Kepercayaan Pemena
Kepercayaan Pemena
Kepercayaan Pemena
Pemena adalah kepercayaan ataupun agama suku masyarakat suku Karo. Pemena, dalam
Bahasa Karo, memiliki arti pertama atau yang awal. Pemena memiliki makna kepercayaan
yang pertama, yang dipegang dan dipahami oleh orang Karo.[ Masyarakat Karo percaya
bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang dapat dilihat maupun yang tak dapat
dilihat, adalah merupakan ciptaan Dibata. Kepercayaan Pemena atau agama Pemena
merupakan salah satu ajaran leluhur yang hingga kini masih berkembang di Tanah Karo.
Sebelum abad ke-5 masyarakat adat Tanah Karo menganut kepercayaan ini. Meski begitu
kepercayaan ini tetap meyakini adanya Dibata yaitu pencipta langit bumi beserta isinya.
Dibata Nidah adalah makhluk ciptaan yang berarti Kalibumbu dalam silsilah Tutur Karo
Tanah Karo sebelum mengenal dan memeluk kepercayaan beragama, adalah penganut
kepercayaan "Agama Pemena" dianut kala itu di mana masyarakat Karo belum mengenal
akan adanya ajaran beragama yang berketuhanan tapi menyakini adanya Pencipta dengan
sebutan "Dibata" dan digolongkan dalam bentuk dan sifat yang berbeda dengan "Dibata
Nidah" adalah mahluk ciptaan yang berarti Kalimbubu dalam sisilah tutur karo sementara
"Dibata' adalah pencipta langit bumi beserta isinya , namun dalam penganut agama pemena
ikatan batin satu sama lain begitu kuat dan budaya Gotong royong sangat kental.
Suku Karo merupakan percampuran dari ras Proto Melayu dengan ras Negroid (negrito).
Percampuran ini disebut umang. Hal ini terungkap dalam legenda Raja Aji Nembah yang
menikah dengan putri umang. Umang tinggal dalam gua dan sampai sekarang masih dapat
dilihat bekas-bekas kehidupan umang di beberapa tempat. Pada abad pertama setelah masehi,
terjadi migrasi orang India Selatan ke Indonesia termasuk ke Sumatra. Mereka beragama
Hindu. Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta, Pallawa, dan ajaran dalam agama Hindu.
Pada abad kelima, terjadi pula gelombang migrasi india yang memperkenalkan agama
Buddha dan tulisan Nagari. Tulisan Nagari akan menjadi cikal aksara Batak, Melayu, dan
Jawa kuno. Orang-orang dari India Selatan yang datang ke Tanah Karo memperkenalkan
ajaran Pemena. Pemena berarti pertama, yang artinya kepercayaan awal orang Karo. Mereka
juga mengajarkan beberapa aksara, yang kemudian menjadi aksara Karo. Akhirnya, orang-
orang Karo mulai mengenal agama ini dan menganutnya.
Dibata Datas. Dibata Datas disebut juga Guru Batara, yang memiliki kekuasaan dunia
atas (angkasa).
Dibata Tengah. Dibata Tengah disebut juga Tuhan Padukah ni Aji, Dibata inilah yang
menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini.
Dibata Teruh. Dibata Teruh juga disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang
memerintah di bumi bagian bawah bumi.
Selain itu, ada dua unsur kekuatan yang diyakini, yaitu sinar mataniari (sinar matahari) dan si
Beru Dayang. Sinar Mataniari adalah simbol cahaya dan penerangan. Ia berada saat matahari
terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung
antara ketiga Dibata. Siberu dayang adalah seorang perempuan yang tinggal di bulan. Si beru
dayang sering kelihatan dalam pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat dan
tidak digoncangkan angin topan.
Tendi (jiwa).
Begu (Roh orang yang sudah meninggal, Hantu).
Kula (Tubuh).
Ketika seseorang meninggal, maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur. Namun,
begu tetap ada. Tendi dengan tubuh merupakan kesatuan yang utuh. Ketika tendi berpisah
dengan tubuh, maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan mengadakan
pemanggilan tendi. Jika tendi tidak kembali, maka yang terjadi adalah kematian.
