The Rose Society

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 481

THE ROSE SOCIETY

Diterjemahkan dari The Rose Society


Karya Marie Lu
Copyright© Xiwei Lu, 2015
All rights reserved including the right of reproduction
in whole or in part in any form.
This edition published by arrangement with G.P. Putnam's Sons,
a division of Penguin Young Readers Group,
a member of Penguin Group (USA) Inc.
Diterbitkan oleh Penguin Group (USA) Inc., New York, 2015
All rights reserved
Hak terjemahan ke dalam bahasa Indonesia
ada pada Penerbit Mizan
Penerjemah: Prisca Primasari
Penyunting: Dyah Agustine
Proofreader: Emi Kusmiati
Desain sampul: Windu Tampan
Digitalisasi: Nanash
Hakcipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Oktober 2016
Diterbitkan oleh Penerbit Mizan
PT Mizan Pustaka
Anggota IKAPI
Jin. Cinambo No. 135 (Cisaranten Wetan),
Ujungberung, Bandung 40294
Telp. (022) 7834310 - Faks. (022) 7834311
e-mail: [email protected]
http://www.mizan.com
facebook mizan fantasi
twitter: @mizanfantasi

IS.BN 978-979-433-993-0

E-book ini didistribusikan oleh


Mizan Digital Publishing
Jin. Jagakarsa Raya No. 40,
Jakarta Selatan 12620
Telp. +6221-78864547 (Hunting); Faks. +62-21-788-64272
website: www.mizan.com
e-mail: [email protected]
twitter: @mizandotcom
face book: mizan digital publishing
Untuk Cassie,
saudariku selamanya, apa punyang terjadi.
THE
....... =- .,,,-
rIte Ember ls-let
<�;9t,�
·��!.;.,'
Adelina Amouteru

� ewaktu aku kecil, ibuku biasa menghabiskan sore-sore


�yang panjang dengan menceritakan dongeng-dongeng
kuno untukku. Aku mengingat salah satu dongeng itu de-
ngan cukup baik.
Pada suatu hari, seorang pangeran serakah jatuh cinta
kepada seorang gadis jahat.
Sang Pangeran telah memiliki segalanya lebih dari yang
dia butuhkan, tetapi tidak pernah merasa cukup. Sewaktu
sakit, sang Pangeran mengunjungi Kerajaan Sam udra-
tempat Alam Kematian berpapasan dengan alam kehidup-
an-untuk memohon umur yang lebih panjang kepada
Moritas, dewi Kematian. Namun, sang Dewi menolak. Sang
Pangeran pun mencuri emas abadi milik dewi terse but, lalu
kabur menuju permukaan samudra.
Demi membalas dendam, Moritas mengirim putrinya,
Caldora sang Malaikat Kemarahan, untuk menangkap sang
Pangeran. Caldora muncul dari buih-buih lautan pada ma-
lam yang hangat dan berbadai. Dia mengenakan sutra perak,
tampak seperti hantu yang luar biasa cantik di tengah-te-
ngah gumpalan kabut. Sang Pangeran berlari ke dermaga
untuk menyambutnya. Caldora tersenyum dan menyentuh
pipi sang Pangeran.

9
Marie Lu

"Apa imbalan yang sanggup kau berikan demi menda-


patkan kasih sayangku?" tanya Caldora. "Bersediakah kau
berpisah dari kerajaan, prajurit, dan permata-permatamu?"
Sang Pangeran, dibutakan oleh kecantikan Caldora
serta keinginan untuk membual, mengangguk. 'Apa pun
yang kau inginkan," jawabnya. 'Aku pria terhebat di dunia.
Bahkan, dewa-dewa pun bukan tandinganku."
Maka, sang Pangeran menghibahkan kerajaan dan per-
matanya kepada Caldora. Caldora menerima persembahan
itu sambil tersenyum, sekaligus membongkar wujud asli-
nya-berupa tulang belulang, memiliki sirip, dan sangat
mengerikan. Dia membakar habis kerajaan sang Pange-
ran dan menenggelamkan sang Pangeran ke Alam Kema-
tian, tempat Moritas sedang menunggu dengan sabar. Sang
Pangeran sekali lagi memohon maaf pada sang Dewi. Na-
mun, terlambat. Sebagai ganti emas yang dicuri itu, Moritas
melahap jiwa sang Pangeran.
Aku memikirkan cerita ini selagi berdiri bersama adik-
ku di dek kapal dagang, me man dang dermaga negara bagian
Merroutas yang menjulang dalam kabut pagi hari.
Suatu saat nanti, ketika aku sudah menjadi tak lebih
dari sekadar debu dan angin, kisah apakah yang akan me-
reka sampaikan tentangku?
Pada suatu hari, seorang gad is memiliki ayah, pangeran,
dan sekelompok teman.
Kemudian, mereka mengkhianatinya, dan dia pun meng-
hancurkan mereka semua. D

10
Negara Bagian Merroutas
Sea land
Mereka kilatan cahaya di langit berbadai, kegelapan yang
mengapung sebelum fajar. Mereka tidak pernah ada sebelumnya,
dan tidak akan pernah ada lagi.
-sumber yang tak diketahui tentang Elite-Elite Muda

Adelina Amouteru

t17'V urasa dia di sini."


'K\,Aku terbangun dari lamunan saat mendengar sua-
ra Violetta. "Hmmm?" gumamku, menggandeng lengannya
sementara kami melangkah di tengah-tengah jalanan ra-
mai.
Bibir Violetta berkerut dengan kekhawatiran yang ti-
dak asing lagi. Dia tahu perhatianku sedang teralih, tetapi
syukurlah dia memutuskan untuk tidak membahasnya.
"Kubilang, kurasa dia di sini. Di alun-alun utama."
Senja akan segera tiba, setelah siang yang terpanjang
pada tahun ini. Kami berada di tengah-tengah perayaan
negara bagian Merroutas, sebuah persimpangan makmur
dan sibuk di antara Kenettra dan Kekaisaran Tamoura. Ma-
tahari hampir tenggelam di bawah cakrawala. Tiga buah
rembulan penuh menggantung rendah, membuahkan ca-
haya-cahaya keemasan yang mengapung di atas perairan.

13
Marie Lu

Merroutas sedang bersinar oleh keramaian Jamuan Per-


tengahan Musim Panas, yang diadakan untuk menyam-
but awal bulan puasa. Violetta dan aku melangkah melalui
segerombol pestawan, tenggelam di antara warna-warni
perayaan. Kami berdua mengenakan sutra Tamoura, ram-
but kami terbungkus kain, dan jemari kami dihiasi cincin-
cincin perunggu. Di mana-mana terdapat orang yang me-
ngenakan kalung melati, berdesakan di gang-gang kecil dan
tumpah ruah ke alun-alun, berdansa di sekeliling istana-is-
tana berkubah serta kuil-kuil pemandian. Kami berjalan
melewati sungai-sungai yang dipenuhi perahu pengangkut
barang, serta gedung-gedung bernuansa emas dan perak
yang memiliki ribuan bundaran serta halaman. Prajurit-
prajurit melewati kami dalam kelompok-kelompok kecil,
mengenakan sutra yang berdesir alih-alih baju besi berat.
Lambang bulan-dan-mahkota tersulam di lengan baju me-
reka. Mereka bukan Aksis lnkuisisi, tapi tak diragukan lagi,
mereka telah mendengar perintah Teren dari seberang
lautan untuk menemukan kami. Kami berhasil melewati
prajurit-prajurit itu dengan selamat.
Aku terpana melihat perayaan di sekelilingku. Sungguh
aneh rasanya, memandangsemuakegembiraan ini.Apayang
bisa kudapatkan dari itu? Kegembiraan tidaklah berguna
bagi energiku. Aku hanya bisa terdiam, membiarkan Violet-
ta membimbingkami menyusurijalanan sibuk, dan kembali
berkutat dengan pikiran-pikiran gelapku.
Sejak meninggalkan Kenettra tiga minggu silam, aku
selalu terbangun dengan bisikan-bisikan di sebelah tern-

14
The Rose Society

pat tidurku, yang biasanya menghilang beberapa detik ke-


mudian. Terkadang, suara-suara pelan itu berbicara kepa-
daku ketika aku sendirian. Mereka tidak selalu muncul, dan
aku tidak selalu memahami mereka, bahkan ketika mereka
bicara padaku. Namun, aku selalu bisa merasakan kehadiran
mereka, menetap di sudut-sudut benakku, bersamaan de-
ngan suara pedang, bunyi dan keheningan yang silih ber-
ganti, lampu padam, api yang muram dan membubung
tinggi. lnilah ucapan mereka:
Adelina, mengapa kau menyalahkan dirimu atas kema-
tian Enzo?
Kutanggapi bisikan-bisikan itu dengan lirih. Dulu, seha-
rusnya aku mengendalikan ilusi-ilusiku dengan lebih baik.
Seharusnya aku menyelamatkan nyawa Enzo. Seharusnya
aku memercayai para Belati lebih awal.
Itu sama sekali bukan salahmu, debatbisikan-bisikan di
kepalaku. Laqi pula, kau tidak membunuhnya-bukan sen-
jatamuyang menqakhiri hidupnya.Jadi, mengapa ma/ah kau
yang diusir? Dulu kan kau tidak perlu kembali pada Anggota
Belati-kau tidak perlu membantu mereka menyelamatkan
Raffaele. Tapi, mereka tetap saja menyalahkanmu. Mengapa
semua orang melupakan maksud baikmu, Adelina?
Mengapa kau merasa bersalah atas sesuatuyang bukan
kesalahanmu?
Karena aku mencintainya. Dan sekarang, dia telah tiada.
Lebih baik beqitu, bisik suara tersebut. Bukankah kau
selalu menunggu di puncak anak tangga, membayangkan di-
rimu menjadi seorang ratu?

15
Marie Lu

"Adelina," kata Violetta. Dia menarik lenganku, dan bi-


sikan-bisikan itu pun memudar.
Aku menggelengkan kepala, memaksa diri untuk ber-
konsentrasi. "Kau yakin dia di sini?" tanyaku.
"Kalau bukan dia, berarti Elite lainnya."
Kami singgah di Merroutas untuk menghindari mata
bengis para lnkuisisi di Kenettra. Merroutas merupakan
tempat terdekat di luar kendali Kenettra. Nantinya, kami
akan bertolak ke selatan menuju Sunland, jauh dari penga-
wasan lnkuisisi.
Tapi, kami juga pergi ke Merroutas untuk tujuan lain.
Kalau kau sudah mendengar cerita hebat tentang satu
Elite Muda saja, cerita itu pasti tentang seorang laki-laki
bernama Magiano. Raffaele, pramuria muda elok yang dulu
ternanku, mengungkit soal Magiano dalam sesi latihan so-
reku bersamanya. Sejak itu, aku sering sekali mendengar
nama Magiano disebut-sebut oleh para pelancong.
Beberapa orang bilang Magiano dibesarkan oleh se-
rigala-serigala di hutan-hutan lebat Kepulauan Ember, se-
rangkaian kecil pulau di timur jauh Kenettra. Beberapa
mengatakan dia lahir di padang pasir Sunland yang panas
di Domacca-seorang anak haram dan dibesarkan oleh
para nomaden. Rumor mengatakan bahwa dia bocah liar,
nyaris tak beradab, berbalut dedaunan dari kepala sampai
kaki, dengan pikiran serta tangan secepat rubah di tengah
malam. Magiano muncul dengan tiba-tiba beberapa tahun
silam, dan sejak saat itu, dia berhasil menghindari Aksis
lnkuisisi lusinan kali-kabur dari berbagai kasus, mulai da-

16
The Rose Society

ri perjudian ilegal sampai pencurian mahkota permata ratu


Kenettra. Menurut cerita, dia juga bisa memikatmu untuk
melompat dari tebing dan tercebur ke lautan dengan mu-
sik kecapinya. Dan, setiap kali dia tersenyum, giginya akan
berkilau terang serta jahat.
Meskipun kami tahu dia Elite Muda, tak seorang pun
yakin kekuatan apa sebenarnya yang dia miliki. Kami hanya
yakin dia akhir-akhir ini terlihat di sini, di Merroutas.
Kalau aku masih gadis yang sama seperti setahun la-
lu-itu sebelum aku mengetahui kekuatanku-aku tidak
yakin akan punya keberanian untuk mencari Elite tersohor
seperti Magiano. Tapi, aku sudah membunuh ayahku. Aku
tergabung dalam Perkumpulan Belati. Aku mengkhianati
mereka, dan mereka mengkhianatiku. Atau sebaliknya. Aku
tidak pernah yakin.
Yang aku yakin betul adalah, sekarang para Belati adalah
musuhku. Ketika kau sendirian di duniayang membenci dan
takut kepadamu, kau pasti ingin menemukan orang-orang
yang punya kesamaan denganmu. Teman-teman baru. Te-
man-teman Elite. Teman-teman yang bisa membantumu
membangun perkumpulanmu sendiri.
Teman-teman seperti Magiano.
"Salaam, gadis-gadis Tamoura yang cantik!"
Kami memasuki alun-alun besar lain di dekat sebuah
teluk. Di sisi-sisinya terdapat stan-stan makanan dengan
panci-panci beruap. Para pedagang, yang mengenakan to-
peng berhidung panjang, melakukan berbagai trik untuk
menarik pengunjung. Salah seorang penjaja makanan ter-

17
Marie Lu

senyum ketika kami memandangnya. Rambutnya tersem-


bunyi di balik kain Tamoura, jenggotnya berwarna gelap
serta tercukur rapi. Dia membungkuk kepada kami. Aku
naluriah menyentuh kepala. Rambut perakku masih pen-
dek dan berantakan setelah aku memotongnya tempo hari.
Malam ini, rambutku terus tersembunyi di balik dua helai
panjang sutra emas, yang berhiaskan bandana rumbai emas
yang menggantung di atas kedua alisku. Aku sudah menjalin
ilusi di bagian cacat wajahku. Di mata pria itu, bulu mata
pucatku berwarna hitam, dan mataku tidak bercacat.
Aku mengerling jualannya. Panci-panci beruap yang
penuh daun anggur, sate kambing, dan roti hangat. Mulutku
berair.
"Gadis-gadis cantik dari kampung halarnan," dia me-
manggil kami. Aku tidak mengerti apa lagi yang dia ucap-
kan, selain, "ayo kemari!" dan "batalkan puasamu," Aku ba-
las tersenyum padanya dan mengangguk. Sebelumnya, aku
tidak pernah mengunjungi kota yang sangat pekat dengan
nuansa Tamoura seperti ini. Rasanya hampir seperti pulang
ke rumah.
Kau bisa memimpin tempat seperti ini, ujar bisikan-br
sikan di kepalaku. Hatiku dipenuhi rasa gembira.
Saat kami mendekati stannya, Violetta merogoh be-
berapa keping perunggu dan memberikannya pada pria
itu. Aku tetap di belakang Violetta, memperhatikan saat
Violetta membuatpria itu tertawa. Kemudian, pria itu meng-
gumamkan sesuatu, dan Violetta merona dengan malu-
malu. Violetta kemudian menanggapi dengan senyuman

18
The Rose Society

yang mampu melelehkan mentari. Di penghujung tawar-


menawar tersebut, Violetta berbalik sambil membawa
dua sate daging. Si Penjual memandangnya selagi Violetta
menjauh dari stan, sebelum mengalihkan perhatian pada
pembeli lain. Penjual itu mengubah bahasa sapaannya lagi.
"Avei, avei! Lupakan tentang judi dan datanglah kemari un-
tuk membeli roti hangat!"
Violetta menyerahkan sekeping perunggu padaku. "Ada
potongan harga," ujarnya. "Karena dia menyukai kita,"
"Violetta yang manis." Aku menaikkan alis ke arahnya
sambil mengambil satu tusuk sate daging. Sejauh ini, dom-
pet kami penuh. Aku menggunakan kekuatanku untuk
mencuri uang dari para pria bangsawan. ltu kontribusiku.
Namun, keahlian Violetta sama sekali berbeda. "Sekarang,
mereka mungkin bahkan akan membayar kita untuk me-
makan makanan mereka,"
"ltulah yang sedang kuusahakan," Violetta meman-
dangku dengan senyum polos yang sama sekali tidak polos.
Tatapannya menelusuri alun-alun, lalu terhenti pada api
unggun besaryang menyala-nyala di depan kuil. "Kita sudah
dekat," katanya sambil menggigit daging dengan anggun.
"Energinya tidak terlalu kuat. Terus berubah-ubah."
Setelah makan, aku membuntuti Violetta yang sedang
menggunakan kekuatannya, membimbing kami dalam pola
panjang dan acak di tengah kerumunan orang. Setiap ma-
lam sejak kami kabur dari Estenzia, kami biasa duduk ber-
hadapan. Aku membiarkan dia bereksperimen denganku
seperti ketika dia mengepang rambutku sewaktu kami ke-

19
Marie Lu

cil dulu. Dia berlatih untuk menarik serta menggenggam


energiku. Lalu, aku menutup matanya dengan kain dan ber-
jalan pelan mengelilingi ruangan, menguji apakah dia bisa
merasakan keberadaanku. Dia mengulurkan tangan untuk
menyentuh benang-benang energiku, mempelajari struk-
turnya. Kurasa, dia semakin kuat setiap harinya.
ltu membuatku takut. Namun, setelah kami mening-
galkan para Belati, Violetta dan aku bersumpah untuk tidak
akan pernah menggunakan kekuatan kami pada satu sama
lain. Kalau Violetta menginginkan perlindungan dengan
ilusi-ilusiku, aku siap memberikannya. Sebagai balasan,
Violetta tidak akan macam-macam dengan energiku. Begi-
tulah.
Aku hams memercayai seseorang.
Kami melangkah nyaris selama satu jam. Lalu, Violetta
berhenti di tengah-tengah alun-alun. Dia mengernyit. Aku
menunggu di sebelahnya, mengamati ekspresinya. "Kau ke-
hilangannya ?"
"Mungkin," jawab Violetta. Aku nyaris tidak bisa men-
dengar adikku di antara lantunan musik. Kami menunggu
beberapa lama, sebelum akhirnya Violetta berbelok ke kiri,
mengisyaratkanku untuk mengikutinya.
Violetta berhenti lagi. Dia berjalan memutar, kemudian
melipatkedua tangan sambil mendesah. ''Aku kehilangannya
lagi," ujarnya. "Mungkin kita harus kembali ke awal."
Dia baru saja mengatakan itu, ketika seorang penjaja
menghalangi kami. Dia berpakaian seperti halnya semua
pedagang lain, wajahnya sepenuhnya tertutup topeng dot-

