Hamka
Hamka
Hamka
Hamka
a. Biografi Buya Hamka
Buya Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir pada tanggal 17 Februari
1908 di Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatra Barat. Buya Hamka juga bergelar
Datuk Indomo. Buya Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Buya
Hamka aktif dikenal sebagai ulama, sastrawan, penulis dan tokoh Islam. Buya Hamka
mendapatkan gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar di
Mesir dan Universitas Kebangsaan Malaysia.
Buya Hamka adalah anak pertama dari empat bersaudara. Buya Hamka adalah
anak Haji Abdul Karim Amrullah dan Safiyah. Ayahnya dikenal sebagai Haji Rasul,
merupakan pelopor Gerakan Ishlah (tajdid) di Minangkabau. Ketika kecil, Buya Hamka
kerap mendengar pantun tentang alam Minangkabau dari anduangnya(nenek). Hal itu
terjadi jika sang ayah harus bepergian untuk berdakwah. Kemudian Buya Hamka pindah
ke Padang Panjang mengikuti kepindahan orang tuanya.1
Buya Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Di antaranya seperti Filsafat, Sastra, Sejarah, Sosiologi dan Politik, baik dalam dunia
Islam maupun dunia Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat
meneliti karya-karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak,
Jurji Zaidan, Abbas Al-Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti, dan Husayn Haykal. Melalui
bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Prancis, Inggris, dan Jerman seperti
Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl
Marx dan Pierre Loti.
Ketokohan Buya Hamka dan keluasan ilmu pengetahuannya, serta kepeduliannya
terhadap nasib umat Islam, tidak hanya terkenal di kalangan nasional saja, tetapi juga di
Timur Tengah, dan Malaysia. Tun Abdul Razak Perdana Menteri Malaysia pernah
mengatakan bahwa Buya Hmak bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi juga
kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara. Pada tanggal 24 Juli 1981 Buya Hamka
berpulang ke rahmatullah. Jasa dan pengaruhnya masih terasa hingga kini dalam
memartabatkan agama Islam di Indonesia. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang
1
Ibnu Ahmad Al Fathoni, Biografi Tokoh Pendidik dan Revolusi Melayu, Buya Hamka, independent publisher, 2015, hlm 2-4.
tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya juga dihargai di
seantero Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura.
b. Latar Belakang Pendidikan
Di Padang Panjang Buya Hamka belajar di sekolah desa dan mengikuti kelas sore
di sekolah agama yang didirikan oleh Zainuddin Labay El-Yunusy pada tahun 1916.
Karena kesukaannya dengan pelajaran bahasa, Buya Hamka cepat menguasai bahasa
Arab. Ketika Hamka berusia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatra Thawalib di
Padang Panjang. Setelah tiga tahun belajar di sekolah desa, ayahnya memasukkannya ke
Thawalib, agar ia lebih bisa mempelajari ilmu agama dan bahasa serta bisa mendalami
kitab-kitab klasik, nahwu serta sharaf. Terlepas dari pelajaran sekolah formal, Buya
Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diajarkan oleh
ulama terkenal seperti Syekh Ibrahim Musa dan Syekh Ahmad Rasyid.2
Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecilnya dipenuhi gejolak
batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda
tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam,
tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Sejak muda, Buya Hamka dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya,
memberi Buya Hamka gelar Si Bujang Jauh. Pada akhir tahun 1924, tepat di usia ke 16
tahun, Hamka merantau ke Yogyakarta dan mulai belajar pergerakan Islam modern
kepada sejumlah tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M
Soerjopranoto dan H. Fachruddin. Dari sana dia mulai mengenal perbandingan antara
pergerakan politik Islam, yaitu Sarekat Islam Hindia Timur dan gerakan Sosial
Muhammadiyah.
Di sana ia tinggal selama enam bulan bersama iparnya A.R. St. Mansur. Beliau
banyak belajar pada iparnya, baik tentang Islam yang dinamis dan politik. Di sini beliau
mulai berkenalan dengan pemikiran Muhammad Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad
Abduh, dan Rosyid Ridha yang berupaya mendobrak kebekuan umat Islam pada masa
itu.
