Wilayah Pelayanan Konselor Dan Guru Dalam Kurikulum: Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Bimbingan Konseling

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

WILAYAH PELAYANAN KONSELOR DAN GURU DALAM KURIKULUM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: Bimbingan Konseling

Oleh: Kelompok 4

1. Muhajir Rasyid Ridha (1722.2003.124)


2. Mutiara Fajar Astra (1722.2003.126
3. Rigo Maitu (1722.2002.128)
4. Syaidatul Meisharah (1722.2003.131)

Dosen Pengampu:
Elsa Dina Susandra, SE.ME

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM (YPI)
PAYAKUMBUH
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji dan syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas segala Rahmat dan
Nikmat-Nya kepada kita, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah BIMBINGAN KONSELING dengan judul “WILAYAH
PELAYANAN KONSELOR DAN GURU DALAM KURIKULUM“
Shalawat beriringan salam semoga tercurahkan buat Nabi kita Muhammad .SAW.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pada mata kuliah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Karakteristik ajaran Islam bagi para pembaca dan juga penulis. Terima kasih
kami ucapkan kepada Ibuk Elsa Dina Susandra, SE.ME selaku dosen mata kuliah
Aqidah Akhlak yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan
dan pengetahuan kami pada mata kuliah yang sedang ditekuni.

Dan terima kasih juga pada semua rekan yang telah membagi ilmunya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Besar harapan penulis semoga makalah ini
menjadi bermanfaat dan menginspirasi bagi rekan semua. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena itu kami menerima kritik dan saran
untuk kebaikan bersama.

Payakumbuh, 20 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah........................................................................................1


B. Rumusan Masalah.................................................................................................1
C. Tujuan....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. 5 ciri kemandirian individu...................................................................................3


B. 5 sifat yang perlu dimiliki konselor.......................................................................3
C. Keterampilan dasar konselor ................................................................................9
D. Tipe konseli ..........................................................................................................9
E. 5 etika dasar konseling .........................................................................................9
F. 3m (mendengar,memahami,merespon) ................................................................9

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bimbingan dan konseling (BK) merupakan suatu usaha untuk membantu para
individu atau kelompok ke arah positif dan atau membuat yang dibimbing menjalani
kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam proses pelaksanaannya yang tidak
sesuai tentunya akan menimbulkan kesan negative terhadap konseli, seperti pemikiran
bahwa individu yang berurusan dengan guru bimbingan dan konseling tersebut sedang
bermasalah. Kenyataan ini dengan mudah dapat dilihat di sekolah-sekolah.
Umumnya, siswa yang berhubungan dengan guru bimbingan dan konseling adalah
mereka yang dikategorikan nakal. Istilah nakal biasanya diidentifikasikan dengan
perilaku siswa yang sering bolos, terlibat tawuran, perkelahian, terlambat, dan lain-
lain. Singkatnya, siswa berhubungan dengan guru bimbingan dan konseling adalah,
mereka yang sudah tercatat dalam “buku hitam” sekolah. Jarang sekali (untuk tidak
menyebut tidak ada), siswa yang pintar, rajin, dan berkelakuan baik berhubungan
dengan guru bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, guru bimbingan dan
konseling hanya miliknya siswa –siswa yang terhitung bandel. Oleh karena itu, sangat
beralasan bila kemudian guru bimbingan dan konseling di identikkan sebagai
“polisinya sekolah”. Pemahaman dan pelaksanaan bimbingan dan konseling seperti
ini tentu tidak dapat membantu siswa dalam menyelesaikan masalah. Melainkan
sebaliknya, merintis masalah baru. Masalah pertama, benarkah siswa yang pintar, 2
rajin, dan berkelakukan baik tidak butuh Guru bimbingan dan konseling: kedua, Guru
bimbingan dan konseling yang memposisikan diri sebagai polisi sekolah tidak sesuai
dengan aturan yang diturunkan konsep bimbingan dan konseling. Pendapat dan/atau
pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolahsekolah yang hanya untuk siswa
yang masuk kategori nakal, jelas tidak dapat dibenarkan. Karena, pada hakikatnya,
bimbingan dan konseling ditujukan untuk semua siswa. Bukan siswa-siswa tertentu.
Hanya saja, model bimbingan dan konseling yang mereka perlukan dapat saja
berbeda. Bimbingan dan konseling untuk siswa pintar, tentu beda dengan model
bimbingan dan konseling untuk siswa yang berkemampuan akademik rata-rata, dan di
bawah rata-rata. Siswa yang sering terlibat tawuran, tentu butuh model bimbingan dan
konseling yang lain dengan bimbingan dan konseling yang diperlukan untuk siswa
yang pintar. Begitu pula seterusnya, semua siswa membutuhkan bimbingan dan

