2751-File Utama Naskah-5046-1-10-20230718

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 10

TRANSPUAN DALAM KAJIAN KOMUNIKASI POLITIK

DAN GENDER (STUDI KASUS : HENDRIKA MAYORA


TRANSPUAN PERTAMA JADI PEJABAT PUBLIK DI
KAB.SIKKA)
1
Yana Ekarina Tali, 2Jupriono, 3Lukman Hakim
1,2,3
Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Email [email protected]

Abstract
The purpose of this research is to understand Hendrika Mayora's struggle in her efforts to
achieve a position as a Village Representative Board (BPD) in Sikka Regency. A qualitative
research method is used with an interpretive paradigm to comprehend an event and the
standpoint theory to gain a deep understanding of Hendrika Mayora's subjective experiences
and the community's responses to her struggle. The research findings indicate that Hendrika
Mayora's struggle involves obstacles such as stereotypes, discrimination, and gender
inequality in local politics. However, through effective political communication strategies,
Hendrika Mayora has been able to influence voters and gain support. These findings
underscore the importance of Hendrika Mayora's struggle as a transwoman in raising
awareness among the community regarding gender equality issues and LGBT rights. The
implications of this research also strengthen the direction towards greater representation of
transgender individuals in public positions in the future.

Keywords: Transwomen, Gender, Public Official, Hendrika Mayora, Discrimination

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memahami perjuangan Hendrika Mayora dalam upaya
mencapai posisi sebagai BPD di Kabupaten Sikka. Metode penelitian kualitatif digunakan
dengan paradigma intepretif memahami suatu peristiwa dan standpoint theory untuk
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai pengalaman dan makna subjektif
Hendrika Mayora serta tanggapan masyarakat terhadap perjuangannya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perjuangan Hendrika Mayora melibatkan hambatan seperti stereotip,
diskriminasi, dan ketidaksetaraan gender dalam politik lokal. Namun, melalui strategi
komunikasi politik yang efektif, Hendrika Mayora berhasil mempengaruhi pemilih dan
meraih dukungan. Temuan ini menggarisbawahi nilai penting perjuangan Hendrika Mayora
sebagai seorang transpuan dalam menggerakkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu
kesetaraan gender dan hak-hak LGBT. Implikasi penelitian ini juga memperkuat arah
pembukaan lebih banyak perwakilan publik dari kalangan transpuan di masa depan.

Kata kunci: Transpuan, Gender, Pejabat Publik, LGBT, Hendrika Mayora, Diskrimiasi

Pendahuluan
Di zaman modern ini, istilah gender sering kali terdengar dan dibicarakan dalam
kehidupan sosial. Perbincangan dan perdebatan ini sering terjadi karena perbedaan persepsi
dan pemahaman mengenai istilah gender itu sendiri. Saptari & Halzner dan Oakley adalah

