Makalah Beras

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 56

Makalah Diskusi No.

6
Ekonomi Politik Kebijakan Beras di Indonesia:
Perspektif Masyarakat Ekonomi ASEAN
oleh Arianto A. Patunru dan Assyifa Szami Ilman
2
Makalah Diskusi No. 6
Ekonomi Politik Kebijakan Beras di Indonesia:
Perspektif Masyarakat Ekonomi ASEAN

Penulis:
Arianto A. Patunru
Assyifa Szami Ilman

Ucapan Terima Kasih:


Penelitian ini didukung oleh Australia National University (ANU) dengan dukungan administratif dari SMERU
Research Institute. Kami berterima kasih pada Eka Sastra (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia/
DPR RI) dan Taufik Ahmad (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha/KPPU) atas masukannya.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kidung Asmara Sigit dan
Nadia Fairuza Azzahra atas bantuan mereka dalam publikasi penelitian ini.

Jakarta, Indonesia
Desember, 2019

Hak Cipta © 2019 oleh Center for Indonesian Policy Studies


PENGANTAR

Upaya Indonesia untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan saat ini bergantung pada
bagaimana negara ini mengelola komoditas makanan yang paling penting: beras. Melalui
berbagai cara, pemerintah Indonesia sudah sangat terlibat dalam intervensi pasar beras
domestik sebagai cara untuk mengarahkan dinamika ekonomi dan politik dalam beberapa tahun
terakhir. Perpaduan antara stabilisasi harga dan kebijakan lainnya terkait produksi beras telah
berujung pada kebijakan beras saat ini yang protektif terhadap perdagangan internasional.
Akan tetapi, perkembangan isu beras terkini seperti terkait dengan kebijakan impor dan juga
kesejahteraan petani lokal, telah memaksa dilakukannya pemeriksaan lebih lanjut terhadap
kebijakan beras di Indonesia. Kami berargumen bahwa kebijakan beras yang tepat akan menjadi
langkah yang sangat menentukan untuk mencapai dan mempertahankan ketahanan pangan
berkelanjutan di Indonesia. Makalah ini dimaksudkan untuk menjelaskan sejarah kebijakan
beras yang telah dibuat dan sedang diimplementasikan di Indonesia. Kami menggarisbawahi
masalah-masalah utama terkait reliabilitas data serta membahas narasi dan paradigma utama
yang menjadi dasar kebijakan selama beberapa periode. Selanjutnya, kami juga menghadirkan
pembahasan mengenai kemungkinan adanya wadah perdagangan beras baru agar ketahanan
pangan berkelanjutan di Indonesia dapat tercapai dan bagaimana usulan tersebut dapat
dipertimbangkan pada ranah kerja sama regional dengan anggota ASEAN lainnya melalui
masyarakat ekonomi ASEAN.

4
BERAS DI INDONESIA: ISU-ISU UTAMA

Beras adalah makanan pokok utama bagi setengah dari populasi di dunia, terutama bagi orang
Asia. Beras telah dipanen di 113 negara, dengan Cina dan India sebagai produsen utama yang
menghasilkan setengah dari persediaan beras dunia, diikuti dengan Indonesia, Bangladesh,
Vietnam, Thailand, dan Myanmar (FAOSTAT, 2017). Sekitar 80% produksi beras melibatkan
petani kecil, maka dari itu aspek ekonomi sosialnya menjadi sangat rentan untuk diperdebatkan.
Menurut OECD-FAO (2018), konsumsi beras tahunan Indonesia per kapita mencapai 135 kg, lebih
tinggi dari Filipina (115 kg), Thailand (99 kg), dan Malaysia (81 kg). Oleh karena itu, beras selalu
menjadi prioritas utama dalam kebijakan pemerintah Indonesia, terutama terkait perdagangan
dan pertanian.

Beras merupakan isu yang penting di Indonesia, namun reabilitas datanya masih Beras merupakan
dipertanyakan sehingga menciptakan lingkungan kebijakan dengan dasar yang isu yang penting di
tidak kuat. Sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) menghitung kuantitas Indonesia, namun
beras dengan menggunakan data produktivitas padi dari BPS dan data area tanam reabilitas datanya masih
padi yang dikumpulkan oleh Kementan (yang kemudian sampai sekarang dilakukan dipertanyakan sehingga
oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang). Kementan mengalikan area tanam padi menciptakan lingkungan
dengan estimasi tingkat produktivitas beras yang diukur dalam satuan ton/hektare. kebijakan dengan dasar
Secara terpisah, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memeriksa kondisi pasar yang tidak kuat.
beras dengan melihat harga konsumen di pasar-pasar lokal dan juga melihat data
stok yang disediakan oleh BULOG (Badan Usaha Milik negara yang bertanggung jawab
mengelola distribusi beras). Pendekatan yang berbeda-beda ini berujung pada angka suplai yang
membingungkan dan kontradiktif. Sebelumnya BPS menyediakan data beras, namun dihentikan
ketika mereka mulai mempersiapkan pendekatan baru untuk metode penghitungan mereka.

Pada akhir Oktober 2018, BPS menyediakan satu set data baru yang menggunakan pendekatan
Kerangka Sampel Area (KSA). KSA menggunakan gambar satelit untuk memetakan lahan
padi dan data tersebut disuplemen juga oleh pengecekan langsung (BPPT, 2018). Mengingat
pendekatan ini baru dirilis, terlalu cepat untuk menilai efektivitasnya, tetapi pembaruan tersebut
memperjelas bahwa menyelesaikan kontroversi data beras adalah kunci untuk memperbaiki
proses formulasi kebijakan dan juga untuk membuat keputusan apakah pemerintah sebaiknya
mengimpor beras atau tidak.

Permintaan, suplai, dan harga beras dapat membantu memberikan gambaran mengapa ada
kontroversi di seputar penghitungan beras. Sangatlah mudah untuk menyimpulkan bahwa
secara konsisten produksi beras Indonesia surplus apabila data beras dari Kementan diambil
secara gamblang (Gambar 1). Menurut data tersebut, secara rata-rata Indonesia setiap tahun
memproduksi 7,7 juta ton beras lebih banyak dari yang dikonsumsi sejak akhir tahun 1990an.
Hal tersebut mendukung klaim berulang oleh Kementan yang menyatakan bahwa dalam hal
suplai beras Indonesia sudah swasembada.

1
Peringkat ini mungkin sudah direvisi mengingat Badan Pusat Statisik (BPS) baru saja merevisi data produksi beras 2018 dengan
metodologi yang lebih akurat, sehingga mengurangi estimasi sebelumnya yang dibuat oleh Kementerian Pertanian hingga
sebanyak 30% (CNBC Indonesia, 2018). Revisi tersebut belum dipublikasi secara resmi pada saat penulisan makalah ini.

