Makalah Akhlak Tasawuf
Makalah Akhlak Tasawuf
Makalah Akhlak Tasawuf
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Akhlak dalam Islam menjadi sesuatu yang penting dan berguna
bagi umatnya. Akhlak menjadi suatu yang akan membuat seseorang
mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Islam adalah agama
yang sempurna yang mengatur sedetail-detailnya segala sesuatu. Islam
adalah agama yang selamat dan juga menyelamatkan.
Akhlak dalam Islam menjadi sesuatu yang penting dan berguna
bagi umatnya. Akhlak menjadi suatu yang akan membuat seseorang
mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Islam adalah agama
yang sempurna yang mengatur sedetail-detailnya segala sesuatu. Islam
adalah agama yang selamat dan juga menyelamatkan.
Pendidikan adalah salah satu sarana untuk membentuk kepribadian
manusia, sebagaimana tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia.
Dengan kata lain, manusia adalah khalifah di muka bumi ini yang
memiliki tanggung jawab untuk memakmurkan bumi dan menjadi manusia
sebaik baiknya. Sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an: َ
B. Rumusan masalah
1. Apakah pengertian dari akhlak ?
2. Jelaskan hubungan antara etika,moral dan akhlak !
3. Jelaskan bagaimana Al-qur`an dan hadits sebagai sumber ajaran
akhlak!
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui makna dari akhlak
2. Untuk mengetahui hubungan antara etika,moral dan akhlak
3. Untuk mengetahui bahwa Al-qur`an dan hadits sebagai sumber ajaran
akhlak
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian akhlak
Secara etimologi (lughatan) akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk
jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku,
atau tabiat .Dalam bentuk isim masdar (bentuk infinitif) berasal dari kata
akhlaqa-yukhliqu-ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) sulasi majid
af’ala-yuf’ilu-if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), al-tabi’ah
(kelakuan, tabi’at, watak dasar), al- ‘adat (kebiasaan, kelaziman), al-
maru’ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama). Berakar dari kata
khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta),
makhluq (yang diciptakan) dan khal (penciptaan).1
Kesamaan akar kata tersebut mengisyaratkan bahwa dalam akhlak
tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq
(Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia). Atau dengan kata lain, tata
perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru
mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan atau perilaku
tersebut didasarkan kepada kehendak Khaliq (Tuhan). Dari pengertian
etimologis tersebut, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma
perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga
norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan
dengan alam semesta .2
Secara terminologis (istilahan) ada beberapa definisi tentang
akhlak, di antaranya yaitu:
a. Imam al-Ghazali
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”
b. . Ibrahim Anis
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik dan buruk,
tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.”
c. Abdul Karim Zaidan
“(Akhlak) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam
dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang
1
Abrasyi, Muhammad al- ‘Athiyah.1970. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj. Bustami dan
Johar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang.
2
Anis, Ibrahim. 1972. Al-Mu’jam al-Wasit. Kairo: Dar al-Ma’arif.
2
dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian
memilih melakukan atau meninggalkannya.”
d. Ibn Miskawayh
“Khuluq atau akhlak adalah keadaan gerak jiwa yang
mendorong untuk melakukan perbuatanperbuatan dengan tanpa
memerlukan pemikiran”.
3
Bustami dalam Mansur Ali Rajab bahwa ilmu akhlak adalah ilmu
mengenai keutamaan dan cara memperolehnya serta “mencelupkannya” ke
dalam pribadi, keniscayaan dan cara-cara menghindarinya 6Dalam Kamus
al-Kaus\ar, ilmu akhlak diartikan sebagai ilmu tatakrama .Dan di dalam
The Encyclopaedia of Islam dirumuskan pengertian ilmu akhlak sebagai
berikut: It is the science of vitues and the way how to acquire them, of
vices and the way how to quard against them .
