Pemikiran Pendidikan Islam Al-Ghazaliii

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 19

Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 1

TEORI/PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM AL-GAZALI


Anyyul Fariqoini (2023100020035)
Maulida Turrohmah (2023100020034)

Abstrak
Ignaz Goldziher mengakui bahwa sosok al-Ghazali telah memberikan effect dan impact yang
begitu besar baik dalam historisitas pemikiran Islam maupun pada religuisitas kaum muslimin.
Al-Ghazali tidak hanya dikenal sebagai seorang teolog dan mistikus, tetapi dia juga menguasai
bidang yurisprudensi (hukum), etika, logika, bahkan kajian filsafat.
Pemikiran al-Ghazali tidak hanya terbatas pada masalah ilmu-ilmu keagamaan saja, namun
beliau juga terkenal dengan pemikiran-pemikirannya dalam bidang pendidikan. Bahkan
pengaruh pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan ini masih eksis dan menjadi rujukan
kaum muslim terutama di kalangan penganut sunni. Pemikiran al-Ghazali dalam bidang
pendidikan ini antara lain; yaitu aspek peranan pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum
pendidikan, metode pendidikan, etika guru, dan etika murid.

Kata Kunci: Pendidikan Islam, Al-Ghazali

Pendahuluan

Seorang tokoh pemikir Islam yang tak kalah tersohornya di dunia Islam maupun Barat
adalah Al-Ghazali. Ia merupakan salah satu tokoh Muslim yang pemikirannya sangat luas dan
mendalam dalam bidang tasawuf, ilmu kalam, falsafah, akhlak, fiqih dan berbagai bidang
keilmuan, termasuk bidang pendidikan. Menurut Philip K. Hitti, sebagaimana dikutip oleh
Nurcholish Madjid, al-Ghazali digolongkan sebagai salah seorang yang paling menentukan
jalannya sejarah Islam dan bangsa-bangsa Muslim. Bahkan, dalam bidang pemikiran dan
peletakkan dasar ajaran-ajaran Islam, Al-Ghazali ditempatkan di urutan kedua setelah
Rasulullah. Ia adalah seorang pemikir yang tidak saja mendalam, tapi juga sangat subur dan
produktif dengan karya-karyanya.1
Ignaz Goldziher mengakui bahwa sosok al-Ghazali telah memberikan effect dan impact
yang begitu besar baik dalam historisitas pemikiran Islam maupun pada religuisitas kaum
muslimin. Al-Ghazali tidak hanya dikenal sebagai seorang teolog dan mistikus, tetapi dia juga
menguasai bidang yurisprudensi (hukum), etika, logika, bahkan kajian filsafat. Dia dinilai
sebagai seorang ilmuan Islam yang ensiklopedis dengan menguasai hampir seluruh khazanah-
khazanah keilmuan dari berbagai disiplin yang sangat berbeda. Kemampuannya mengelaborasi

1
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998), 280
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 2

serta mengepresikan gagasan-gagasan pemikiran pada setiap karya-karyanya, dinilai sangat


orisinil, kritis, bahkan komunikatif.2
Pemikiran al-Ghazali tidak hanya terbatas pada masalah ilmu-ilmu keagamaan saja,
namun beliau juga terkenal dengan pemikiran-pemikirannya dalam bidang pendidikan. Bahkan
pengaruh pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan ini masih eksis dan menjadi rujukan
kaum muslim terutama di kalangan penganut sunni. Pemikiran al-Ghazali dalam bidang
pendidikan ini antara lain; yaitu aspek peranan pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum
pendidikan, metode pendidikan, etika guru, dan etika murid.
Biografi Singkat Al-Ghazali ( 450 H/1058 M-505 H/1111 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dilahirkan di
Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M, dan wafat di Tabristan
wilayah propinsi Tus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H. bertepatan dengan 1
Desember 1111 M.3 Ayahnya seorang pemintal wool dan menjualnya sendiri di kota itu.4
Diceritakan bahwa ayahnya adalah seorang fakir yang saleh dia hanya makan dari hasil usahanya
sendiri dari pekerjaan memintal benang. Ayahnya selalu mengikuti majlis-majlis ahli ilmu
(fuqaha) dan selalu mengambil kebaikan dari para ulama tersebut. Apabila ia mendengarkan
kajian para ulama itu ia selalau menangis dan berdoa kepada Allah swt agar dikaruniahi seorang
anak yang alim (faqih), Allah mengabulkan permohonannya. Al-Ghazali mempunyai seorang
saudara. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya
itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera
melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta
pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar mencari ilmu semampu-
mampunya.
Al-Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan
penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa
duka nestapa dan sengsara.

