Anisa Maulida FSH

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 138

POLITIK HUKUM ISLAM TERHADAP PERINDUNGAN ANAK DI

INDONESIA

(Studi Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

ANISA MAULIDA

NIM.1113044000069

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017 M/ 1438 H
ii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Satu (S1) di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya asli saya atau merupakan hasil

jiblakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi tang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 21 Mei 2017

Anisa Maulida

ii
ii
ABSTRAK

Anisa Maulida. NIM 1113044000069. POLITIK HUKUM ISLAM


TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA (STUDI UNDANG-
UNDANG NO. 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK).
Program Studi Hukum Keluarga (Akhwal Syaksiyyah), Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438H/ 2017M. xi
+ 90 halaman+ 18 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui politik hukum Islam terhadap
perlindungan anak di Indonesia yang mana saat ini anak-anak banyak yang
dirampas hak-haknya. Islam sebagai agama yang kompherensif yang memberikan
perhatian besar terhadap hak-hak anak. Implementasi Undang-Undang No. 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar tetap hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan
dari diskriminasi dan tindakan yang melanggar hak-hak anak demi terwujudnya
anak-anak yang berakhalak mulia, dan sejahtera. Undang-Undang No. 35 tahun
2014 mengkhususkan diri terhadap perlindungan anak.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, peraturan
perundang-undangan yang menjadi objek penelitian. Dalam penulisan skripsi ini
penulis memakai metode library research.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa negara, pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat, keluarga serta orang tua berkewajiban untuk melindungi hak-
hak anak, serta masyarakat paham akan keterlibatan dalam membangun Indonesia
yang menjadi negara layak anak.

Kata Kunci : Perlindungan Anak, Hukum Islam, Undang-Undang No.


35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Pembimbing : H. Syafrudin Makmur, S.H, M.H
Daftar Pustaka : 1972 - 2015

ii
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang atas segala nikmat-Nya

kita dapat melaksanakan segala aktifitas sehari-hari, kepada-Nya kita memohon

ampunan, kepada-Nya pula kita memohon perlindungan. Shalawat serta salam

haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat,

serta para pejuang Islam di jalan Allah yang selalu istiqomah hingga akhir zaman.

Dengan mengucapkan syukur Alhamduillah, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Politik Hukum Islam terhadap

Perlindungan Anak di Indonesia (Studi Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perlindungan Anak)” sebagai persyaratan untuk mendapatkan

gelar sarjana S1, Sarjana Hukum (S.H) di Fakultas Syarih dan Hukum. Dalam

proses pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami

penulis, baik yang menyangkut waktu, pengumpulan bahan-bahan (data) dan lain

sebagainya.

Berkat bantuan dan motivasi berbagai pihak maka segala kesulitan dan

hambatan ini dapat diatasi dan tentunya dengan se-izin Allah SWT. Dalam

kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak

terutama kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah Jakarta.

ii
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ahwal Al-

Syakhsiyyah dan Bapak Arip Purkon, M.A., selaku Sekretaris Ahwal

Al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang selalu memotivasi dan mendukung penulis hingga

penulisan skripsi ini selesai.

3. Bapak H. Syafrudin Makmur, S.H, M.H., selaku Dosen Pembimbing

yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan

pengarahan kepada penulis guna menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Ibu Hj. Hotnidah Nasution, M.Ag., selaku Dosen Akedemik yang

selalu sabar dalam membimbing dan meluangkan waktu serta

memberikan pengarahan kepada penulis.

5. Prof. Dr. H. A. Salman Manggalatung, S.H, M.H,. Guru Besar

Fakultas Syaiah dan Hukum dan Hj. Rosdiana, M.A yang telah

bersedia menjadi penguji dalam sidang munaqasah yang telah

memberikan motivasi serta arahan untuk kesempurnaan skripsi ini.

6. Selaku segenap Guru Besar dan Dosen di Fakultas Syariah dan

Hukum, yang tidak pernah lelah untuk memberikan ilmunya kepada

mahasiswa, serta berkat didikannya penulis dapat menyelesaikan studi

akhir ini. Perpustakaan UIN, dan bagian Tata Usaha Syariah dan

Hukum yang telah memberikan pelayanan yang baik.

7. Khusus kepada nenek serta orang tua penulis. Nenek tersayang, Hj.

Hatimah yang selalu mendoakan serta mendukung penulis disetiap

waktunya. Ibunda tercinta Ratna Zuraida yang telah mencurahkan

ii
cinta dan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini. Ayahnda H.

Nabehan (Alm), semoga alm bangga walaupun beliau sudah berada di

pangkuan Illahi Robbi. Penulis mengucapkan terima kasih yang sangat

atas perhatian, baik berupa moril maupun materiil yang tercurahkan.

8. Terima kasih Nadia Ernanda dan Adi Fairuz (adik), Hidayat (kakak)

serta keluarga besar yang selalu memberikan support dan kasih

sayangnya kepada penulis.

9. Makhroji Hidayah yang menjadi sumber inspirasi dan selalu

memberikan motivasi serta support yang sangat besar dikala langkah

ini terasa lelah hingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

10. Khaerunnisa Adnan teman terbaik sekaligus sahabat seperjuangan

yang tidak kenal lelah selalu memberikan arahan serta bantuannya

kepada penulis.

11. Teman 1 kost Amanah terkhusus Vivin Zuhrotunnisa teman satu

kamar yang selalu sabar, Andi Nur Mala Sari, dan Nurul Ulfa yang

selalu kasih support serta dukungan.

12. Sahabat-sahabat SAS, Ema Puteri Chadijah, Dewi Annisa, Aan

Nurhasanah, Maeda Hidayah, Nandriya Putri Cencerlina, Dinda Farah

Fauziyah, Nur Israfiani, Tasya Nailul Fikriya, dan rekan-rekan Hukum

Keluarga 2013 yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu. Yang selalu

memberikan semangat selama perkuliahan hingga skripsi ini dapat

diselesaikan.

ii
13. UKM LDK Syahid terkhusus Alumni, teman seperjuangan serta

pengurus KOMDA FSH yang selalu menjadi kenangan, yang telah

memberikan warna tersendiri dalam diri penulis.

14. KKN Lokal Daya yang saling memberikan semangat serta dorongan

kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan

dan memiliki keterbatasan dan kekurangan. Untuk itu saran dan kritik

sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Demikian pula

penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan

bagi pembaca pada umumnya.

Ciputat, 20 Mei 2017

Anisa Maulida

ii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING.........................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN...................................................................................ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN......................................................................iii
ABSTRAK.............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR............................................................................................v
DAFTAR ISI..........................................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................1
B. Identifikasi Masalah...................................................................5
C. Batasan dan Rumusan Masalah..................................................6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................7
E. Kerangka Teori...........................................................................7
F. Metode Penelitian.......................................................................9
G. Review Studi Terdahulu...........................................................12
H. Sistematika Penulisan...............................................................14

BAB II TINJAUAN TEORITIS


A. Tinjauan Umum tentang Politik Hukum Islam
1. Pengertian Politik Hukum menurut Para Ahli....................17
2. Pengertian Politik Hukum Islam........................................20
3. Hubungan Politik dan Hukum............................................21
B. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Anak
1. Pengertian Anak dan Batasannya menurut Hukum
Positif.................................................................................24
2. Pengertian Anak menurut Hukum Islam............................28
3. Konsep Perlindungan Anak................................................31

ii
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
A. Perlindungan Anak menurut Undang-Undang No. 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak.............................................38
B. Perlindungan Anak menurut Konvensi Hak Anak...................43
C. Perlindungan Anak menurut Undang-Undang
Terkait......................................................................................49
D. Perlindungan Anak menurut Hukum Islam..............................57

BAB VI DESKRIPTIF- ANALISIS


A. Latar Belakang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.............................................67
B. Relevansi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak terhadap Hukum Islam.............................75

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................86
B. Saran-Saran..............................................................................87

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................88
LAMPIRAN..........................................................................................................94

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah merupakan sebuah titipan dari Allah SWT kepada kedua

orang tua untuk dirawat, dijaga, dan dipelihara dengan baik agar anak dapat

mengetahui hak dan kewajibannya dan para orang tua juga harus memberikan

hak serta kewajiban terhadap anak.

Setiap anak yang dilahirkan didunia adalah dalam keadaan fitrah

(suci), maka orang tua dan lingkunganlah yang akan membentuk karakter

yang baik atau pun buruk terhap anak karena anak tidak pernah, meminta

untuk dilahirkan kedunia, maka kewajiban orang tualah untuk memperhatikan

hidup selanjutnya sang anak1.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung

jawab para orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk

memberikan perlindungan terhadap anak. Meskipun demikian namun

dipandang masih diperlukan suatu undang-undang yang khusus mengatur

mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagian dari kegiatan

pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa

dan bernegara.2

1
Bismar Siregar, Abdul Hakim G Nusantara, Suwantji Sisworahardjo, Arif Gosita,
Mulyana W Kusumah, Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 8
2
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. vii

1
2

Menganai tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah

bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.

Dengan demikian, pembentukan undang-undang perlindungan anak

harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam

segala aspeknya merupakan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 diatur dalam beberapa pasal diantaranya mewajibkan dan

memberikan tanggung jawab untuk menghormati pemenuhan hak anak

tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,

budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik

dan/atau mental, serta melindungi, dan menghormati hak anak dan

bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di

bidang penyelenggaraan perlindungan anak3.

Hukum mengenai perlindungan anak sebagai suatu kajian di Indonesia

adalah relatif baru, sekalipun kelahiran perlindungan anak itu sendiri telah

lahir bersama lahirnya hak-hak anak secara universal yang diakui dalam

sidang Umum PBB tanggal 20 November 1959 (Declaration of The Right of

The Child) yang didalam mukadimahnya tersirat kewajiban memberikan

perlindungan yang terbaik bagi anak, dalam era pembangunan hukum yang

3
Muliyawan, Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak Pasca Perubahan
Undang-Undang Perlindungan Anak, Artikel di akses pada Selasa 25 April 2017 ,
http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/164-paradigma-baru-hukum-
perlindungan-anak-pasca-perubahan-undang-undang-perlindungan-anak
3

mempunyai kaitan dengan kehidupan anak atau remaja, demi mencapai

kesejahteraan bagi mereka.4

Berbicara mengenai perlindungan anak pada dasarnya tidak berarti

baru ada setelah lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak, sebelum

lahirnya undang-undang ini, masalah perlindungan anak sudah diatur dalam

berbagai peraturan perundang-undangan baik secara umum atau secara

khusus telah mengatur masalah anak.

Perlindungan hukum, bagi anak diartikan sebagai upaya perlindungan

hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak serta berbagai

kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi masalah

perlindungan hukum bagi anak mencangkup lingkup yang sangat luas.5

Ruang lingkup perlindungan hukum bagi anak akan mencangkup 3

aspek, yakni: (1) Perlindungan terhadap kebebasan anak; (2) Perlindungan

terhadap hak asasi anak; dan (3) Perlindungan terhadap semua kepentingan

anak yang berkaitan dengan kesejahteraan anak.

Konsekuensi dari lingkup perlindungan hukum bagi anak

sebagaimana perlindungan terhadap anak diatas, bahwa semua kebijakan

produk perundang-undangan yang berkaitan dengan anak harus bermuara

pada penegakkan kebebasan anak, penegakkan hak asasi dan terwujudnya

kesejahteraan anak.

4
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara,
1990), hlm. 5
5
Waluyadi, Hukum perlindungan Anak, (Bandung; CV Mandar Maju, 2009), hal. 1
4

Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur dan

mendukung pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak yang tercatat

adalah:

a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

d. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM

e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

f. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

g. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga

h. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

i. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

j. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak

k. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan

Anak bagi Anak yang mempunyai masalah

l. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 36 Tahun 1990 tentang

Pengesahan convention of the rights.

Secara yuridis banyaknya peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan perlindungan anak di Indonesia yang mana anak-anak di

Indonesia sangat diperhatikan oleh pemerintah bahkan negara, akan tetapi

kenyataan di lapangangan masih sangat banyak anak-anak yang tidak


5

mendapatkan hak-haknya bahkan banyak anak-anak yang menjadi korban

kekerasan baik dalam rumah tangga maupun dalam masyarakat.

Banyaknya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

perlindungan anak, sehingga penulis tertarik membahas mengenai Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Hukum Islam dan Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak, pada hakikatnya sama-sama mengatur dan bersifat

memaksa akan tetapi tujuannya berbeda dalam mengatur masalah yang sering

terjadi dimasyarakat terutama tentang perlindungan terhadap anak.

Indonesia menjamin hak-hak setiap anak untuk mendapatkan perlindungan

dari kegiatan eksploitasi ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga dan setiap

pekerjaan yang membahayakan dirinya dan orang lain, sehingga dapat

mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral dan kehidupan sosial. Namun

kenyataannya di lapangan, masih banyak hak-hak anak yang belum terpenuhi

secara sistematik dan berkelanjutan.

Oleh karena itu penulis mengangkat judul POLITIK HUKUM ISLAM

TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA (Studi Undang-

Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan

dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul dalam

latar belakang diatas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya, yaitu :


6

1. Bagaiamana pemikiran latar belakang perubahan atas Undang-Undang No.23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

2. Pertimbangan-pertimbangan apa saja yang dijadikan dasar dan alasan dalam

perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ?

3. Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan anak yang termuat dalam Undang-

Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak?

4. Apa saja peran pemerintah dalam penyusunan Undang-Undang No.35 tahun

2014 atas perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak ?

5. Bagaimanakah pandangan politik hukum Islam terhadap Perlindungan anak?

6. Bagaimana relevansi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

perubahan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

terhadap Hukum Islam?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar pembahasan pada penelitian ini tidak melebar, maka penulis

membatasi masalah mengenai hak-hak dan kewajiban anak dan penulis

memfokuskan pembahasan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, untuk itu penulis akan membahasnya dari sudut pandang

hukum Islam dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2004 tentang Perlindungan

Anak.

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai

berikut ;
7

1. Bagaiamana pemikiran latar belakang perubahan atas Undang-Undang No.23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

2. Bagaimana relevansi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

perubahan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

terhadap Hukum Islam?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari sebuah penelitian ini mengungkapkan secara jelas sesuatu

yang hendak dicapai pada penelitian yang akan dilakukan. Dari pemahaman

tersebut, maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut ;

1. Untuk mengetahui pemikiran latar belakang perubahan atas Undang-Undang

No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

2. Untuk mengetahui relevansi Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang

perlindungan Anak terhadap Hukum Islam.

E. Kerangka Teori

Anak merupakan sumber daya manusia dimasa mendatang yang akan

mengemban tugas untuk meneruskan perjuangan bangsa dalam mewujudkan

cita-citanya. Oleh karena itu agar mampu memikul tanggung jawab, anak

perlu mendapatkan perlindungan agar dapat tumbuh dan berkembang secara

wajar baik jasmani, rohani maupun sosial.

Berbicara mengenai perlindungan anak, setidaknya ada dua aspek yang

berkaitan didalamnya. Aspek pertama, yang berkaitan dengan kebijakan

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan anak.

Aspek kedua adalah apakah dengan telah tersedianya perangkat berbagai


8

perangkat perundang-undangan tentang hak-hak anak tersebut telah dengan

sendirinya usaha-usaha untuk mewujudkan hak-hak anak dan upaya

penghapusan praktik-praktik pelanggaran hukum anak dan mengabaikan

terhadap hak-hak anak sebagaimana yang dikehendaki dapat diakhiri.6

Dilihat dari hukum positif nasional, batasan umur untuk anak yang cakap

bertindak dalam hukum, dalam pasal 45 KUHP menentukan 16 tahun, pasal

283 KHUP 17 tahun dan dalam pasal 287-293 disebutkan 15 tahun.

Sedangkan dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak menyatakan yang dikatakan usia anak adalah mereka yang belum

berusia mencapai 21 tahun. Demikian pula dalam KUHPer menentukan 19

tahun sebagai batasan usia dewasa.7

Perlindungan anak sebagai pengemis maupun pengamen tidak lepas dari

kemiskinan secara ekonomi dan kemiskinan pengetahuan. Kemiskinan

ekonomi karena terjadinya pengangguran yang dialami oleh orang tua si anak

dan kemiskinan pengetahuan, terjadi ketika orang tua menganggap dirinya

berkuasa penuh terhadap kehidupan anaknya. Ujungnya, orang tua merasa

berhak menyuruh anak untuk bekerja dilingkungan yang berbahaya sekalipun.

Penelitian KPAI, eksploitasi terhadap anak untuk bekerja dijalanan sudah

terorganisir rapi.8

6
Eka Tjahjanto,2008, Implementasi peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
sebagai upaya perlindungan hukum terhadap eksploitasi anak pekerja anak, Tesis
7
Ahmad Sofian, Perlindungan Anak di Indonesia dilema & solusinya, (Jakarta :
PT.Sofmedia, 2012), h. 11
8
Muhammad Edy Susanto, 2014,Skripsi, Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi
Anak di Kota Surakarta, h. 7
9

Suatu Undang-Undang pasti mempunyai prinsip yaitu sesuatu yang

dijadikan acuan, begitu juga dengan UU Nomor 35 tahun 2014, didalam Pasal

1 ayat (1) menyatakan, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan, sedangkan dalam pasal 1 ayat 2

menyatakan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,

dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.9

F. Metode Penelitian

Dalam membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, diperlukan suatu

metode untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang

dibahas dan digambarkan dari masalah tersebut dengan jelas, tepat dan

akurat. Terdapat beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain ;

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hukum

normatif adalah metode penelitian terhadap aturan hukum yang tertulis. Pada

penelitian hukum normatif, peraturan perundangan yang menjadi objek

penelitian menjadi sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan.10

2. Pendekatan yang dipakai

Pendekatan perundang-undangan, berupa:

a) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

9
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
10
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelian Hukum, (Jakarta,
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), hal. 38
10

b) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

d) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

dan Undang-Undang lain yang terkait.

3. Sumber Data

Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian terbagi menjadi dua

sumber, yaitu :

a) Bahan Hukum Primer,

Sumber hukum primer adalah sumber data yang langsung memberikan data

kepada pengumpul data.11

Bahan hukum primer adalah bahan utama dala penelitian hukum normatif,

yang berupa peraturan Perundang-undangan, dalam penulisan bahan hukum

primer yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak.

b) Bahan Hukum Sekunder

Sumber hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer12, seperti Rancangan Undang-Undang, Al-

Qura’an, As-Sunnah, buku-buku terkait, artikel, laporan penelitian/ jurnal

hukum dan data dari internet.

4. Teknik pengumpulan data

11
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2008), Cet.ke-2, halm. 225
12
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (jakarta, PT raja
Grafindo Persada, 2004), hal. 32
11

Dalam penulisan ini, penulis memakai metode library research.