5
Gambar 1.
Permintaan dan Suplai Komoditas Beras (juta ton), 1997 – 2017
60,00 25,00

50,00 20,00

40,00 38,37
15,00
30,00
30,68
10,00
20,00
7,68
5,00
10,00

0 0
97
98
99
00
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
19
19
19
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20
Produksi Beras (Juta Tons) Konsumsi Beras (Juta Ton)

Sumber: Badan Pusat Statistik (2018), Outlook Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) 2017, dan Outlook Padi 2016, dihitung
oleh penulis, lihat catatan di bawah
Catatan: BPS menghitung ketersediaan stok padi dan menyediakan angka depresiasi untuk gabah kering. Angka depresiasi
akan digunakan sebagai alat untuk menghitung angka konversi dari komoditas padi ke komoditas beras. Sementara itu
untuk konsumsi kami mengonversi angka konsumsi rata-rata harian yang disediakan oleh Outlook TPH dan Outlook Padi dan
mengalikannya dengan populasi di setiap tahun yang disediakan oleh BPS.

Rata-rata setiap Akan tetapi, klaim Kementan tentang swasembada tidak selaras dengan data
tahunnya Indonesia perdagangan beras yang menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor beras setiap
tahun (Gambar 2). Rata-rata setiap tahunnya Indonesia mengimpor lebih dari 1,2 juta
mengimpor lebih
ton dan mengekspor kurang dari 6.000 ton beras setiap tahunnya. Neraca perdagangan
dari 1,2 juta ton dan beras selalu negatif dalam 20 tahun terakhir, dengan rata-rata sebesar -1,1 juta ton.
mengekspor kurang Impor beras kebanyakan berasal dari Thailand dan Vietnam, dan ekspor ke Singapura,
dari 6.000 ton beras Malaysia, dan Timor Leste. Pemerintah mengklaim bahwa impor tersebut dimaksudkan
setiap tahunnya. untuk menurunkan harga beras untuk konsumen dan menstabilisasi stok beras BULOG
(Kantor Eksekutif Wakil Presiden, 2018; Kementerian Perdagangan, 2008).

Gambar 2.
Volume Perdagangan Beras, 2012-2016
6

4
Volume Beras (Ton)

(2)

(4)

(6)
97
98
99

20 0
20 1
02

20 3
04

20 5
20 6
07

20 8
09

20 0
20 1
12

20 3
20 4
20 5
16
17
0
0

0
0

1
1

1
1
1
19
19
19
20

20

20

20

20

20

20

Impor (Juta Ton)

Catatan: Data ekspor terlalu kecil untuk disertakan dalam grafik. Mohon mengacu pada Surplus Perdagangan (Defisit) untuk
Neraca Perdagangan Beras secara keseluruhan.
Sumber: Outlook THP (2017), Outlook Padi (2016), dan Badan Pusat Statistik (2018)

6
Keputusan mengenai impor beras atau tidak hampir selalu menjadi perdebatan. Beberapa
kementerian dan pemerintah (Kemendag, Kementan, BULOG, dan BPS) memiliki opini yang
berbeda mengenai arah kebijakan yang terbaik, dan opini-opini tersebut seringkali berdasarkan
data yang berbeda-beda. Tidak heran, keputusan kebijakan menjadi tidak konsisten yang
berbalik merusak kemampuan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam situasi
ini – data kuantitas beras yang buruk – menggunakan harga beras sebagai indikator suplai dan
permintaan dalam situasi pasar beras merupakan opsi terbaik (Rosner dan McCulloch, 2008).
Sederhananya, peningkatan harga beras dapat mengindikasikan turunnya suplai, naiknya
permintaan, atau keduanya. Sayangnya, informasi dari perubahan harga seringkali tidak cocok
dengan klaim stok beras sebenarnya yang dibuat oleh pemerintah (terutama Kementan). Gambar
3 membandingkan tingkat produksi dan konsumsi (axis kiri) serta harga beras (axis kanan) dari
1998 hingga 2017. Meskipun semua data dalam gambar ini berasal dari BPS, kuantitas data
tetap tidak cocok dengan informasi yang disimpulkan dari kondisi harga.

Gambar 3.
Harga Beras (IDR/kg) dan Kuantitas yang Diproduksi dan Dikonsumsi (Juta ton), 1998-2017

60,00 12.000

50,00 10.000

40,00 8.000

Rupiah/Kg
Juta Ton

30,00 6.000

20,00 4.000

10,00 2.000

0 0
98

99
00

01
02

03
04
05
06
07

08
09
10

11

12
13
14
15

16
17
19

19
20

20
20

20
20
20
20
20

20
20
20

20

20
20
20
20

20
20

Produksi Beras (Juta Ton) Konsumsi Beras (Juta Ton) Pertumbuhan Harga (Rupiah/Kg)

Sumber: Badan Pusat Statistik (2018)

Seperti ditunjukkan pada Gambar 3, meskipun faktanya produksi secara konsisten


melebihi konsumsi, harga tetap naik2. Pada masa ini, produksi meningkat sekitar
Kalau semua klaim
2,5% per tahun dan konsumsi beras meningkat sekitar 0,4% per tahun. Kalau semua
klaim itu benar, harga beras pada masa itu harusnya turun. Alih-alih, harganya
itu benar, harga
naik hingga hampir 0,9% per tahun. Hal tersebut sesuai dengan temuan Rosner beras pada masa itu
dan McCulloch (2008) yang mengindikasikan bahwa data produksi dan konsumsi harusnya turun. Alih-
patut dipertanyakan dan harga merupakan indikator yang lebih terpercaya untuk alih, harganya naik
mendeskripsikan pasar di Indonesia.
hingga hampir 0,9%
per tahun.

2
Seperti akan ditunjukkan nanti, klaim tersebut tetap dipertahankan bahkan ketika ekspor dan impor turut dilibatkan.

7
Pertimbangan berikutnya dalam membuat keputusan mengimpor beras atau tidak adalah
apakah harga beras impor terjangkau—yaitu lebih rendah dari harga domestik. Gambar 4
membandingkan harga-harga beras di Indonesia dan Thailand dari 1995 hingga 2018.3 Harga
jual grosir rata-rata di Indonesia di atas harga di Thailand, kadang-kadang lebih mahal hingga
Rp1.940,- per kg.