Pada bulan 1925, ia pulang ke Maninjau. Sekembalinya dari Jawa, ia membawa
semangat dan wawasan baru tentang Islam yang dinamis. Adapun buah tangan berharga
2
https://muhammadiyah.or.id/buya-hamka-ulama-sastrawan-tanah-melayu/;https://id.wikipedia.org/wiki/Hamka
dibawanya adalah beberapa buah karya yang memuat pemikiran ilmuwan waktu itu.
Dengan bekal dan pengalaman dan pengetahuan, baik ilmu Agama maupun pengetahuan
umum, ia telah berani tampil berpidato di muka umum. Untuk membuka wawasannya, ia
mulai berlangganan pula dengan ide-ide pembaharuan dan pergerakan umat Islam baik
Indonesia maupun luar negeri.
c. Karya-karyanya
Pada tahun 1927, ia berangkat menunaikan ibadah haji sambil menjadi
koresponden pada harian Pelita Andalas di Medan. Sekembalinya dari Makkah, ia tidak
langsung ke Minangkabau, namun singgah di kota Medan untuk beberapa waktu. Di kota
inilah ia banyak menulis artikel di berbagai majalah waktu itu.
Ada 94 karya yang sekiranya selama masa hidupnya termanuskrip dengan baik,
seperti Sastra : Di Bawah Lindungan Ka'bah 1938, Tuan Direktur 1939, Merantau ke
Deli 1939, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck 1930 dan di flmkan pada tahun 2013.
Karya Ilmiah; Tafsir Al Azhar 1965, Tasawuf Modern 1939, Falsafah Hidup 1940,
Lembaga Hidup 1955, Sejarah Ummat Islam 1997, Dll.3
2. Tafsir Al Azhar
a. Sejarah
Kitab Tafsir al-Azhar adalah salah satu karya Buya Hamka dari sekian banyaknya
karya yang beliau tulis. Tafsir Al-Azhar merupakan kumpulan ceramah pada setiap
khutbah subuh yang disampaikan oleh Hamka di Masjid Agung al-Azhar sejak tahun
1959. Hamka menulisnya setiap pagi waktu subuh sejak akhir tahun 1958, namun sampai
Januari 1964 belum juga bisa di selesaikan. Nama Al-Azhar sendiri muncul di Masjid Al
Azhar dan nama itu pun diberikan secara langsung oleh Rektor Universitas Al-Azhar
Mesir, Syeikh Mahmud Syaltut.4
Riwayat penulisan Tafsir al-Azhar memang sangat menarik. Hamka sendiri
mengakui dalam pendahuluan penulisan tafsirnya ini sebagai ‘hikmah Ilahi’. Pada
awalnya tafsir ini ia tulis dalam majalah Gema Islam sejak Januari 1962 sampai Januari
1964. Namun baru dapat dinukil satu setengah juz saja, dari juz 18 sampai juz 19.
Kegiatan Hamka dalam menafsirkan al Qur’an di Masjid Agung al-Azhar
terpaksa dihentikan dengan tertangkapnya Hamka oleh penguasa Orde Lama. Ia
3
Ibnu Ahmad Al Fathoni, Biografi Tokoh Pendidik dan Revolusi Melayu, Buya Hamka, independent publisher, 2015, hlm 45.
4
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz I. (Jakarta: Panjimas, 1982), hal. 66.
ditangkap pada hari Senin, 27 Januari 1964, tidak beberapa lama setelah menyampaikan
kuliah Subuh kepada sekitar seratus jama’ah wanita di Masjid Agung al-Azhar.