259
seorang ahli sosiologi dari Inggris yang membedakan antara istilah seks dan gender.
Penggunaan istilah gender di Indonesia seringkali disalahpahami dan dikaitkan dengan jenis
kelamin yang diberikan saat lahir. Jika mengacu pada pandangan Oakley, penggunaan istilah
gender untuk merujuk pada jenis kelamin dapat terabaikan, mengingat budaya di Indonesia
yang telah terbiasa dan lebih memahami bahwa jenis kelamin hanya terdiri dari laki-laki yang
memiliki penis dan perempuan yang memiliki vagina. Pengertian dan definisi istilah gender
yang fleksibel dan dinamis sesuai perkembangan zaman dan nilai-nilai sosial juga bersifat
dinamis. Transpuan adalah istilah yang digunakan secara umum untuk menggambarkan
individu yang mengalami ketidaksesuaian antara identitas gender mereka dan jenis kelamin
yang mereka miliki saat lahir. Istilah ini mencakup berbagai identitas seperti momsmen
(Female-to-Male), transwomen (Male-to-Female), butch women, dan crossdresser (Heidi M.
Levitt PhD dan Maria R Ippolito MS. Journal of Homosexuality 61. September. 2014:1728).
Transpuan juga dapat disebut sebagai transgender perempuan, merujuk pada individu yang
dilahirkan dengan organ reproduksi laki-laki, namun mengidentifikasi diri sebagai
perempuan. Istilah lain yang digunakan adalah waria atau wadam (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kelima, 2016).
Menurut American Psychological Association (APA, 2021), transgender adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan individu yang memiliki ketidaksesuaian antara
identitas gender, ekspresi gender, atau perilaku mereka dengan apa yang umumnya
dihubungkan dengan jenis kelamin yang mereka miliki saat lahir. Bagi seorang transpuan,
menjadi transgender melibatkan perlawanan terhadap seksualitas yang mereka miliki sejak
lahir. Transpuan sering kali mengalami ketidakcocokan antara perasaan mereka dan jenis
kelamin biologis yang dimiliki (Kurniawati, Lestari, Aziatin, & Kristanto, 2019). Keberadaan
transpuan seringkali dipersepsikan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang
berlaku. Meskipun jumlah transpuan terus bertambah di masyarakat Indonesia, sebagian
besar masyarakat masih melihat mereka sebagai kelainan (Nurdelia, Jasruddin, & Daud,
2015). Mereka menghadapi pembatasan akses ke berbagai wilayah, pekerjaan, dan
pengalaman diskriminasi langsung (WHO, 2022). Meskipun WHO telah menghapus
transgender dari daftar gangguan jiwa, stigma dan diskriminasi terhadap transpuan masih ada.
Dalam penelitian yang dilakukan Leonardus J. Putra dengan judul "Politik Subaltern: Strategi
Vinolia Wakijo Sebagai Aktor Intermediary Dalam Merepresentasikan Waria Dan Pengakuan
Atas Gender" menemukan bahwa Waria masih banyak mendapatkan diskriminasi berupa
pembatasan untuk mengakses wilayah-wilayah tertentu seperti pemukiman, jenis pekerjaan,
fasilitas umum, dan lainnya. Diskriminasi tidak langsung

Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan
paradigma interpretif. Peneliti memilih menggunakan jenis penelitian kualitatif karena
penelitian ini merupakan metode penelitian yang berfokus pada peneliaian terhadap
fenomena subjektif terkait sikap, pendapat, dan perilaku dengan menerapkan metode
tringulasi untuk memperoleh pengalaman secara mendalam. Dengan menggunakan
paradigma interpretif menekankan pemahaman makna melalui empati individu terhadap
aktivitas tertentu. Aktivitas tersebut akan menghasilkan berbagai penafsiran dan analisis dari
individu itu sendiri. Metode ini digunakan untuk melihat upaya yang dilakukan Hendrika

260
Mayora dalam mendapatkan posisinya sebagai anggota BPD. Teknik pengumpulan data pada
penelitian ini menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan analisis data
pada penelitian ini menggunakan reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan.
direpresentasikan melalui kebijakan yang menjadi pembatas kaum waria untuk berinteraksi
dengan kelompok lain. Upaya yang dilakukan oleh pihak yang mendukung eksistensi waria
tidak mendapatkan dukungan oleh Negara sebagai pemegang kekuasaan. Negara dipandang
tidak menunjukkan sikap terhadap kelompok waria yang menimbulkan situasi yang ambigu.
Negara pula belum mengakomodasi perlindungan terhadap tindakan anarki dan represif
terhadap waria.
Studi tentang gender dan politik, termasuk kajian tentang transpuan, telah menjadi
bidang penelitian yang penting. Tinjauan literatur tentang gender dan politik, termasuk dalam
konteks media dan komunikasi politik, telah mengungkapkan kepentingan yang semakin
besar dalam beberapa tahun terakhir (Åström & Karlsson, 2016). Kajian tentang transpuan
juga mencakup isu-isu politik yang terkait dengan gender dan diskriminasi (Demirhan &
Çakir-Demirhan, 2015). Strategi komunikasi politik gender melibatkan dukungan dari gender
yang dominan, seperti laki-laki, dalam melakukan counter komunikasi politik. Penelitian
yang dilakukan oleh Fabiancha Embun Balqis pada tahun 2021 berjudul "Hak Sipil dan
Politik Kaum Marginal: Upaya dan Perjuangan Kelompok Transpuan di Kota Pangkalpinang"
merupakan sebuah studi kualitatif yang menggunakan metode deskriptif, dengan hasil
penelitian Pemenuhan hak-hak sipil Transpuan di Kota Pangkalpinang oleh pemerintah
belum sepenuhnya dilaksanakan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai komunikasi politik dan gender dalam konteks transpuan melalui studi kasus
Hendrika Mayora. Harapannya adalah agar masyarakat dan pemerintah memberikan lebih
banyak kesempatan bagi transpuan di seluruh Indonesia, baik dalam bidang politik maupun
ekonomi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji perjuangan Hendrika Mayora
dalam masyarakat Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, dalam upayanya untuk
memperoleh posisi sebagai anggota BPD. Oleh karena itu, judul penelitian ini adalah
"Transpuan dalam Kajian Komunikasi Politik dan Gender: Studi Kasus Hendrika Mayora,
Transpuan Pertama yang Menjadi Pejabat Publik di Kabupaten Sikka".