Seperti yang dibahas dalam McCulloch (2008) dan Patunru (2019), naiknya harga
Naiknya harga beras di
beras di Indonesia berkontribusi pada perluasan kemiskinan. Kebanyakan orang
Indonesia berkontribusi
Indonesia, termasuk keluarga di daerah pedesaan dan berpendapatan rendah,
pada perluasan
adalah konsumen net beras sehingga mereka harus membayar lebih dari yang
kemiskinan. Kebanyakan
mereka hasilkan dari kenaikan harga penjualan beras mereka dengan harga
orang Indonesia,
tinggi. Naiknya harga beras paling berimbas pada keluarga miskin karena mereka
termasuk keluarga di
menggunakan sebagian besar dari pendapatan mereka untuk makanan (Badan
daerah pedesaan dan Pusat Statistik, 2017). Hal ini selaras dengan pengalaman di negara-negara
berpendapatan rendah, berkembang lainnya. Harga beras yang tinggi meningkatkan nilai kemiskinan
adalah konsumen beras sebanyak 0,7% di Burkina Faso (Badolo dan Traore, 2012). Di Banglades, kenaikan
sehingga mereka harus 10% pada harga beras menurunkan pendapatan bersih dari 50% populasi termiskin
membayar lebih dari dengan rata-rata sebesar 54% (Sayeed dan Yunus, 2018). Di Liberia, kenaikan 10%
yang mereka hasilkan pada harga makanan berkontribusi pada peningkatan sebesar 2,2% pada angka
dari kenaikan harga kemiskinan (Tsimpo dan Wodon, 2008). Sebuah studi oleh Vellakal et al. (2015) di
penjualan beras mereka India menemukan bahwa ketika harga beras meningkat, prevalensi balita kurus
dengan harga tinggi. juga meningkat walaupun hanya sedikit.

Beras adalah komoditas penting, sehingga kekurangan beras dan harga beras
yang tinggi dapat berujung pada peningkatan kemiskinan dan malnutrisi. Pemerintah harus
mengupayakan semua cara untuk memastikan ketersediaan beras di pasar domestik dan harga
yang terjangkau bagi semua orang. Di Indonesia, tidak satu pun objektif tersebut telah tercapai
seutuhnya (lihat Heufers dan Patunru, 2018), meskipun sudah ada banyak intervensi kebijakan.

3
Kami menggunakan harga beras Thailand sebagai proksi untuk harga dunia karena, bersama dengan Vietnam, keduanya adalah
produsen beras utama di Asia Tenggara. Bank Dunia juga menggunakan harga beras Thailand sebagai indikator harga beras dunia.

8
Gambar 4.
Perbandingan Harga Beras antara Indonesia dan Thailand, 1997 – 2017

Sumber: BPS melalui CEIC (2018) untuk Harga Rata-Rata Retail Harian dan Lembar Pink Harga Komoditas Bank Dunia (2018) untuk harga grosir Thailand (25% Broken). Nilai
tukar dari USD ke IDR dari dari WDI Bank Dunia. Dikompilasikan oleh Ho dan Ilman (2018). Lihat Catatan di Bawah

Catatan: Harga beras di Thailand dipilih sebagai proksi untuk harga internasional seperti yang direkomendasikan dalam Lembar Pink Bank Dunia. Nilai tukar yang digunakan
setiap tahun merupakan nilai rata-rata harian. Pada 1997 - 1998, El Nino dan Krisis Ekonomi Asia muncul dan menaikkan harga dunia. Pemerintah memberlakukan tarif beras
impor sebesar Rp430/kg dari pertengahan 2000 hingga pertengahan 2004. Dari pertengahan 2004 hingga 2007, tarif ini telah berubah beberapa kali, antara Rp450/kg hingga
Rp550/kg. Dimulai dari April 2011, tarif tersebut disesuaikan kembali menjadi Rp450/kg dengan pengecualian dari Mei - September 2012, ketika terjadi kekeringan global.
(Peraturan: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.65/PMK.011/2011). Seluruh tarif telah dikeluarkan dari daftar, sementara biaya pengiriman dan biaya penanganan dari
Thailand telah dimasukkan menjadi komponen harga sejak harganya disesuaikan dengan F.O.B dari Pelabuhan Bangkok.

9
KEBIJAKAN BERAS DI INDONESIA

A. Era Soekarno (1945-1965)


Pada era ini, kebijakan beras dicirikan oleh lebih umumnya kebijakan nasionalis dari negara yang
baru saja mendapatkan kemerdekaannya setelah masa kolonial yang panjang (Wibisono, 2015).
Pemerintah berniat untuk memberlakukan kebijakan yang akan menggerakkan sektor pertanian
ke arah ketahanan pangan dengan menargetkan swasembada produksi pangan (Sumedi dan
Djauhari, 2014). Peraturan pertama mengenai beras tercatat pada 1948, ketika pemerintah
meregulasi penimbunan beras dan komoditas lainnya dengan menggunakan skema perizinan
yang harus diperpanjang setiap tiga bulan, seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 20 Tahun 1948. Peraturan yang dimaksudkan untuk mengontrol distribusi pangan ini
diperkuat lagi dengan Undang-Undang Pemberantasan Penimbunan Barang Penting Nomor 209
Tahun 1948 yang membatasi jumlah pangan yang boleh disimpan di ruang penyimpanan atau
di rumah. Program tersebut dikenal dengan sebutan Rencana Kasimo, sebuah program yang
berfokus pada swasembada pangan (Piggott et al., 1993)

Rencana Kasimo memiliki lima komponen kebijakan:


(i) Menanam tanaman pangan di lahan terabaikan di Sumatera Timur.
(ii) Meningkatkan penanaman berbagai bibit sebagai bagian dari program intensifikasi
di Jawa.
(iii) Mencegah pemotongan hewan yang dianggap memiliki peran penting dalam
produksi pangan.
(iv) Membangun pusat budidaya bibit di setiap desa.
(v) Migrasi sekitar 20 juta orang dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera selama 10-15
tahun.

Sejatinya, Rencana Kasimo gagal karena kondisi politik yang tidak stabil dan koordinasi yang
buruk antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Sumedi dan Djauhari, 2014).

Pada 1950, pemerintah menetapkan sebuah institusi untuk membantu meningkatkan


produktivitas petani, yaitu BPMD (Badan Pendidikan Masyarakat Desa) (Saragih, 2016). Oleh
karena keterbatasan biaya, badan tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan dan
pemerintah akhirnya dipaksa untuk meningkatkan impor beras dari 334.000 ton menjadi 800.000
ton pada tahun 1959.

Saragih (2016) menjelaskan bahwa pemerintah menargetkan swasembada dan tidak bergantung
pada perdagangan untuk sektor pangan pada akhir 1961. Hingga saat itu, mereka membuat
rencana produksi beras dari 1959-1961 di bawah sistem instruksi terpusat yang menjangkau
hingga tingkat desa dengan bantuan Pamong Tani Desa (PTD). Dalam periode yang sama,
pemerintah menetapkan sebuah komite, Organisasi Pelaksana Swa-Sembada Beras (OPSSB),
yang memastikan pelaksanaan kebijakan yang dimaksudkan untuk mencapai swasembada
beras. OPSSB terdiri dari sekelompok kecil petani yang dikategorikan ke dalam sub-kelompok
dan dibantu oleh petugas pertanian lokal dan sebuah kelompok akademik.

