Materi Aktifitas 3.4 Menciptakan Kegiatan Yang Mendukung Prinsip Kimia Hijau

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 16

MATERI AKTIFITAS 3.

4
MENCIPTAKAN KEGIATAN YANG MENDUKUNG PRINSIP KIMIA HIJAU
Salah satu peran kimia hijau adalah mendukung 17 agenda pembangunan berkelanjutan hingga
tahun 2030 yang dicanangkan PBB. Ke-17 agenda tersebut dapat Kalian simak pada Gambar 5.

Gambar 5. Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 PBB


(https://www.sdg2030indonesia.org/an-component/media/upload-gambar-news/B.jpg )

Berdasarkan ke-17 agenda tersebut, prinsip kimia hijau terintegrasi dalam enam agenda
pembangunan berkelanjutan 2030 yaitu agenda nomor 3, 6, 7, 13, 14, dan 15. Hidup sehat dan
sejahtera bagi semua manusia di bumi tentu karena lingkungan yang aman dan bebas bahan-
bahan berbahaya.
Prinsip nomor 7 dari kimia hijau adalah penggunaan
sumber energi yang dapat diperbaharui. Indonesia telah
berupaya untuk menerapkan prinsip ini yaitu dengan cara
mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil
untuk menjaga kelestarian lingkungan. Dalam hal ini Presiden
Joko Widodo mengakselerasi penerapan Biosolar 30 (B30)
yang dimulai pada penghujung tahun 2019.
Kini pemerintah melalui Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi mengimplementasi B30
di Indonesia. Biosolar B30 sebagai bahan bakar nabati untuk
mesin atau motor disel adalah lanjutan dari Biosolar 20. Mari
Gambar 6. Biosolar B30
lakukan aktivitas kerja ilmiah berikut sebagai contoh
Sumber : Puspaningsih, R. Ayuk.
penerapan prinsip kimia hijau di sekitar Kalian. Tjahjadarmawan, Elizabeth.
Krisdianti, R. Niken. (2021). Ilmu
Pengetahuan Alam SMA Kelas X.
Contoh Penerapan Kimia Hijau pada Agenda Pembangunan
Berkelanjutan