(Ilmu akhlak ialah ilmu tentang kebaikan dan cara mengikutinya,
tentang kejahatan dan cara untuk menghindarinya). Jadi, ilmu akhlak ialah
ilmu yang berusaha untuk mengenal tingkah-laku manusia kemudian
memberi hukum atau nilai kepada perbuatan itu baik atau buruk sesuai
dengan norma-norma akhlak dan tata susila.7
Ahmad Amin memberikan definisi ilmu akhlak adalah ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang mesti diperbuat
dalam pergaulan, menjelaskan tujuan yang harus dicapai, dan jalan yang
sebaiknya dilalui dalam aktifitasnya. Dengan demikian, dapat dirumuskan
bahwa ilmu akhlak ialah ilmu yang membahas perbuatan manusia dan
mengajarkan perbuatan baik yang harus dikerjakan dan perbuatan jahat
yang harus dihindari dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia dan
makhluk (alam) sekelilingnya dalam kehidupannya sehari-hari sesuai
dengan nilai-nilai moral.8
6
Ghazali, Abu Hamid Muhammad al-. 1989. Ihya ‘Ulum al-Din. Juz III. Beirut: Dar al-Fikr.
7
Gibb, H.A.R. Et.al. 1960. Encyclopaedia of Islam. London: Luzac.
8
Habsyi, Husin al-. (t.t.). Kamus al-Kaus\ar. Surabaya: Assegaff.
9
Held, Virginia. 1991. Etika Moral Pembenaran Tindakan Sosial. Jakarta: Erlangga
4
Karena itu bidang etika bisa berisi pembelaan dan juga kritik terhadap
keyakinan atau aturan moral tertentu.10
Frans Magnis Suseno, membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran
moral adalah ajaranajaran, wejangan-wejangan, khutbah-khutbah,
peraturan-peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus
hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung
ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang,
seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan
para bijak. Sementara etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral
tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan
pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi
etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama.11
Dengan demikian, etika tidak identik dengan moral atau moralitas.
Namun, dalam banyak hal tidak jarang dimaksudkan sebagai hal yang
identik antara etika dan moral atau moralitas; atau keduannya mempunyai
sasaran – atau bahkan maksud – yang sama. Untuk lebih mempertegas
mengenai pengertian ini, Frankena menguraikan istilah etika sebagai
berikut:
“It must be noticed, however, that the word “ethics” is not always
used for this branch of philosophy; sometimes it is used as just another
word for “morality”, and sometimes to refer to the moral code or
normative theory of an individual or group, as when I spoke earlier of
“Socrates” working ethics…The terms “moral” and “ethical” are often
used as equivalent to “right” or “good” and as opposed to “immoral” and
“unethical”.12
10
Husein, Machnun. 2007. “Etika Sosial dan Etika Islam”. Suara Muhammadiyah. No. 11/Tahun
ke-92/1-15 Juni 2007.
11
Ilyas, Yunahar. 2006. Kuliah Akhlak. Cet. Ke-VIII. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam (LIPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
12
Khaeruman, Badri. 2004. Otentisitas Hadis: Studi Kritis atas Kajian Kontemporer. Bandung:
Rosadakarya.
5
yang bertumpu pada keyakinan kepercayaan kepada Tuhan (habl min
Allah) dan keadilan serta berbuat baik dengan sesama (habl min al-nas)13
6
keuntungan di dunia saja, melainkan pahala di akhirat. Pahala inilah yang
lebih kuat motivasinya dalam mendorong seseorang untuk melakukan
perbuatan moral. Hal ini berbeda dengan perbuatan moral yang dasarnya
penalaran (rasio) di mana keuntungan yang didapat hanya keuntungan
moral di dunia, tanpa adanya pahala di akhirat.15
Walaupun pada dasarnya pengertian antara etika, moral dan akhlak
adalah sama, namun ada juga yang membedakannya, tetapi tetap
menunjuk kepada prilaku seseorang. Haedar Bagir (2002: 15) menulis
dalam pengantar buku M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazaly dan Kant:
Filsafat Etika Islam, sebagai berikut:
“Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (atau moralitas).