OPSSB juga menetapkan Badan Perusahaan Bahan Makanan dan Pembuka Tanah (BP-BMPT)

10
untuk mendukung pertanian dan fasilitasnya. BP-BPMT memiliki dua badan pembantu, Padi
Sentra dan Mekatani. Padi Sentra ditugaskan untuk memberikan akses ke sumber daya produksi
seperti bibit, pupuk, dan barang-barang kimiawi, sementara Mekatani melakukan operasi
pembebasan lahan untuk lahan sawah yang baru, berfokus pada area di luar pulau Jawa.
Padi Sentra akhirnya ditutup karena tidak memiliki pendanaan yang cukup, kesulitan logistik,
pengelolaan kredit yang buruk, dan strategi harga yang gagal. Pada tahun 1963, beras menjadi
langka dan pemerintah akhirnya dipaksa untuk membuat jagung menjadi komoditas substitusi.
Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia berdedikasi untuk mencanangkan
ekosistem penanaman beras dengan pusat produksi di penjuru negeri, dengan menggunakan
program yang memusatkan kontrol stok beras. Pada era itu, meskipun impor dibutuhkan pada
masa 1950-1959, rezim tersebut melarang semua impor pada tahun 1964 karena pertukaran
mata uang yang belum mencukupi (Timmer, 1975 hlm.209). Meskipun kebijakan era ini berhasil
meningkatkan produksi beras, akan tetapi beras tetap langka dan harga meningkat. Peristiwa
tersebut berkontribusi terhadap turunnya Soekarno dari kursi kepresidenan (Manning, 1975).

B. Era Suharto (1966-1988)


Perkembangan ekonomi Indonesia di bawah Suharto (1966-1998) sangat bergantung pada sektor
pertanian, terutama pada masa-masa awal kepemimpinannya. Di bawah pemerintahannya,
kebijakan beras bertujuan untuk:
(i) Mencapai dan menjaga ketahanan pangan,
(ii) Menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan stabilitas ekonomi, dan
(iii) Meningkatkan kesejahteraan petani (Falcon dan Timmer, 1991).

Karena beras adalah produk pertanian terpenting di Indonesia, kebijakan di era ini berfokus pada
peningkatan pasar beras. Suharto percaya bahwa beras dapat mengamankan kekuasaannya
serta meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan stabilitas politik (Fahmid, 2004).

Suharto membuat sistem insentif untuk daerah yang memproduksi beras melalui Keputusan
Presiden Nomor 2 Tahun 1968, namun dicabut pada tahun 1969 sebelum dimasukkan ke Agenda
Revolusi Hijau yang termasuk dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I), yang
menargetkan program produksi pangan.

Rumus Tani adalah salah satu program terdahulu yang dicanangkan pada Repelita I. Program
tersebut berfokus pada stabilisasi harga tanaman pangan utama (termasuk beras) dengan
menetapkan bahwa harga farm gate 1 kg beras harus setara dengan harga 1 kg pupuk. Maksud
dari perhitungan ini adalah untuk menjamin bahwa petani akan mendapat keuntungan dari
panen mereka (Afiff dan Timmer, 1971), sehingga mendorong mereka untuk memproduksi beras
hingga surplus (Djurfeldt et al., 2005, hlm.45)

Pemerintah juga mentransformasi BULOG menjadi badan pembeli tunggal yang mengontrol
suplai pangan nasional (seperti diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 272 Tahun 1967).
BULOG beroperasi melalui monopoli impornya dan melalui kegiatan pembelian dari petani lokal,
yang berdampak pada suplai sehingga membantu pemerintah untuk memengaruhi harga beras.
Selama rezim Suharto, BULOG mencoba untuk memberlakukan harga dasar atau harga atap.
Operasi tersebut membantu menstabilkan harga beras dibandingkan harga di tahun-tahun
terakhir rezim sebelumnya (Ashari dan Aprianto, 2015).

11
Pada akhirnya, pemerintah membentuk Tim Beras, yang ditugaskan untuk membantu petani
memproses, memasarkan, dan menyimpan beras (seperti diatur dalam Keputusan Presiden
Nomor 75 Tahun 1970) dan mendorong perusahaan swasta untuk mendistribusikan pupuk
kepada petani.

Semua program tersebut berjalan lancar pada awalnya. BULOG mampu mencapai beberapa
stabilitas harga terbatas dengan membeli beras dari penggiling untuk mempertahankan
harga di bawah RpP36 per kg, demi mendukung Rumus Petani yang diharapkan mendapatkan
keuntungan sebesar Rp13,2 per kg. Terlepas dari upaya-upaya tersebut, kebijakan Rumus Petani
tidak dapat mendikte harga farm gate dan menjamin keutungan bagi petani (Afiff dan Timmer,
1971). Tanpa jaminan keuntungan, petani tidak memproduksi beras pada nilai yang diharapkan
pemerintah. Pada 1972, El Nino memperkeruh krisis beras dan membuat kebijakan pertanian
semakin rumit. Seluruh wilayah Asia Tenggara menderita kekeringan yang merusak produksi
beras, dan BULOG tidak dapat mengontrol harga (Piggot et al., 1993)—meskipun badan tersebut
mengimpor 1 juta ton beras, namun harga tinggi duniadunia yang tinggi menyebabkan harga
domestik tidak turun.4

Sebagai respons, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1973 dan Nomor
1 Tahun 1974 (setelah itu direvisi dengan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 1974) mengenai
pembelian stok beras lokal dari tahun 1973-1975. Pemerintah juga menciptakan koperasi desa
di seluruh penjuru Indonesia (Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1973) dengan nama Badan
Usaha Unit Desa (BUUD), yang kemudian berubah menjadi Koperasi Usaha Desa (KUD). Inisiatif
tersebut bertujuan untuk mendorong populasi desa agar terlibat dalam aktivitas perekonomian
dan mengembangkan industri beras domestik dengan berpartisipasi dalam sektor pertanian,
mulai darimemanen hingga mendistribusikan, serta dengan menyediakan bantuan pinjaman
kepada anggota KUD (Suradisastra, 2006).

BULOG akhirnya berhasil mempertahankan harga beras setelah menaikkan harga dasar dan
menetapkan harga atap untuk mencoba mengontrol daya beli beras konsumen akan beras
(Timmer, 1996). Pendekatan ini berdasarkan Peraturan Penentuan Harga untuk Gabah Kering,
seperti ditetapkan di dalam Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 1974 dan disesuaikan setiap
tahunnya dari 1979 sampai 1984.

Dari pertengahan 1970an hingga 1980an, kenaikan harga minyak secara tiba-tiba memberikan
Indonesia sumber daya finansial untuk menjalankan kebijakan beras yang lebih agresif, termasuk
pembentukan dan perluasan industri pupuk nasional serta subsidi tambahan untuk berbagai input
pertanian yang mencakup pupuk (30-40%) dan kredit (25%). Semua program ini, beserta program
Bimbingan Masyarakat (BIMAS) dan distribusi bibit beras HYV (high yield varieties) berkontribusi
terhadap kemampuan petani Indonesia untuk swasembada berbagai pangan pada setengah
tahun pertama di 1980an, termasuk beras pada tahun 1984/1985 (Manning, 1987). Setelah itu,

4
Harga dunia melompat dari USD 129/ton menjadi USD 330/ton pada tahun 1973 (Bank Dunia, 1981).

12
pemerintah berkomitmen untuk menciptakan dan memperluas program subsitusi impor,
menggeser fokusnya ke industri manufaktur dan membiarkan sektor pertanian untuk lebih
mandiri.