Hasil dan Pembahasan


Kategorisasi Data
Dari hasil transkripsi wawancara, ditemukan data dengan tiga kategori yaitu,
pengalaman diskriminasi, strategi komunikasi politik, dan persepsi masyarakat terkait
transpuan dalam jabatan publik. Kategorisasi data ini bertujuan untuk menganalisis lebih jauh
bagaimana seorang transpuan dalam upayanya untuk mendapatkan posisi sebagai BPD
dengan menghadapi diskriminasi dan bagaimana startegi komunikasi politik yang
digunakannya dalam menjalin dan membangun relasi dengan masyarakat, kemudian
bagaimana persepsi masyarakat terhadap keberadaanya dalam jabatannya di publik . Berikut
trasnkripsi wawancara mendalam yang dilakukan pada bulan 26 Mei 2022:
Pertama, pengalaman diskriminasi. Sampai sekarang, individu transgender masih
berisiko mengalami diskriminasi yang dihadapi dalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
adanya stigma yang melekat pada mereka. Salah satu penyebab diskriminasi tersebut adalah
ketakutan terhadap individu transgender yang dikenal sebagai transphobia. Transphobia

261
merujuk pada sikap dan perilaku yang merendahkan individu transgender (Morrow &
Massinger, 2006). Berikut adalah pernyataan Hendrika Mayora dengan pertanyaan mengeani
pengalaman diskriminasi :
1) Pernyataan : Waktu: 02:13-02:46
"....Meskipun saya adalah seorang transpuan, kemudian saya bekerja di ruang
publik sebagai anggota perusahaan desa, ya tentu ada ya orang-orang
mengatakan bahwa kamu harus kembali ke jalan yang benar misalnya sebagai
seorang laki-laki, karena heteronormatif dan patriarki itu kan sangat kental
sekali, maka itu yang saya tunjukkan bahwa masyarakat yang memilih saya
untuk sampai duduk di BPD itu masyarakat yang tau identitas gender saya,
ekspresi saya, kalau kalian membatasi saya itu bukan hak kalian gitu dan
sembari saya menunjukkan kualitas diri sebagai seorang anggota BPD dengan
tetap berkarya, dengan tetap menunjukkan nilai-nilai yang baik."
Pernyataan ini menggambarkan pengalaman diskriminasi yang dihadapi oleh
Hendrika Mayora sebagai seorang transpuan yang bekerja di ruang publik. Ia
menghadapi komentar dan pendapat negatif dari orang-orang yang mengatakan
bahwa ia seharusnya kembali ke "jalan yang benar" sebagai seorang laki-laki.
Diskriminasi ini dapat dikaitkan dengan adanya heteronormatif dan patriarki yang
kuat dalam masyarakat. Namun, Hendrika Mayora menunjukkan bahwa
masyarakat yang memilihnya untuk menjadi anggota BPD (Badan
Permusyawaratan Desa) telah mengakui identitas gender dan ekspresinya. Ia
menegaskan bahwa pembatasan yang dilakukan oleh orang lain bukanlah hak
mereka, sambil tetap menunjukkan kualitas dirinya sebagai anggota BPD dengan
terus berkarya dan menunjukkan nilai-nilai yang baik.
2) Pernyataan: Waktu: 05:00 - 05:36
"...Iya aku pernah dikritik sama pak camat, pak camatnya ngomong kaya
begini, hari ini kau harus menjadi laki-laki, pak camat itu waktu kunjungan
bupati ya, kemudian tiba-tiba saya mengadu, saya mengadu, ketangan untuk
bertanya, karena camat itu jadi, camat itu lagi jadi moderator untuk memimpin
jalan dialog, saya mengadu bertanya, terus dia langsung memberikan, sebelum
memberikan kesempatan ke saya, dia langsung bilang, wah ini Agung BPD
kita dia sudah menjadi laki-laki sejati, namanya Hendrikus Kelan, macan dia
mengomongin saya, saya merasa bahwa ini adalah sebuah tindakan
diskriminasi, bahwa kenapa harus mengomongin gender saya, kenapa harus
mengomongin saya menjadi lakilaki sejati."
Pernyataan ini menggambarkan pengalaman diskriminasi yang dialami oleh
Hendrika Mayora ketika dikritik oleh seorang pak camat. Saat kunjungan bupati,
Hendrika mengadu dan ingin bertanya, tetapi sebelum memberikan kesempatan
kepadanya, pak camat langsung mengomentari bahwa Hendrika harus menjadi
"laki-laki sejati" dengan menyebut nama Hendrikus Kelan. Hal ini membuat
Hendrika merasa bahwa tindakan tersebut merupakan diskriminasi, karena pak
camat mengomentari gender dan mengharapkan Hendrika menjadi laki-laki sejati.
Diskriminasi ini menunjukkan adanya pengabaian terhadap identitas gender