1
konseling. Dalam pelaksanaannya, guru bimbingan dan konseling yang bertindak
sebagai polisi sekolah, jelas tidak menguntungkan bagi pelaksanaan bimbingan dan
konseling itu sendiri. Karena, bimbingan dan konseling akan berjalan efektif dan
dapat mencapai tujuan, bila Guru bimbingan dan konseling sudah menjadi pengayom
atau tempat curhat para siswa. Bukan untuk membentak-bentak siswa atau menakut-
nakuti siswa. Bila guru bimbingan dan konseling memposisikan diri sebagai polisi
sekolah, masalah yang dihadapi siswa akan sulit dipahami. Apalagi mencarikan
solusinya, atau bisa jadi solusi yang diberikan tidak tepat dan menjadi masalah baru.
Karenanya, tidak semua guru bisa menjadi guru bimbingan dan konseling.
B. Rumusan Masalah

1. Apa ciri-ciri kemandirian individu ?


2. Apa sifat-sifat yang perlu dimiliki konselor?
3. Apa keterampilan dasar konselor ?
4. Apa tipe konseli?
5. Apa etika dasar konseling ?
6. Apa itu 3 M ?

2
C. Tujuan
1. Mengetahui ciri-ciri kemandirian individu ?
2. Mengetahui sifat-sifat yang perlu dimiliki konselor?
3. Mengetahui keterampilan dasar konselor ?
4. Mengetahui tipe konseli?
5. Mengetahui etika dasar konseling ?
6. Mengetahui itu 3 M ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. 5 Ciri Kemandirian Individu


Kemandirian pada seseorang terus mengalami peningkatan sesuai dengan usia
perkembangan. Menurut Desmita, ciri-ciri kemandirian berdasarkan tingkatannya
adalah sebagai berikut:

1.) Tingkat pertama (impulsif dan melindungi diri)


Pada tingkat pertama, individu biasanya bertindak secara spontanitas tanpa
berfikir terlebih dahulu.
Adapun kemandirian pada tingkat pertama ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya
dengan orang lain.
2. Mengikuti aturan secara sepontanistik dan hedonistik.
3. Berfikir tidak logis dan tertegun pada cara berfikir tertentu.
4. Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum games.
5.Cenderung menyalahkan orang lain dan mencela orang lain serta lingkungannya.

2.) Tingkat kedua (konformistik)


Pada tingkat kedua ini seseorang cenderung mengikuti penilaian orang lain.
Adapun ciri- cirinya adalah sebagai berikut:
 Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan. sosial.
 Cenderung berfikir stereotip dan klise.
 Peduli dan konformatif terthadap aturan eksternal.
 Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian
 Menyamar diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya introspeksi.
 Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri eksternal.
 Takut tidak diterima kelompok.
 Tidak sensitif terhadap keindividuan.

3.) Tingkat ketiga (sadar diri)


Pada tingkat ini individu mulai menjalani proses mengenali kepribadian dalam
diri.
Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
 Mampu berfikir alternatif.
 Melihat berbagai harapan dan kemungkinan dalam situasi. Peduli untuk
mengambil manfaat darikesempatan yang ada.
 Menekan pada pentingnya memecahkan
masalah.
4) Memikirkan cara hidup Tingkat keempat (saksama/conscientious)
Pada tingkat keempat ini, individu mulai mampu melihat keragaman emosi dan
menilai diri sendiri. Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

o Bertindak atas dasar-dasar nilai internal.

