Memahami Hakikat Penalaran

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 4

Memahami Hakikat Penalaran

(Sebuah Uraian Filosofis)

Allesandro Pinangkaan, S.Fil

Manusia tidak pernah terlepas dari aktivitas berpikir. Untuk itulah istilah homo sapiens
– manusia yang berpikir – senantiasa melekat padanya. Adapun manusia tidak terbatas pada
kegiatan berpikir saja, melainkan bernalar. Tulisan pendek ini hendak menggali secara amat
umum tentang apa yang dimaksud dengan “menalar”. Dari pertanyaan tersebut, dapat
diuraikan beberapa pemikiran tentang tujuan manusia melakukan kegiatan penalaran, dan
bagaimana kegiatan menalar dikaitkan sebagai unsur esensial dalam ilmu pengetahuan.

1. Menalar: Manusia Berproses dalam Pikiran


Manusia identik dengan berpikir. Jadi kegiatan berpikir merupakan hal yang tak pernah
dapat dipisahkan dari manusia secara hakiki. Menurut Aristoteles, manusia pada hakikatnya
ialah berpikir. Dari situ, terkenal istilah yang menunjuk pada manusia sebagai animal rationale.
Pada zamannya, René Descartes (1596-1650) juga melontarkan sebuah ungkapan terkenal:
Cogito ergo sum: saya berpikir, maka saya ada. Dalam kenyataan sehari-hari sebagai manusia,
setiap orang pun tak lepas dari aktivitas berpikir. Misalnya memikirkan orang tua, memikirkan
tanggung jawab dalam organisasi, memikirkan keluarga, memikirkan cara menghasilkan uang,
dan sebagainya.
Namun kegiatan berpikir dapat dibedakan dengan kegiatan “menalar”. Dua kegiatan ini
sangat khas manusia. Namun letak perbedaannya adalah bahwa berpikir lebih terbatas dari pada
menalar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berpikir diartikan sebagai kegiatan
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu.1 Lebih dalam
dari pada itu, menalar diartikan sebagai aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir
logis.2 Hal ini cukup menonjol dalam terminologi Bahasa Inggris yang menyebut berpikir
sebagai thinking dan menalar sebagai reasoning. Thinking menyiratkan suatu aktivitas akal
budi yang lebih terbatas daripada reasoning. Reasoning menekankan pada kegiatan
menjunjung reason, atau ratio, yang pada dasarnya memerlukan logika yang lurus. Maka,
dapat dikatakan bahwa “menalar” merupakan sebuah aktivitas berpikir yang berproses untuk

1
Departemen Pendidikan Nasional, “Berpikir,” Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa,
Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).
2
Departemen Pendidikan Nasional, “Nalar.” Kamus Besar Bahasa Indonesia.
2

menemukan sebuah kebenaran. Ujung dari sebuah penalaran adalah sebuah penarikan
kesimpulan (inferrens), dalam mana kesimpulan tersebut menjadi sebuah pengetahuan.3
Sebagai sebuah kegiatan berpikir yang memiliki proses kontinu, penalaran memiliki
pola yang analitis dan dikaitkan dengan logika berpikir. Dalam kaitannya dengan hal tersebut,
Aristoteles sudah diklasifikasikan dua jenis penalaran. Pertama, Penalaran deduktif (Lat:
deductio), yang dapat diartikan sebagai sebuah evolusi pemikiran dengan mana manusia
berdasarkan atas hal atau pengertian yang luas sampai kepada kesimpulan yang sempit; dari
pengertian yang sifatnya umum kepada pengertian yang sifatnya partikular; dari yang abstrak
teoretis kepada yang konkret empiris. Kedua, penalaran induktif, yang merupakan proses
evolusi pengetahuan melalui mana manusia mengambil kesimpulan yang bersifat umum
berdasarkan atas hal-hal yang sifatnya khusus, dari partikular kepada yang umum, dari empiris
kepada yang teoretis.4

2. Pengetahuan: Tujuan Penalaran


Akhir dari kegiatan menalar ialah memperoleh pengetahuan. Sebelum diolah dalam
kegiatan penalaran dari manusia, dari manakah pengetahuan itu dapat ditelisik? Jawaban
sederhana atas pertanyaan ini mengacu pada dua aliran besar dalam filsafat: rasionalisme dan
empirisme. Memang pada zamannya pernah terjadi diskusi panjang tentang pertentangan dua
aliran ini dalam Sejarah Filsafat Barat. Ini menyangkut pengetahuan yang menjadi tujuan
penalaran. Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada
rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran
mengembangkan paham yang kemudian disebut sebagai rasionalisme. Salah satu tokoh yang
terkenal adalah Descartes, dengan metode kesangsiannya dan rasionalitas yang
dikonfrontasikan pada fakta. Ada pendapat lain dari mereka yang menyatakan bahwa fakta
yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan
paham empirisme. Salah satu tokoh penting ialah Edmund Husserl (1859-1938) yang terkenal
dengan teori Fenomenologi.5 Diskusi alot yang berujung pada diterima kedua aliran ini tentu
tidak perlu diuraikan terlalu panjang di sini. Yang jelas bahwa dalam perkembangan ilmu