262
Hendrika dan ekspektasi untuk memenuhi norma-norma tertentu yang mengikat
gender.
3) Pernyataan: Waktu: 07:33-07:36
"...Saya juga pernah bertemu dengan beberapa orang yang bilang, ah dia itu
akan menjadi calon bunga gitu, atau orang yang tidak akan bisa kerja."
Pernyataan ini mengungkapkan pengalaman diskriminasi yang Hendrika alami
dalam hal pekerjaan. Beberapa orang menyatakan pandangan negatif terhadapnya
dengan mengatakan bahwa dia hanya akan menjadi "calon bunga" atau tidak akan
mampu bekerja. Pernyataan ini mencerminkan adanya stereotip dan prasangka
terhadap individu LGBTI, di mana mereka sering kali dianggap tidak mampu
atau tidak cocok untuk pekerjaan tertentu. Hal ini juga mencerminkan
diskriminasi ekonomi yang dapat dialami oleh kelompok LGBTI. Diskriminasi
dalam bidang ekonomi mencakup pelanggaran hak atas pekerjaan di sektor
formal dan kesulitan mendapatkan kesempatan yang setara dalam mencari
pekerjaan. Pandangan negatif terhadap kemampuan kerja Hendrika
mengindikasikan adanya pengabaian terhadap kemampuan dan kualifikasi
individu berdasarkan identitas gender atau orientasi seksual mereka. Pernyataan
ini juga mencerminkan stigma sosial yang dialami oleh LGBTI. Orang-orang
yang mengungkapkan pandangan negatif terhadap Hendrika dengan
mengaitkannya dengan stereotip atau prasangka menunjukkan adanya sikap
prejudis dan penolakan terhadap kelompok LGBTI.
Secara keseluruhan, pernyataan ini menyoroti diskriminasi ekonomi dan sosial
yang dialami oleh Hendrika Mayora, yang mencakup pandangan negatif terhadap
kemampuan kerja dan stereotip yang membatasi kesempatan dan penghargaan
terhadap individu berdasarkan identitas gender atau orientasi seksual mereka.
Dalam konteks diskriminasi terhadap LGBTI, seperti yang dijelaskan oleh
Ariyanto & Triawan (2008), terdapat beberapa jenis diskriminasi yang sering
dialami oleh kelompok LGBTI di Indonesia. Beberapa jenis diskriminasi tersebut
adalah: 1) Diskriminasi sosial: Stigmatisasi, cemoohan, pelecehan, pengucilan,
tidak adanya kesempatan yang sama dalam pendidikan formal, dan kekerasan
fisik dan psikis. 2) Diskriminasi hukum: Kebijakan negara yang melanggar
hak-hak LGBTI dan perlakuan hukum yang berbeda, terutama terkait pengakuan
identitas transgender dalam dokumen resmi seperti KTP. 3) Diskriminasi politik:
Kesempatan yang berbeda dalam wilayah politik praktis dan kurangnya
keterwakilan politik dari kelompok LGBTI. 4) Diskriminasi ekonomi:
Pelanggaran hak atas pekerjaan di sektor formal, meskipun setiap warga negara
Indonesia seharusnya memiliki kesempatan yang sama dalam hal pekerjaan tanpa
adanya diskriminasi. 5) Diskriminasi kebudayaan: Pengusiran dari rumah atau
tempat tinggal sementara, tekanan untuk menikah, dan pemaksaan untuk menikah
dengan orang yang tidak disukai. Pernyataan Hendrika Mayora dalam wawancara
tersebut menggambarkan beberapa aspek dari diskriminasi yang sering dihadapi
oleh kelompok LGBTI, seperti stigma sosial, perlakuan yang berbeda dalam
hukum dan politik, ekonomi, serta pengalaman diskriminasi dalam kehidupan
sehari-hari.