20
The Rose Society

tore berhidung panjang. Tubuhnya dibalut jubah-jubah


berwarna-warni yang tidak serasi. Ketika memperhatikan
dengan saksama, bisa kulihat bahwa jubah-jubah itu ter-
buat dari sutra mewah, ditenun dengan indah dan dicelup
pewarna yang pekat. Orang itu mengambil tangan Violetta,
mengangkat tangan Violetta ke arah topengnya seolah-olah
ingin menciumnya, lalu meletakkan tangan Violetta di da-
danya. Dia mengisyaratkan kami untuk bergabung dalam
lingkaran kecil di dekat stannya.
Aku langsung mengenali gerak-gerik itu-perjudian ala
Kenettra, di mana si Pedagang meletakkan dua belas batu
berwarna-warni di hadapanmu dan menyuruhmu untuk
memilih tiga di antaranya. Dia akan mengacak masing-ma-
sing batu tersebut di bawah cangkir yang menelungkup.
Biasanya, itu dimainkan secara berkelompok, dan kalau kau
satu-satunya orang yang bisa menebak di mana tepatnya
tiga batu itu berada, kau bukan hanya akan memenangi
uang taruhanmu lagi, melainkan juga mendapatkan uang
taruhan dari pemain-pemain lain. Termasuk juga seluruh
isi kantong uang sang Pedagang. Hanya dengan melihat
sekilas pada kantong uang si Pedagang yang tampak berat,
aku tahu dia belum pernah kalah dari permainan ini.
Si Pedagang membungkuk pada kami tanpa kata, ke-
mudian mengisyaratkan kami untuk memilih tiga keping
batu. Dia melakukan hal yang sama pada orang-orang di
sebelah kami. Dua pestawan memilih batu mereka de-
ngan bersemangat. Di dekat kami, berdiri seorang bocah
malfetto. Wabah berdarah telah memberikan tanda hitam

21
Marie Lu

jelek di sepanjang telinga dan pipinya. Di balik ekspresi ter-


menungnya, terdapat rasa takut samar.
Mmm. Energiku meliuk ke arahnya seperti seekor seri-
gala yang terpikat oleh aroma darah.
Violetta mencondongkan tubuh ke arahku. "Mari men-
coba satu putaran," ujarnya, matanya juga terpancang pada
bocah malfetto itu. "Sepertinya aku merasakan sesuatu."
Aku mengangguk pada si Pedagang, kemudian men-
jatuhkan dua keping emas di telapak tangannya. Si Peda-
gang membungkuk padaku dengan tangan berputar-putar.
"Untuk adikku dan aku," kataku, menunjuk tiga batu yang
hendak kami pertaruhkan.
Si Pedagang mengangguk tanpa kata. Lalu, dia mulai
mengacak batu-batu itu.
Violetta dan aku terus memperhatikan si Bocah ma/-
Jetta. Bocah itu, dengan penuh konsentrasi, memandang
cangkir-cangkir yang berputar di atas meja. Selagi kami
menunggu, pemain-pemain lainnya memandang si Bocah
malfetto sambil tertawa. Beberapa ejekan tentang malfetto
terlontar. Si Bocah mengacuhkan mereka.
Akhirnya, si Pedagang berhenti memutar-mutar cang-
kir. Dia menjajarkan kedua belas cangkir, kemudian melipat
kedua lengannya di balik jubah dan mengisyaratkan semua
pemain untuk menebak di cangkir manakah batu mereka
berada.
"Empat, tujuh, delapan," seru pemain pertama, meng-
gebrak meja si Pedagang.
"Dua, lima, enam," sahut pemain lain.

22
The Rose Society

Dua pemain lainnya menyerukan tebakan mereka.


Si Pedagang menoleh pada kami. Aku mendongak. "Sa-
tu, dua, tiga," kataku. Yang lainnya tertawa, tetapi aku meng-
abaikan mereka.
Si Bocah malfetto menyampaikan tebakannya juga.
"Enam, tujuh, dua belas," serunya.
Si Pedagang mengangkat cangkir pertama, kemudian
kedua dan ketiga. Aku kalah. Aku berpura-pura kecewa,
tetapi perhatianku terus terfokus pada si Bocah malfetto.
Enam, tujuh, dua be/as. Ketika mengangkat cangkir keenam,
si Pedagang membaliknya untuk menunjukkan bahwa bo-
cah itu memilih dengan benar.
Si Pedagang menunjuk si Bocah. Bocah itu bersorak.
Pemain-pemain lain memandang dengan kesal.
Si Pedagang mengangkat cangkir ketujuh. Si Bocah me-
nebak dengan benar lagi. Pemain-pemain lain mulai saling
pandang dengan gugup. Kalau tebakan terakhir bocah itu
salah, kami akan kalah dari si Pedagang. Tetapi, kalau te-
bakan terakhirnya benar, bocah itu akan mendapatkan se-
luruh uang kami.
Si Pedagang mengangkat cangkir terakhir. Bocah itu
benar. Dia menang.
Si Pedagang mengerling kami dengan tajam. Si Bocah
malfetto terpekik terkejut sekaligus gembira, sementara
pemain-pemain lain memandangnya dengan marah. Percik-
percik kebencian menguar di dada mereka, kilat-kilat ener-
gi yang menyatu menjadi noda-noda hitam.

23
Marie Lu

"Bagaimana menurutmu?" tanyaku pada Violetta. ''Apa


kau merasakan sesuatu tentang energinya?"
Tatapan Violetta terus terpancang pada bocah yang
gembira itu. "lkuti dia,"
Si Pedagang mengulurkan kantong uangnya dengan
enggan, beserta seluruh uangyang sudah kami pertaruhkan.
Sementara si Bocah mengumpulkan koin-koin tersebut, ku-
perhatikan pemain-pemain lainnya saling bergumam satu
sama lain. Ketika si Bocah meninggalkan stan, pemain-pe-
main itu mengikuti, wajah mereka kaku dan bahu mereka
tegang.
Mereka akan menyerang bocah itu. ''Ayo," bisikku pada
Violetta. Dia menurut tanpa kata.
Sesaat, bocah itu terlihat terlalu gembira akan keme-
nangannya sampai-sampai tidak menyadari bahaya yang
diundangnya. Ketika tiba di tepi alun-alun, barulah dia
menyadari keberadaan pemain-pemain lainnya. Bocah itu
tetap meneruskan berjalan, tapi dengan gugup. Aku bisa
merasakan ketakutan samarnya yang mulai tumbuh perla-
han-lahan. Rasa manisnya menggodaku.
Si Bocah memelesat keluar dari alun-alun untuk menu-
ju pinggir jalan yang sempit, ternaram, dan sepi. Violetta
dan aku menyelinap ke dalam bayang-bayang. Aku melukis
ilusi halus untuk menyembunyikan keberadaan kami. Aku
mengernyit pada bocah itu. Orang tersohor seperti Magiano
tidak mungkin bersikap seceroboh ini.

24
The Rose Society

Akhirnya, salah satu pemain lain berhasil menyamai


langkah si Bocah. Sebelum si Bocah bisa bereaksi, si Pemain
menjegal kaki bocah itu.
Pemain lainnya berpura-pura tersandung tubuh si
Bocah, tetapi yang dia lakukan sebenarnya adalah menen-
dangnya. Si Bocah memekik, dan rasa takutnya berubah
menjadi kengerian. Kini, aku bisa melihat benang-benang
kengerian itu, menjulang membentuk jaring-jaring yang
gelap dan berkilauan.
Dalam sekejap mata, pemain-pemain lain sudah menge-
rum uni bocah itu. Sal ah satunya menarik baju si Bocah dan
mendorongnya ke dinding. Kepala bocah itu membentur
dinding dengan keras, membuat bola matanya berputar.
Dia ambruk dan meringkuk seperti bola.
"Kenapa kau lari?" tanya salah satu pemain pada si Mal­
fetto. "Kau menikmatinya ya, mencurangi dan mengambil
seluruh uang karni."
Yang lainnya menyahut.
"Untuk apa sih malfetto memerlukan semua uang itu?"
"Untuk membeli dottore demi memperbaiki tanda di
wajahmu?"
"Untuk membayar seorang pelacur agar kau bisa me-
ngetahui bagaimana rasanya?"
Aku hanya memandang mereka. Oulu, ketika kali per-
tama bergabung dengan para Belati dan melihat para mal­
fetto disiksa, aku biasa kembali ke kamarku dan menangis.
Tapi sekarang, aku sudah cukup sering melihat hal seperti
ini, sehingga bisa menghadapinya dengan tenang. Aku mam-

25
Marie Lu

pu membiarkan ketakutan itu menyuapiku tanpa hams


merasa bersalah. Ketika para penyerang itu terus menyiksa
si Bocah, aku membiarkan saja, dan tidak merasakan apa
pun, kecuali kewaspadaan.
Si Bocah malfetto berjuang untuk berdiri sebelum orang-
orang itu bisa menyerangnya-dia berlari. Mereka mengejar.
"Dia bukan Elite," gumam Violetta. Dia menggeleng, be-
nar-benar tampak bingung. "Maafkan aku. Tadi aku pasti
merasakan energi milik orang lain."
Aku tidak tahu mengapa aku ingin mengikuti orang-
orang itu. Kalau bocah tadi bukan Magiano, seharusnya
aku tidak punya alasan untuk menolongnya. Mungkin ini
semacam rasa frustrasi yang terpendam, atau hasrat dari
perasaan-perasaan gelapku. Atau, karena aku teringat para
Belati, yang tidak ingin mengambil risiko untuk menye-
lamatkan malfetto kalau mereka bukan Elite. Barangkali
aku teringat diriku sendiri yang didorong menuju tombak
besi, dilempari batu, menanti untuk dibakar hidup-hidup
di hadapan seluruh penduduk kota.
Sekejap, aku berkhayal: seandainya aku seorang ratu,
aku bisa membuat aturan bahwa menyakiti malfetto adalah
sebuah kejahatan. Aku bisa menghukum mati penyerang-
penyerang bocah itu hanya dengan satu perintah.
Aku mulai mengejar mereka. ''Ayo," desakku pada Vio-
letta.
"Jangan," dia mencegah, meskipun dia tahu itu tidak
ada gunanya.
''Aku akan bersikap balk," ujarku sembari tersenyum.

26
The Rose Society

Violetta menaikkan alis. "Gagasanmu tentang bersikap


baik itu lain daripada yang lain."
Kami berlari dalam kegelapan, tak kasatmata di balik
ilusi yang kutenun. Terdengar teriakan-teriakan saat bocah
itu berbelok di tikungan untuk menghindari para penye-
rangnya. Tidak berguna. Selagi kami mendekat, kudengar
para penyerang tersebut berhasil menangkap bocah itu.
Bocah itu menjerit kesakitan. Saat kami berbelok, mereka
sudah mengelilinginya sepenuhnya. Salah satu penyerang
memukul wajah bocah itu sampai si Bocah ambruk ke
tan ah.
Aku beraksi sebelum bisa menahan diri. Dalam satu
gerakan, aku meraih dan menyingkirkan benang-benang
energi yang menyembunyikan kami. Kemudian, aku lang-
sung melangkah ke dalam lingkaran mereka. Violetta tetap
berdiri di tempatnya, memandang dalam diam.
Butuh beberapa saat sampai para penyerang itu me-
nyadari kehadiranku. Mereka baru melihatku saat aku ber-
jalan tepat menuju si Bocah malfetto yang gemetar terse but,
lalu berdiri di de pan bocah itu. Mereka ragu- ragu.
'Apa-apaan ini?" tanya pemimpin lingkaran tersebut,
sesaat tampak bingung. Matanya terpancang pada ilusi yang
masih menutupi wajah cacatku. Yang dia lihat sekarang
adalah gadis cantik. Seringainya muncul kembali. "Apakah
ini pelacurmu, malfetto kotor?" ejeknya pada si Bocah. "Ba-
gaimana kau bisa seberuntung ini?"

27
Marie Lu

Wanita di sebelahnya memandangku curiga. "Dia salah


satu penjudi tadi," katanya pada yang lain. "Mungkin dialah
yang membantu bocah itu menang,"
'�h, kau benar," kata si Pemimpin. Dia menoleh padaku.
'�pa kau juga mengambil uang kami? Bagi hasil, mungkin?"
Beberapa penyerang lain tampak tak yakin. Salah satu
dari mereka melihatsenyum di wajahku dan memandangku
gugup, kemudian menoleh ke arah Violetta. "Sudahlah,"
prates orang itu, mengangkat kantong uang. "Kita sudah
mendapatkan kembali uangnya."
Si Pemimpin berdecak. "Kita tidak biasa membiarkan
orang pergi begitu saja," sahutnya. "Tak seorang pun me-
nyukai perbuatan curang."
Seharusnya aku tidak boleh ceroboh menggunakan
kekuatanku, tetapi ini gang sepi, dan aku tidak bisa mena-
han godaan itu lagi. Di luar lingkaran mereka, Violetta me-
narik energiku dengan lemah, memprotes, merasakan ren-
canaku selanjutnya. Aku mengabaikan dan tetap berdiri di
tempatku, berangsur menguak ilusi di wajahku. Bagian-
bagian wajahku bergetar, perlahan berubah, dan bekas
Iuka panjang mulai muncul di mata kiriku-daging kasar
nan rusak dari Iuka lama. Bulu-bulu mataku yang tadinya
berwarna gelap, berubah perak pucat. Aku sudah sering
melatih ilusiku dengan tepat, mengetahui seberapa cepat
atau lambat aku bisa menenunnya. Aku bisa menggunakan
benang-benang energiku dengan lebih akurat sekarang.
Sedikit demi sedikit, aku menguak sosok asliku di hadapan
orang-orang itu.

28
The Rose Society

Mereka membeku di tempat, memandang sisi cacatwa-


jahku. Aku tertegun saat menikmati reaksi mereka. Mereka
bahkan tidak memperhatikan si Bocah malfetto yang me-
rangkak menjauh dan bersandar di dinding terdekat.
Si Pemimpin mendengus sebelum mengeluarkan pisau.
"lblis," katanya, dengan keraguan samar.
"Mungkin," sahutku. Suaraku dingin. Aku masih harus
berlatih untuk terbiasa menggunakan suara tersebut.
Pria itu hendak menyerang, tetapi sesuatu tiba-tiba
menghalanginya. Dia menundukpadajalanan berbatu-me-
lihat sulur mungil merah terang yang melata di sepanjang
jalan. Tampak seperti makhluk kecil yang sedang tersesat,
mondar-mandir ke sana kemari. Pria itu mengerutkan alis.
Dia membungkuk ke arah ilusi mungil itu.
Kemudian, sulur merah itu meledak menjadi selusin
sulur lagi, memelesat ke tempat-tempat yang berbeda,
meninggalkan jejak-jejak darah. Semua orang tersentak
mundur.
"Apa-apaan-«?" kata si Pemimpin terkejut.
Dengan murka, aku menenun sulur-sulur di atas ja-
lanan, kemudian melontarkannya menuju dinding. Dari
selusin, mereka berkembang menjadi ratusan, kemudian
ribuan, hingga seantero jalan tertutupi oleh keberadaan
mereka yang mengerikan. Aku memadamkan cahaya dari
lentara-lentera, kemudian menciptakan ilusi awan-awan
badai berwarna merah menyala di atas kami semua.
Pria itu mulai kehilangan kendali dan tampak panik.
Teman-temannya buru-buru menghindariku saat sulur-su-

29
Marie Lu

lur serupa darah itu menutupi jalanan. Rasa takut meng-


gumpal di dada mereka, dan perasaan itu mengirimkan
serbuan kekuatan serta rasa lapar dalam diriku. llusi-ilu-
siku membuat mereka takut, tapi ketakutan mereka mem-
buatku kuat.
Berhenti. Aku bisa merasakan Violetta menarik ener-
giku lagi. Mungkin seharusnya aku memang berhenti. Para
penyerang ini toh sudah kehilangan selera untuk menda-
patkan uang mereka. Namun, aku mengabaikan Violetta dan
meneruskan permainanku. lni menyenangkan. Aku dulu
malu saat merasakannya, tetapi sekarang aku berpikir-
kenapa tidak? Kenapa aku harus mencegah diriku dikuasai
kebencian? Kenapa aku harus menahan kesenangan ini?
Pria itu tiba-tiba mengacungkan pisaunya lagi. Aku te-
rns menenun benang-benang energiku. Kau tidak bisa me-
lihat pisau itu, bisikan-bisikan di kepalaku mengejeknya. Di
man a pisaunya? Kau baru saja memegangnya, tapi kau pasti
sudah meninggalkannya di suatu tempat. Walaupun aku
bisa melihat senjatanya, orang itu memandang tangannya
dengan marah sekaligus bingung. Baginya, pisau itu sudah
lenyap.
Para penyerang lain akhirnya menyerah pada rasa takut
mereka-beberapa berlari kabur, yang lainnya meringkuk
di dinding, membeku. Aku memamerkan gigi-gigiku, ke-
mudian menyentakkan ribuan sulur berdarah ke arah pria
itu, menarik sulur-sulur itu sekuat tenaga, mem buat pria
itu merasa teriris dan terbakar oleh benang-benang yang
mencabik dagingnya. Mata pria itu terbelalak sesaat, lalu

30
The Rose Society

dia ambruk dan menjerit. Kukencangkan benang-benang


tajam itu di tubuhnya, bagaikan laba-laba yang menjebak
mangsa dalam jaring. Rasanya seolah-olah benang-benang
itu menggergaji kulitmu,ya, kan?
"Adelina," panggil adikku waspada. "Yang lainnya."
Aku menanggapi peringatannya tepat waktu. Dua pe-
nyerang lain sudah cukup berani untuk menghambur ke
arahku-wanita yang tadi, dan satu pria lainnya. Aku ber-
seru, menyelubungi mereka dengan ilusiku juga. Mereka
ambruk. Mereka berhalusinasi bahwa kulit mereka tercabik
dari dagingnya, dan penderitaan itu membuat mereka ter-
bungkuk-bungkuk.
Aku berkonsentrasi sangat keras sampai-sampai kedua
tanganku gemetar. Pria itu berjuang merangkak menuju
ujung jalan, dan aku membiarkannya. Bagaimana rasanya,
hmmm? Memandang dunia dari sudut pandangnya se-
karang? Aku terus menumpahkan ilusi padanya, mem-
bayangkan apa yang pasti dia lihat dan rasakan. Pria itu
mulai terisak, menggunakan segenap kekuatannya yang
tersisa untuk bergerak.
Menyenangkan, menjadi berkuasa. Melihat orang-orang
takluk pada keinginanmu. Aku membayangkan bahwa ini-
lah yang pasti dirasakan para raja dan ratu-bahwa ha-
nya dengan sedikit kata saja, mereka bisa memicu pepe-
rangan atau memperbudak seluruh populasi. Pasti inilah
yang kukhayalkan saat kecil dulu, berjongkok di tangga
rumah lamaku, berpura-pura mengenakan mahkota berat
di kepalaku, memandang ribuan sosok yang berlutut di
hadapanku.