Studi pustaka yakni pengidentifikasikan secara sistematis dan melakukan

analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan

dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan dilakukan. Terdiri dari

dua langkah yaitu kepustakaan penelitian yang meliputi laporan penelitian

yang telah diterbitkan, dan kepustakaan konseptual meliputi artikel-artikel

atau buku-buku yang ditulis oleh para ahli yang memberikan pendapat,

pengalaman, teori-teori atau ide-ide tentang apa yang baik dan buruk, hal-hal

yang diinginkan dan tidak dalam bidang masalah.13

Tekhnik kepustakaan, yaitu dengan membaca berbagai macam

literatur yang relevan dengan topik masalah dalam penelitian ini yang

meliputi semua referensi yang terdapat dalam bentuk buku dan sejenisnya.

5. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah disini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan

penelitian yang dilakukan pada kondisi obyek yang alami, penelitian sebagai

instrumen kunci, tekhnik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, data

yang dihasilakan bersifat deskriptif dan analisis data dilakukan secara induktif

dan penelitian ini lebih menekankan makna daripada generalisasi.14

Tujuan penelitian kualitatif ialah memecahkan masalah. Hal ini dilakukan

dengan menyimpulkan sejumlah pengetahuan yang memadai dan yang

14
Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metode Penelitian, (Bandung : Cv. Mandar
Naju, 2011), h. 33
12

memadai dan yang mengarah pada upaya untuk memahami atau menjelaskan

faktor-faktor yang berkaitan tersebut.15

6. Tekhnik Penulisan

Adapun tekhnik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2016.

G. Review Studi Terdahulu

Untuk menemukan pembahasan dan penulisan skripsi ini penulis menelaah

literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis sampaikan

dalam penulian skripsi, diantaranya yaitu:

NO JUDUL PEMBAHASAN PERBEDAAN

1 Penelantaran Dalam Perbedaannya

terhadap pembahasan dengan skripsi

Anak skripsi ini, ini adalah

(Persepektif penulisnya pembahsannya

Hukum Islam memaparkan pada skripsi

dan UU komparasi Farhan

No.23 Tahun hukum Islam difokuskan

2002 Tentang dengan UU pada

Perlindungan No.23 Tahun penelantaran

Anak). 2002 tentang anak dan sanksi

15
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, ( Bandung : PT.Remaja
Rosdakarya,2004), cet.18,Ed. Revisi, h.62
13

Oleh: Farhan Perlindungan hukumnya

Anak yang sedangkan

terkait dengan skripsi terfokus

penelantaran pada

anak dan lebih perlindungan

membahas hak-hak anak.

kepada sanksi

pelaku

penelantaran.

2 Tipologi Pembahasan Perbedaannya

Kejahatan dalam skripsi ini dengan skripsi

Terhadap penulis lebih yang penulis

Anak dalam menjelaskan lakukan adalah

Persepektif seputar penulis tidak

UU No. 23 kejahatan membahas

Tahun 2002 terhadap anak seputar fisikal

tentang yang bersifat dan seksual

Perlindungan fisikal dan akan tetapi

Anak (Kajian seksual dan lebih penulis lebih

Hukum kepidana. membahas

Positif dan politik hukum

Hukum terhadap

Islam). perlindungan
14

Oleh: anak.

Ma’rufudin

3 Adopsi Dalam Perbedaannya

Menurut pembahasan dengan skripsi

Hukum Islam skripsi ini, ini adalah

dan UU penulisnya lebih pokok

No.23 Tahun memaparkan pembahasannya

2002 tentang terkait dengan pada skripsi

Perlindungan adopsi. Husnul Aulia

Anak (Studi difokuskan

Perbandingan membahas

antara tentang adopsi

Hukum Islam sedangkan

dengan skripsi penulis

Hukum lebih terfokus

Positif). kepada hak-hak

Oleh: Husnul anak.

Aulia

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka

penulis menyusun skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut:


15

a. Bab kesatu, merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tentang latar

belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,

manfaat dan tujuan penelitian, kerangka teori, beserta sistematika penulisan.

b. Bab kedua, membahas mengenai tinjauan teoritis mengenai tinjauan umum

tentang politik hukum Islam yang mana didalam pembahas tersebut penulis

membahas mengenai pengertian politik hukum menurut para ahli, pengertian

politik hukum Islam, hubungan politik dan hukum, dan selanjutnya penulis

membahas tinjauan umum tentang perlindungan anak yang mana didalam

pembahasan tersebut penulis membahas mengenai pengertian anak dan

batasannya menurut hukum positif, pengertian anak menurut hukum Islam,

dan dilanjutkan dengan konsep perlindungan anak.

c. Bab ketiga, membahas mengenai tinjauan pustaka, yaitu Perlindungan Anak

menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-

Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Perlindungan Anak

menurut Konvensi Hak Anak, Perlindungan Anak menurut undang-undang

terkait dan selanjutnya membahas mengenai perlindungan anak menurut

hukum Islam.

d. Bab keempat, membahas mengenai deskriptif-analis yaitu, latar belakang

pemikiran perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dan dilanjutkan dengan membahas tentang relevansi

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak terhadap

hukum Islam.
16

e. Bab kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran terkait

kajian yang dimaksud dari awal sampai akhir pembahasan beserta lampiran-

lampiran yang terkait.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Umum tentang Politik Hukum Islam

a. Pengertian Politik Hukum menurut Para Ahli

Ada beberapa pengertian politik hukum menurut para ahli. Kata

politik hukum terdiri dari politik dan hukum. Politik yaitu the art of

possibilities, het kiezen van alternatieven. Menurut C.F. Strong:

political science is the science of the state.1

Secara etimologi kata “politik” berhubungan dengan kebijakan.

Politik berasal dari bahasa Belanda = politiek dan bahasa inggris =

politics, yang sama-sama bersumber dari bahasa Yunani = politika

(yang berhubungan dengan negara) dengan asal kata polites (warga

negara) dan polis (negara kota) atau stadstaat, yang secara historis

dapat dikatakan bahwa politik mempunyai hubungan dengan negara.2

Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam

bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber

dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat untuk mencapai tujuan

negara yang dicita-citakan.3

Menurut Ramlan Subekti, politik adalah interaksi antara

pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan

1
Mirza Nasution, Politik Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Medan;
Puspantara, 2015), hal. 9
2
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, (Padang; Akademia Permata, 2013), hal. 1
3
Kamsi, Politik Hukum Islam pada Masa Orde Baru, (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Sunan KaliJaga Yogyakarta, 2015), hal. 2

17
18

pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama

masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.4

Prof. Mr. E.M. Meyers mendefinisikan hukum islah semua aturan

yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah

laku manusia dalam masyarkat, dan yang menjadi pedoman bagi

penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya.5

Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranto, S.H

dalam buku yang berjudul “Pelajaran Hukum Indonesia” memberikan

definisi hukum seperti berikut: “Hukum ialah peraturan-peraturan

yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam

lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang

berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi

berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.6

Menurut S.M. Amin, SH, hukum ialah kumpulan-kumpulan

peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi darn

tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban dalam pergaulan

manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.7

4
Al-Fattah, Pengertian Politik Menurut Para Ahli, diakses pada 16 Maret 2017 pada
artikel https://www.academia.edu/4732686/Pengertian_Politik_Menurut_Para_Ahli_Definisi
5
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka,
1986), hal. 36
6
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 38
7
Hasanuddin, Huzaimah Tahido Yanggo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Ciputat; UIN
Jakarta Press, 2003), hal. 2
19

Politik hukum bisa juga disebut pembangunan hukum, hukum dan

pembangunan, pembinaan hukum, pembaharuan hukum,

perkembangan hukum, perubahan hukum dan tata hukum nasional.8

Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah

dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang

meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan

dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai

dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah

ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak

hukum.9 Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencangkup

proses pembuatan dan pelaksaan hukum yang dapat menunjukan sifat

dan kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.

Politik hukum pada hakikatnya adalah disiplin hukum yang

mengkhususkan dirinya pada usaha-usaha memerankan hukum dalam

mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat tertentu.10

Politik hukum akan melihat hukum (dalam arti undang-undang)

dan bagaimana sesuatu kaidah apakah perlu dipertahankan, diubah,

diganti dan diadakan yang baru oleh lembaga yang berwenang

8
Burhanudin, Politik Hukum di Indonesia, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Syariah dan Hukum, 2015), hal. 1
9
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta; Pustaka LP3ES, 2006), cet ke-
3, hal. 9
10
Mujar Ibnu Syarif dan Kamarusdiana, Pengantar Ilmu Hukum, (Ciputat; Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2009), hal. 6
20

(pemerintah bersama DPR) demi tercapainya tujuan hukum untuk

mensejahterakan masyarakat.11

b. Pengertian Politik Hukum Islam

Hukum Islam adalah suatu sistem hukum di dunia yang sumber

utamanya adalah wahyu Allah, sehingga mempunyai konsekuensi atau

pertanggung jawaban di akhirat kelak. Untuk itu hukum Islam dapat

berupa hukum yang secara langsung berasal dari wahyu (syari’ah) atau

hukum yang merupakan ijtihad (fiqh), yang kedua ini lah yang lebih

banyak.

Selanjutnya yang dimaksud dengan politik hukum Islam adalah

upaya kebijakkan pemberlakuan hukum Islam sebagai salah satu

hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu dengan memperhatikan

tentang segi kebhinnekaan (pluralitas), dan dalam proses

pemberlakuan harus memperhatikan pula atau berorentasi kepada

kepentingan bangsa atau nasional (integritas), artinya terlayaninya

segala segi kehidupan tanpa menimbulkan goncangan dan keresahan,

tanpa paksaan dan tetap menghormati nilai-nilai esensial yang

mengandung sifat keragaman.

Politik hukum Islam adalah upaya kebijakan pemberlakuan hukum

Islam sebagai salah satu hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu

dengan memperhatikan tentang segi kebhinnekaan (Pluralitas), dan

dalam proses pemberlakuan harus memperhatikan pula atau

11
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, hal. 18
21

berorentasi kepada kepentingan bangsa atau nasional (Integritas),

artinya terlayaninya segala segi kehidupan tanpa menimbulkan

goncangan dan keresahan, tanpa paksaan, dan tetap menghormati nilai-

nilai esensial yang mengandung sifat keragaman. Maka hukum yang

mengabdi kepentingan ini tidak harus berwujud satu unifikasi hukum,

tetapi berwujud satu kodifikasi hukum yang mengandung unifikasi

hukum, dalam bidang hukum tertentu dan mengandung diferensiasi

hukum dalam bidang hukum yang sangan akrab dengan keyakinan

agama.12

Persoalan hukum Islam dalam tataran sosio-politik ialah hal yang

sensitif bagi umat beragama Islam. Karena itu hukum Islam dalam

kebijakan politik merupakan kajian yang penting dan menarik untuk

melihat format politik hukum Islam di Indonesia masa rezim orde

baru. Studi politik hukum Islam di Indonesia sama artinya

membincangkan kepentingan mayoritas masyarakat Indonesia yang

nota bene-nya adalah masyarakat muslim (moslim societies), yakni

menyangkut kepentingan hukum sebagian besar rakyat Indonesia.13

c. Hubungan Politik dan Hukum

Terdapat hubungan yang erat antara politik dan hukum dan

merupakan two feces of a coin, saling menentukan dan mengisi.

Adakalanya kebijakan politis yang berperan utama untuk menentukan

12
chtiyanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia,” dalam
Juhaya S.Praja, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembenmtukan. (Bandung:P.T.
Remaja Rosdakarya, 1991)
13
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Ciputat Press, 2005), h. 5
22

materi hukum yang seyogyanya berlaku dalam negara, sesuai dengan

pandangan dan pertimbangan politik. Di lain posisi, hukum berperan

mengatur lalu lintas kehidupan politik bagi masyarakat politik itu, baik

yang berada disuprastruktur maupun infrastruktur politiknya, baik

kalangan partai politik sebagai nucleus-nya maupun bagi ormas-ormas

selaku plasma masyarakat politik itu14.

Politik hukum adalah adalah legal policy atau arah hukum yang

akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang

bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian

hukum lama. Studi politik hukum terbagi menjadi 3(tiga) bagian.

Pertama, arah resmi tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak

akan diberlakukan (legal policy) guna mencapai tujuan negara yang

mencangkup penggantian hukum lama dan pembentukan hukum-

hukum yang baru sama sekali. Kedua, latar belakang politik dan

subsistem kemasyarakatan lainnya di balik lahirnya hukum, termasuk

arah resmi tentang hukum yang akan atau tidak akan diberlakukan.

Ketiga, persoalan-persoalan di sekitar penegakkan hukum, terutama

implementasi atas politik hukum yang telah digariskan. 15

Jika ada yang bertanya tentang hubungan sebab-akibat antar

hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang

mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum,

14
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, hal. 15
15
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta:
RajaWali pers , 2012), cet ke-3, hal. 6
23

maka setidaknya ada tiga macam jawaban yang dapat menjelaskan

yaitu: pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa

kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-

aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum

merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang

saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga, politik dan

hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang

derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain,

karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi

begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada

aturan-aturan hukum.16

Politik hukum yang dijalankan oleh pemerintah berkaitan erat

dengan wawasan nasional bidang hukum, yakni cara pandang bangsa

Indonesia mengenai kebijaksanaan politik yang harus ditempuh dalam

rangka pembinaan hukum di Indonesia.17

Meskipun sistem hukum dan sistem politik dapat dibedakan,

namun dalam berbagai hal sering tumpang tindih. Dalam proses

pembentukan undang-undang oleh badan pembentuk undang-undang

misalanya. Proses tersebut dapat dimasukkan kedalam sistem hukum

dan juga kedalam sistem politik, karena undang-undang sebagai output

16
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, hal. 8
17
Burhan, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2005), hal. 6
24

merupakan formalasi yuridis dari kebijakan politik dan proses

pembentukkannya sendiri digerakkan oleh proses politik.18

B. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Anak

a. Pengertian Anak dan Batasannya menurut Hukum Positif

Menurut pengetahuan umum, yang dimaksud dengan anak adalah

seseorang yang lahir dari hubungan pria dan wanita. Sedangkan yang

diartikan dengan anak-anak atau Juvenale, adalah seseorang yang

masih dibawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin.19

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber

daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan

bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan

sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka

menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial.

Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan

terhadap anak diperlukan dukungan baik yang menyangkut

kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan

memadai.20

Dalam masyarakat Indonesia yang berpegang teguh kepada hukum

adat, walaupun diakui adanya perbedaan antara masa anak-anak dan

dewasa, namun perbedaan tersebut bukan hanya didasarkan pada batas

usia semata melainkan didasarkan pula kepada kenyataan-kenyataan

18
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, hal 15
19
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hal. 1
20
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Pengarusutamaan Hak Anak dalam Anggaran Publik,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hal. 1
25

sosial didalam pergaulan hidup dimasyarakat. Menurut hukum adat,

anak adalah seorang yang belum cukup umur/ usianya masih muda dan

belum dapat mengurusi kepentingannya sendiri.

Menurut Sandard Minimum Rules (SMR-II) dinyatakan bahwa:

“anak-anak adalah seorang anak atau remaja yang menurut sistem

hukum masing-masing dapat diperlakukan sebagai pelaku suatu

pelanggaran dengan cara yang berbeda dari seorang yang dewasa.21

Menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2014 maupun Undang-

Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, definisi anak

adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.22

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak

merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat

dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan

usia 16 tahun dan Pasal 283 yang memberi batasan 17 tahun.23

Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, biasanya

usia anak ditetapkan dalam suatu batasan umur tertentu sebagaimana

yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak dan dalam Burgelijk Wetboek (KUHPerdata)

21
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya, hal.5
22
UU No 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
23
Pasal 153 ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)
26

bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan

belum kawin.24

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997

menyebutkan anak adalah orang yang berperkara anak nakal telah

mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18

(delepan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia dinyatakan, bahwa anak

adalah manusia yang masih kecil.25

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia dalam Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap

manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum

menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal

tersebut demi kepentingannya.26

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun

bagi laki-laki. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, anak yang boleh bekerja apabila sudah

mencapai umur 15 tahun.27

Pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Tindak Pidana Terorisme, anak adalah orang yang belum berusia 18

tahun. Serta Pasal 1 angka (26), Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang

24
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung; PT Refika Aditama, 2006), hal. 25
25
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1990; 31)
26
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
27
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk diHukum Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), cet-2, hal. 9
27

Nomor 13 tahun 2003 (LN Tahun 2003 Nomor 39) tentang

Ketenagakerjaan, anak adalah orang yang berusia dibawah 18 tahun.28

Sementara itu berdasarkan Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum

Islam menyebutkan bahwa batasan dewasa seorang anak adalah umur

21 tahun.29

Anak menurut Hukum Internasional, yaitu Konvensi Hak-Hak

Anak (telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI Nomor 36

Tahun 1990) Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) menyebutkan,

yang dimaksud dengan anak dalam konvensi ini adalah setiap orang

yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan

undang-undang yang berlaku bagi anak ditemukan bahwa usia dewasa

dicapai lebih awal.30

Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase

pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas

perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak.

Penggolongan tersebut dibagi kedalam 3 (tiga) fase, yaitu:

1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai

dengan 7 tahun yang biasa disebut sebagai masa anak kecil dan

masa perkembangan kemampuan mental.

28
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak diBawah Umur, (Bandung; P.T. Alumni, 2010),
hal. 15
29
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk diHukum Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA),hal. 18
30
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak, (Bandung; Refika Aditama, 2013),
Edisi Revisi, hal. 141
28

2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 sampai 14 tahun disebut

sebagai masa kanak-kanak.

3. Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai 21 tahun yang

dinamakan masa remaja, dimana masa peralihan dari anak menjadi

orang dewasa.31

b. Pengertian Anak menurut Hukum Islam

Dalam bahasa Arab sebutan untuk anak ada bermacam-macam, ada

sebutan anak yang merupakan perubahan dari bentuk fisik yang

dikenal dengan istilah shabiy (sebutan sangat umum untuk anak),

sebutan untuk anak pecahan dari shabiy adalah walad (sebutan untuk

anak laki-laki dan wanita).32

Dalam hukum Islam yang menunjukan seseorang sudah baligh atau

belum baligh tidak didasarkan pada batas usia, melainkan didasarkan

atas tanda-tanda tertentu. Terdapat beberapa katagori perkembangan

seseorang terkait dengan kewajiban melaksanakan syar‟i. Seseorang

dikatagorikan Mukalaf, yaitu seorang laki-laki muslim yang sudah

berakal balig. Sama dengan wanita muslimah berakal dan baligh.

Seseorang dikatakan Balig, laki-laki bila sudah mimpi dan wanita

bila sudah haid. Sedangkan Mumayid, adalah anak kecil yang belim

balig. Namun demikian, Muhammad Ustman Najati dalam Kitab hadis

Nabi ilmu jiwa, mengakategorikan remaja adalah perubahan anak

31
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung; PT Refika Aditama, 2006), hal. 7
32
Ibnu Mundhir, Lisan al-Arab, (Beirut; Darum Ma‟arif, tt), Jilid 5, hlm. 4914
29

kecil setelah masa akhir anak-anak kemasa remaja, biasanya dimulai

pada usia 12 tahun sampai 21 tahun.33

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas

baligh. Berikut adalah pendapat dari sebagain ulama madzhab:

1. Menurut ulama Hanafiyah, batas baligh bagi laki-laki adalah

ihtilam (mimpi keluar mani) dan menghamili perempuan.