4
o Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan.
o Mampu melihat keragaman emosi.
o Sadar akan tanggung jawab.
o Mampu melakukan kritik dan penilaian diri
o Peduli akan hubungan mutualistik.
o Cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial.
o Berfikir lebih kompleks dan atas dasar
pola analitis.

5.) Tingkat kelima (individualitas)


Pada tingkatan ini seseorang mulai memiliki kepribadian yang dapat
membedakan diri dengan orang lain. Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan kesadaran individualitas.


2. Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dan ketergantungan.
3. Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain.
4. Mengenal eksistensi perbedaan individual.
5. Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam sebuah kehidupan.
6. Membedakan kehidupan internal dan kehidupan luar dirinya.
7. Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
(KAJIANPUSTAKA)

B. 5 Sifat Yang Perlu Dimiliki Konselor


a. Empati
Yang dimaksud empati adalah perasaan
dimana kita ikut merasakan dan memahami orang lain (menurut kamus besar
Bahasa Indonesia). Atau lebih gampangnya empati berarti menempatkan diri
seolah-olah menjadi seperti orang lain. Konselor harus empati sebab empati
digunakan untuk meningkatkan kualitas
komunikasi antar individu. Dengan empati konselor dapat merasakan secara
mendalam apa yang dirasakan oleh konseli tanpa kehilangan identitas dirinya
sehingga mempermudah konselor untuk membantu konseli menyelesaikan
masalah yang sedang dialami. Upaya yang perlu dilakukan agar dapat menjadi
empati adalah dengan mendengarkan orang lain dengan hati.

b. Jujur
Yang dimaksud jujur adalah kata-kata atau sikap yang mencerminkan
keadaan yang sesungguhnya. Tidak ditutupi atau bahkan tidak menipu. Jujur
adalah energi positif. Menyat akan sesuatu dengan langsung, spontan, lugas,
apa adanya (Sawitri Supardi Sadarjoen,seorang psikolog). Konselor harus
jujur sebab seorang konselor harus terbuka, otentik, dan sejati dalam
penampilannya. Kejujuran sangat penting karena:

5
a. Transparasi atau keterbukaan memudahkan konselor dan kliennya
berinteraksi dalam suasana keakraban psikologis.

b. Kejujuran memungkinkan konselor untuk memberikan umpan balik yang


belum diperhalus.

c. Kejujuran konselor merupakan ajakan sejati kepada klien untuk menjadi


jujur.

c. Membuka Diri
Yang dimaksud membuka diri adalah penampilan. perasaan, sikap, pendapat,
dan pengalaman-pengalaman pribadi konselor untuk kebaikan konseli. Konselor
mengungkapkan diri sendiri dan membagikan dirinya kepada konseli dengan
mengungkapkan beberapa pengalaman yang berarti yang bersangkutan dengan masalah
konseli. Konselor harus membuka diri sebab konseli akan lebih nyaman berinteraksi
dengan konselor yang memiliki pribadi seperti itu. Karena terbuka, konseli pun akan
menjadi lebih terbuka, dan akhirnya hubungan berlangsung lebih akrab dan saling
percaya. Dengan perasaan nyaman konseli akan menceritakan semua masalah yang
sedang dialaminya. Upaya yang perlu dilakukan agar dapat menjadi lebih membuka diri
adalah bersikap lebih terbuka dan menghargai apa yang diungkapkan orang lain terutama
konseli.
d. Pendengar Yang Aktif
Yang dimaksud pendengar yang aktif adalah konselor mendengarkan dengan
baik setiap detail dari penjelasan yang diungkapkan konseli. Konselor
memperhatikan dengan penuh perhatian tanpa mengganggu konseli. Dan
selanjutnya memberikan beberapa pertanyaan untuk mendukung data tentang
masalah konseli. Konselor harus menjadi pendengar yang aktif sebab:

a. Menunjukan dengan penuh kepedulian


b.Merangsang dan memberanikan klien untuk
beraksi secara spontan terhadap konselor.
c. Menimbulkan situasi yang mengajarkan.
d. Klien membutuhkan gagasan-gagasan baru.