31
Marie Lu

"Adelina, jangan," bisik Violetta. Dia sekarang berdiri


di sarnpingku, tetapi aku terlalu fokus pada apa yang ku-
lakukan sehingga nyaris tidak menyadari keberadaan adik-
ku. "Kau sudah memberi mereka cukup pelajaran. Lepaskan
mereka."
Aku mengencangkan kepalan tangan, dan terus beraksi.
"Kau bisa menghentikanku," kataku dengan senyum kaku,
"kalau benar-benar menginginkannya."
Violetta tidak mendebat. Mungkin, jauh di dalam hati-
nya, dia malah ingin aku melakukan ini. Dia ingin melihatku
membela diri. [adi, alih-alih memaksaku berhenti, dia me-
megang lenganku, mengingatkanku pada janji kami ber-
dua.
"Bocah malfetto itu sudah kabur," katanya. Suaranya
sangat lembut. "Simpan kemurkaanmu untuk sesuatu yang
lebih penting."
Sesuatu dalam suaranya menembus kemarahanku. Men-
dadak, aku merasa lelah telah menggunakan begitu banyak
energi dalam satu waktu. Kulepaskan pria itu dari ilusiku.
Dia ambruk di jalan, mencengkeram dadanya seolah-olah
masih bisa merasakan benang-benang itu mengiris da-
gingnya. Wajahnya kacau oleh air mata dan ludah. Aku me-
langkah mundur, merasa lemah.
"Kau benar," gumamku pada Violetta.
Dia mendesah lega dan membantuku menyeimbangkan
tubuhku.
Aku membungkuk pada pria yang gemetar itu, agar
dia bisa melihat wajah cacatku dengan jelas. Dia bahkan

32
The Rose Society

tidak mampu memandangku. ''Aku akan mengawasimu,"


kataku. Tak penting apakah ucapanku benar atau tidak.
Dalam kondisinya sekarang, aku tahu dia tidak akan berani
mengujinya. Dia hanya mengangguk dengan cepat dan ge-
metar. Kemudian, dia berdiri terhuyung dan kabur.
Yang lainnya juga kabur. Langkah-langkah mereka meng-
gema di jalanan, berbelok di tikungan, membaur dalam
keributan perayaan di kejauhan. Setelah mereka menghi-
lang, aku mengembuskan napas dan menyingkirkan sikap
mengancamku, kemudian menoleh pada Violetta. Dia tam-
pak pucat seperti mayat. Tangannya menggenggam tangan-
ku dengan sangat erat sampai-sampai jari-jari kami memu-
tih. Kami berdiri berdampingan di jalanan sunyi ini. Aku
menggelengkan kepala.
Bocah malfetto yang kami selamatkan tadi mustahil
adalah Magiano. Dia bukan Elite. Dan bahkan, kalau dia me-
mang Magiano pun, dia sudah pergi jauh. Aku mendesah,
kemudian berlutut dan menyeimbangkan tubuhku di atas
jalan. Seluruh insiden tadi hanya meninggalkan kepahitan
bagiku. Kenapa kau tadi tidak membunuhnya saja? kata bi-
sikan-bisikan di benakku, kecewa.
Aku tidak tahu berapa lama kami tinggal di sini, sampai
sebuah suara samar dan teredam di atas kami mengejutkan
kami.
"Sikap baik yang berlebihan, eh?" katanya.
Suara itu anehnya terdengar tak asing. Aku mendongak,
memandang sekeliling, tapi dalam kegelapan, sungguh sulit
untuk melihat apa pun. Aku melangkah mundur, menuju

33
Marie Lu

tengah-tengah jalanan. Di kejauhan, suara perayaan masih


berlangsung.
Violetta menarik tanganku. Matanya terpancang pada
balkon di seberang kami. "Dia," bisik Violetta. Saat men-
dongak, akhirnya aku bisa melihat sosok bertopeng yang
mencondongkan tubuh di langkan marbel balkon. Dia me-
mandang kami dalam diam-pedagang yang memimpin
permainan judi kami tadi.
Adikku mendekat. "Dia Elite. Dialahyangtadikurasakan
energinya."[]

34
Irani kehidupan ini adalah, orang-orang yang mengenakan
topeng sering kali mengungkapkan lebih banyak kebenaran,
daripada orang-orang dengan wajah sebenarnya.
-Masquerade, oleh Salvatore Lacona.

Adelina Amouteru

ia tidak bereaksi ketika kami memandangnya.


Il Ahh-ahh, dia bersandar malas-malasan di dmdmg dan
mengambil kecapi yang tadinya terikat di punggungnya. Dia
memetik beberapa senarnya dengan termenung, seolah-
olah sedang menyetemnya, kemudian mengenyahkan to-
peng dottore-nya sambil menggerutu tak sabar. Lusinan ke-
pang panjang dan gelap jatuh di bahunya. Jubahnya longgar
dan setengahnya tidak dikancingkan. Barisan gelang emas
menghiasi kedua lengannya, tampak cerah di kulitnya yang
berwarna cokelat gelap. Aku tidak bisa melihat wajahnya
dengan cukup jelas, tetapi bahkan dari sini pun, aku bisa
melihat bahwa matanya berwarna madu pekat, dan tampak
berkilau dalam suasana malam.
"Dari tadi aku mengawasi kalian berdua berjalan di
keramaian," lanjutnya, dengan senyum licik. Pandangannya
teralih pada Violetta. "Mustahil mengabaikan orang seper-
timu. Jejak patah hati yang kau tinggalkan pastilah sangat

35
Marie Lu

panjang dan penuh bahaya. Tapi, aku yakin para pelamar


akan terns bertekuk lutut di hadapanmu, mengharap ke-
sempatan untuk memenangkan hatimu,"
Violetta mengernyit. "Maaf?"
"Kau cantik."
Wajah Violetta merona merah. Aku melangkah lebih
dekat ke balkon. "Dan siapa kau?" seruku pada orang itu.
Nada-nada kecapinya berubah menjadi lagu ketika dia
bermain dengan sungguh-sungguh. Nada itu mengalihkan
perhatianku-meskipun sikap orang itu serampangan, dia
bermain dengan baik. Keahliannya itu menqhipnosis. Dulu,
Violetta dan aku biasa bersembunyi di dalam rongga-rongga
pepohonan di belakang rumah lamaku. Setiap kali angin
meniup dedaunan, muncul suara yang mirip tawa di udara,
dan kami biasa berkhayal bahwa itu tawa para dewa yang
sedang menikmati siang di musim semi yang sejuk. Musik
orang misterius ini mengingatkanku pada suara tersebut.
Jari-jarinya menelusuri senar-senar kecapi dengan mulus,
lagunya mengalun alami bagaikan matahari terbenam.
Violetta mengerling padaku, dan aku sadar orang itu
tepat sasaran.
Dia bisa memikatmu untuk jatuh dari tebing dan ter-
cebur ke laut dengan musik kecapinya.
"Dan kau,"kata pemuda itu di antara alunan lagu, meng-
alihkan perhatiannya dari Violetta kepadaku. "Bagaimana
kau melakukannya?"
Aku berkedip ke arahnya, masih terpaku. "Melakukan
apa?" sahutku.

36
The Rose Society

Dia berhenti bermain dan memandangku dengan kesal.


"Oh, demi para dewa, berhentilah bersikap polos." Sua-
ranya tetap santai selagi dia terns bermain. "Kau jelas-jelas
seorang Elite. Jadi. Bagaimana kau melakukannya, dengan
sulur-sulur darah dan pisau tadi?"
Violetta mengangguk tanpa kata padaku. Aku mene-
ruskan. "Adikku dan aku mencari seseorang selama ber-
bulan-bulan," kataku.
"Benarkah? Aku tidak tahu stan judi kecilku ternyata
sangat terkenal."
"Kami mencari Elite Muda bernama Magiano."
Dia berhenti bicara, lalu memainkan rangkaian nada
bertempo cepat. Jari-jarinya memetik senar-senar kecapi
dengan gerakan kabur, tetapi nada- nadanya terdengar
tangkas dan jernih, sempurna. Dia bermain lama sekali.
Lagunya seolah-olah menyiratkan sebuah kisah, sesuatu
yang ceria dan dalam, bahkan mungkin jenaka, layaknya
lelucon rahasia. Aku ingin dia menanggapi perkataan
kami tadi, tetapi pada saat bersamaan, aku tidak ingin dia
berhenti bermain.
Akhirnya, dia berhenti dan memandangku. "Siapa Ma-
giano?"
Violetta mengeluarkan suara teredam. Aku tidak tahan
untuk melipat kedua tanganku dan mendengus tak percaya.
"Tentu saja kau pernah mendengar tentang Magiano."
Dia menelengkan kepala, kemudian memberi Violetta
senyum memikat. "Kalan kau kemari hanya untuk meminta
pendapatku tentang orang-orang imajiner, Sayangku, ber-

37
Marie Lu

arti kau buang-buang waktu. Satu-satunya yang kutahu


tentang Magiano hanyalah, itu ancaman para ibu yang
ingin anak-anak mereka berbicara jujur." Dia melambaikan
tangan. "Kau tahu. Ka/au kau tidak juqa berhenti berbohong,
Magiano akan mencuri lidahmu. Ka/au kau tidakmemberikan
sesajen pada para dewa setiap hari Sapienday, Magiano akan
melahap hewan­hewan piaraanmu,"
Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi
dia terus saja mengoceh seolah-olah sedang bicara sendiri.
"Kurasa itu bukti yang cukup," ujarnya sambil mengangkat
bahu. "Memakan hewan piaraan itu menjijikkan, dan men-
curi lidah itu tidak sopan. Siapa yang mau melakukan itu?"
Sedikit keraguan merayapi dadaku. Bagaimana kalau
dia mengatakan yang sebenarnya? Dia jelas-jelas tidak ter-
lihat seperti pemuda dalam cerita-cerita tersebut. "Bagai-
mana kau menjalankan permainan judimu dan sering sekali
menang?"
"Ah, itu," Si Pemuda sejenak bermain lagu lagi. Kemu-
dian, dia berhenti mendadak, mencondongkan tubuh ke
arah kami, dan mengangkat kedua tangannya. Dia kembali
tersenyum, gigi-giginya berkilat. "Magis."
Aku membalas senyumnya. "Trik Magiano, maksud-
mu."
"Jadi kata itu berasal dari situ?" tanyanya ringan se-
belum kembali bersandar. 'Aku tidak tahu," Jari-jarinya
memegang senar-senar kecapi, dan lagi-lagi, dia bermain.
Bisa kulihat bahwa dia tidak tertarik lagi pada kami. "Tak
lebih dari kemahiran tangan, Sayangku, trik cahaya dan

38
The Rose Society

pengalihan perhatian yang hebat. Dan, kau tahu, bantuan


seorang asisten. Dia mungkin masih bersembunyi di suatu
tempat, anak bodoh, ketakutan setengah mati. Aku sudah
memperingatkannya untuk tidak kabur." Dia berhenti se-
jenak. "Karena itulah, aku di sini dan bicara dengan kalian.
Aku ingin berterima kasih kalian sudah menyelamatkan
pembantuku, dan sekarang, aku akan meninggalkan kalian.
Nikmatilah malam kalian. Semoga berhasil menemukan
Elite Muda itu."
Malfetto tadi bekerja sama dengannya. Aku menarik
napas dalam-dalam. Cara pemuda itu mengucapkan Elite
Muda memancing ingatan yang telah lalu. Dia memang ter-
dengar tidak asing. Aku yakin pernah mendengar suaranya
sebelum ini. Tetapi di mana? Aku mengernyit, berusaha
mengenali ingatan tersebut. Di mana, di mana ....
Lalu, aku mengingatnya.
Sesama tahanan. Sewaktu lnkuisisi menangkapku
untuk kali pertama dan melemparku ke ruang bawah ta-
nah, seorang tahanan yang setengah gila menempati sel
di sebelah selku. Suaranya penuh tawa, kikikan, nyanyian,
yang kukira dimiliki seseorang yang sudah gila akibat ter-
lalu lama dipenjara.
Gadis. Mereka bilanq kau Elite Muda. Nah, benarkah?
Pemuda itu melihat sirat pengenalan di mataku, karena
dia kembali berhenti bermain kecapi. 'Wajahmu aneh se-
kali," katanya. "Kau baru makan sate domba basi, ya? Aku
dulu juga pernah."
"Kita dulu sepenjara."

39
Marie Lu

Dia terpaku mendengar ucapanku. Membeku. "Maaf?"


"Kita dulu sepenjara. Di kota Dalia, beberapa bulan
silam. Kau pasti ingat-aku ingat suaramu." Aku menghela
napas dalam-dalam, kembali ke masa itu. "Waktu itu aku
dijatuhi hukuman bakar."
Saat aku memicingkan mata ke arahnya, kulihat dia
berhenti tersenyum. Dia memandangku lekat-lekat.
"Kau Adelina Amouteru," gumamnya, tatapannya mene-
lusuri wajahku dengan ketertarikan baru. "Ya, tentu saja,
tentu saja itu kau. Seharusnya aku tadi menyadarinya."
Aku mengangguk. Sesaat, aku bertanya-tanya apakah
aku sudah memberitahunya terlalu banyak. Apakah dia
tahu lnkuisisi sedang mencari kami? Bagaimana kalau dia
memutuskan untuk menyerahkan kami pada para prajurit
Merroutas?
Dia mengamatiku dalam waktu yang serasa seperti ber-
jam-jam. "Kau menyelamatkan nyawaku hari itu," ujarnya.
Aku mengernyit bingung. "Bagaimana bisa?"
Dia tersenyum lagi, tetapi senyumnya kini berbeda
dengan seringai manis yang tadi dia berikan pada Violetta.
Tidak, aku tidak pernah melihatsenyum seperti ini-seperti
kucing, yang membuat sudut-sudut matanya menyipit dan
sesaat memberikan kesan tajam serta buas. Ujung gigi
taringnya berkilau. Ekspresi itu mengubah seluruh wajah-
nya, membuat dirinya menjadi seseorang yang mengin-
timidasi sekaligus karismatik. Seluruh perhatiannya kini
terpusat padaku, seolah-olah di dunia ini tidak ada sesuatu
pun lagi. Dia tampak sepenuhnya melupakan Violetta. Aku

40
The Rose Society

tidak tahu bagaimana hams menanggapi ini. Kedua pipiku


mulai merona.
Dia menatapku tanpa berkedip, bersenandung pelan
selagi bermain. Kemudian, dia berpaling dan kembali ber-
bicara. "Kalau kau mencari Magiano, semoga kau berhasil
menemukannya di pemandian telantar di sebelah selatan
Merroutas. Bangunan yang dulu disebut Pemandian-Pe-
mandian Mungil Bethesda. Pergilah ke sana besok pagi
saat fajar. Kudengar dia lebih suka bernegosiasi di tempat-
tempat rahasia." Dia mengacungkan jari. "Tapi, berhati-ha-
tilah-dia tidak menjalankan perintah siapa pun. Kalau
kau ingin bicara dengannya, sebaiknya kau punya alasan
bagus."
Dan, sebelum Violetta maupun aku bisa mengatakan
apa pun, dia menjauh dari balkon, berbalik, dan menghilang
di dalam bangunan. []

41
Raffaele Laurent Bessette

1'1f'abut. Pagi hari.


'D.Kenangan tentang seorang bocah laki-laki yang ber-
jongkok tanpa alas kaki, di luar rumah kotor milik keluar-
ganya, memainkan ranting-ranting di atas lumpur. Bocah
itu mendongak, melihat seorang pria tua yang sedang me-
nyusuri jalanan kotor desa. Kuda kurusnya menarik ke-
reta di belakangnya. Si Bocah berhenti bermain. Dia me-
manggil sang lbu, kemudian berdiri sementara kereta itu
mendekat.
Pria itu berhenti di hadapannya. Mereka salingpandang.
Ada sesuatu dari kedua mata di wajah tirus bocah itu-
yang satu sehangat madu, yang satu lagi sehijau zamrud.
Tetapi, ada hal yang lebih berkesan-selagi pria itu terus
memandangnya, dia bertanya-tanya bagaimana bisa bocah
semuda itu memiliki air muka yang begitu bijaksana.
Pria itu masuk ke rumah untuk bicara pada sang lbu.
Butuh waktu. Sang lbu tidak mau menanggapinya, sampai

42
The Rose Society

akhirnya, si Pria bilang bahwa dia bisa membantu mereka


untuk mendapatkan uang.
'Anda tidak akan menemukan banyak orang di daerah
ini yang bersedia membeli perhiasan murah atau ramuan,"
katasanglbupadapriaitu,meremaskeduatangannyadalam
ruangan kecil dan gelap yang dia tempati bersama keenam
anaknya. Si Pria duduk di kursi yang dia tawarkan. Mata
sang I bu rutin terpancang dari satu benda ke benda lainnya,
tak pernah bisa tenang sepenuhnya. 'Wabah berdarah telah
memorak-porandakan kami. Wabah itu mengambil nyawa
suami dan anak sulungku tahun lalu. Dan, meninggalkan
bekas pada dua anakku, seperti yang bisa Anda lihat." Dia
menunjuk si Bocah Laki-Laki-yang memperhatikan me-
reka dengan kedua matanya yang sewarna permata-dan
menunjuk saudara laki-laki bocah itu. "Desa ini selalu
miskin, Sir, tapi sebentar lagi pasti hancur."
Si Bocah melihat mata pria itu terus-menerus terpan-
cang padanya. "Dan bagaimana kau membiayai hidupmu,
tanpa suamimu?" tanya si Pria.
Sang lbu menggelengkan kepala. "Aku berjuang untuk
bekerja di sawah kami. Aku sudah menjual beberapa barang
kami. Tepung roti kami akan bertahan sampai beberapa
minggu ke depan meskipun penuh cacing."
Si Pria mendengarkan dalam diam. Dia tidak tertarik
pada saudara laki-laki bocah itu. Usai sang lbu bicara, si
Pria bersandar dan mengangguk-angguk. "Aku biasa me-
ngantar barang dari kota-kota pelabuhan di Estenzia sam-

43
Marie Lu

pai Campagnia. Aku ingin bertanya soal putramu yang ter-


muda, yang matanya berlainan warna."
"Apa yang ingin Anda ketahui?"
"Aku akan membayarmu lima koin emas untuk bocah
itu. Dia bocah yang elok-dia akan dihargai mahal di kota
pelabuhan."
Saat sang lbu terdiam karena terkejut, si Pria melan-
jutkan, "Ada banyak lokalisasi di Estenzia yang mempunyai
lebih banyak permata dan kekayaan lebih dari yang bisa kau
bayangkan. ltu dunia penuh kilauan dan kesenangan, dan
mereka rutin membutuhkan orang baru." Dia mengangguk
ke arah si Bocah.
"Maksud Anda, Anda akan membawanya ke tern pat pe-
lacuran."
Si Pria memandang bocah itu lagi. "Tidak. Dia terlalu
rupawan untuk ditempatkan di rumah pelacuran." Dia
mencondongkan tubuh lebih dekat ke arah wanita itu dan
merendahkan suaranya. "Anak-anakmu yang tertandai ini
akan menghadapi kehidupan yang keras di sini. Aku sudah
dengar cerita-cerita dari desa-desa lain. Mereka membuang
bocah-bocah ke hutan, karena takut bocah-bocah itu akan
bawa sial dan penyakit. Aku sudah melihat mereka mem-
bakar anak-anak, bayi-bayi, hidup-hidup di jalanan. ltu
pasti akan terjadi di sini juga."
"Tidak akan," sahut sang lbu dengan tajam. "Tetangga-
tetangga kami memang miskin, tapi mereka orang baik."
"Keputusasaan akan memancing kegelapan dari diri
semua orang," kata pria itu sambil mengangkat bahu.

