Makalah Kelompok Vi-1

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KELOMPOK VI

POLIGAMI DALAM PANDANGAN ULAMA

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Muqaranah Munakahat

Dosen Pengampu: Dra.Azizah,MA

Disusun Oleh
Khairunnisa. Ds (11200440000001)

Dzaki Mubarak (11200440000030)


Faruk Hidayatullah (1120044000044)

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2022
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Menjadi sunnatullah bagi semua manusia untuk mencari dan memiliki pasangan
yang berbeda gender demi keberlangsungan hidup berumah-tangga. Memiliki pasangan
tentu menghasilkan banyak manfaat seperti menghasilkan keturunan, menyalurkan
syahwat dengan cara yang halal dan memiliki jaminan kebahagiaan di masa tua.

Memiliki keturunan merupakan salah satu syariat yang diperintahkan oleh


rasulullah. Rasul Bersabda dalam suatu hadist tentang pernikahan “ siapa yang berpaling
dari sunnahku (menikah dan sebagainya) maka dia bukan bagian dari ummatku”. Dalam
agama islam, menikah merupakan palang pintu utama agar bisa-nya tercipta keturunan.
Karena bagaimanapun, tidak akan bisa dikatakan keturunan yang sah apabila anak yang
dilahirkan bukan dari pernikahan yang sah.

pernikahan adalah ibadah yang menjadi penyempurna iman. Akan tetapi hukum
nikah tidak bisa terpatok pada satu pengertian hukum saja. Bisa saja hukum pernikahan
berubah wajib, mubah, bahkan ada masanya hukum nikah berubah jadi haram. Apabila
seorang calon suami ingin menikahi seorang perempuan dengan keadaan yang pasti akan
membahayakan si istri atau bahkan mendzalimi serta menyakiti istrinya maka
pernikahannya berubah menjadi haram. Hal tersebut tergantung pada ihwal keadaan
setiap individu.

Dalam sunnatullah, bahwa hati manusia akan sempurna wujud cintanya jika
hanya mencintaai satu pasangan saja. Hal ini demi tidak terbaginya rasa cinta itu kepada
orang lain. Namun dalam tatanan masyarakat, beberapa laki-laki bisa dikatakan tidak
memiliki rasa cukup jika menikahi satu perempuan saja. Sehingga beberapa laki-laki ada
yang memiliki istri sebanyak 2 (dua), 3 (tiga) atau lebih.

Berkaca dari fenomena itu, islam mulai mengatur bagaimana cara seorang pria
menikahi wanita. Dalam alquran dijelaskan “maka nikahilah apa yang sanggup bagimu
dari perempuan sebanyak dua, tiga, atau empat wanita”. Ayat tersebut memberi
kelonggaran bagi laki-laki untuk menikahi beberapa perempuan. Akan tetapi ayat
tersebut tidak serta merta membolehkan seperti itu, namun ketentuan poligami (menikahi
beberapa perempuan) memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi. Apa saja syarat itu
dan bagaimana pendapat ulama mazhab mengenai ayat tersebut. Makalah ini akan
menjelaskan bagaimana pendapat ulama mazhab dalam membahas poligami.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Poligami
2. Bagaimana Kasus Poligami Pertama
3. Bagaimana Poligami Dalam Pandangan Syafii dan Dalilnya
4. Bagaimana Poligami Dalam Pandangan Hanafi dan Dalilnya
5. Bagaimana Poligami Dalam Padangan Ahmad Bin Hambal dan Dalilnya
6. Bagaimana Poligami Dalam Pandangan Maliki dan Dalilnya
7. Bagaimana Poligami Dalam Pandangan MUI dan Dalilnya
8. Perbandingan Pendapat Ulama

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Memenuhi tugas matakuliah muqaranah mazahib fil munakahat
2. Memahami prosedur poligami yang sesuai dengan sunnah rasulullah
3. Mencari celah agar bisa memiliki istri banyak
4. Mencari alasan konkrit agar istri mau dan ngizinin poligami
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Poligami

Kata “poligami” berasal dari bahasa Yunani, polus yang artinya banyak dan
gamein, yang artinya kawin. Jadi, poligami artinya kawin banyak atau suami beristri
banyak atau istri bersuami banyak pada saat yang sama. Secara terminologi, poligami
terbagi dua, yakni poligami dan poliandri. Poligami adalah untuk suami yang beristri
banyak, sedangkan poliandri adalah istri yang bersuami banyak (lebih dari seorang).
Dalam bahasa Arab, poligami disebut dengan ta’did al-zawjah (berbilangnya pasangan)
dalam bahasa Indonesia disebut permaduan. Menurut ajaran Islam, yang kemudian
disebut dengan syariat Islam (hukum Islam), poligami ditetapkan sebagai perbuatan yang
diperbolehkan atau mubah. Dengan demikian, meskipun dalam surat an-Nisa ayat 3
disebutkan kalimat “fankihu”, kalimat amr (perintah) tersebut berfaedah mubah bukan
wajib, yang dapat direlevansikan dengan kaidah ushul fiqh: al-asl fi al-amr al-ibahah
hatta yadula dalilu ‘ala at-tahrim (asal dari sesuatu itu boleh, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya).