Namun meskipun sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika
dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat, jika moral lebih
condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan
manusia itu sendiri”, maka etika berarti “ilmu yang mempelajari tentang
baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari
perbuatan baik dan buruk (ethics atau ‘ilm al-akhlaq), dan moral (akhlak)
adalah praktiknya. Dalam disiplin filsafat, terkadang etika disamakan
dengan filsafat moral”.16
7
Alquran ini merupakan ensiklopedi konsep normatif umum. Untuk
memperjelas, memperluas dan menjabarkannya, baik secara konseptual
maupun praktis, sumber kedua dipakai yaitu as-Sunnah. Dalam bahasa
teknisnya meneladani pemikiran ulama, selama masih bersumber kepada
Alquran dan as-Sunnah yang sahih, atau sekurang-kurangnya tidak
bertentangan langsung atau tidak langsung terhadap kedua sumber
tersebut, dapat saja dipakai untuk memperluas, memperdalam,
memperjelas dan memperlancar pengembangan konseptual tentang akhlak
dan pengamalannya secara fungsional.18
Pemikiran di atas pada hakekatnya merupakan data kesejarahan
bagaimana umat yang iman kepada Alquran dan as-Sunnah bergulat
dengan kedua sumber otentik tersebut. Karena itu layak juga
dipertimbangkan. Sementara itu, untuk menyusun klaster dari konsep-
konsep normatif akhlak yang begitu banyak termuat dalam Alquran dan
as-Sunnah, sebenarnya tidak ada patokan yang baku. Namun sebagai
ancar-ancar, penyusunan klaster tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-
faktor: (1) penguasaan makna yang tersurat dan tersirat dari kedua sumber
(Alquran dan as-Sunnah); (2) keluasan wawasan penyusunan klaster.
Untuk memberikan ilustrasi konkrit tentang peluang luas untuk
menentukan sendiri modelmodel klaster dari konsep-konsep normatif
akhlak tersebut, secara garis besar sebagai berikut. (1) alakhlaqul
mahmudah; (2) al-akhlaqul madzmumah; (3) mahabbah; (4) adab-adab).
Juga rumusan yang lain: (1) akhlak terhadap Allah SWT; (2) akhlak
terhadap Rasulullah SAW; (3) akhlak dalam keluarga; (5) akhlak
bermasyarakat; dan (6) akhlak bernegara.19
Sementara itu, Muhammad ‘Abdullah Draz dalam kitabnya Dustur
al-Akhlaq fi al-Islam – memberikan model-model klaster dari konsep
normatif akhlak kepada lima bagian, yaitu:20
1. Akhlak Pribadi (al-akhlaq al-fardiyah). Terdiri dari: (a) yang
diperintahkan (al-awamir); (b) yang dilarang (an-nawahi); (c)
yang dibolehkan (al-mubah}at); dan (d) akhlak dalam keadaan
darurat (al-mukhalafah bi al-idhtirar).
2. Akhlak Berkeluarga (al-akhlaq al-usariyah). Terdiri dari: (a)
kewajiban timbal balik orangtua dan anak (wajibat nahwa al-
usul wa al-furu’); (b) kewajiban suami isteri (wajibat baina al-
18
Zein, dalam http://www.google. com.id/akhlak/htm: 2
19
Miskawayh, Ibn. (t.t.). Tahzib al-Akhlaq wa Tair al-‘Araq. Mesir: Tp.
20
Munawar, Said Agil Husin. 2003. Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan
Islam. Jakarta: Ciputat Press.
8
azwaj); dan (c) kewajiban terhadap kerabat karib (wajibat
nahwa al-aqarib).
3. Akhlak Bermasyarakat (al-akhlaq al-ijtimaiyyah). Terdiri dari:
(a) yang dilarang (al-mahzurat); (b) yang diperintahkan (al-
awamir); dan (c) kaedah-kaedah adab (qawaid al-adab).
4. Akhlak Bernegara (al-akhlq al-daulah). Terdiri dari: (a)
hubungan antara pemimpin dan rakyat (alalaqah baina ar-rais
wa asy-sya’b); dan (b) hubungan luar negeri (al-alaqat al-
kharijiyyah).
5. Akhlak Beragama (al-akhlaq al-diniyyah). Yaitu kewajiban
terhadap Allah SWT. (wajibat nahwa Allah).
9
kembali kepada pribadinya, bisa beralih menjadi kemanfaatan kepada
sosial.21
Sementara itu, as-Sunnah, oleh para ahli imam, disepakati sebagai
sumber hukum Islam terdapat di dalam Alquran, sebagaimana difirmankan
Allah SWT. dalam QS. Al-Nisa[4]: 64:
“Dan kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk ditaati
dengan seizin-Nya”
21
Nasution. Harun. Dkk. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
22
Saha, M. Ishom El dan Saiful Hadi. 2005. Sketsa Al-Qur’an: Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah
dalam Al-Qur’an. Cet. Ke-5. Jakarta: Lista Fariska Putra.
23
Shaliba, Jamil. 1978. Al-Mu’jam al-Falsafi. Juz I. Mesir: Dar al-Kitab al-Misr.