Sedangkan untuk perempuan ditandai dengan haidh dan hamil.

Apabila tidak dijumpai tanda-tanda tersebut, maka balighnya

diketahui dengan umumnya. Menurut umur baligh bagi laki-

laki adalah 18 tahun dan perempuan 17 tahun.34

2. Menurut ulama Malikiyah, batas baligh bagi laki-laki adalah

keluar mani secara mutlak, baik dalam keadaan terjaga maupun

dalam mimpi. Dan perempuan adalah haidh dan hamil.

3. Menurut ulama Syafi‟iyyah, batasan baligh bagi laki-laki

maupun perempuan dengan sempurnanya usia 15 tahun dan

keluar mani, apabila keluar mani sebelum usia itu maka mani

yang keluar itu adalah yang keluar itu adalah penyakit bukan

dari baligh, maka tidak dianggap baligh. Dan haidh bagi

perempuan dimungkinkan mencapai umur 9 tahun.

4. Menurut ulama Hanabilah, batas baligh bagi laki-laki maupun

perempuan ada tiga hal yaitu:

33
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya, hal. 7-8
34
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahib Al-Arbaah, (Al-Maktabah Al-Tijariyah
Al-Kubra, Beirut, 1972), hal. 350
30

a. Keluar mani dalam keadaan terjaga ataupun belum mimpi,

dengan bersetubuh

b. Mencapai usia genap 15 tehun

c. Bagi perempuan ditambahkan dengan adanya tanda haidh

dan hamil. Dan bagi banci (khuntsa) diberi batasan usia 15

tahun.35

Daud dan para pengikutnya berkata, “Tidak ada batasan usia bagi

tercapainya baligh dan pedomannya hanyalah ihtilam.” Itulah agaknya

pendapat yang kuat karena memang tidak ada pembatasan usia sama

sekali dari Rasullah Shallallahu „alahi wa Sallam dalam hal itu.36

Jadi seorang anak dapat dinyatakan dewasa apabila sudah berakhil

baligh (sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang

buruk) atau sudah mengalami perkembangan fisik, seperti: bagi

wanita terdapat bulu dikelamin, perkembangan buah dada, dan sudah

mengeluarkan darah darah nifas atau mentstruasi. Sedangkan bagi

laki-laki, sudah pernah bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya,

terdapat pertumbuhan kumis, dan mengalami perubahan suara yang

membesar.37

Menurut Zakariya Ahmad Al Barry, dewasa maksudnya adalah

cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda laki-laki dewasa

pada putra, muncul tanda-tanda wanita dewasa pada puti. Inilah

dewasa yang biasanya belum ada sebelum anak putra berumur 12


35
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahib Al-Arbaah, hal. 353
36
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqih Bayi, ( Jakarta; Fikr, 2007), hal. 427
37
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak diBawah Umur, hal. 16
31

(duabelas) tahun dan putri 9 (sembilan) tahun. Kalau anak mengatakan

bahwa dia dewasa, keterangannya dapat diterima karena dia sendiri

yang mengalaminya. Kalau sudah melewati usia tersebut diatas tetapi

belum nampak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia telah dewasa,

harus ditunggu sampai ia berumur 15 (lima belas) tahun.38

c. Konsep Perlindungan Anak

Perlindungan anak adalah segala upaya yang ditujukan untuk

mencegah, merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami

tindak perlakuan yang salah, eksploitasi dan penelantaran agar dapat

menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara

wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya.39

Menurut Prof. Dr. Barda N. Arief SH., Dosen Universitas di

Ponegoro menyatakan bahwa perlindungan bagi anak dapat diartikan

sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan

hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta

berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.40

Jadi masalah perlindungan anak mencangkup ruang lingkup yang

sangat luas.

Menurut Arif Gosita SH, Dosen Hukum Perlindungan Anak

Universitas Indonesia, perlindungan anak merupakan uapaya-upaya

38
Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak dalam Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, t.t), hal.
114
39
Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta, Cv. Novindo
Pustaka Mandiri: 2001), hal. 4
40
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung, Mandar
Maju, 2005), hal. 3
32

yang mendukung terlaksananya hak-hak dan kewajiban.41 Seorang

anak yang memperoleh dan memperhatikan hak untuk tumbuh dan

berkembang dalam hidup secara berimbang dan positif, berarti

mendapat perlakukan secara adil dan terhindar dari ancaman yang

merugikan. Usaha untuk perlindungan anak dapat merupakan suatu

tindakan hukum yang mempunyai akibat hukum.

Bismar Siregar mengatakan bahwa aspek hukum perlindungan

anak, lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur hukum dan

bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak belum

dibebani kewajiban.42

Pemeliharaan (perlindungan), diminta atau tidak diminta pemeliharaan

terhadap anak adalah hak anak. Maksud dari memberikan

perlindungan ialah agar anak merasa terlindungi, sehingga anak

merasa aman apabila anak merasa aman maka ia dapat bebas

melakukan penjelajahan atau eksploitasi terhadap lingkungan.43

Menurut Peter Newel, dalam bukunya“Talking Children Seriously-

A Proposal for Children’s Rights Commisioner” menyebutkan

beberapa alasan mengapa anak perlu dilindungi, diantaranya:

1. Biaya untuk melakukan pemulihan akibat dari kegagalan dalam

memberikan perlindungan anak sangat tinggi.

41
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, hal. 1
42
Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta; Bumi Aksara,
1990), hal. 15
43
Farhan, Penelantaran Terhadap Anak (Persepektif Hukum Islam dan UU No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Skripsi S1 (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009), hal. 50
33

2. Anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas

tindakan/perbuatan (action) atau ketiadaan tindakan/perbuatan

(unaction) dari pemerintah atau kelompok lainnya.

3. Anak selalu mengalami kesenjangan dalam pemberian

pelayanan

4. Anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai

kekuatan lobby untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah

5. Anak pada banyak situasi tidak dapat mengakses perlindungan

dan pemenuhan hak-hak.

6. Anak lebih beresiko dalam ekploitasi dan penyalahgunaan.44

Untuk memberi perlindungan dan menghargai anak sebagai bagian

dari warga masyarakat yang memiliki hak untuk berpartisipasi dan

berdaya, harus diakui bukan hal yang mudah. Namun demikian, agar tidak

terjadi proses dehumanisasi yang makin parah dan memojokkan anak,

bagaimanapun sebuah langkah sekecil apapun harus segera dimulai.

Pertama, yang terpenting adalah bagaimana menyusun sebuah strategi dan

langkah aksi yang benar-benar nyata untuk membongkar dikhotomi

domestik publik dalam persoalan anak.45

Kedua, menumbuhkan kepekaan elite politik dan aparat di

birokrasi pemerintah terhadap persoalan kelangsungan masa depan anak-

44
Alghiffari Aqsa dan Muhammad Isnur, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan
dengan Hukum Pendidikan dan Laporan Monitoring Paralegal LBH Jakarta untuk Anak
Berhadapan dengan Hukum, (Jakarta; Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 2012), hal. 17
45
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group,
2003), cet pertama, hal. 361
34

anak. Selama ini, harus diakui bahwa tanpa didukung oleh kepedulian dari

para pejabat dan elite politik lokal, niscaya sulit dapat dilakukan sebuah

program aksi bersama untuk penanganan anak-anak yang dirampas haknya

secara berkelanjutan.

Ketiga, untuk memperoleh platform politik tentang pentingnya

investasi yang signifikan bagi kegiatan dan pelayanan dasar bagi anak-

anak seperti pendidikan, kesehatan, gizi, perlindungan hukum dari

perlakuan salah, diskriminasi, dan eksploitasi, serta perhatian yang serius

terhadap anak yang menjadi korban dislokasi sosial.

Keempat, menumbuhkan potensi swakarsa dan mendorong proses

pembentukan mekanisme penanganan anak yang bersifat kontekstual,

khususnya ditingkat komunitas melalui bantuan LSM dan CBO. Adapun

mengenai buruh anak niscaya dapat lebih dikurangi bila disana didukung

campur tangan CBO, Forum Peduli Anak, atau fasilitas-fasilitas yang

mendukung perkembangan anak.46

Ada 4 tipologi anak dalam Al-Qur‟an yakni:

1. Anak sebagai Perhiasan Hidup di Dunia

‫ات َخْي ٌر ِعْن َد‬ ِ َّ ‫اْلياةِ الدُّنْيا والْباقِيات‬


ُ َ‫الصاْل‬ ُ َ ََ َ ََْ ُ‫ال َوالْبَ نُو َن ِزينَة‬ ُ ‫الْ َم‬
َ ِّ‫َرب‬
‫ك ثَ َوابًا َو َخْي ٌر أ ََمال‬
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih
baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan”. (QS. Al-Kahfi: 36)

46
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, hal. 362
35

2. Anak sebagai Penyejuk Hati

Dalam Al-Qur‟an dinyatakan anak sebagai penyejuk mata

atau hati (qurratul a’yun). Dikatakan demikian karena ketika

mata memandang seorang anak akan timbul rasa bahagia. Oleh

sebab itu anak merupakan harta yang tidak ternilai harganya

bagi orang tua. Allah pun menyebutkan anak manusia sebagai

penyejuk hati bagi orang tuanya.47

ٍ ُ ‫ب لَنَا ِم ْن أ َْزو ِاجنَا وذُ ِريَّاتِنَا قَُّرَة أ َْع‬


‫ُي‬ ْ ‫ين يَ ُقولُو َن َربَّنَا َه‬
ِ َّ
َّ َ َ ‫َوالذ‬
‫ُي إِ َم ًاما‬ ِ ِ
َ ‫اج َع ْلنَا ل ْل ُمتَّق‬
ْ ‫َو‬
Artinya: “Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan
kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami
imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS.Al-Furqan: 74)
3. Anak sebagai Ujian

‫يم‬‫ظ‬ِ ‫اَّلل ِعْن َده أَجر ع‬


َّ َّ
‫َن‬ ‫أ‬
‫و‬ ‫ة‬
ٌ ‫ن‬ ‫ت‬
ِْ‫واعلَموا أَََّّنَا أَموالُ ُكم وأَوال ُد ُكم ف‬
ٌ ٌ َ ْ ُ َ َ َ ْ ْ َ ْ َْ َُْ
Artinya: “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 28)
Dalam pesepektif Al Qur‟an, anak yang berfungsi sebagai

perhiasan hidup dan penyejuk hati, sesungguhnya ia sebagai

ujian bagi orang tuanya. Dengan nikmat anak, orang tua diuji

47
Muhammad Zaki, perlindungan Anak dalam Persepektif Islam, Jurnal di akses pada 17
April 2017 jam 13.45 WIB, M Zaki - 2014 - ejournalv3.radenintan.ac.id, hlm.3
36

oleh Allah SAW, apakah akan membawa anaknya menuju jalan

ke neraka atau jalan ke surga.48

4. Anak sebagai Musuh Orang Tua

Apabila orang tua salah dan keliru dalam mendidik dan

membesarkan anak-anaknya, maka anak tersebut akan menjadi

musuh untuk orang tuanya. Sebagaimana didalam Al Qur‟an:

ِ ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا إِ َّن ِمن أ َْزو ِاج ُكم وأَو‬
‫الد ُك ْم َع ُد ًّوا لَ ُك ْم‬ َْ ْ َ ْ َ َ َ َ
‫يم‬‫ح‬ِ‫اَّلل َغ ُفور ر‬ ‫ن‬َّ َِ‫ص َفحوا وتَ ْغ ِفروا ف‬
‫إ‬ ِ ُ ‫اح َذر‬
ٌ َ ٌ ََّ ُ َ ُ ْ َ‫وه ْم َوإ ْن تَ ْع ُفوا َوت‬ ُ ْ َ‫ف‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di


antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika
kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
(mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (QS. At-Taghabun: 14)
Menurut ayat diatas anak bisa menjadi musuh bagi orang tuanya mana kala anak

tersebut sudah tidak menaati aturan agama dan orangtuanya.

Ada beberapa konsep perlindungan anak yang perlu mendapat perhatian,

yakni:

1) Luas lingkup perlindungan:

a. Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan,

pemukiman, pendidikan, kesehatan, hukum.

b. Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah

48
Muhammad Zaki, perlindungan Anak dalam Persepektif Islam, hal. 4
37

c. Mengenai pula penggolongan keperluan yang primer dan sekunder

yang berakibat pada prioritas pemenuhannya.49

2) Jaminan pelaksanaan perlindungan:

a. Sewajarnya untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ada jaminan

terhadap pelaksanaan kegiatan perlindungan ini, yang dapat diketahui,

dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perlindungan

b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam suatu peraturan tertulis baik

dalam bentuk Undang-Undang atau peraturan daerah, yang

perumusanya sederhana tetapi dapat dipertanggungjawabkan serta

disebarluaskan secara merata dalam masyarakat50

c. Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia

tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang dilakukan dinegara

lain, yang patut dipertimbangkan dan ditiru (peniruan yang kritis).51

49
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Bandung; Refika Aditama, 2013), revisi ke-3, hal. 35
50
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, hal. 36
51
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, hal. 36
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Taun 2014 tentang

Perlindungan Anak menyatakan perlindungan anak adalah segala kegiatan

untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.1

Pasal 1 ayat (12) hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia

yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,

masyarakat, negara, pemerintah dan pemerintah daerah.

Dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang perubahan

Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak,

mengatur hak-hak anak yang termuat dalam pasal 4-18 meliputi:

a. Tumbuh kembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan

b. Memperoleh nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan

1
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

38
39

c. Beribadah menurut agamanya, berfikir dan berkreasi sesuai

dengan tingkat kecerdasan usianya

d. Mendapatkan bimbingan dari orang tuanya, atau diasuh dan

diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat orang lain bila

orang tuanya dalam keadaan terlantar sesuai dengan ketentuan

yang berlaku

e. Memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial dengan

kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial

f. Memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai

dengan minat dan bakatnya

g. Menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari

dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan

dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-

nilaikesusilaan dan kepatutan

h. Beristirahat, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak

yang sebaya, bermain, berkereasi sesuai minat, bakat dan

tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri

i. Anak yang memiliki kemampuan berbeda (cacat) berhak

memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf

kesejahteraan sosial

j. Mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi,

eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran,


40

kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan serta ketidakadilan

dan perlakuan salah lainnya

k. Dirahasiakan identitasnya bagi anak yang menjadi korban

kekerasan seksual maupun berhadapan dengan hukum

l. Mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya bagi anak

yang menjadi korban dan pelakunya dijerat hukum sebagai

tindak pidana.2

Adanya kewajiban dan tanggung jawab negara, pemerintah dan

pemerintah daerah maka ditegaskan dalam pasal 21 sampai Pasal 25

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014, yakni:

1. Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan

bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa

membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,

budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi

fisik dan/atau mental (Pasal 21 ayat (1)).

2. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam

penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22)

3. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak

dengan memerhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau

orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap

anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak

(Pasal 23)

2
Mufidah, dkk, Haruskah Perempuan dan Anak di Korbankan?, (Yogyakarta; Pilar
Media, 2006), h. 17-18
41

4. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam

menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat

kecerdasan anak (Pasal 24).3

Bagian kewajiban dan tanggung jawab orang tua dan keluarga,

pada pasal 26 ayat (1) orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab

untuk:

a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak

b) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,

bakat, dan minatnya

c) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, dan

d) Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi

pekerti pada anak.

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agama. Sehubungan

dengan itu negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga,

orang tua wali harus memberikan perlindungan. Perlindungan tersebut

berupa pembinaan, bimbingan dan pengamalan ajaran agama bagi anak

(Pasal 42 dan 43 UU No. 35 Tahun 2014).

Setiap anak berhak mendapatkan derajat kesehatan yang optimal

sejak dalam kandungan. Untuk itu pemerintah dan pemerintah daerah

wajib menyediakan fasilitas kesehatan yang komprehensip berupa upaya

promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi, baik untuk pelayanan

kesehatan dasar maupun rujukan. Terhadap anak yang tidak mampu, hak

3
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan Antara Norma dan Realita, hal. 123
42

tersebut diberikan secara cuma-cuma. Negara, Pemerintah, Pemerintah

Daerah, keluarga dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang

lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/

atau menimbulkan kecacatan (Pasal 44, 45 dan 46 UU 35 tahun 2014).4

Pada pasal 48, pemerintah dan pemerintah daerah wajib

menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk

semua anak.

Dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak, diatur perihal kewajiban dan tanggung jawab

pemerintah, pemerintah daerah dan lembaga negara lainnya, untuk

memberikan perlindungan khusus kepada:

a. Anak dalam situasi darurat

b. Anak yang berhadapan dengan hukum

c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi

d. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya

f. Anak yang menjadi korban pornografi

g. Anak dengan HIV/ AIDS

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/ atau perdagangan

i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis

j. Anak korban kejahatan seksual

4
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, hal. 20
43

k. Anak korban jaringan terorisme

l. Anak Penyandang Disabilitas

m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran

n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait

dengan kondisi Orang Tuanya.

B. Perlindungan Anak menurut Konvensi Hak Anak

Hak anak secara universal telah ditetapkan melalui Sidang Umum

PBB tanggal 30 Nopember 1989, dengan memproklamasikan Konvensi

Hak-Hak Anak. Dengan Konvensi tersebut, dimaksudkan agar anak-anak

dapat menjalani masa kecil yang membahagiakan, berhak menikmati hak-

hak dan kebebasan baik untuk mereka sendiri maupun masyarakat.5

Konvensi Hak Anak lahir berdasarkan beberapa prinsip, yaitu

sebagai berikut:

1. Prinsip Nondiskriminasi

Ketentuan Pasal 2 aayat (1) Konvensi Hak Anak menyatakan:

Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-

hak yang ditetapkan dalam konvensi ini terhadap setiap anak

dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk

apa pun tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin,

bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul bangsa, suku

bangsa atau sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status

5
Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, (Yogyakarta; Liberty, 2004), h. 10
44

lain dari anak, dari orang tua atau walinya yang sah menurut

hukum.6

2. Yang terbaik bagi anak (best interest of the child)

Prinsip umum yang kedua bagi anak dari Konvensi Hak Anak

adalah yang terbaik bagi anak. Prinsip ini tergambar dalam

Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan: “dalam semua tindakan

yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga

peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif,

kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi

pertimbangan utama”.

3. Hak hidup, kelnagsungan hidup, dan perkembangan anak

Berangkat dari ini pulalah Konvensi Hak Anak memandang

pentingnya pengakuan serta jaminan dari negara bagi

kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta dinyatakan

dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa ”Negara-negara peserta yang

mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas

kehidupan (inherent right to life), serta ayat (2) bahwa

“Negara-negara peserta semaksimal mungkin akan menjamin

kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and

development of the child)”.