Upaya yang perlu dilakukan agar dapat menjadi pendengar aktif adalah fokus
memperhatikan apa yang diungkapkan oleh konseli. Dan memberikan
tanggapan positif terhadap apa yang diungkapkan konseli.

e. Dapat Dipercaya
Yang dimaksud dapat dipercaya adalah seorang konselor bukan sebagai
suatu ancaman bagi konseli akan tetapi sebagai pihak yang memberikan rasa
aman. Konselor harus menjadi dapat dipercaya sebab:
a. Kepercayaan terhadap konselor diperlukan dalam mencapai tujuan essensial
konseling.
b. Untuk memberikan jaminan kerahasiaan klien dalam konseling.
c. Klien membutuhkan keyakinan untuk motivasi dan watak konselor.

6
d. Pengalaman klien terhadap konsistensi, penerimaan, dan kerahasiaan
konselor, akan membantu klien dalam mengembangkan rasa percaya yang
lebih mendalam.

Upaya yang perlu dilakukan agar dapat dipercaya adalah meyakinkan diri
sendiri bahwa dirinya bisa dipercaya oleh orang lain dan meyakinkan orang
lain bahwa dirinya dapat dipercaya.

C. Ketrampilan Konseling Yang Dapat Di Pelajari Diantara Nya.

1. Perilaku Attending (Menghampiri Klien)


a. Meningkatkan harga diri klien, sebab sikap dan perilaku attendzhg
memungkinkan konselor menghargai klien. Karena dia dihargai, maka merasa
harga diri ada atau meningkat.

b. Dengan perilaku attendjng dapat menciptakan suasana aman bagi klien, karena
klien merasa ada orang yang bisa dipercayai, teman untuk berbicara, dan
merasa terlindungi secara emosional.

c. Perilaku attendlhg memberikan keyakinan kepada klien bahwa konselor


adalah tempat dia mudah untuk mencurahkan segala isi hati dan perasaannya.
1. Kompetensi Intelektual

Kompetensi intelektual konselor merupakan dasar lain bagi seluruh keterampilan


konselor dalam hubungan konseling baik di dalam maupun diluar situasi konseling.

Tugas konselor adalah membntu kliennya untuk meningkatkan dirinya secara


keseluruhan. Konselor sendiri agar dapat membantu kliennya maka ia harus memiliki
pengetahuan tentang ilmu perilaku, mengetahui filsafat, mengetahui lingkungannya. Selain
itu konselor dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir runtun-rapi, dan logis. Hal ini
penting konselor dapat membantu siswa secara berpikir objektif, mempertimbangkan
alternatif dan dapat menafsirkan hasil-hasil konseling

2. Kelincahan Karsa Cipta (Fleksibilitas)

Menurut Jones, Stafflre, dan Stewart (1979) dalam Mappiare (2002), penerapan istilah
kelincahan karsa cipta ini memiliki istilah umum adalah ”flexibility”. Sedangkan istilah
secara khusus dalam situasi konseling hal tersebut berkaitan dengan istilah ”intentionality”.

Fleksibilitas adalah kemampuan dan kemamuan konselor untuk mengubah,


memodifikasi, dan menetapkan cara-cara yang digunakan jika keadaan mengharuskan
(Latipun, 2004: 48). Karena sifat hubungan dalam konseling adalah tidak tetap, makakonselor
haruslah tidak kaku. Ia harus peka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan sikap,
persepsi, dan ekspektasi klien terhadapnya. Hal tersebut menuntut kelincahan (fleksibility)

7
konselor dalam menempatkan diri. Konselor berupaya untuk beradaptasi dengan situasi yang
berkaitan proses konseling dengan klien.

Sedangkan intensionalitas berkenaan kemampuan konselor untuk memilih respon-


respon bagi pernyataan kliennya dari sejumlah besar kemungkinan respon yang dapat
diungkapkannya dalam proses konseling. Oleh karena banyaknya kemungkinan respon yang
dapat dibuat konselor, maka dibutuhkan kelincahan dalam memilih dengan cepat dan tepat
respon yang bijak.