2
Baharuddin, Dikotomi Pendidikan Islam, (Jakarta: Remaja Rosdakarya 2011), 197-198
3
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 209.
4
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al Din, (Darussalam,Kairo Mesir, Jilid I, 2007),
3
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 3

Al Ghazali memulai pendidikan di wilayah kelahirannya tus dengan mempelajari dasar-


dasar pengetahuan selanjutnya ia pergi ke Naisyafur dan horassan yang pada waktu itu kedua
kota tersebut terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam di kota
Naisyafur inilah Al Ghazali berguru kepada Imam Al Haramain Abi Al ma'ali Al juwaini
seorang ulama yang bermazhab Syafi'i yang pada saat itu menjadi guru besar di Naisyafur.5
Di antara mata pelajaran yang dipelajari al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi,
hukum Islam, filsfat, logika, tasawuf (sufisme), dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang
dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya di kemudian
hari. Hal ini antara lain terlihat dari karya tulisnya yang dibuat dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan.
Karena demikian banyak keahlian yang secara prima dikuasai al-Gahzali, maka tidaklah
mengherankan jika kemudian ia mendapat bermacam gelar yang mengaharumkan namanya,
seperti gelar Hujjatul Islam (pembela Islam), Zain al-Din (sang ornament agama), Syeikh al-
Syufiyyin (Guru besar dalam Tasawuf), dan Imam al-Murabbin (Pakar bidang Pendidikan).
Sejarah filsafat Islam mencatat bahwa al-Ghazali pada mulanya dikenal sebagai orang
yang ragu terhadap berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu yang dicapai melalui panca indera
maupun akal pikiran. Ia misalnya ragu terhadap ilmu kalam (teologi) yang dipelajarinya dari al-
Juwaini. Hal ini disebabkan dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan,
sehingga dapat membingungkan dalam menetapkan aliran mana yang betul-betul benar di antara
semua aliran.
Al-Ghazali dilanda keraguan-raguan, skeptis, terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya
(hukum, teologi, dan filsafat), kegunaan pekerjaannya, dan karya-karya yang dihasilkannya,
sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan, dan sulit diobati. Karena itu ia ttidak dapat
menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah Nizhamiyah. Akhirnya ia meninggalkan
Baghdad menuju Damaskus dan menetap selama dua tahun dan ia melakukan uzlah, riyadhah,
dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke Bait al-Maqdis Palestina untuk melaksanakan ibadah
serupa, setelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam
Rasulullah. Sepulang dari tanah suci, Al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya Thus di sinipun

5
Muhammad Athiyyah Al-absary, Al-Tarbiyyah Al-Islami Wa Falsafatuha, (Mesir: Isa Al-Babi Al-halabi, Cet.3,
1975), 273
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 4

ia tetap berkhalwat. Keadaan skeptis al-Ghazali berlangsung selama sepuluh tahun.6 Pada
periode itulah ia menuulis karyanya yang spektakuler Ihya’ Ulu Al-Din.
Sebagaimana halnya dalam ilmu kalam, dalam ilmu filsafat pun al-Ghazali
meragukannya, karena dalam fislsafat dijumpai argument-argumen yang tidak kuat, dan menurut
keyakinannya ada yang bertentangan dengan agama Islam. Ia akhirnya mengambil sikap
menentang filsafat. Pada saat inilah al-Ghazali menulis buku yang berjudul Maqasid al-Falsafah
(Pemikiran Kaum Filosof). Buku ini dikarangnya untuk kemudian mengkritik dan menghantam
filsafat. Kritik itu muncul dalam bukunya yang berjudul Tahaful al-Falasifah (Kekacauan
Pemikiran Filosof-Filosof).
Pada akhir perjalan intelektualnya, tasawuflah yang dapat menghilangkan rasa syak
(keraguan) yang lama mengganggu diri al-Ghazali. Dalam tasawuflah ia memperoleh keyakinan
yang dicari-carinya. Pengetahuan mistiklah, cahaya yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya.
Itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh keyakinannya kembali.
Pengertian Pendidikan Islam
Menurut Al Ghazali, pendidikan Islam yaitu pendidikan yang berupaya dalam
pembentukan insan paripurna, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Ghazali pula
manusia dapat mencapai kesempurnaan apabila mau berusaha mencari ilmu dan selanjutnya
mengamalkan fadhilah melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Fadhilah ini selanjutnya
dapat membawanya untuk dekat kepada Allah dan akhirnya membahagiakannya hidup di dunia
dan akhirat.7
Bagi Al Ghazali, ilmu adalah medium untuk taqarrub kepada Allah, dimana tak ada satu
pun manusia bisa sampai kepada-Nya tanpa ilmu. Tingkat termulia bagiseorang manusia adalah
kebahagiaan yang abadi. Di antara wujud yang paling utamaadalah wujud yang menjadi
perantara kebahagiaan, tetapi kebahagiaan itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan
amal, dan amal tak mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai. Dengan
demikian, modal kebahagiaan di dunia dan akhirat itu, tak lain adalah ilmu. Maka dari itu, dapat
disebut ilmu adalah amal yang terutama.