Dalam KBBI, poligami memiliki arti sistem perkawinan yang salah satu pihak
memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan. Sedangkan
di dalam KHI pengertian poligami dalam pasal 55 : KHI : (1) “beristri lebih dari satu
pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri” Poligami secara umum
dapat dipahami dengan ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini
beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul
melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan monogami berarti perkawinan
yang suami menikahi dan mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu atau
selamanya.

Selain istilah diatas, kita juga mengenal istilah monogami. Monogami adalah
perkawinan hanya dengan satu istri. Monogami adalah pernikahan yang dilakukan oleh
seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Monogami merupakan asas perkawinan
dalam Islam sehingga suami boleh menikah lebih dari satu dengan syarat dapat berbuat
adil. Jika keadilan sulit untuk ditegakkan, Allah menetapkan dengan cukup menikahi satu
orang perempuan saja.
Para ahli memebedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari
seorang istri dengan istilah poligami yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan
gune berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari
seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan
Andros yang berarti laki-laki.1
B. Poligami di Masa Rasulullah

Hidup dengan memiliki istri lebih dari satu juga dilakukan oleh masyarakat Arab.
Sudah menjadi sebuah kebiasaan dan budaya bagi masyrakat Islam memiliki banyak istri.
Kemudian dengan datangnya Islam membawa pencerahan untuk mengatur cara dan
jumlah istri dari praktik poligami tersebut. Islam memiliki konsep humanis yang luhur
serta mulia yang seyogyannya diterapkan dalam hidup bermasyarakat serta menunjukan
bahwa memang Islam sangat menghargai kemanusiaan.

Dalam salah satu hadits disebutkan bahwa ada seorang masuk Islam dan masih
memiliki 10 orang istri. Lalu oleh Rasulullah SAW diminta untuk memilih empat saja
dan selebihnya diceraikan. Beliau bersabda, “Pilihlah 4 orang dari mereka dan ceraikan
sisanya”. (Hadits itu adalah hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh At-tirmizy hadits
no. 1128, oleh Ibnu Majah hadits no. 1953)

Menurut Alhamdani dalam bukunya Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam,


jika para wanita dibiarkan dalam hidup kesendirian mereka akan labil dan mudah
diombang-ambingkan sehingga mudah terjerumus ke dalam perbuatan nista yang
merusak moral. Jika memperhatikan rasio dari jumlah laki-laki dan wanita yang tidak
seimbang, maka bisa dikatakan praktik poligami ini merupakan solusi untuk menjaga dan
melindungi wanita.

Poligami pada zaman Nabi saw, sudah sepatutnya dijadikan cerminan poligami
dalam Islam. Pada dasarnya beliau berpoligami dengan tujuan mulia, yakni untuk
menolong janda-janda yang ditinggal mati oleh para syuhada’ dan anak-anak yatim untuk
“berjuang di jalan Allah” dan beliau mengamalkan monogami lebih lama daripada
poligami.

Dalam Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid Sabiq dengan mengutip kitab Hak-hak Wanita


Dalam Islam karya Ustaz Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan bahwa poligami bila
kita runut dalam sejarah sebenarnya merupakan gaya hidup yang diakui dan berjalan
dengan lancar di pusat-pusat peradaban manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa hampir
semua pusat peradaban manusia (terutama yang maju dan berusia panjang) mengenal
poligami dan mengakuinya sebagai sesuatu yang normal dan formal. Para ahli sejarah
mendapatkan bahwa hanya peradaban yang tidak terlalu maju saja dan tidak berusia
panjang yang tidak mengenal poligami.

1 Zakiyah darajat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1985) hlm. 17.
Dalam banyak catatan, Nabi SAW, seringkali memuji kehidupannya bersama
Khadijah r.a yang dinikahinya ketika berumur 25 tahun, sedangkan dia berumur 40 tahun.
Sampai akhir hayatnya Khadijah r.a, Nabi SAW, tidak terpikir sama sekali untuk
menikah dengan perempuan lain. Ini mengherankan karena Nabi SAW, pada saat itu
sedang dalam kondisi yag sangat prima dan Khadijah r.a sendiri tidak memberikan anak
laki-laki. Jika tradisi Arab saat itu menjadi rujukan, Nabi SAW, memiliki segudang
alasan dan legitimasi sosial untuk melakukan poligami. Akan tetapi, Nabi SAW, memilih
setia monogami sampai berumur 53 tahun. Perbandingan kehidupan monogami dan
poligami Nabi SAW, adalah 25 tahun berbanding 8 tahun. Perbandingan yang cukup
signifikan untuk menyatakan bahwa sunnah Nabi SAW, lebih berat kepada perkawinan
monogami dibandingkan poligami. Nabi SAW, setia monogami, justru pada saat segala
kondisi kesehatan, sosial, dan politik sangat memungkinkan.