4. Menghargai pandangan anak

6
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan antara Norma dan Realita, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 124
45

Prinsip ini merupakan prinsip dasar sekaligus landasan

terkokoh bagi interpretasi serta pelaksanaan isi keseluruhan

konvensi. Itulah sebabnya, Pasal 12 ayat (1) konvensi

menyatakan bahwa ”negara-negara peserta akan menjamin

bahwa anak-anak yang memiliki pandangan sendiri akan

memperoleh hak untuk menyatakan pandangan-pandangan

mereka secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi

anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan usia

dan kematangan anak.7

Konvensi Hak Anak (KHA) menggambarkan secara gamblang

mengenai apa saja yang merupakan hak-hak anak, yang secara subtantif

hak anak dalam KHA dikelompokkan dalam 4 kategori yaitu:

1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival right)

Yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak-hak untuk

melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk

memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan sebaik-

baiknya.Ketentuan tentang hak terhadap kelangsungan hidup

tertuang dalam pasal 6 dan pasal 24 Konvensi Hak Anak

(KHA).8

2. Hak terhadap perlindungan

7
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan antara Norma dan Realita,hal.125
8
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Pengarusutamaan Hak Anak dalam Anggaran Publik,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hal 37
46

Yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang

meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan

dan penelantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga

bagi anak-anak pengungsi. Hak terhadap perlindungan

dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu:

a. Pasal-pasal larangan diskriminasi anak.

Tertuang dalam pasal 2 tentang prinsip non diskriminasi

terhadap hak-hak anak, pasal 7 tentang hak anak untuk

mendapatkan nama dan kewarganegaraan, pasal 23 tentang

hak anak-anak penyandang cacat memperoleh pendidikan,

perawatan dan latihan khusus, dan pasal 30 tentang hak

anak-anak dari kelompok masyarakat minoritas dan

penduduk asli.

b. Pasal-pasal mengenai larangan eksploitasi anak.

Untuk menjelaskan hak-hak anak mengenai perlindungan

atas eksploitasi anak dapat dirujuk dalam pasal 10, 11, 16,

19, 20, 21, 25, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, dan pasal 40.

c. Pasal mengenai krisis dan keadaan darurat anak

Untuk menjelaskan hak-hak anak atas perlindungan dari

krisis dan keadaan darurat dapat dirujuk dalam pasal 10

tentang pengembalian anak dalam kesatuan keluarga, pasal

22 tentang perlindungan terhadap anak-anak dalam

pengungsian, pasal 25 tentang peninjauan secara periodik


47

mengenai penempatan anak, pasal 38 tentang konflik

bersenjata atau peperangan yang menimpa anak dan pasal

39 tentang perawatan rehabilitasi.9

3. Hak untuk tumbuh kembang

Hak-hak anak dalam KHA yang meliputi segala bentuk

pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai

standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental,

spritual, moral dan sosial anak.

4. Hak untuk berpartisipasi

Yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak anak untuk

menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi

anak.

Berdasarkan hak anak untuk berpartisipasi ada beberapa uraian

yang terdiri:

a. Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh

pertimbangan atas pendapatnya

b. Hak anak untuk mendapatkan dan mengatahui informasi

serta untuk berekspresi

c. Hak anak untuk berserikat, dan menjalin hubungan untuk

bergabung

d. Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak

dan terlindung dari informasi yang tidak sehat

9
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Pengarusutamaan Hak Anak dalam Anggaran Publik , hal 37
48

e. Hak anak untuk memperoleh informasi tentang konvensi

hak anak.10

Dalam Konvensi Tentang Hak-Hak Anak (Convention On The

Rights Of The Child), resolusi No 109 Tahun 1990 pada pasal 37

menyatakan, negara-negara peserta menjamin bahwa:

a. Tidak seorang anakpun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau

perlakuan atau penghukuman kain yang kejam, tidak

manusiawi atau merendehkan martabat. Hukuman mati atau

seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak boleh

dikenakan pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan seorang

anak yang berusia dibawah 18 tahun.

b. Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya

secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan,

penahanan, atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan

hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk

jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.

c. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus

diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat

manusinya dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan

manusia seusianya.

d. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak untuk

secepatnya memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya

10
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Pengarusutamaan Hak Anak dalam Anggaran Publik , hal.
38,
49

yang layak dan juga menggugat keabsahan perampasan

kemerdekaannya di depan pengadilan atau pejabat lain yang

berwenang, independen dan tidak memihak dan berhak untuk

dengan segera memperoleh keputusan mengenai tindakan

perempasan kemerdekaan tersebut.11

Secara khusus, perhatian dunia terhadap perlindungan anak telah

dimulai sejak munculnya Deklarasi Jenewa tentang hak-hak anak pada

tahun 1924. Deklarasi tersebut pun telah diakui pula dalam Deklarasi Hak

Asasi Manusia pada tahun 1948. Berawal dari peristiwa tersebut dalam

perkembangan selanjutnya pada tanggal 20 Nopember 1959 Majelis

Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Deklarasi Hak-Hak

Anak.

Ada sepuluh prinsip tentang hak anak menurut deklarasi tersebut,

yaitu;

a) Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum

dalam deklarasi ini. semua anak tanpa pengecualian yang

bagaimana pun berhak atas hak-hak ini, tanpa membedakan

suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dll.

b) Setiap anak harus memperoleh perlindungan khusus, dan

harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin

oleh hukum dan sarana lain.12

11
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya, hal.55-56
12
Layyin Mahfiana, Perlindungan Hukum terhadap Anak di Era Globalisasi, (Justtitia
Islamica; vol. 10, No 2, Jul-Des 2013), hal. 304
50

c) Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan

identitas kebangsaan

d) Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial

e) Setiap anak yang baik secara fisik, mental dan sosial

mengalami kecacatan harus diberikan perlakuan yang

khusus, pendidikan dan pemiliharaan sesuai dengan

kondisinya

f) Untuk perkembangan pribadinya secara penuh dan

seimbang setiap anak memerlukan kasih sayang dan

pengertian

g) Setiap anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma

sekurang-kurangnya di tingkat sekolah dasar

h) Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima

perlindungan dan bantuan yang pertama

i) Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk

keterlantaran, tindakkan kekerasan dan eksploitasi

j) Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktek

diskriminasi berdasarkan rasial, agama dan bentuk-bentuk

lainnya.13

C. Perlindungan Anak menurut Undang-Undang terkait

Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak-anak

merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak

13
Layyin Mahfiana, Perlindungan Hukum terhadap Anak di Era Globalisasi, hal. 305
51

Indonesia. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara

teratur, tertib dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan

hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia

yang dijiwab sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945.14

Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi

telah menggariskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungkan

hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”. Dengan dicantumkannya hak anak

tersebut dalam batang tubuh konstitusi, maka bisa diartikan bahwa

kedudukan dan perlindungan hak anak merupakan hal penting yang

harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kenyataan sehari-

hari.15

Khusus untuk perlindungan terhadap anak, Pasal 28B ayat (2)

UUD 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi. Meskipun secara explisit hanya Pasal 28B ayat (2)

UUD 1945 yang menyebutkan adanya Hak Asasi Anak, akan tetapi

keseluruhan Pasal 28 UUD 1945 sepanjang dapat dilaksanakan dan

dapat diterima serta bermanfaat bagi anak, dan bukan monopoli

manusia dewasa.16 Beberapa hak yang dimaksud adalah:

14
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, hal. 67
15
M. Nasir Djamil, Anak Bukan untuk Dihukum Catatan pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), (jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke2), hal. 11-12
16
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, hal. 2
52

a. Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan

kehidupannya. (Pasal 28A UUD 1945)

b. Hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan

dasarnya, hak mendapatkan pendidikan, hak memperoleh

manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,

demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan

umat manusia. (Pasal 28C ayat (1) UUD 1945)

c. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

(Pasal 28D ayat (1) UUD 1945)

d. Hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28D ayat (4) UUD

1945)

e. Hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,

hak memilih pendidikan dan pengajaran, hak memilih

kewarganegaraan, hak memilih tempat tinggal di wilayah

negara dan meninggalkannya serta berhak kembali. (Pasal 28E

(1) UUD 1945)

f. Hak untuk bebas menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran

dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. (Pasal 28E ayat (2)

UUD 1945)

g. Hak untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat.

(Pasal 28E ayat (3) UUD 1945)


53

h. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, mengolah

dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala

jenis saluran yang tersedia. (Pasal 28F UUD 1945)

i. Hak atas perlindungan pribadi, kehormatan, martabat, dan harta

benda yang dibawah kekuasaannya serta hak atas rasa aman

dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuatu yang merupakan hak asasi. (Pasal 28G ayat (1) UUD

1945)

j. Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang

merendahkan derajat martabat manusia. (Pasal 28G ayat (2)

UUD 1945)

k. Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, hak bertempat

tinggal, hak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta

memperoleh pelayanan kesehatan. (Pasal 28H ayat () UUD

1945)

l. Hak untuk memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus

untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

mencapai persamaan dan keadilan. (Pasal 28H ayat (2) UUD

1945)

m. Hak untuk memperoleh jaminan sosial yang memungkinkan

pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang

bermartabat. (Pasal 28H ayat (3) UUD 1945)


54

n. Hak untuk mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut

tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh

siapapun. (Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.17

Dalam Pasal 34 UUD 1945 tersebut disebutkan:

1. Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh

rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak

mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur

dalam undang-undang.

Pelaksanaan bentuk jaminan sosial yang merupakan bentuk

perlindungan hukum terhadap anak, sebetulnya tidak perlu menunggu

undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) UUD

1945. Bentuk perlindungan hukum terhadap anak, dapat menggunakan

Undang-Undang No 4 tahun 1979 yang jauh lebih dahulu ada

dibandingkan dengan Pasal 34 UUD 1945 hasil perubahan keempat.

Hanya saja dalam pelaksaannya, belum dilakukan secara optimal dan

sering dikaitkan dengan pilihan politik.18

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Perkawinan, dijumpai pengaturan hak dan perlindungan hak anak,

seperti19:

17
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, hal. 3
18
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, hal. 7
19
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, hal. 48
55

a) Perlindungan dan jaminan hak anak untuk tetap memperoleh

pemeliharaan dan pendidikan dalam hal terjadi perceraian,

dengan pembebanan biaya pemiliharaan dan pendidikan

anak pertama-tama dan terutama kepada bapak (Pasal 41)

b) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal

43 ayat (1)

c) Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak

mereka sebaik-baiknya (Pasal 45 ayat (1)

d) Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau

menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya

yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum

pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila

kepentingan anak itu menghendaki. (Pasal 48)

e) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun

atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak

berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah

kekuasaan wali, perwalian ini mengenai pribadi anak yang

bersangkutan maupun harta bendanya (Pasal 50)

f) Wali yang bertanggung jawab tentang harta benda anak yang

berada dibawah perwalian serta kerugian yang ditimbulkan

karena kesalahan atau kelalaiannya. (Pasal 51 ayat (5)


56

g) Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta

kepada harta benda anak yang berada dibawah

kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak

tersebut dengan keputusan pengadilan yang bersangkutan

dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut (Pasal

54).

Selanjutnya perlindungan hak anak di Indonesia dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang

bersamaan dengan penetapan tahun 1979 sebagai “Tahun Anak

Internasional”.20 berdasarkan fungsi dan kedudukannya anak merupakan

potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan

oleh generasi sebelumnya.21

Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

menentukan:

a) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan

bimbingan yang berdasarkan kasih sayang baik dalam

keluarganya maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan

berkembang dengan wajar

b) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan

kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan

kebudayaan dan keperibadian bangsa, untuk menjadi warga

negara yang baik dan berguna


20
M. Nasir Djamil, Anak Bukan untuk Dihukum Catatan pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), hal. 28
21
Undang-Undang Peradilan Anak,(Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hal.50
57

c) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa

dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan

d) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup

yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan

perkembangannya dengan wajar.

Dalam keadaan membahayakan, anaklah yang pertama-tama

berhak mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan (Pasal 3

UU No. 4 Tahun 1979).22

D. Perlindungan Anak menurut Hukum Islam

Islam memandang anak sebagai karunia mahal harganya yang

berstatus suci. Perlindungan dalam Islam meliputi fisik, psikis, intelektual,

moral, ekonomi, dan lainnya.

Dalam Islam, anak kecil dianggap tidak memiliki tujuan atau maksud

yang jelas dari tindak pidana, karena akalnya belum sempurna, kesadaran

dan pemahamannya pun belum lengkap.23

Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa hukum merawat dan mendidik

anak adalah wajib, karena apabila anak yang masih kecil, belum

mumayyiz, tidak dirawat dan dididik dengan baik maka akan berakibat

buruk pada diri mereka, bahkan bisa menjurus kepada kehilangan nyawa

mereka. Oleh sebab itu, mereka wajib dipelihara dan dididik dengan.24

22
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, hal 49
23
Ridho Rokamah,” Restorative Justice Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana”, Sustitia
Islamica, Vol. 10, No.2, (Jul-Des 2013), hal. 267
24
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta; PT. Ihtiar Baru Van Hoeven,
2001) ,cet ke-5, hal. 345
58

Dalam Islam, ada beberapa ajaran mengenai hak-hak anak antara lain:

1. Hak anak dalam kandungan untuk memperoleh perlakuan yang baik,

jaminan dan perlindungan kesehatan.

Sebagaimana firman Allah dalam surah Ath-Thalaq ayat 6

‫ضيِّ ُقوا‬ ِ ‫أس ِكنوى َّن ِمن حيث س َكْنتم ِمن وج ِد ُكم وال تُض ُّار‬
َ ُ‫وى َّن لت‬
ُ َ َ ْ ْ ُ ْ ْ ُ َ ُ َْ ْ ُ ُ ْ
ِ ِ
َ َ‫َعلَْي ِه َّن َوإِ ْن ُك َّن أُوالت ََحْ ٍل فَأَنْف ُقوا َعلَْي ِه َّن َح ََّّت ي‬
‫ض ْع َن ََحْلَ ُه َّن‬
ٍ ‫فَِإ ْن أَرضعن لَ ُكم فَآتُوى َّن أُجورى َّن وأََْتِروا ب ي ن ُكم ِِبعر‬
‫وف َوإِ ْن‬ ُ َْ ْ َ َْ ُ َ ُ َ ُ ُ ْ َ ْ َ ْ
‫ُخَرى‬ ِ
ْ ‫اسْرُُْت فَ َستُ ْرض ُع لَوُ أ‬
َ ‫تَ َع‬
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri
yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya;
dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik;
dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya”.
2. Hak untuk dilahirkan dan diterima secara senang oleh keluarga, baik

itu perempuan ataupun laki-laki, hal ini berdasarkan surah An-Nahl

ayat 58-59

3. Hak anak untuk dijaga dengan baik, sewaktu dalam kandungan

maupun setelah lahir.

Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Isra ayat 3 :

ِ ٍ ُ‫ذُ ِريَّةَ من ََحَْلنَا مع ن‬


ً ‫وح إنَّوُ َكا َن َعْب ًدا َش ُك‬
‫ورا‬ ََ َْ ّ
59

Artinya: “(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa


bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang
banyak bersyukur”.
Dalam syariat Islam hak utama ketika masih dalam bentuk janin
(benih bayi dalam rahim) adalah memperoleh penjagaan dan
pemeliharaan. Dimana hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan lahir
kelak terhindar dari jamahan orang-orang kafir dan orang-orang yang
tidak pernah bersyukur kepada Allah SWT, sementara orangtuanya
pun akan terhindar dari berbagai macam kerugian,25 sebagaimana
dinyatakan dalam Firman Allah di dalam surat Al-An’am ayat 140:

‫الد ُى ْم َس َف ًها بِغَ ِْْي ِعْل ٍم َو َحَّرُموا َما َرَزقَ ُه ُم‬ ِ َّ ِ


َ ‫ين قَتَ لُوا أ َْو‬
َ ‫قَ ْد َخسَر الذ‬
‫ين‬ ِ ‫اَّلل قَ ْد ضلُّوا وما َكانُوا مهت‬
‫د‬ َِّ ‫اَّلل افِِْتاء علَى‬
َ ُ َ ْ ََ َ َ ً َ َُّ
Artinya: “Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak
mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka
mengharamkan apa yang Allah telah rezekikan kepada mereka dengan
semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka
telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk”. (QS. Al-An’am;
140)
4. Hak untuk diberi nama yang baik, hal ini berdasarkan hadis Aththusi,

yakni “seorang datang kepada Nabi SAW dan bertanya,” ya Rasullah,

apa hak anakku ini?” nabi SAW menjawab, “memberinya nama yang

baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik

(dalam hatimu)”

25
Amien Indah Fitria, Pelanggaran Hak Anak Jalanan Oleh Orangtua dalam Persepektif
Hukum Islam, Skripsi S1 (Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010), hal. 24
60

5. Hak mendapatkan pendidikan yang baik dan layak, berdasarkan hadis

yang telah disebutan diatas dan hadis berbunyi: “Didiklah anak-

anakmu, karena mereka diciptakan untuk menghadapi zaman yang

berbeda dengan zamanmu”.

Siapa saja yang melalaikan pengajaran terhadap anak tentang hal-hal

yang bermanfaat dan membiarkannya begitu saja, orangtua seperti itu

telah berbuat buruk terhadap anaknya.26

‫صَر َوالْ ُف َؤ َاد ُك ُّل‬ َّ ‫ك بِِو ِعْل ٌم إِ َّن‬


َ َ‫الس ْم َع َوالْب‬ َ َ‫س ل‬ َ ‫ف َما لَْي‬ ُ ‫َوال تَ ْق‬
َ ِ‫أُولَئ‬
‫ك َكا َن َعْنوُ َم ْسئُوال‬
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.‟’ (QS. Al-Israa: 36)
6. Hak untuk mendapatkan kedudukan yang layak dan sederajat

7. Hak untuk diberikan ASI (Air Susu Ibu), hal ini terdapat dalam Al-
quran surah Al-Baqarah ayat 223:

‫ْي لِ َم ْن أ ََر َاد أَ ْن يُتِ َّم‬


ِ ْ َ‫ْي َك ِامل‬ِ ْ َ‫الد ُى َّن َحول‬
ْ َ ‫َو‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ض‬ِ ‫والْوالِ َدات ي ر‬
ْ َ ُْ ُ َ َ
ْ
‫وف ال‬ ِ ‫ود لَو ِرْزقُه َّن وكِسوتُه َّن بِالْمعر‬ ِ
ُ ْ َ ُ َ ْ َ ُ ُ ُ‫اعةَ َو َعلَى الْ َم ْول‬ َ‫ض‬َ ‫الر‬
َّ
ِ ِ
ُ‫ود لَو‬ ٌ ُ‫ض َّار َوال َد ٌ بَِولَد َىا َوال َم ْول‬ َ ُ‫س إِال ُو ْس َع َها ال ت‬ ُ َّ‫تُ َكل‬
ٌ ‫ف نَ ْف‬
‫اض‬ٍ ‫صاال َع ْن تَ َر‬ ِ‫بِولَ ِد ِه وعلَى الْوا ِر ِث ِمثْل َذلِك فَِإ ْن أَرادا ف‬
َ ََ َ ُ َ ََ َ
‫اح َعلَْي ِه َما َوإِ ْن أ ََرْد ُُْت أَ ْن تَ ْستَ ْر ِضعُوا‬ ‫ن‬
َ ‫ج‬
ُ ‫ال‬َ‫ف‬ ٍ‫ِمْن ُهما وتَ َشاو‬
‫ر‬
َ ُ َ َ

26
Ibnul Qayyim al- Jauziyah, Fiqih Bayi, hal. 330
61

ِ ‫أَوال َد ُكم فَال جناح علَي ُكم إِ َذا سلَّمتم ما آتَيتم بِالْمعر‬
‫وف‬ُ ْ َ ْ ُْ َ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ َ َ ُ ْ ْ
ِ ‫اَّلل ِِبَا تَعملُو َن ب‬
‫ص ٌْي‬ َّ ‫اَّللَ َو ْاعلَ ُموا أ‬
َّ ‫َواتَّ ُقوا‬
َ َ ْ ََّ ‫َن‬
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris
pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan”.
Dan kewajiban ayah memberi rezeki (makanan) dan pakaian kepada

para ibu dengan cara yang ma’ruf.

