nasional bagi umat Islam setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pada tanggal 20 Desember 1989. Kemudian
diperkuat lagi setelah penyatuan atap lembaga-lembaga peradilan di Mahkamah Agung
Republik Indonesia hingga dikeluarkannya amandemen undangundang tersebut.

Hasil amandemen undang-undang tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 3


Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama yang diundangkan pada tanggal 20 Maret 2006. Hasil dari amandemennya

22
adalah pengembangan materi hukum Islam di Indonesia, termasuk ekonomi syari’ah dan
bagian-bagiannya telah menjadi kewenangan Peradilan Agama. Perluasan kewenangan
Peradilan Agama tersebut adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengembangan materi hukum Islam ke


depan bukan hanya terbatas pada bidang-bidang perdata saja, tetapi juga pada bidang
pidana. Misalnya, tindakan kekerasan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga (kdrt) ke
depan akan dimuat dan diatur dalam lingkungan Peradilan Agma. Jika kasus yang terjadi
dalam rumah tangga tersebut adalah umat Islam, maka yang menyelesaikan adalah
Pengadilan Agama walaupun ada unsur pidananya. Hal ini terbukti dengan perluasan
wilayah kewenangan Peradilan Agama pada bidang ekonomi umat Islam secara luas yang
disebut ekonomi syari’ah. Undang-undang lahir adalah memerlukan waktu yang cukup
lama, tidak semudah membalik kedua telapak tangan, undang-undang pun membutuhkan
sosialisasi pada masyarakat luas, sehingga dalam implementasinya dapat dipatuhi oleh
segala lapisan masyarakat Indonesia.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Uraian tentang jenis-jenis produk pemikiran hukum Islam di Indonesia, dapat


disimpulkan sebagai berikut:
 Produk pemikiran fikih merupakan jenis produk pemikiran hukum
Islam di Indonesia yang melahirkan berbagai jenis buku yang
dipedomani dalam menemukan hukum, sekaligus dijadikan sebagai
sumber hukum seperti buku Kompilasi Hukum Islam (KHI) di
Indonesia.
 Produk pemikiran fatwa ulama merupakan jenis produk pemikiran
hukum Islam di Indonesia yang berasal dari pemikiran ulama secara
kolektif, kemudian dituangkan dalam bentuk fatwa untuk menetapkan
hukum, seperti fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
 Produk pemikiran keputusan pengadilan (yurisprudensi) merupakan
jenis produk pemikiran hukum Islam di Indonesia yang berasal dari
pemikiran majelis hakim, kemudian dihimpun dan dijadikan sebagai
keputusan pengadilan. Keputusan pengadilan tersebut dijadikan
sebagai sumber untuk menetapkan hukum, dipedomani oleh para
hakim sebagai sebagai sumber hukum terutama yang masalah-
masalah baru yang serupa dengan yurisprudensi tersebut. Keputusan
pengadilan/mahkamah itu adalah sifatnya mengikat bagi hakim dan
para pencari keadilan.
 Produk pemikiran undang-undang merupakan jenis produk pemikiran
hukum Islam di Indonesia yang berasal dari pemikiran para pakar
hukum, akademisi, politisi, dan instansi terkait. Hasil dari pemikiran
hukum tersebut dirancang oleh eksekutif (pemerintah); dibahas,
diputus, dan ditetapkan oleh legislatif (DPR); disahkan oleh presiden.
Undang-undang tersebut tidak serta merta dilaksanakan/diterapkan,
karena harus menunggu petunjuk teknis baik berupa peraturan
pemerintah (PP) maupun keputusan menteri (kepmen) kini disebut
sebagai peraturan menteri (permen), sehingga bersifat mengikat.