Rasulullah belum pernah melakukan poligami sampai wafatnya Khadijah binti


Khuwailid r.a. pada usia enam puluh lima tahun.5 Setelah beiau, baru Rasulullah
melakukan poligami dengan mantan istri atau anak para sahabatnya, dalam rangka
mengeratkan hubungan dan ikut membantu menanggung beban keluarga mereka. Inilah
deretan nama-nama Ummahatul Mukminin setelah wafatnya Khadijah r.a
a. Saudah binti Zam'ah, dinikahi Rasulullah SAW pada usia lima puluh lima
tahun (55 th). Dia adalah termasuk mukminah yang berhijrah dan yang
memberikan harinya kepada Aisyah r.a.
b. Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddig r.a., ia adalah satu-satunya istri
Rasulullah yang masih gadis ketika dinikahinya dan yang paling banyak
meriwayatkan hadits (2210 hadits).
c. Hafshah binti Umar bin Khatthab r.a., dinikahinya pada usia lima puluh lima
(55) tahun.
d. Zainab binti Khuzaimah r.a., ia adalah shahabiyah yang penyabar dan gigih
dalam perjuangan Islam dengan mengorbankan segala yang dimilikinya.
Dinikahi Rasulullah SAW pada usia enam puluh (60) tahun dan hanya dua
bulan bersamanya.
e. Hindun binti Abu Umayyah (Ummu Salamah) r.a., ia adalah seorang janda
dari Abdullah bin Asad yang syahid di Perang Badar. Ummu Salamah juga
termasuk dari deretan Muhajirat yang pergi meninggalkan Mekah menuju
Habasyah (Ethiopia). Rasulullah SAW menikahinya pada usia enam puluh
lima (65) tahun.
f. Zainab binti Jahsy, sepupu Rasulullah SAW yang menikah dengan anak
angkatnya, Zaid bin Haritsah. Setelah tidak ada kecocokan dalam membina
keluarga, maka perceraian tidak bisa dihindari lagi. Akhirnya Rasulullah
menikahinya dalam rangka menghapus larangan menikah dengan mantan istri
anak angkat.
g. Juwairah binti Al-Harits, putri pemimpin Bani Musthalig, Al-Harits bin
Dhiraar. Rasulullah SAW menikahinya dalam rangka merapatkan barisan dan
menggalang kekuatan.
h. Ummu Habibah binti Abu Sufyan, janda dari Ubaidillah bin Jahsy yang
meninggalkan Mekah menuju Habasyah untuk menyelamatkan akidahnya.
Suaminya murtad ketika berada di Habasyah. Di saat bingung menentukan
pilihan antara kembali ke rumah orang tuanya dan tetap bersama umat Islam,
Rasulullah saw melamarnya dan menikahinya dalam rangka menepis
kebingungan dan kegelisahannya.
i. Shafiyah binti Huyay bin Akhtab, putri pemimpin Bani Quraizhah yang
tertawan setelah suaminya terbunuh dalam Perang Khaibar. Dialah yang
membaca ayat Allah SWT. Dalam surat al- Anam yang berbunyi, Ketika
Rasulullah SAW berkata, “Bapakmu senantiasa menjadi orang yang paling
keras menentangku sampai ia mati.” Akhirnya Rasulullah SAW memberikan
dua pilihan kepada Shafiyah, masuk Islam dan Rasul menikahinya atau tetap
dalam agama Yahudi kemudian dikembalikan kepada kaumnya. Di hadapan
dua pilihan ini, ia memilih memeluk Islam dan menerima tawaran Rasulullah
SAW untuk mendampingi beliau.
j. Maimunah binti Al-Harits r.a., janda Abu Rahm bin Abdul Uzza yang
dinikahi Rasulullah SAW pada tahun tujuh Hijriyah. Dialah istri Rasulullah
yang terakhir yang dinikahi dalam rangka ta liful gulub (penyatuan hati)
kabilah-kabilah yang masih ada hubungan dekat dengan Maimunah.

Musuh Islam menjadikan poligami Rasulullah sebagai pintu penghinaan kepada


Islam. Mereka menuduh Islam sebagai agama yang mengikuti tuntutan syahwat, kondisi
di mana Rasululah berada dan sebab-sebab beliau berpoligami. Tidak diragukan bahwa
setelah beliau ditinggal Khadijah, beliau tidak menikah selain dengan Saudah binti
Zam'ah dan tidak menambah istri kecuali setelah berdiri daulah islamiyah di Madinah.
Pakar sejarah dari kaum Muslimin dan orientalis Barat sepakat bahwa beliau berpoligami
pada usia lanjut. Hal itu membuktikan bahwa poligami tersebut tidak berlangsung kecuali
karena tuntutan syariat dan kepentingan dakwah.

Berbicara masalah poligami yang dilakukan Rasulullah SAW adalah sama dengan membahas
pribadi Muhammad yang sebagai seorang suami dengan peran beliau sebagai Nabi, karena
memang kedua hal ini tidak dapat dipisahkan. Kerasulan Muhammad tidak menghapuskan dari
hati beliau sifat kasih sayang sebagai manusia biasa dan menghilangkan perasaan batinnya. 2
Sebagai manusia biasa nabi Muhammad mempunyai perasaan batin seperti rasa cinta dan benci,
simpati dan antipati, takut dan harap, juga rasa bahagia dan sedih.

2 Aisyah Bintu Asy-Syathi’, Nisâ`An-Nabî ‘Alaihi Ash-Shalâh wa As-Salâm... hal.23


Terdapat bayak sekali keterangan yang bersumber dari AlQur’an maupun hadits yag
menggambarkan bagaimana kehidupan poligami Rasulullah SAW, seperti bagaimana rumah
tangga Nabi SAW dilanda masalah, akibat kecemburuan yang dialami oleh istriistri beliau dalam
surat At-Tahrîm ayat 1-3.