8. Hak untuk tidak dihukum pidana sampai usia 15 tahun, berdasarkan

Hadis Riwayat Baihaqi: “Seorang anak bila telah berusia 15 tahun,

maka diberlakukanlah hudud buatnya”

9. Hak untuk memperoleh agama, berdasarkan Hadis Riwayat Bukhari,

yakni, “Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah Islami). Ayah

dan ibunyalahkelak yang akan menjadikannya Yahudi, Nashrani, atau

Majusyi”.27

27
M. Nasir Djamil, Anak Bukan untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), hal. 19-20
62

Hak-hak anak tidak hanya terdapat pada orang tuanya atau didalam

keluarga tapi juga pada masyarakat umum, terutama anak-anak yatim dan anak-

anak yang terlantar sebagai anak jalanan.28

Sementara itu, Mukhoirudin membagi hak-hak anak menurut hukum Islam,

antara lain:

a) Pemeliharaan atas hak beragama (hifzul dien)

b) Pemeliharaan atas jiwa (hifzun nafs)

c) Pemeliharaan atas akal (hifzul aql)

d) Pemeliharaan atas harta ( hifzul mal)

e) Pemeliharaan atas keturunan/ nasab (hifzul nasl) dan

kehormatan (hifzul „ird).29

Hukum Islam sudah mempunyai tujuan dalam menjaga hak-hak seorang

manusia termasuk didalamnya hak-hak anak yang termuat dalam Maqashid al-

syariah. Ibn Taimiyyah menetapkan dhaririyah menjadi hukum Islam pertama

yang memperluas gagasan maqashid syari’ah menjadi lima aspek pokok.30

Dalam pemeliharaan atas agama, jiwa, akal, keturunan serta kehormatan,

maka dalam Islam perlu adanya pendidikan seks pada anak. Menurut Dr.

Abdullah Nashih Ulwan, pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran,

dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak

28
Ahmad Kosasih, HAM dalam Persepektif Islam, (Jakarta; Salemba Diniyah, 2003), cet
ke-2, hlm 49
29
http://id. Shvoong.com/humanities/religion-studies/2170488-hak-anak-menurut-
islam/#ixzz1zSXacwvM. Artikel diakses pada 12 Mei 2017
30
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Raja Grafindo Persada,
2006), hal. 108
63

sejak ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan dengan seks, naluri

dan perkawinan.31

Seks adalah aspek yang sangat penting dari perilaku manusia. Semua

manusia memiliki tiga aspek sisi kepribadian, yaitu agama, intelektual dan fisik,

serta memiliki gairah untuk memuaskan ketiganya. Islam menganjurkan bahwa

ketiga aspek tersebut harus dipenuhi dengan cara yang suci dan sehat, tanpa

berlebihan, tanpa tekanan, dan tanpa penderitaan, sesuai dengan perintah Kitab

Suci.32

Pokok-pokok pendidikan seks dalam Islam yang perlu diterapkan dan

diajarkan kepada anak yakni:

1. Menanamkan rasa malu pada anak

Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Orang tua selalu

mengajarkan agar berpakaian yang rapi dan sopan kepada anak-

anaknya serta tidak melepas pakaian ditempat umum hendaknya di

kamar mandi, khusus kepada anak perempuan untuk diajarkan

menutup auratnya dengan menggunakan jilbab.

ِ ِ‫ك ونِس ِاء الْم ْؤِمن‬ ِ َ ‫ألزو ِاج‬


‫ْي‬
َ ‫ْي يُ ْدن‬ َ ُ َ َ َ ‫ك َوبَنَات‬ َ ْ ‫َِّب قُ ْل‬ ُّ ِ‫يَا أَيُّ َها الن‬
ِ
َ ‫َعلَْي ِه َّن ِم ْن َجالبِيبِ ِه َّن َذل‬
َّ ‫ك أ َْد ََن أَ ْن يُ ْعَرفْ َن فَال يُ ْؤ َذيْ َن َوَكا َن‬
ُ‫اَّلل‬
‫يما‬ ‫ح‬ِ‫َغ ُفورا ر‬
ً َ ً
31
Muhammad Taufik, Pendidikan Seks menurut Perspektif Al-Qur‟an, Artikel diakses
pada 7 Juni 2017 jam 15.57, https://naifu.wordpress.com/2010/08/12/pendidikan-seks-menurut-
perspektif-al-qur%E2%80%99an/
32
Mujtahid, Pendidikan Seks Bagi Remaja, (2011), artikel diakses pada 7 Juni
2017,http://www.uinmalang.ac.id/index.php?option=com content&view=article&id=2477:
pendidikan-seks-bagi-remaja&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210
64

Artinya: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak


perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha
penyayang”. (Qs. Al-Ahzab: 59)

2. Memisahkan tempat tidur anak-anak

Pemisahan tempat tidur anak-anak merupakan cara untuk menanamkan

kesadaran pada anak tentang dirinya dan perbedaan jenis kelamin.

Pemisahan tempat tidur juga dilakukan terhadap anak dengan kakak

atau adik perempuannya pada umur 10 tahun.

ِِ ِ َّ ‫مروا أَوالَ َد ُكم‬


ُ ُ‫اض ِرب‬
‫وى ْم َعلَْي َها َوُى ْم‬ ْ ‫ْي َو‬
َ ‫بالصالٌَ َوُى ْم أَبْنَاءُ َسْبع سن‬ ْ ُُ
ِ ‫ وفَ ِرقُوا ب ي ن هم يف املض‬،‫أَب ناء ع ْش ٍر‬
‫اج ِع‬ َ َ َ
َ ْ ُ َْ ّ َ َ ُ ْ
Artinya: “Perintahkan anak-anak kalian shalat pada usia 7 tahun,
pukullah mereka jika meninggalkannya pada usia 10 tahun dan
pisahkan di antara mereka tempat tidurnya”. (HR. Ahmad dan Abu
Dawud, dihasankan oleh An Nawawi dalam Riyadhus Shalihin dan Al
Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

3. Mengajarkan anak-anak meminta izin ketika memasuki kamar orang

tunya.

Mengajarkan anak-anak untuk mengetuk pintu kamar serta meminta

izin untuk memasuki kamar orang tuanya terutama dalam tiga waktu,

sesuai firman Allah SWT dalam surah An-Nuur ayat 58-59:

‫ين ََْل‬ ِ َّ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آمنوا لِيستأْ ِذنْ ُكم الَّ ِذين ملَ َكت أَْْيانُ ُكم وال‬
‫ذ‬
َ َ ْ َ ْ َ َ ُ َ ْ َ َُ َ َ َ
ِ ِ ‫ات ِمن قَب ِل‬ ٍ َ َ‫اْللُم ِمْن ُكم ث‬
َ ‫صالٌ الْ َف ْج ِر َوح‬
‫ْي‬ َ ْ ْ ‫الث َمَّر‬ ْ َ ُْ ‫يَْب لُغُوا‬
ِ ِ ‫تَضعو َن ثِياب ُكم ِمن الظَّ ِهْيٌِ وِمن ب ع ِد ص‬
ُ َ‫الٌ الْعِ َشاء ث‬
‫الث‬ َ َْ ْ َ َ َ ْ َ َ َُ
65

ٍ ‫عور‬
‫اح بَ ْع َد ُى َّن طََّوافُو َن‬ٌ َ‫س َعلَْي ُك ْم َوال َعلَْي ِه ْم ُجن‬
َ ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫م‬
ْ ‫ك‬
ُ ‫ل‬
َ ‫ات‬ ََْ
‫اَّلل‬
َُّ ‫ات َو‬ ِ ‫اَّلل لَ ُكم اآلي‬ ‫ْي‬ ِ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫ك‬ ِ‫ض َك َذل‬
ٍ ‫ض ُك ْم َعلَى بَ ْع‬
َ ُ ُ َُ َّ ُّ َ ُ ‫َعلَْي ُك ْم بَ ْع‬
‫يم‬ ِ ِ
ٌ ‫يم َحك‬
ٌ ‫َعل‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak
(lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum
balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu
hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan
pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya.
(Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula)
atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu,
sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain).
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Qs. An-Nuur; 58)
.

‫ين ِم ْن‬ ِ َّ ِ ْ ‫ال ِمْن ُك ُم‬


ُ ‫َوإِ َذا بَلَ َغ األطْ َف‬
َ ‫استَأْ َذ َن الذ‬
ْ ‫اْلُلُ َم فَ ْليَ ْستَأْذنُوا َك َما‬
‫يم‬ ِ ‫اَّلل علِيم ح‬
‫ك‬ َّ ‫و‬ ‫و‬ِِ‫اَّلل لَ ُكم آيات‬
َّ ِ
‫ْي‬ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫ك‬
َ
ِ‫قَبلِ ِهم َك َذل‬
َ
ٌ َ ٌ ُ َ َ ْ ُ َُ ُّ ْ ْ
Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka
hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum
mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Qs. An-Nuur;
59)
Konsep pendidikan seks bagi remaja menurut Al-qur’an Surah An-

Nuur ayat 58-59 memang kurang mengarah kepada petunjuk

pendidikan secara riil. Ayat ini banyak menyoroti tentang adab

pergaulan dan tata rama dalam kehidupan rumah tangga, tetapi telah
66

mengarah kepada bagaimana sikap anak-anak jika telah menginjak

dewasa terhadap aturan masuk kamar orang tuanya atau tuannya.33

4. Mengajarkan pendidikan seks sejak dini

Ubah cara berpikir anak-anak bahwa makna pendidikan seks itu sangat

luas, tidak hanya berkisar masalah jenis kelamin dan hubungan

seksual, akan tetapi didalamnya ada perkembangan manusia, hubungan

antar manusia, perilaku seksual, dan lain-lain.34

Masyarakat yang dapat mendidik anggotanya menjalani kehidupan

seksual yang harmoni akan dapat mewujudkan sebuah kehidupan yang

sejahtera. Allah SWT telah menjanjikan bahwa umat yang patuh

kepada perintah Allah akan senantiasa dirahmati-Nya. Janji ini

dinyatakan firman Allah SWT:

‫ات ِم َن‬ ٍ ‫َن أَىل الْ ُقرى آمنُوا واتَّ َقوا لََفتحنَا علَي ِهم ب رَك‬ َّ
ََ ْ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ ‫َولَ ْو أ‬
‫اى ْم ِِبَا َكانُوا يَ ْك ِسبُو َن‬ ِ ِ ‫السم ِاء واألر‬
َ ‫ض َولَك ْن َك َّذبُوا فَأ‬
ُ َ‫َخ ْذن‬ ْ َ َ َّ
Artinya: “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah
dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu,
maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (Al-A’raf: 96).

33
Muh. Sudirman, Pendidikan Seks Bagi Remaja dalam Perspektif Hukum Islam, Ash-
Shahabah Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, (2015), Jurnal diakses pada 07 Juni 2017,
https://id.scribd.com/doc/277683086/Pendidikan-Seks-Bagi-Remaja-Dalam-Perspektif-Hukum-
Islam
34
Muhammad Taufik, Pendidikan Seks Menurut Perspektif Al-qur‟an, (2010), artikel
diakses pada 07 Juni 2017, https://naifu.wordpress.com/2010/08/12/pendidikan-seks-menurut-
perspektif-al-qur%E2%80%99an/
BAB IV

Deskriptif-Analisis

A. Latar Belakang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak

Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya

masa depan bangsa tergantung pula pada baik buruknya kondisi anak pada

saat ini.1

Perlindungan yang di berikan negara kepada anak-anak meliputi

berbagai aspek kehidupan yaitu aspek ekonomi, politik, sosial budaya

maupun aspek hukum. Orentasi utama yang diberikan pemerintah tentunya

untuk melihat kesejahteraan terhadap anak. Oleh karena itu tanggung

jawab negara dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak

diwujudkan dengan menyediakan fasilitas dan aksebilitas bagi anak demi

terjaminnya pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal dan

terarah.2

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak akhirnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, yang mempertegas tentang perlunya pemberatan

sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama

1
M. Nasir Djamil, Anak Bukan untuk Dihukum Catatan Pembahsan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), hal. 11
2
http://www.badankb-psp.com/sosialisasi-undang-undang-nomor-35-perubahan-atas-
undang-undang-nomor-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak/, diakses Senin, 13 Maret
2017, jam 11.32

67
68

kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera,

serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik,

psikis dan sosial anak.3

Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan

Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan suatu

rangkaian upaya yang dilakukan Negara demi mewujudkan terpenuhinya

kesejahteraan anak dimaksud. Saat ini kejahatan seksual terhadap anak

semakin meningkat, sehingga perlu dilakukan peningkatan perlindungan

terhadap anak oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Rabu, 25 Juni 2014 mengawali penyampaian Laporan Panja

Komisi VIII DPR-RI mengenai Rancangan Undang-Undang tentang

perubahan atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan

Anak yang mana seluruh anggota menghendaki perwujudan komitmen

Komisi VIII DPR-RI di bidang Legislasi dalam rangka menjamin

terpenuhinya hak-hak anak, karena setiap anak berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dimana perlu

mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya guna menjamin eksistensi

bangsa dan negara dimasa depan. Anak sebagai tunas, potensi, dan

3
Muliyawan, Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak Pasca Perubahan Undang-
Undang Perlindungan Anak, Artikel di akses pada Selasa 25 April 2017 , http://www.pn-
palopo.go.id/index.php/berita/artikel/164-paradigma-baru-hukum-perlindungan-anak-pasca-
perubahan-undang-undang-perlindungan-anak
69

generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri

dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan

tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi

manusia.4

Pembahasan RUU tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bertitik tolak dari kompleksitas

permasalahan dalam penyelenggaraan perlindungan anak, sedangkan

undang-undang yang ada belum mampu menjadi rujukan hukum untuk

menyelasaikan kompleksitas permasalahan tersebut. Oleh karena itu,

untuk meningkatkan perlindungan terhadap anak, beberapa ketentuan

dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

perlu dilakukan perubahan untuk penyesuaian.

Pokok-pokok perubahan latar belakang Undang-Undang No.23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu:

Pertama, perubahan ini dilakukan untuk menjawab berbagai

persoalan yuridis, agar mampu mengatasi masalah kompleksitas dalam

penyelenggaraan perlindungan anak meliputi konsep dan subtansi materi

peraturan perundang-undangan tentang perlindungan anak serta

mekanisme teknis perlindungan, sehingga mampu membangun sistem

perlindungan anak secara komprehensif seiring dengan kebutuhan dan

perubahan masyarakat.

4
Laporan Panja Komisi VIII DPR RI mengenai RUU tentang Perubahan atas UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Jakarta; Sekretariatan Komisi VIII DPR RI, 2014), hal.
3
70

Kedua, perlunya perubahan paradigma perlindungan anak dari

sentralistik menjadi desentralisasi dan otonimi daerah. Undang-undang

perlindungan anak ini belum responsif terhadap revisi UU Otonomi

Daerah, akibatnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak masih belum dapat memberikan perlindungan hukum

kepada hak-hak anak terutama kerena pemerintah daerah tidak semuanya

memberikan perhatian yang serius dan tidak semuanya memiliki political

will terhadap perlindungan hak-hak anak serta belum menjadi skala

prioritas dalam pembangunan daerah baik dari segi dana perlindungan dari

APBD maupun dari segi sumberdaya manusia yang memahami tentang

hak-hak anak, prinsip-prinsip perlindungan anak dan juga belum

dibentuknya lembaga yang khusus menangani perlindungan anak.

Ketiga, Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak sudah tidak mampu mengakomodir kebutuhan dalam berbagai

bidang kehidupan serta mengakomodir kompleksitas, keruwetan, serta

intensitas, dan akselerasi kuantitas berbagai permasalahan anak yang

terjadi saat ini, antara lain: anak jalanan, anak kurang gizi, anak putus

sekolah, eskploitasi seks komersial terhadap anak melalui prostitusi,

perdagangan anak (trafficking), pornografi, seks bebas, anak korban

penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropik, NAPZA, anak berprilaku

sosial menyimpang serta kecendrungan meningkatnya kekerasan dan

kejahatan fisik, psikis, menyimpang serta kecendrungan meningkatnya

kekerasan dan kejahatan fisik, psikis, dan seksual terhadap anak baik yang
71

terorganisir ataupun tidak terorganisir, baik secara kualitas maupun

kuantitas, bahkan saat ini Indonesia berada pada posisi darurat kekerasan

pada anak termasuk yang berkaitan pada kasus pedofilia di Indonesia

ternyata tertinggi se-Asia.

Keempat, beberapa ketentuan perundangan yang secara normatif

beririsan dengan beberapa Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dinilai oeh sebagian masyarakat menimbulkan

multitafsir, ambigu, tumpang tindih, masih parsial serta seringkali

melahirkan komplikasi dalam implementasi.

Kelima, keempat alasan tersebut menjadi urgensi pentingnya

perbaikan ketentuan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak dalam bentuk perubahan sehingga nantinya lebih

mampu menjawab berbagai kompleksitas masalah dalam penyelenggraan

perlindungan anak, juga untuk melengkapi berbagai kekurangan yang ada

dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002.5

Sambutan singkat Presiden atas penyelesaian pembahasan

Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain:

1. Perubahan terkait definisi anak, perlindungan khusus bagi

anak, khususnya anak korban kejahatan seksual, usulan

penegasan terkait peningkatan efektivitas penyelenggaraan

perlindungan anak, pendanaan, serta pemberatan sanksi bagi

5
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, DPRI Tahun 2014, hal. 4-5
72

pelaku kejahatan terhadap anak. Perubahan yang mendasar juga

menyelaraskan dengan ketentuan dan prinsip-prinsip yang ada

dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh

Pemerintah Indonesia melalui keputusan Presiden Nomor 36

tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On the Rights of

the Child (Konvensi Hak-Hak Anak).