263
Kedua, strategi komunikasi politik. Berikut pernyataan terkait pertanyaan mengenai
startegi komunikasi politik :
1). Pernyataan : waktu 08:29-10.0
“..saya strategi, menggunakan strategi, strategi pendekatan pertama itu ya
pendekatan, kalau aku menggunakan pendekatan mutual ya warga masyarakat
habi misalnya habi orang-orang disitu, ya saya menggunakan, kalau mereka
memberi stigma terhadap transpuann itu bodoh, transpn itu nakal, aku
mengubahnya dengan cara apa, mengajak teman-teman transpon lain untuk
berkarya, aku menjadi pendamping sekami di gereja, itu strategiku orang, oh
liat dia itu waria tapi dia bisa menjadi gurus kami, mengajar sekolah minggu,
bikin drama, bikin puisi, ada anak jadi pintar, aku pendekatan ke gereja juga,
pendekatan secara sosial, oh bunda majora itu waria tapi dia juga masuk di
PKK, aku ambil alih di PKK sebagai ketua projekt satu, dan disitu aku
menunjukkan bahwa strategi inklusifitas itu menjadi proses awal saya
diterima, dan itu menjadikan bahwa, oh nilai-nilai transpuan itu hadir di
gereja, dan itu menjadi tengah-tengah kehidupan, masyarakat tidak bisa
menilai saya sebagai seorang transgender dengan stigma yang ada, aku
percaya bahwa mereka tersinggung, mereka hanya berasumsi bahwa waria itu
nakal, bodoh itu asumsi mereka saja, tapi ketika orang bilang tak kenal maka
tak sayang, tapi kalau sudah kenal maka sayang, maka itu saya mengenal
mereka dengan karya-karya saya, dan saya menunjukkan kualitas saya, dan
puji Tuhan, saya tidak sendiri tapi teman-teman yang lain saya ajak dan kami
diterima”.
Pendekatan mutual dan inklusifitas: Hendrika Mayora menggunakan pendekatan
mutual dengan mengajak teman-teman transgender lain untuk berkarya dan
menunjukkan kualitas mereka. Dia juga menggunakan pendekatan inklusifitas dengan
terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan organisasi, seperti menjadi pendamping
sekami di gereja dan mengambil alih posisi ketua proyek di PKK. Dengan melakukan
ini, dia berusaha mengubah stigma dan merangkul nilai-nilai transgender di dalam
masyarakat.
2). Pernyataan : Waktu 09:05-10:00
“...Pendekatan secara sosial, oh bunda Mayora itu waria tapi dia juga masuk di
PKK, aku ambil alih di PKK sebagai ketua projekt satu, dan disitu aku
menunjukkan bahwa strategi inklusifitas itu menjadi proses awal saya
diterima, dan itu menjadikan bahwa, oh nilai-nilai transpon itu hadir di gereja,
dan itu menjadi tengah-tengah kehidupan, masyarakat tidak bisa menilai saya
sebagai seorang transgender dengan stigma yang ada, aku percaya bahwa
mereka tersinggung, mereka hanya berasumsi bahwa waria itu nakal, bodoh
itu asumsi mereka saja, tapi ketika orang bilang tak kenal maka tak sayang,
tapi kalau sudah kenal maka sayang, maka itu saya mengenal mereka dengan
karya-karya saya, dan saya menunjukkan kualitas saya, dan puji Tuhan, saya
tidak sendiri tapi teman-teman yang lain saya ajak dan kami diterima. saya
membangun strategi komunikasi yang sebenarnya sangat kontekstual,
kebutuhan apa yang mereka butuhkan, ya saya ceritakan, tidak menggunakan
retorika, hanya retorika, tetapi dengan pekerjaan yang jelas”.
Pendekatan kontekstual dan interseksionalitas: Hendrika Mayora mengembangkan
strategi pendekatan yang kontekstual dengan mempertimbangkan kebutuhan
kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat perempuan, kelompok disabilitas,
lansia, dan lainnya. Dia menggunakan pendekatan interseksionalitas untuk
menunjukkan bahwa dia hadir untuk semua orang dan menciptakan inklusi yang luas.

