Makalah Steven Zai

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS YURIDIS PENDEKATAN EMPIRIK DALAM ANTROPOLOGI

HUKUM MENURUT PARA AHLI

STIEVEN YEREMI ZAI


Email: [email protected]
No BP: 2110003600078
UNIVERSITAS EKASAKTI PADANG

A. PENDAHULUAN

Antropologi Hukum adalah bagian dari antropologi yang mempelajari perilaku hukum

masyarakat, budaya hukum masyarakat, dan cara pandangnya terhadap hukum dan

produkproduk turunannya. Hukum-hukum itu bukan hanya yang tertulis dan diundangkan

oleh pemerintah, tetapi juga hukum yang tidak tertulis dan disepakati masyarakat setempat.

Antropologi itu sendiri didefinisikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia

baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Istilah antropologi

berasal dari Bahasa Yunani, yaitu berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti

manusia dan logos memiliki arti cerita, atau kata, atau ilmu. Antropologi mempelajari

manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Antropologi merupakan salah

satu cabang ilmu sosial. Ia lahir atau muncul bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa

yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda yang ada pada masyarakat

Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal,

dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di daerah yang sama. Antropologi mirip dengan

sosiologi tetapi sosiologi lebih menitikberatkan pada pola interaksi masyarakat dan

kehidupan sosialnya. Kajian pendekatan dalam metode penelitian hukum sepenuhnya

bergantung pada permasalahan dan tujuan penelitian hukum terkait.Jika permasalahan dan

tujuan penelitian adalah unsur-unsur hukum ideal atau ius constituendum dan ius constitutum

maka kajian pendekatannya bersifat yuridis normatif logika deduktif, bila masuk unsur atau

konsep hukum pola perilaku dan pemaknaan sosial, maka kajian pendekatannya bersifat

empiris/sosiologis-logika induktif. Di dalam perkembangan antropologi, masalah hukum


sebenarnya juga sudah pernah ditelaah, walaupun di dalam suatu kerangka kebudayaan yang

serba luas. Sarjana-sarjana antropologi seperti Barton, Radcliffe-Brown, Malinowski dan

lainnya, pernah memusatkan perhatian pada hukum sebagai suatu gejala sosial-budaya.

Sesudah embrio dari antropologi hukum timbul, maka pandangan para sarjana seperti

Schapera, Gluckman, Hoebel, Bohannan, Pospisil, Nader dan lainnya mempunyai peranan

besar di dalam perkembangan A.H. Menurut Ihromi (1986; 3) relevansi menelaah hukum dari

segi antropologi, antara lain adalah: (a). Berkenaan dengan masalah yang dihadapi oleh

negara-negara berkembang (tentunya termasuk Indonesia) yang secara budaya bersifat

pluralistis dalam cita-citanya mewujudkan unifikasi hukum atau modernisasi hokum; (b).

berkenaan dengan kemungkinan munculnya masalah bila warga masyarakat dari lingkungan

sukubangsa tertentu masih mempunyai normanorma tradisional yang kuat dan menuntut

ketaatan mengenai hal-hal tertentu, sedangkan dalam norma hukum yang sudah tertulis dan

berlaku secara nasional, hal hal yang harus ditaati itu justru dirumuskan sebagai hal yang

terlarang. Secara faktual, masalah-masalah yang dirumuskan ke dalam dua point utama itu

sudah terjadi, baik berkenaan dengan munculnya konflik horisontal di pelbagai wilayah,

pertikaian antara state (maupun pemda) dengan masyarakat, maupun antar kelompok

masyarakat sendiri. Hukum, menurut Benda-Beckmann (1979; 113-114) adalah suatu cara

khusus untuk membatasi otonomi anggotaanggota masyarakat. Kebanyakan penulis

menyetujui bahwa hukum adalah suatu bentuk pengawasan sosial, itulah mengapa secara

esensial sifatnya normatif, dan hal itu merujuk pada apa yang disebut (sebagai) konsepsi-

konsepsi yang obyektif. Implikasi pendekatan semacam ini adalah: bahwa hukum memberi

input kepada pranata pengendalian sosial (apapun variant-nya) dan kemudian kepada rujukan

berpikir masyarakat, dan sebaliknya. Hukum, di sisi lain, dapat pula menyebabkan perubahan

perangkat berpikir, dan rujukan kemasyarakatan lainnya atau dikenal dalam sosiologi hukum

sebagai “law as tool of social engineering”. Namun, bila kesemua hal itu berubah (dan pada
kenyataannya memang selalu demikian), maka hukum pun berubah mengikuti perubahan

masyarakat dan lingkungannya.