24
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an. Abdurrahman, H. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia . Cet. III;


Jakarta: CV
Akademika Pressindo, 2001. Ahmad, Amrullah. dkk. Dimensi Hukum Islam
dalam Sistem Hukum Nasiona.l (Cet. I; Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Ahmad, Zainal Abidin. Piagam Nabi Muhammad saw .: Konstitusi Negara
Tertulis yang Pertama di Dunia . Cet. I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1973.
Arifin, Imron. Kepemimpinan Kyai. Cet. I; Malang: Kalimasahada Press,
1993.
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maq as id Syar i 'ah Menurut al - Sya ti bi. Cet. I;
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.
Dahlan, Abdul Azis et al. Ensilopedi Hukum Islam . Cet. V; Jakarta: Ichtiar
Baru van Houve, 2001.
Departemen Agama RI. Al - Qur'an dan Terjemahnya. Semarang: Toha
Putra, 1989.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Edisi
Ketiga. Cet I; Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Cet. XX;
Jakarta: PT Gramedia, 1992.
Gassing, H. A. Qadir. “Merokok dalam Kajian Islam”, materi pada diskusi
bulanan ke6 tahun VI DPP IMMIM yang bekerja sama
dengan Yayasan Jantung Indonesia Cabang Utama Sulawesi
Selatan tanggal 24 Juni 2006. Makassar: DPP IMMIM, 2006.
Al-Ghazali, Imam. Ihya ‘Ulum al - Din. Alih Bahasa M. Abdul Mudjib
dengan judul, Ciri – ciri Ulama Dunia Akhirat Bahaya Ilmu
Pengetahuan Masa Kini. Surabaya: Mahkota, 1986.
Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam . Cet. III; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002.
Ibrahim, Mahyuddin. Nasehat 25 Ulama Besar. Cet. I; Jakarta: Darul Ulum,
1987.
Iqbal, Mashuri Sirojuddin dan Ii Sufyana M. Bakri. Men cari Cahaya dari
Ilmu Ulama. Cet. I; Bandung: Sinar Baru, 1994.
Hallaq, Wael B. Sejarah Teori Hukum Islam , Edisi I. Cet. II; Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2001.
Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilmu Ushul al - Fiqh. Alih bahasa Noer Iskandar al-
Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer dengan Judul, Kaidah -
kaidah Hukum Islam. Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1993.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Yurisprudensi. Jakarta: Mahkamah
Agung, 2002.

25
Majelis Ulama Indonesia. Keputusan Musyawarah Nasional II MUI - Majal
ah Mimbar Ulama Nomor 171 tahun XVI April 1992. Jakarta:
Sekretariat MUI, 1992.
Munawwir, Ahmad Warson. Al - Munawwir Kamus Arab - Indonesia,
ditelaah dan dikoreksi oleh K.H. Ali Ma’shum dan K.H.
Zainal Abidin Munawwir. Cet. XIV; Surabaya: Pustaka
Progrssif, 1997.
Prodjokusumo H. S. dkk. Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Masjid Istiqlal,
1986.
Qardhawi, Yusuf. Ikut Ulama yang Mana; Etika Berfatwa dan Mufti - mufti
Masa Kini. Kairo: t. tp. 1406 H./1988 M.
Redaksi Sinar Grafika. Amandemen Undang - Undang Peradilan Agama.
Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Republik Indonesia. Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam . Dituangkan pula dalam Kepmen Agama Nomor 154
tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres Nomor 1 tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987
Tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
UndangUndang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Peradilan
Agama.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Hukum - hukum FikihIslam . Cet. V; Jakarta:
Bulan Bintang, 1978. -. T.M. Hasbi. Pengantar Ilmu Fikih.
Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1991. Pengantar Hukum
Islam . Edisi ke-2. Cet. I; Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
1997.
Shihab, M. Quaraish. Membumikan al - Qur'an. Cet. XV; Bandung: Mizan,
1418 H/1997 M.
Simongkir, J.C.T. dkk. Kamus Hukum. Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Sudarsono. Kamus Hukum . Edisi Baru. Cet. II; Jakarta: PT Rineka Cipta,
1999.
Syarifuddin, Amir. Garis - garis Besar Fiqh . Cet. I; Jakarta: Prenada Media,
2003.

26
Surat Keputusan MUI Nomor Kep.925/XI/1990, tanggal 26 November 1990,
tentang
Inseminasi Buatan. ‘Umri,Nahdiyah Syarif. al Ijtihad fi al-Islam: Ushuluh,
Ahkamuh wa Afaquh . Beirut:

27

Anda mungkin juga menyukai