264
Berdasarkan pernyataan Hendrika Mayora tersebut, dapat dikaitkan dengan tiga
pendekatan strategi komunikasi politik yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
politik yang diharapkan (Anwar Arifin, 2011:235), yaitu: 1. Pendekatan ketokohan
dan kelembagaan: Hendrika Mayora mencerminkan ketokohan yang kredibel dalam
komunikasinya. Dia membangun citra positif melalui kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dan melalui kehadirannya dalam lembaga-lembaga politik dan sosial.
Dengan menjadi anggota dan pemimpin di berbagai organisasi, dia mengukuhkan
stabilitas lembaga politiknya dalam masyarakat. 2. Pendekatan menciptakan
kebersamaan: Hendrika Mayora aktif dalam menciptakan kebersamaan dengan
masyarakat. Dia berusaha memahami dan memperhatikan kebutuhan serta reaksi
masyarakat melalui kegiatan penjajakan dan observasi langsung. Dengan demikian,
dia dapat menyusun pesan yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 3.
Pendekatan membangun konsensus: Hendrika Mayora juga terlibat dalam
membangun hubungan yang baik dengan politikus dan masyarakat. Melalui
partisipasinya dalam berbagai organisasi dan kegiatan politik, dia mencari
kesepakatan bersama antara politikus dalam partai politik yang sama atau berbeda.
Dia menggunakan model komunikasi interaktif dalam proses ini. Dengan demikian,
Hendrika Mayora mengimplementasikan strategi komunikasi politik yang mencakup
pendekatan ketokohan dan kelembagaan, pendekatan menciptakan kebersamaan, dan
pendekatan membangun konsensus. Strategistrategi ini membantu dia membangun
citra yang positif, memperoleh dukungan masyarakat, dan mempengaruhi pemahaman
dan sikap masyarakat terhadap isu-isu yang relevan dengan identitas dan hak-hak
transgender.
Ketiga persepsi masyarakat terhadap seorang transpuan dalam pejabat publik,
Persepsi seseorang tidak muncul secara spontan, namun terbentuk melalui proses dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Inilah yang menyebabkan adanya perbedaan
interpretasi antara setiap orang, meskipun mereka melihat hal yang sama. Berikut adalah
pertanyaan terkait persepsi masyarakat terhadapa kehadiran seorang transpuan dalam pejabat
publik, dengan pernyataan Hendrika Mayora mencakup:
1). Pernyataan : Waktu 17:05-17:39
“...Orang nomor satu di dusun yang menjadi representasi dusun yang lebih
maju, karena di Lokaria itu kan warganya itu kan banyak
kelompok-kelompok, banyak orang-orang yang pensiun dengan pemerintahan,
bahkan anggota DPR, pejabatpejabat juga ada di situ, dan saya terpilih di
lingkungan itu. Dan itu membuktikan bahwa meskipun saya seorang trans
perempuan, sebagian orang ragu, tapi sebagian besar orang percaya saya. Dan
ya tantangan selalu ada, tetapi itu nggak menjadi penghalang untuk saya maju,
dan nggak menjadi penghalang untuk orang-orang yang memilih saya
menyerah terhadap pilihan mereka terhadap saya”.
Representasi sebagai pemimpin di lingkungan yang maju: Hendrika Mayora merasa
bangga karena menjadi orang nomor satu di dusunnya, yang dianggap sebagai
representasi dusun yang lebih maju. Dalam dusun tersebut, terdapat
kelompok-kelompok yang beragam, termasuk pensiunan pemerintah dan
pejabatpejabat, serta anggota DPR. Terpilihnya Hendrika Mayora di lingkungan ini
membuktikan bahwa meskipun ada keraguan dan stereotip terhadapnya, sebagian
besar orang mempercayai dan mendukungnya. Meskipun ada tantangan, baik dari
masyarakat maupun dirisendiri, Hendrika Mayora tidak menyerah dan terus maju.
2). Pernyataan : 20:35-20:37
“...Mereka meragu ya, tapi dalam proses ternyata mereka tahu, oh banyak
orang punya kemampuan lebih dari, bahkan mungkin yang mereka stigmakan