Persaingan dan perselisihan pun wajar terjadi dalam rumah tangga rasulullah SAW, karena
istri-istri nabi pun juga manusia biasa yang memiliki rasa cinta, dan terkadang rasa cinta ini
melahirkan perasaan cemburu, dan menyebabkan perselisihan. Namun yang menjadi point dalam
masalah ini adalah bagaimana Rasulullah menghadapinya dengan selalu bersikap hati-hati dan
tetap berlaku adil terhadap istri-istrinya.3

C. Dalil Poligami

1. Dalam QS. An-Nisa ayat 3


‫س ۤاءِ َمثْ ٰنى َوث ُ ٰلثَ َو ُر ٰب َع ۚ فَا ِْن خِ ْفت ُ ْم اَ اَّل‬
َ ِ‫اب لَكُ ْم مِنَ الن‬ َ ‫ط‬ َ ‫َوا ِْن خِ ْفت ُ ْم اَ اَّل ت ُ ْق ِسطُ ْوا فِى ا ْل َي ٰتمٰ ى فَا ْن ِك ُح ْوا َما‬
‫تَ ْع ِدلُ ْوا فَ َواحِ دَة ً اَ ْو َما َملَكَتْ اَ ْي َمانُكُ ْم ۗ ٰذلِكَ اَدْ ٰنٰٓى اَ اَّل تَعُ ْولُ ْو ۗا‬

Artinya : Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu
miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

2. Dalam QS. An-Nisa ayat 129

ْ ‫س ۤاءِ َولَ ْو َح َر‬


‫صت ُ ْم فَ ََل تَمِ ْيلُ ْوا كُ ال ا ْل َم ْي ِل فَتَذَ ُر ْوهَا كَا ْل ُم َعلاقَ ِة َۗوا ِْن‬ َ ِ‫َولَ ْن تَ ْستَطِ ْي ُع ْٰٓوا اَ ْن تَ ْع ِدلُ ْوا َبيْنَ الن‬
‫غفُ ْو ًرا ارحِ ْي ًما‬ َ ‫ص ِل ُح ْوا َوتَتاقُ ْوا فَا اِن ه‬
َ َ‫ّٰللا َكان‬ ْ ُ‫ت‬

Artinya : Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Ayat ini turun setelah perang Uhud usai pada tahun 4H/626M. Pada saat itu
banyak dari umat islam yang gugur dalam pertempuran yang kemudian dibebani dengan

3 Aisyah Bintu Asy-Syathi’, Nisâ`An-Nabî ‘Alaihi Ash-Shalâh wa As-Salâm... Hal.45


banyaknya anak yatim, janda dan tawanan perang yang ada. Untuk menjaga mereka dari
perbuatan yang dilarang, Allah membolehkan untuk mengawini mereka. tetapi jika
mereka takut akan menelantarkan mereka, tidak sanggup memelihara harta anak yatim,
maka Allah memerintahkan carilah wanita lain untuk dikawini sampai empat orang.

Hadist Abu Dawud meriwayatkan dari al-Harits bin Qais bin ‘Umairah al-Asadi,
ia mengatakan, “Aku masuk Islam, sedangkan aku mempunyai delapan isteri. Lalu aku
menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda,
“Pilihlah empat di antara mereka.”

D. Poligami Dalam Pandangan Syafii dan Hambali dan Dalilnya

Poligami merupakan konsep ajaran islam yang sangat sulit untuk dibantah
kebolehannya. Jika ditinjau kepada kitab-kitab imam syafii, kita tidak akan menemukan
suatu kalimat yang menyatakan bahwa ulama menolak kebolehannya. Namun beberapa
ulama membatasi kebolehan poligami dengan beberapa syarat.

Akan tetapi imam Syafii dan Hambali hanya saja membatasi poligami karena jika
poligami dibiarkan mubah begitu saja dan sangat mudah dilakukan dikhawatirkan
seorang ummat akan terjerumus karena tidak mampu berlaku adil. Beliau berkata:

Bagi kalangan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, seseorang tidak dianjurkan untuk


berpoligami tanpa keperluan yang jelas (terlebih bila telah terjaga [dari zina] dengan
seorang istri) karena praktik poligami berpotensi menjatuhkan seseorang pada yang
haram (ketidakadilan). Allah berfirman, Kalian takkan mampu berbuat adil di antara para
istrimu sekalipun kamu menginginkan sekali.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang
memiliki dua istri, tetapi cenderung pada salah satunya, maka di hari Kiamat ia berjalan
miring karena perutnya berat sebelah.’ ... Bagi kalangan Hanafiyah, praktik poligami
hingga empat istri diperbolehkan dengan catatan aman dari kezaliman (ketidakadilan)
terhadap salah satu dari istrinya. Kalau ia tidak dapat memastikan keadilannya, ia harus
membatasi diri pada monogami berdasar firman Allah, ‘Jika kalian khawatir
ketidakadilan, sebaiknya monogami,’ 4

Imam Syafi’i berkata : Pembicaraan pada ayat itu ditujukan kepada orang-orang
merdeka, berdasarkan firman-Nya, “Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak
yang kamu miliki.” (Q.S. al-Nisa’: 3) Sebab, tidak ada yang memiliki selain orang
merdeka. Begitu pula dengan firmanNya, “Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya” (QS. al-Nisa’: 3) Sesungguhnya yang berbuat aniaya hanyalah orang