Namun penahanan Hamka ini tidak menghentikan kegiatan Hamka dalam
penulisan Tafsir al-Azhar. Status tahanan penguasa Orde Lama justeru membawa
hikamah tersendiri dan memberi kesempatan yang lebih luas bagi Hamka untuk
merampungkan penulisan Tafsir al-Azhar. Dengan tumbangnya Orde Lama dan
munculnya Orde Baru, Hamka memperoleh kembali kebebasannya. Ia dibebaskan pada
tanggal 21 Januari 1966 setelah mendekam dalam tahanan sekitar dua tahun.
Kesempatan bebas dari tahanan ini digunakan sebaiknya oleh Hamka untuk
melakukan perbaikan dan penyempurnaan penulisan Tafsir al-Azhar, yang telah
digarapnya di sejumlah tempat tahanan. Ketika perbaikan dan penyempurnaan itu
dirasakan memadai, barulah kemudian buku Tafsir al-Azhar diterbitkan.
b. Metode dan Sistematika Penulisan Tafsir al-Azhar
Metode penafsiran yang digunakan dalam kitab Tafsir al-Azhar ini adalah metode
tahlili (metode analisis). Buku-buku tafsir yang menggunakan metode tahlili pada
umumnya menggunakan urutan penafsiran sesuai dengan urutan surah dan ayat
sebagaimana yang tercantum dalam mushaf al Qur’an. Tafsir al-Azhar ini juga disusun
berurutan dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an- Nas.
Metode tahlili adalah suatu metode tafsir yang digunakan oleh mufassir untuk
menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat al Qur’an dari berbagai aspek dengan
menguraikan ayat demi ayat sesuai dengan susunan ayat-ayat yang tedapat dalam mushaf
al Qur’an, melalui pembahsan kosa kata asbab an-nuzul, munasabah ayat, dan
menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat-ayat sesuai dengan kecendrungan serta
keahlian mufassir.5
Meskipun menggunakan metode tahlili, dalam Tafsir al-Azhar tampaknya Hamka
tidak banyak memberikan penekanan pada penjelasan makna kosa kata. Hamka banyak
memberi penekanan pada pemahaman ayat-ayat al Qur’an secara menyeluruh. Setelah
mengemukakan terjemahan ayat, Hamka biasanya langsung menyampaikan makna dan
petunjuk yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan, tanpa banyak menguraikan kosa
kata. Penjelasan kosa kata kalaupun aada, ianya jarang dijumpai.
5
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,(Bandung, Pustaka Mizan), 1993. Hal. 117
Dalam menguraikan penafsiran, sistematika yang digunakan Hamka yaitu khusus
pada awal surah, sebelum menguraikan penafsiran terlebih dahulu beliau menulis
pendahuluan yang isinya sekitar penjelasan mengenai surah tersebut antara lain arti nama
surah, sebeb surah tersebut diberi nama demikian, asbabun nuzul ayat termasuk mengenai
kontradiksi berbagai pendapat para ulama menyangkut sebab turun surah tersebut.6
c. Corak Penafsiran Tafsir al-Azhar
Jika dilihat dari beberapa macam corak tafsir yang ada dan berkembang hingga
kini, Tafsir al-Azhar dapat dimasukkan kedalam corak tafsir adab ijtima’i sebaimana
tafsir as-Sya’rawi yang menafsirkan ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan kondisi sosial dan
budaya masyarakat pada waktu itu agar petunjuk-petunjuk dari al Qur’an mudah
dipahami dan diamalkan oleh semua golongan masyarakat.
Corak tafsir budaya-masyarakat merupakan corak tafsir yang menerangkan
petunjuk-petunjuk al Qur’an yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat.