A) Pendekatan Kimia Hijau untuk Mencegah Pencemaran Zat Kimia dalam Makanan
(Agenda ke-3)
Ilmu dan teknologi kimia berperan besar dalam peningkatan mutu kehidupan, karena
berdampak pada perkembangan industri obat-obatan, peningkatan penyediaan pangan dunia
yang ditunjang oleh pemanfaatan pupuk dan pestisida, serta penemuan zat-zat kimia untuk
memperbaiki mutu kehidupan seperti, zat warna, kosmetik, plastik, dan membran untuk
penyaringan cairan (World Bank Group, 2012). Namun kemajuan itu dibarengi pula dengan
dampak buruk produk-produk kimia di samping limbah kimia terhadap lingkungan termasuk
kehidupan manusia, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk mencegah dampak buruk
inilah muncul konsep “Kimia Hijau” yang didefinisikan sebagai kimia yang ramah
lingkungan (environmentally benign chemistry) (Anastas & Warner, 1998). Pendekatan kimia
hijau memandu berbagai penemuan dan penerapan pendekatan sintesis zat-zat kimia dengan
menggunakan sumber-sumber terbarukan, kondisi-kondisi reaksi yang ramah lingkungan,
meminimalkan energi dan merancang zat-zat kimia yang tidak beracun dan jauh lebih aman
(Dhage, 2013). Selanjutnya proses kimia yang digunakan diusahakan agar seminimal
mungkin dalam menimbulkan polusi pada lingkungan, dan tidak menimbulkan dampak
negatif bagi lingkungan (Clark, 2005).
Dalam hubungannya dengan keamanan pangan, konsep kimia hijau diterapkan sejak
dari persawahan/perladangan/perkebunan/pertanian/ perikanan sampai dengan pengolahan
dan pengemasan bahan pangan. Bekerja sama dengan konsep pertanian berkelanjutan
(sustainable agriculture) untuk mengurangi dampak buruk penggunaan zat-zat kimia untuk
lingkungan pertanian, baik pada tanah, flora, fauna, dan badan air di sekitar daerah pertanian,
juga pada kesehatan petani, yang menggunakannya dan masyarakat yang mengkonsumsi
bahan makanan yang dihasilkan pertanian. Menurut laporan United National Environment
Program (UNEP) dan World Health Organization (WHO) sekitar 3 juta orang mengalami
keracunan pestisida akut dan sekitar 10–20 ribu orang meninggal karena hal ini setiap tahun
di negara-negara berkembang. Para ahli di Amerika Serikat memperkirakan bahwa sampai
dengan 20 ribu orang Amerika mungkin akan meninggal karena kanker akibat adanya residu
pestisida pada tingkat yang rendah pada makanan yang berasal dari nabati maupun hewani
(Sinha, Herat, Valani, & Chauhan, 2009).
Untuk mengatasi hal ini, konsep pertanian berkelanjutan mengusulkan
membudidayakan bahan pangan yang bergizi dan dapat melindungi kesehatan manusia
dengan bantuan pupuk dan pestisida dari bahan-bahan organik yang berbasis zat-zat biologis
(Sinha et al., 2009). Sejauh mungkin, sistem pertanian organik bergantung pada rotasi
tanaman, pemanfaatan residu tanaman, pupuk kandang, kacang-kacangan, dan pupuk hijau
demi menjaga produktivitas dan kesuburan tanah untuk memasok nutrisi tanaman. Ini
menekankan pada metode pencegahan dan kuratif pengendalian hama seperti penggunaan
kultivar yang tahan hama, agen biokontrol, dan metode budaya pengendalian hama (Sinha et
al., 2009). Vermicompost (produk metabolisme cacing tanah yang memakan limbah organik)
terbukti sebagai 'pupuk organik' yang sangat bergizi dan 'promotor pertumbuhan ajaib' yang
kaya nitrogen, kalium, dan fosfor (NKP) dengan komposisi nitrogen 2-3%, kalium 1,85-
2,25% dan fosfor 1,55-2,25%, mikronutrien, mikroba tanah yang menguntungkan dan juga
mengandung 'hormon pertumbuhan dan enzim (Sinha et al., 2009). Bukti-bukti terakumulasi
di seluruh dunia termasuk studi oleh Sinha et al. (2009), bahwa cacing tanah dan
vermikompost dapat melakukan keajaiban, karena dapat 'membangun tanah', 'memulihkan
kesuburan tanah', 'mempertahankan produksi pertanian' dan juga menyediakan 'makanan
aman' bagi kemajuan peradaban.
Sistem pertanian berkelanjutan juga telah dipraktikkan di Indonesia antara lain, di
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, yang menerapkan pola budidaya pertanian berkelanjutan
dengan memanfaatkan kompos, jerami dan sisa tanaman yang dibenamkan di sawah, juga
penggunaan mikroorganisme lokal, yang terbukti menghasilkan pendapatan bersih 1,5 kali
lebih banyak daripada yang menerapkan pertanian konvensional dengan menggunakan pupuk
kimia dan pestisida. Usaha-usaha pertanian berkelanjutan ini juga sudah merambah ke
Karawang, ke Jawa Tengah seperti Kabupaten Sukoharjo, Sragen, dan Bulungan (Sudjana,
2013). Semangat penerapan pertanian berkelanjutan juga semakin besar dengan banyaknya
permintaan akan beras organik terutama di kota besar seperti Jakarta dengan permintaan
sampai dengan 23 ton per minggu (Sudjana, 2013).
Peranan aktif pelaksana industri dalam menerapkan kimia hijau untuk menunjang sektor
industri kimia pertanian telah dilakukan di India, yaitu kerja sama antara beberapa industri
kimia pertanian dan obat-obatan (FICCI, 2014). Pendekatan dilakukan denganmenciptakan
proses-proses industri yang bertujuan mereduksi tingkat chemical oxygen demand (COD)
pada air limbah hasil industri dan mengembangkan kolaborasi sehingga dapatsaling bertukar
praktik baik antar berbagai industri kimia. Kerja sama tersebut berhasil mengembangkan
teknologi untuk pendekatan zero discharge solution, yaitu teknologi pengolahan air limbah,
yang memungkinkan untuk recycle, recover, dan reuse air hasil olahan. Dengan demikian
hanya sedikit sekali air yang dibuang ke lingkungan. Selain mengembalikan 90 – 95% air
yang digunakan, juga mendaur ulang produk samping dari limbah itu dapat menghemat biaya