4https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-islam-memandang-praktik-poligami-0VNZk
yang memilki harta, sementara budak tidak memiliki harta. Telah diriwayatkan dari
Abdullah bin Utbah bahwa Umar bin Khatthab berkata, “Laki-laki budak boleh menikahi
dua wanita.” Imam Syafi’i berkata : Laki-laki budak tidak boleh menikahi wanita lebih
dari dua orang, demikian pula semua orang yang kemerdekaannya belum sempurna.
Hukum budak yang menikahi lebih dari dua wanita sama seperti hukum laki-laki yang
menikahi lebih dari empat orang wanita, maka saya katakan, “Pernikahan yang terakhir
harus dipisahkan, yakni isteri yang kelima dan seterusnya.” Demikian pula harus
dipisahkan isteri budak yang lebih dari dua orang.5

Dalam bahasannya imam Syafii menganggap bahwa poligami merupakan rukhsah


(keringanan) sehingga beliau mengkonsepkan bahwa seorang yang ingin poligami harus
diperhatikan dulu apakah ia mampu untuk berbuat adil atau tidak. Jika dia dalam
kehidupan sehari-hari tidak mencerminkan perilaku adil, maka beliau khawatir dan
melarang untuk melanjutkan poligami karena jika tetap dipaksakan hal itu akan
mengakibatkan kezaliman terhadap istri-istrinya. Apabila seorang pria dikira mampu
untuk berlaku adil dalam kehidupan beristri banyak maka beliau membolehkan. Konsep
ini dinamakan dengan konsep syarat hukum

Keadilan adalah syarat kedua yang dikemukakan oleh imam Syafii. Orang yang
mempunyai isteri lebih dari seseorang wajib menjaga keadilan antara isteri-isterinya
dengan seadil-adilnya, terutama menurut lahiriyahnya, Firman Allah SWT: Artinya:
“Dan tidak sekali-kali kamu mampu melakukan keadilan antara kaum wanita (isterimu),
walaupun kamu benar-benar mengaharapkan keadilan itu, maka janganlah kamu
tumpahkan seluruh kasih sayang itu (kepada isteri yang kamu cintai) hingga kamu
meninggalkan isterimu yang lain, seperti orang-orang yang digantung tak bertali.
Apabila kamu mau berbuat baik serta kamu takut kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Pengasih.”(Q.S. An-Nisa : 129)

Maksudnya, sekali-kali kamu tidak akan sanggup berlaku adil antara


isteriisterimu. Oleh sebab itu, apabila kamu tampakkan seluruh kecintaanmu itu kepada
salah seorang isterimu saja, tentu isteri yang lain berarti kamu sia-siakan, apalagi tidak
kamu kunjungi. Nasib isterimu yang tak dikunjungi itu tak ubahnya seperti perempuan
yang digantung tak bertali. Dikatakan bersuami, tidak ada suami, dikatakan janda
ternyata masih bersuami. Oleh karena itu, jika kamu berdamai, karena takut melanggar,
itulah yang lebih baik.6

Keadilan yang dimaksudkan mencakup kepada empat aspek yaitu :

5 Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm Buku 2 (Jilid 3-6) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 384

6 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S. Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi engkap) Buku 2, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007, Hal. 327
- Adil dalam Pembagian Giliran
Salah satu pembagian yang penting dilakukan oleh suami terhadap para
isterinya ialah pembagian giliran. Jika ia bekerja siang, hendaklah
mengadakan penggiliran di waktu malam, begitu pula sebaliknya jika ia
bekerja malam, hendaklah diadakan giliran di waktu siang. Apabila telah
bermalam di rumah isterinya yang seorang, ia harus bermalam pula di rumah
isterinya yang lain. Masa gilir bagi seorang isteri paling pendek adalah satu
malam; yaitu terhitung mulai matahari terbenam hingga terbit fajar. Adapun
yang paling lama adalah tiga malam.

Dalil :

‫علَى‬ َ ‫ضنَا‬ َ ‫َض ُل َب ْع‬ ِ ‫ّٰللا صلى هللا عليه وسلم َّل يُف‬ ِ ‫سو ُل ا‬ ُ ‫ " َكانَ َر‬: ْ‫شةُ رضي هللا عنها َقا َلت‬ َ ِ‫عائ‬
َ ‫عن‬
‫علَ ْينَا َجمِ يعًا (ا ْم َرأة ً ا ْم َرأةَ) فَيَدْنُو‬
َ ‫وف‬ ْ ‫ض فِي ا ْلقَس ِْم‬
ُ ُ‫ َو َكانَ قَ ال يَ ْو ٌم ِإَّل َوه َُو يَط‬، ‫مِن ُم ْكثِ ِه ِع ْندَنَا‬ ٍ ‫بَ ْع‬
‫ِيس َحتاى يَ ْبلُ َغ إِلَى الاتِي ه َُو يَ ْو ُم َها فَيَبِيتَ ِع ْندَهَا‬
ٍ ‫غي ِْر َمس‬ ْ ٍ‫مِن كُ ِل ا ْم َرأَة‬
َ ‫مِن‬ ْ

Artinya :
Aisyah berkata, “Rasulullah SAW tidak mendahulukan sebagaian kami di atas
sebagian yang lain dalam hal jatah menginap diantara kami (istri-istri
beliau), dan beliau selalu mengelilingi kami seluruhnya (satu persatu) kecuali
sangat jarang sekali beliau tidak melakukan demikian. Maka beliau pun
mendekati (mencium dan mencumbui) setiap wanita tanpa menjimaknya
hingga sampai pada wanita yang merupakan jatah menginapnya, lalu beliau
menginap ditempat wanita tersebut”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

- Diundi untuk keluar


Apabila suami menghendaki membawa salah seorang isterinya untuk
bepergian, maka hendaklah melakukan undian terlebih dahulu di antara
mereka, dan yang memperoleh undian itulah yang berhak untuk di ajak pergi.
Bagi suami yang sedang bepergian tidak wajib mengadhai (mengganti)
kepada isterinya yang ditinggal selama bepergian.