Damardjati et al. (1985) menyampaikan bahwa mengubah kondisi perekonomian, termasuk


mengakhiri krisis minyak, berimbas pada keberlanjutan program swasembada pemerintahan
Suharto. Penurunan harga minyak pada akhir 1980an menurunkan pendapatan pemerintah
dan sumber daya untuk mempertahankan program-program subsidi tersebut. Harga beras
jatuh hingga di bawah USD 200/ton. Gerard (2010) membahas lebih dalam tentang bagaimana
pemerintah mencoba untuk mengelola surplus beras, salah satu caranya dengan mengeliminasi
program subsidi pupuk. Mengelola stok yang begitu besar sangatlah mahal dan BULOG dipaksa
untuk mengekspor surplus beras dengan harga rugi. Terlepas dari upaya-upaya tersebut, BULOG
mempertahankan harga dasar sebagai upaya untuk mendukung kesejahteraan para produsen.
Hingga akhirnya berujung pada ketidakmampuan BULOG mengontrol stok dan harga beras pada
akhir 1987. Pemerintah mengeliminasi haga atap, menyebabkan kenaikan harga di pulau-pulau
terluar Indonesia, agar pedagang swasta mendapatkan insentif untuk mendistribusikan beras
dan menurunkan biaya operasional BULOG.

Pada tahun 1988, KUD diundang untuk bergabung dalam program distribusi pupuk dengan
tujuan membantu menurunkan biaya distribusi pupuk (Suradisastra, 2006). Para KUD tersebut
membantu mendistribusikan 76% dari jumlah keseluruhan distribusi pupuk yang ditargetkan
dari 1988–1992 (Prawiranegara, 1993).

Pada awal 1990an, meskipun pemerintah tetap menginginkan swasembadga, BULOG dipaksa
untuk membuat impor net bersyarat agar dapat menstabilkan harga pasar beras (Fane dan
Warr, 2007). Minimnya stok beras pada tahun 1994 menunjukkan bahwa meskipun sudah banyak
kebijakan yang ditujukan untuk swasembada, tetapi kondisi tersebut sulit untuk dipertahankan
(Timmer, 2006)

Pada 1995, pemerintah mencoba untuk meningkatkan produksi beras dengan menginisiasikan
proyek lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah sebagai upaya lain untuk mencapai
swasembada beras. Proyek ini, seperti diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun
1995 bertujuan untuk mengubah lahan gambut yang tidak produktif di Kalimantan menjadi
ladang sawah untuk membantu mencegah kekurangan pangan. Termasuk di dalam proyek ini
membersihkan 1 juta hektare lahan gambut, tetapi akhirnya justru menjadi bencana ketika El
Nino dan Krisis Ekonomi Asia menghantam Indonesia pada tahun 1997. Proyek ini gagal untuk
mencapai target stok beras, dan bahkan menghasilkan produksi beras yang sangat rendah
(Goldstein, 2016) dan lahan gambut yang kering tersebut sangat rentan terhadap api, sehingga
membuat lingkungan sekitarnya semakin berbahaya.

Krisis Ekonomi Asia akhirnya mengakhiri pemerintahan Presiden Suharto. Kebijakan


perdagangan dibebaskan selaras dengan perjanjian dengan International Monetary Fund
(IMF)—menghilangkan semua tarif untuk impor pangan hingga maksimum 5 persen dan
mengeliminasi kuota impor dan ekspor. Akan tetapi, perubahan-perubahan itu hanya sementara.
Pemerintah kembali pada kebijakan perdagangan proteksionis untuk beras pada awal 2000an,
memperkenalkan tarif impor beras kembali, yang naik dari Rp430/kg pada tahun 2000 menjadi
Rp450/kg pada tahun 2007.

13
C. Era Pasca Soeharto (1998–present)
Sementara era Soekarno diingat akan kebijakan nasionalisnya dan penekanan pada stok
beras, era Suharto mementingkan revolusi hijau dengan meningkatkan kemampuan produksi,
hingga membawa Indonesia mampu untuk swasembada beras pada tahun 1980an. Akan
tetapi, kebijakan-kebijakan tersebut terlalu mahal untuk dipertahankan hingga awal 1990an.
Krisis Ekonomi Asia mengubah peta ekonomi dan politik, yang juga mengubah kebijakan beras,
membebaskan pasar beras Indonesia hingga pertengahan 2000 hingga akhirnya pembatasan
harga dan perdagangan diperkenalkan kembali dengan niat melindungi petani lokal.

Kebijakan perdagangan modern Indonesia menggunakan tarif, kuota, dan monopoli impor untuk
mengontrol pasar. Nilai tarif seragam, yang berlaku untuk semua jenis beras, diatur dalam
Peraturan Kementerian Keuangan (Permenkeu) Nomor 6 Tahun 2017 dan sudah mencapai
Rp450/kg. Bahkan, tarif diperkenalkan kembali segera pada 1999 ketika pemerintahan pasca-
Suharto memberlakukan harga dasar gabah kering untuk mendorong petani lokal agar menanam
dan merespons harga internasional yang turun (Malian et al. 1999). Pemerintah sekarang juga
memperkenalkan kuota impor dan hak impor BULOG yang terbatas. Hambatan dagang non-tarif
ini, seperti yang diatur dalam Permendag Nomor 1 Tahun 2018 dimaksudkan untuk melindungi
petani lokal dari kompetisi dengan beras impor. Peraturan ini juga mengizinkan pihak swasta
untuk mengimpor beberapa jenis beras untuk keperluan industri. Pada 2018, total kuota impor
diatur pada angka 2 juta ton.

Selain mengontrol impor, pemerintah juga mencoba untuk memaksimalkan pembelian dari
petani lokal dan memberlakukan harga dasar yang disebut Harga Pembelian Pemerintah
(HPP). Kebijakan-kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin keuntungan petani, terutama pada
masa panen, ketika harga biasanya turun secara signifikan (Bappenas, 2011) dan diharapkan
mendorong kesejahteraan petani dan juga mendorong produksi beras. Harga dasar berlaku pada
beras dalam kategori berikut: Gabah Kering Giling (GKG), Gabah Kering Simpan (GKS), dan Gabah
Kering Panen (GKP), dan gabah non-kategori, dengan harga berkisar antara Rp4.600/kg hingga
Rp3.700/kg. Harga beras diatur dari Rp7.300/kg (harga farm gate) hingga Rp9.000/kg (retail).