3. Pengembangan Keakraban

Istilah pengembangan dalam ini mengacu pada pembinaan hubungan yang harmonis
antara klien dan konselor atau lebih dikenal dengan istilah ”rapport”. Keakraban mengacu
pada suasana hubungan konseling yang bercirikan suasana santai, keselarasan, kehangatan,
kewajaran, saling memudahkan dalam percakapan, saling menerima antara klien dan
konselor. Dalam hal ini ada kesediaan konselor untuk mendengarkan dengan penuh
perhatian, terbuka dan penerimaan segala apa yang mungkin akan diucapkan oleh klien yang
baru datang.

Dengan kata lain bahwa mendengarkan dengan penuh perhatian, penerimaan dan
pemahaman, serta sikap sejati dan terbuka, yang berhasil dipancarkan konselor dan dapat
dipersepsi dengan baik adalah salah satu parasyarat dalam pengembangan keakraban.

D.Tipe konseling

1 Kompetensi Intelektual

Kompetensi intelektual konselor merupakan dasar lain bagi seluruh keterampilan


konselor dalam hubungan konseling baik di dalam maupun diluar situasi konseling.

Tugas konselor adalah membntu kliennya untuk meningkatkan dirinya secara


keseluruhan. Konselor sendiri agar dapat membantu kliennya maka ia harus memiliki
pengetahuan tentang ilmu perilaku, mengetahui filsafat, mengetahui lingkungannya. Selain
itu konselor dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir runtun-rapi, dan logis. Hal ini
penting konselor dapat membantu siswa secara berpikir objektif, mempertimbangkan
alternatif dan dapat menafsirkan hasil-hasil konseling

2. Kelincahan Karsa Cipta (Fleksibilitas)

Menurut Jones, Stafflre, dan Stewart (1979) dalam Mappiare (2002), penerapan istilah
kelincahan karsa cipta ini memiliki istilah umum adalah ”flexibility”. Sedangkan istilah
secara khusus dalam situasi konseling hal tersebut berkaitan dengan istilah ”intentionality” .

8
Fleksibilitas adalah kemampuan dan kemamuan konselor untuk mengubah,
memodifikasi, dan menetapkan cara-cara yang digunakan jika keadaan mengharuskan
(Latipun, 2004: 48). Karena sifat hubungan dalam konseling adalah tidak tetap, maka
konselor haruslah tidak kaku. Ia harus peka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan
sikap, persepsi, dan ekspektasi klien terhadapnya. Hal tersebut menuntut kelincahan
(fleksibility) konselor dalam menempatkan diri. Konselor berupaya untuk beradaptasi dengan
situasi yang berkaitan proses konseling dengan klien.

Sedangkan intensionalitas berkenaan kemampuan konselor untuk memilih respon-


respon bagi pernyataan kliennya dari sejumlah besar kemungkinan respon yang dapat
diungkapkannya dalam proses konseling. Oleh karena banyaknya kemungkinan respon yang
dapat dibuat konselor, maka dibutuhkan kelincahan dalam memilih dengan cepat dan tepat
respon yang bijak.

3. Pengembangan Keakraban

Istilah pengembangan dalam ini mengacu pada pembinaan hubungan yang harmonis
antara klien dan konselor atau lebih dikenal dengan istilah ”rapport”. Keakraban mengacu
pada suasana hubungan konseling yang bercirikan suasana santai, keselarasan, kehangatan,
kewajaran, saling memudahkan dalam percakapan, saling menerima antara klien dan
konselor. Dalam hal ini ada kesediaan konselor untuk mendengarkan dengan penuh
perhatian, terbuka dan penerimaan segala apa yang mungkin akan diucapkan oleh klien yang
baru datang.

Dengan kata lain bahwa mendengarkan dengan penuh perhatian, penerimaan dan
pemahaman, serta sikap sejati dan terbuka, yang berhasil dipancarkan konselor dan dapat
dipersepsi dengan baik adalah salah satu parasyarat dalam pengembangan keakraban.