Dalil :

َ ‫سائِ ِه فَأَيات ُ ُه ان خ ََر َج‬


‫س ْه ُم َها خ ََر َج بِ َها‬ َ ‫سف ًَرا أَ ْق َر‬
َ ِ‫ع بَيْنَ ن‬ َ َ‫سلا َم إِذَا أَ َراد‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلاى ا‬
َ ُ‫ّٰللا‬ ِ ‫َكانَ َرسُو ُل ا‬
َ ‫ّٰللا‬
ُ‫َم َعه‬
Artinya, “Rasulullah SAW itu ketika hendak bepergian akan mengundi di
antara istri-istrinya. Siapa pun undiannya yang keluar, maka beliau akan pergi
bersamanya.”

- Adil dalam memberikan nafkah


Adil dalam nafkah tentu sesuai porsi masing-masing istri, karena kebutuhan
istri yang memiliki anak 1 (satu) dengan istri yang memiliki anak 3 (tiga)
tentu berbeda.
Dalil :
Dari Saad bin Abi Waqosh RA berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
"Dan sesungguhnya jika engkau memberikan nafkah, maka hal itu adalah
sedekah, hingga suapan nasi yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu."
(HR. Bukhari dan Muslim).

E. Poligami Dalam Pandangan Hanafi ,Maliki dan Dalilnya

Menurut Abu Bakar Jassas Razi yang d kutip pada Jurnal Studi Keislaman
Mazhab Hanafi Menginterpretasikan Surat al-Nisa (4) : 3 secara berbeda dengan
pendapat umum. Pendapat ini diwakili oleh Abu Bakar Jassas Razi yang mengatakan
dalam Ahkam al-Qur‟an, bahwa kata yatim dalam ayat tersebut tidak berarti anak yang
ditinggal mati ayahnya semata, tetapi mencakup janda yang ditinggal mati suaminya
juga.7 Al-Kasyani berpendapat, poligini dibolehkan tetapi syaratnya harus adil. Namun
jika seseorang khawatir tidak bisa berbuat adil dalam nafkah lahir sandang, pangan dan
papan dan nafkah batin (membagi giliran tidur) terhadap istri-istrinya, maka Allah
menganjurkan kaum lelaki untuk menikah dengan satu istri saja. Bersikap adil dalam
nafkah lahir dan batin merupakan kewajiban syari yang bersifat darurat dan perlu di
pertanggung jawabkan, darurat berarti sesuatu yang harus di tunaikan karena sangat
penting dan pokok. Contoh bentuk perlakuan adil terhadap beberapa isteri adalah nafkah
yang berkaitan dengan materi contoh nya adalah makanan tempat tinggal dan pakaian.
Baik diberikan pada isteri merdeka maupun hamba sahaya, karena semua itu merupakan
keperluan-keperluan dasar primer, dan dijelaskan juga suami dilarang mengganti
kewajiban nafkah batinnya dengan uang , demikian juga bagis isterinya , tidak boleh
memberikan uang pada suaminya agar mendapat jadwal lebih dari isteri yang lain.

7 Fathonah, Jurnal “Telaah Poligini, Perspektif Ulama Populer dunia” (Jurnal Studi Keislaman Volume 5 Nomor1 Maret 2015)
h. 22
Dalam kebanyakan buku-buku ulama Malikiyah membahas seputar hukum
poligini hamba sahaya, keharaman beristri lebih dari empat orang serta kewajiban
membagi jadwal giliran terhadap istriistrinya. Menurut Imam Malik (W. 179 H/796 M)
yang di kutip dalam Jurnal Kajian Studi Keislaman seorang hamba sahaya dalam hal
poligini juga sama dengan orang merdeka, mereka sama-sama dibolehkan mempunyai
istri sampai empat orang, karena ayat tersebut bersifat umum.8Meskipun ketika ini sudah
tiada hamba-hambasahaya, tetapi tetap harus diakui bahwa pendapat ini progresif dari
pada pendapat ulama fiqh lain yang sezamannya dalam mengakui hak-hak seorang
hamba sama dengan hak-hak yang merdeka. Menjadikan pendapat ini berbeda dengan
pendapat sebagian besar fuqaha yang mengatakan bahwa seorang hambahanya
diperbolehkan menikahi dua istri saja, karena hak-hak hamba sahaya ditetapkan hanya
separo dari hak-hak orang merdeka. Sementara masalah sikap adil, Ibnu Rusyd
mengatakan bahwa kewajiban bersikap adil di antara para istri sudah menjadi ijma‟ulama
yang tidak boleh ditawar-tawar lagi.9
Senada dengan pendapat ulama mazhab lainnya, imam Hanafi dan Imam Maliki
menyatakan bahwa poligami itu diperbolehkan dengan ketentuan Imam hanafi meyakini
bahwa konsep poligami bukanlah rukhsah (Keringanan) akan tetapi azimah (Hukum
asal). Mereka tetap memberi batas bahwa seorang pria diperbolehkan untuk menikah 4
(empat) orang perempuan begitu saja. Beliau meyakini bahwa persyaratan adil dalam
poligami akan muncul seiring berjalannya waktu poligami.

