Tugas 3 Arbitrase, Mediasi Dan Negosiasi
Tugas 3 Arbitrase, Mediasi Dan Negosiasi
Tugas 3 Arbitrase, Mediasi Dan Negosiasi
SESI 7 TUGAS 3
EGI PRAMAYANDI, 043791299, ILMU HUKUM
Churchill Mining plc (Churchill). menghadapi masalah terkait adanya pencabutan Izin Usaha
Pertambangan (IUP) yang dilakukan oleh pihak PEMDA Kutai Timur atas PT Ridlatama
Group pada 4 Mei 2010. Permasalahan ini kemudian menjadi penyebab terjadinya sengketa
antara pihak perusahaan Churchill dengan Pemerintah Daerah Kutai Timur.
Upaya Hukum Churchill yaitu melalui anak perusahaan PT Ridlatama Group mengajukan
gugatan terhadap Pemerintah Kabupaten Kutai Timur melalui Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) Samarinda, dengan Register Perkara Nomor 32/G/2010/PTUN.SMD. Namun upaya
hukum ini gagal PTUN Samarinda menilai tindakan Bupati Kutai Timur dalam pencabutan
IUP adalah benar, dan tidak melanggar peraturan admisitrasi manapun, bahkan upaya hukum
banding dan kasasi malah menguatkan putusan PTUN.
Dengan gagalnya upaya hukum yang dilakukan oleh Churchill melalui jalur badan peradilan
Indonesia PTUN Samarinda, hal tersebut membuat Churchill memutuskan untuk melakukan
upaya hukum melalui Arbitrase ICSID. Pada tanggal 22 Mei 2012, Churchill mengajukan
permohonan arbitrase kepada ICSID. Permohonan tersebut diajukan sehubungan dengan
adanya sengketa antara Churchill dan Indonesia yang berkaitan dengan investasi Churchill di
salah satu perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang industri pertambangan batubara.
Pertanyaan
1. Silakan saudara analisa mengapa Churchill sebagai pihak yang merasa dirugikan atas
keputusan Pemerintah Indonesia, dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) Samarinda, dan juga mengajukan gugatan arbitrase terhadap
Pemerintah Indonesia melalui badan International Centre for Settlement of Invesment
Dispute (ICSID)? Jelaskan!
2. elaskan apa alasan pelaku bisnis lebih memilih Arbitrase dibandingkan dengan
pengadilan!
Jawaban:
1. Churchill Mining plc, setelah mengalami kegagalan dalam upaya hukum di tingkat
nasional melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda terkait pencabutan
Izin Usaha Pertambangan (IUP), memilih untuk mengajukan gugatan melalui Arbitrase
International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Pilihan ini
mencerminkan pertimbangan hukum dan strategi perusahaan yang kompleks.
Pertama, dalam upaya hukum melalui PTUN Samarinda, Churchill mungkin bersandar
pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang
memberikan wewenang kepada PTUN untuk mengadili sengketa tata usaha negara.
Namun, keputusan PTUN yang menguatkan pencabutan IUP menunjukkan bahwa dalam
konteks peradilan administrasi nasional, Churchill kesulitan membuktikan ketidakadilan
atau pelanggaran hukum administrasi.
Kemudian, keputusan untuk mengajukan gugatan arbitrase melalui ICSID dapat
dianalisis dengan merujuk pada perjanjian investasi antara Indonesia dan negara tempat
Churchill beroperasi atau perjanjian investasi bilateral (Bilateral Investment
Treaty/BIT). Dasar hukum ini ditemukan dalam prinsip perlindungan investasi asing
yang diakui di banyak BIT. Perjanjian semacam itu seringkali memberikan hak kepada
investor untuk mengajukan gugatan arbitrase internasional jika terjadi pelanggaran
terhadap hak-hak investasi mereka.
Contoh dasar hukum dapat ditemukan dalam ketentuan perlindungan investasi yang
umumnya mencakup perlindungan terhadap ekspropriasasi tanpa ganti rugi yang sesuai,
perlindungan terhadap perlakuan yang tidak adil atau diskriminatif, dan hak untuk
mendapatkan perlakuan yang adil dan setara. Jika pencabutan IUP dianggap sebagai
ekspropriasasi atau tindakan yang melanggar hak investasi Churchill, hal ini dapat
membentuk dasar hukum untuk gugatan arbitrase.
Selain itu, pengajuan gugatan arbitrase internasional juga sesuai dengan Konvensi
ICSID, yang memiliki landasan hukum dalam Konvensi ICSID 1965 dan diadopsi oleh
Indonesia. Konvensi ini memberikan suatu mekanisme penyelesaian sengketa
internasional yang independen, netral, dan terpisah dari sistem peradilan nasional.
Dengan demikian, Churchill Mining plc memilih jalur arbitrase internasional untuk
mencari keadilan dan perlindungan terhadap investasinya. Keputusan ini didasarkan
pada keterbatasan sistem peradilan nasional dan potensi keuntungan yang lebih besar
dalam bentuk ganti rugi yang dapat diberikan oleh ICSID, sesuai dengan prinsip-prinsip
perlindungan investasi asing yang diakui secara internasional.
Arbitrase sering dapat diselesaikan lebih cepat daripada proses pengadilan yang bisa
memakan waktu bertahun-tahun. Ini karena aturan arbitrase biasanya membatasi waktu
yang diberikan kepada para pihak untuk mengajukan bukti dan argumen mereka,
meminimalkan proses persidangan yang panjang. Dalam beberapa kasus, kecepatan ini
dapat sangat berharga bagi pelaku bisnis yang ingin penyelesaian sengketanya
diselesaikan dengan cepat untuk menghindari kerugian lebih lanjut.
Dalam hal biaya, arbitrase dapat lebih hemat daripada pengadilan konvensional.
Meskipun biaya arbiter dan biaya administratif mungkin ada, namun biaya pengadilan,
waktu pengacara, dan proses persidangan yang panjang dapat jauh lebih tinggi. Selain
itu, dalam beberapa sistem hukum, keputusan arbitrase tidak dapat diaplikasikan oleh
pihak ketiga (seperti penyitaan oleh pengadilan), yang dapat memotong biaya
pelaksanaan keputusan.
Dasar hukum untuk arbitrase dapat ditemukan dalam berbagai perjanjian arbitrase yang
diadakan antara pihak-pihak yang bersengketa. Seringkali, dalam kontrak bisnis atau
perjanjian investasi, pihak-pihak akan mencakup klausul arbitrase yang menetapkan
bahwa sengketa yang timbul akan diselesaikan melalui arbitrase. Klausa semacam ini
menetapkan dasar hukum untuk memilih arbitrase sebagai cara utama untuk
menyelesaikan sengketa.
Selain itu, secara internasional, banyak negara telah meratifikasi Konvensi Persetujuan
Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (New York Convention). Konvensi
ini memudahkan pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase di antara negara-
negara yang telah meratifikasinya, memberikan jaminan tambahan bagi pelaku bisnis
bahwa keputusan arbitrase mereka akan dihormati dan dapat diterapkan di berbagai
yurisdiksi.
Dengan demikian, kecepatan, efisiensi biaya, dan fleksibilitas dalam pemilihan arbiter
dan prosedur merupakan alasan utama mengapa pelaku bisnis sering memilih arbitrase
sebagai metode penyelesaian sengketa yang lebih disukai.