E. ETIKA DASAR KONSELING


1. Profesional Responsibility. Selama proses konseling berlangsung, seorang konselor harus
bertanggung jawab terhadap kliennya dan dirinya sendiri.Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan: Responding fully, artinya konselor harus bertanggung jawab untuk memberi
perhatian penuh terhadap klien selama proses konseling.
Terminating appropriately. Kita harus bisa melakukan terminasi (menghentikan proses
konseling) secara tepat. Evaluating the relationship. Relasi antara konselor dan klien haruslah
relasi yang terapeutik namun tidak menghilangkan yang personal. Counselor’s responsibility
to themselves. Konselor harus dapat membangun kehidupannya sendiri secara sehat sehingga
ia sehat secara spiritual, emosional dan fisikal.
2. Confidentiality. Konselor harus menjaga kerahasiaan klien. Ada beberapa hal yang perlu
penjelasan dalam etika ini, yaitu yang dinamakan previleged communication. Artinya
konselor secara hukum tidak dapat dipaksa untuk membuka percakapannya dengan klien,
9
namun untuk kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan, hal seperti ini bisa bertentangan aturan
dari etika itu sendiri. Dengan demikian tidak ada kerahasiaan yang absolute.
3. Conveying Relevant Information to The Person In Counseling. Maksudnya klien berhak
mendapatkan informasi mengenai konseling yang akan mereka jalani. Informasi tersebut
adalah: Counselor qualifications: konselor harus memberikan informasi tentang kualifikasi
atau keahlian yang ia miliki. Counseling consequences : konselor harus memberikan
informasi tentang hasil yang dicapai dalam konseling dan efek samping dari konseling Time
involved in counseling: konselor harus memberikan informasi kepada klien berapa lama
proses konseling yang akan dijalani oleh klien. Konselor harus bisa memprediksikan setiap
kasus membutuhkan berapa kali pertemuan. Misalnya konselor dan klien bertemu seminggu
sekali selama 15 kali, kemudian sebulan sekali, dan setahun sekali. Alternative to counseling:
konselor harus memberikan informasi kepada klien bahwa konseling bukanlah satu-satunya
jalan untuk sembuh, ada faktor lain yang berperan dalam penyembuhan, misalnya: motivasi
klien, natur dari problem, dll.
4. The Counselor Influence. Konselor mempunyai pengaruh yang besar dalam relasi
konseling, sehingga ada beberapa hal yang perlu konselor waspadai yang akan
mempengaruhi proses konseling dan mengurangi efektifitas konseling. Hal-hal tersebut
adalah: The counselor needs : kebutuhan-kebutuhan pribadi seorang konselor perlu dikenali
dan diwaspadai supaya tidak mengganggu efektifitas konseling. Authority: pengalaman
konselor dengan figur otoritas juga perlu diwaspadai karena akan mempengaruhi proses
konseling jika kliennya juga figur otoritas. Sexuality: konselor yang mempunyai masalah
seksualitas yang belum terselesaikan akan mempengaruhi pemilihan klien, terjadinya bias
dalam konseling, dan resistance atau negative transference. The counselor `s moral and
religius values: nilai moral dan religius yang dimiliki konselor akan mempengaruhi persepsi
konselor terhadap klien yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ia pegang. Konseling
merupakan proses bantuan yang sifatnya profesional. Setiap pekerjaan yang sifatnya
profesional tentu memiliki seperangkat aturan atau pedoman yang mengatur arah dan gerak
dari pekerjaan profesi tersebut. Hal ini sering disebut etika. Konselor sebagai pelaksana dari
pekerjaan konseling juga terikat dengan etika. Etika merupakan standard tingkah laku
seseorang, atau sekelompok orang yang didasarkan atas nilai-nilai yang disepakati. Ada