Tafsir dengan corak ini juga berisi pembahasan-pembahasan yang berusaha untuk
mengatasi masalah-masalah atau penyakit-penyakit masyarakat berdasarkan nasihat dan
petunjuk-petunjuk al Qur’an. Dalam upaya mengatasi masalah-masalah ini, petunjuk-
petunjuk al Qur’an dipaparkan dalam bahasa yang enak dan mudah dipahami. Corak
tafsir budaya kemasyarakatan seperti yang terdapat dalam kitab tafsir al-Azhar ini
sebenarnya telah ada dan dimulai dari masa Muhammad Abduh (1849-1905). Corak tafsir
seperti ini dapat dilihat pada kitab Tafsir al-Manar, yang ditulis oleh Rasyid Ridha yang
merupakan murid Muhammad Abduh.7
Corak budaya kemasyarakatan dapat dilihat dengan jelas dalam tafsir al-Azhar
karya Hamka ini. Tafsir ini pada umumnya mengaitkan penafsiran al- Qur’an dengan
kehidupan sosial, dalam rangka mengatasi masalah atau penyakit masyarakat, dan
mendorong mereka ke arah kebaikan dan kemajuan. Dalam menafsirkan ayat-ayat al
Qur’an, ketika mendapat kesempatan untuk mengupas isu-isu yang ada pada masyarakat,
Hamka akan mempergunakan kesempatan itu untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk al
Qur’an dalam rangka mengobati masalah dan penyakit masyarakat yang dirasakan pada
masa beliau menulis tafsir tersebut.
6
M.Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, cet. II, (Jakarta, Pena Madani, 2003), hal.
7
Lihat Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Dar al-Ma’rifah, Beirut, t.th. Lihat juga M.Quraish Shihab, Study Kritis Tafsir al-Manar,
Pustaka Hidayah, Bandung, 1994, hal. 21
3. Kesadaran Ekologi
a. Sejarah Ekologi
diKarenakan ayat ini, ia mendapat pengalaman yang besar untuk meresapi inti ayat
ini selama ditahan 2 tahun 4 bulan sejak 27 Januari 1964 hingga Mei 1966. Pada waktu
itu, begitu banyak tahanan akibat kekacauan politik, berbeda dengan sekarang. Apa yang dialami
Buya Hamka bukanlah karena ia melakukan tindak pidana kriminal, namun tidak salahnya juga
apa yang beliau alami dan rasakan dapat dijadikan acuan dan percontohan bagi tahanan
dan narapidana yang mendekam di balik jeruji besi.
Ia menceritakan dan mencurahkan bagaimana kesabaran dan pengalaman hidupnya dalam
tafsir yang ia karang, yaitu pada bagian penafsiran Surah Al-Insyiraah ayat 5. Ia pernah
mengatakan “kalau saya bawa bermenung saja kesulitan dan perampasan kemerdekaanku itu,
maulah rasanya diri ini gila.”9 Tetapi, akalnya terus berjalan. Ilham Allah pun datang. Lima hari
penahanan pertama saja ia lima kali khatam Alquran. Ia pandai mengatur waktu untuk membaca
dan menulis tafsir dari apa yang telah ia baca. Demikian rutinitas yang ia lakukan sehingga tidak
mengetahui dan tidak banyak lagi memikirkan kapan akan keluar.
Selama penahanan yang dijalani, ia khatam Alquran lebih dari 150 kali selama dua
tahun. Ia juga selesai menulis 28 juz tafsir Alquran karena juz 18 dan 19 telah ia tafsirkan
sebelum ditangkap dalam masa dua tahun.
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berfungsi sebagai hudan li alnaas, sudah tentu bukan
hanya petunjuk dalam arti metafisiseskatologis, tetapi juga menyangkut masalah-masalah praktis
kehidupan manusia di alam dunia. Hal ini disebabkan Al-Qur’an merupakan kitab suci yang selalu
relevan (Salih li kulli zaman wa al-makan) bagi mereka sepanjang masa. 10 Relevansi kitab suci ini terlihat
9
Tafisr Al Azhar
10
Salah, Abd Al-Fattah Al-Khalidi, Mafatih} Li Al-Ta’amul Ma’a Al-Quran, (Damaskus: Dar al Qalam, 1424), 117
pada petunjuk-petunjuk (guidance) berupa pesan-pesan syari’at yang bersifat global diberikan kepada
manusia dalam seluruh aspek dan sendi kehidupan, termasuk di dalamnya patokan-patokan dasar tentang
bagaimana manusia menyantuni, melestarikan alam semesta, dan mengkonservasi lingkungan sekitarnya.