Orang Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam
alam semesta mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup segalanya
ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari alam semesta. Setiap manusia dianggap
sebagai semesta kecil. Manusia merupakan kesatuan dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh
peraten (perasaan), kesah (nafas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama
lain. Kesatuan ini disebut sebagai `keseimbangan dalam manusia'.
Daya pikiran manusia dianggap bertanggung jawab ke luar guna menjaga keseimbangan
dalam dengan keseimbangan luar. Bentuk pemahaman ini menggambarkan manusia sebagai
semesta besar.Manusia merupakan kesatuan dari dunia gaib, kesatuan sosial, dan lingkungan
alam sekitar. Hal ini menunjukkan suatu pandangan bahwa keseimbangan dalam semesta
kecil tidak akan sempurna tanpa tercapainya suatu keseimbangan "alam semesta secara luas.
Oleh karena itu, banyak orang Karo melakukan acara-acara adat dengan tujuan mencapai
keseimbangan pada diri manusia.
Tak jarang penganut agama pemena dikaitkan dengan "Perbegu' karna jauh sebelum zaman
era digital, dan masih dibawah penjajahan Hindia Belanda kala itu masih kerap diadakan
ritual "Perumah Begu" yang mana diyakini mampu melakukan dialog dengan mahluh halus
atau istilah kerennya mahluk Gaib atau 'Seluk" dan "erpangir Kulau" masih kerap kita liat
acara ritualnya berlangsung di area parawisata Lau sidebu-sidebuk di desa Daulu kecamatan
Berastagi.Salah satunya ajaran agama pemena yang diyakini masa itu dan ritualnya terbilang
langka ," Cawir Bulung". ritual ini biasanya dilakukan untuk tolak bala, adapun cawir bulung
dilakukan takkala salah satu keluarga akan bermimpi buruk yang diartikan dari tafsiran
mimpi mengakibatkan alamat tidak baik dan akan berakhir dengan hal teragis dan bisa
berujung kematian.
Maka akan diadakan ritual agama pemena cawir bulung nenggeti tendi (menganggetkan
jiwa) agar bala terpental. Contoh yang pernah dilakukan cawir bulung terhadap Unjuk (10)
sebutan untuk beru Ginting, yang mana, mama kalimbubu(paman) dari pihak saudara
kandung ibu "Kalimbubu singalo bebere" bermimpi buruk hanyut disungai dan tak kembali,
untuk menolak bala tersebut maka diadakan musyawarah kerabat inti tanpa sepengetahuan
kedua orang tua si unjuk beru ginting.Alhasil dari musyawarah singkat diundanglah Bibi adik
kandung dari ayah siunjuk, dan dicarilah "simeteh wari'' (paranormal) untuk melihat hari lahir
, dan dengan siapa siunjuk cocok dipasangkan agar terhindar dari bala yang diyakini akan
terjadi. Setelah mencocokkan nama dan hari lahir maka terpilih lah impalnya (pariban)
Teger Bangun (15) sebagai pendamping hidupnya dalam ritual tersebut.
Dan setelah persiapan ritual cawir bulung dipersiapkan dengan matang dilakukan, maka
dilaksanakanlah misi menjemput unjuk secara sembunyi -sembunyi dan dibawa kerumah
Impalnya teger, setelah berhasil membawa unjuk pihak keluarga akan langsung dikabari
untuk dilanjutkan acara selanjutnya, siunjuk akan dilengkapi dengan seperangkat baju baru
kampuh (kain sarung) uis nipis (kain khas kharo untuk perempuan), lengkap dengan mbayang
(seperangkat perhiasan ala kadarnya) yang disiapkan pihak anak beru Dan di tempat yang
telah ditentukan telah berkumpul kuhsangkkep nggeluh (keluarga terdekat dan orangtua
kedua belah pihak). Maka jadilah Unjuk br ginting dan teger bangun di cawir bulungken , tak
jarang yang akan dicawir bulungken syok dan kaget maka setelah itu akan diberi
penjelasaan , kemudian dilakukan acara pernikah layaknya teger bangun juga dilengkapi
dengan kampuh beka buluh (kain khas kharo untuk laki-laki) dan sekin peradaten (parang),
tukur niraja untuk peradaten yang hanya dilakukan dirumah akan dibagikan untuk keluarga
yang hadir (Mahar) berlangsungnya ritual cawir bulung maka dianggap mimpi buruk Paman
unjuk tidak akan terjadi dalam kehidupan, dan akan selamat dari mimpi buruk yang
dialamatkan kepadanya.