beberapa aspek dalam membahas etika konseling antara lain:
 Aspek kesukarelaan
 Aspek Kerahasiaan
 Aspek Keputusan Oleh Klien Sendiri
10
 Aspek Sosial Budaya
Hubungan konselor dan klien adalah hubungan yang menyembuhkan. Sekalipun profesional,
kita tidak boleh menghilangkan relasi personal, misalnya berelasi sebagai teman. Kita harus
mengetahui batasnya. Jika relasi kita sebatas personal, kita hanya menjadi pendengar curahan
hati. Relasi antara konselor dan klien tidak boleh terlalu personal yang menjadikan klien
“over dependent”, atau terjadi relasi yang saling memanfaatkan. Jika demikian, mengingat
konselor adalah penanggungjawabnya, ia harus menghentikan proses konseling itu. Konselor
sebaiknya berhati-hati juga ketika menyikapi hubungan pribadi dengan klien. Kedekatan
yang berlebihan dengan klien sering menjadikan dia sangat bergantung kepada kita. Oleh
sebab itu, kita harus bisa menjaga jarak. Kita harus mengetahui tanda-tanda klien mulai
bergantung kepada kita. Jika itu sudah terjadi, kita bisa tidak objektif lagi. Kita akan kesulitan
dalam melihat masalah klien dan merefleksikan perasaannya ketika relasi tersebut sudah
menjadi terlalu personal. Jadi, relasi yang dibangun di antara konselor dan klien haruslah
bersifat terapeutik. Karakteristik Terapis yang Efektif Beritikad baik: prihatin terhadap
keadaan orang lain dan bersedia membantunya (termasuk memperhadapkan dia dengan hal
hal yang belum disadarinya). Bersedia dan dapat hadir bersama klien dalam pengalaman
hidupnya, entah suka maupun duka Menyadari dan menerima kelebihannya bukan dengan
maksud untuk menguasai atau mendominasi orang lain atau mengecilkan orang lain.
Menggunakan metode dan gaya berkonseling yang sesuai dengan kepribadiannya sendiri.
Bersedia menanggung risiko, rela menjadi contoh, dalam hal ini bagi kliennya. Bersedia
disentuh secara emosional dan menyampaikannya kepada klien pada saat itu diperlukan.
Menghargai diri sendiri sehingga mampu berhubungan dengan orang lain. Menggunakan
kelebihannya dalam hal berhubungan dengan orang lain. Bersedia menjadi contoh bagi klien
dan tidak menuntut klien melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak mampu lakukan. Dituntut
kejujuran, keterbukaan, dan kesediaan mengoreksi diri sendiri. Berani mengambil risiko
untuk membuat kekeliruan dan berani mengakuinya pula. Bersedia belajar dari kekeliruan itu
tanpa mencela diri sendiri. Berorientasi pada pertumbuhan: tidak menganggap diri telah
Corey (2009) menjelaskan beberapa bahasan penting dalam etika konseling, diantaranya:
Etika dalam menggunakan tape recorder dalam proses wawancara. Beberapa konselor kadang
tidak menggunakan tape recorder karena befikiran akan menimbulkan ketidakpercayaan dan
ketidaknyamanan pada klien. Hasil rekaman wawancara yang dihasikan dapat membantu
klien dalam menurunkan sedikit kecemasan yang dialaminya. Adanya kecenderungan pihak
tertentu untuk lebih mengutamakan perlindungan hukum terhadap klien dibanding berusaha
secara baik untuk membantu mereka melewati krisis. Pada poin ini sebetulnya menegaskan
11
bahwa sebaiknya konselor mengkomunikasikan batasa-batasan proses konseling, sehingga
klien dapat memutuskan sejauh mana informasi yang akan diberikan. Proses konseling yang
dijalani oleh klien sebaiknya dilakukan karena kemauan klien itu sendiri, tanpa ada unsur
perintah ataupun paksaan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh konselor agar klien
bersedia bekerjasama dengan baik dalam proses konseling yakni menghadirkan
kemungkinan-kemungkinan kepada klien akan sesuatu yang akan dicapai dalam konseling.