3
Bdk. J.M. Bochenski, “Apakah Sebenarnya Berpikir,” Ilmu dalam Perspektif: Sebuah
Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, diedit oleh Jujun Suriasumantri (Jakarta: Gramedia, 1978),
hlm. 52-54.
4
Bdk. A.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar (Jakarta: Centre for Strategic
and Internasional Studies, 1987), hlm. 83-84.
5
Diskusi terbatas yang lebih mendalam dapat ditelusuri pada Johanis Ohoitimur, Pengantar
Berfilsafat (Jakarta: Yayasan Gapura, 1997), hlm. 71-93.
3

pengetahuan hingga kini, dua jalan tersebut sudah diakui bersama sebagai jalan ilmiah. Sebab,
penalaran merupakan cara berpikir. Oleh karena itu, untuk melakukan kegiatan analisis maka
kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari suatu
sumber kebenaran. Keduanya saling melengkapi. Di sinilah titik pertemuannya.
Penalaran erat kaitannya dengan logika dalam konteks filsafat. Berkenaan dengan
konteks ini, sebagai sebuah kegiatan ilmiah untuk memperoleh pengetahuan, terdapat prinsip-
prinsip yang perlu dipegang dalam hal penalaran. Aristoteles mengungkapkan tiga prinsip ini:
Pertama, Prinsip identitas (principium identitatis). Dalam prinsip ini, sesuatu hal adalah sama
dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, “sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang
dinyatakan itu sendiri, bukan yang lain”. Kedua, Prinsip kontradiksi (Principium
Contradictionis). Prinsip ini menegaskan bahwa sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal
itu dan bukan hal itu pada waktu yang bersamaan, atau sesuatu pernyataan tidak mungkin
mempunyai nilai benar dan tidak benar pada saat yang sama. Ketiga, Prinsip Eksklusi
(Principium Exclusi Tertii). Prinsip ini disebut juga prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip
tidak adanya kemungkinan ketiga. Di sini ditegaskan bahwa jika sesuatu dinyatakan sebagai
hal tertentu atau bukan hal tertentu, maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan
tengah. Dengan kata lain, “sesuatu x mestilah p atau non p, tidak ada kemungkinan ketiga”.
Arti dari prinsip ini ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak
mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang dapat
dimilikinya. Di samping ketiga prinsip Aristoteles tersebut, G. Leibniz (1646-1716),
menambah satu prinsip lain yang melengkapi prinsip identitas, yaitu prinsip cukup alasan
(Principium Rationis Sufficientis). Menurut prinsip ini, suatu perubahan yang terjadi pada
sesuatu hal tertentu haruslah berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah
tanpa sebab-sebab yang mencukupi. Dengan kata lain, “adanya sesuatu itu mestilah
mempunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”.6
Sekurang-kurangnya empat prinsip ini menjadi pegangan dalam penalaran ilmiah.

3. Kesimpulan
Tulisan pendek ini menjawab pertanyaan dasar: apa itu penalaran. Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa penalaran merupakan aktivitas manusia dalam mengolah pikirannya dengan
sistematika berpikir yang logis untuk memperoleh pengetahuan. Dari batasan ini, dapat

6
Bdk. “Penalaran, Logika, Deduktif, Induktif dan Metode Ilmiah” dalam
https://ikamakoto.wordpress.com/kuliah-ku/filsafat-ilmu/c-penalaran-logika-deduktif-induktif-dan-
metode-ilmiah/ (diunduh pada 27 Oktober 2019).
4

dicermati bahwa penalaran (reasoning) berbeda dari sekadar berpikir (thinking). Pada
pokoknya kegiatan penalaran mutlak diperlukan untuk membuka suatu cakrawala ilmu
pengetahuan. Dengan keterbatasannya, tulisan ini belum menelusuri secara lebih mendalam
tentang keterkaitan aktivitas “penalaran” secara ilmiah dengan logika dan filsafat ilmu
pengetahuan (epistemologi), serta prinsip-prinsip yang lebih mendalam. Perlu telaah yang lebih
intens untuk mengolah tema-tema tersebut secara filosofis maupun secara ilmiah.

Daftar Pustaka
Bochenski, J.M. “Apakah Sebenarnya Berpikir.” Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan tentang Hakekat Ilmu. Diedit oleh Jujun Suriasumantri. Jakarta: Gramedia,
1978. Hlm. 52-59.
Departemen Pendidikan Nasional. “Berpikir,” “Nalar.” Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat
Bahasa. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Pranarka, A.M.W. Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta: Centre for Strategic and
Internasional Studies, 1987.
Ohoitimur, Johanis. Pengantar Berfilsafat. Jakarta: Yayasan Gapura, 1997.
“Penalaran, Logika, Deduktif, Induktif dan Metode Ilmiah” dalam
https://ikamakoto.wordpress.com/kuliah-ku/filsafat-ilmu/c-penalaran-logika-deduktif-
induktif-dan-metode-ilmiah/ (Diunduh pada 27 Oktober 2019).

***

Anda mungkin juga menyukai