BAB I
PENDAHULUAN
Perubahan radikal terjadi dalam pemerintahan Indonesia pada tahun 1966, dari peme- rintahan
Soekarno (1945-1966) kepada pemerintahan Soeharto yang terkenal dengan sebutan "Orde Baru"
(1966-1998). Ketika Soeharto memulai berkuasa tahun 1966, pe- merintahannya memperoleh dukungan
luas dari mayoritas masyarakat Indonesia: para mahasiswa, kelompok militer, birokrat, masyarakat,
kelompok fungsional Golongan Karya (Golkar) dan yang lainnya (Suryadinata, 1991; Alfian, 1991;
Mas'ud, 1987).
Pada awal pemerintahan Soeharto kebijakan programnya diawali dengan 'paradigma pembangunan
ekonomi', di mana kelompok teknokrat perencana pem- bangunan yang terkenal dengan "Mafia
Berkeley" mengambil langkah langsung untuk memperbaiki dan mengembangkan ekonomi melalui
politik stabilisasi dan kebijakan rehabilitasiPrioritas ditempatkan atas kebijakan stabilisasi, yaitu
pemerintahan melancarkan langkah-langkah untuk mengontrol hiperinflasi, menyesuaikan anggar- an
belanja yang berimbang, membuka ekonomi dengan menyiapkan iklim yang baik untuk investasi asing
dan mendirikan Kelompok Antar Pemerintahan untuk Indonesia (IGGI), yaitu kelompok negara-negara
maju buat membantu pembangunan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Dalam kebijakan
rehabilitasi ekonomi ialah bertujuan untuk menyiapkan kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia
seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan yaitu melalui jalur pembangunan
infrastruktur dan skema inisiatif fiskal misalnya bantuan yang senral dan subsidi. Dalam bidang
pertanian, misalnya pemerintah melancarkan Inpres (Instruksi Presiden) untuk membantu pupuk dan
bibit pada petani. Dalam bidang pendidikan, pemerintah membangun institusi pendidikan buat Sekolah
Dasar (SD Inpres), Sekolah Menengah Pertama (SMP), jalan raya, Pusat Kesehatan Masyarakat
1 Sebutan "Berkeley Mafia" merujuk pada para kelompok teknokrat ekonomi Orde Baru misalnya
Wijoyo
Nitisastro, Emil Salim, Sadeli, Ali Wardana, dll. yang lulusan dari Universitas Berkeley, Amerika
Serikat. Mereka dipercaya untuk merancang 'pembangunan ekonomi' Indonesia pada dekade awal
1
Banan dengan hak cipla
)27( َو َم ا َخ َلۡق َن ا ٱلَّس َم ٓاَء َو ٱَأۡلۡر َض َو َم ا َب ۡي َن ُهَم ا َٰب ِط اًل ۚ َٰذ ِلَك َظ ُّن ٱَّلِذيَن َكَفُروْاۚ َفَو ۡي ٌل ِّلَّلِذيَن َكَفُر وْا ِمَن ٱلَّن اِر
)28( َأۡم َنۡج َع ُل ٱَّلِذيَن َء اَم ُنوْا َو َعِم ُلوْا ٱلَّٰص ِلَٰح ِت َك ٱۡل ُم ۡف ِس ِديَن ِفى ٱَأۡلۡر ِض َأۡم َنۡج َع ُل ٱۡل ُم َّت ِقيَن َك ٱۡل ُفَّج اِر
)29( ِك َٰت ٌب َأنَز ۡل َٰن ُه ِإَلۡي َك ُم َٰب َر ٌك ِّلَي َّد َّبُر ٓو ْا َء اَٰي ِتِهۦ َو ِلَي َت َذ َّك َر ُأْو ُلوْا ٱَأۡلۡل َٰب ِب
Politik Lingkungan
memperbaiki kinerja ekonomi khususnya dan mempercepat pertumbuhan
ekonomi makro pada umumnya. Salah satu aspek pembangunan ekonomi, yang
memberikan kontribusi keuntungan ekonomi ialah sektor 'kehutanan', di mana
pemerintahan mendapatkan devisa asing yang besar dan menciptakan lapangan
kerja.