operasi. Demikian juga perlakuan untuk mengurangi CODdengan cara memanfaatkan H2O2,
perlakuan seperti subcritical water oxidation, thermal- liquid phase oxidation, isolated bacteri,
dan pemanfaatan adsorbent seperti karbon aktif. Kerjasama untuk berbagi ilmu dan keahlian
dalam penerapan kimia hijau akan menghasilkan pengembangan proses dan produk secara
efisien dalam pendanaan.
Selanjutnya ada penerapan teknologi daur ulang pelarut organik yang digunakan untuk
langkah-langkah pembuatan zat kimia, seperti pada sistem fermentasi, ekstraksi,
pembentukan dan tahap akhir produk (World Bank Group/WBG, 2012). Pelarut-pelarut yang
berbahaya bagi lingkungan diganti dengan pelarut yang ramah lingkungan seperti jenis dari
soy methyl ester dan laktat ester yang berasal dari kedelai, yang mampu menggantikan pelarut
yang merupakan turunan produk minyak bumi terklorinasi (FICCI, 2014). Pelarut lain adalah
ethyllactate yang dapat menggantikan pelarut tradisional seperti toluen, aseton, dan xylene
(FICCI, 2014). Pelarut-pelarut ramah lingkungan ini mudah terurai secara biologis
(biodegradable), mudah di daur ulang, menghasilkan emisi yang tidak berbahaya, bersifat
non-korosif, dan non-carcinogenik (FICCI, 2014).
Pencegahan cemaran kimia dalam bahan pangan dengan menerapkan pendekatan kimia
hijau juga dilakukan dengan menerapkan regulasi yang ketat pada berbagai industri yang
berisiko mencemari lingkungan seperti memastikan bahwa limbah cair dan padat diolah
dahulu sebelum dibuang ke lingkungan (Mustafa, 2016). Selain penerapan prinsip-prinsip
kimia hijau seperti siklus tertutup pada industri bahan makanan, juga dapat diadvokasi upaya
memperbaiki sikap hidup masyarakat agar mau menerapkan pengendalian limbah rumah
tangga dan industri, memanfaatkan limbah industri pertanian dan peternakan untuk dijadikan
sumber daya dan energi terbarukan, serta usaha menggunakan bahan-bahan kimia yang ramah
lingkungan seperti cat dan bahan-bahan bangunan (Mustafa, 2016). Industri bahan
pengemasan pangan juga sudah memperhatikan bahan-bahan kemasan pangan yang aman
bagi pangan dan mudah didaur ulang atau bersifat biodegradable terutama bahan pengemas
dari plastik, laminating logam dengan plastik atau kertas dengan plastik (Marsh & Bugushu,
2007; Raheem, 2012).
Sosialisasi gaya hidup yang sehat berkenaan dengan penyediaan dan konsumsi
makanan yang aman juga telah dilaksanakan di Indonesia, antara lain pemberdayaan
masyarakat pertanian alami perkotaan (Huda & Harijati, 2016; Susilo & Wijanarko, 2016),
serta peraturan mengenai jajan sehat untuk anak sekolah. Berdasarkan Laporan Akhir Hasil
Monitoring Dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajan Anak Sekolah (PJAS) Nasional
tahun 2008, menunjukkan bahwa 98,9% anak jajan di sekolah dan hanya 1% yang tidak
pernah jajan (BPOM, 2013). PJAS ini menyumbang 31,06% energi dan 27,44% protein dari
konsumsi pangan harian (BPOM, 2013). PJAS selain berfungsi sebagai sumber pangan
jajanan juga dapat berfungsi sebagai sumber pangan sarapan. Dengan mempertimbangkan
keadaan ini Direktorat Standarisasi Produk Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan dan Bahan Berbahaya, BPOM-RI, telah menerbitkan buku Pedoman Pangan Jajanan
Anak Sekolah untuk Pencapaian Gizi Seimbang, untuk orangtua, guru, dan pengelola kantin
guna mengarahkan pemenuhan gizi dari pangan jajanan aman dan sehat bagi anak sekolah
yang tidak atau kurang sarapan dan tidak membawa bekal (BPOM, 2013).
Pada 2011 sampai dengan 2014, Kementerian Kesehatan telah melakukan analisis
terhadap pangan jajanan anak sekolah SD/MI (Pusat Data dan Informasi Kemenkes, 2015).
Setiap tahun diambil sampel pangan jajan dari 4500 sekolah, dan dilakukan pembinaan
terhadap sekolah yang telah disampel mulai tahun 2012. Hasil pengujian terhadap 10.429
sampel menunjukkan 76,18% memenuhi syarat dan 28,82% tidak memenuhi syarat keamanan
pangan. Penyebab tidak memenuhi syarat karena pencemaran oleh mikroba, BTP (bahan
tambahan pangan) yang berlebihan, dan penggunaan bahan berbahaya.
Jajanan yang diuji adalah bakso sebelum diseduh, jeli/agar-agar dan produk gelatin lain,
minuman es, mie yang siap dikonsumsi, minuman berwarna dan sirup, kudapan (gorengan
seperti: bakwan, tahu goreng, cilok, sosis, batagor, empek-empek), lontong, dan lain-lain,
makanan ringan (kerupuk, keripik, produk ekstrusi, dan sejenisnya). Hasil pemeriksaan yang
paling tidak memenuhi syarat adalah berturut-turut dari yang paling tinggi, minuman
berwarna/sirup, minuman es, jeli/agar-agar, dan bakso. Penyebab tidak memenuhi syarat
keamanan pangan adalah karena menggunakan bahan berbahaya yang dilarang untuk pangan
yaitu BTP yang melebihi batas minimal, cemaran logam berat yang melebih batas minimal,
dan kualitas mutu mikrobiologis yang tidak memenuhi syarat. Departemen Kesehatan
kemudian mengadakan pengawasan, pembinaan dan pengawalan terhadap 16.990 SD/MI
sejak 2012–2014.
Berdasarkan uraian pada artikel ini dapat dikatakan bahwa Indonesia telah menerapkan
berbagai peraturan untuk menjamin keamanan pangan from the farm to the table dengan
koordinasi antar kementerian terkait (Pertanian, Kesehatan, Perindustrian, dan Perdagangan).
Pemerintah juga sudah melakukan berbagai pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai
peraturan tersebut. Tetapi karena luasnya wilayah Indonesia, dan terdapat banyak penyedia
bahan pangan mentah ataupun olahan yang kurang pengetahuan atau tidak peduli pada
keamanan pangan, maka sering terjadi keadaan luar biasa keracunan makanan yang datanya
dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.

