Makalah Peradilan Agama
Makalah Peradilan Agama
Makalah Peradilan Agama
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat Islam dan Iman
kepada kita, dan menjadikan kita umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Shalawat
berangkaikan salam kita hadiahkan kepada nabi besar Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
sallam’ rahmat bagi semesta alam dan pemberi petunjuk jalan menuju keselamtan sampai akhir
zaman. Amma ba’du.
Saya berterima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan ilmu kepada kami,
kepada dosen pengajar yaitu bapak Dr. Raden Asep Hamdan Munawar. MSI yang telah
memberikan tugas makalah kepada kami dan juga sekaligus sebagai motivasi semangat belajar
kami, kepadateman kelompok maupun tidak yang telah sudi membantu dalam penyelesaian
makalah ini,sehingga ini makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini
disusun sebagai bahan materi dari mata kuliah Peradilan di Indonesia mengenai Peradilan
Agama.
Merupakan sebuah harapan pula, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya untuk penulis sendiri. Penulis berharap agar pembaca dapat memberikan
kritik dan saran yang bersifat positif guna untuk kesempurnaan tugas makalah ini. Untuk itu
lebih kurangnya penulis meminta maaf apabila ada materi yang tidak di masukkan dalam
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua serta sebagai amal shaleh dan
menjadi motivator untuk menyusun makalah yang lebih baik lagi.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Balakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan.............................................................................................................. 11
B. Saran........................................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di Indonesia, sebagai salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman telah cukup memakan waktu yang sangat panjang,
sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian, karena memang
Islam adalah agama hukum, dalam arti sebuah aturan yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah Sang Pencipta (hablumminallah) yang sepenuhnya dapat dilakukan oleh
pemeluk agama Islam secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain (hablumminannas) dan dalam kehidupan
masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya secara
paripurna.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum Islam selalui
berjalan beiringan tidak dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu pertumbuhan Islam selalu
diikuti oleh pertumbuhan hukum islam itu sendiri. Jabatan hakim dalam Islam merupakan
kelengkapan pelaksanaan syari’at Islam. Sedangkan peradilan itu sendiri merupakan kewajiban
kolektif , yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimanapun
juga.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka pemakah akan menyimpulkan pembahasan ini menjadi
beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah
1
C. Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan pembahasan pemakalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Peradilan Agama adalah salah satu peradilan resmi diantara empat lingkungan
Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia dan juga salah satu
diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia, karena Peradilan Agama mengadili perkara-
perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya
berwenang di bidang perdata tertentu saja dan hanya untuk orang-orang yang beragama Islam
di Indonesia.
Peradilan Agama secara nyata sudah ada dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia
sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dengan beraneka ragam sebutan
istilahnya, seperti Rapat Ulama, Raad Agama, Mahkamah Islam, Mahkamah Syara’,
Priesterrad, Pengadilan Paderi, Godsdients Beamte, Mohammedansche Godsdients Beamte,
Kerapatan Qadli, Hof voor Islamietische Zaken, Kerapatan Qadli Besar, Mahkamah Islam
Tinggi, dan sebagainya.
Pada zaman Jepang tidak banyak mengalami perubahan tetapi pada tahun 1957 yakni
setelah Indonesia merdeka, ada lagi Badan Peradilan Agama yang dibentuk baru dengan
sebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah dan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah Provinsi.
Menurut ordonantie Peradilan Agama untuk pulau Jawa dan Madura yaitu stbl. 1882-
152, jis. Stbl 1937-116 dan 610, pasal 2a menjelaskan bahwa Peradilan Agama berwenang
untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara tertentu saja,
3
menurut hukum Islam, antara orang-orang yang beragama Islam, semata-mata perkara yang
bersifat perdata.
Begitu pula jika kita memperhatikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan dan pelaksanaannya, yang menyatakan
bahwa bagi mereka yang beragama Islam melalui Peradilan Agama, tetapi tidaklah komplit
mencakup perkara nikah menurut konsepsi Islam yang universal.
Dari uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa Peradilan Agama adalah
Peradilan Islam di Indonesia dan belum dapat dikatakan sebagai peradilan Islam secara
universal, karena Peradilan Islam yang universal merupakan peradilan yang mempunyai
prinsip-prinsip kesamaan, sebab hukum Islam itu tetap satu dan dapat diberlakukan dimanapun
bukan hanya untuk suatu bangsa atau negara tertentu saja. Dirangkainya “Peradilan Islam”
dengan kata-kata “di Indonesia” perlu digarisbawahi, karena Peradilan Agama tersebut hidup
di dalam hukum Negara Indonesia, ia harus mampu menyelaraskan hukum Islam di satu pihak
dengan hukum negara Indonesia di pihak lainnya.
Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa Peradilan Agama di
Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke VII Masehi atau abad
pertama hijriyah, hukum Islam berkembang bersama-sama dengan Hukum adat dengan erat
sehingga satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan karena saling kait mengait. Adapun
politik hukum Hindia Belanda yang berkembang kemudian adalah adanya isu tentang
terjadinya konflik antara hukum Islam dengan hukum adat yang pada intinya konflik ini
dengan sengaja dibesar-besarkan oleh para ahli hukum adat di Indonesia, seperti: B. Ter Haar,
Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje.
Pada masa awal pasca kemerdekaan Indonesia (orde lama), teori receptie ternyata
masih menguasai alam pikiran dari para sarjana hukum Indonesia, khususnya yang ada di
legislatif maupun yang ada di yudikatif. Hal ini nampak dengan berlakunya hukum adat dalam
kerangka hukum nasional, yakni berlakunya hak-hak masyarakat adat (hak ulayat)
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok
4
Agraria (UUPA). Pada kenyataannya masih tampak nyata bahwa seolah-olah hukum Islam
yang berlaku di masyarakat baru berlaku jika hukum adat telah menerimanya.
Selama masa awal kemerdekaan hingga masa orde lama, keberadaan peradilan agama
tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena politik kaum kolonialisme yang
tidak mensejajarkan peradilan agama dengan peradilan umum masih tetap diberlakukan, baik
menyangkut kompetensi absolutnya maupun menyangkut kompetensi relatif, finansial dan
oraganisasinya, sehingga quasi peradilan sebagaimana disebutkan sebelumnya masih tetap
berjalan, padahal, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 19 Tahun 1964, eksistensi
lembaga peradilan agama secara tegas dinyatakan, bertugas untuk menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman di samping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara. Meskipun demikian, suatu hal yang menggembirakan adalah bahwa pada masa
pemerintahan orde lama telah diterbitkan suatu ketentuan yang mengatur tentang keberadaan
peradilan agama diluar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan, yaitu PP. No. 45 Tahun 1957,
sehingga sejak itu keberadaan peradilan agama diakui sebagai salah satu dari 4 lingkungan
Peradilan Negara.
Kondisi peradilan agama di era Orde Lama tersebut berlanjut hingga awal dan akhir
pemerintahan Orde Baru, meski telah dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1970
sebagai pengganti Undang-undang No. 19 Tahun 1964, namun apa yang dinamakan quasi
pengadilan masih tetap berjalan. Hal ini terlihat dari sejak berdirinya tahun 1882 hingga akhir
tahun 1989 suasana kesemuan dan kelumpuhan peradilan agama masih tetap terasa, karena di
satu sisi secara formil dan legalistik peradilan agama diserahi kekuasaan untuk melaksanakan
kekuasaan kehakiman, akan tetapi di sisi lain secara realistik peradilan agama lumpuh, pincang
dan tidak sempurna.
5
D. Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde Lama
Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, di samping sebagai Peradilan
khusus yakni sebagai Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan
perundang-undangan negara, untuk mewujudkan hukum materiil Islam dalam batas-batas
kekuasaannya.
Pada masa orde lama yakni mulai tahun 1957-1974 ada 4 hal yang perlu kita ketahui
mengenai lahirnya dasar hukum Pengadilan Agama yang bertujuan untuk mempertahankan
keeksistensian Pengadilan Agama di Indonesia, yakni PP No. 29 Tahun 1957, PP No. 45
Tahun 1957, dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang akan dijelaskan secara rinci
sebagai berikut.
Pada tahun 1957 lahirlah PP (Peraturan Pemerintah) No.29 Tahun 1957 yang
mengatur mengenai Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di
Provinsi Aceh yang bertugas mengadili perkara-perkara yang bertalian dengan Agama
Islam.
Mahkamah Syar’iyyah ini sebenarnya sudah ada sejak tanggal 1 Agustus 1946 atas
tuntutan rakyat sebagai hasil revolusi kemerdekaan yang sesuai dengan hasrat
masyarakat di Aceh, sehingga dibentuklah Mahkamah syar’iyyah yang diakui sah
oleh wakil Pemerintah Pusat di Pemantang Siantar. Mahkamah Syar’iyyah tidak
hanya terdapat di Aceh, tetapi juga terdapat di beberapa daerah lainnya di Sumatera,
yaitu Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang, dan Lampung.
6
Dengan adanya ketidakpastian kedudukan Mahkamah Syar’iyyah tersebut,
menimbulkan pergejolakan di kalangan masyarakat. Dalam rangka meredakan
pergejolakan serta untuk memberikan landasan yang kuat bagi eksistensi Peradilan
Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura, maka diajukan sebuah
rancangan Peraturan Pemerintah tentang pembentukan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah untuk daerah Aceh, sehingga lahirlah PP No. 29 Tahun 1957.