Ilmu hukum empirik yang disebut juga dengan istilah Sociological Jurisprudence

merupakan aliran dalam filsafat hukum yang memberikan perhatian yang sama kuatnya

terhadap masyarakat dan hukum sebagai dua unsur utama dalam pemberlakuan hukum.

Istilah empiris artinya bersifat nyata. Jadi, yang dimaksudkan dengan pendekatan empiris

adalah usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai

dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Jadi penelitian dengan pendekatan empiris

harus dilakukan di lapangan, dengan menggunakan metode dan teknik penelitian lapangan.

Peneliti harus mengadakan kunjungan kepada masyarakat dan berkomunikasi dengan para

anggota masyarakat.
B. PEMBAHASAN

Kata “empiris” bukan berarti harus menggunakan alat pengumpul data dan teori- teori

yang biasa dipergunakan di dalam metode penelitian ilmu-ilmu sosial, namun di dalam

konteks ini lebih dimaksudkan kepada pengertian bahwa “kebenarannya dapat dibuktikan

pada alam kenyataan atau dapat dirasakan oleh panca indera” atau bukan suatu fiksi bahkan

metafisika atau gaib, yang sejatinya berupa proses berfikir yang biasanya hanya dongeng

maupun pengalaman- pengalaman spiritual yang diberikan Tuhan tidak kepada setiap

manusia dan tidak harus melalui proses penalaran ilmiah suatu hal tertentu dapat diterima

kebenarannya, meskipun oleh para ilmuwan kadang dikatakan tidak ilmiah atau an illogical

phenomena. Penerimaan terhadap suatu yang bersifat ilmiah biasanya dipredikatkan dengan

ungkapan “masuk akal”, sedangkan penerimaan terhadap suatu yang bersifat metafisika dan

spiritual biasanya disebut sebagai kepercayaan. Oleh sebab itu, penelitian hukum empiris

dimaksudkan untuk mengajak para penelitinya tidak hanya memikirkan masalah-masalah

hukum yang bersifat normatif (law as written in book), bersifat teknis di dalam

mengoperasionalisasikan peraturan hukum seperti mesin yang memproduksi dan

menghasilkan hasil tertentu dari sebuah proses mekanis, dan tentunya hanya dan harus

bersifat preskriptif saja, meskipun hal ini adalah wajar, mengingat sejatinya sifat norma

hukum yang “ought to be” itu. Selanjutnya cara pandang sebagaimana disebutkan tadi

bergeser menuju perubahan ke arah penyadaran bahwa hukum, faktanya dari perspektif ilmu

sosial tenyata lebih dari sekadar norma-norma hukum dan teknik pengoperasiannya saja,

melainkan juga sebuah gejala sosial dan berkaitan dengan perilaku manusia ditengah-tengah

kehidupan bermasyarakat yang unik dan memikat untuk diteliti tidak dari sifatnya yang

preskriptif, melainkan bersifat deskriptif. Di sisi lain, mengingat para penstudi hukum

sejatinya tidak terlatih melakukan penelitian sebagaimana dimaksud, dan faktanya memang

tidak dipersiapkan untuk itu, maka peranan para ilmuan sosial berikut metode- metode
penelitian bahkan teori-teorinya dibutuhkan oleh sebagian penstudi hukum yang ingin

melakukan penelitian di bidang hukum dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial (socio-

legal research21) maupun disebut dengan penelitian hukum interdisipliner, karena kadang-

kadang bersentuhan dengan ilmu ekonomi, antropoligi, bahkan ilmu politik dan lain- lain.

Jenis penelitian yang dimaksud adalah penelitian hukum empiris atau socio-legal (Socio legal

research) yang merupakan model pendekatan lain dalam meneliti hukum sebagai objek

penelitiannya, dalam hal ini hukum tidak hanya dipandang sebagai disiplin yang preskriptif

dan terapan belaka,23 melainkan juga empirical atau kenyataan hukum. Pendekatan

antropologi (hukum) sengaja menggeser pusat perhatian dari aturan-aturan kepada individu

atau manusia sebagai aktor yang dalam mengambil keputusan mengenai perilakunya

dihadapkan kepada tuntutan-tuntutan dari tatanan hukum yang dihadapinya (Ihromi, 2000: 3).