Gambar 7. Profil Jenis Pangan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di
Indonesia 2011-2013

Gambar 8. Zat Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Indonesia pada
2011 – 2013
Sumber : Mustafa, Dina. (2018). Penerapan Kimia Hijau untuk Menjamin Keamanan Pangan
Meskipun pemerintah telah menetapkan berbagai aturan yang menjamin keamanan
pangan dan pengawasan pelaksanaannya, namun peran aktif masyarakat masih diperlukan
antara lain dengan memperhatikan jajanan di sekitar tempat kerja, sekolah dan perumahan,
serta melaporkan kepada pihak terkait, jika ada kecurigaan pangan yang tidak aman. Dengan
demikian masih diperlukan upaya peningkatan pengetahuan dan kepedulian bagi pelaku
penyedia bahan pangan agar menerapkan keamanan pangan.

B) Teknologi Hijau : Solusi untuk Pelestarian Sumber Air (Agenda ke-6)


Perubahan Iklim yang diakibatkan oleh Pemanasan Global telah dirasakan dampaknya
dalam kehidupan manusia. Apabila tidak dilakukan upaya pencegahan, dampak pemanasan
global di masa yang akan datang merupakan ancaman yang sangat serius bagi kehidupan
semua makhluk di bumi. Dalam menghadapi dampak Pemanasan Global diperlukan upaya-
upaya mitigasi dan adaptasi yang melibatkan masyarakat, seperti teknologi pelestarian
sumber air dengan tanaman biologi (biopark), teknologi pengolahan air limbah domestik
dengan ecological sanitation (Ecosan), taman bunga air limbah (waste water garden), sanitasi
taman (sanita) dan konsep teknologi hijau (green tecnology). Teknologi Hijau merupakan
salah satu upaya adaptasi dan mitigasi dampak Pemanasan Global yang sejalan dengan prinsip
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Berbagai Teknologi Hijau di
bidang pelestarian sumber air dan pengolahan air limbah telah tersedia untuk diterapkan
dalam pembangunan.

C) Mengenal Lebih Dekat Biodiesel B30 (Agenda ke-7)


Apa itu BBN? Apa sih Biodiesel itu? Program B30? Mungkin masih banyak yang bertanya
dan belum paham terkait program ini. Simak ulasan berikut, segala informasi dan penjelasan
mengenai Program Mandatori Biodiesel B30 akan dikupas tuntas disini.
1) Apa itu Bahan Bakar Nabati ?
Bahan Bakar Nabati adalah bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan nabati dan/atau
dihasilkan dari bahan-bahan organik lain.

2) Apa saja jenis Bahan Bakar Nabati ?


Bahan Bakar Nabati terdiri dari Biodiesel, Bioetanol dan Minyak Nabati Murni.

3) Apa itu biodiesel ?


Biodiesel adalah bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa ester metil
asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak
hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi.

4) Apa bahan baku biodiesel ?


Untuk saat ini, di Indonesia bahan baku biodiesel berasal dari Minyak Sawit (CPO). Selain
dari CPO, tanaman lain yang berpotensi untuk bahan baku biodiesel antara lain tanaman
jarak, jarak pagar, kemiri sunan, kemiri cina, nyamplung dan lain-lain.
5) Bagaimana proses pembuatan biodiesel ?
Proses pembuatan biodiesel umumnya menggunakan reaksi metanolisis (transesterifikasi
dengan metanol) yaitu reaksi antara minyak nabati dengan metanol dibantu katalis basa
(NaOH, KOH, atau sodium methylate) untuk menghasilkan campuran ester metil asam
lemak dengan produk ikutan gliserol. Skema proses produksi biodiesel sebagai berikut :

Gambar 9. Skema Proses Produksi Biodiesel


(https://ebtke.esdm.go.id/images/b137390f28aa52ce34db7962d7ffd097_p.png )

Apabila kandungan asam lemak bebas minyak nabati > 5%, maka terlebih dahulu
dilakukan reaksi esterifikasi. Selain dari proses esterifikasi/ transesterifikasi dapat juga
dilakukan dengan konversi enzimatis.