44
The Rose Society

Mereka berdebat sampai senja. Sang Ibu terus-mene-


rus menolak.
Si Bocah mendengarkan dalam diam, berpikir.
Saat malam akhirnya tiba, bocah itu berdiri dan meme-
gang tangan ibunya. Dia memberi tahu ibunya bahwa dia
akan ikut bersama pria itu. Sang Ibu menamparnya, mem-
peringatkan bahwa bocah itu tidak akan melakukan hal se-
macam itu, tetapi si Bocah tidak gentar.
"Kalau tidak, semuanya akan kelaparan," kata bocah itu
Iembut.
"Kau masih terlalu kecil untuk memahami apa yang
sedang kau korbankan," dengus ibunya.
Bocah itu mengerling saudara-saudaranya. "Semua
akan baik-baik saja, Mama."
Sang lbu memandang wajah putranya yang elok, me-
ngagumi mata bocah itu, membelai rambuthitamnya. Jemari
sang lbu memainkan beberapa helai ram but putranya yang
berwarna safir cemerlang. Dia meraih putranya ke dalam
pelukannya, Ialu menangis. Dia memeluk bocah itu lama
sekali. Si Bocah membalas pelukan ibunya, bangga karena
akhirnya bisa membantu, tapi tidak tahu-menahu apa ar-
tinya itu.
"Dua belas koin," kata sang Ibu pada pria tersebut.
"Delapan," balas pria itu.
"Sepuluh. Aku tidak akan menyerahkan putraku kurang
dari itu."
Pria itu terdiam sesaat. "Sepuluh." Dia setuju.

45
Marie Lu

Keduanya melanjutkan pembicaraan dengan suara pe-


Ian, sebelum sang lbu melepaskan tangan putranya.
"Siapa namamu, Bocah Kecil?" tanya si Pria saat mem-
bantu bocah itu naik ke keretanya yang tidak seimbang.
"Raffaele Laurent Bessette." Suara anak itu sendu, ma-
tanya masih menatap rumahnya. Dia mulai merasa takut.
Bisakah ibunya mengunjunginya nanti? Apakah ini berarti
dia tidak akan pernah melihat keluarganya lagi?
"Nah, Raffaele," kata pria itu, mencambuk keledai be-
tinanya. Dia mengalihkan perhatian bocah itu dengan mem-
berinya sebongkah roti dan keju. "Sudah pernah ke ibu kota
Kenettra?"
Dua minggu kemudian, pria itu menjual si Bocah ke
Fortunata Court di Estenzia sejumlah tiga ribu koin emas .

.Jlllr ata Raffaele bergetar, kemudian terbuka, memandang


lllCl.cahaya samar fajar yang menembus jendela. Derai
salju sedang turun di luar.
Tubuhnya menggigil. Bahkan, perapian yang menyala-
nyala dan selimut-selimut bulu yang menumpuk tinggi di
tempat tidurnya pun tidak cukup untuk menghalau udara
yang dingin menggigit. Kulit Raffaele serasa tertusuk oleh
hawa dingin. Dia menarik selimut bulunya sampai ke dagu,
mencoba tidur kembali. Namun, dua minggu berlayar me-
ngarungi lautan berbadai dari Kenettra menuju Beldain di
utara telah membuat mereka kewalahan. Tubuh Raffaele
terasa sakit karena kelelahan. lstana musim panas Ratu
Beldain ini dingin dan lembap, berbeda dengan aula-aula

46
The Rose Society

marbel gemerlap di Kenettra, juga kebun-kebunnya yang


hangat dan tersiram sinar matahari. Raffaele tidak terbiasa
dengan musim panas yang begitu dingin. Anggota Belati
lainnya pasti juga sulit beristirahat.
Setelah beberapa lama, Raffaele mendesah, mendorong
selimut bulu itu, lalu bangkit dari tempat tidur. Sinar mata-
hari memperjelas bentuk perutnya yang kencang, otot-otot
halus, dan leher rampingnya. Dia melangkah tanpa suara,
menuju jubahnya yang tersampir di kaki tempat tidur.
Raffaele dulu pernah mengenakan jubah itu. Hadiah dari
wanita bangsawan Kenettra, Duchess of Campagnia, bebe-
rapa tahun silam. Wanita itu sangatterpikatdengan Raffaele
sampai-sampai mengerahkan banyak sekali kekayaan untuk
mendukung para Belati. Semakin berkuasa klien Raffaele,
semakin mereka berusaha mem beli cintanya.
Raffaele bertanya-tanya apakah sang Duchess baik-
baik saja. Setelah para Belati kabur dari Kenettra, mereka
mengirim merpati-merpati untuk menghubungi penyo-
kong-penyokong mereka. Sang Duchess adalah salah satu
penyokong yang tidak pernah memberi kabar.
Raffaele mengenakan jubah itu, menutupi tubuhnya
dari atas hingga bawah. Kain jubah tersebu tebal serta me-
wah, menggenang di kakinya, berkilau dalam cahaya. Dia
menelusurkan jemarinya pada rambut hitam panjangnya,
kemudian mengangkat rambutnya dan mengikatnya dalam
kuncir yang anggun. Dalam sinar matahari pagi, sedikit jejak
warna safir berkilau di rambutnya. Kedua tangan Raffaele
mengusap permukaan lengan jubah yang sejuk.

47
Marie Lu

Dia teringat malam saat Enzo mengunjungi kamarnya,


ketikaRaffaelekalipertamamemperingatkansangPangeran
tentang Adelina. Jemari Raffaele berhenti bergerak, kaku
oleh kepedihan.
Tak ada gunanya berkutat dengan masa Ialu. Raffaele
mengerling peraplan, kemudian keluar dari kamar tanpa
suara. Jubahnya melambai di belakangnya, selapis beledu
tebal yang menjulur panjang.
Selasar-selasar yang dia lewati berbau apak- rangkaian
bebatuan Iembap berusia ratusan tahun dan abu obor-obor
kuno. Aroma tersebut perlahan berkurang seiring dia me-
Iangkah, dan akhirnya, dia tiba di taman kastel. Bunga-bu-
nga di sana dilapisi titik-titik salju yang akan meleleh pada
siang hari. Dari sana, Raffaele bisa melihat halaman kastel
yang menjorok ke bawah, juga dermaga-dermaga Beldain
di kejauhan. Angin dingin membuat pipi Raffaele kebas,
mengembus beberapa helai rambut ke wajahnya.
Tatapannya beralih ke halaman utama di balik gerbang
depan kastel.
Biasanya, halaman itu sepi pada jam seperti ini. Tetapi
hari ini, para malfetto yang telah kabur dari Estenzia mem-
banjiri halaman tersebut, berdesakan mengelilingi api
unggun kecil dan berbalut selimut usang. Kapal Iain yang
mengangkut para malfetto pasti baru tiba kemarin malam.
Raffaele memandang kerumunan manusia yang bergerak
dan bergeser, kemudian kembali ke dalam kastel untuk me-
nuruni tangga.

48
The Rose Society

Beberapa malfetto mengenali Raffaele saat dia melang-


kah ke halaman utama. Wajah mereka bersinar. "ltu pemim-
pin Belati!" seru salah satunya.
Malfetto-malfetto lain menghambur ke arah Raffaele,
bersemangat ingin menyentuh tangan dan lengannya, meng-
harap bisa ditenangkan olehnya. ltu ritual rutin. Raffaele
berdiri diam di tengah-tengah mereka. Begitu banyak orang
yang mendambakan ketenangan.
Mata Raffaele terarah pada seorangpemuda tak beram-
but yang sedikit lebih tinggi darinya. Rambut pemuda itu
telah dibabat habis oleh wabah berdarah. Raffaele kemarin
juga melihat pemuda itu. Dia mengisyaratkannya untuk me-
langkah maju. Mata pemuda itu melebarterkejut, kemudian
dia buru-buru menghampiri Raffaele.
"Selamat pagi," sapa pemuda itu.
Raffaele memandangnya dengan saksama. "Selamat pa-
gi," balasnya.
Pemuda itu merendahkan suara. Dia kini tampak gu-
gup, mengetahui bahwa dirinya berhasil mendapatkan per-
hatian dari Raffaele lebih dulu dari yang lain. "Bisakah Anda
menemui adik saya?" tanyanya.
"Ya," jawab Raffaele tanpa ragu.
Wajah pemuda itu berseri-seri. Seperti halnya semua
orang, dia tampak tidak mampu memalingkan matanya
dari wajah Raffaele. Dia menyentuh lengan pramuria muda
itu. "Lewat sini," ujarnya.
Raffaele mengikutinya melewati kerumunan malfetto.
Noda kasar dan gelap melintang dari semua lengan mereka.

49
Marie Lu

Telinga-telinga cacat, ram but gelap berseling warn a perak.


Sepasang mata berlainan warna. Raffaele menghafal semua
tanda tersebut. Bisik-bisik muncul setiap kali dia lewat.
Mereka tiba di tempat adik pemuda itu. Gadis itu me-
ringkuk di sudut halaman, menyembunyikan wajah dibalik
sehelai syal. Saat melihat Raffaele mendekat, gadis itu bah-
kan meringkuk lebih dalam dan menundukkan pandangan.
Pemuda tadi mencondongkan tubuh pada Raffaele se-
lagi mereka mendekati gadis tersebut. "Seorang Inkuisitor
menyeretnya pada malam mereka memecahkan jendela-
jendela toko di Estenzia," gumamnya. Dia membungkuk le-
bih dekat dan membisikkan sesuatu di telinga Raffaele. Se-
lagi mendengarkan, Raffaele mengamati gadis itu, melihat
goresan, memar, juga Iuka hitam dan biru di kulit kakinya.
U sai pemuda itu bicara, Raffaele mengangguk mengerti.
Dia melipat jubah di bawah kakinya dan berlutut di sebelah
gadis tersebut. Gelombang energi gadis itu menyelubungi
Raffaele. Raffaele berjengit. Kepedihan dan rasa takut yang
Iuar biasa besar. Ka/au Adelina di sini, dia akan memanfaat-
kannya. Raffaele sangat berhati-hati untuk tidak menyentuh
gadis itu. Beberapa klien dulu melakukan hal yang sama
terhadapnya, membuat tubuhnya bengkak dan gemetar-
dan hal yang paling tidak dia inginkan setelah itu adalah
sentuhan tangan di kulitnya.
Untuk beberapa lama, Raffaele hanya duduk dan tidak
berkata sepatah pun. Gadis itu memandangnya dalam diam,
terpana memandang wajah Raffaele. Ketegangan di bahu
gadis itu tidak mengendur. Raffaele sempat merasakan ke-

50
The Rose Society

jijikan dan kebencian dalam diri gadis itu, tetapi Raffaele


sama sekali tidak berpaling.
Akhirnya, gadis itu bicara. "Kepala lnkuisitor akan mem-
perbudak kami semua. ltu yang kami dengar"
''Ya."
"Mereka bilang lnkuisisi telah mendirikan kemah-ke-
mah budak di sekeliling Estenzia."
"ltu benar"
Gadis itu tampak terkejut karena Raffaele tidak me-
nyangkal kabar buruk tersebut. "Mereka bilang, setelah
puas memperbudak kami, mereka akan membunuh kami
sernua."
Raffaele terdiam. Dia tahu dirinya tidak perlu menja-
wab.
'Apakah para Belati akan menghentikan sang Kepala
Inkuisitor?"
"Para Belati akan menghancurkannya," jawab Raffaele.
Kata-kata itu terdengar janggal di suara lembutnya, seperti
lempengan logam yang mengiris sehelai kain sutra. "Aku
akan memastikannya sendiri."
Mata gadis itu menelusuri wajah Raffaele lagi, menatap
raut elok yang lembut itu. Raffaele mengulurkan tangan
dan menunggu dengan sabar. Setelah beberapa lama, gadis
itu mengulurkan tangannya sendiri. Dia menyentuh tangan
Raffaele dengan hati-hati, kemudian terkesiap. Melalui
kontak itu, Raffaele dengan lembut menarik urat hati gadis
itu, berbagi dengan hatinya yang terluka, mengusap dan
membelai sebanyak yang dia bisa, mengganti kesedihan

51
Marie Lu

gadis itu dengan ketenangan. Aku menqerti. Air mata me-


rebak di mata gadis itu. Dia menyentuh tangan Raffaele de-
ngan lama, sampai akhirnya, dia menarik diri dan kembali
meringkuk sambil menunduk.
"Terima kasih," bisik kakak gadis itu. Malfetto lainnya
berkerumun di belakang Raffaele, memandang dengan tak-
jub. "lni kali pertama dia bicara sejak kami meninggalkan
Estenzia."
"Raffaele!"
Suara Lucent menginterupsi. Raffaele berbalik, me-
mandang Sang Pengelana Angin memotong jalan di tengah-
tengah keramaian. Rambut ikal tembaganya berkibar di
udara. Setiap inci dirinya terlihat seperti gadis Beldain pa-
da umumnya di kampung halamannya ini, dengan kerah
dan manset bulu di leher dan pergelangan tangan, juga se-
rangkaian manik-manik yang bergemerencing di rambut-
nya. Dia berhenti di depan Raffaele.
"Aku sebenarnya tidak senang menyela sesi pengobatan
rutinrnu," ujarnya, mengisyaratkan Raffaele untuk mengi-
kuti, "tapi dia tiba terlalu larut kemarin malam. Dia ingin
bertemu kita."
Raffaele menganggukkan isyarat selamat tinggal pada
para malfetto, kemudian berjalan bersama Lucent. Gadis
itu tampak kesal, mungkin akibat harus mencari-cari Raf-
faele, dan dia terus menggosok-gosok kedua tangannya.
"Musim panas di Kenettra sudah melemahkanku," keluhnya
selagi mereka berjalan. "Hawa dingin ini membuat tulang-
tulangku ngilu." Saat Raffaele tidak menanggapi, Lucent

52
The Rose Society

mengalihkan rasa sebalnya pada Raffaele. "Kau benar-benar


punya banyak waktu luang, ya?" tanyanya. "Menunjukkan
tatapan sedih pada para pengungsi malfetto setiap hari ti-
dak akan membantu kita menyerang balik Inkuisisi,"
Raffaele tidak mau repot-repot memandang Lucent.
"Bocah tak berambut itu seorang Elite," ujarnya.
Lucent mendengus tak percaya. "Sungguh?"
"Aku menyadarinya kernarin," Raffaele meneruskan.
"Energi yang sangat samar, tetapi ada. Aku akan memang-
gilnya nanti,"
Lucent memandang Raffaele dengan marah. Ada keti-
dakpercayaan di mata gadis itu, juga rasa kesal karena Raf-
faele telah berhasil membuatnya terkejut. Akhirnya, Lucent
mengangkat bahu. "Ah, kau selalu punya alasan bagus untuk
semua kebaikanmu, kan?" gumamnya. "Nah, Michel bilang
mereka sedang berada di bukit," Langkahnya semakin
cepat.
Raffaele tidak mengatakan bahwa hatinya masih te-
rasa berat, yang selalu terjadi setiap kali dia bertemu para
malfetto. Bahwa dia berharap bisa tinggal lebih lama, ingin
berbuat lebih banyak untuk membantu mereka. Tak ada
gunanya menyebut-nyebut soal ini. "Ratumu akan memaaf-
kanku," ujar Raffaele.
Lucent mendengus dan melipat kedua tangan. Tetapi di
balik sikap tak acuhnya, Raffaele bisa merasakan benang-
benang energi Lucent yang berjalin dengan menyakitkan,
simpulhasratdan rasa rinduyangterus mengencangselama
bertahun-tahun. Gadis itu cemas menantikan reuninya de-

53
Marie Lu

ngan sang Putri Beldain. Berapa lama sejak Lucent diusir


dari Beldain-berapa lama sejak dia terpisah dari Maeve?
Raffaele mulai berempati kepadanya. Dia menyentuh le-
ngan Lucent-benang-benang energi di sekeliling Lucent
berkilau, dan Raffaele meraih benang-benang tersebut, me-
rasakan kekuatan Lucent, memberinya ketenangan. Lucent
mengerlingnya sambil menaikkan alis.
"Kau akan bertemu dengannya," ujar Raffaele. "Aku jan-
ji. Maaf telah membuatmu menunggu."
Lucent sedikit tenang oleh sentuhannya. ''Aku tahu."
Mereka tiba di gerbang batu tinggi yang mengarah pa-
da halaman berumput luas di belakang kastel. Beberapa
prajurit sedang berlatih di teras. Lucent harus memimpin
Raffaele memutari pasangan-pasangan duel itu sebelum
mereka menyusuri rerumputan tinggi. Mereka memanjat
sebuah bukit kecil. Raffaele bergidik di tengah embusan
angin, mengerjap di antara rintik-rintik salju, dan merapat-
kan jubahnya.
Setelah sampai di puncak bukit, mereka akhirnya me-
Iihat dua anggota Belati lainnya. Michel, sang Arsitek, telah
menukar pakaian Kenettra-nya dengan mantel bulu Beldain
tebal yang menyembunyikan lehernya. Dia berbicara pelan
pada gadis di sebelahnya-Gemma, sang Pencuri Bintang,
yang masih nekat mengenakan gaun Kenettra favoritnya.
Meskipun begitu, dia tetap mengenakan jubah Beldain dan
menggigil kedinginan. Mereka mendongak untuk menyam-
but Lucent dan Raffaele.