6
Muhammad Ali Abu Rayyan, Al-Falsafah al-Islamiyah :Syakhsyyatuha wa Mazahibuha, (Iskandaria: Dar al-
Qaumiyyah, 1967), 664.
7
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Ilsam, (Bandung: CV Pustaka Srtia, 2007), 72.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 5

Proses pendidikan pada intinya merupakan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta
didik (murid) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam konteks
umum tujuan pendidikan tersebut antara lain mentrasmisikan pengalaman dari generasi ke
generasi berikutnya. Pendidikan menekankan pengalaman dari seluruh masyarakat, bukan hanya
pengalaman pribadi perorangan. Definisi ini sejalan dengan pendapat Jhon Dewey yang
mengatakan bahwa pendidikan merupakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan kembali
pengalaman hidup, dan juga pembahasan pengalaman hidup sendiri. Sedangkan dalam konteks
Islam pendidikan dapat diartikan sebagai proses persiapan generasi muda untuk generasi
peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi
manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.8
Jadi pendidikan Islam menurut Al Ghazali merupakan pendidikan yang ingin menjadikan
manusia menjadi insan yang paripura yang nantinya akan mencapai hidup bahagia di dunia dan
akhirat dengan bertaqarrub kepada Allah melalui ilmu yang sudah dia dapatkan lewat proses
pendidikan.
Pandangan dan Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali
Untuk mengetahui pandangan dan pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan dapat
diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan
dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu aspek peranan pendidikan,
tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pendidikan, etika guru, dan etika murid.
1. Peranan Pendidikan
Al-Gahzali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian
yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikan yang banyak menentukan corak
kehidupan suatu bangsa. Demikian hasil pengamatan Ahmad Fuad AL-Ahwani terhadap
pemikiran pendidikan al-Ghazali.
Sementara itu H.M. Arifin mengatakan, bila dipandang dari segi filosofis, al-
Ghazali adalah penganut paham idealism yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar
pandangannya.16 Dalam masalah pendidikan al-Ghazali lebih cenderung berpaham
empirisme. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh
pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua
dan orang yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni, laksana permata yang

8
Abuddin Nata, Perspektif Tentang Pola Hubungan Guru-Murid, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2015), 83.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 6

sangat berharga sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Hal ini sejalan dengan hadis
Rasulullah SAW yang menegaskan :
ِّ ِ ‫سانِ ِه أَ ْو يُن‬
‫َص َرانِ ِه‬ ْ ‫علَى ْال ِف‬
َ ‫ فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّ ِودَانِ ِه أَ ْو يُ َم ِ ِّج‬،ِ‫ط َرة‬ َ ُ‫ُك ُّل َم ْولُ ْو ٍد ي ُْولَد‬
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orangtualah yang
menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (H.R. Muslim).

Sejalan dengan hadis tersebut, al-Ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran
dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu
dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka
anak itu akan berakhlak jelek. Pentingnya pendidikan ini didasarkan kepada pengalaman
hidup al-Ghazali sendiri, yaitu sebagai orang yang tumbuh menjadi ulama besar yang
menguasai berbagai ilmu pengetahuan, disebabkan oleh pendidikan.
2. Tujuan Pendidikan
Setelah menjelaskan peranan pendidikan sebagaimana diuraikan di atas, al-
Ghazali lebih lanjut menjelaskan tujuan pendidikan. Menurutnya, tujuan pendidikan
adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang
menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan
diri pada Allah SWT, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.
Pendapat al-Ghazali tersebut cenderung kepada sisi keruhanian, dan sejalan
dengan filsafat al-Ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan menurut al-
Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Dan manusia akan sampai
kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur
ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat dia bahagia di dunia dan mendekatkan dia
kepada Allah SWT. sehingga ia menjadi bahagia di akhirat.
Tanpa mengkaji ilmu tasawuf dan akhlak maka kebaikan tidak dapat dicari dan
keburukan tidak dapat dihindari dengan sempurna. Prinsip-prinsip akhlak dan tasawuf
dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali
menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih daripada kebodohan.
Rumusan tujuan pendidikan yang demikian itu sejalan dengan firman Allaw SWT
tentang tujuan penciptaan manusia, yaitu :
Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepad-Ku (Q.S.
al-Dzariyat :56).
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 7

Selain itu rumusan tersebut mencerminkan sikap zuhud al-Ghazali terhadap dunia,
merasa qanaah (merasa cukup dengan yang ada), dan banyak memikirkan kehidupan
akhirat daripada kehidupan dunia. Sikap yang demikian itu diperlihatkannya pula ketika
rekan ayahnya mengirim al-Ghazali beserta saudaranya,Ahmad ke Madrasah Islamiyah
yang menyediakan berbagai sarana, makanan, dan minuman serta fasilitas belajar lainnya.
Berkenaan dengan hal ini al-ghazali berkata aku datang ketempat ini untuk mencari
keridhaan Allah bukan untuk mencari harta dan kenikmatan.
Rumusan tujuan pendidikan al-Ghazali yang demikian itu juga karena ia
memandang dunia ini bukan merupakan hal yang pokok, tidak abadi dan akan rusak,
sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatan setiap saat. Dunia hanya tempat lewat
sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah kampung yang kekal abadi, dan maut
senantiasa mengintai setiap saat.
Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang
yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang tersebut derajatnya
lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas kebahagiannya di akhirat. Ini menunjukkan bahwa
tujuan pendidikan menurut al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan
dunia itu hanya sebagai alat.
Melihat pandangan al-Ghazali terhadap tujuan pendidikan, bahwa tujuan akhir
yang ingin dicapai melalui pendidikan itu paling tidak ada dua. Pertama, Tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT. Kedua,
kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagian dunia dan akhirat.9
Lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa tujuan mempelajari ilmu pengetahuan
semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri seperti yang dia katakannya:
“Apabila engkau melakukan penyelidikan atau penalaran terhadap ilmu pengetahuan
maka engkau akan melihat kelezatan ilmu itu oleh karena itu tujuan mempelajari
ilmu pengetahuan adalah untuk ilmu pengetahuan itu sendiri”.10