6) Apa kegunaan Biodiesel ?


Biodiesel digunakan sebagai energi alternatif pengganti Bahan Bakar Minyak untuk jenis
diesel/solar. Biodiesel dapat diaplikasikan baik dalam bentuk 100% (B100) atau
campuran dengan minyak solar pada tingkat konsentrasi tertentu seperti B20.

7) Bagaimana perkembangan implementasi Program Mandatori Biodiesel ?


Program mandatori biodiesel sudah mulai diimplementasikan pada tahun 2008 dengan
kadar campuran biodiesel sebesar 2,5%. Secara bertahap kadar biodiesel meningkat
hingga 7,5% pada tahun 2010. Pada periode 2011 hingga 2015 persentase biodiesel
ditingkatkan dari 10% menjadi 15%. Selanjutnya pada tanggal 1 Januari 2016,
ditingkatkan kadar biodiesel hingga 20% (B20). Program Mandatori B20 berjalan baik
dengan pemberian insentif dari BPDPKS untuk sektor PSO dan mulai 1 September 2018
pemberian insentif diperluas ke sektor non-PSO.
Gambar 10. Program Mandatori Biodiesel
(https://ebtke.esdm.go.id/images/4bd99457b4bbc21a81960006cc5d868d_p.png )

8) Apakah landasan hukum penerapan Program Mandatori Bahan Bakar Nabati


(BBN) ?
Pemerintah Indonesia c.q. Kementerian ESDM menggalakkan Program Mandatori BBN
melalui Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan,
dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain sebagaimana telah diubah terakhir kali
dengan Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015.

9) Apakah tujuan implementasi Program Mandatori BBN ?


Tujuan implementasi Program Mandatori BBN sebagai berikut :
Memenuhi komitmen Pemerintah untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% dari
BAU pada 2030;
Meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi;
Stabilisasi harga CPO;
Meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit;
Memenuhi target 23% kontribusi EBT dalam total energi mix pada 2025;
Mengurangi konsumsi dan impor BBM;
Mengurangi emisi GRK; dan
Memperbaiki defisit neraca perdagangan.

10) Apa yang dimaksud dengan program B20 ?


Program B20 adalah program pemerintah untuk mewajibkan pencampuran 20% Biodiesel
dengan 80% bahan bakar minyak jenis Solar.

11) Apakah regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan mandatori program B20 ?
Regulasi yang mengatur tentang pentahapan mandatori program B20 adalah Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga
atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 tahun 2008 tentang
Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan
Bakar Lain. Dalam peraturan ini ditetapkan target pentahapan pencampuran biodiesel
untuk semua sektor terkait.

Gambar 11. Pencampuran Biodiesel untuk Semua Sektor Terkait


(https://ebtke.esdm.go.id/images/6243e5ce425fd659f314ca446bc11d86_p.png )

12) Sejak kapan program B20 ini diberlakukan ?


Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 12 tahun 2015
tentang tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM No. 32 tahun 2008
tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai
Bahan Bakar Lain, Program B20 mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2016. Pada saat
diimplementasikan, pemerintah memberikan insentif dengan dukungan pendanaan dari
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk menutup selisih antara
HIP Biodiesel dan HIP Solar untuk sektor PSO dan mulai 1 September 2018 pemberian
insentif tersebut diperluas ke sektor non-PSO.

13) Pada sektor apa saja program B20 diterapkan ?


Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 12 tahun 2015, jenis
sektor yang wajib menerapkan diantaranya usaha mikro, usaha perikanan, usaha
pertanian, transportasi dan pelayanan umum/ PSO (Public Service Obligation);
transportasi non PSO; dan industri dan komersial. Namun, program tersebut yang sudah
diimplementasikan dengan baik di sektor transportasi (PSO). Sesuai arahan Presiden RI,
terhitung mulai tanggal 1 September 2018 mandatori B20 dijalankan secara masif di
semua sektor. Pada pelaksanaan penerapan ini Pemerintah melakukan perluasan insentif
dana pembiayaan biodiesel ke seluruh sektor termasuk Non PSO, sehingga realisasi
pemanfaatan biodiesel meningkat.
14) Bagaimana hasil penerapan program B20 ?
Program Biodiesel 20% (B20) berjalan dengan baik dengan adanya dukungan kapasitas
produksi yang cukup, uji kinerja/uji jalan, pemantauan secara berkala atas kualitas dan
kuantitas oleh tim independen, serta penyusunan Standar Nasional Indonesia (SNI). Saat
ini terdapat 25 BU BBN yang aktif berproduksi dengan total kapasitas terpasang sebesar
12,06 juta KL/tahun. Pemanfaatan biodiesel tahun 2018 sebesar 3,75 juta KL dalam negeri
telah berhasil menurunkan impor solar sebesar 466.902 KL dan menghemat devisa
sebesar US$1,89 Miliar USD atau Rp 26,27 Triliun. Pemanfaatan biodiesel tahun 2018
juga telah berhasil menurunkan emisi GRK dan meningkatkan kualitas lingkungan
sebesar 5,61 juta ton CO2.