2. Semangat yang dibangun untuk menjadikan UU Perubahan ini

menjadi payung hukum karena sifatnya sebagai Undang-

Undang khusus (Lex specialis), juga akan memudahkan

penyelsaian kasus-kasus pelanggaran hak anak, sehingga

nantinya akan mengacu kepada Undang-Undang Perubahan ini.

3. Undang-Undang perubahan ini juga telah mengakomodir

kebijakan pemerintah terkait perlindungan anak, khususnya

anak korban kejahatan seksual yang telah diatur melalui

Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan

Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN-AKSA).

4. Undang-Undang Perubahan ini juga memperkuat koordinasi

antar pemerintah, pemerintah daerah dan lembaga terkait

lainnya dalam mekanisme penyelenggaraan perlindungan anak

di pusat dan daerah. Mekanisme koordinasi antar lintas sektor,

akan dilakukan oleh Kementerian yang menyelenggarakan

urusan di bidang perlindungan anak.


73

5. Keterlibatan masyrakat yang di dalamnya memuat unsur

kelompok masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha

dan media massa juga menjadi kemajuan signifikan dari

perubahan Undang-Undang ini.

6. Undang-Undang Perubahan ini juga memberikan kejelasan

tentang adanya dukungan dari Komisi independen, dalam hal

ini Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) guna

peningkatan efektivitas pengawasan penyelanggaran

perlindungan anak.

7. Undang-Undang Perubahan ini memberikan kejelasan terkait

dengan dukungan pendanaan untuk penyelenggaraan

perlindungan anak baik ditingkat pusat maupun daerah,

termasuk optimalisasi dari unit-unit pelayanan tekhnis yang ada

didaerah, yang selama ini keberadaannya sangat membantu

penyelengaraan perlindungan anak.

8. Undang-Undang Perubahan ini juga memberikan peluang yang

lebih besar terkait pengaturan yang sifatnya teknis dan

operasional untuk perlindungan anak, baik melalui pengaturan

dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan

Keputusan Presiden.

9. Undang-Undang Perubahan ini juga mempertegas adanya

sanksi pemberatan kejahatan terhadap anak baik sanksi pidan

dan denda, dan mempertegas tambahan pidana apabila


74

pelakunya adalah orang-orang terdekat. Disisi lain kemajuan

dari Undang-Undang Perubahan ini juga mengatur tentang

pemberian restitusi bagi anak korban kejahatan yang

sebelumnya belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.6

Dalam pembahasan mengenai RancanganUndang-Undang (RUU)

tentang perubahan atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan anak maka ada 47 orang, keanggotaan Komisi VIII DPR RI

dalam pembahasan RUU tentang perubahan atas UU Perlindungan anak

tersebut, sebagaimana dengan rincian : F. PD 13 orang, F. PG 11 orang, F.

PDIP 7 orang, F. PKS 5 orang, F. PAN 3 orang, F.PP 2 orang, F.KB 3

orang, F. Gerindra 2 orang serta F. Hanura 1 orang.7

Perubahan pasal lebih dari 50% dalam Undang-Undang No. 23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perubahan pasal meliputi

ketentuan yang mengatur pelaksanaan, pengorganisasian serta

pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak, yang terinci didalam:

ketentuan umum hak anak, kewajiban dan tanggungjawab, kedudukan

anak, kuasa asuh, perwalian, pengasuhan dan pengangkatan, perlindungan,

kelembagaan, pendanaan, peran serta masyarakat, larangan serta ketentuan

pidana.8

6
Sambutan Singkat Presiden atas penyelsaian perubahan RUU tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Jakarta; 2014), hal. 2-4
7
Mekanisme Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hal. 1
8
RUU RI tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
(jakarta; 2014), hal. 5-6
75

B. Relevansi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak terhadap Hukum Islam

Pada Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak pasal 1 ayat (1) menyatakan Anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk didalamnya adalah anak yang

masih ada dalam kandungan.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas

baligh. Berikut adalah pendapat dari sebagain ulama madzhab:

1. Menurut ulama Hanafiyah, batas baligh bagi laki-laki adalah

ihtilam (mimpi keluar mani) dan menghamili perempuan.

Sedangkan untuk perempuan ditandai dengan haidh dan hamil.

Apabila tidak dijumpai tanda-tanda tersebut, maka balighnya

diketahui dengan umumnya. Menurut umur baligh bagi laki-

laki adalah 18 tahun dan perempuan 17 tahun.9

2. Menurut ulama Malikiyah, batas baligh bagi laki-laki adalah

keluar mani secara mutlak, baik dalam keadaan terjaga maupun

dalam mimpi. Dan perempuan adalah haidh dan hamil.

3. Menurut ulama Syafi’iyyah, batasan baligh bagi laki-laki

maupun perempuan dengan sempurnanya usia 15 tahun dan

keluar mani, apabila keluar mani sebelum usia itu maka mani

yang keluar itu adalah yang keluar itu adalah penyakit bukan

9
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahib Al-Arbaah, (Al-Maktabah Al-Tijariyah
Al-Kubra, Beirut, 1972), hal. 350
76

dari baligh, maka tidak dianggap baligh. Dan haidh bagi

perempuan dimungkinkan mencapai umur 9 tahun.

4. Menurut ulama Hanabilah, batas baligh bagi laki-laki maupun

perempuan ada tiga hal yaitu:

a. Keluar mani dalam keadaan terjaga ataupun belum mimpi,

dengan bersetubuh

b. Mencapai usia genap 15 tahun

Bagi perempuan ditambahkan dengan adanya tanda haidh dan

hamil. Dan bagi banci (khuntsa) diberi batasan usia 15 tahun.

Hukum Islam sudah mempunyai tujuan dalam menjaga hak-hak

seorang manusia termasuk didalamnya hak-hak anak yang termuat dalam

Maqashid al-syariah. Ibn Taimiyyah menetapkan dhaririyah menjadi

hukum Islam pertama yang memperluas gagasan maqashid syari’ah

menjadi lima aspek pokok.

a) Pemeliharaan atas hak beragama (hifzul dien)

b) Pemeliharaan atas jiwa (hifzun nafs)

c) Pemeliharaan atas akal (hifzul aql)

d) Pemeliharaan atas harta ( hifzul mal)

e) Pemeliharaan atas keturunan/ nasab (hifzul nasl) dan

kehormatan (hifzul „ird)

Hak yang paling penting bagi manusia adalah hak untuk hidup
yang mana termuat dalam maqasid al-sayari’ah yakni pemeliharaan atas
jiwa, itulah mengapa sebabnya tidak boleh membunuh orang lain, Al-
quran menyebutkan:
77

ْ ِ‫اَّللُ إِال ب‬
‫اْلَ ِّق‬ َّ ‫س الَِِّت َحَّرَم‬
َ ‫َوال تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar...”
(QS. An’am: 151)
ٍ ‫وال تَ ْقتُلُوا أَوال َد ُكم خ ْشيةَ إِم‬
‫الق ََْن ُن نَْرُزقُ ُه ْم َوإِيَّا ُك ْم إِ َّن قَ ْت لَ ُه ْم‬ ْ َ َ ْ ْ َ
‫َكا َن ِخطْئًا َكبِ ًريا‬
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena
takut kemiskinan. Kami lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan
juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang
besar”. (QS: al-Isra’: 31)

Dari kedua ayat di atas bahwa setiap anak berhak untuk hidup,

tanpa terkecuali anak hasil perkawinan tidak sah, perkawinan difasakh

atau lainnya.10

Allah menyertai lahirnya seorang makhluk itu dengan memberikan

rezekinya yang berarti Allah tidak melepaskan perhatian kepada siapapun

walaupun makhluk yang melata.11

Menurut penulis manusia wajib bertanggung jawab dalam arti

berfikir, berusaha, bekerja dan tolong menolong, sehingga apabila ada

seorang muslim yang kelaparan maka didalam hukum Islam tanggung

jawabnya adalah ada dipundak seluruh masyarakat, oleh karena itu

banyaknya fenomena yang terjadi ditengah masyarakat kita sekarang ini,

orang tua yang menganiayaya bahkan membunuh anak kandungnya

10
Muhammad Zaki, perlindungan Anak dalam Persepektif Islam, jurnal di akses pada 17
April 2017 jam 13.45 WIB, M Zaki - 2014 - ejournalv3.radenintan.ac.id, hlm.6
11
Masyrofah, Status Anak dalam Persepektif Hukum Islam, Ahkam Jurnal Ilmu Syariah,
(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Vol. XI No. 1 Januari 2011), h.
122
78

sendiri dikarenakan masalah ekonomi yang rendah, pendapat yang tidak

seimbang dengan pengeluaran dalam rumah tangga.

Perlindungan anak menurut Undang-Undang No 35 tahun 2014

pasal 1 ayat (2) ialah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.

kewajiban dan tanggung jawab orang tua dan keluarga, pada pasal

26 ayat (1) orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak

b) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,

bakat, dan minatnya

c) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, dan

d) Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi

pekerti pada anak.

Jadi perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya

perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak serta

berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.

Penulis berpandangan bahwa seorang anak dibawah umur yang

dipaksa untuk menikah dini oleh orang tuanya tanpa persetujuan sang anak

maka itu merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi anak serta

tidak ada upaya perlindungan untuk kebebasan memilih bagi anak, karena
79

pada usia yang dini tersebut anak mempunyai hak untuk bermain dengan

teman-teman sebayanya serta hak untuk mendapatkan pendidikan.

Anak ialah seorang anak, bukan seorang yang sudah dewasa tapi

berbadan kecil, yang mana menurut hukum alam usia anak ialah usia

untuk bermain bersama teman-teman sebayanya yang penting orang tua

agar lebih memperhatikan anak-anaknya kepermainan yang positif.

Rasullah SAW telah memberikan contoh yang indah dalam hal ini

diriwayatkan, pada suatu hari Nabi memimpin sembahyang berjamaah.

Waktu itu datanglah Hasan dan Husain, cucu-cucu beliau. Sewaktu itu

Nabi sedang sujud, keduanya menaiki punggung beliau, dan Nabi

memperpanjang sujud sampai kedua cucu tersebut turun dari punggung

beliau. Setelah selesai sembahyang para sahabat bertanya kenapa beliau

melakukan salah satu sujudnya lama sekali. Nabi menjawab: “Kedua cucu

saya naik kepunggung saya dan saya tidak tega menyuruh mereka

turun”.12

Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak menyatakan: Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga, dan

Orang Tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada

anak untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan yang dimaksudkan,

diarahkan untuk: (a) pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian

anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi yang

12
HM. Budiyanto, Hak-Hak Anak dalam Persepektif Islam, HM Budiyanto - Raheema,
2014 - jurnaliainpontianak.or.id, Jurnal diakses Pada 29 April 2017
80

optimal; (b) pengembangan, penghormatan terhadap hak asasi manusia;

(c) pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya,

bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di tempat anak itu

tinggal dan asal mula anak itu berasal dan peradaban-peradabannya yang

berbeda dari peradabannya sendiri; (d) persiapan anak untuk kehidupan

yang bertanggung jawab; dan (e) pengembangan rasa hormat dan cinta

terhadap lingkungan.13

Menurut penulis anak yang tidak berpendidikan atau anak yang

putus sekolah akan lebih mudah mengalami eksploitasi maupun

diskrminasi, jadi pendidikan sangat dianjurkan bahkan sudah menjadi hak

anak untuk mendapatkannya, baik dari orang tua, pemerintah maupun

negara.

Islam sangat menganjurkan untuk seorang anak mendapatkan

pendidikan yang baik, Umar bin Khattab, kholifah kedua dalam rangkaian

al-Khulafarrassyidin, pernah mengatakan: “Termasuk hak anak yang

menjadi kewajiban orangtua, adalah mengajarnya menulis, memanah, dan

tidak memberinya rizki kecuali yang halal lagi baik.” 14

Allah menyuruh untuk orang tua untuk menjaga dan melindungi

anak-anaknya mereka dari api neraka, Allah berfirman :

13
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, hal. 20
14
HM. Budiyanto, Hak-Hak Anak dalam Persepektif Islam, HM Budiyanto - Raheema,
2014 - jurnaliainpontianak.or.id, di akses 18 April 2017 jam 18.30 WIB
81

‫َّاس‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ا‬‫ه‬ ‫ود‬‫ق‬


ُ‫و‬ ‫ا‬
‫ار‬‫ن‬
َ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫ي‬ِ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آمنوا قُوا أَنْ ُفس ُكم وأَهل‬
ُ َ ُ َ ً ْ َْْ َ َُ َ َ َ
‫اَّللَ َما أ ََمَرُه ْم َويَ ْف َعلُو َن‬
َّ ‫صو َن‬ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫َوا ْْل َج َارةُ َعلَْي َها َمالئ َكةٌ غال ٌظ ش َد ٌاد ال يَ ْع‬
‫َما يُ ْؤَمُرو َن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahrim: 6)

Ayat diatas memerintahkan agar menjaga anak-anaknya dari siksa

api neraka, ini juga berarti mewajibkan untuk orang tua untuk melakukan

pengajaran dan pendidikan terhadap anak-anaknya dengan sebaik-baiknya.

Memberikan pendidikan sangat dianjurkan bahkan diwajibkan untuk orang

tua, bahkan pemerintah sekalipun.

Perintah Allah dalam QS At-Tahrim ini, telah dipertegas lagi oleh

sabda Rasullah SAW, “Muliakanlah anak-anakmu dan baguskanlah

pendidikan mereka”. (HR. Ibnu Majah)15

Berdasarkan hadits ini, pengajaran dan pendidikan merupakan hak-

hak atas anak, karena hakekatnya pendidikan yakni hak anak yang menjadi

kewajibannya orang tuanya, pemerintah serta negara.

Isyarat perlindungan anak yang dikehendaki Allah SWT tertuang

dalam firman-NYA sebagai berikut:

15
HM. Budiyanto, Hak-Hak Anak dalam Persepektif Islam, HM Budiyanto - Raheema,
2014 - jurnaliainpontianak.or.id, di akses 18 April 2017 jam 18.30 WIB
82

‫َّلل ُش َه َداءَ بِالْ ِق ْس ِط َوال ََْي ِرَمنَّ ُك ْم َشنَآ ُن‬


َِِّ ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آمنوا ُكونُوا قَ َّو ِامني‬
َ َُ َ َ َ
‫اَّللَ َخبِريٌ ِِبَا‬ َّ ‫ب لِلتَّ ْق َوى َواتَّ ُقوا‬
َّ ‫اَّللَ إِ َّن‬ ِ ِ ٍ
ُ ‫قَ ْوم َعلَى أَال تَ ْعدلُوا ْاعدلُوا ُه َو أَقْ َر‬
‫تَ ْع َملُو َن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Maidah;8)
Ayat diatas turun berawal dari peristiwa menimpa Nu’man bin

Basyir. Pada suatu ketika Nu’man bin Basyir mendapat sesuatu pemberian

dari ayahnya, kemudian Umi Urata binti Rawhah berkata “aku tidak akan

ridha sampai peristiwa ini disaksikan oleh Rasullah.”

Persoalan itu kemudian dibawa kehadapan Rasullah SAW, Untuk

disaksikan oleh Rasullah. Rasul kemudian berkata “apakah semua anakmu

mendapat pemberian yang sama?’ jawab ayah Nu’man “tidak”. Rasul

berkata lagi “takutlah engkau kepada Allah dan berbuat adillah engkau

kepada anak-anakmu”. Sebagian perawi menyebutkan,” sesungguhnya aku

tidak mau menjadi saksi dalam kecurangan.” Mendengar jawaban itu

lantas ayah Nu’man pergi dan membatalkan pemberian kepada Nu’man.

(HR. Bukhari Muslim)


83

Esensi dari ayat diatas adalah semangat menegakkan keadilan dan

perlindungan terhadap anak. Islam memiliki standar yang mutlak dengan

penggabungan norma dasar ilahi dengan prinsip dasar insani.16

Dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak, diatur perihal kewajiban dan tanggung jawab

pemerintah, pemerintah daerah dan lembaga negara lainnya, untuk

memberikan perlindungan khusus kepada, anak yang dieksploitasi secara

ekonomi dan/atau seksual, anak menjadi korban pornografi serta anak

korban kejahatan seksual.

Hukum Islam sudah mempunyai tujuan dalam menjaga hak-hak

seorang manusia termasuk didalamnya hak-hak anak yang termuat dalam

Maqashid al-syariah. Dalam pemeliharaan atas agama, jiwa, akal,

keturunan serta kehormatan, maka dalam Islam perlu adanya pendidikan

seks pada anak. Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, pendidikan seks

adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-

masalah seksual yang diberikan kepada anak sejak ia mengerti masalah-

masalah yang berkenaan dengan dengan seks, naluri dan perkawinan.

Pokok-pokok pendidikan seks dalam Islam yang perlu diterapkan dan

diajarkan kepada anak yakni:

1) Menanamkan rasa malu pada anak

Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Orang tua

selalu mengajarkan agar berpakaian yang rapi dan sopan

16
Taufik Hidayat, https://bangopick.wordpress.com/, Perlindungan Anak dalam Konsep
Islam, 2015, diakses 13 April 2017 jam 15.40
84

kepada anak-anaknya serta tidak melepas pakaian ditempat

umum hendaknya di kamar mandi, khusus kepada anak

perempuan untuk diajarkan menutup auratnya dengan

menggunakan jilbab.

Artinya: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak


perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
pengampun lagi Maha penyayang”. (Qs. Al-Ahzab: 59)

2) Memisahkan tempat tidur anak-anak

Pemisahan tempat tidur anak-anak merupakan cara untuk

menanamkan kesadaran pada anak tentang dirinya dan

perbedaan jenis kelamin. Pemisahan tempat tidur juga

dilakukan terhadap anak dengan kakak atau adik

perempuannya pada umur 10 tahun.

3) Mengajarkan anak-anak meminta izin ketika memasuki kamar

orang tunya.

Mengajarkan anak-anak untuk mengetuk pintu kamar serta

meminta izin untuk memasuki kamar orang tuanya terutama

dalam tiga waktu, sesuai firman Allah SWT dalam surah An-

Nuur ayat 58-59

4) Mengajarkan pendidikan seks sejak dini

Ubah cara berpikir anak-anak bahwa makna pendidikan seks

itu sangat luas, tidak hanya berkisar masalah jenis kelamin dan
85

hubungan seksual, akan tetapi didalamnya ada perkembangan

manusia, hubungan antar manusia, perilaku seksual, dan lain-

lain.