54
The Rose Society

Gemma memandangmerekalama. Raffaeletahu Gemma


masih berharap mendengar kabar tentang ayahnya, tetapi
Raffaele hanya menggelengkan kepala. Baron Salvatore ada-
lah penyokong Belati lain yang belum membalas merpati
mereka. Wajah Gemma berubah muram, dan dia berpaling.
Raffaele mengalihkan perhatian pada orang-orang di
hamparan tersebut. Di dalam Iingkaran prajurit yang ber-
deret rapi, ada sekelompok pria bangsawan-pangeran,
dilihat dari lengan baju mereka yang berwarna biru tua-
dan seekor harimau putih dengan larik-larik emas. Ekor-
nya berdesir malas di rerumputan, matanya menyipit oleh
kantuk. Perhatian semua orang terarah pada pasangan
duel di tengah hamparan itu. Yang satu seorang pangeran
be ram but pirang terang dan wajah berkerut. Dia menebas-
kan pedangnya ke depan.
Lawannya adalah seorang wanita muda-seorang ga-
dis, tepatnya-dengan bulu-bulu yang melapisi jubahnya.
Pipinya dihiasi corengan berwarna emas, dan rambutnya-
yang berwarna setengah hitam-setengah emas-mem-
bentuk serangkaian kepangan yang menyerupai bulu di
punggung serigala marah. Gadis itu menepis tebasan ter-
sebut dengan mudah, nyengir pada sang Pangeran, dan me-
lambaikan pedangnya sendiri untuk bertumbukan dengan
pedang pangeran itu. Bilah-bilah pedang berkilat dalam ca-
haya pagi.
Michel mendekat pada Raffaele. "Dia sekarang ratu,"
gumamnya. "lbunya meninggal beberapa minggu yang lalu.

55
Marie Lu

Aku tadi tak sengaja memanggilnya Yang Mulia Anggota


Kerajaan-jangan lakukan hal yang sama."
Raffaele mengangguk. "Terima kasih telah mengingat-
kan." Yang Mulia Ratu Maeve dari Beldain. Raffaele me-
ngernyit selagi gadis itu berduel. Ada energi di sekeliling
Maeve, benang-benang janggal yang pastilah dimiliki se-
orang Elite. Tak seorang pun pernah mengaitkan sang Putri
Beldain dengan hal ini-tetapi semua tanda tersebut ada,
berkilauan dalam serangkaian benang yang berdesir di se-
kelilingnya. Apa gadis itu menyadari energi tersebut? Kena-
pa dia memilih merahasiakannya?
Perhatian Raffaele kemudian teralih pada salah satu
pangeran yang menonton. Pangeran termuda. Raffaele me-
ngernyit lebih dalam. Pangeran itu pun memiliki energi
tertentu, tetapi bukan energi seorang Elite. Bukan benang-
benang energi dari dunia yang hidup. Raffaele mengerjap,
bingung. Saat dia berusaha menyentuh energi yang janggal
itu, kekuatan Raffaele sendiri langsung berjengit, seolah-
olah terbakar oleh sesuatu yang sedingin es.
Dentingan pedang menyadarkan Raffaele untuk kem-
bali melihatduel terse but. Maeve berkali-kali mengayunkan
pedang pada kakaknya. Dia mendorong kakaknya ke tepi
Iingkaran di antara mereka, tempat para prajurit sedang
berjaga-dan kernudian, rnendadak, kakak Maeve mulai
melawan dengan liar, memaksa Maeve untuk kembali ke
tengah. Raffaele memandang mereka saksama. Meskipun
sang Pangeran lebih tinggi beberapa sentimeter dari Maeve,
Maeve tidak tampak terintimidasi. Dia malah melontarkan

56
The Rose Society

ejekan saat menepis pedang kakaknya, tertawa lagi, dan


berputar. Dia mencoba membuat kakaknya lengah, tapi
kemudian kakaknya lebih dulu bisa menebak rencananya.
Kakak Maeve tiba-tiba berjongkok dan menyerang kaki
Maeve. Maeve terlambat menyadari kesalahannya-dan
terjatuh.
Sang Pangeran berdiri menjulang di hadapan Maeve,
pedangnya teracung pada dada Maeve. Lelaki itu meng-
gelengkan kepala. "Lebih baik," katanya. "Tapi, kau masih
terlalu bersemangat menyerang sebelum benar-benar ya-
kin arah seranganku." Dia menunjuk lengannya sendiri, ke-
mudian mengayunkannya dengan pelan. "Lihat ini? lnilah
yang tadi tidak kau sadari. Perhatikan sudutnya sebelum
kau memutuskan menyerang."
"Dia menyadari itu, Augustine," sela salah satu pangeran
lain, mengedipkan sebelah mata pada Maeve. "Dia hanya ti-
dak bereaksi terlalu cepat."
"Kalau menepis serangan-mu, aku pasti bisa bereaksi
cukup cepat," sahut Maeve, mengacungkan pedang pada ka-
kak keduanya. Beberapa pangeran lain terkikik. "Dan, kau
akan berjalan pulang dengan terseok-seok malam harinya."
Maeve menyarungkan pedang, berjalan untuk membelai
telinga belakang si Harimau, lalu mengangguk pada Augus-
tine. 'Aku akan melakukannya dengan lebih baik, janji. Mari
berlatih lagi nanti sore."
Raffaele melihat pangeran itu tersenyum serta mem-
bungkuk pada adiknya. "Terserah kau," jawab sang Pange-
ran.

57
Marie Lu

Sang Pangeran menunjuk para Belati, dan Maeve meng-


alihkan perhatiannya. Michel dan Gemma segera berlutut.
Tatapan pertama Maeve terfokus pada Lucent-selintas
pengenalan muncul di wajahnya-dan suasana hati Mae-
ve yang tadinya ringan pun berubah serius. Maeve tidak
berkata sepatah pun. Alih-alih, dia menunggu sementara
Lucent berlutut dan menundukkan kepala, ram but ikal Lu-
centjatuh ke depan. Maeve memandang Lucentsedikitlebih
lama. Kem udian, tatapan tajam Maeve jatuh pad a Raffaele,
dan Raffaele menurunkan kelopak matanya. Dia mengikuti
gestur Lucent.
"Yang Mulia," ujar Raffaele.
Maeve memegang pangkal pedangnya. Kedua pipinya
masih merah oleh semangat. "Lihat aku," perintahnya. Saat
Raffaele mematuhinya, Maeve melanjutkan, 'Apakah kau
Raffaele Laurent Bessette? Sang Pembawa Pesan?"
"Benar, Yang Mulia."
Maeve sesaat memandangnya. Dia tampaknya meng-
amati mata kiri Raffaele yang berwarna hijau musim pa-
nas, kemudian mata kanannya yang emas madu. Maeve ter-
senyum liar dan menampakkan giginya. "Kau seelok yang
dikatakan orang-orang. Nama yang indah, untuk wajah
yang indah."
Raffaele membiarkan dirinya tersipu, lalu menelengkan
kepala dengan samar seperti yang selalu dia lakukan pada
klien-kliennya. "Sungguh kehormatan, Yang Mulia. Saya ter-
sanjung, reputasi saya ternyata sudah sampai ke Beldain."

58
The Rose Society

Maeve mengawasi Raffaele sambil termenung. "Kau


penasihat Pangeran Enzo yang paling dia percaya. Dia se-
lalu membicarakan dirimu dengan hangat. Dan sekarang,
sepertinya kau telah mengambil tempatnya sebagai pemim-
pin para Belati. Selamat."
Jantung Raffaele berdegup lebih kencang ketika dia
berusaha mengabaikan sengatan tak asing yang ditimbul-
kan oleh nama Enzo. "ltu bukan sesuatu yang patut saya ra-
yakan," ujarnya.
Mata Maeve sesaat melembut, barangkali karena dia
teringat kematian ibunya sendiri. Sepertinya ada hal lain
tentang kematian Enzo yang membangkitkan minat Maeve,
emosi singkat yang bisa dirasakan Raffaele dari sang Ratu,
tetapi Maeve memutuskan untuk tidak bicara. Raffaele ber-
tanya-tanya apa yang sedang dia pikirkan. "Tentu saja ti-
dak," kata Maeve akhirnya.
Augustine membisikkan sesuatu di telinga Maeve. Ratu
muda itu mencondongkan tubuh ke arah sang Pangeran-
dan meskipun Maeve terus memusatkan Perhatian pada
Raffaele, dari sirat-sirat energinya Raffaele tahu bahwa
Maeve sangat ingin memandang Lucent. "Kematian Pange-
ran Enzo sama sekali tidak kuharapkan, karena aku tadinya
berharap dia akan membuka jalur dagang antara Kenettra
dan Beldain. ltu juga pasti bukan sesuatu yang kau harapkan,
Sang Pembawa Pesan, karena dia jadi menyebabkan dirimu
tidak punya pemimpin. Tapi, sang Raja juga telah wafat.
Giulietta sekarang mengambil posisinya, katamu, dan pe-
ngungsi malfetto datang ke negaraku setiap hari."

59
Marie Lu

"Anda benar-benar baik karena bersedia menerima


kami, Yang Mulia,"
"Omong kosong," Maeve mengayunkan tangan dengan
tak sabar, mengisyaratkan mereka untuk berdiri. Kemu-
dian, Maeve bersiul untuk memanggil kuda-kudanya. Ha-
rimau putihnya berdiri dari tempatnya beristirahat tadi,
lalu melangkah ke arah Maeve. "Para dewalah yang me-
nyebabkan wabah berdarah itu, Raffaele," dia berkata saat
mereka semua naik ke sadel kuda, "para dewa jugalah
yang menciptakan orang-orang yang tertandai serta para
Elite. Membunuh anak-anak para dewa merupakan peng-
hinaan besar." Maeve menepukkan tumitnya pada bagian
belakang tubuh kuda. Dia membimbing para Belati menu-
ju bukit yang lebih tinggi. "Meskipun demikian, aku tidak
menerima kalian atas dasar kebaikan hati. Anggota-ang-
gota Belatimu sekarang melemah. Pemimpinmu tewas,
dan aku mendengar kabar burung bahwa salah satu dari
kalian berkhianat, bahwa dia bekerja dengan lnkuisisi. Para
penyokong kalian sudah menyerah atau kabur atau tertang-
kap dan terbun uh."
"Kecuali Anda," ujar Raffaele, ''Yang Mulia,"
"Kecuali aku," Maeve membenarkan. "Dan, aku juga
masih tertarik pada Kenettra."
Raffaele terdiam selagi sang Ratu membimbing mereka
menuju sisi tebingyang curam. Ombak di bawah sana meng-
hantam-hantam bebatuan. "Mengapa Anda membawa kami
kemari?" tanya Raffaele.

60
The Rose Society

"Biar kutunjukkan sesuatu." Sesaat, Maeve memimpin


menyusuri tepian tebing, sampai akhirnya mereka tiba di
cekungan yang melindungi mereka dari angin kencang. Me-
reka begitu dekat dengan tebing sampai-sampai Raffaele
bisa melihat seantero teluk.
Pemandangan di bawah menakjubkan. Di belakang
Raffaele, Lucent menahan napas.
Ratusan kapal perang Beldain menitik di pantai-pantai
teluk. Para pelaut sibuk berseliweran di gang-gang untuk
menuju dek, menaikkan krat-krat kayu. Kapal-kapal itu
mengular di sepanjang lautan di bawah tebing-tebing.
Raffaele menoleh pada Maeve. ''Anda berencana men-
duduki Kenettra?"
"Kalau aku tidak berhasil membuat putra mahkota
malfetto-mu duduk di singgasana, akulah yang akan men-
dudukinya," Maeve berhenti sejenak, mengamati wajah Raf-
faele untuk melihat reaksinya. "Tapi, aku butuh bantuan-
mu."
Raffaele hanya terdiam. Kali terakhir Beldain berperang
dengan Kenettra adalah lebih dari seratus tahun silam. Ka-
lau Enzo tahu tentang ini, apa yang akan dia pikirkan? Apa-
kah dia akan menyerahkan mahkotanya kepada seorang
ratu asing? Tak pentinq, Raffaele mengingatkan diri dengan
kasar. Karena Enzo sudah mati.
"Bantuan apa yang Anda butuhkan?" tanya Raffaele se-
saat kemudian.
"Kudengar Master Teren Santoro ada sangkut pautnya
dengan kematian sang Raja," sahut Maeve. "Benarkah itu?"

61
Marie Lu

"Ya."
"Mengapa dia ingin sang Raja tewas?"
"Karena dia jatuh cinta dengan Ratu Giulietta. Ratu
Giuletta membiarkan Teren di sampingnya semata karena
membutuhkan bantuan Teren, di samping hal-hal lainnya."
"Ah, Seorang kekasih," kata Maeve. Mendengar itu, mata
Lucent sepintas mengerling sang Ratu, kemudian kembali
berpaling. "Giulietta masih muda, pemula, dan rapuh. Aku
ingin lnkuisisi dan para prajuritnya melemah. Bantuan apa
yang bis a kau berikan T'
Raffaele berkonsentrasi. "Giulietta kuat dengan Teren
di sisinya," ujar Raffaele. Dia bertukar pandang dengan ma-
sing- masing anggota Belati selagi melanjutkan. "Tapi, Teren
bertekuklututpada sesuatuyang bahkan lebih kuatdaripada
ratunya-keyakinan bahwa dia telah diperintahkan oleh
para dewa untuk menghancurkan malfetto. Kalau kita
mampu mematahkan rasa percaya di antara mereka dan
memisahkan mereka, barulah penyerangan ini memiliki
kemungkinan untuk berhasil. Dan, untuk mematahkan rasa
percaya di antara mereka, kita harus membuat Teren me-
lawan ratunya."
"Dia tidak akan pernah melakukan itu," sela Lucent.
"Pernahkah kau melihatTeren didekatGiulietta? Pernahkah
kau mendengar Teren bicara tentangnya?"
"Ya," Michel mengiakan. "Teren mematuhi ratunya se-
perti anjing. Dia lebih baik mati daripada mengkhianatinya."
Bahkan Gemma, yang sejak tadi terdiam, ikut angkat
bicara. "Kalau Anda ingin mereka melawan satu sama lain,

62
The Rose Society

itu artinya kita harus memasuki kota," ujarnya. "Tapi un-


tuk sekarang, nyaris mustahil untuk memasuki Estenzia.
Semua malfetto telah dipaksa untuk keluar dari batas-batas
kota. lnkuisisi berjaga di setiap jalanan. Kita tidak bisa me-
nembus batas-batas kota ataupun gerbang, bahkan dengan
kekuatan Lucent. Ada terlalu banyak prajurit."
Bulu-bulu di mantel Maeve menyapu kedua pipi sang
Ratu. "Kenettra baru mendapatkan seorang pemimpin ba-
ru," ujar Maeve. "Menurut tradisi, aku harus berlayar me-
nuju Estenzia untuk menemuinya, menawarkan hadiah-
hadiah dan ucapan selamat datang. Menawarkan janji per-
sahabatan." Dia menaikkan kedua alis dan tersenyum. Di
belakangnya, Augustine tertawa kecil. Maeve kembali me-
mandang Raffaele. ''Aku akan membantu kalian masuk ke
kota, Pembawa Pesanku, kalau kalian bersedia menempat-
kan rintangan di antara sang Ratu dan si lnkuisitor."
"Saya seorang pramuria," balas Raffaele. "Saya akan
menemukan cara."
Maeve sesaat terdiam, merenung. ''Ada yang lain," dia
berkata tanpa memandang Raffaele.
''Ya, Yang Mulia?"
"Beri tahu aku, Raffaele," dia melanjutkan, perlahan
menoleh pada Raffaele, "bahwa kau bisa merasakan kekuat-
anku," Dia mengucapkannya dengan cukup keras sehingga
bisa didengar oleh semua anggota Belati. Michel, yang ber-
diri paling dekat dengan mereka, terpaku. Gemma meng-
hela napas tajam. Namun, reaksi Lucent-lab yang paling

63
Marie Lu

Raffaele perhatikan-wajah gadis itu mendadak pucat pasi,


sorot matanya terkejut. Dia mengerling Raffaele.
"Kekuatannya?" tanya Lucent, untuk kali pertama lupa
menyebut gelar Maeve.
Raffaele ragu-ragu, kemudian menunduk pada sang
Ratu. "Saya bisa merasakannya," dia menjawab. "Saya pikir
akan terdengar tidak sopan untuk bertanya, sampai Anda
memutuskan untuk menyampaikannya sendiri."
Maeve tersenyum kecil. "Kalau begitu, tidak akan me-
ngejutkanmu kan, kalau aku juga memberitahumu bahwa
aku seorang Elite." Dia sepertinya tidak menanggapi keka-
getan Lucent-meskipun sepintas menatap tajam ke arah
gadis itu.
Raffaele menggeleng. "Saya tidak terkejut, Yang Mulia.
Namun, sepertinya kata-kata Anda punya efekyang berbeda
terhadap para Belati saya."
"Dan, bisakah kau menebak apa yang bisa kulakukan?"
Raffaele sekali lagi mempelajari energi yang menye-
lubungi diri Maeve. Rasanya tidak asing, sesuatu yang mem-
buat Raffaele merasa dingin. Sesuatu tentang Maeve ber-
kaitan dengan kegelapan, dengan malaikat Ketakutan dan
Kemarahan, dewi Kematian. Keterkaitan yang juga Raffaele
rasakan terhadap Adelina dulu. lngatan tentang Adelina
saja sudah membuat Raffaele mencengkeram tali kekang
kudanya. "Saya tidak tahu, Yang Mulia," jawab Raffaele.
Maeve menoleh ke arah pangeran termuda, yang masih
mengenakan topeng duel, lalu mengangguk. "Tristan," ujar
Maeve. "lzinkan kami melihat wajahmu."