15) Bagaimana realisasi implementasi program B20 ?


Realisasi implementasi program B20 sampai bulan Oktober 2019 adalah sebagai berikut :

Gambar 12. Realisasi Implementasi Biodiesel


(https://ebtke.esdm.go.id/images/3e104695314fb6898bacaea6fe5ff927_p.png )

16) Apakah biodiesel dapat langsung digunakan pada mesin diesel biasa ?
Biodiesel siap digunakan oleh mesin diesel biasa dengan sedikit atau tanpa penyesuaian.
Penyesuaian dibutuhkan jika penyimpanan atau wadah biodiesel terbuat dari bahan yang
sensitif dengan biodiesel seperti seal, gasket, dan perekat terutama mobil lama dan yang
terbuat dari karet alam dan karet nitril.

17) Apakah benar biodiesel menyebabkan kerak pada tangki bahan bakar ?
Tidak benar bahwa biodiesel menyebabkan kerak pada tangki bahan bakar. Biodiesel
merupakan senyawa ester yang banyak digunakan sebagai pelarut/pembersih.
Pemanfaatan biodiesel justru dapat membersihkan kerak dan kotoran yang tertinggal pada
mesin, saluran bahan bakar dan tangki bahan bakar karena sifatnya sebagai
solvent/pelarut.

18) Apakah benar penggunaan B20 menyebabkan kerusakan pada injektor?


Keberhasilan dari penggunaan B20 tergantung dengan 3 (tiga) faktor. yaitu kualitas bahan
bakar (biodiesel dan solar), handling/penanganan bahan bakar dan juga kompatibilitas
material terhadap bahan bakar tersebut. Kerusakan yang terjadi pada injektor dapat
diakibatkan dari ketidaksesuaian salah satu atau lebih dari ketiga faktor tersebut.

19) Bagaimana menghindari sludge yang mudah timbul pada biodiesel yang didiamkan
lama ?
Adanya kontaminasi air pada biodiesel dapat menimbulkan Sludge. Selama
penanganan/handling Biodiesel baik dan sesuai dengan tata cara penanganan yang
disarankan, maka sludge pada biodiesel tidak akan timbul.

20) Bagaimana dampak penggunaan biodiesel terhadap lingkungan ?


Penggunaan biodiesel dapat meningkatkan kualitas lingkungan karena bersifat degradable
(mudah terurai) dan emisi yang dikeluarkan lebih rendah dari emisi hasil pembakaran
bahan bakar fosil. Berdasarkan hasil Laporan Kajian dan Uji Pemanfaatan Biodiesel 20%
(B20) yang dilakukan oleh Ditjen EBTKE bersama beberapa stakeholder terkait pada
tahun 2014, diperoleh hasil uji emisi sebagai berikut :
i. Kendaraan berbahan bakar B20 menghasilkan emisi CO yang lebih rendah
dibandingkan kendaraan B0. Hal ini dipengaruhi oleh lebih tingginya angka cetane
dan kandungan oksigen dalam B20 sehingga mendorong terjadinya pembakaran
yang lebih sempurna.
ii. Kendaraan berbahan bakar B20 menghasilkan emisi Total Hydrocarbon (THC) yang
lebih rendah dibandingkan kendaraan B0. Hal ini disebabkan pembakaran yang
lebih baik pada kendaraan B20, sehingga dapat menekan emisi THC yang
dihasilkan.

21) Negara mana saja yang sudah mengaplikasikan program B20 ?


Indonesia adalah negara pertama yang berhasil mengimplementasikan B20 dengan bahan
baku utama bersumber dari kelapa sawit. Negara yang telah berhasil
mengimplementasikan B20 adalah Minnesota, Amerika Serikat mulai Mei 2018. Adapun
Kolombia baru pada tahap B10 dari tahun 2011 dan Malaysia baru pada tahap B10 pada
tahun 2019.

22) Apa yang dimaksud dengan program B30 ?