Sejalan dengan itu, Spiertz dan Wiber (1979: 3) menegaskan, bahwa: “But to study the real

position of people in relation to law requires a different methodological approach from that

used in traditional legal studies. The focus have to swift away from law as a codified or

customary set of rules and turn instead to the individual who stands at the intersection point

of many different legal domains (dikutip dari Ihromi, 2000). Kajian yang diusulkan tersebut

lazimnya disebut sebagai kajian terhadap gejala hukum empiris (law in action).

Dengan demikian, hukum dalam lingkup kajian Antropologi Hukum (selanjutnya

ditulis A.H.) ditanggapi sebagai gejala empirik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Hukum dalam konteks ini tidak ditanggapi seperti halnya para yuris mengkaji hukum (secara

dogmatik). Secara umum metode AH adalah sebagai berikut: (a). deskriptif – yakni pemerian

gejala hukum empirik dalam masyarakat yang diteliti; (b). ideology (menelusuri aturan

normatifnya); (c). telaah kasus (case study method), ditambah dengan metode komparasi

(perbandingan). Metode yang satu ini mendorong, antara lain diberlakukannya konsepsi

cultural relativism (relativisme budaya). Secara umum filsafat hukum mengkaji nilai-nilai
hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, dan lain-lain serta mengkaji

perilaku hukum. Sedang kaidah hukum dikaji oleh bidang yang disebut normwissenschaf atau

ilmu tentang kaidah. Titik sentral pengkajian dan penelitian ilmu hukum adalah kaidah-

kaidah hukum. Ilmu hukum tidak dapat dipisahkan dari kaidah hukum. Tetapi persoalannya

adalah dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang bagaimana yang menjadi perhatian dari

ilmu hukum. Sosiologi hukum dan antropologi hukum mempelajari perilaku hukum sebagai

kenyataan hukum. Kedua bidang ilmu hukum ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kriteria

bahwa perilaku atau kenyataan itu sudah bersifat normatif. Jadi harus ada ukuran bahwa

bidang penelitian itu bersifat normatif. Dalam filsafat hukum, nilai-nilai yang dikajipun harus

bersifat normatif. Ciri yang umum dari kaidah hukum ialah adanya legitimasi dan sanksi.

Tanpa terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, ilmu hukum dengan sendirinya sudah

mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Yang berbeda antara satu kajian dengan kajian lain ialah

kadar, intensitas atau derajat di anatara ketiga hal tersebut. Konsep mengenai metode dan

ilmu bersifat universal. Artinya, untuk bidang apa saja atau untuk jenis ilmu manapun adalah

sama, tetapi pengaruh dari obyek suatu ilmu tentu tak dapat dihindarkan. Sebab itu hakekat

hukum dan fungsinya dalam praktek tak dapat dihindari berpengaruh dalam menentukan

metode yang digunakan dalam ilmu hukum.Apabila melihat hakekat hukum, ilmu hukum

tidak didasarkan pada empirisme atau rasionalisme saja, karena gejala hukum tidak hanya

berupa hal yang dapat diserap oleh indra atau pengalaman manusia berupa perilaku hukum

saja tetapi juga berisi hal-hal yang tak terserap oleh indra manusia, yakni nilai-nilai hukum.

Kebenaran yang dapat dicapai oleh ilmu hukum ialah apabila disadari adanya penampakan

dari obyek dan seraya menyadari pula arti dibelakang obyek tersebut. Antropologi Hukum

merupakan bagian dari Ilmu-Ilmu Sosial. Ia merupakan suatu disiplin ilmu yang berdiri

sendiri, karena sudah memenuhi persyaratan sebagai suatu ilmu. Empiris (empirical).

Artinya, bahwa Antropologi Hukum merupakan suatu disiplin yang didasarkan atas:
(a) observasi terhadap kenyataan (social fact)

(b) penggunaan akal sehat (true logic)

(c) hasilnya tidak spekulatif (data based)

Ilmu empiris pada antropologi hukum lebih menitikberatkan pada kenyataan-

kenyataan hukum yang nampak dalam situasi aatau peristwa hukum (law in actions) tidak

hukum dalam peraturan perundang-undangan tertulis (law in book). Antropologi hukum

sebagai ilmu empiris mempunyai konsekuensi bahwa teorinya harus didukung oleh fakta

yang relevan atau setidaknya terwakili secara representatif.