F. 3M
1. MENDENGARKAN
Dalam proses mendengar, kita hanya menangkap sebagian dari informasi yang
dibicarakan atau didengar. Kita juga tidak bisa untuk menangkap secara pasti apa yang
sedang diperdengarkan. Seakan-akan kita hanya mendengar seperti angin lalu saja. Biasanya
orang yang kebiasaan hanya mendengar, berita yang disampaikannya kepada orang lain
bersifat isu atau berita yang kurang jelas.
Hal ini sangat harus dihindari oleh para konselor, karena konselor haruslah
mendengar dengan penuh apa yang sebenarnya dibicarakan oleh klien sehingga konselor bisa
memberikan perantara untuk memecahkan masalah klien tersebut. Kalau konselor hanya
mendengar saja, itu tidak kurang lebih dari mencemooh pembicaraan klien, sehingga klien
tidak mau lagi curhat dan konsultasi dengan kita. Kita hanya dianggap sebagai orang yang
membosankan (Martha Syaflina.2012.online).

2. MEMAHAMI
Dengan berusaha memahami klien, kita juga mendapatkan pelajaran dan
pengalaman dari diri mereka. Memahami dengan sepenuh hati dan mengambil kesimpulan
dari pembicaraan klien itu penting agar kita tidak salah dalam mengarahkan klien tersebut.
Menurut Yosita Maulina (2012.online)kemampuan dalam memahami harus didukung oleh
a. Empati : sikap positif Ko terhadap Ki, yang dieks presikan melalui kesediaan untuk
menempatkan diri pada tempat Ki, merasakan apa yang dirasakan Ki dan mengerti dengan
pengertian Ki.

Faktor penghambat empati : Pikiran yang terikat pada teori/teknik konseling yang akan
dipakai Terlalu cepat memikirkan pemecahan persoalan Ki Kecemasan yang mematikan
perasaan Ko dan Ki

12
b. Sikap menerima ( acceptance). Sikap menerima adalah kesediaan Ko untuk menerima
keberadaan Ki sebagaimana adanya. Non judgmental Menempatkan hal-hal negatif pada
konteks yang tepat Bukan sikap membenarkan atau mentralisir

M.3 MERESPON
Menurut Martha Syaflina (2012.online) merespon itu artinya memberikan sinyal
kepada klien bahwa kita telah serius dalam mendengarkan pembicaraan dan keluhannya. Ada
beberapa kata untuk merespon, yaitu:

a. Hmm…
b. Lalu…
c. Selanjutnya bagaimana?
d. Terus?
e. (banyak lagi cara merespon dari berbagai konselor)

Merespon juga harus membuat klien percaya dengan kita bahwa kita hanya tidak
mendengarkan dia tapi memang serius dalam mendengarkannya. Kita juga bisa merespon
dengan isyarat mata dan tangan dengan cara digerakkan matanya atau dikedipkan. Dengan
gerakan tangan, membuat dia lebih bersemangat untuk bercerita sehingga kita bisa mencari
akar masalahnya.
Disamping itu,Yosita Maulina (2012.online) menambahkan ciri-ciri merespon yang
tepat dan positif,yaitu : Menjadikan klien senang sehingga dapat mendorongnya untuk
berbicara lebih banyak tentang masalahnya & dapat membantu klien mendalami perasaan dan
fikiran yang berhubungan dengan masalahnya Dapat mengarahkan klien untuk mengubah
sikap, pandangan, kebiasaan dan tingkah laku yang menyebabkan timbulnya masalah
Bahasanya jelas, sederhana dan padat Tidak membuat klien tersinggung atau
mempertahankan diri.

DAFTAR PUSAKA

13
https://masoemuniversity.ac.id/berita/mahasiswa-ingin-jadi-konselor-profesional-ini-
dia-sikap-yang-harus-dimiliki.php

https://timetable258.wordpress.com/2012/12/15/5-sifat-sikap-kepribadian-konselor-
yang-sangat-penting/

https://dosen.ung.ac.id/JumadiTuasikal/home/2020/3/24/keterampilan-keterampilan-
dalam-konseling.html

https://psiko-page.blogspot.com/2013/04/mengenal-tipe-konseli.html?m=1

https://eko13.wordpress.com/2012/09/17/etika-dalam-konseling/

https://konserissumbar.wordpress.com/2015/12/02/teknik-3m-dalam-konseling/

https://psikoanalisisklasikunindra2.blogspot.com/2019/12/3-m-dalam-konseling.html?
m=1

https://marthasyaflina.wordpress.com/2012/01/19/teknik-3m-2/

14

Anda mungkin juga menyukai