9
Fatiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran dalam Pendidikan (Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali,
terj. Agil Husain Al-Munawwar dan Hadri Hasan, dari Judul Asli, Kitab Mazahib an Menurut Al-Ghazali, terj. Agil
Husain Al-Munawwar dan Hadri Hasan, dari Judul Asli, Kitab Mazahib fi al-Tarbiyyah Bahtsun fi al-Mazahib al- -
Ghazali, (Semarang : Toha Putra,1993), 18.
10
Zainuddin,Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksra,1991), 42-43.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 8

Dari pernyataan al-Ghazali di atas menunjukkan bahwa penelitian, penalaran dan


pengkajian yang mendalam dengan mencurahkan tenaga dan pikiran adalah mengandung
kelezatan intelektual dan spiritual yang akan menumbuhkan roh ilmiah dalam mencari
ilmu pengetahuan. Al-Ghazali sangat menganjurkan kepada pelajar agar menjadi orang
yang cerdas, pandai berfikir, mengadakan penelitian yang mendalam dan dapat
menggunakan akal pikiran dengan baik dan optimal, untuk menguasai ilmu pengetahuan.
Al-Ghazali juga pernah mengatakan bahwa tujuan utama pendidikan itu adalah
untuk pembentukan akhlak, seperti pernyataannya :
“Tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang
adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya”.11

Pernyataan Al Ghazali di atas kemudian didukung oleh abhiyah Al abrasi


pendidikan budi pekerti Adalah jiwa dari pendidikan islam dan islam menyimpulkan
bahwa pendidikan budi pertiwi dan akhlak adalah jiwa pendidikan islam mencapai suatu
akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan islam.
Seterusnya al-Ghazali mengatakan bahwa di samping tujuan pendidikan
sebagaimana telah dijelaskan di atas, tujuan dari pendidikan itu yaitu mencapai
kebahagian dunia dan akhirat. Al-Ghazali sangat memperhatikan kehidupan dunia dan
akhirat sekaligus, sehingga tercipta kebahagiaan bersama di dunia dan akhirat. Ia tidak
memperhatikan kehidupan dunia semata-mata atau sebaliknya kehidupan akhirat saja,
tetapi beliau menganjurkan untuk berusaha dan bekerja bagi keduanya, tanpa
meremehkan salah satu keduanya, jadi pandangan al-Ghazali terhadap tujuan pendidikan
tidaklah sempit sebagaimana banyak dituduhkan oleh sebagian pemikir.
3. Pendidik (Guru)
Al Ghazali berpandangan idealistik terhadap profesi guru idealisasi guru
menurutnya adalah orang yang berilmu beramal dan mengajar di sini Al-Ghazali
menekan perlunya keterpaduan ilmu dengan amal ia merupakan guru sejati dengan
matahari yang menyinari sekelilingnya dan dengan minyak wangi (misk) yang membuat
harum di sekitarnya.

11
Zainuddin,Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, 44.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 9

Berangkat dari perspektif idealistik profesi guru tersebut Al-Ghazali menegaskan


bahwa orang yang sibuk mengajar merupakan orang yang “bergelut” dengan sesuatu
yang amat penting sehingga ia perlu menjaga etika dan kode etik profesinya.
Sejalan dengan pentingnya pendidikan mencapai tujuan sebagaimana disebutkan di
atas, al-Ghazali juga menjelaskan tentang kriteria pendidik yang boleh melaksanakan
pendidikan. kriteria tersebut adalah :
a. Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri. Guru
harus memiliki kepedulian tinggi dalam menyelamatkan peserta didiknya dari
siksa neraka. Ini merupakan hal sebenarnya yang lebih penting daripad
penyelamatan yang telah dilakukan kedua orang tua terhadap anak-anak mereka
terhadap panas api dunia. Karena itu, hak guru lebih besar dibandingkan hak
kedua orang tua. Orang tua penyebab kelahiran anak di dunia fana, sedangkan
guru penyebab peserta didik selamat di kehidupan abadi.
b. Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya
(mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh nabi Muhammad
SAW sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang
mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
c. Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan
untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
d. Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, ilmu yang
membawa pada kebahagian dunia dan akhirat.
e. Di hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa
halus, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya.
f. Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan intelektual dan daya
tangkap anak didiknya. Ia tidak mengajarkan materi yang berada di luar
jangkauan pesrta didik, karena dapat mengakibatkan keputusasaan atau apatisme
terhadap materi yang akan diajarkan.
g. Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga di samping
tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan
baik antara guru dengan anak didiknya.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 10

h. Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya,


sehingga akal pikiran anak didiknya tersebut dijiwai oleh keimanan itu.12
i. Guru harus berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak
diketahuinya, dan menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia keliru pada suatu
masalah, ia bersedia ruju’ (kembali) kepada kebenaran.13
j. Guru mau mengamalkan ilmunya, sehingga yang ada adalah menyatunya ucapan
dan tindakan. Hal ini penting, sebab bagaimana pun ilmu hanya diketahui dengan
mata hati (bashair), sedangkan perbuatan diketahui dengan mata kepala (abshar).
Pemilik abshar jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan pemilik bashair,
sehingga bila terjadi kontradiksi antara ilmu dan amal, tentu akan menghambat
keteladanan.
Dalam kitab Ayyuhal Walad al-Ghazali menjelaskan tentang syarat seorang guru
yang pantas menjadi pengganti Rasulullah SAW adalah berilmu. Tidak semua orang
yang berilmu pantas menjadi pengganti Rasul. Akan tetapi aku jelaskan tanda-tandanya
secara global, sehingga tidak ada seorangpun yang mengaku dirinya sebagai seorang
pembimbing ruhani (Mursyid :guru). Orang yang pantas menjadi seorang guru
menurutku adalah : orang yang berpaling dari mencintai dunia dan kemegahan,
menghubungkan diri kepada seorang guru yang arif, silsilah guru-gurunya sambung
menyambung sampai kepada Rasulullah SAW, sangat baik dalam melatih dirinya
dengan mensedikitkan makan, minum, dan tidur, serta memperbanyak shalawat,
sedekah, dan puasa. Dengan menghubungkan diri kepada seorang guru yang arif,
diharapkan dia akan memiliki perilaku baik, seperti rajin shalat, pandai bersyukur,
tawakkal, qanaah, berjiwa tenang, menepati janji, berketetapan hati, tenang, tidak
tergesa-gesa, dan karakter-karakter baik lainnya. Dengan semua itu berarti dia
meruupakan pancaran dari cahaya-cahhaya Rasulullah SAW yang pantas untuk
dijadikan panutan.14

12
H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, 103-104
13
Zainuddin,Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, 57
14
Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, Terj. Gazi Saloom, (Jakarta, IIMaN, 2003), 17-18
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 11

Jika tipe ideal guru yang dikehendaki oleh al-Ghazali tersebut di atas dilihat dari
perspektif guru sebagai profesi. Nampak diarahkan pada aspek moral dan kepribadian
guru, sedangkan aspek keahlian, profesi dan penguasaan terhadap materi yang
diajarkan dan materi yang harus dikuasai nampak kurang diperhatikan. Hal ini dapat
dimengerti, karena paradigma yang digunakan untuk menentukan guru tersebut adalah
paradigma tasawuf yang menempatkan guru sebagai figur sentral, idola, bahkan
mempunyai kekuatan spiritual, di mana sang murid sangat bergantung kepadanya.
Dengan posisi seperti ini nampak guru memegang peranan penting dalam pendidikan.
Hal ini barangkali kurang sejalan dengan pola dan pendidikan yang diterapkan pada
masyarakat modern saat ini. Posisi guru dalam pendidikan modern saat ini bukan
merupakan satu-satunya agen ilmu pengetahuan dan informasi, karena ilmu
pengetahuan dan informasi sudah dikuasai bukan hanya oleh guru, melainkan oleh
peralatan penyimpan data dan sebagainya. Guru pada masa sekarang lebih dilihat
sebagai fasilitator, pemandu atau narasumber yang mengarahkan jalannya proses
belajar-mengajar.
Seiring dengan tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pendidikan yang
menempatkan posisi guru bukan hanya sebagai panggilan moral untuk mengajar,
namun juga memiliki posisi strategis sebagai sebuah profesi, maka konsep kehidupan
yang menjauhi dari orientasi duniawi, materi dan tanpa imbalan kesejahteraan yang
memadai, kiranya tidak menjawab persoalan mendasar yang dihadapi oleh guru saat ini.
Sebagai sebuah profesi, guru sama seperti profesi yang lain seperti dokter, hakim,
pengacara, dan lain-lain, semuanya dituntut untuk pekerjaan yang dihargai dengan
penghasilan yang layak atau sesuai. Guru bisa tetap melaksanakan fungsi akhlak,
peribadatan, dan pensucian jiwa, tanpa harus meninggalkan haknya untuk memperoleh
penghidupan atau penghasilan atas jerih payahnya dalam melaksanakan tugas
mengajar.
Tipe guru ideal yang dikemukakan al-Ghazali yang demikian sarat dengan norma
akhlak itu, masih dianggap relevan jika tidak dianggap hanya itu satu-satunya model,
melainkan juga harus dilengkapi dengan persyaratan akademis dan profesi. Guru yang
ideal di masa sekarang adalah guru yang memiliki persyaratan kepribadian
sebagaimana dikemukakan al-Ghazali dan persyaratan akademis serta profesional.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 12

