Materi Aktifitas 3.4 Menciptakan Kegiatan Yang Mendukung Prinsip Kimia Hijau
Materi Aktifitas 3.4 Menciptakan Kegiatan Yang Mendukung Prinsip Kimia Hijau
Materi Aktifitas 3.4 Menciptakan Kegiatan Yang Mendukung Prinsip Kimia Hijau
4
MENCIPTAKAN KEGIATAN YANG MENDUKUNG PRINSIP KIMIA HIJAU
Salah satu peran kimia hijau adalah mendukung 17 agenda pembangunan berkelanjutan hingga
tahun 2030 yang dicanangkan PBB. Ke-17 agenda tersebut dapat Kalian simak pada Gambar 5.
Berdasarkan ke-17 agenda tersebut, prinsip kimia hijau terintegrasi dalam enam agenda
pembangunan berkelanjutan 2030 yaitu agenda nomor 3, 6, 7, 13, 14, dan 15. Hidup sehat dan
sejahtera bagi semua manusia di bumi tentu karena lingkungan yang aman dan bebas bahan-
bahan berbahaya.
Prinsip nomor 7 dari kimia hijau adalah penggunaan
sumber energi yang dapat diperbaharui. Indonesia telah
berupaya untuk menerapkan prinsip ini yaitu dengan cara
mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil
untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dalam hal ini Presiden
Joko Widodo mengakselerasi penerapan Biosolar 30 (B30)
yang dimulai pada penghujung tahun 2019.
Kini pemerintah melalui Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi mengimplementasi B30
di Indonesia. Biosolar B30 sebagai bahan bakar nabati untuk
mesin atau motor disel adalah lanjutan dari Biosolar 20. Mari
Gambar 6. Biosolar B30
lakukan aktivitas kerja ilmiah berikut sebagai contoh
Sumber : Puspaningsih, R. Ayuk.
penerapan prinsip kimia hijau di sekitar Kalian. Tjahjadarmawan, Elizabeth.
Krisdianti, R. Niken. (2021). Ilmu
Pengetahuan Alam SMA Kelas X.
Contoh Penerapan Kimia Hijau pada Agenda Pembangunan
Berkelanjutan
A) Pendekatan Kimia Hijau untuk Mencegah Pencemaran Zat Kimia dalam Makanan
(Agenda ke-3)
Ilmu dan teknologi kimia berperan besar dalam peningkatan mutu kehidupan, karena
berdampak pada perkembangan industri obat-obatan, peningkatan penyediaan pangan dunia
yang ditunjang oleh pemanfaatan pupuk dan pestisida, serta penemuan zat-zat kimia untuk
memperbaiki mutu kehidupan seperti, zat warna, kosmetik, plastik, dan membran untuk
penyaringan cairan (World Bank Group, 2012). Namun kemajuan itu dibarengi pula dengan
dampak buruk produk-produk kimia di samping limbah kimia terhadap lingkungan termasuk
kehidupan manusia, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk mencegah dampak buruk
inilah muncul konsep “Kimia Hijau” yang didefinisikan sebagai kimia yang ramah
lingkungan (environmentally benign chemistry) (Anastas & Warner, 1998). Pendekatan kimia
hijau memandu berbagai penemuan dan penerapan pendekatan sintesis zat-zat kimia dengan
menggunakan sumber-sumber terbarukan, kondisi-kondisi reaksi yang ramah lingkungan,
meminimalkan energi dan merancang zat-zat kimia yang tidak beracun dan jauh lebih aman
(Dhage, 2013). Selanjutnya proses kimia yang digunakan diusahakan agar seminimal
mungkin dalam menimbulkan polusi pada lingkungan, dan tidak menimbulkan dampak
negatif bagi lingkungan (Clark, 2005).
Dalam hubungannya dengan keamanan pangan, konsep kimia hijau diterapkan sejak
dari persawahan/perladangan/perkebunan/pertanian/ perikanan sampai dengan pengolahan
dan pengemasan bahan pangan. Bekerja sama dengan konsep pertanian berkelanjutan
(sustainable agriculture) untuk mengurangi dampak buruk penggunaan zat-zat kimia untuk
lingkungan pertanian, baik pada tanah, flora, fauna, dan badan air di sekitar daerah pertanian,
juga pada kesehatan petani, yang menggunakannya dan masyarakat yang mengkonsumsi
bahan makanan yang dihasilkan pertanian. Menurut laporan United National Environment
Program (UNEP) dan World Health Organization (WHO) sekitar 3 juta orang mengalami
keracunan pestisida akut dan sekitar 10–20 ribu orang meninggal karena hal ini setiap tahun
di negara-negara berkembang. Para ahli di Amerika Serikat memperkirakan bahwa sampai
dengan 20 ribu orang Amerika mungkin akan meninggal karena kanker akibat adanya residu
pestisida pada tingkat yang rendah pada makanan yang berasal dari nabati maupun hewani
(Sinha, Herat, Valani, & Chauhan, 2009).