Pemerintah juga memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) yang berkisar antara Rp9.450/kg
hingga Rp10.250/kg untuk beras medium sebagai upaya untuk memastikan ketersediaan beras
dan kestabilan harga. Pada praktiknya, peraturan ini seringkali tertinggal dari perubahan yang
terjadi di pasar dan bahkan menjadi lebih rumit dengan kuota pemerintahan.

Pemerintah juga memperkenalkan kembali subsidi bibit dan pupuk. Program subsidi bibit
ini diatur di dalam Permentan Nomor 4 Tahun 2016 dan membutuhkan pemerintah untuk
menyediakan bibit berkualitas tinggi untuk beras hibrida dan non-hibrida dengan harga yang
terjangkau. Sayaka (2018) menemukan bahwa subsidi tidak diperlukan oleh petani karena
bibit subsidi bukan hanya sering dikirim terlambat tetapi juga masih relatif mahal. Pada 2019,
Kementerian mengalokasikan Rp29,9 triliun, atau hampir 10 juta ton pupuk subsidi untuk
membantu petani mengurangi biaya produksi mereka. Susilowati (2016) berargumentasi bahwa
program subsidi pupuk rentan terhadap penyelundupan ilegal dan alokasi yang tidak tepat,
sehingga menyebabkan biaya yang lebih tinggi dan penggunaan pupuk yang berlebihan.

Pemerintah juga meluncurkan beberapa proyek pembukaan lahan sebagai cara untuk
meningkatkan produksi demi mencapai swasembada. Meskipun sudah ada contoh proyek lahan

14
gambut satu juta hektare yang gagal, pemerintah telah memperkenalkan dua proyek serupa
bernama Ketapang Food Estate dan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Food
Estate adalah proyek Masterplan yang terintegrasi dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, seperti yang tertuang dalam Peraturan
Presiden Nomor 32 Tahun 2011. Proyek ini dimulai pada akhir 2012, setelah penundaan selama
enam bulan. Ketapang Food Estate menargetkan untuk meningkatkan produksi beras pada
lahan tersebut hingga 5 ton/hektare, tetapi setelah produksi setahun angkanya tetap pada 2 ton/
hektare (Antaranews.com, 2013). Perkembangan proyek ini melambat karena adanya sengketa
lahan dan penolakan dari warga setempat yang tidak dikonsultasikan sebelumnya mengenai
pelaksanaan proyek ini (Antaranews.com, 2019).

MIFEE juga mendapatkan tantangan yang serupa. Proyek ini dibuat melalui berbagai peraturan
(termasuk UU Nomor 27 Tahun 2007, Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 1996, Nomor 26 Tahun
2008, Nomor 2 Tahun 2008, Nomor 24 Tahun 2010, dan Nomor 10 Tahun 2010, dan Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2008) dan diluncurkan pada 12 Februari 2010 (Bina Desa, 2012) sebagai
lahan produksi pangan yang mengintegrasikan peternakan, unggas, produk susu, dan perikanan.
Tiga puluh enam investor dari berbagai industri terlibat dan proyek ini meliputi lahan seluas 1,2
juta hektar (Asian Human Rights Commission, 2011). Program ini juga terlibat dalam sengketa
lahan dengan penduduk asli dan sengketa transparansi perihal perjanjian kontrak (antaranews.
com, 2010, 2014; Asian Human Rights Commission, 2011).

15
D. RINGKASAN
Kebijakan beras Indonesia dari sejak kemerdekaan selalu berfokus pada produksi, seperti yang
dirangkum dalam Tabel 1

Tabel 1.
Rangkuman Kebijakan terkait Beras di Indonesia (1945-2019)

Periode Kebijakan-Kebijakan Utama Deskripsi

Pembatasan jumlah penyimpanan


Peraturan Penimbunan pangan di tempat penyimpanan atau di
(Peraturan Pemerintah Nomor rumah, membutuhkan izin baru setiap
20 Tahun 1948) tiga bulan untuk menyimpan beras.
Dikembangkan menjadi Rencana Kasimo.

Swasembada pangan melalui


penanaman tanaman pangan di
Sumatera Timur, mengintensifkan
Rencana Kasimo penanaman bibit di Jawa, melarang
(UU Nomor 29 Tahun 1948 pemotongan hewan yang penting untuk
mengenai Pemberantasan produksi pangan, budidaya bibit di setiap
Penimbunan Barang Penting) desa, dan migrasi 20 juta orang dari
Era Sukarno Jawa ke Sumatera. Gagal karena
(1945–1965) ketidakstabilan politik dan koordinasi
yang buruk antar jajaran pemerintah.

Badan yang membantu meningkatkan


Badan Pendidikan Masyarakat produktivitas petani. Dihilangkan karena
Desa (BPMD) 1950 kurangnya dana.

Penetapan Pamong Tani Desa (PTD) dan


Organisasi Pelaksana Swa-Sembada Beras
Rencana Produksi (OPSSB). Sejumlah ahli dan staf
1959 – 1961 pemerintah yang membantu sekelompok
kecil petani yang dibagi dalam beberapa
sub-kelompok untuk membantu keahlian
bertani mereka.

Mendirikan Padi Sentra untuk


meningkatkan aksesibilitas sumber daya
produksi seperti bibit, pupuk, dan
Pemberlakuan Badan Perusahaan barang-barang kimia. Selain itu juga
Bahan Makanan dan Pembuka mendirikan Mekatani untuk melakukan
Tanah (BP-BPMT) pembukaan lahan untuk sawah-sawah
baru. Gagal karena kurangnya dana,
masalah logistik, kesalahan manajemen,
dan strategi penentuan harga yang buruk.
Era Suharto
(1966-1998) Skema Insentif Regional - Memberikan insentif pada daerah untuk
Keputusan Presiden Nomor 2 memproduksi beras hingga surplus
Tahun 1968 (insentif uang)

Bagian dari Repelita I

Rumus Tani Harga 1 kg beras harus setara dengan


harga 1 kg pupuk untuk memastikan
petani mendapatkan keuntungan.

16
Keputusan Presiden Nomor 272 Menetapkan BULOG dan menjadikannya
Tahun 1967 tentang Penetapan sebagai agen pembeli dan pengimpor
BULOG beras tunggal.
Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun Mengenai pembelian stok beras lokal dari
1973, Nomor 1 Tahun 1974 tahun 1973-1975.
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun
Membantu kualitas hidup petani dengan
1973 (Badan Usaha Unit Desa,
memberikan pinjaman dan bantuan
kemudian menjadi Koperasi Usaha
untuk panen dan distribusi.
Desa)
Instruksi Presiden Nomor 17
Harga yang diatur sebagai upaya untuk
Tahun 1974 (Peraturan penentuan
memastikan swasembada pangan.
harga untuk gabah kering)
Berniat untuk mengurangi pengeluaran
Keterlibatan KUD dalam pemerintah dalam agenda swasembada,
mendistribusikan pupuk selama pemerintah melibatkan KUD untuk
1988-1992 membantu mendistribusikan pupuk
subsidi.