10
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa Alquran selain sebagai
penjelas peran as-Sunnah, juga sebagai penegas lebih lanjut tentang
ketentuan yang terdapat dalam Alquran. Tanpa as-Sunnah sebagian besar
isi Alquran akan tersembunyi dari mata manusia.
24
Solihin, M. dan M. Rosyid Anwar. 2005. Akhlaq Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna Hidup.
Bandung: Nuansa
11
E. Matan hadis yang berkaitan dengan akhlak
Dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlak menempati kedudukan
yang istimewa dan sangat penting. Hal ini bisa dilihat dari beberapa matan
hadis yang berkaitan dengan akhlak, di antaranya yaitu hadis tentang
“keharusan seorang yang kecil menghormati yang besar”. Di dalam
pembahasan redaksional hadis tersebut, penulis menggunakan metode
takhrij al-hadis yang telah digunakan oleh ulama hadis. Demikian pula
halnya dalam penilaian hadis. Setelah diadakan penelusuran yang
menunjukkan ke-sahih-an hadis ini, dalam kitab Mu’jam Mufahras li Alfaz
al-adis al-Nabawi, melalui kata salam ( (مَ سَل, hadis tersebut didapati dalam
kitab Sahih al-Bukhari: (Adab: 31, 85), dan Sunan Ibnu Majah: (Adab:
4,5)25
Setelah dilakukan penelusuran terhadap hadis-hadis tentang
seorang yang kecil menghormati yang besar – dalam kitab-kitab yang
disebutkan di atas – maka didapatkan hadis tersebut yang lengkapnya
sebagai berikut:
[َقاَل ] َرُس وُل الَّلِه – صلى اهلل عليه: َو َعْن َأيِب ُه َرْيَرَة – رضي اهلل عنه – َقاَل
َّتَف َل ِه.» اْلَق ِلي َلى اْلَك ِثِري, اْل اُّر َلى اْلَق اِعِد, «ِل ِّلِم الَّص ِغ َلى اْلَك ِبِري:وسلم
ُم ٌق َع ْي َو ُل َع َو َم َع ُري َع ُيَس
«َوالَّراِكُب َعَلى اْلَم اِش ي: َويِف ِرَواَيٍة ِلُمْس ِلٍم
“Berkata Ibrahim, dari Musa ibn ‘Uqbah, dari Safwan ibn Salim, dari
‘Ata ibn Yasar, dari Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW.:
“Orang yang lebih muda mengucapkan salam kepada orang yang lebih
tua. Orang yang lewat mengucapkan salam kepada yang duduk. Orang
yang jumlahnya sedikit mengucapkan salam kepada orang yang
jumlahnya lebih banyak”.26
12
maka sebaiknya orang yang tidak berhak mengawali memberi salam
dahulu agar salam itu tidak sia-sia belaka. Sama halnya jika yang muda
tidak memulai mengucapkan salam terlebih dahulu maka yang lebih tua
sebaiknya mengucapkannya dahulu. Kemudian jika orang yang jumlahnya
sedikit tidak memulai, maka kelompok orang yang banyak tersebut
sebaiknya mengucapkan salam terlebih dahulu agar memperoleh pahala
dan terciptanya ikatan sesama muslim harmonis. Sebagaimana dijelaskan
dalam QS. Yasin: 58: ”Salam, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang
Maha Penyayang”.27
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut: pertama, akhlak dalam Islam (baca: Alquran dan Hadis)
bukanlah moral kondisional dan situasional, tetapi akhlak yang benar-
benar memliki nilai yang mutlak. Nilai-nilai baik dan buruk, berlaku kapan
dan di mana saja dalam segala aspek kehidupan, tidak dibatasi ruang dan
waktu; kedua, konsep pendidikan akhlak yang bersumber dari wahyu Ilahi
yang termaktub dalam Alquran dan Hadis merupakan pedoman bagi
kehidupan umat Islam, yaitu memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat; ketiga, konseptualisasi sistem pendidikan akhlak dalam satuan
mata pelajaran di sekolah atau madrasah adalah suatu kenicayaan, karena
konsep dasar Islam tentang akhlah terlihat arah pandang yang
komperehensif; mencakup semua aspek positif perkembangan integral,
intelektual, spiritual, fisik dan aspek-aspek perkembangan lainnya.