Untuk mengatasi hal ini, konsep pertanian berkelanjutan mengusulkan
membudidayakan bahan pangan yang bergizi dan dapat melindungi kesehatan manusia
dengan bantuan pupuk dan pestisida dari bahan-bahan organik yang berbasis zat-zat biologis
(Sinha et al., 2009). Sejauh mungkin, sistem pertanian organik bergantung pada rotasi
tanaman, pemanfaatan residu tanaman, pupuk kandang, kacang-kacangan, dan pupuk hijau
demi menjaga produktivitas dan kesuburan tanah untuk memasok nutrisi tanaman. Ini
menekankan pada metode pencegahan dan kuratif pengendalian hama seperti penggunaan
kultivar yang tahan hama, agen biokontrol, dan metode budaya pengendalian hama (Sinha et
al., 2009). Vermicompost (produk metabolisme cacing tanah yang memakan limbah organik)
terbukti sebagai 'pupuk organik' yang sangat bergizi dan 'promotor pertumbuhan ajaib' yang
kaya nitrogen, kalium, dan fosfor (NKP) dengan komposisi nitrogen 2-3%, kalium 1,85-
2,25% dan fosfor 1,55-2,25%, mikronutrien, mikroba tanah yang menguntungkan dan juga
mengandung 'hormon pertumbuhan dan enzim (Sinha et al., 2009). Bukti-bukti terakumulasi
di seluruh dunia termasuk studi oleh Sinha et al. (2009), bahwa cacing tanah dan
vermikompost dapat melakukan keajaiban, karena dapat 'membangun tanah', 'memulihkan
kesuburan tanah', 'mempertahankan produksi pertanian' dan juga menyediakan 'makanan
aman' bagi kemajuan peradaban.
Sistem pertanian berkelanjutan juga telah dipraktikkan di Indonesia antara lain, di
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, yang menerapkan pola budidaya pertanian berkelanjutan
dengan memanfaatkan kompos, jerami dan sisa tanaman yang dibenamkan di sawah, juga
penggunaan mikroorganisme lokal, yang terbukti menghasilkan pendapatan bersih 1,5 kali
lebih banyak daripada yang menerapkan pertanian konvensional dengan menggunakan pupuk
kimia dan pestisida. Usaha-usaha pertanian berkelanjutan ini juga sudah merambah ke
Karawang, ke Jawa Tengah seperti Kabupaten Sukoharjo, Sragen, dan Bulungan (Sudjana,
2013). Semangat penerapan pertanian berkelanjutan juga semakin besar dengan banyaknya
permintaan akan beras organik terutama di kota besar seperti Jakarta dengan permintaan
sampai dengan 23 ton per minggu (Sudjana, 2013).
Peranan aktif pelaksana industri dalam menerapkan kimia hijau untuk menunjang sektor
industri kimia pertanian telah dilakukan di India, yaitu kerja sama antara beberapa industri
kimia pertanian dan obat-obatan (FICCI, 2014). Pendekatan dilakukan denganmenciptakan
proses-proses industri yang bertujuan mereduksi tingkat chemical oxygen demand (COD)
pada air limbah hasil industri dan mengembangkan kolaborasi sehingga dapatsaling bertukar
praktik baik antar berbagai industri kimia. Kerja sama tersebut berhasil mengembangkan
teknologi untuk pendekatan zero discharge solution, yaitu teknologi pengolahan air limbah,
yang memungkinkan untuk recycle, recover, dan reuse air hasil olahan. Dengan demikian
hanya sedikit sekali air yang dibuang ke lingkungan. Selain mengembalikan 90 – 95% air
yang digunakan, juga mendaur ulang produk samping dari limbah itu dapat menghemat biaya
operasi. Demikian juga perlakuan untuk mengurangi CODdengan cara memanfaatkan H2O2,
perlakuan seperti subcritical water oxidation, thermal- liquid phase oxidation, isolated bacteri,
dan pemanfaatan adsorbent seperti karbon aktif. Kerjasama untuk berbagi ilmu dan keahlian
dalam penerapan kimia hijau akan menghasilkan pengembangan proses dan produk secara
efisien dalam pendanaan.