Pengajaran seks sejak dini agar anak mengetahui informasi seksual

serta memiliki kesadaran akan pentingnya memahami masalah seksualnya,

agar terhindar dari kejahatn seksual yang melanggar hak-hak anak lainnya.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah seluruh penjelasan tentang politik hukum Islam perlindungan anak ini

di paparkan oleh penulis maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Perlindungan yang diberikan negara, pemerintah, pemerintah daerah,

masyarakat, keluarga serta orangtua kepada anak meliputi berbagai aspek

ekonomi, sosial budaya maupun aspek hukum.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih

belum dapat memberikan jaminan perlindungan hukum kepada anak

terutama masalah pelanggaran terhadap hak-hak anak, sehingga perlu

diadakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak dalam bentuk perubahan sehingga nantinya lebih

mampu menjawab berbagai kompleksitas masalah dalam penyelenggraan

perlindungan anak, juga untuk melengkapi berbagai kekurangan yang ada

dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002.

2. Nilai-nilai yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak dengan hukum Islam sama-sama sangat

memperhatikan perlindungan anak. Hukum Islam sangat memperhatikan

perlindungan anak sejak didalam kandungan, khususnya perlu ditekankan

hukum Islam sangat mengatur terhadap hak-hak anak serta kewajiban

orangtua dan didalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak ditekankan pentingnya peran negara, pemerintah,

84
85

pemerintah daerah, masyarakat, keluarga serta orang tua terhadap

perlindungan anak. Jadi relevansi Hukum Islam dan Undang-Undang No.

35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sangat berhubungan.

B. Saran-Saran

Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak yang menjadi hukum positif,

serta dapat dipertanggungjawabkan, serta dapat bermanfaat, maka ada beberapa saran

yang ingin penulis ungkapkan yang kiranya dapat diperhatikan dan dilaksanakan

bersama mengingat situasi dan kondisi yang ada pada saat ini. yaitu beberapa saran

sebagai berikut:

1. Perlu dipahami dan disebarluaskan pengertian dan pemikiran-pemikiran mengenai

hak-hak dan kewajiban, kepentingan umum dan pemikiran-pemikiran lain yang

positif yang berhubungan dengan penyelenggaraaan perlindungan anak melalui

sosialisasi kemasyarakatan yang bisa berupa pengajian atau apapun.

2. Kepada seluruh masyarakat khususnya orang tua perlu adanya peningkatan

pemahaman dan kesadaran akan hak-hak anakdan perlindungan anak.

3. Perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat luas tentang Undang-Undang No. 35

Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta skibat hukumannya atau sanksinya,

yang bertujuan untuk melindungi anak yang dapat disebarkan melalui sosialisasi

ke sekolah-sekolah ataupun di kampus-kampus.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

Ahmadi Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelian Hukum, (Jakarta,
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010)

Al Barry Zakariya Ahmad, Hukum Anak dalam Islam, (Jakarta; Bulan Bintang,
t.t)

Al-Fattah, Pengertian Politik Menurut Para Ahli, Artikel di akses pada 14 April
2017,https://www.academia.edu/4732686/Pengertian_Politik_Menurut_
Para_Ahli_Definisi

Al-Jaziri Abdurrahman , Al-Fiqh Ala Mazahib Al-Arbaah, (Al-Maktabah Al-


Tijariyah Al-Kubra, Beirut, 1972)

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (jakarta, PT


raja Grafindo Persada, 2004)

Aqsa Alghiffari dan Muhammad Isnur, Mengawal Perlindungan Anak


Berhadapan dengan Hukum Pendidikan dan Laporan Monitoring
Paralegal LBH Jakarta untuk Anak Berhadapan dengan Hukum,
(Jakarta; Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 2012)

Burhan, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005)

Burhanudin, Politik Hukum di Indonesia, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,


Fakultas Syariah dan Hukum, 2015)

Chtiyanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia,” dalam


Juhaya S.Praja, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembenmtukan. (Bandung:P.T. Remaja Rosdakarya, 1991)

Dahlan Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta; PT. Ihtiar Baru Van
Hoeven, 2001) ,cet ke-5

Dewi VienaMerlya, Sosialisasi UU No. 35 Tahun 2014 (Perubahan atas UU No.


23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Artikel diakses pada 30
Maret 2017 http://www.badankb-psp.com/sosialisasi-undang-undang-
nomor-35-perubahan-atas-undang-undang-nomor-23-tahun-2002-
tentang-perlindungan-anak/,

Dellyana Shanty, Wanita dan Anak di Mata Hukum, (Yogyakarta; Liberty, 2004)

86
87

Djamil M. Nasir, Anak Bukan Untuk diHukum Catatan Pembahasan UU Sistem


Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), cet-2

Eka Tjahjanto,2008, Implementasi peraturan perundang-undangan


ketenagakerjaan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap
eksploitasi anak pekerja anak, Tesis

Endar, Pemerkosaan terhadap Anak menurut Hukum Islam dan UU No. 23 Tahun
2002 (Kajian Putusan No. 174/Pid.B/2008/Pa.Jkt.Sel), (Skripsi
S1Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011)

Farhan, Penelantaran Terhadap Anak (Persepektif Hukum Islam dan UU No. 23


tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Skripsi S1 (Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009)

Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta; Amzah, 2005)

Fitria Amien Indah, Pelanggaran Hak Anak Jalanan Oleh Orangtua dalam
Persepektif Hukum Islam, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010

Gultom Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan


Pidana Anak di Indonesia, (Bandung; Refika Aditama, 2013), revisi ke-3

Hadiwijoyo Suryo Sakti, Pengarusutamaan Hak Anak dalam Anggaran Publik,


(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015)

Halim Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Ciputat Press, 2005)

Hasanuddin, Huzaimah Tahido Yanggo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Ciputat;


UIN Jakarta Press, 2003)

Hidayat Bunadi, Pemidanaan Anak diBawah Umur, (Bandung; P.T. Alumni,


2010)

Hidayat Taufik, https://bangopick.wordpress.com/, Perlindungan Anak dalam


Konsep Islam, 2015

HM. Budiyanto, Hak-Hak Anak dalam Persepektif Islam, HM Budiyanto -


Raheema, 2014 - jurnaliainpontianak.or.id, Jurnal diakses Pada 29
April 2017

Ahmad, Hak-Hak Anak Menurut Isla, http://id.Shvoong.com/humanities/religion-


studies/2170488-hak-anak-menurut-islam/#ixzz1zSXacwv
88

Ibnu Mundhir, Lisan al-Arab, (Beirut; Darum Ma’arif, tt), Jilid 5

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Fiqih Bayi, ( Jakarta; Fikr, 2007)

Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di


Indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008)

Kamsi, Politik Hukum Islam pada Masa Orde Baru, (Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Sunan KaliJaga Yogyakarta, 2015)

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1990; 31)

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta; Balai
Pustaka, 1986)

Kosasih Ahmad, HAM dalam Persepektif Islam, (Jakarta; Salemba Diniyah,


2003), cet ke-2

Laporan Panja Komisi VIII DPR RI mengenai RUU tentang Perubahan atas UU
No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Jakarta; Sekretariatan
Komisi VIII DPR RI, 2014)

Mahfiana Layyin, Perlindungan Hukum terhadap Anak di Era Globalisasi,


(Justtitia Islamica; vol. 10, No 2, Jul-Des 2013)

Manan Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; Raja Grafindo


Persada, 2006)

Mansur Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban


Kejahatan antara Norma dan Realita, (Jakarta; Raja Grafindo Persada,
2007)

Mardani, Hukum Islam Kumpulan Peraturan tentang Hukum Islam di Indonesia,


(Jakarta; Kencana, 2013), Edisi Kedua

Masyrofah, Status Anak dalam Persepektif Hukum Islam, Ahkam Jurnal Ilmu
Syariah, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah, Vol. XI No. 1 Januari 2011)

Maududi Maulana Abdul A’la, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta;
Bumi Aksara, 1995)
MD Moh. Mahfud, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta:
RajaWali pers , 2012), cet ke-3
89

MD Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta; Pustaka LP3ES, 2006),


cet ke-3,

Moleong Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, ( Bandung : PT.Remaja


Rosdakarya,2004), cet.18,Ed. Revisi

Mufidah, dkk, Haruskah Perempuan dan Anak di Korbankan?, (Yogyakarta; Pilar


Media, 2006)

Muliadi Ahmad, Politik Hukum, (Padang; Akademia Permata, 2013)

Muliyawan, Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak Pasca Perubahan


Undang-Undang Perlindungan Anak, Artikel di akses pada Selasa 25
April 2017 , http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/164-
paradigma-baru-hukum-perlindungan-anak-pasca-perubahan-undang-
undang-perlindungan-anak

Mujtahid, Pendidikan Seks Bagi Remaja, (2011), artikel diakses pada 7 Juni
2017,http://www.uinmalang.ac.id/index.php?option=comcontent&view=ar
ticle&id=2477:pendidikan-seks-bagi-remaja&catid=35:artikel
dosen&Itemid=210

Nasution Mirza, Politik Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Medan;


Puspantara, 2015)

Ramulyo M. Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta; Ind-Hillco, 1990),
Ed. Rev

Ridho Rokamah,” Restorative Justice Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana”, Sustitia
Islamica, Vol. 10, No.2, (Jul-Des 2013)

Salam Moch. Faisal, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung,


Mandar Maju, 2005

Sambas Nandang, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen


Internasional Perlindungan Anak serta Penerapannya, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013)

Sambutan Singkat Presiden atas penyelsaian perubahan RUU tentang Perubahan


atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, (Jakarta; 2014)

Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metode Penelitian, (Bandung : Cv. Mandar


Naju, 2011)
90

Sudirman , Mu., Pendidikan Seks Bagi Remaja dalam Perspektif Hukum Islam,
Ash- Shahabah Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, (2015), Jurnal diakses
pada 07 Juni 2017, https://id.scribd.com/doc/277683086/Pendidikan-Seks-
Bagi-Remaja-Dalam-Perspektif-Hukum-Islam

Susanto Muhammad Edy, erlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Anak di Kota


Surakarta, Skripsi 1(Fakultas Syariah dan Hukum, 2014)

Soeaidy Sholeh dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta, Cv.
Novindo Pustaka Mandiri: 2001)

Soemitro Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi


Aksara, 1990)

Soetedjo Wagiati dan Melani, Hukum Pidana Anak, (Bandung; Refika Aditama,
2013), Edisi Revisi

Soetodjo Wagiati, Hukum Pidana Anak, (Bandung; PT Refika Aditama, 2006)

Sofian Ahmad, Perlindungan Anak di Indonesia dilema & solusinya, (Jakarta :


PT.Sofmedia, 2012)

Sri Widoyati Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, (Jakarta; LP3ES, 1983)

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung:


Alfabeta, 2008), Cet.ke-2

Sumiarni Endang dan Chandera Halim, Perlindungan Hukum terhadap Anak


dalam Hukum Keluarga, (Yogyakarta; Universitas Atma Jaya, 1999)

Sumitro Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta; Bumi


Aksara, 1990)

Suyanto Bagong, Masalah Sosial Anak, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group,
2003), cet pertama

Syarif Mujar Ibnu dan Kamarusdiana, Pengantar Ilmu Hukum, (Ciputat; Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2009)

Taufik Muhammad, Pendidikan Seks menurut Perspektif Al-Qur’an,


https://naifu.wordpress.com/2010/08/12/pendidikan-seks-menurut-
perspektif-al-qur%E2%80%99an/, artikel diakses pada 07 Juni 2017

Undang-Undang Perlindungan Anak, Surabaya; Media Centre, 2006

Undang-Undang Peradilan Anak,(Jakarta: Sinar Grafika, 1997)


91

UUD 1945 dan Amandemennya, Surakarta; al-Hikah, t.t

UU No 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun


2002 tentang Perlindungan Anak

Waluyadi, Hukum perlindungan Anak, (Bandung; CV Mandar Maju, 2009)

Zaki Muhammad, perlindungan Anak dalam Persepektif Islam, Jurnal di akses


pada 17 April 2017 jam 13.45 WIB, M Zaki - 2014 -
ejournalv3.radenintan.ac.id
-1-

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 35 TAHUN 2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin


kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk
perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak
asasi manusia;
b. bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran
strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib
dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak
manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan
terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian terhadap
beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak;
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat
(2), dan Pasal 28I ayat (2), Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia . . .
-2-
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem


Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-


UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) diubah
sebagai berikut:

1. Ketentuan angka 7, angka 8, angka 12, angka 15, dan


angka 17 diubah, di antara angka 15 dan angka 16
disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 15a, dan
ditambah 1 (satu) angka yakni angka 18, sehingga Pasal
1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
2. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat . . .
-3-
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3. Keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau
suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya,
atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah
dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
dengan derajat ketiga.
4. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung,
atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau
ibu angkat.
5. Wali adalah orang atau badan yang dalam
kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh
sebagai Orang Tua terhadap Anak.
6. Anak Terlantar adalah Anak yang tidak terpenuhi
kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental,
spiritual, maupun sosial.
7. Anak Penyandang Disabilitas adalah Anak yang
memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual,
atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap
masyarakatnya dapat menemui hambatan yang
menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan
efektif berdasarkan kesamaan hak.
8. Anak yang Memiliki Keunggulan adalah Anak yang
mempunyai kecerdasan luar biasa atau memiliki
potensi dan/atau bakat istimewa tidak terbatas
pada kemampuan intelektual, tetapi juga pada
bidang lain.
9. Anak Angkat adalah Anak yang haknya dialihkan
dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua,
Wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan Anak tersebut ke dalam lingkungan
Keluarga Orang Tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan.
10. Anak Asuh adalah Anak yang diasuh oleh
seseorang atau lembaga untuk diberikan
bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan,
dan kesehatan karena Orang Tuanya atau salah

Satu . . .
-4-
satu Orang Tuanya tidak mampu menjamin
tumbuh kembang Anak secara wajar.
11. Kuasa Asuh adalah kekuasaan Orang Tua untuk
mengasuh, mendidik, memelihara, membina,
melindungi, dan menumbuhkembangkan Anak
sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai
dengan kemampuan, bakat, serta minatnya.
12. Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia
yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh
Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara,
pemerintah, dan pemerintah daerah.
13. Masyarakat adalah perseorangan, Keluarga,
kelompok, dan organisasi sosial dan/atau
organisasi kemasyarakatan.
14. Pendamping adalah pekerja sosial yang
mempunyai kompetensi profesional dalam
bidangnya.
15. Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk
perlindungan yang diterima oleh Anak dalam
situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan
jaminan rasa aman terhadap ancaman yang
membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh
kembangnya.
15a. Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum.
16. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau
korporasi.
17. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
18. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, dan
walikota serta perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan.

2. Ketentuan . . .
-5-
2. Ketentuan Pasal 6 diubah dan penjelasan Pasal 6
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6
Setiap Anak berhak untuk beribadah menurut
agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan Orang
Tua atau Wali

3. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di antara


ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat
(1a) sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9
(1) Setiap Anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakat.

(1a) Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan


di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan
Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau
pihak lain.

(2) Selain mendapatkan Hak Anak sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), Anak
Penyandang Disabilitas berhak memperoleh
pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki
keunggulan berhak mendapatkan pendidikan
khusus.

4. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 12
Setiap Anak Penyandang Disabilitas berhak
memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

5. Ketentuan Pasal 14 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat


(2) dan penjelasan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14 ….….
-6-
Pasal 14
(1) Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang
Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau
aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik
bagi Anak dan merupakan pertimbangan
terakhir.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:
a. bertemu langsung dan berhubungan pribadi
secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;
b. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan,
pendidikan dan perlindungan untuk proses
tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya
sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya;
c. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua
Orang Tuanya; dan
d. memperoleh Hak Anak lainnya.

6. Ketentuan Pasal 15 ditambah 1 (satu) huruf, yakni


huruf f, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15
Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan
dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
Kekerasan;
e. pelibatan dalam peperangan; dan
f. kejahatan seksual.
7. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat,
Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
Perlindungan Anak

8. Ketentuan . . .
-7-
8. Ketentuan mengenai judul Bagian Kedua pada BAB IV
diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kedua
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah
9. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
(1) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah
berkewajiban dan bertanggung jawab
menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status
hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik
dan/atau mental.
(2) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara
berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan
menghormati Hak Anak.
(3) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab dalam
merumuskan dan melaksanakan kebijakan di
bidang penyelenggaraan Perlindungan Anak.
(4) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak dan
melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Pemerintah Daerah berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan
mendukung kebijakan nasional dalam
penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah.
(5) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat diwujudkan melalui upaya daerah
membangun kabupaten/kota layak Anak.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan


kabupaten/kota layak Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan
Presiden.
10. Ketentuan Pasal 22 diubah dan penjelasan Pasal 22
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22 . . .
-8-

Pasal 22
Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah
berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan
dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber
daya manusia dalam penyelenggaraan Perlindungan
Anak.
11. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
(1) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah
menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan
kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hak
dan kewajiban Orang Tua, Wali, atau orang lain
yang secara hukum bertanggung jawab terhadap
Anak.
(2) Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah
mengawasi penyelenggaraan Perlindungan Anak.
12. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 24
Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin
Anak untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan
tingkat kecerdasan Anak.
13. Ketentuan Pasal 25 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat
(2), sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Kewajiban dan tanggung jawab Masyarakat
terhadap Perlindungan Anak dilaksanakan
melalui kegiatan peran Masyarakat dalam
penyelenggaraan Perlindungan Anak.
(2) Kewajiban dan tanggung jawab Masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan melibatkan organisasi
kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati Anak.
14. Ketentuan mengenai judul Bagian Keempat pada BAB IV
diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keempat ... .