4. Murid (Peserta didik)


Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada
Allah SWT. maka belajar termasuk ibadah. Dengan dasar pemikiran ini, maka seorang
murid yang baik, adalah murid yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dina dan
sifat-sifat yang rendah tercela lainnya. Ia harus dilakukan dengan hati bersih,
terhindar dari hal-hal yang jelek dan kotor, termasuk di dalamnya sifat-sifat yang
rendah seperti marah, sakit hati, dengki, tinggi hati, ujub, takabbur dan lain-lain.
b. Seorang murid yang baik, juga harus menjauhkan diri dari persoalan-persoalan
duniawi mengurangi keterikatan dengan dunia karena keterikatan kepada dunia dan
masalah-masalahnya dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu Al Ghazali
mengatakan:
“Ilmu tidak akan memberikan sebagian dirinya kepadamu sebelum engkau
memberikan seluruh dirimu kepadanya dan jika engkau memberikan seluruh
dirimu kepadanya maka ilmu pun pasti akan memberikan sebagian dirimu
kepadamu”.15

c. Seorang murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati atau tawadhu terhadap
gurunya. Al-Ghazali menganjurkan agar jangan ada murid yang merasa lebih besar
daripada gurunya, atau merasa ilmunya lebih hebat daripada ilmu gurunya,
mendengarkan nasehat dan arahannya sebagaimana pasien yang mau mendengarkan
nasehat dokternya.
d. Bagi penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi
dan aliran-aliran pemikiran dan tokoh dan menghindarkan diri dari perdebatan yang
membingungkan.
e. Seorang murid hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib. Mempelajari al-
Qur;an misalnya harus didahulukan, karena dengan menguasai al-Qur’an dapat
mendukung persoalan ibadah, serta memahami ajaran agama Islam secara
keseluruhan, mengingat al-Qur’an adalah sumber utama ajaran islam.

15
Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, 44.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 13

f. Seorang murid hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap. Seorang murid


dinasehatkan agar tidak mendalami ilmu secara sekaligus, tetapi memulai dari ilmu-
ilmu agama dan menguasainya dengan sempurna. Setelah itu, barulah ia melangkah
kepada ilmu-ilmu lainnya, sesuai dengan tingkat kepentingannya.
g. Seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasai
disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu secara
alami, di mana sebagiannya merupakan jalan menuju kepada sebagian yang lain.
h. Seorang murid hendaknya mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya. Kelebihan
dari masing-masing ilmu serta hasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya
dipelajarinya dengan baik. Menurut al-Ghazali nilai ilmu tergantung pada dua hal,
yaitu hasil dan argumentasinya. Ilmu agama misalnya berbeda nilainya dengan ilmu
kedokteran. Ilmu agama adalah kehidupan yang abadi, sedangkan hasil ilmu
kedokteran adalah kehidupan yang sementara.
Al- Ghazali dalam Ayyuhal Walad menerangkan “Wahai anakku, intisari
ilmu adalah mengetahui apa taat dan ibadah itu. Ketahuilah, sesungguhnya taat dan
ibadah adalah menuruti segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Maksudnya
semua yang engkau katakan, kerjakan, dan engkau tinggalkan sesuai tuntunan
syari’at.16
Dari karakteristik murid yang dipaparkan oleh al-Ghazali di atas dapat
diambil beberapa hal yang berkaitan dengan pandangan dan pemikiran pendidikannya
sebagai berikut : Pertama, bahwa kegiatan menuntut ilmu itu tiada lain berorientasi
pada pencapaian ridha Allah. Karenanya, ilmu berfungsi membersihkan jiwa manusia
dari ambisi dan tujuan yang rendah. Ilmu menyeru pada keluhuran jiwa dan kemuliaan
rohani. Kedua, Etika peserta didik tersebut memperkuat teori ilhami yang oleh al-
Ghazali dijadikan sebagai landasan teori pendidikannya. Ia mengatakan bahwa ilmu
adalah cahaya yang dilimpahkan Allah ke dalam hati manusia. Ketiga, Peneguhan
tujuan agamawi dalam kegiatan menuntut ilmu. Bahkan tujuan agamawi merupakan
tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.

16
Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, 120.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 14

5. Kurikulum
Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya
mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang
dan yang wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu :
a. Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit, ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi
manusia di dunia maupun di akhirat, misalnya ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu
perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat dan akan
meragukan terhadap adanya Tuhan. Oleh karena itu, ilmu ini harus dijauhi.
b. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama.
Ilmu ini bila dipelajari akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih
dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT
c. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu
ini dapat membawa kepada kegoncangan iman dan ilhad (meniadakan Tuhan),
misalnya ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi menjadi dua
kelompok ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu :
a. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardu ain yang wajib dipelajari oleh setiap
individu, misalnya ilmu agama dan cabang-cabangnya, ilmu yang bersumber
pada kitab Allah SWT.
b. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang digunakan
untuk memudahkan urusan duniawi, seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu
teknik, ilmu pertanian dan industri.
Dalam istilah lain Prof. Jalaluddin membagi ilmu pengetahuan menurut al-
Ghazali kepada:
1. Ilmu Syari’at sebagai ilmu yang terpuji, terdiri dari :
a. Ilmu ushul (ilmu pokok), ilmu Al-Qur’an ilmu Nabi, pendapat para sahabat
dan ijma’.
b. Ilmu furu’ (cabang) : fiqih, ilmu hal ihwal hati, dan akhlak.
c. Ilmu pengantar (mukaddimah) : bahasa dan gramatika.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 15