Menurut PP No. 29 Tahun 1957 ini, maka daerah-daerah yang ada Pengadilan Negeri
di Provinsi Aceh ada sebuah Pengadilan Agama yang susunannya terdiri dari
sekurang-kurangnya seorang ketua dan 2 orang anggota dan sebanyak-banyaknya 8
orang anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
7
Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di Sumatera, yakni
pembentukan 54 Pengadilan Agama dan 4 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah
Provinsi, kemudian disusul dengan pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah di Indonesia Bagian Timur yaitu 6 Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyyah dan 1 Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi di Banjarmasin
dan 34 Pengadilan Agama/ Mahkamah dan 1 Pengadilan Agama/ Mahkamah Provinsi
di Makassar.
Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa pada hakikatnya isi dan
wewenang Pengadilan Agama Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 sama dengan
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957 sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
sehingga adanya pencabutan peraturan sebelumnya, akan tetapi, pembentukan
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 ini diharapkan dapat berlaku secara efektif
dan integratif, dengan pembentukan Pengadilan Agama yang semakin meluas di
seluruh penjuru wilayah di Indonesia dapat menyelesaikan masalah-masalah yang
tidak hanya di Aceh saja, tetapi menyelesaikan masalah-masalah di daerah lainnya.
8
3. Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
a. Lahirnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No. 14 Tahun
1970
Dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945,
maka pada tanggal 31 Oktober 1964 lahirlah Undang-Undang No. 19 Tahun 1964
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Menurut undang undang
ini, Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan melaksanakan hukum
yang mempunyai fungsi pengayoman yang dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun tidak lama kemudian, undang-undang ini diganti dan disempurnakan dengan
UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pokok Kehakiman karena
sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan. Pada pasal 10 ayat (1) dan (2) dari
undang-undang tersebut menyatakan bahwa:
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
Dari uraian di atas dapat kita rumuskan bahwa Peradilan Agama adalah
salah satu dari lingkungan Peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah
di Indonesia, di samping tiga kekuasaan kehakiman atau tiga lingkungan
Peradilan Negara yang sah lainnya. Mahkamah Agung dan keempat lingkungan
Peradilan Negara tersebut adalah kekuasaan yang merdeka, yang dalam
pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah atau
pengaruh-pengaruh lainnya. Dalam undang undang baru ini ditegaskan bahwa
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka karena sejak tahun 1945-
1966 keempat lingkungan peradilan di atas bukanlah kekuasaan yang merdeka
9
secara utuh, melainkan di sana sini masih mendapat intervensi dari kekuasaan
lain.
Dari isi pasal ini dapat kita pahami bahwa tugas utama Peradilan Agama
adalah di bidang yudikatif sama seperti 3 pengadilan yang lain. Adapun
hubungan Peradilan Agama dengan Departemen Agama sebagaimana hubungan
Peradilan Agama dengan Departemen Kehakiman yang terbatas di bidang
organisatoris, administratif, dan keuangan, sebagaimana yang dijelaskan di
dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi:
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa keberadaan Peraadilan Agama sudah
ada sebelum kedatangan para penjajah Belanda. Peradilan Agama mengalami pengalaman
dinamika yang berbeda dengan peradilan lainnya, dimana Peradilan Agama membutuhkan
proses yang panjang untuk memperkuat eksistensinya di Negara Indonesia, khususnya pada
masa orde lama yang melahirkan UU No. 14 Tahun 1970 yang memperkuat wewenang
Peradilan Agama, dimana kedudukannya sama seperti 3 peradilan yang lain, yakni Peradilan
Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Selain itu juga, ada beberapa peraturan-peraturan yang lahir pada masa orde lama,
yaitu:
Selanjutnya dengan adanya peraturan peundang-undangan yang lebih baik, maka para
penegak hukum, hendaknya bertindak secara maksimal sesuai dengan peraturan-peraturan
yang berlaku, untuk menghindari adanya penyelewengan hukum.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.
_______, Undang-Undang Peradilan Agama, Panji Masyarakat, No. 634, Jakarta, tanggal 1-10
Januari 1990.
Halik, Ihsan,” Peradilan Agama”, www. hukum perdata.blogdetik.com/2011/03/19/peradilan-
agama.html, diakses pada tanggal 02 Oktober 2013.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hikmat, Asep, Dinamika Islam, Bandung: Risalah, 1982.
Jalil, H.A. Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum, (Hukum
Islam, Hukum Barat, Hukum Adat: Dalam Rentang Sejarah, Jakarta: Prenada Media,
2006.
Noeh, Zaini Ahmad dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Rasyid, Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
_______, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1989.
Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Tanja, Viktor, Forum RUUPA, No. 48/THN II, Jakarta, Tanggal 5 Agustus 1989.
12