Imam Hanafi dan Maliki menyatakana bahwa syarat adil untuk poligami akan
muncul dalam hubungan poligami. Sehingga tidak perlu untuk mengecek terlebih dahulu
apakah calon suami yang akan poligami dalam kehidupan sehari-harinya berbuat adil
atau tidak. Namun apabila seoraang yang kekeh untuk melakukan poligami sedang dia
tidak mampu untuk berbuat adil maka jika dia adil maka dapat pahala, dan jika ia tidak
mampu berbuat adil maka dapat dosa.

F. Poligami Dalam Pandangan KHI dan Dalilnya


Di indonesia, tidak ada larangan tegas untuk terjadinya hubungan poligami antara
seorang pria dengan beberapa wanita. Akan tetapi dalam penerapannya, seorang pria

8
Fathonah, Jurnal “Telaah Poligini, Perspektif Ulama Populer dunia” (Jurnal Studi Keislaman Volume 5 Nomor1
Maret 2015) h. 23
9
Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Fi Nihayah, Al Muqtashid, (Daar Al Fikr Juz 2) h, 42
harus memiliki beberapa kualifikasi dan persyaratan agar bisa mengajukan permohonan
poligami ke pengadilan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam prosedur atau tata cara poligami telah diatur
sebagai berikut:
Pasal 55:
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai
emat orang istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi
suami dilarang beristeri lebih dari seorang.

Pasal 57:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Prosedur Poligami menurut UU dan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1974:


Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

G. Sebab-sebab poligami
a. Sebab-sebab umum poligami
Di antaranya adalah untuk mengatasi persoalan banyaknya kaum perempuan dan
sedikitnya kaum laki-laki. Baik dalam kondisi yang biasa akibat bertambahnya populasi kaum
perempuan, seperti yang terjadi di Eropa selatan, atau setelah terjadinya peperangan,
sebagaimana yang teriadi di ferman setelah peperangan dunia pertama.

Dalam kondisi yang seperti itu, sistem poligami adalah sebuah sistem yang sangat
dibutuhkan secara sosial dan moral, yang mengandung unsur maslahat dan rahmat. Serta
menjaga kaum perempuan dari keburukan dan penyimpangan, yang membuat mereka terkena
penyakit yang membahayakan serta melindungi mereka dalam rumah tangga yang berisikan rasa
tenang dan nyaman, dari pada mencari pacar sementara.

Termasuk di antara sebab yang umum ini adalah, terkadang kebutuhan umat terhadap
bertambahnya jumlah penduduk, untuk melakukan peperangan melawan musuh, atau untuk
membantu pekerjaan pertanian, pabrik, dan yang lainnya. Termasuk di antara sebab yang umum
ini adalah, kebutuhan sosial untuk mendapatkan hubungan kekerabatan dan besanan untuk
menyebarkan dakwah Islam, sebagaimana yang terjadi terhadap Nabi saw.
b. Sebab-sebab khusus poligami

1. Kemandulan istri, atau adanya penyakit atau tabiatnya tidak sejalan dengan tabiat suami.

Bisa jadi seorang perempuan mandul dan tidak bisa memiliki anak. Atau dia memiliki
penyakit yang kronis, yang membuatnya terhalang untuk mewujudkan keinginan suaminya. Atau
tabiatnya tidak selaras dengan tabiat suaminya. Maka alangkah baik dan benarnya, serta untuk
meniaga nama baik jika si istri ini terus berada di dalam ikatan perkawinan; karena hal ini lebih
mulia untuknya, dan lebih dia sukai. Lalu dia berikan kesempatan kepada suaminya kawin untuk
yang kedua kalinya yang dapat mewujudkan kebahagiaan untuknya dengan lahirnya anak-anak.
Serta terpenuhinya insting rasa cintanya terhadap anak-anak.

2. Besarnya rasa benci seorang laki-laki terhadap istrinya pada beberapa waktu Terkadang
terjadi pertikaian keluarga antara seorang suami dengan kerabat istrinya, atau antara
suami dengan istri, yang tidak menemukan jalan keluar, yang membuat kondisi menjadi
menjadi pelik, dan kedua pihak saling bersikeras. Oleh sebab itu, jalan keluar yang ada
adalah, perpisahan untuk selama-lamanya, yang menyebabkan hati si istri terus merasa
sakit untuk selama-lamanya. Atau kesabaran yang bersifat sementara dari si suami, yang
membutuhkan moral yang tinggi dan rasa kesetiaan, juga rasa kebijaksanaan dan rasional.
3. Bertambahnya kemampuan seksual pada beberapa orang laki-laki Terkadang beberapa
orang manusia memiliki energi seks yang tinggi, yang membuat dia tidak merasa cukup
dengan satu orang istri, yang bisa jadi karena umurnya yang sudah tua, atau karena rasa
bencinya untuk melakukan hubungan seks, atau karena panjangnya masa menstruasinya
dan masa nifas si istri. Oleh sebab itu, jalan keluar bagi kondisi yang seperti ini, dan
berdasarkan ajaran agama yang menuntut seseorang untuk menjaga kesucian dan
kemuliaannya adalah melakukan poligami, daripada melakukan hubungan seks yang
tidak legal, yang di dalamnya terdapat kemurkaan Allah Azza wa |alla, serta keburukan
individu dan sosial secara umum yang pasti akan terjadi dengan menyebarnya kekejian
atau zina.