265
kepada saya, yang mereka stereotipkan kepada saya itu salah gitu, justru saya
punya kemampuan yang lebih gitu. Maka itu masyarakat terima, oh
masyarakat sangat terima, masyarakat sangat percaya, masyarakat sangat tahu.
Apalagi melihat, kita ini kan punya memenang untuk mimpin sidang, buka
sidang gitu kan, dan tidak ada perbedaan perlakuan terhadap saya dan
anggota-anggota BPD yang lain”.
Masyarakat menyadari kemampuan yang dimiliki: Hendrika Mayora mengatakan
bahwa awalnya masyarakat meragukan kemampuannya, tetapi dalam prosesnya,
mereka menyadari bahwa banyak orang memiliki kemampuan yang lebih baik
daripada stereotip yang mereka berikan. Masyarakat menerima dan percaya pada
kemampuan Hendrika Mayora. Posisinya dalam memimpin sidang dan perlakuan
yang sama dengan anggota BPD lainnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
perlakuan terhadapnya. Dalam data di atas, terlihat bahwa persepsi seseorang tidak
timbul dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh proses dan faktor-faktor tertentu.
Hal ini mengakibatkan setiap orang memiliki interpretasi yang berbeda, meskipun
mereka melihat hal yang sama. Menurut teori persepsi yang dikemukakan oleh
Stephen P. Robins (2013 :168) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi
seseorang: 1. Individu yang bersangkutan (pemersepsi): Setiap individu yang
mengamati sesuatu dan mencoba memberikan interpretasi akan dipengaruhi oleh
karakteristik pribadinya, seperti sikap, motif kepentingan, minat, pengalaman,
pengetahuan, dan harapannya. 2. Sasaran dari persepsi: Sasaran persepsi bisa berupa
orang, benda, atau peristiwa. Sifat-sifat dari sasaran tersebut akan mempengaruhi
persepsi orang yang melihatnya. Orang cenderung mengelompokkan dan memisahkan
sasaransasaran yang serupa dari kelompok yang berbeda. 3. Situasi: Persepsi harus
dilihat dalam konteks situasi di mana persepsi tersebut muncul. Situasi juga
merupakan faktor penting yang memengaruhi pembentukan persepsi seseorang.
Dalam konteks ini, terlihat bahwa individu yang bersangkutan (pemersepsi) memiliki
pengalaman dan pengetahuan yang mempengaruhi persepsinya tentang stigma dan
diskriminasi terhadap dirinya sebagai seorang transpuan. Sasaran persepsinya adalah
masyarakat sekitarnya dan posisi yang diemban sebagai pemegang kekuasaan. Situasi
yang melibatkan rivalitas dan faktor keluarga juga turut memengaruhi persepsi
tersebut. Terlebih lagi, pengalaman dan pencapaian 89 individu tersebut telah
mengubah persepsi masyarakat terhadapnya, membuktikan bahwa stereotip yang ada
tidak benar.

Temuan
Hendrika Mayora mengalami tantangan dalam perjuangannya untuk mendapatkan
posisi sebagai anggota BPD. Sebagai seorang transgender perempuan, ia menghadapi
diskriminasi karena termasuk dalam kelompok minoritas. Namun, Hendrika tidak menyerah
dan memilih untuk mengubah pandangan masyarakat dengan menunjukkan nilai-nilai positif
melalui karyanya. Meskipun skeptis, banyak orang menentang kehadirannya sebagai seorang
transpuan dalam ruang publik. Tetapi Hendrika tetap teguh dalam hak politiknya dan
mendapatkan dukungan dari Bupati. Untuk mengatasi stigma dan diskriminasi, Hendrika
menggunakan pendekatan inklusifitas dengan terlibat dalam kegiatan masyarakat seperti
pendampingan di gereja, partisipasi dalam PKK, dan pendekatan terhadap kelompok rentan.
Melalui strategi ini, pandangan masyarakat terhadap transgender berubah dan Hendrika
merasa dihargai serta dipercaya oleh orang lain karena kontribusinya yang positif. Hendrika
juga menghadapi tantangan lain seperti pengaruh diskriminasi terhadap pekerjaan dan
kegiatan politiknya. Namun, ia berhasil mengatasinya dengan percaya diri sebagai seorang
transgender perempuan yang berkualitas dalam peran sebagai anggota BPD. Dalam strategi

266
komunikasi politiknya, Hendrika menggunakan pendekatan mutual, inklusifitas, sosial,
kontekstual, dan interseksionalitas. Dengan mengimplementasikan strategi ini, ia berhasil
membangun citra positif, mengakui nilai-nilai transgender, mengubah stigma di masyarakat,
serta memperoleh dukungan yang lebih luas untuk isu-isu yang berkaitan dengan identitas
dan hak-hak transgender.