Impor oleh BULOG 1993-1994

Keputusan Presiden Nomor 272 Dibentuknya Badan Urusan Logistik


Tahun 1967 mengenai pembentukan (BULOG) dan menjadikannya agen
BULOG pembelian dan pengimpor beras tunggal.
Diharapkan dapat mengubah lahan padi
tidak produktif di Kalimantan menjadi
Keputusan Presiden Nomor 82 lahan tanaman pangan untuk mencegah
Tahun 1995 - Proyek Besar Beras kekurangan bahan pangan. Gagal karena
kurangnya studi yang layak dan adanya
bencana alam.
Memotong semua tarif impor pangan
hingga maksimum 5%, menghilangkan
Perjanjian IMF tentang Liberalisasi
kuota impor. Beberapa perlakuan khusus
Pasar
untuk beras masih berlaku. Hampir 6 juta
ton beras diimpor.

Implementasi Tarif Nilai tarif seragam untuk semua jenis


(Permenkeu Nomor 6 Tahun 2017) beras, hingga Rp450/kg.

HET dan HPP

Izin impor diberikan hanya kepada BULOG,


sementara pihak swasta dapat
Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 mengimpor kalau beras digunakan
sebagai bahan baku industri. Hal ini
Sekarang dilakukan sebagai cara untuk melindungi
(1998– ) petani lokal
Pemerintah menyediakan bibit berkualitas
Subsidi Benih dan Pupuk tinggi dengan harga yang disubsidi di
desa-desa yang ditargetkan untuk
Permentan Nomor 4 Tahun 2016, mendorong produksi beras. Permentan
Nomor 47 /2017), mengalokasikan 10 juta ton pupuk subsidi
untuk mengurangi biaya produksi.

Proyek pembukaan lahan untuk


perluasan lahan yang dapat digunakan
Ketapang Food Estate
untuk ketahanan pangan. Produktivitas
masih di bawah target.

MIFEE

17
Pada awal sejarah Indonesia, beras impor tidak dipandang sebagai opsi yang menjanjikan
untuk sebuah negara muda yang masih berjuang secara finansial dan alih-alih pemerintah
menggunakan rencana komprehensif untuk meningkatkan produksi beras domestik. Kebijakan
ekonomi Soekarno sangat dipengaruhi oleh sentimen anti-kolonial, dan sangat fokus untuk
mencapai swasembada (Supriyono, 2014).

Di bawah Suharto, beras bukan hanya menjadi sumber daya makanan utama di Indonesia tetapi
juga sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan politik. Obsesi Suharto dengan kebijakan beras
datang dari kepercayaannya yang menganggap beras adalah kunci untuk mengamankan posisinya
sebagai presiden. Didukung oleh keuntungan dari harga minyak yang tinggi, pemerintahannya
menggunakan dana yang besar untuk menjalankan program yang sebetulnya sukses dalam
mencapai swasembada beras di Indonesia pada tahun 1984 dan meningkatkan kesejahteraan
petani dengan meningkatkan pendapatan mereka. Swasembada bertahan hanya beberapa
tahun dan dalam beberapa dekade masa kepemimpinan Suharto sektor beras berjuang namun
akhirnya gagal mempertahankan swasembada dan bahkan diperkeruh dengan gagalnya proyek
pembukaan lahan.

Setelah Suharto turun dari kursi presiden, sebuah era baru yang disebut Era Reformasi pun
dimulai. Pemerintah Indonesia harus memberlakukan liberalisasi penuh di banyak sektor
pertanian sebagai bagian dari perjanjian pinjaman dengan IMF untuk menanggulangi kondisi
perekonomian yang kian memburuk, tetapi liberalisasi itu pun tidak bertahan lama. Dalam dua
dekade terakhir, setelah krisis ekonomi, pemerintah Indonesia telah kembali ke proteksionisme
dengan memperkenalkan banyak hambatan dagang non-tarif.

Sepanjang perjalanan sejarah Indonesia, kebijakan beras fokus pada mendorong produktivitas
pasar domestik dengan harapan hal itu dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ini tidak pernah menampik bahwa faktanya harga beras domestik selalu
lebih tinggi daripada harga internasional (seperti ditunjukkan dalam Gambar 4). Meskipun
ada beras yang lebih terjangkau di pasar internasional, kebijakan Indonesia telah gagal untuk
memproduksi beras yang lebih terjangkau, sehingga berimbas pada kaum miskin di Indonesia.
Oleh karena itu, penting untuk memperdalam analisis kita untuk mengerti motif di balik
keputusan-keputusan tersebut.

Kebijakan beras fokus pada mendorong produktivitas


pasar domestik dengan harapan hal itu dapat
meningkatkan kesejahteraan petani. Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ini tidak pernah menampik bahwa
faktanya harga beras domestik selalu lebih tinggi
daripada harga internasional

18
EKONOMI DAN POLITIK KEBIJAKAN BERAS
DI INDONESIA

Beras adalah makanan pokok yang penting bagi hampir semua orang Indonesia, sehingga
kebijakan beras pemerintah selalu diperdebatkan dan melibatkan banyak pertimbangan politik
dan ekonomi (Timmer, 1975). Penekanan pemerintah untuk mendorong produksi beras domestik
berujung pada beberapa hambatan untuk mengakses beras internasional, yang lebih murah
bahkan setelah subsidi dan HET di Indonesia. Pemerintah mempunyai insentif yang lebih besar
untuk melindungi pemangku kepentingan di sektor beras daripada memberikan akses ke beras
yang lebih terjangkau di pasar internasional. Maka dari itu, sangatlah penting untuk menganalisis
faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pembuatan kebijakan di sektor beras dan bagaimana
hingga akhirnya berdampak pada reformasi kebijakan di Indonesia.

Politik tidak bisa dihindari dan pasti memengaruhi proses pembuatan kebijakan. Kebijakan
publik tidak selalu dibuat dan diimplementasikan secara rasional, melainkan lebih sebagai
hasil kekuasaan politik, nilai budaya, prioritas dalam berkompetisi, dan fakta-fakta lainnya yang
dipertimbangkan selama proses pembuatan kebijakan (MacLennan, 1980). Pemerintah bisa
menetapkan kebijakan yang populer namun buruk alih-alih kebijakan yang lebih kredibel dan
berdasar atau bisa juga bahkan menetapkan kebijakan teknokratik untuk menjaga kekuasaan
mereka.

Kebijakan pangan selalu dipengaruhi oleh kepentingan politik. Sebuah studi di Banglades
menemukan bahwa kebijakan di sektor pangan dipengaruhi oleh kepentingan kelompok,
termasuk kelompok pertanian/pedesaan dan kepentingan industri/perkotaan (Islam, 2014).
Terlebih lagi, intervensi politik tidak terbatas pada bagaimana itu memengaruhi pembuatan
kebijakan atau konteks kebijakan, tetapi juga bisa memengaruhi bagaimana kebijakan
diimplementasikan. Chemutai (2016) menemukan bahwa niat politik adalah penentu krusial dari
sebuah implementasi kebijakan di sektor pangan Uganda.