H. Perbandingan Pendapat Ulama dan analisa penulis


Dari beberapa sumber yang penulis baca jumhur ulama sepakat untuk tidak melarang dan
tidak mewajibkan poligami sehingga hukum poligami adalah mubah. Jumhur ulama juga
bersepakat bahwa batas untuk poligami hanya sebatas 4 (empaat orang istri). Apabila jika
melebihi 4 (empat) orang istri maka diperintahkan untuk menceraikan sisanya. Ulama
klasik juga tidak ada yang menyatakan bahwa bolehnya poligami bagi seorang pria harus
dengan seizin istri-nya, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka tidak mengusung wajib
poligami dengan seizin istri.

Namun ulama mazhab memiliki perbedaan pendapat mengenai konsep adil dalam
berpoligami. Imam syafii dan imam hambali menyatakan bahwa konsep adil bagi seorang
laki-laki harus tampak sebelum melakukan poligami, karena mereka meyakini bahwa
poligami merupakan rukhsah dalam agama dengan tujuan terhindar dari perbuatan zina.
Sedangkan imam hanafi menyatakan bahwa konsep keadilan dalam poligami tidak mesti
ditampakkan oleh seorang pria dalam kehidupan sebelum poligami. Beliau meyakini
bahwa poligami merupakan azimah (hukum asal) sehingga keadilan menjadi kewajiban
yang ada sesudah poligami, bukan sebelum poligami. Konsep ini disebut sebagai konsep
syarat agama.

Zaman sekarang, menurut penulis poligami merupakan sebuah gerakan yang sulit untuk
dilakukan. Hal ini dikarenakan bahwa wanita di zaman modern lebih mendominasi
dibandingkan wanita di zaman jahiliyah. Di zaman modern wanita mendapat hak yang
seumpama hak laki-laki. Dengan isu feminisme, mempecepat laju pikiran bahwa wanita
bukan makhluk nomor 2 (dua) melainkan wanita itu sebanding dengan laki-laki dalam
bidang apapun baik dalam teknisi, dapur, transportasi, dan lain sebagainya.
Poligami bukan sebuah kewajiban ataupun sunnah (anjuran) untuk dilakukan, melainkan
sebatas mubah (kebolehan). Sehingga jika seorang pria tetap meyakini bahwa poligami
merupakan sebuah kewajiban sedang dia tidak mampu untuk berlaku adil maka poligami
bisa menjadi haram untuknya. Ini sesuai dengan kaedah yang berbunyi “menjauhkan
kemudharatan lebih utama dibandingkan mengerjakan kebaikan” .
BAB III

KESIMPULAN

1. Poligami merupakan pernikahan yang dilakukan oleh seorang suami dengan beberapa
istri
2. Poligami dalam agama islam hukumnya mubah
3. Poligami memiliki syarat yaitu adil
4. Poligami memiliki batas sampai 4 (empat) orang wanita
5. Di indonesia poligami tidak semudah yang dinyatakan oleh imam Hanafi
6. Di indonesia poligami harus memiliki beberapa syarat tambahan
7. Poligami bisa berubah menjadi haram tatkala si suami jelas-jelas tidak mampu
berlaku adil
8. Poligami merupakan rahmat allah

SARAN

1. Kami selaku penulis makalah mengaku masih banyak kesalahan baik dalam
menggunakan ejaan, tata bahasa, kalimat maupun yang lainnya. Kami sudah mengerjakan
dan memaparkan dengan penuh usaha agar dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Oleh sebab itu, kami mengharapkan pembaca untuk memberikan masukan, saran, dan
kritik untuk kami, agar kedepannya kami bisa menjadi lebih baik dalam pembuatan
makalah
2. Kami sebagai pemakalah juga berharap dengan tulisan ini dapat menambah wawasan
pembaca maupun untuk penulis sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Zakiyah darajat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1985) hlm. 17

Aisyah Bintu Asy-Syathi’, Nisâ`An-Nabî ‘Alaihi Ash-Shalâh wa As-Salâm... hal.23

Aisyah Bintu Asy-Syathi’, Nisâ`An-Nabî ‘Alaihi Ash-Shalâh wa As-Salâm... Hal.45

https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-islam-memandang-praktik-poligami-0VNZk

Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm Buku 2 (Jilid 3-6) (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), 384

Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S. Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi engkap) Buku 2, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2007, Hal. 327

Fathonah, Jurnal “Telaah Poligini, Perspektif Ulama Populer dunia” (Jurnal Studi Keislaman
Volume 5 Nomor1 Maret 2015) h. 22

Fathonah, Jurnal “Telaah Poligini, Perspektif Ulama Populer dunia” (Jurnal Studi Keislaman
Volume 5 Nomor1 Maret 2015) h. 23

Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Fi Nihayah, Al Muqtashid, (Daar Al Fikr Juz 2) h, 42

Anda mungkin juga menyukai