Selain itu juga bersifat mendalam dan menyeluruh, tidak terikat
pada suatu pandangan tertentu dan tidak bertentangan dengan teori atau
filsafat pendidikan manapun; keempat, Pendidikan akhlak penting
dilakukan untuk mewujudkan suatu tata kehidupan individu maupun
kolektif yang bermoral bahkan dalam kaitannya dengan aspek moral
manusia. Usaha pendidikan akhlak mempunyai fungsi ganda, yaitu fungsi
preventif dan kuratif. Fungsi preventif mengarah pada usaha dini untuk
menghiasi anak didik dengan akhlak dan mencegah dari tingkah laku yang
buruk. Fungsi ini bisa dimaksimalkan pada masa pembentukan tingkah
laku dan watak anak. Sedangkan fungsi kuratif mengemban misi
27
Zaidan, Abdul Karim. 1976. Usul al-Da’wah. Baghdad: Jam’iyyah al-Amani.
13
pembenahan atau perbaikan, yaitu berusaha memperbaiki moral anak dari
moral negatif menuju moral positif.
DAFTAR PUSTAKA
Abrasyi, Muhammad al- ‘Athiyah.1970. Dasar-dasar Pokok Pendidikan
Islam. Terj. Bustami dan Johar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang.
Anis, Ibrahim. 1972. Al-Mu’jam al-Wasit. Kairo: Dar al-Ma’arif.
AS, Asmaran. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Rajawali Pers
Badri, Malik B. 1979. the Dilema of Muslim Pschologists. London: MWH
London Publishers.
Draz, Muh{ammad ‘Abdullah. 1973. Dustur al-Akhlaq fi Al-Qur’an.
Beirut: Muassasah ar-Risalah Kuwait dan Dar al-Buhus al-‘Ilmiyah.
Ghazali, Abu Hamid Muhammad al-. 1989. Ihya ‘Ulum al-Din. Juz III.
Beirut: Dar al-Fikr.
Gibb, H.A.R. Et.al. 1960. Encyclopaedia of Islam. London: Luzac.
Habsyi, Husin al-. (t.t.). Kamus al-Kaus\ar. Surabaya: Assegaff.
Held, Virginia. 1991. Etika Moral Pembenaran Tindakan Sosial. Jakarta:
Erlangga
Husein, Machnun. 2007. “Etika Sosial dan Etika Islam”. Suara
Muhammadiyah. No. 11/Tahun ke-92/1-15 Juni 2007.
Ilyas, Yunahar. 2006. Kuliah Akhlak. Cet. Ke-VIII. Yogyakarta: Lembaga
Pengkajian dan Pengamalan Islam (LIPPI) Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Khaeruman, Badri. 2004. Otentisitas Hadis: Studi Kritis atas Kajian
Kontemporer. Bandung: Rosadakarya.
Ma’luf, Luis. 1989. Kamus Al-Munjid fi al-Lughah wa al-I’lam. Beirut:
Dar al-Masyriq.
Mansur. 2005. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Mas’udi, Hafiz Hasan al-. (t.t.). Taisir al-Khallaq fi Ilmi al-Akhlaq.
Surabaya: Salim Nahbah.
Zein, dalam http://www.google. com.id/akhlak/htm: 2
Miskawayh, Ibn. (t.t.). Tahzib al-Akhlaq wa Tair al-‘Araq. Mesir: Tp.
Munawar, Said Agil Husin. 2003. Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam
Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.
Nasution. Harun. Dkk. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
14
Saha, M. Ishom El dan Saiful Hadi. 2005. Sketsa Al-Qur’an: Tempat,
Tokoh, Nama dan Istilah dalam Al-Qur’an. Cet. Ke-5. Jakarta: Lista Fariska Putra.
Shaliba, Jamil. 1978. Al-Mu’jam al-Falsafi. Juz I. Mesir: Dar al-Kitab al-
Misr.
Solihin, M. dan M. Rosyid Anwar. 2005. Akhlaq Tasawuf: Manusia, Etika,
dan Makna Hidup. Bandung: Nuansa
Ulwan, Abdullah Nasikh. 1990. Pendidikan Anak Menurut Islam:
Pemeliharaan Kesehatan Jiwa. Terj. Khaliluilah Ahmad Masykur. Bandung: Rema
Rosda Karya
Wensick, A.J. 1936. Mu’jam Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi. Juz I.
Beirut: Libanon.
Zaidan, Abdul Karim. 1976. Usul al-Da’wah. Baghdad: Jam’iyyah al-
Amani.
15