Kesimpulan
Penelitian ini menggambarkan perjuangan Hendrika Mayora dalam usahanya untuk
mencapai posisi sebagai anggota BPD di Kabupaten Sikka. Dengan menggunakan metode
penelitian kualitatif dan pendekatan fenomenologi serta teori standpoint, penelitian ini
mengungkapkan pengalaman dan makna subjektif Hendrika Mayora, serta respons
masyarakat terhadap perjuangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjuangan
Hendrika Mayora tidak hanya melibatkan usaha individu, tetapi juga dipengaruhi oleh
dinamika politik dan konteks gender di Kabupaten Sikka. Hendrika Mayora menghadapi
berbagai hambatan, termasuk stereotip, diskriminasi, dan ketidaksetaraan gender dalam arena
politik lokal. Namun, melalui strategi komunikasi politik yang efektif, Hendrika Mayora
berhasil mempengaruhi pemilih dan memperoleh dukungan. Pendekatan fenomenologi
memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pengalaman subjektif Hendrika
Mayora, sedangkan teori standpoint memperkuat pemahaman tentang pengaruh identitas dan
pengalaman gender terhadap perjuangannya. Teori resepsi Khalyak Stuart Hall memberikan
wawasan tentang bagaimana perjuangan Hendrika Mayora diterima, diinterpretasikan, dan
merespons oleh masyarakat. Perjuangan Hendrika Mayora sebagai seorang transpuan dalam
konteks komunikasi politik dan gender di Kabupaten Sikka memiliki nilai penting dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu kesetaraan gender dan hak-hak LGBT.
Perjuangannya juga membuka peluang bagi lebih banyak perwakilan publik dari kalangan
transpuan di masa depan.

Daftar Pustaka

Abdussamad, H. Z. (2021). Metode Penelitian Kualitatif. Syakir Media Press.


Adeni, S., & Harahap, M. A. (2017). Komunikasi Politik dan Keterwakilan Perempuan
dalam Arena Politik. Jurnal PERSPEKTIF Komunikasi UMJ, 1(2), 1–7.
Alampay, L. P., Godwin, J., Lansford, J. E., Bombi, A. S., Bornstein, M. H., Chang, L., &
Oburu, P. (2017). Severity and justness do not moderate the relation between corporal
punishment and negative child outcomes: A multicultural and longitudinal study.
International Journal of Behavioral Development.
Fahrudin, A. (2021). Etika Komunikasi Pejabat Publik dalam Penanganan Pandemi
Covid-19. El Madani: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi Islam, 2(2), 121–144.
Hajir, M. (2020). Bias Gender dalam Buku Teks Bahasa Indonesia SMA Kurikulum 2013
Edisi Revisi. Universitas Muhammadiyah.
Kusumastuti, A., & Khoiron, A. M. (2019). Metode Penelitian Kualitatif. Lembaga
Pendidikan Sukarno Pressindo.

267
Murdiyanto, E. (2020). Metode Penelitian Kualitatif : Teori dan Aplikasi disertai Contoh
Proposal. UPN Veteran Yogyakarta Press.
No Title. (n.d.). Retrieved September 2, 2021, from
https://www.sehatq.com/artikel/transgender-adalah-individu-dengan-ketidaksesuaian-id
entitas- gender
Putra, E. O. (n.d.). 02 September 2021. Retrieved September 2, 2021, from
https://www.sehatq.com/artikel/transgender-adalah-individu-dengan-ketidaksesuaian-id
entitas- gender
Putri, N. W. E. (2020). Perempuan Hindu dalam Kajian Komunikasi Politik dan Gender.
Communicare, 1(1), 30–39.
Wahidmurni. (2017). Pemaparan Metode Penelitian Kualitatif. UIN Maulana Malik Ibrahim.
Widjaya, W. (2020). Pemaknaan Generasi Milenial terhadap Berita #2019gantipresiden
(Studi Resepsi terhadap Berita #2019gantipresiden di Media Online Liputan6.com).

268

Anda mungkin juga menyukai