.
-9-
Bagian Keempat
Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua dan Keluarga
15. Ketentuan ayat (1) Pasal 26 ditambah 1 (satu) huruf,
yakni huruf d dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 26
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan
melindungi Anak;
b. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia
Anak; dan
d. memberikan pendidikan karakter dan
penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

(2) Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak


diketahui keberadaannya, atau karena suatu
sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
beralih kepada Keluarga, yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

16. Ketentuan ayat (4) Pasal 27 diubah, sehingga Pasal 27


berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak
kelahirannya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat
keterangan dari orang yang menyaksikan
dan/atau membantu proses kelahiran.
(4) Dalam hal Anak yang proses kelahirannya tidak
diketahui dan Orang Tuanya tidak diketahui
keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk
Anak tersebut didasarkan pada keterangan orang

yang ……….
- 10 -
yang menemukannya dan dilengkapi berita acara
pemeriksaan kepolisian.
17. Ketentuan Pasal 28 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
(1) Pembuatan akta kelahiran dilakukan oleh
instansi yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang administrasi
kependudukan.
(2) Pencatatan kelahiran diselenggarakan paling
rendah pada tingkat kelurahan/desa.
(3) Akta kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai biaya.
(5) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat
pembuatan akta kelahiran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
18. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal
33 diubah sehingga Pasal 33 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
(1) Dalam hal Orang Tua dan Keluarga Anak tidak
dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,
seseorang atau badan hukum yang memenuhi
persyaratan dapat ditunjuk sebagai Wali dari
Anak yang bersangkutan.
(2) Untuk menjadi Wali dari Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
penetapan pengadilan.
(3) Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus memiliki kesamaan dengan agama
yang dianut Anak.
(4) Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bertanggung jawab terhadap diri Anak dan wajib
mengelola harta milik Anak yang bersangkutan
untuk . . .
- 11 -
untuk kepentingan terbaik bagi Anak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata
cara penunjukan Wali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
19. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38A
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
pengasuhan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 dan Pasal 38 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

20. Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) diubah, di
antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (2a), dan di antara ayat (4) dan ayat (5)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a), sehingga Pasal
39 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 39
(1) Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan yang terbaik bagi Anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah
antara Anak yang diangkat dan Orang Tua
kandungnya.
(2a) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dicatatkan dalam akta kelahiran,
dengan tidak menghilangkan identitas awal Anak.
(3) Calon Orang Tua angkat harus seagama dengan
agama yang dianut oleh calon Anak Angkat.
(4) Pengangkatan Anak oleh warga negara asing
hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
(4a) Dalam hal Anak tidak diketahui asal usulnya,
orang yang akan mengangkat Anak tersebut
harus menyertakan identitas Anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4).
(5) Dalam hal asal usul Anak tidak diketahui, agama

Anak… . . .
- 12 -
Anak disesuaikan dengan agama mayoritas
penduduk setempat.
21. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat
melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengangkatan Anak.
22. Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 41A, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41A
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaaan
pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
23. Ketentuan ayat (1) Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
(1) Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Masyarakat, Keluarga, Orang Tua, Wali, dan
lembaga sosial menjamin Perlindungan Anak
dalam memeluk agamanya.
(2) Perlindungan Anak dalam memeluk agamanya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan
ajaran agama bagi Anak.
24. Ketentuan Pasal 44 diubah, sehingga Pasal 44 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 44
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan
upaya kesehatan yang komprehensif bagi Anak
agar setiap Anak memperoleh derajat kesehatan
yang optimal sejak dalam kandungan.
(2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya
kesehatan secara komprehensif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didukung oleh peran
serta Masyarakat.

(3) Upaya . . .
- 13 -
(3) Upaya kesehatan yang komprehensif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan
dasar maupun rujukan.
(4) Upaya kesehatan yang komprehensif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan secara cuma-cuma bagi Keluarga
yang tidak mampu.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) disesuaikan
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
25. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 45 diubah,
sehingga Pasal 45 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45
(1) Orang Tua dan Keluarga bertanggung jawab
menjaga kesehatan Anak dan merawat Anak sejak
dalam kandungan.
(2) Dalam hal Orang Tua dan Keluarga yang tidak
mampu melaksanakan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib memenuhinya.

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

26. Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 2 (dua) pasal,


yakni Pasal 45A dan Pasal 45B sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 45A
Setiap Orang dilarang melakukan aborsi terhadap Anak
yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan
dan tata cara yang dibenarkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45B
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan
Orang Tua wajib melindungi Anak dari perbuatan
yang mengganggu kesehatan dan tumbuh

(kembang . . .
- 14 -
kembang Anak.

(2) Dalam menjalankan kewajibannya sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua harus
melakukan aktivitas yang melindungi Anak.

27. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 46
Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga, dan
Orang Tua wajib mengusahakan agar Anak yang lahir
terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan
hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.

28. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 47
(1) Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua wajib
melindungi Anak dari upaya transplantasi organ
tubuhnya untuk pihak lain.

(2) Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah,


Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua wajib
melindungi Anak dari perbuatan:
a. pengambilan organ tubuh Anak dan/atau
jaringan tubuh Anak tanpa memperhatikan
kesehatan Anak;
b. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh Anak;
dan
c. penelitian kesehatan yang menggunakan
Anak sebagai objek penelitian tanpa seizin
Orang Tua dan tidak mengutamakan
kepentingan yang terbaik bagi Anak.

29. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 48
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9
(sembilan) tahun untuk semua Anak.

30. Ketentuan . . .
- 15 -
30. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga, dan
Orang Tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada Anak untuk memperoleh pendidikan.

31. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 51
Anak Penyandang Disabilitas diberikan kesempatan
dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan
inklusif dan/atau pendidikan khusus.

32. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 53
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab untuk memberikan biaya pendidikan
dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan
khusus bagi Anak dari Keluarga kurang mampu,
Anak Terlantar, dan Anak yang bertempat tinggal
di daerah terpencil.

(2) Pertanggungjawaban Pemerintah dan Pemerintah


Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk pula mendorong Masyarakat untuk
berperan aktif.

33. Ketentuan Pasal 54 diubah dan ditambah penjelasan


ayat (1) sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 54
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan
pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari
tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual,
dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta
didik, dan/atau pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan,
aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
34. Ketentuan Pasal 55 diubah, sehingga Pasal 55 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 55 . . .
- 16 -
Pasal 55
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyelenggarakan pemeliharaan, perawatan, dan
rehabilitasi sosial Anak terlantar, baik di dalam
lembaga maupun di luar lembaga.
(2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
lembaga masyarakat.
(3) Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan
perawatan Anak terlantar, lembaga pemerintah
dan lembaga masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat mengadakan kerja sama
dengan berbagai pihak yang terkait.
(4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan
perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
pengawasannya dilakukan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang sosial.

35. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 56
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan
wajib mengupayakan dan membantu Anak, agar
Anak dapat:
a. berpartisipasi;
b. bebas menyatakan pendapat dan berpikir
sesuai dengan hati nurani dan agamanya;
c. bebas menerima informasi lisan atau tertulis
sesuai dengan tahapan usia dan
perkembangan Anak;
d. bebas berserikat dan berkumpul;
e. bebas beristirahat, bermain, berekreasi,
berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan
f. memperoleh sarana bermain yang memenuhi
syarat kesehatan dan keselamatan.

(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dikembangkan dan disesuaikan dengan usia

Anak . . .
- 17 -
Anak, tingkat kemampuan Anak, dan
lingkungannya agar tidak menghambat dan
mengganggu perkembangan Anak.

36. Ketentuan ayat (2) Pasal 58 diubah sehingga Pasal 58


berbunyi sebagai berikut:
Pasal 58
(1) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat
penampungan, pemeliharaan, dan perawatan
Anak Terlantar yang bersangkutan.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau lembaga


yang diberi wewenang wajib menyediakan tempat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

37. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 59
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga
negara lainnya berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus
kepada Anak.

(2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya;
f. Anak yang menjadi korban pornografi;
g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan,
dan/atau perdagangan;
i. Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual;
k. Anak korban jaringan terorisme;

l. Anak . . .
- 18 -
l. Anak Penyandang Disabilitas;
m. Anak korban perlakuan salah dan
penelantaran;
n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang;
dan
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari
pelabelan terkait dengan kondisi Orang
Tuanya.
38. Di antara Pasal 59 dan Pasal 60 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 59A sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59A
Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui
upaya:
a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan
dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial,
serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan
lainnya;
b. pendampingan psikososial pada saat pengobatan
sampai pemulihan;
c. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal
dari Keluarga tidak mampu; dan
d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada
setiap proses peradilan.
39. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. Anak yang menjadi pengungsi;
b. Anak korban kerusuhan;
c. Anak korban bencana alam; dan
d. Anak dalam situasi konflik bersenjata.

40. Ketentuan Pasal 63 dihapus.


41. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 64 . . .
- 19 -
Pasal 64
Perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan
dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (2) huruf b dilakukan melalui:
a. perlakuan secara manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya;
b. pemisahan dari orang dewasa;
c. pemberian bantuan hukum dan bantuan lain
secara efektif;
d. pemberlakuan kegiatan rekreasional;
e. pembebasan dari penyiksaan, penghukuman,
atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi
serta merendahkan martabat dan derajatnya;
f. penghindaran dari penjatuhan pidana mati
dan/atau pidana seumur hidup;
g. penghindaran dari penangkapan, penahanan
atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan
dalam waktu yang paling singkat;
h. pemberian keadilan di muka pengadilan Anak
yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang
yang tertutup untuk umum;
i. penghindaran dari publikasi atas identitasnya.
j. pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan
orang yang dipercaya oleh Anak;
k. pemberian advokasi sosial;
l. pemberian kehidupan pribadi;
m. pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak
Penyandang Disabilitas;
n. pemberian pendidikan;
o. pemberian pelayanan kesehatan; dan
p. pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
42. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 65
Perlindungan Khusus bagi Anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2) huruf c dilakukan melalui penyediaan
prasarana dan sarana untuk dapat menikmati
budayanya . . .
- 20 -
budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan
ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya
sendiri.
43. Ketentuan Pasal 66 diubah dan ditambah penjelasan
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 66
Perlindungan Khusus bagi Anak yang dieksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan
melalui:
a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan Perlindungan Anak yang dieksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual;
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja,
lembaga swadaya masyarakat, dan Masyarakat
dalam penghapusan eksploitasi terhadap Anak
secara ekonomi dan/atau seksual.

44. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 67
Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 ayat (2) huruf e dan Anak yang terlibat dalam
produksi dan distribusinya dilakukan melalui upaya
pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi.

45. Di antara Pasal 67 dan Pasal 68 disisipkan 3 (tiga) pasal,


yakni Pasal 67A, Pasal 67B, dan Pasal 67C sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 67A
Setiap Orang wajib melindungi Anak dari pengaruh
pornografi dan mencegah akses Anak terhadap
informasi yang mengandung unsur pornografi.

Pasal 67B
(1) Perlindungan Khusus bagi Anak yang menjadi
korban pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2) huruf f dilaksanakan melalui

upaya . . .
- 21 -
upaya pembinaan, pendampingan, serta
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental.
(2) Pembinaan, pendampingan, serta pemulihan
sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 67C
Perlindungan Khusus bagi Anak dengan HIV/AIDS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf g
dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan,
pengobatan, perawatan, dan rehabilitasi.
46. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 68
Perlindungan Khusus bagi Anak korban penculikan,
penjualan, dan/atau perdagangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat 2 huruf h dilakukan
melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi.
47. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 69
Perlindungan Khusus bagi Anak korban Kekerasan fisik
dan/atau psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (2) huruf i dilakukan melalui upaya:
a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang melindungi
Anak korban tindak Kekerasan; dan
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

48. Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 2 (dua) pasal,


yakni Pasal 69A dan Pasal 69B sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 69A
Perlindungan Khusus bagi Anak korban kejahatan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2)
huruf j dilakukan melalui upaya:
a. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai
agama, dan nilai kesusilaan;
b. rehabilitasi sosial;
c. pendampingan . .
.
- 22 -
c. pendampingan psikososial pada saat pengobatan
sampai pemulihan; dan
d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada
setiap tingkat pemeriksaan mulai dari
penyidikan, penuntutan, sampai dengan
pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pasal 69B
Perlindungan Khusus bagi Anak korban jaringan
terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(2) huruf k dilakukan melalui upaya:
a. edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai
nasionalisme;
b. konseling tentang bahaya terorisme;
c. rehabilitasi sosial; dan
d. pendampingan sosial.

49. Ketentuan Pasal 70 diubah dan huruf b ditambah


penjelasan sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 70
Perlindungan Khusus bagi Anak Penyandang
Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
2 huruf l dilakukan melalui upaya:
a. perlakuan Anak secara manusiawi sesuai dengan
martabat dan Hak Anak;
b. pemenuhan kebutuhan khusus;
c. perlakuan yang sama dengan Anak lainnya untuk
mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan
pengembangan individu; dan
d. pendampingan sosial.

50. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 71
Perlindungan Khusus bagi Anak korban perlakuan
salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2) huruf m dilakukan melalui upaya
pengawasan, pencegahan, perawatan, konseling,
rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial.

51 Di antara . . .
- 23 -
51. Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 4 (empat)
pasal, yakni Pasal 71A, Pasal 71B, Pasal 71C, dan Pasal
71D sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 71A
Perlindungan Khusus bagi Anak dengan perilaku sosial
menyimpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (2) huruf n dilakukan melalui bimbingan nilai
agama dan nilai sosial, konseling, rehabilitasi sosial,
dan pendampingan sosial.

Pasal 71B
Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi korban
stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi
Orang Tuanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (2) huruf o dilakukan melalui konseling,
rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial.

Pasal 71C
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perlindungan Khusus
bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
sampai dengan Pasal 71B diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 71D
(1) Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf
d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak
mengajukan ke pengadilan berupa hak atas
restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku
kejahatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
52. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab,
yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IXA
PENDANAAN
53. Di antara Pasal 71D dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 71E sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 71E
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab menyediakan dana penyelenggaraan
Perlindungan Anak . . .
- 24 -
Perlindungan Anak.
(2) Pendanaan penyelenggaraan Perlindungan Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber
dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
dan
c. sumber dana lain yang sah dan tidak
mengikat.
(3) Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
54. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 72
(1) Masyarakat berperan serta dalam Perlindungan
Anak, baik secara perseorangan maupun
kelompok.
(2) Peran Masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan,
lembaga perlindungan anak, lembaga
kesejahteraan sosial, organisasi
kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media
massa, dan dunia usaha.
(3) Peran Masyarakat dalam penyelenggaran
Perlindungan Anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. memberikan informasi melalui sosialisasi dan
edukasi mengenai Hak Anak dan peraturan
perundang-undangan tentang Anak;
b. memberikan masukan dalam perumusan
kebijakan yang terkait Perlindungan Anak;
c. melaporkan kepada pihak berwenang jika
terjadi pelanggaran Hak Anak;
d. berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan
reintegrasi sosial bagi Anak;
e. melakukan pemantauan, pengawasan dan
ikut bertanggungjawab terhadap

penyelenggaraan . . .
- 25 -
penyelenggaraan Perlindungan Anak;
f. menyediakan sarana dan prasarana serta
menciptakan suasana kondusif untuk
tumbuh kembang Anak;
g. berperan aktif dengan menghilangkan
pelabelan negatif terhadap Anak korban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59; dan
h. memberikan ruang kepada Anak untuk dapat
berpartisipasi dan menyampaikan pendapat.

(4) Peran organisasi kemasyarakatan dan lembaga


pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan cara mengambil langkah yang
diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan
kewenangan masing-masing untuk membantu
penyelenggaraan Perlindungan Anak.

(5) Peran media massa sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) dilakukan melalui penyebarluasan
informasi dan materi edukasi yang bermanfaat
dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama,
dan kesehatan Anak dengan memperhatikan
kepentingan terbaik bagi Anak.

(6) Peran dunia usaha sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) dilakukan melalui:
a. kebijakan perusahaan yang berperspektif
Anak;
b. produk yang ditujukan untuk Anak harus
aman bagi Anak;
c. berkontribusi dalam pemenuhan Hak Anak
melalui tanggung jawab sosial perusahaan.

55. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 73
Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
72 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

56. Di antara BAB X dan BAB XI disisipkan 1 (satu) bab,


yakni BAB XA, sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB XA . . .
- 26 -
BAB XA

KOORDINASI, PEMANTAUAN, EVALUASI DAN


PELAPORAN

57. Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 73A sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 73A
(1) Dalam rangka efektivitas penyelenggaraan
Perlindungan Anak, kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang Perlindungan Anak harus melakukan
koordinasi lintas sektoral dengan lembaga terkait.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan penyelenggaraan Perlindungan Anak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
58. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 74
(1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas
pengawasan penyelenggaraan pemenuhan Hak
Anak, dengan Undang-Undang ini dibentuk
Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang
bersifat independen.
(2) Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat
membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah
atau lembaga lainnya yang sejenis untuk
mendukung pengawasan penyelenggaraan
Perlindungan Anak di daerah.
59. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 75
(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1
(satu) orang wakil ketua, dan 7 (tujuh) orang
anggota.

(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud


dalam ayat . . .
- 27 -
dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah,
tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha, dan kelompok
masyarakat yang peduli terhadap Perlindungan
Anak.

(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan


organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan
diatur dengan Peraturan Presiden.

60. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 76
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas:
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
perlindungan dan pemenuhan Hak Anak;
b. memberikan masukan dan usulan dalam
perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan
Perlindungan Anak.
c. mengumpulkan data dan informasi mengenai
Perlindungan Anak;
d. menerima dan melakukan penelaahan atas
pengaduan Masyarakat mengenai pelanggaran Hak
Anak;
e. melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak
Anak;
f. melakukan kerja sama dengan lembaga yang
dibentuk Masyarakat di bidang Perlindungan Anak;
dan
g. memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang
adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-
Undang ini.

61.Di antara. . .
- 28 -
61. Di antara BAB XI dan BAB XII disisipkan 1 (satu) bab,
yakni BAB XIA, sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB XIA

LARANGAN
62. Di antara Pasal 76 dan Pasal 77 disisipkan 10 (sepuluh)
pasal, yakni Pasal 76A, Pasal 76B, Pasal 76C, Pasal 76D,
Pasal 76E, Pasal 76F, Pasal 76G, Pasal 76H, Pasal 76I,
dan Pasal 76J sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 76A
Setiap orang dilarang:
a. memperlakukan Anak secara diskriminatif yang
mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik
materiil maupun moril sehingga menghambat
fungsi sosialnya; atau
b. memperlakukan Anak Penyandang Disabilitas
secara diskriminatif.
Pasal 76B
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi
perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 76C
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan Kekerasan terhadap Anak.
Pasal 76D
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau
ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 76E
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau
ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau
membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul.
Pasal 76F
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan penculikan, penjualan, dan/atau
perdagangan Anak.

Pasal 76G . . .
- 29 -

Pasal 76G
Setiap Orang dilarang menghalang-halangi Anak untuk
menikmati budayanya sendiri, mengakui dan
melaksanakan ajaran agamanya dan/atau
menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan
akses pembangunan Masyarakat dan budaya.
Pasal 76H
Setiap Orang dilarang merekrut atau memperalat Anak
untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan
membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa.
Pasal 76I
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual terhadap Anak.
Pasal 76J
(1) Setiap Orang dilarang dengan sengaja
menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan Anak dalam
penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi
narkotika dan/atau psikotropika.
(2) Setiap Orang dilarang dengan sengaja
menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan Anak dalam
penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi
alkohol dan zat adiktif lainnya.
63. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 77
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76A dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
64. Di antara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 77A dan Pasal 77B sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 77A
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan
aborsi terhadap Anak yang masih dalam
kandungan dengan alasan dan tata cara yang

tidak . . .
- 30 -
tidak dibenarkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45A, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah kejahatan.
Pasal 77B
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

65. Ketentuan Pasal 80 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 80
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua
juta rupiah).

(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

66. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:

Pasal 81 . . .
- 31 -
Pasal 81
(1) Setiap orang yang melangggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang
dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali,
pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga
kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

67. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali,
pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga
kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
68. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 83
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana

penjara . . .
- 32 -
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

69. Di antara Pasal 86 dan Pasal 87 disisipkan 1 (satu)


pasal, yakni Pasal 86A sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 86A
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76G dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

70. Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 87
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76H dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

71. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 88
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).

72. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai


berikut:
Pasal 89
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76J ayat (1),
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana . . .
- 33 -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76J ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah) dan denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
73. Di antara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 91A sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 91A
Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak tetap menjalankan tugas
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA,

ttd.
AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 297

Anda mungkin juga menyukai