Pembangunan Sektor Kehutanan
Dalam pembangunan sektor kehutanan, pemerintah melancarkan kebijakan
dengan memperbolehkan sektor swasta untuk menebang dan mengekspor log
(kayu bulat). Ke- bijakan ini berdasarkan Undang-Undang No.1/1967 dan Undang-
Undang No. 6/1968 mengenai investasi 'asing dan dalam negeri', Undang-Undang
Kehutanan No.5/1967 dan Peraturan Pemerintah No. 21/1970 mengenai dasar
hukum dibolehkan melakukan konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) selama 20-
25 tahun, pemotongan kayu log dan industri kehutanan (plywood). Kebijakan
kehutanan ini telah mendorong para investor dalam negeri dan asing, khususnya
pemodal asing internasional (TNC:Transnational Corporation), dari Amerika
Serikat (Wayerhauser, George Pacific, dan lainnya), dan dari Jepang (Mitsubishi,
Sumitomo, Shin Asahigawa, Ataka, dsb) untuk berinvestasi modalnya dalam
sektor kehutanan (Hurst, 1990:34). Konsesi HPH yang menjadi target pertama di
luar Jawa ialah Sumatera dan Kalimantan. Alasan utama ialah karena dua pulau
itu merupakan penyedia stok utama kayu log komersil yang berharga dan dekat
lokasinya dengan pasar Asia.
Eksploitasi penebangan kayu log, karena konsesi HPH itu sangat cepat
berkembang tahun 1970-an, pemerintah Indonesia mendapatkan devisa asing
kedua terbesar setelah sektor minyak bumi. Implikasi devisa yang besar ini
mendukung pem- bangunan ekonomi, melahirkan kerajaan bisnis dan
menciptakan kesempatan lapangan pekerjaan yang lebih besar (Robinson, 1986).
Bagaimanapun, pertumbuhan yang cepat dalam sektor bisnis mempunyai
implikasi besar dalam kerusakan sektor kehutanan, khususnya hutan produksi,
bertambahnya kemiskinan sosial ekonomi masyarakat desa yang tinggal di sekitar
konsesi HPH. Permasalahannya, karena pemerintah tidak mengakui 'hak-hak
hutan adat' masyarakat lokal dan sering terjadi konflik lahan hutan antara pemilik
modal dalam negeri dan asing dengan masyarakat, yang pada akhirnya
pengadilan memenangkan perkara konflik lahan buat para pemodal kuat. Sejalan
dengan perkembangan aktivitas HPH, misalnya kasus di Kalimantan Timur telah
diberikan areal konsesi 11 juta hektar tahun 1969-1974 (World Resources
Institute, 2000). Dalam hal produksi log terjadi lonjakan log ekspor dari 5,2 juta
meter kubik tahun 1969/1970 menjadi 24,3 juta meter kubik tahun 1973/1974.
Tahun 1970-an, Kalimantan Timur menghasilkan sepertiga sampai kurang
setengah dari keseluruhan produksi log Indonesia (INOUE, 2000). Tahun 1967,
Indonesia menghasilkan kayu bulat (log) hanya 4 juta meter kubik yang ditebang
dari hutan produksi dan untuk
2
). Ke- bijakan ini berdasarkan Undang-Undang No.1/1967 dan Undang-Undang No. 6/1968
mengenai investasi 'asing dan dalam negeri', Undang-Undang Kehutanan No.5/1967 dan
Peraturan Pemerintah No. 21/1970 mengenai dasar hukum dibolehkan melakukan konsesi Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) selama 20-25 tahun, pemotongan kayu log dan industri kehutanan
(plywood)