64
The Rose Society

Saudara-saudaranya yang lain bergeming mendengar


perintah Maeve. Raffaele merasakan hati Lucent mencelus,
dan saatRaffaele mengerling Lucent, mata gadis itu melebar.
Pangeran termuda itu mengangguk, kemudian mengangkat
kedua tangan dan melepas topengnya.
Dia sangat mirip dengan Maeve, layaknya saudara-sau-
daranya yang lain. Tetapi, sementara pangeran-pangeran
yang lain tampak alami dan utuh, pangeran ini tidak-
energinya yang mengerikan masih terpancar, menghantui
Raffaele.
"Kakakku yang terrnuda, Pangeran Tristan," ujar Maeve.
Lucent-lab yang akhirnya memecah keheningan. "Kau
bilang di surat-suratmu bahwa dia selamat," ujarnya dengan
suara tercekik. "Kau bilang dia tidak mati."
"Dia mati." Wajah Maeve mengeras. "Tetapi, aku mem-
bangkitkannya lagi."
Lucent menjadi pucat. "ltu mustahil. Kau bilang-dia
nyaris tenggelam-dan ibumu-lbu Ratu-mengusirku ka-
rena putranya nyaris tewas. lni mustahil. Kau-" Dia meng-
hampiri Maeve. "Kau tidak pernah memberitahuku. Aku ti-
dak membaca apa pun tentang ini di surat-suratmu."
"Aku tidak bisa mernberitahumu," sahut Maeve tajam.
Kemudian, dia melanjutkan dengan suara lebih pelan. "lbu-
ku mengawasi setiap surat yang dikirim dari istana, ter-
utama surat-surat yang kutujukan padamu. Aku tidak mau
mengambil risiko dia tahu tentang kekuatanku. Dia, seperti
halnya kau, dan semua orang, mengira Tristan tidak mati,

65
Marie Lu

karena aku membangkitkannya pada malam yang sama


saat kau diusir."
Raffaele hanya bisa menatap sang Pangeran, nyaris ti-
dak memercayai apayang ada di hadapannya. Kumpulan be-
nang energi yang tidak dimiliki dunia orang hidup. Raffaele
mulai memahami apa tepatnya hal yang menggelisahkan
dan janggal tadi. Dia pun segera paham mengapa Maeve m em-
beritahunya tentang ini.
"Enzo," bisiknya. 'Anda ingin-"
"Aku ingin membangkitkan pangeranmu," Maeve me-
nyelesaikan. "Seperti yang kau lihat, Tristan mampu me-
nikmati kehidupan lagi. Meskipun begitu, dia telah mem-
bawa beberapa bagian Alam Kematian bersamanya. Dia kini
memiliki kekuatan yang setara dengan kekuatan selusin
manusia."
Gagasan bahwa Enzo hidup kernbali, membuat napas
Raffaele sesak. Sesaat, dunia serasa berputar. Tidak. Tung­
gu. Ada hal lain ten tang Pangeran Tristan yang belum dibe-
ritahukan sang Ratu padanya. "Dan, bagaimana kalau yang
dibangkitkan adalah seorang Elite?" tanyanya.
Maeve kembali tersenyum. "Membangkitkan Elite dari
kematian pasti juga melipatgandakan kekuatannya. Dan,
seseorang sekuat Enzo pasti akan nyaris tak terkalahkan
setelah dibangkitkan. Aku ingin dia berada di pihak kita sa-
at kita menyerang Kenettra. ltu akan menjadi semacam uji
coba, kreasi Elite dariku di antara para Elite lainnya." Dia
mencondongkan tubuh pada Raffaele. "Pikirkan kemung-

66
The Rose Society

kinan-kemungkinannya-semua Elite mati yang bisa ku-


bangkitkan, kekuatan l uar biasa di pihak kita."
Raffaele kembali menggeleng. Dia seharusnya merasa
gembira terhadap gagasan untuk melihat sang Pangeran
lagi. Tetapt, dia terpaku saat merasakan noda Alam Ke-
matian yang menguasai energi Tristan.
"Kau ragu itu akan berhasil," kata Maeve kemudian.
"Orang-orang yang kubangkitkan harus selalu terikat de-
ngan manusia dari dunia hidup. Mereka membutuhkan
benang-benang kehidupan untuk menahan mereka dari se-
retan Alam Kematian. Tristan terikat erat denganku, mem-
buatku bisa mengendalikan serta melindunginya. Enzo juga
harus terikat dengan seseorang."
Terikat denganku. Mata Raffaele menyipit saat meman-
dang Maeve. Inilah yang dia ingin aku lakukan. ''.Aku tidak
bisa ambil bagian dalam hal ini," kata Raffaele akhirnya.
Suaranya tegas meskipun parau. "lni melawan perintah pa-
ra dewa."
Suara Maeve berubah kasar. ''.Aku putri para dewa," sen-
taknya. "Aku dianugerahi kekuatan ini. Para dewa member-
katinya-ini tidak melawan perintah siapa pun."
Raffaele menundukkan kepala. Kedua tangannya geme-
tar. ''.Aku tidak bisa menyetujuinya, Yang Mulia," ujarnya
lagi. "Jiwa Enzo telah beristirahat dengan tenang di Alam
Kematian. Menyeretnya kembali kemari, jauh dari sisi Mori-
tas yang suci, dan membuat dirinya memasuki dunia orang
hidup lagi ... dia bukanlah milik dunia ini lagi. Biarkan dia
beristirahat dengan tenang,"

67
Marie Lu

"Aku tidak meminta izinmu, Pramuria," sahut Maeve


tegas. Saat Raffaele mendongak padanya, Maeve meng-
angkat dagu. "lngat, Raffaele, bahwa Enzo adalah Putra
Mahkota Kenettra. Seorang malfetto, seorang Elite, pemim-
pinmu yang terdahulu. Dia tidak pantas mati. Dia pantasnya
kembali, untuk melihat negeri malfetto-nya selamat. Aku
memang akan memimpin Kenettra, tetapi aku akan meng-
izinkannya menggantikanku saat aku sedang tidak hadir."
Sorot matanya sekeras batu. "Bukankah ini yang selalu di-
perjuangkan olehmu dan para Belatimu?"
Raffaele bergeming. Dia berumur tujuh belas tahun
lagi, berdiri di hadapan lautan bangsawan di Fortunata
Court, merasakan energi Enzo untuk kali pertama. Dia ber-
ada di gua-gua bawah tanah di kediaman para Belati dulu,
memandang sang Pangeran yang sedang berlatih bersama
anggota-anggota lainnya. Raffaele memandang Michel, ke-
mudian Gemma, dan Lucent. Mereka balas memandang
Raffaele, tampak muram dan diam. lnilah yang pasti mereka
semua inginkan.
Tetapi, Enzo sudah mati. Mereka berduka, dan sudah
berdamai dengan kesedihan mereka. Dan sekarang ....
"Aku akan membangkitkannya," lanjut Maeve, "dan aku
akan mengikat dirinya dengan siapa pun yang kumau." Ke-
mudian, suaranya melembut. "Tetapi, aku lebih suka meng-
ikatnya bersama orang yang paling menyayanginya. lkatan
dengan alam kehidupan akan menjadi sangat kuat dengan
cara terse but."

68
The Rose Society

Raffaele masih tidak menanggapi. Dia memejamkan


mata, berusaha menenangkan pikirannya. Menghalau pe-
rasaan tumpang-tindih yang menyiratkan bahwa ide ini
tidaklah benar. Akhirnya, dia membuka mata dan bersitatap
dengan sang Ratu. ''Apakah dia akan tetap sama?"
"Kita tidak akan tahu," ujar Maeve pelan, "sampai aku
mencoba."[]

69
Adegan VII
(Semuanya keluar ruangan, kecuali si "Bocah".)
BOCAH. Apakah kau ogre?
(Ogre masuk)
OGRE. Apakah kau kesatria?
BOCAH. Aku bukan kesatria! Bukan pula raja, penyelidik,
atau pendeta.
Karena itulah, kau bisa meyakini bahwa aku tidak di sini untuk
mencuri permata itu.
-Terjemahan asli Godaan Permata karangan Tristan Chirsley

Adelina Amouteru

2ft' emandian m ungil Bethesda ternyata hanya serangkaian


tf9 reruntuhan di pinggiran Merroutas.
Keesokan paginya, saat matahari menukik di cakrawala
dan perahu-perahu nelayan singgah di teluk, Violetta dan
aku menyusuri jalan setapak kotor di luar gerbang utama
kota, menuju deretan rumah berkubah yang berdiri di
bawah bekas lengkung-lengkung terowongan air.
Tempat itu sepertinya pernah ramai. Tetapi, peman-
diannya sendiri-tepatnya sisa-sisanya-dibangun di atas
tanah lunak, yang semakin memastikan nasibnya. Usai me-
nelantarkan pemandian tersebut, orang-orang pasti juga

70
The Rose Society

menelantarkan rumah-rumah di sekitarnya-tetapi mung-


kin juga terowongan-terowongan air sudah hancur terlebih
dahulu. Pilar-pilar gerbangnya telah runtuh. Fondasinya,
yang dibangun dari batu, melesak di tanah berlumpur.
Sulur-sulur tanaman rambat merayapi bebatuan, bunga-
bunganya berwarna hijau dan kuning terang. Aku merasa-
kan ketertarikan kuat terhadap tempat cantik yang sudah
hancurini.
"Dia di sini," bisik Violetta di sebelahku, alisnya berkerut
penuh konsentrasi.
"Bagus." Aku memasang topeng di sisi wajahku yang
rusak, kemudian berjalan mendekat menuju pintu masuk.
Bagian dalam pemandian itu terasa sejuk dan gelap.
Langit-langitnya yang melengkung dilapisi lumut serta ta-
naman rambat. Berkas-berkas cahaya menerobos lubang-
lubang di langit-langit, menyinari genangan air di lantai.
Kami melangkah hati-hati melalui deretan pilar marbel
kuno. U dara menguarkan aroma basah sekaligus wangi,
mengesankan sesuatu yang masih baru dan hidup. Suara
tetesan air menggema di sekeliling kami.
Akhirnya, aku berhenti di dekat kolam pemandian. "Di
mana dia?" bisikku.
Violetta mendongak ke langit-langit. Dia setengah ber-
putar, kemudian memusatkan perhatian pada sebuah sudut
gelap di ruangan itu. "Di sana."
Aku berusaha untuk melihat ke dalam bayang-bayang.
"Magiano," panggilku. Suaraku membuatku tercengang-
bergaung di tembok-ternbok, lagi dan lagi, sampai akhirnya

71
Marie Lu

memudar. Aku berdeham, sedikit merasa malu, lalu me-


lanjutkan dengan suara lebih pelan. "Kami diberi tahu bah-
wa kami bisa menemuimu di sini."
Hening lama. Begitu lamanya sampai-sampai aku berta-
nya-tanya apakah Violetta mungkin membuat kesalahan.
Kemudian, seseorang tertawa. Saat suara itu bergaung
dari permukaan ke permukaan, muncul semburan dedaun-
an dari susuran berlumut. Kilatan kepang-kepang gelap
tampak timbul tenggelam dalam cahaya. Aku naluriah me-
rentangkan sebelah tangan di depan Violetta, seolah-olah
itu bisa melindunginya.
"Adelina," panggil sebuah suara dengan bersemangat.
"Sungguh menyenangkan bertemu denganmu."
Aku berusaha menerka dari mana suara itu berasal.
"Kau Magiano?" sahutku. "Atau, kau hanya ingin mem-
permainkan kami?"
"Apakah kau ingat komedi berjudul Godaan Permata?"
lanjut orang itu setelah jeda sesaat. "Drama itu diseleng-
garakan di Kenettra beberapa tahun yang lalu, dan sempat
naik daun, sebelum lnkuisisi mencekalnya."
Aku ingat drama itu. Godaan Permata bercerita tentang
kesatria sombong dan membosankan yang terus-menerus
mengoceh bahwa dia mampu mencuri permata dari sarang
ogre. Tapi, dia kalah oleh seorang bocah licik yang berha-
sil mencuri permata itu terlebih dahulu. Cerita itu ditulis
Tristan Chirsley, pengarang terkenal yang sama dengan
yang menulis kumpulan Kisah Sang Pencuri Bintang, dan

72
The Rose Society

pertunjukan terakhirnya diselenggarakan di Dalia, dalam


teater yang disesaki banyak orang.
Sang Pencuri Bintang. Aku menggelengkan kepala, ber-
usaha untuktidakmemikirkan Gemmadanyang lainnya. "Ya,
tentu saja aku ingat," aku menanggapi. ''Apa hubungannya?
Apa kau pengagum Chirsley?"
Terdengar tawa lagi di ruangan luas itu. Terdengar
langkah kaki, dan muncul hujan dedaunan lagi dari atas
kami. Kali ini, kami mendongak, dan melihat siluet gelap
yang sedang berjongkok di salah satu rangka langit-langit
bobrok. Aku melangkah ke samping demi bisa melihatnya
dengan lebih saksama. Dalam bayang-bayang, yang bisa ku-
lihat hanyalah sepasang mata berwarna ernas, menatapku
dengan penasaran.
''Ada hubungannya," sahut orang itu, "karena akulah
yang menginspirasi drama tersebut,"
Aku melontarkan tawa sebelum bisa menahannya.
"Kau menginspirasi drama Chirsley?"
Dia menggantungkan kakinya. Kuperhatikan hari ini
dia tidak mengenakan sepatu. "lnkuisisi mencekal drama
itu, karena drama tersebut bercerita tentang pencurian
mahkota permata milik sang Ratu,"
Aku melihat tatapan ragu Violetta. Aku teringat kabar
burung yang kami dengar di sepanjang perjalanan, tentang
bagaimana Magiano mencuri mahkota Ratu Giulietta. "Siapa
tokoh yang tersarikan dari dirimu? Si Bocah Pintar atau si
Kesatria Sombong?" sindirku.

73
Marie Lu

Sekarang, aku bisa melihat gigi putih cemerlangnya


dalam kegelapan. Senyuman gembira itu. "Kau menyakiti
hatiku, Sayang," ujarnya. Dia merogoh sesuatu di sakunya,
kemudian melemparkannya pada kami. Benda itu jatuh
dengan mulus, berkilauan. Lalu, tercebur ke dalam sisi ko-
lam terdangkal.
"Kau melupakan cincinmu kemarin malarn," ujar Ma-
giano.
Cincinku? Aku bergegas menghambur ke kolam, ber-
lutut, memicingkan mata ke arah air. Cincin perak itu berki-
lau dalam siraman cahaya, mengerling padaku. ltu cincin
yang selalu kupakai di jari manisku. Aku menggulung lengan
baju, meraih cincin tersebut, dan menggenggamnya.
Dia tak mungkin mengambilnya dariku kemarin malam.
Mustahil. Dia bahkan tidak menyentuh kedua tanganku. Dia
bahkan tidak turun dari balkon!
Pemuda itu tertawa sebelum melemparkan benda lain,
kali ini ke arah Violetta. "Mari kita lihat, apa lagi.. .. n Saat ben-
da itu meluncur ke bawah, ternyata itu secarik kain panjang.
"lkat pinggang dari gaunmu, lady­ku," katanya pada Violetta
sambil menunduk dengan mengejek. "Tepat saat kau masuk
ke dalam pemandian int"
Dia melemparkan barang-barang kami yang lain, ter-
masuk jepit emas yang tadinya tersemat di tudungku, dan
tiga permata dari lengan baju Violetta. Bulu-bulu di lengan-
ku berdiri. "Kalian berdua sangat pelupa," ujarnya dengan
nada menyalahkan.

74
The Rose Society

Violetta membungkuk untuk mengambil barang-ba-


rangnya. Dia memandang Magiano dengan jengkel selagi
menyematkan permata-permata itu kembali ke lengan ba-
junya. "Kurasa kita baru bertemu seseorang yang terhor-
mat, Adelina," gumam Violetta padaku.
"Apakah ini dimaksudkan untuk membuat kami terka-
gum-kagum?" seruku pada Magiano. "Pertunjukan tipu mus-
lihat murahan?"
"Gadis konyol. Aku tahu apa yang sebenarnya kau ta-
nyakan," Dia melompat ke naungan cahaya. "Kau bertanya
padaku bagaimana aku bisa melakukannya. Kau tidak tahu,
kan?" Dia pemuda yang sama dengan yang kami lihat ke-
marin. Kepang-kepang tebal menggantung di bahunya, dan
dia mengenakan tunik warna-warni yang memiliki macam-
macam tambalan-dari perca sutra sampai daun berwarna
cokelat. Saat melihat lebih saksama, aku sadar daun itu
ternyata terbuat dari logam. Dari emas.
Senyumnya sama seperti yang kuingat-liar, tajam de-
ngan kesan bahwa dia mengamati segala sesuatu pada diri
kami. Mengamati barang-barang kami. Sesuatu ten tang ma-
tanya menimbulkan rasa dingin dalam diriku. Rasa dingin
yang menyenangkan.
Magiano yang tersohor.
"Kuakui aku tidak tahu bagaimana caramu mengambil
barang-barang karni," kataku sambil mengedikkan kepala.
"Tolong. Beri penjelasan."
Dia mengambil kecapi dari punggungnya dan memetik
beberapa nada. "Jadi, kau memang terkesan."

75
Marie Lu

Pandanganku beralih pada kecapi tersebut. kecapi itu


berbeda dengan yang kemarin. Alat musik yang dia miliki
sekarang tampak mewah, berlapis berlian-berlian serta
zamrud. Senar-senarnya dicat emas, pegangannya terbuat
dari permata. Benda itu tampak berpendar.
Magiano mengulurkan kecapinya pada kami agar kami
bisa mengaguminya. Benda tersebut bekerlap-kerlip liar
diterpa cahaya. "Tidakkah ia mengagumkan? lni kecapi ter-
baik yang bisa dibeli dengan basil judi semalaman."
Jadi, beginilah cara seorang pencuri terkenal mengha-
biskan uang kemenangannya. "Di mana sih kau membeli
benda menggelikan seperti itu?" tanyaku sebelum bisa me-
nahan diri.
Magiano mengerjap terkejut, kemudian menampak-
kan kernyitan sakit hati. Dia memeluk kecapinya. "Kupikir
ini cantik," katanya defensif.
Violetta dan aku saling pandang. 'Apa kekuatanmu?"
tanyaku. "Semua kabar burung menyatakan bahwa kau
Elite Muda. Benarkah? Atau, kau hanya seorang pemuda
yang berbakat mencuri?"
"Dan bagaimana kalau aku bukan Elite?" tanyanya sam-
bil nyengir. "Apakah kau akan kecewa?"
"Ya."
Magiano menempel di rangka langit-langit, memeluk
kecapi, dan memandangku seperti seekor binatang. Kata-
nya, "Baiklah. Aku akan menjelaskan." Dia mengorek gigi-
nya. "Kau pekerja ilusi. Benar?"
Aku mengangguk.

76
The Rose Society

Dia melambai padaku. "Ciptakan sesuatu. Apa pun. Ayo.