Cawir bulung yang dilaksanakan pada masa kanak-kanak tidak menjamin bahwa pengantin
masa kecil ini akan menjadi teman hidup, ketika kedua pengantin cawir bulung beranjak
dewasa hanya saja, apabila salah satu di antara mereka mendahului menikah, maka yang
mendahului wajib memberi upah-upah (hadiah) yang wajib dipenuhi kepada pasangan masa
kecilnya, apabila pasangan tidak keberatan ditinggal menikah oleh pengganti masa kecilnya
maka upah-upah akan dipermudah atau sebaliknya, namun hanya segelintir juga pasangan
cawir bulung ini menjadi pasangan yang abadi hingga mereka dewasa.
Salah satu tradisi yang masih sering dijumpai hingga kini adalah erpangir ku lau. Erpangir
berasal dari kata pangir, yang berarti langir. Oleh sebab itu erpangir, artinya adalah
berlangir.
a. Upacara terimakasih kepada Dibata. dalam hal ini erpangir dilakukan sebagai ucapan
terima kasih dan syukur kepada Dibata ( Tuhan ), yang telah memberikan rahmat tertentu.
Misalnya: memperoleh keberuntungan, terhindar dari kecelakaan, memperoleh hasil panen
yang berlimpah, sembuh dari penyakit, dan lain sebagainya.
b. Menghidarkan suatu malapetaka yang mungkin terjadi. Dalam hal ini orang Karo
melakukan upacara erpangir sebagai upaya untuk menghindakan suatu malapetaka yang akan
terjadi, itu biasanya sudah terlebih dahulu diterka melalui firasat suatu mimpi yang buruk,
atau berdasarkan keterangan dan saran dari guru.
c. Menyembuhkan suatu penyakit. Erpangir adakalanya diadakan sebagai upaya untuk
mengobati suatu jenis penyakit tertentu. Misalnya untuk mengobati orang gila, atau yang
diserang oleh begu, sedang bela, atau jenis – jenis hantu lainnya.
d. Mencapai maksud tertentu. Adakalanya erpangir ini dikakukan sebagai upaya untuk
memohon sesuatu kepada Dibata (Tuhan). Misalnya agar cepat dapat jodoh, mendapat
panenan/keberuntungan, memperoleh kedudukan yang baik, dan sebagainya.
Banyak upacara – upacara religious yang dilakukan dalam kehidupan seseorang berdasarkan
kepercayaan tradisional Karo. Misalnya: mukul ( pensakralan perkawinan ), mbaba anak ku
lau ( membawa anak turun mandi ), juma tiga ( upacara memperkenalkan anak kepada dasar
pekerjaan tradisional Karo, yakni bertani ), mengemabahken nakan ( mengantar nasi untuk
orang tua ), dan lain – lain. Berbeda dengan agama – agama modern, dimana sudah diatur
secara tegas upacara ibadatnya. Umat Islam sembahyang lima kali sehari, dan wajib ke
masjib tiap hari jumat, demikian juga Kristen wajib ke gereja sekurang – kurangnya tiap hari
minggu. Penganut kepercayaan tradisional suku Karo tidak mengenal kewajiban demikian.
Mereka hanya mengadakan upacara religi ini apabila diperlukan saja. Misalnya pada waktu
mendapat nasib baik, kelahiran, perkawinan, dan lain-lain. Jadi erpangir adalah suatu upacara
religious berdasarkan kepercayaan tradisional suku Karo ( pemena ), dimana
sesorang/keluarga tertentu melakukan upacara berlangir dengan atau tanpa bantuan dari guru,
dengan maksud tertentu.