Selanjutnya ada penerapan teknologi daur ulang pelarut organik yang digunakan untuk
langkah-langkah pembuatan zat kimia, seperti pada sistem fermentasi, ekstraksi,
pembentukan dan tahap akhir produk (World Bank Group/WBG, 2012). Pelarut-pelarut yang
berbahaya bagi lingkungan diganti dengan pelarut yang ramah lingkungan seperti jenis dari
soy methyl ester dan laktat ester yang berasal dari kedelai, yang mampu menggantikan pelarut
yang merupakan turunan produk minyak bumi terklorinasi (FICCI, 2014). Pelarut lain adalah
ethyllactate yang dapat menggantikan pelarut tradisional seperti toluen, aseton, dan xylene
(FICCI, 2014). Pelarut-pelarut ramah lingkungan ini mudah terurai secara biologis
(biodegradable), mudah di daur ulang, menghasilkan emisi yang tidak berbahaya, bersifat
non-korosif, dan non-carcinogenik (FICCI, 2014).
Pencegahan cemaran kimia dalam bahan pangan dengan menerapkan pendekatan kimia
hijau juga dilakukan dengan menerapkan regulasi yang ketat pada berbagai industri yang
berisiko mencemari lingkungan seperti memastikan bahwa limbah cair dan padat diolah
dahulu sebelum dibuang ke lingkungan (Mustafa, 2016). Selain penerapan prinsip-prinsip
kimia hijau seperti siklus tertutup pada industri bahan makanan, juga dapat diadvokasi upaya
memperbaiki sikap hidup masyarakat agar mau menerapkan pengendalian limbah rumah
tangga dan industri, memanfaatkan limbah industri pertanian dan peternakan untuk dijadikan
sumber daya dan energi terbarukan, serta usaha menggunakan bahan-bahan kimia yang ramah
lingkungan seperti cat dan bahan-bahan bangunan (Mustafa, 2016). Industri bahan
pengemasan pangan juga sudah memperhatikan bahan-bahan kemasan pangan yang aman
bagi pangan dan mudah didaur ulang atau bersifat biodegradable terutama bahan pengemas
dari plastik, laminating logam dengan plastik atau kertas dengan plastik (Marsh & Bugushu,
2007; Raheem, 2012).
Sosialisasi gaya hidup yang sehat berkenaan dengan penyediaan dan konsumsi
makanan yang aman juga telah dilaksanakan di Indonesia, antara lain pemberdayaan
masyarakat pertanian alami perkotaan (Huda & Harijati, 2016; Susilo & Wijanarko, 2016),
serta peraturan mengenai jajan sehat untuk anak sekolah. Berdasarkan Laporan Akhir Hasil
Monitoring Dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajan Anak Sekolah (PJAS) Nasional
tahun 2008, menunjukkan bahwa 98,9% anak jajan di sekolah dan hanya 1% yang tidak
pernah jajan (BPOM, 2013). PJAS ini menyumbang 31,06% energi dan 27,44% protein dari
konsumsi pangan harian (BPOM, 2013). PJAS selain berfungsi sebagai sumber pangan
jajanan juga dapat berfungsi sebagai sumber pangan sarapan. Dengan mempertimbangkan
keadaan ini Direktorat Standarisasi Produk Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan dan Bahan Berbahaya, BPOM-RI, telah menerbitkan buku Pedoman Pangan Jajanan
Anak Sekolah untuk Pencapaian Gizi Seimbang, untuk orangtua, guru, dan pengelola kantin
guna mengarahkan pemenuhan gizi dari pangan jajanan aman dan sehat bagi anak sekolah
yang tidak atau kurang sarapan dan tidak membawa bekal (BPOM, 2013).
Pada 2011 sampai dengan 2014, Kementerian Kesehatan telah melakukan analisis
terhadap pangan jajanan anak sekolah SD/MI (Pusat Data dan Informasi Kemenkes, 2015).
Setiap tahun diambil sampel pangan jajan dari 4500 sekolah, dan dilakukan pembinaan
terhadap sekolah yang telah disampel mulai tahun 2012. Hasil pengujian terhadap 10.429
sampel menunjukkan 76,18% memenuhi syarat dan 28,82% tidak memenuhi syarat keamanan
pangan. Penyebab tidak memenuhi syarat karena pencemaran oleh mikroba, BTP (bahan
tambahan pangan) yang berlebihan, dan penggunaan bahan berbahaya.
Jajanan yang diuji adalah bakso sebelum diseduh, jeli/agar-agar dan produk gelatin lain,
minuman es, mie yang siap dikonsumsi, minuman berwarna dan sirup, kudapan (gorengan
seperti: bakwan, tahu goreng, cilok, sosis, batagor, empek-empek), lontong, dan lain-lain,
makanan ringan (kerupuk, keripik, produk ekstrusi, dan sejenisnya). Hasil pemeriksaan yang
paling tidak memenuhi syarat adalah berturut-turut dari yang paling tinggi, minuman
berwarna/sirup, minuman es, jeli/agar-agar, dan bakso. Penyebab tidak memenuhi syarat
keamanan pangan adalah karena menggunakan bahan berbahaya yang dilarang untuk pangan
yaitu BTP yang melebihi batas minimal, cemaran logam berat yang melebih batas minimal,
dan kualitas mutu mikrobiologis yang tidak memenuhi syarat. Departemen Kesehatan
kemudian mengadakan pengawasan, pembinaan dan pengawalan terhadap 16.990 SD/MI
sejak 2012–2014.