Program B30 adalah program pemerintah untuk mewajibkan pencampuran 30% Biodiesel
dengan 70% bahan bakar minyak jenis Solar.
23) Mengapa Pemerintah melaksanakan Program Mandatori B30 ?
Peningkatan pencampuran biodiesel dengan bakan bakar minyak jenis solar dilaksanakan
karena melihat keberhasilan implementasi Program B20 dan selaras dengan target
pencampuran biodiesel yang tertuang pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun
2015.Penerapan B30 juga diharapkan dapat semakin mengurangi laju impor BBM
sehingga meningkatkan devisa negara.

24) Apa yang telah dilakukan Pemerintah sebagai persiapan pelaksanaan Program
Mandatori B30 ?
Beberapa persiapan yang telah dilakukan untuk implementasi B30, antara lain:
melakukan Revisi SNI Biodiesel;
melakukan uji jalan/fungsi B30;
memastikan kesiapan produsen biodiesel;
memastikan metode sistem handling dan penyimpanan yang tepat;
memastikan kesiapan infrastruktur; dan
melakukan sosialisasi untuk memastikan penerimaan semua pihak terkait, termasuk
masyarakat.

25) Bagaimana pelaksanaan uji jalan/fungsi B30 ?


Uji Jalan (Road Test) untuk kendaraan dengan kapasitas < 3,5 ton dan > 3,5 ton
dilaksanakan selama bulan Mei – November 2019 dengan melibatkan Kementerian
ESDM, BPDPKS, BPPT, PT Pertamina (Persero), APROBI, GAIKINDO, dan IKABI.

Gambar 13. Rute dan Kendaraan Road Test B30


(https://ebtke.esdm.go.id/images/15958634b70cf5af844271b2192b5fa1_p.png )
26) Bagaimana hasil Uji Jalan B30 ?
Pada tanggal 28 November 2019 telah dipaparkan hasil dari Road Test B30, dimana
secara umum dinyatakan sebagai berikut :
Pemanfaatan B30 memberikan peningkatan daya mesin;
Menurunkan emisi; dan
Tidak memberikan dampak negatif pada mesin.

27) Apa rekomendasi dari pelaksanaan Uji Jalan B30 ?


Beberapa rekomendasi dari pelaksanaan Road Test B30 sebagai berikut:
 Untuk menjaga kualitas B30, selama proses pencampuran, penyimpanan, dan
penyaluran perlu dilakukan tindakan penanganan terkontrol dan termonitor secara
berkala;
 Biodiesel (B100) sebaiknya disimpan dalam tangki tertutup dan dihindarkan dari
kontak dengan udara dan segera dilakukan pencampuran dengan B0;
 Biodiesel (B100) yang digunakan pada campuran B30, diusulkan memiliki kadar
monogliserida (MG) maksimum sebesar 0,55 % massa, dan kadar air maksimum
sebesar 350 ppm;
 Direkomendasikan kepada APM untuk memberikan informasi kepada konsumen yang
menggunakan kendaraan baru bahwa diawal pemakaian dapat terjadi penggantian
filter yang lebih cepat.

28) Bagaimana persiapan teknis, administrasi dan infrastruktur guna mendukung


kesuksesan pelaksanaan Program Mandatori B30 ?
Beberapa persiapan baik teknis, administrasi dan infrastruktur juga terus dilakukan,
diantara lain:
 Telah ditetapkan spesifikasi (B100) untuk pencampuran 30% (B30) berdasarkan
Kepdirjen EBTKE No. 197 K/10/DJE/2019 tentang Spesifikasi BBN Jenis Biodiesel
Sebagai Bahan Bakar Lain yang Dipasarkan di Dalam Negeri.
 Telah ditetapkan alokasi biodiesel tahun 2020 sebesar 9.590.131 KL (untuk 18 BU
BBM dan 18 BU BBN).
 Telah diterbitkan Daftar BU BBN Biodiesel untuk Titik Serah atau Depot Tujuan
Periode 2020 (28 Pertamina, 37 BU BBM lainnya).
 Melaksanakan trial B30 di 8 Titik Serah milik PT Pertamina (Persero).
 Penandatanganan kontrak BU BBM dan BU BBN telah dilakukan sejak awal
Desember 2019 (untuk kontrak PT Pertamina dengan BU BBN ditanda tangan pada
tanggal 16 Desember 2019).

29) Bagaimana persiapan proses distribusi guna mendukung kesuksesan pelaksanaan


Program Mandatori B30 ?
o Untuk memastikan sistem logistik dan handling yang handal serta meminimalisir
naiknya kandungan air selama proses distribusi, maka diusulkan untuk melakukan
trial B30 di titik-titik yang sudah siap untuk penyaluran B30. Adapun titik yang sudah
siap dan BU BBN yang sanggup menyuplai B30 adalah 8 (delapan) titik serah milik
PT Pertamina (Persero). Trial dimulai pada 25 November 2019.
o Saat ini penyaluran B100 untuk pencampuran B30 telah dilakukan dengan
menggunakan moda kapal, truk, dan pipa di 8 TBBM Pertamina. Saat ini kualitas
biodiesel yang telah disalurkan untuk trial B30 berdasarkan COA dari Pabrik
Biodiesel masih memenui spesifikasi sebagaimana yang telah ditetapkan untuk tahun
2020, untuk pengecekan lebih lanjut akan dilakukan pengambilan sampel di titik serah
dan akan diuji untuk kualitas B100 maupun B30.