Buat tempat bobrok ini menjadi cantik."
Dia menantangku. Aku memandang Violetta, dan dia
mengangkat bahu, seolah-olah mengizinkanku. Aku meng-
hela napas dalam-dalam, meraih benang-benang energi
yang terkubur dalam diriku, menariknya keluar, dan mulai
menenunnya.
Segala hal di sekeliling kami-pemandian ini-berubah
penampakan bukit-bukit hijau di bawah langit mendung.
Air terjun yang curam berderet di sebelah sisinya. Beberapa
ekor balira mengangkut kapal-kapal dari lautan menuju
puncak air terjun, lalu menurunkannya dengan aman di
lautan dangkal di atasnya. Dalia, kota kelahiranku. Aku te-
rus menenun. Angin hangat menerpa kami, dan udara dipe-
nuhi aroma hujan yang akan turun.
Magiano memandang ilusi itu dengan mata melebar.
Kejailan dan kesombongannya lenyap-dia mengerjap,
seolah-olah tak memercayai apa yang sedang dia lihat.
Ketika dia akhirnya memandangku, senyumnya dipenuhi
ketakjuban. Dia menghela napas panjang. "Lagi," bisiknya.
"Buat yang lain."
Kekagumannya terhadap kekuatanku membuatku sang-
gup berdiri lebih tegap. Aku melenyapkan ilusi Dalia, ke-
mudian menceburkan kami ke kedalaman samudra yang
berkilau pada malam hari. Kami mengapung di air berwarna
gelap, hanya disinari berkas-berkas cahaya biru temaram.
Lautan itu kemudian berubah pemandangan tengah malam

77
Marie Lu

di bukit di atas Estenzia, dengan tiga rembulan besar yang


menggantung di cakrawala.
Akhirnya, aku melenyapkan ilusi tersebut, mengem-
balikan reruntuhan yang mengelilingi kami. Magiano meng-
geleng padaku, tapi tidak berkata sepatah pun.
"Giliranmu," kataku, melipat kedua tangan. Tubuhku
berdesir oleh keinginan untuk menggunakan energiku. "Tun-
jukkan kekuatanmu."
Magiano membungkuk. "Cukup adil," sahutnya.
Violetta mengambil tanganku. Pada saat yang sarna, se-
suatu yang tak kasatmata menyingkirkan peganganku pada
energi gelapku-dan dunia di sekeliling kami mendadak
lenyap.
Aku mengangkat kedua tangan untuk melindungi ma-
taku dari cahaya menyilaukan yang mendadak muncul.
Luar biasa menyilaukan-apakah ini kekuatan Magiano?
Tidak, tidak mungkin. Saat cahaya itu berangsur pudar,
aku memandang sekeliling. Pemandian itu masih di sini,
masih mengelilingi kami ... tetapi, betapa terkejutnya aku,
pemandian itu telah berubah seperti dahulu kala. Tidak
ada tanaman merambat atau lumut yang menempel di pi-
lar-pilar retak, tidak ada lubang di langit-langit berkubah
yang menimbulkan pola-pola cahaya di lantai. Alih-alih, de-
retan pilar itu kini baru dan terpoles, dan air kolam-yang
permukaannya dihiasi kelopak-kelopak bunga-terlihat
beruap. Patung-patung para dewa berderet di tepi kolam.
Aku mengernyit, kemudian berkedip. Di sampingku, Vio-
letta ternganga. Dia berusaha keras untuk bicara.

78
The Rose Society

"lni tidak nyata," bisiknya.


Ini tidak nyata. Tentu saja tidak nyata-mendengar
kata-kata Violetta, aku sadar bahwa aku mengenali energi
yang terpancar di tempat ini, berjuta-juta benang yang
merengkuh segalanya. Pemandian indah ini ilusi. Persis se-
perti sesuatu yang bisa kuciptakan. Nyatanya, benang-be-
nang energi yang membentuk imaji pemandian sempurna
ini terasa persis seperti energiku sendiri.
Pekerja ilusi lain?
Alm tidak mengerti. Bagaimana mungkin Magiano men-
ciptakan sesuatu dengan kekuatan yang seharusnya milik-
ku?
llusi itu mendadak pecah. Kuil terang-benderang tadi,
juga air beruap dan patung-patungnya-semua lenyap se-
ketika, mengembalikan kami ke dalam bangkai-bangkai
gelap pemandian runtuh beserta lumut-lumutnya. Berkas-
berkas cahaya masih mengapung di penglihatanku. Aku
harus menyesuaikan mataku dalam kegelapan, seolah-olah
aku memang telah dibutakan oleh sesuatu yang benar-be-
nar nyata.
Magiano mengayunkan kakinya malas-malasan. "Hal-
hal yang pasti akan kulakukan," ujarnya melamun, "sean-
dainya aku bertemu denganmu lebih awal."
Aku berdeham dan berusaha untuk tidak terlihat ter-
tegun. "Kau ... kau punya kekuatan yang sama sepertiku?"
Dia tertawa mendengar keraguan di suaraku. Sambil
setengah membungkuk dengan berlebihan, dia melompat
berdiri dan berputar di rangka langit-langit, seolah-olah

79
Marie Lu

sedang berdansa. Terlihat santai sekali. "Jangan bodoh,"


sahutnya. "Tidak ada dua Elite yang punya kekuatan yang
sama"
"Kalau begitu .... n
"Aku meniru," lanjutnya. "Setiap kali bertemu Elite lain,
dan dia menggunakan kekuatannya, aku bisa sekilas me-
lihat jaring-jaring energinya di udara. Kemudian, aku me-
niru apa yang kulihat-bahkan meskipun sebentar." Dia
berhenti sejenak untuk memberiku cengiran lebar yang
seolah-olah membelah wajahnya menjadi dua. "Beginilah
caramu menyelamatkan nyawaku dulu, dan kau bahkan
tidak menyadarinya. Saat kau berada di sel di sebelahku,
aku menirumu. Aku keluar dari sel dengan cara menipu para
prajurit, membuat mereka berpikir bahwa selku kosong.
Mereka masuk untuk menyelidikinya, dan aku langsung ke-
luar ketika mereka membuka pintu,"
Perlahan, aku paham. "Kau bisa meniru semua Elite?"
Dia mengangguk. "Saat aku tersesat tanpa uang di Sun-
land, aku meniru seorang Elite berjulukan Sang Alkemis,
mengubah sekereta sutra menjadi emas. Saat aku kabur dari
lnkuisisi di Kenettra, aku meniru kemampuan memulihkan
diri milik Kepala lnkuisitor, untuk melindungiku dari pa-
nah-panah yang ditembakkan bawahan-bawahannya ke
arahku." Dia merentangkan kedua tangan, nyaris menja-
tuhkan kecapinya, lalu merengkuh kecapi itu lagi. ''.Aku ikan
berwarna-warni yang berpura-pura menjadi ikan beracun.
Mengerti?"
Peniru. Aku rnenunduk, memandang tanganku dan
menggerakkan jemariku, mengawasi cincinku yang ber-

80
The Rose Society

kilat dalam cahaya. Aku mengamati ikat pinggang yang


baru dilingkarkan Violetta di gaunnya. "Saat kau mencuri
barang-barang kami," kataku pelan, "kau menggunakan ke-
kuatanku."
Magiano menyetem salah satu senar kecapi. "Yah, iya.
Aku menukar cincinmu dengan ilusi, lalu mencurinya selagi
meyakinkanmu bahwa aku hanya bermalas-malasan di atas
balkon."
Tentu saja. ltu sesuatu yang juga akan kulakukan-se-
suatu yang sudah kulakukan-sewaktu mencuri uang dari
dompet-dompet para bangsawan. Aku menelan ludah,
mencoba memahami kekuatan Magiano yang luar biasa ini.
Jantungku berdetak lebih cepat.
Ketidakpercayaan Violetta terhadap Magiano tadi ber-
ubah ketertarikan. "ltu artinya-kalau berada di sekeliling
orang-orang yang tepat-kau bisa melakukan apa saja."
Magiano berpura-pura ikut merasa terpana, kemudian
ternganga, mengejek Violetta. "Yah. Kurasa kau benar." Dia
mengembalikan kecapinya di punggung, melompati rang-
ka di langit-langit sampai akhirnya tiba di atas sebuah
pilar, kemudian melompat ke rangka yang lebih rendah
dan membungkuk lebih dekat dengan kami, cukup dekat
sehingga aku bisa melihat parade kalung berwarna-warni
di lehernya. Lebih banyak permata. Dan sekarang, aku bisa
melihat apa sebenarnya yang mengganggu dari mata Ma-
giano. Iris mata pemuda itu anehnya berbentuk bulat te-
lur-sipit, seperti mata kucing.

81
Marie Lu

"Nah, sekarang," katanya. "Kita sudah saling kenal dan


bersenang-senang. Beri tahu aku. Apa yang kalian ingin-
kan ?"
Aku menghela napas panjang. ''Adikku dan aku sedang
kabur dari lnkuisisi," kataku. "Kami sedang menuju selatan,
jauh dari mereka, sampai kami bisa mengumpulkan cukup
sekutu untuk kembali ke Kenettra dan melakukan perla-
wanan."
''Ah. Kau ingin membalas dendam pada lnkuisisi,"
"Ya."
"Kau beserta kami sernua." Magiano mendengus. "Ke-
napa? Karena mereka sudah memenjarakanmu? Karena
mereka menyebalkan? Kalau itu masalahnya, lebih baik kau
minggat dari sini. Percayalah padaku. Kau kan sekarang
sudah be bas. Kenapa hams kem bali ke sana?"
"Kau sudah dengar kabar terbaru dari Estenzia, be-
lum T' tanyaku. "Tentang Ratu Giulietta. Dan adiknya-"
Tenggorokanku tersekat saat menyiratkan kematian Enzo.
Bahkan sekarang pun, aku tidak mampu menyebut-nyebut
tentang itu.
Magiano mengangguk. "Ya, Kabar itu menyebar dengan
cepat."
"Kau sudah dengar bahwa Master Santoro sedang be-
rencana menghabisi semua malfetto di Kenettra? Dia peli-
haraan sang Ratu, yang akan memberikan kuasa padanya,"
Magiano bersandar. Kalaupun kabar ini menggelisah-
kannya, dia tidak menunjukkan. Alih-alih, dia meraup se-
mua kepang rambutnya dan merebahkannya di salah satu

82
The Rose Society

bahu. "J adi, kau mau bilang bahwa kau in gin menghentikan
kampanye kecil Teren yang keji itu. Dan, kau berusaha me-
ngumpulkan sekelompok Elite Muda untuk membantu-
mu."
''Ya." Harapanku sedikit me lam bung. "Dan, kaulah Elite
dengan reputasi yang paling sering kami dengar."
Magiano berdiri lebih tegap, matanya berkilat senang.
"Kau membuatku tersanjung, Sayangku." Dia kemudian ter-
senyum meminta maaf. "Tetapi aku khawatir, sanjungan
saja tidak cukup. Aku selalu bekerja sendirian. Aku sudah
cukup gembira dengan kehidupanku yang sekarang, dan
aku tidak tertarik untuk ikut serta dalam sebuah misi ter-
hormat. Kau buang-buang waktu,"
Harapanku musnah secepat kemunculannya. Bahuku
melesak. Dengan reputasi seperti ini, tentu saja dia pasti
pernah didekati Elite-Elite lain di masa lampau. Apa yang
membuatku berpikir bahwa dia bersedia berada di pihak
kami? "Mengapa kau bekerja sendirian?" tanyaku.
"Karena aku tidak mau membagi uang hasil kerjaku."
Aku mendongak dan mengernyit. Dia harus bergabung
dengan kami, bisik suara-suara di benakku. Para Belati pasti
bersedia membunuh demi seorang Elite yang memiliki
kekuatan seperti Magiano, untuk bergabung dengan me-
reka. Apa yang akan dikatakan Enzo atau Raffaele untuk
membujuk Magiano bergabung dengan Perkumpulan Be-
lati? Aku kembali mengingat-ingat saat Enzo merekrutku
dulu, apa yang dibisikkannya di telingaku. Apakah kau

83
Marie Lu

inqin menghukum mereka yang sudah berbuat tidak adil


padamu?
Di sebelahku, Violetta meremas tanganku. Dia menger-
lingku dengan sudut matanya. "Temukan kelemahannya,"
gumamnya. "Keinginannya."
Aku mencoba taktik yang berbeda. "Kalau kau memang
pencuri terhebat di dunia," kataku pada Magiano, "dan sa-
ngat andal, bagaimana bisa kau dulu tertangkap oleh lnkui-
sisi?"
Magiano menumpukan sebelah sikunya di lutut dan
mengayunkan kaki. Dia nyengir ke arahku ... tetapi di balik
cengiran itu, aku melihatsesuatuyang kuharapkan. Sepercik
rasa kesal. "Mereka sedang beruntung saja," jawabnya, sua-
ra santainya sedikit lebih tajam dari sebelumnya.
"Atau mungkin kau hanya ceroboh?" aku menekankan.
''.Atau melebih-lebihkan bakatmu."
Cengiran Magiano sesaat bergetar. Dia mendesah dan
memutar bola mata. "Kalau kau sungguh harus tahu," gu-
mamnya, "aku dulu di Dalia untuk mencuri satu peti safir
langka yang baru tiba dari Dumar. Safir-safir itu akan diha-
diahkan pada sang Duke. Dan, satu-satunya alasan lnkuisisi
menangkapku adalah karena aku kembali demi mencuri
satu safir lagi, lebih dari yang seharusnya kumiliki." Dia
mengangkat kedua tangan. "Pembelaanku, safir itu sangat
besar."
Dia tidak bisa menahan diri, aku mulai sadar. lnilah
mengapa salah satu Elite tersohor di dunia masih melaku-
kan permainan jalanan yang remeh demi uang, mengapa

84
The Rose Society

dia menghabiskan sekantong koin emas dari basil judi se-


malaman hanya demi kecapi bertatahkan permata yang ti-
dak berguna, mengapa dia menyematkan daun-daun emas
di pakaiannya. Tidak akan pernah ada cukup uang emas
di sakunya, tak akan pernah ada cukup permata di jari-ja-
rinya-tidak ketika dia tahu ada lebih banyak lagi yang bisa
dia dapatkan. Aku mengerling pakaian sutra mahalnya lagi.
Uang mengalir ke dalam kedua tangannya dan mengalir
keluar tepat dari jari-jarinya.
Violetta menggenggam tanganku lebih erat, membe-
ritahuku bahwa kesimpulannya sama sepertiku. lni celah
yang kami butuhkan.
"Harta kerajaan Kenettra bernilai seribu kali lipat safir
yang kau coba curi di Dalia. Kau dan aku tahu sendiri. Kau
dulu berhasil mencuri mahkota kerajaan-sekarang, coba
bayangkan berapa banyak emas yang tertimbun di balik
mahkota tersebut,"
Seperti yang kuduga, mata Magiano berkilat dengan
sangat pekat sampai-sampai aku harus melangkah mun-
dur. "Kau bicara seolah-olah aku tidak pernah memper-
timbangkan mencuri seluruh harta kekayaan Kenettra,"
ujarnya.
"Kalau begitu, kenapa kau belum melakukannya?"
"Kau naif sekali." Dia menggeleng, kecewa oleh jawab-
anku. "Tahukah kau berapa banyak pengawal yang meng-
awasi emas-emas itu? Berapa banyak ruangan yang me-
nyimpannya? Betapa bodohnya orang yang mengira dirinya
bisa mencuri itu sernua," Dia mendengus. "Dan, sesaat aku

85
Marie Lu

berpikir kau punya gagasan magis untuk melakukannya


juga."
"Memang," sahutku.
Magiano mengeluarkan tawa pendek, tapi bisa kulihat
dia kini mengamatiku dengan serius. "Kalau begitu, ayo,
Adelina, beri tahukan rencanamu. Kau benar-benarberpikir
seluruh harta kerajaan Kenettra bisa menjadi milikmu?"
"Milik kita;" aku mengoreksi. "Kalau kau bergabung de-
ngan kami, kau tidak perlu mengais-ngais emas lagi."
Dia kembali tertawa. "Sekarang, aku yakin kau berbo-
hong padaku," Dia mencondongkan tubuh. "Apa=-kau be-
rencana menyelubungi dirimu dengan ilusi-ilusi dan me-
nyelinap untuk mencuri sekeleton emas sekaligus? Tahukah
kau betapa panjangnya waktu yang hams kau lalui, bahkan
kalaupun kau mengebut selusin kali dalam semalam? Dan
bahkan, kalaupun kau mampu mencuri semua emas itu, ba-
gaimana cara mengangkut semuanya keluar dari negara
ini? Dari Estenzia saja?" Dia berdiri di rangka, melompat
ringan menuju tempat dirinya bisa mencapai rangka yang
lebih tinggi, lalu bersiap-siap pergi.
"Aku tidak bilang akan mencuri-nya," panggilku.
Dia berhenti, kemudian berputar untuk memandangku.
"Kalau begitu, bagaimana caramu mengambil semuanya,
Sayangku?"
Aku tersenyum. Sekelumit kenangan menyala-nyala
dalam benakku: malam yang dingin dan hujan; ayahku
yang mengobrol dengan orang asing di lantai bawah; aku
duduk sendirian di anak tangga, berpura-pura bahwa aku

86
The Rose Society

seorang ratu di atas balkon. Aku mengerjap. Kehausan itu


menyemburku bagaikan angin liar. "Sederhana. Kita akan
merebut takhta Ratu Giulietta dan Aksis lnkuisisi. Harta ke-
rajaan Kenettra pun akan menjadi milik kita."
Magiano mengerjap. Kernudian, dia mulai tertawa. Ta-
wa itu semakin keras, sampai matanya berkilau oleh air
mata. Akhirnya, dia berhenti untuk menarik napas. Setelah
dia tenang, matanya menyipit, berkilau dalam gelap. Dalam
keheningan yang menyusul, aku menekankan. "Kalau kau
bergabung dengan kami, dan kita merampas takhta Ratu
Kenettra, para malfetto pun akan memiliki pemimpin seperti
mereka. Kita bisa menghentikan Teren yang haus darah itu.
Kau bisa memiliki lebih banyak emas dari yang bisa kau
bayangkan. Kau bisa memiliki seribu kecapi bertatahkan
berlian. Kau akan bisa membeli pulau dan kastelmu sendiri.
Kau akan diingat sebagai seorang raj a."
"Aku tidak mau jadi raja," sahut Magiano. "Terlalu ba-
nyak tanggung jawab." Tapi, dia mengucapkannya dengan
setengah hati, dan dia bergeming. Dia menimbang-nimbang
rencanaku.
"Kau tidak perlu bertanggung jawab atas apa pun," ka-
taku. "Bantu aku memenangkan takhta itu dan selamatkan
negeri ini, dan kau bisa memiliki apa pun yang kau ingin-
kan,"
Keheningan yang panjang kembali bergulir. Tatapan
Magiano menelusuri topengku. "Lepas," gumamnya.
Aku tidak menyangka akan dijawab begitu. Dia mencuri
waktu untuk dirinya sendiri, untuk berpikir dan mengalih-

87
Marie Lu

kan perhatianku. Aku menggeleng. Bahkan setelah sekian


lama, gagasan untuk menunjukkan kelemahan terbesarku
pada orang asing masih membuatku takut.
Ekspresi Magiano berkobar walaupun sarnar, dan
matanya tampak liar. Seolah-olah dia bisa membaca pikir-
anku. "Lepas topengmu," bisiknya. 'Aku tidak pernah meng-
hakimi tanda milik malfetto, Adelina, tidak pula bekerja
dengan orang yang menyembunyikan wajahnya dariku,"
Saat Violetta mengangguk, aku mengangkat tangan
dan melepas simpul di belakang kepalaku. Topeng itu me-
longgar, kemudian jatuh dan menggantung di tanganku.
Udara dingin menerpa lukaku. Kupaksa diri untuk menatap
Magiano lurus-lurus, bersiap melihat reaksinya. Kalau aku
ingin memiliki para Elite, mereka hams memercayaiku.
Dia mendekat dan memandangku lama. Aku bisa meli-
hat semburat warna emas madu di matanya. Senyum malas
mulai merayapi wajahnya. Dia tidak bertanya tentang tanda
malfetto-ku. Alih-alih, dia membuka ujung kemeja sutranya
dan menunjukkan sebelah sisi tubuhnya.
Aku menghela napas tajam. Bekas Iuka mengerikan me-
ngular di permukaan kulit Magiano, kemudian menghilang
di balik kemejanya. Kami saling tatap, diliputi rasa saling
mengerti.
"Kurnohon," ujarku, memelankan suara. "Aku tidak tahu
apa yang terjadi padamu di masa lalu, tidak tahu seperti apa
tepatnya tanda malfetto-mu. Tetapi, kalau emas saja tidak
cukup meluluhkanmu, pikirkan berjuta-juta malfetto di Ke-
nettra, sem ua yang akan mati be berapa bulan lagi kalau