Berdasarkan uraian pada artikel ini dapat dikatakan bahwa Indonesia telah menerapkan
berbagai peraturan untuk menjamin keamanan pangan from the farm to the table dengan
koordinasi antar kementerian terkait (Pertanian, Kesehatan, Perindustrian, dan Perdagangan).
Pemerintah juga sudah melakukan berbagai pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai
peraturan tersebut. Tetapi karena luasnya wilayah Indonesia, dan terdapat banyak penyedia
bahan pangan mentah ataupun olahan yang kurang pengetahuan atau tidak peduli pada
keamanan pangan, maka sering terjadi keadaan luar biasa keracunan makanan yang datanya
dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.
Gambar 7. Profil Jenis Pangan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di
Indonesia 2011-2013
Gambar 8. Zat Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Indonesia pada
2011 – 2013
Sumber : Mustafa, Dina. (2018). Penerapan Kimia Hijau untuk Menjamin Keamanan Pangan
Meskipun pemerintah telah menetapkan berbagai aturan yang menjamin keamanan
pangan dan pengawasan pelaksanaannya, namun peran aktif masyarakat masih diperlukan
antara lain dengan memperhatikan jajanan di sekitar tempat kerja, sekolah dan perumahan,
serta melaporkan kepada pihak terkait, jika ada kecurigaan pangan yang tidak aman. Dengan
demikian masih diperlukan upaya peningkatan pengetahuan dan kepedulian bagi pelaku
penyedia bahan pangan agar menerapkan keamanan pangan.
Apabila kandungan asam lemak bebas minyak nabati > 5%, maka terlebih dahulu
dilakukan reaksi esterifikasi. Selain dari proses esterifikasi/ transesterifikasi dapat juga
dilakukan dengan konversi enzimatis.
11) Apakah regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan mandatori program B20 ?
Regulasi yang mengatur tentang pentahapan mandatori program B20 adalah Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga
atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 tahun 2008 tentang
Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan
Bakar Lain. Dalam peraturan ini ditetapkan target pentahapan pencampuran biodiesel
untuk semua sektor terkait.
16) Apakah biodiesel dapat langsung digunakan pada mesin diesel biasa ?
Biodiesel siap digunakan oleh mesin diesel biasa dengan sedikit atau tanpa penyesuaian.
Penyesuaian dibutuhkan jika penyimpanan atau wadah biodiesel terbuat dari bahan yang
sensitif dengan biodiesel seperti seal, gasket, dan perekat terutama mobil lama dan yang
terbuat dari karet alam dan karet nitril.
17) Apakah benar biodiesel menyebabkan kerak pada tangki bahan bakar ?
Tidak benar bahwa biodiesel menyebabkan kerak pada tangki bahan bakar. Biodiesel
merupakan senyawa ester yang banyak digunakan sebagai pelarut/pembersih.
Pemanfaatan biodiesel justru dapat membersihkan kerak dan kotoran yang tertinggal pada
mesin, saluran bahan bakar dan tangki bahan bakar karena sifatnya sebagai
solvent/pelarut.
19) Bagaimana menghindari sludge yang mudah timbul pada biodiesel yang didiamkan
lama ?
Adanya kontaminasi air pada biodiesel dapat menimbulkan Sludge. Selama
penanganan/handling Biodiesel baik dan sesuai dengan tata cara penanganan yang
disarankan, maka sludge pada biodiesel tidak akan timbul.
24) Apa yang telah dilakukan Pemerintah sebagai persiapan pelaksanaan Program
Mandatori B30 ?
Beberapa persiapan yang telah dilakukan untuk implementasi B30, antara lain:
melakukan Revisi SNI Biodiesel;
melakukan uji jalan/fungsi B30;
memastikan kesiapan produsen biodiesel;
memastikan metode sistem handling dan penyimpanan yang tepat;
memastikan kesiapan infrastruktur; dan
melakukan sosialisasi untuk memastikan penerimaan semua pihak terkait, termasuk
masyarakat.
30) Apa manfaat pelaksanaan Program Mandatori B20 dan B30 bagi aspek ekonomi
dan sosial?
Secara garis besar manfaat ekonomi dan sosial dari implementasi B20 dan B30, sebagai
berikut :