30) Apa manfaat pelaksanaan Program Mandatori B20 dan B30 bagi aspek ekonomi
dan sosial?
Secara garis besar manfaat ekonomi dan sosial dari implementasi B20 dan B30, sebagai
berikut :

Tabel 1. Manfaat Pelaksanaan Program Mandatori B20 dan B30


NILAI MANFAAT PROGRAM
MANFAAT
B20 TAHUN 2018 B20 TAHUN 2019 B30 TAHUN 2020
Volume yang digunakan 3,75 juta KL 6,62 juta KL 9,59 juta KL
= 23,59 juta barel/tahun = 41,68 juta barel/tahun = 60,31 juta barel/tahun
= 64,62 barel/hari = 114,21 ribu barel/hari = 165,24 ribu barel/hari
Penghematan devisa USD 1,89 milyar USD 3,54 milyar USD 5,13 milyar
= Rp26,67 triliun = Rp43,81 triliun = Rp63,39 triliun
Peningkatan nilai tambah Rp5,78 triliun Rp9,68 triliun Rp13,82 triliun
(CPO menjadi biodiesel)
Mempertahankan tenaga On farm : 478.325 orang On farm : 828.488 orang On farm : 1,2 juta orang
kerja (petani sawit) Off farm : 3.609 orang Off farm : 6.252 orang Off farm : 9.055 orang
Pengurangan emisi GRK 5,61 juta ton CO2 9,91 juta ton CO2 14,25 juta ton CO2
dan peningkatan kualitas ~ 20.317 bus kecil ~ 35.908 bus kecil ~ 52.010 bus kecil
lingkungan
F. GLOSARIUM

Biodegradable : Mudah terurai secara biologis


Biodiesel : Bahan bakar nabati yang terbuat dari minyak nabati
atau lemak hewani melalui proses
esterifikasi/transesterifikasi untuk ditrapkan pada
mesin/motor diesel
Biopark : Teknologi pelestarian sumber air dengan tanaman biologi
Biosolar : Campuran biodiesel dan minyak solar dengan
perbandingan tertentu. Misalnya Biosolar B20 yang
merupakan campuran 20% biodiesel dengan 80%
bahan bakar minyak jenis solar.
Ecosan : Teknologi pengolahan air limbah domestik dengan
ecological sanitation
Enzim : Biokatalisator yang mengatur laju reaksi biokimia
dalam tubuhtanpa mengubah kesetimbangan reaksi
tersebut. Enzim terbentuk dari senyawa protein hasil
anabolisme
Esterifikasi : Reaksi antara trigliserida dan akohol dengan katalis
asam pada pembuatan biodiesel
Karsinogen : Zat berracun yang dapat menyebabkan kelainan pada
tubuh.
Korosi : Kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi dengan
lingkungan yang korosif. Dua Jenis bahan kimia yang
bersifat korosif, yaitu :
a. Bahan korosif padatan, misalnya : kaustik soda,
NaOH ; kalium hidroksida, KOH ; kalsium
hidroksida, Ca(OH)2
b. Bahan korosif cairan, misalnya : asam sulfat,
H2SO4 ; asam cuka, CH3COOH ; asam klorida,
HCl ; asam nitrat, HNO3
Vermicompost : Produk metabolisme cacing tanah yang memakan
limbah organikWaste water garden : Taman bunga air limbah
DAFTAR PUSTAKA

Puspaningsih, R. Ayuk. Tjahjadarmawan, Elizabeth. Krisdianti, R. Niken. (2021).


Ilmu Pengetahuan Alam SMA Kelas X. Jakarta : Pusat Kurikulum dan
Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,Riset, dan Teknologi.
Mustafa, Dina. (2018). Penerapan Kimia Hijau untuk Menjamin Keamanan
Pangan. Jakarta : Seminar Nasional Universitas Terbuka.
Nefilinda (2014). “Teknologi Hijau : Solusi untuk Pelestarian Sumber Air”.
Jurnal Spasial : Penelitian, Terapan Ilmu Geografi, dan Pendidikan
Geografi. 1, (2), 18-28.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2019). Program Mandatori
Biodiesel 30% (B30). Jakarta : EBTKE.

Anda mungkin juga menyukai