C. PENUTUP

Dengan pendekatan empiris bukan berarti tidak ada sama sekali pengertian-pengertian

teoritis yang dapat dikemukakan peneliti, namun hanya pokok-pokok pengertian yang telah

diketahuinya, yang belum mendalam, dikarenakan si peneliti masih kurang mengetahui dan

menguasai teori-teori tersebut. Yang penting dalam pendekatan empiris adalah apa yang

dialami dan didapat datanya oleh peneliti di lapangan. Penelitian dengan pendekatan empiris

selalu diarahkan kepada identifikasi (pengenalan) terhadap hukum nyata yang berlaku, yang

implisit berlaku (sepenuhnya) bukan yang eksplisit (jelas, tegas diatur) di dalam perundangan

atau yang diuraikan dalam kepustakaan. Begitu pula diarahkan kepada efektivitas

(keberlakuan) hukum itu dalam kehidupan masyarakat. Dari data-data yang dikumpulkan di

lapangan, maka dapat diketahui apakah hukum yang diatur di dalam perundangan atau teori-

teori yang diuraikan dalam kepustakan hukum, benar-benar berlaku dalam kenyataan,

ataukah belum berlaku, tidak berlaku, terjadi penyimpangan, telah berubah dan sebagainya.

Pendekatan antropologi (hukum) sengaja menggeser pusat perhatian dari aturan-

aturan kepada individu atau manusia sebagai aktor yang dalam mengambil keputusan

mengenai perilakunya dihadapkan kepada tuntutan-tuntutan dari tatanan hukum yang

dihadapinya.
DAFTAR PUSTAKA

Darmini Roza dan Laurensius Arliman S, Peran Pemerintah Daerah Di Dalam Melindungi
Hak Anak Di Indonesia, Masalah-Masalah Hukum, Volume 47, Nomor 1, 2018.
https://doi.org/10.14710/mmh.47.1.2018.10-21
Laurensius Arliman S, Peranan Metodologi Penelitian Hukum di Dalam Perkembangan Ilmu
Hukum di Indonesia, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 201.
http://doi.org/10.22216/soumlaw.v1i1.3346.
Laurensius Arliman S, Peran Badan Permusyawaratan Desa di Dalam Pembangunan Desa
dan Pengawasan Keuangan Desa, Padjadjaran Journal of Law, Volume 4, Nomor 3,
2017. https://doi.org/10.15408/jch.v4i2.3433.
Laurensius Arliman S, Penanaman Modal Asing Di Sumatera Barat Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Supremasi Hukum,
Volume 1, Nomor 1, 2018. http://dx.doi.org/10.36441/hukum.v1i01.102 .
Laurensius Arliman S, Memperkuat Kearifan Lokal Untuk Menangkal Intoleransi Umat
Beragama Di Indonesia, Ensiklopedia of Journal, Volume 1, Nomor 1, 2018,
https://doi.org/10.33559/eoj.v1i1.18.
Laurensius Arliman S, Perkawinan Antar Negara Di Indonesia Berdasarkan Hukum Perdata
Internasional, Kertha Patrika, Volume 39, Nomor 3, 2017,
https://doi.org/10.24843/KP.2017.v39.i03.p03.
Laurensius Arliman S, Partisipasi Masyarakat Di Dalam Pengelolaan Uang Desa Pasca
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Jurnal Arena Hukum, Volume
12, Nomor 2, 2019, https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2019.01202.5.
Laurensius Arliman S, Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Baik Di Negara Hukum
Indonesia, Dialogica Jurnalica, Volume 11, Nomor 1, 2019,
https://doi.org/10.28932/di.v11i1.1831.
Laurensius Arliman S, Mediasi Melalui Pendekatan Mufakat Sebagai Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional, UIR
Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2018,
https://doi.org/10.25299/uirlrev.2018.vol2(02).1587
Laurensius Arliman S, Peranan Filsafat Hukum Dalam Perlindungan Hak Anak Yang
Berkelanjutan Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia, Doctrinal, Volume 1,
Nomor 2,2016.
Laurensius Arliman S, Ni Putu Eka Dewi, Protection of Children and Women’s Rights in
Indonesia through International Regulation Ratification, Journal of Innovation,
Creativity and Change Volume 15, Nomor 6, 2021.
Laurensius Arliman S, Gagalnya Perlindungan Anak Sebagai Salah Satu Bagian Dari Hak
Asasi Manusia Oleh Orang Tua Ditinjau Dari Mazhab Utilitarianisme, Jurnal
Yuridis, Volume 3, Nomor 2, 2016, http://dx.doi.org/10.35586/.v3i2.180
Laurensius Arliman S, Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan Pada Revolusi 4.0, Jurnal
Ensiklopedia Sosial Review, Volume 2, Nomor 3, 2020.

Anda mungkin juga menyukai