d. Ilmu pelengkap (mutammimah) : Ilmu qira’at, makharijhul huruf wa al-faz,


ilmu tafsir, nasikh wa mansukh, lafad umum dan lafad khusus, lafadz nas dan
zahir, serta biografi dan sejarah sahabat.
2. Ilmu yang bukan syari’ah terdiri dari:
a. Ilmu yang terpuji : ilmu kedokteran, ilmu berhitung, dan ilmu perusahaan.
Khusus mengenai ilmu perusahaan dirinci menjadi:
pokok dan utama: pertanian, pertenunan, dan tata pemerintah
Penunjang : pertukangan besi dan industry sandang
Pelengkap : pengolahan pangan (pembuatan roti), pertenunan (jahit
menjahit).
b. Ilmu yang diperbolehkan (tidak merugakan) : kebudayaan, sejarah, sastra dan
puisi.
c. Ilmu yang tercela (merugikan) : ilmu tenung, sihir, dan bagian_bagian
tertentu dari filsafat.
Muhammad Munir Mursi menjelaskan bahwa al-Ghazali mengusulkan
beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah antara lain :
1. Ilmu Al-Qur’an dan ilmu agama seperti fiqih, hadis dan tafsir.
2. Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta lafad-lafadnya karena, karena
ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama.
3. Ilmu-ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang
beraneka macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik.
4. Ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.17
Pengklasifikasian ilmu kepada beberapa klasifikasi seperti tersebut di atas
oleh al-Ghazali, maka implementasi dalam menyusun kurikulum al-Ghazali memberi
perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya
terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya
al-Ghazali tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan, sesuai
dengan sifat pribadinya yang dikuasai oleh tasawuf dan zuhud.

17
Muhammad Munir Mursi, Al-Tarbiyyah al-Islamiyyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad Ar-arabiyyah,
(Kairo: Alam al-kutub, 1977), 243.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 16

Dari sifat dan corak ilmu-ilmu yang dikemukakan terlihat dengan jelas
bahwa mata pelajaran yang seharusnya di ajarkan dan masuk ke dalam kurikulum
menurut al-Ghazali di dasarkan pada dua kecenderungan, pertama, kecenderungan
agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu
agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk mensucikan diri dan
membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan kecenderungan ini, maka
al-Ghazali sangat mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu ini
bertalian dengan pendidikan agama. Kedua, Kecenderugan pragmatis, al-Ghazali
menilai ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan dunia,
maupun untuk kehidupan akhirat. Baginya ilmu ilmu harus dilihat dari segi fungsi
dan kegunaannya dalam bentuk amaliah, ia bisa digolongkan sebagai penganut paham
pragmatis teologis yaitu pemamfaatan yang didasarkan atas tujuan iman dan dekat
dengan Allah swt.
Dengan pengklasifikasian ilmu pengetahuan tersebut, banyak orang
menuduh secara tidak adil bahwa al-Ghazali-lah sebagai biang kemunduran
peradaban Islam disebabkan adanya dikotomi pasca pengklasifikasian ilmu
pengetahuan. Akhirnya dikotomi ilmu agama dan sekuler sudah menghancurkan
esensi dan eksistensi ilmu sehingga berakibat pada dehumanisasi, pengrusakan alam,
dan tindakan eksploitatif lainnya. Ilmu pengetahuan sekuler yang dikonstruksi guna
memenuhi kebutuhan materi belaka. Demikian juga ilmu pengetahuan agama,
ternyata tidak terlepas juga dari problem-problem yang cenderung bersifat statis. Hal
ini terjadi karena ilmu pengetahuan agama dibangun untuk mengurusi problem
trasenden dan ritual saja yang berakibat pada reduksionis kemerdekaan berfikir kritis
dan kreatifitas manusia sehingga berakses pada wilayah sosial budaya yang fasif.18
6. Metode Pendidikan
Perhatian al-Ghazali dalam bidang metode ini lebih ditujukan pada metode
khusus bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan
semua metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan
penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Perhatian al-Ghazali dalam
pendidikan agama dan moral ini sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara

18
Baharuddin, Dikotomi Pendidikan Islam, 303.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 17

umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus
dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini mendapatkan
perhatian khusus dari al_Ghazali, karena berdasarkan pada prinsipnya yang
mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan
yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian faktor
keteladanan yang utama menjadi bagian dari metode pengajaran yang amat penting.
Metode teladan dianggap sebagai metode pendidikan yang paling penting
dalam Islam. Hal itu karena Islam adalah satu agama, dan agama tidak tersebar
karena ketajaman pedang, tetapi karena keteladanan. Hal itu juga disebabkan karena
kekuatan pedang kadang-kadang dapat memaksa manusia, akan tetapi ia tidak dapat
memasuki relung hati yang dalam. Karena ideologi yang disiarkan dengan pedang
akan cepat hilang pengaruhnya, bahkan masyarakat berubah menjadi anti setelah
pedang hilang atau pembawa pedangnya pergi. Karena itu, keteladanan dalam
pendidikan adalah alat yang paling utama dan paling dekat kepada kesuksesan.
Dengan keteladanan, metode berubah menjadi fakta, lalu fakta berubah menjadi
gerakan, dan gerakan berubah menjadi sejarah.19
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru tersebut di atas,
juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya
mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia dan sekaligus sebagai tugas yang paling
agung. Pendapatnya ini ia kuatkan dengan beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits
Rasulullah saw. Serta pengulangan berkali-kali tentang tingginya status guru yang
sejajar dengan tugas kenabian. Menurutnya bahwa wujud yang termulia dimuka bumi
ini adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, mensucikan dan
menggiringnya mendekati Allah swt. Dengan demikian, mengajar adalah bentuk lain
pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung tinggi perintahNya. Menurutnya
Allah telah menghiasi hati seorang alim dengan ilmu yang merupakan sifat-Nya yang
paling khusus. Seorang alim adalah pemegang kas, ia bukan pemilik kas dalam sistem
perbendaharaan. Ia dibenarkan berbelanja dengan uang kas itu untuk siapa saja yang
memerlukannya. Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi dari pada sebagai

19
Muhammad Qutb, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, Dar al-Syuruq, (Kairo: Mesir, 2007), 180.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 18

perantara Tuhan dengan makhlukNya dalam mendekatkankannya kepada Allah, dan


menggiringnya kepada surga tempat tinggal tertinggi.
Pada masalah metode pendidikan ini al-Ghazali tidak merinci metode-
metode pendidikannya, sebagaimanan halnya Ibnu Sina yang lebih rinci menjelaskan
metode-metode pendidikan atau pengajaran. Al-Ghazali lebih menekankan kepada
metode uswatun hasanah atau keteladanan, karena seorang guru harus menjadi contoh
dalam menerapkan akhlakul karimah bagi murid-muridnya.
Kesimpulan
Dari pembahasan tulisan di atas dapat dipahami bahwa al-Ghazali
merupakan pemikir pendidikan, walaupun karya-karyanya banyak dalam bidang
kajian yang lain, namun ia meluangkan waktunya untuk membahas pendidikan.
Setelah dianalisis ternyata pemikiran dan pandangannya tentang pendidikan sangat
brilliant dan memberikan konstribusi bagi dunia pendidikan Islam dan masih eksis
dan relevan untuk diterapkan pada dunia pendidikan di zaman modern sekarang.
Dari berbagai pandangan dan pemikiran pendidikan yang dikemukakan oleh
tokoh besar tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan, maka akan mengasilkan
konsep yang terintegrasi dalam menata pendidikan Islam. Implementasi dari
pandangan dan pemikiran al-Ghazali di dunia pendidikan pada masa sekarang tentu
perlu penambahan dan penyempurnaan serta modifikasi agar sesuai dengan
perkembangan teknologi pendidikan dan sistem pendidikan sekarang.
Demikian hasil pandangan dan pemikiran al-Ghazali mengenai pendidikan,
penulis menyadari tulisan ini masih ada kekurangan, oleh karenanya penulis
mengharapkan masukan dan kritikan untuk kesempurnaan selanjutnya.
Teori/Pemikiran Pendidikan Islam Al Ghazali 19

DAFTAR PUSTAKA
Al-absary , Muhammad Athiyyah, 1975 Al-Tarbiyyah Al-Islami Wa Falsafatuha, Mesir: Isa Al-
Babi Al-halabi.

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, 2007, Ihya’ Ulum al Din,
Darussalam,Kairo Mesir.

Baharuddin, 2011, Dikotomi Pendidikan Islam, Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Ihsan Fuad, Hamdani Ihsan, 2007, Filsafat Pendidikan Ilsam, Bandung: CV Pustaka Srtia.

Madjid, Nurcholish, 1998, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan.

Mursi,, Muhammad Munir, 1977, Al-Tarbiyyah al-Islamiyyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi


al-Bilad Ar-arabiyyah, Kairo: Alam al-kutub.

Nata, Abuddin, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Qutb, Muhammad, 2007, Manhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah, Dar al-Syuruq, Kairo: Mesir.

Rayyan, Abu, Muhammad Ali Abu,1967, Al-Falsafah al-Islamiyah :Syakhsyyatuha wa


Mazahibuha, Iskandaria: Dar al-Qaumiyyah.

Sulaiman, Fatiyah Hasan 1993, Aliran-Aliran dalam Pendidikan (Studi Tentang Aliran
Pendidikan Menurut Al-Ghazali, terj. Agil Husain Al-Munawwar dan Hadri Hasan,
dari Judul Asli, Kitab Mazahib an Menurut Al-Ghazali, terj. Agil Husain Al-
Munawwar dan Hadri Hasan, dari Judul Asli, Kitab Mazahib fi al-Tarbiyyah Bahtsun
fi al-Mazahib al- -Ghazali, Semarang : Toha Putra.

Zainuddin, 1991, Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksra.

Anda mungkin juga menyukai