88
The Rose Society

tidak ada yang menyelamatkan mereka. Kau pencuri, jadi


pasti kau mempunyai kode etik sendiri. Adakah tempat di
hatimu untuk berduka demi kematian orang-orang seperti
kita?"
Sesuatu ten tang kalimatku membuat Magiano tertegun,
dan matanya menerawang. Dia terdiam sejenak, lalu ber-
deham.
"ltu cuma rumor, kau tahu," katanya sesaat kemudian.
"Cerita tentang mahkota bertatahkan permata itu,"
"Mahkota bertatahkan perrnata?"
"Ye" Dia memandangku. "Mahkota ratu Kenettra. Aku
tidak pernah mencurinya. Aku mencoba-tapi tidak ber-
basil,"
Aku memandangnya dengan saksama. Ada sesuatu
yang berubah dalam percakapan kami. "Tapi, kau masih
menginginkannya," sahutku.
"Aku harus bilang apa? ltu kelernahanku,"
"Jadi, apa yang akan kau lakukan? Maukah kau berga-
bung dengan kami?"
Dia mengangkat salah satu jari rampingnya, yang dipe-
nuhi cincin emas. "Bagaimana aku tahu kau akan menepati
janji, kalau aku membantumu mendapatkan apa yang kau
inginkan r
Aku mengangkat bahu. "Apakah kau akan menghabiskan
seum ur hidupm u mencuri segelintirpermata dan mengelola
stan-stan judi di Merroutas?" kataku. "Kau bilang sendiri,
kau penasaran apa saja yang sanggup kau lakukan kalau
mengenalku sedari dulu. Nab, ini kesernpatanmu,"

89
Marie Lu

Magiano tersenyum dengan sesuatu yang mirip rasa


kasihan. "Gadis yang akan menjadi ratu," gumamnya mere-
nung. "Para dewa sedang melakukan permainan menarik."
"lni bukan permainan," sahutku.
Akhirnya, dia mendongak dan meninggikan nada sua-
ranya. ''Aku berutang nyawa padamu. Dan, itu sesuatu yang
tidak pernah kuanggap main- main."
Aku menatapnya dalam diam, teringat kemarin, ketika
diakali pertama bertemudengan kami untukmenyampaikan
rasa terima kasih karena kami menyelamatkan rekan mal­
fetto-nya.
Magiano mengulurkan tangan ke arahku. "Kalau kau
ingin mengambil alih lnkuisisi, kau butuh banyak sekali pe-
ngikut. Dan, kalau kau menginginkan pengikut, kau harus
membangun reputasi. Aku tidak akan mengikuti siapa pun
sampai aku yakin mereka pantas untuk diikuti."
''Apa yang bisa kami lakukan untuk meyakinkanmu?"
Magiano tersenyum. "Mari berlomba."
"Lomba?"
"Lomba sederhana," ujarnya. ''Aku bahkan akan mem-
biarkanmu mulai duluan." Dia tersenyum dan menelengkan
kepala dengan licik. "Kata ini dipimpin oleh pria berjulukan
Kaisar Malam. Dia punya banyak prajurit, dan pasukan
rahasia berupa sepuluh ribu pembunuh bayaran yang me-
nyebar di seantero pulau. Kau pasti sudah melihat bawahan-
bawahannya yang berpatroli di jalanan, dengan lambang
bulan dan mahkota di lengan baju mereka."
Aku melipat kedua tangan. "Sudah."

90
The Rose Society

"Dia pria yang paling ditakuti di Merroutas. Mereka


bilang, setiap kali ada yang berkhianat, Kaisar Malam akan
menguliti orang itu hidup-hidup dan menjahitkan kulit ter-
sebut di bagian dalam jubahnya."
Saataku membayangkan adegan itu, kulitku seolah-olah
tersengat ... bukan hanya oleh kengerian, melainkan juga
ketertarikan. jiwa yang serupa, bisikan-bisikan itu berkata.
"Apa hubungannya dengan kami?" tanyaku, meninggikan
nada suaraku untuk menenggelamkan bisikan-bisikan ter-
sebut.
"Besok pagi, aku akan masuk ke kediamannya untuk
mencuri lencana berlian mahal yang selalu dia kenakan di
kerah bajunya. Kalau kau bisa mencurinya sebelum aku ...
aku akan bergabung denganmu." Dia membungkuk dengan
mengejek, membuatwajahku memerah. "Aku hanya bekerja
dengan orang yang berharga. Dan, aku menginginkan ke-
pastian bahwa kau memahami risiko misi ini."
Baik aku maupun Violetta tidak berbakat mencuri. Aku
bisa menyamar atau membuat kami tak kasatmata, tetapi
kekuatanku belum juga sempurna. Bagaimana kalau kami
tertangkap? Aku membayangkan kami diikat di sebuah
tiang, kulit kami dilepasi dari tubuh kami.
Konsekuensinya sama sekali tidak sebanding.
Magiano tersenyum melihat ekspresiku. "Kau terlalu
takut," ujarnya.
Bisikan-bisikan di kepalaku berdesir, menyuruhku un-
tuk terus maju. Kaisar Malam menqendalikan sepuluh ri­
bu pasukan pembunuh bayaran. Apa, sih, yang tidak akan

91
Marie Lu

kau kerahkan demi sepuluh ribu pembunuh bayaran yang


melayanimu? Aku menggelengkan kepala-bisikan-bisikan
itu memudar, memberi waktu untuk memikirkan tawaran
Magiano. lni salah satu permainan Magiano. Tipu dayanya
yang terkenal. Mungkin bahkan tantangan bagi dirinya
sendiri. Aku memandang Magiano dengan saksama, memi-
kirkan jawaban yang tepat. Bisakah aku mendapatkan ben-
da itu sebelum Magiano mencurinya? Aku benar-benar ti-
dak tahu. Kekuatan dan kecepatan merupakan dua hal yang
berbeda.
"Aku hanya memberimu satu kesempatan, ngomong-
ngornong," kata Magiano ringan, "karena kau sudah mem-
bantuku lari dari Menara lnkuisisl."
"Dermawan sekali," sindirku.
Magiano hanya tertawa lagi, suaranya cerah dan ber-
dering. Lalu, dia mengulurkan tangannya yang dipenuhi
perhiasan. "Sepakat, kalau begitu?"
Aku membutuhkan orang ini. Aku butuh sepasukan
prajurit. Bahkan, Violetta pun menyentuh tanganku dan
mengarahkannya kepada Magiano. Keraguanku memudar
sedetik kem udian.
"Sepakat," jawabku, menjabat tangan Magiano.
"Bagus," Dia mengangguk. "Kalan begitu, kau bisa me-
megang janjiku."[]

92
Teren Santoro

Uinggiran Estenzia, pagi hari yang sejuk. Di sepanjang


P dinding yang membatasi kota, berjajar lusinan gardu
reyot yang dibangun dari kayu dan batu, dilapisi lumpur
dari hujan kemarin malam. Para malfetto berseliweran di
te ngah- te ngahnya.
Sekumpulan tenda putih kotor menyebar di antara gar-
du-gardu tersebut. Tenda-tenda lnkuisisi.
Teren Santoro bersantai di dalam tenda pribadinya,
duduk di sofa panjang, memandang Ratu Giulietta yang se-
dang berpakaian. Tatapannya menelusuri punggung sang
Ratu. Dia tampak memesona hari ini, seperti biasa, menge-
nakan gaun bepergian berwarna biru cemerlang. Rambut
Giulietta digelung tinggi di kepala. Teren memandang Giu-
lietta yang dengan hati-hati menjepit ram but ikalnya. Hanya
beberapa detik silam, rambut itu terurai, jatuh di kedua
bahu Teren, menyapu kedua pipi Teren dan halus seperti
sutra di jemarinya.

93
Marie Lu

"Apakah kau akan mengawasi kemah-kemah malfetto


hari ini?" tanya Giulietta. ltu kalimat pertama yang dia
ucapkan sejak mengunjungi tenda Teren.
Teren mengangguk. ''Ya, Yang Mulia."
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Sangat baik. Sejak kami memindahkan mereka ke
pinggiran kota, orang-orangku menyuruh mereka bekerja
di lapangan-lapangan dan menganyam. Mereka sangat
efisien-"
Giulietta menoleh sehingga Teren bisa memandang wa-
jahnya. Sang Ratu tersenyum. "Bukan," dia menyela. "Mak-
sudku, bagaimana keadaan mereka?"
Teren ragu-ragu. "Apa maksudmu?"
"Saat aku berkuda di antara tenda-tenda tadi pagi, aku
bisa melihat wajah para malfetto. Mereka kurus kering dan
mata mereka cekung. Apakah orang-orangmu memberi ja-
tah makan yang sebanding dengan pekerjaan mereka?"
Teren mengernyit, kemudian memaksa diri untuk du-
duk. Cahaya pagi menyinari labirin Iuka pucat di dada Te-
ren. "Mereka sudah diberi cukup makan untuk bekerja,"
jawab Teren. "Tidak lebih. Sebaiknya aku tidak membuang-
buang makanan untuk para malfetto kalau tidak perlu."
Giulietta mencondongkan tubuh ke arah Teren. Sebelah
tangannya rebah di perutTeren, kemudian menelusuri dada
Teren hingga ke cekungan di lehernya, meninggalkan jejak-
jejak yang panas di kulit Teren. Jantung Teren berdegup
lebih cepat. Sesaat, dia lupa apa yang sedang mereka bica-
rakan. Giulietta menciumnya. Teren membalas ciuman itu

94
The Rose Society

dengan bersemangat, merangkul bagian belakang leher


Giulietta dan meraihnya mendekat.
Giulietta memisahkan diri darinya. Teren menatap mata
sang Ratu yang gelap dan dalam. "Budak yang kelaparan ti-
dak akan bekerja dengan balk, Master Santoro," bisik Giu-
lietta, membelai ram but Teren. "Kau tidak memberi mereka
cukup makan,"
Teren mengerjap. Dari semua hal yang bisa dikhawa-
tirkan Giulietta, sang Ratu malah menanyakan kesejahtera-
an para budaknya? "Tapi," sahut Teren, "mereka tidak pen-
ting, Giulietta."
'Apakah sekarang juga begitu?"
Teren menarik napas panjang. Semenjak kematian
Pangeran Enzo di arena tempo hari, sejak Giulietta resmi
merebut takhta, Giulietta terus saja mengelak rencana-ren-
cana awal Teren. Seolah-olah sang Ratu telah kehilangan
minat terhadap sesuatu yang dulu dianggap Teren sebagai
kebencian terhadap para malfetto.
Tetapi hari ini, Teren tidak mau berdebat dengan ra-
tunya. "Kita bermaksud membersihkan kota dari mereka
semua. Untuksetiap malfettoyangtewas, kita tinggal meng-
gantinya dengan malfetto lain, yang didatangkan dari kota
lain. Orang-orangku sudah menangkap para malfetto di-"
"Kita tidak membersihkan kota dari mereka," potong
Giulietta. "Kita menghukum mereka atas dosa rnereka, atas
kesialan yang mereka tumpahkan pada kita. Para malfetto
itu masih punya keluarga di dalam kota. Dan, beberapa dari
mereka tidak senang dengan apa yang sedang terjadi." Dia

95
Marie Lu

menganggukjijik pada pintu tenda. '�ir di bak mereka kotor.


Hanya soal waktu sebelum semua orang di perkemahan ini
jatuh sakit. Aku ingin mereka bekerja dengan patuh, Teren.
Tetapi, aku tidak menginginkan pemberontakan."
"Tapi-"
Sorot mata Giulietta mengeras. "Beri mereka makan
dan minum, Master Santoro," dia memerintahkan.
Teren menggeleng, malu karena telah berdebat dengan
Ratu Kenettra-seseorangyangjauh lebih suci daripadanya.
Dia menundukkan kepala dan pandangan. "Tentu saja, Yang
Mulia. Kau sangat benar;"
Giulietta melicinkan keliman di pergelangan tangan.
"Bagus."
"Apakah kau akan menemuiku malam ini?" gumam
Teren saat Giulietta berdiri.
Giulietta memandangnya ringan. "Kalau aku ingin me-
nemuimu, aku akan mengirim orang untuk menjemputmu."
Dia berbalik dan meninggalkan tenda. Pintu tenda menutup
di belakang sang Ratu.
Teren masih menunduk, membiarkan Giulietta pergi.
Tentu saja dia membiarkannya pergi. Giulietta ratunya. Te-
tapi, hati Teren serasa mencelus.
Bagaimana kalau aku mengecewakannya, dan dia mene-
mukan orang lain?
Gagasan itu membuatdadanya sakit. Teren mengenyah-
kan pikiran tersebut, lalu berdiri untuk mengambil pakaian.
Dia tidak bisa tinggal di sini terus-dia hams bergerak,
pergi ke suatu tempat dan berpikir. Dia mengenakan baju

96
The Rose Society

besinya yang berlapis-lapis. Kemudian, dia keluar dari


tenda dan mengangguk pada pengawal yang berjaga di luar,
yang berpura-pura tidak tahu apa-apa soal Teren dan sang
Ratu.
"Kumpulkan para kapten," kata Teren. ''Aku akan pergi
ke kuil. Suruh mereka menemuiku di luar kuil. Kami akan
mendiskusikan inspeksi hari ini."
Si Pengawal segera mengangguk. Teren menyadari
bahwa pengawal itu gentar kalau terlalu lama menatap iris
biru pucatnya. "Segera, Sir."
Kuil-kuil berdiri di setiap kilometer. Pintu-pintu ma-
suknya memiliki pilar-pilar batu dengan ukiran sayap di
bagian puncak. Teren melangkah menuju kuil terdekat,
mengabaikan kuda yang terikat di luar tendanya. Lumpur
memerciki sepatu bot putih Teren. Sesampainya di kuil,
Teren menaiki tangga dan memasuki ceruk bangunan
tersebut. Tempat itu kosong karena hari masih pagi.
Di dalam, dua belas patung dewa dan malaikat berderet
di kedua sisi selasar berubin marbel. Terdapat piring-
piring air melati di permulaan selasar. Teren melepas bot,
mencelupkan kaki di piring itu, dan menyusuri selasar. Dia
berlutut di tengah-tengahnya, diawasi oleh tatapan para
dewa. Satu-satunya suara di tempat tersebut hanyalah den-
ting lonceng-lonceng yang menggantung di pintu-pintu
kuil.
"Maafkan aku," kata Teren akhirnya. Dia menunduk me-
mandang lantai, mata pucat dan berpendarnya melembut.

97
Marie Lu

Suaranya bergema di antara patung-patung dan pilar-pilar,


sampai akhirnya memudar tak jelas.
Dia ragu-ragu, tak yakin bagaimana harus melanjut-
kan.
"Seharusnya aku tidak mempertanyakan ratuku," ujar-
nya sesaat kemudian. "ltu benar-benar suatu hinaan ter-
hadap para dewa."
Tak ada jawaban.
Teren mengernyit selagi bicara. "Tetapi, kalian harus
membantuku," dia melanjutkan. ''Aku tahu aku tidak lebih
baik dari para malfetto yang bergelimpangan di tenda-
tenda itu. Dan, aku tahu diriku harus mematuhi Yang Mulia.
Tapi, misiku adalah membebaskan negeri ini dari para mal-
fetto. Sang Ratu ... memiliki kasih sayang yang begitu besar
di hatinya. Adiknya seorang malfetto. Karena itulah sang
Ratu tidak tahu betapa pentingnya keharusan untuk meng-
hancurkan mereka. Menghancurkan kami semua." Teren
mendesah.
Patung-patung itu tetap bergeming. Di belakang Teren,
terdengar langkah-langkah kecil murid-murid para pend eta.
Mereka mengganti piring-piring air dan melati. Teren ti-
dak bergerak. Pikirannya melayang. Setelah memikirkan
Giulietta dan malfetto, Teren kembali teringat pagi di arena
Estenzia itu, ketika dia menusuk dada Pangeran Enzo de-
ngan pedangnya. Teren jarang sekali memikirkan orang-
orang yang telah dia bun uh, tetapi Enzo .... Teren masih ingat
bagaimana rasanya ketika bilah pedang itu menghunjam
daging Enzo, masih mengingat kesiap mengerikan sang

98
The Rose Society

Pangeran. Teren ingat bagaimana Enzo roboh di kakinya,


bagaimana noda- noda darah berwarna me rah terang meni-
tiki sepatu botnya.
Teren menggeleng, tidak paham mengapa dia masih
saja memikirkan kematian Enzo.
Kenangan masa kecil menghampirinya, masa- mas a ke-
emasan sebelum wabah berdarah itu datang .... Teren dan
Enzo, yang masih bocah, berlarian keluar dari dapur un-
tuk memanjat pohon di luar dinding-dinding istana. Enzo
memanjat lebih dulu, karena dia lebih tua dan lebih tinggi.
Dia kemudian mengulurkan tangan untuk membantu
Teren naik, menarik Teren, dan menunjuk samudra sambil
tertawa. Kau bisa melihat balira-balira dari sini, ujar sang
Pangeran Cilik. Mereka membuka bungkus dagingyangtadi
diambil dari dapur dan menusukkannya di ranting-ranting.
Lalu, mereka bersandar, memandang takjub saat sepasang
elang menukik turun untuk memboyong makanan itu.
Malam itu, saat ayah Teren memarahinya karena ter-
lambat latihan untuk lnkuisisi, Pangeran Enzo menjadi
tameng di antara Teren dan sang Kepala lnkuisitor yang
bertubuh tinggi besar.
Biarkan aku mendisiplinkan putraku, Yang Mulia, ujar
ayah Teren. Seorang prajurit tidak boleh bermalas-malas-
an.
Dia tadi hanya menqikuti perintahku, Sir, sahut Enzo,
mengangkat dagu. /tu salahku. Bukan salahnya.
Ayah Teren mengampuni Teren malam itu.

99

Anda mungkin juga menyukai