Studi di Filipina dan Thailand menemukan bahwa dampak dari kebijakan beras pada pemilih di
pedesaan (yang kebanyakan adalah petani beras) membuat politisi memandang kebijakan beras
sebagai cara untuk memenangkan para pemilih tersebut (Fang, 2016). Di Thailand, kebijakan
beras seringkali dirancang untuk pemangku kepentingan beras tertentu—penggiling padi (Ricks,
2017). Di Indonesia, sebagai makanan pokok dan sektor yang mempekerjakan banyak orang,
beras terus menjadi komoditas strategis yang penting. Sektor beras selalu disebut dalam
kampanye politik.

Pada pemilu presiden tahun 2004, swasembada beras dipromosikan sebagai target kebijakan
oleh semua kandidat. Pemilu dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang kebijakan
pangannya berfokus pada revitalisasi produksi pertanian, khususnya melalui subsidi pupuk dan
bibit (Lassa, 2005). Pada 2009, seorang kandidat, Megawati, berkampanye untuk swasembada
produksi beras dan dengan sangat tegas menolak impor beras dan pangan lainnya.

Pada 2014, Joko Widodo (Jokowo) memenangkan pemilu setelah berkampanye tentang beberapa
kebijakan terkait pangan, kebanyakan tentang industri beras, yang dikombinasikan dengan tema

19
kampanyenya yang lebih luas mengenai pengembangan infrastruktur—termasuk ambisinya
untuk membuat Indonesia swasembada beras pada akhir 2017. Ambisi tersebut tidak tercapai
dan malahan impor beras cukup tinggi pada 2018, ketika sebanyak 2 juta ton diimpor untuk
menstabilkan harga. Situasi tidak banyak berubah pada pemilu 2019. Jokowi mengumumkan
niatnya untuk mengakselerasikan distribusi beras (Kompas, 2018) sebelum mengumumkan
pencalonan dirinya di pemilu. Lawannya, Prabowo, yang terlihat lebih proteksionis, mengusulkan
swasembada dan menolak semua impor, terutama untuk komoditas pangan. Pola serupa dapat
dilihat di pilkada—pada pilkada Jakarta 2017 dan Jawa Barat 2018 terdapat banyak usulan
kebijakan terkait sektor beras, terutama membuat dana beras untuk membantu warga membeli
beras di Jakarta (Merdeka.com, 2016). Para kandidat juga berkampanye untuk membangun
pasar grosir beras dan mendukung pertanian melalui subsidi pupuk dan bibit daerah (Kompas.
com, 2018; Detik.com, 2018).

Pemerintah Studi-studi sebelumnya telah mengamati kecenderungan ini pada kampanye-


kampanye politik di Indonesia. Davidson (2018a) mempelajari bagaimana kandidat
Indonesia cenderung politik Indonesia seringkali menjadikan impor beras sebagai sebuah isu yang paling
menurunkan impor penting di tahun pemilu dengan mengamati volume impor beras di Indonesia dan
menjelang pemilu, Filipina selama siklus pemilu. Ia menemukan bahwa pemerintah Indonesia cenderung
kemungkinan menurunkan impor menjelang pemilu, kemungkinan sebagai reaksi terhadap nilai
sebagai reaksi budaya Indonesia, sehingga mereka dianggap “pro-masyarakat” dan nasionalis secara
ekonomi. Sederhananya, kandidat politik Indonesia melihat populisme sebagai strategi
terhadap nilai elektoral , dan mendukung petani lokal adalah kebijakan populis.
budaya Indonesia,
sehingga mereka Dalam studi lain, Davidson (2018b) mempelajari popularitas swasembada beras dalam
dianggap “pro- masyarakat Indonesia. Ia mengemukakan bahwa ekonomi agraria populis adalah
masyarakat” dan bagian dari ideologi Indonesia yang didapat dari bertumbuhnya kelompok agraris
radikal di Jawa pada era Soekarno dan mendorong kebijakan Revolusi Hijau pada era
nasionalis secara Suharto. Aspinall (2015) menemukan bahwa politisi yang mencalonkan diri di daerah
ekonomi. pedesaan lebih cenderung berkampanye tentang ekonomi populis dan nasionalisme
beras. Memperkuat peran dan ruang lingkup negara juga merupakan motif yang implisit
dalam kesatuan pangan di Indonesia, seperti yang dijelaskan Neilson (2018).

Pengalaman Indonesia terdahulu yang harus berurusan dengan krisis ekonomi juga dapat
berdampak pada proses pembuatan kebijakan beras. Kejatuhan tahun 1997-1998 saat Krisis
Ekonomi Asia secara substansial mengurangi kemampuan pemerintah Indonesia untuk
mengatur harga beras, dan petani menghadapi kenaikan harga bahan baku vital (FAO, 1998).
Mengingat masyarakat Indonesia berjuang untuk membeli beras saat krisis ekonomi, sementara
petani menghadapi kenaikan biaya produksi, sangatlah sulit bagi pemerintah untuk menentukan
target kebijakannya. Hal tersebut berakhir pada kesenjangan suplai dan kebijakan yang untuk
sementara mengizinkan perusahaan swasta untuk mengimpor di luar monopoli BULOG untuk
kebutuhan industri, sementara BULOG juga mengimpor beras untuk menurunkan harga (Irawan,
2008). Paket pinjaman IMF pada akhir 1990an, senilai USD 43 triliunmilyar, juga menuntut
liberalisasi yang dibahas di bab sebelumnya.

Kementerian Perdagangan Indonesia merespon naiknya harga pangan internasional dengan


menurunkan tarif beras dari Rp550/kg (Permenkeu Nomor 93/PMK.011/2007, pada September)
menjadi Rp450/kg (Permenkeu Nomor 180/PMK.011/2007, pada Desember), sebuah upaya

20
yang dilakukan oleh 43 negara lainnya (kebanyakan negara pengimpor beras) untuk merespon
tingginya harga beras (Demeke et al., 2009). Dengan menurunkan tarif, BULOG mampu
mendistribusi beras impor dengan harga yang lebih terjangkau dan stabil. Monopoli impor beras
BULOG memicu naiknya biaya importasi beras. Terlebih lagi, ekspor beras hanya diizinkan kalau
ketersediaan beras dianggap memenuhi syarat dan kestabilan harga serta stok beras darurat
(sebanyak 148.000 ton) dapat dikelola dan kenaikan harga bbm dapat menunda hingga masa
panen (Saifullah, 2010). Kebijakan-kebijakan ini diulang kembali di tahun-tahun berikutnya,
sehingga menghasilkan lingkungan kebijakan seperti sekarang.

Pertimbangan politik dan syok akan kondisi ekonomi eksternal tidak terhindari dan
memengaruhi bagaimana pemerintah Indonesia merancang kebijakan berasnya. Pertimbangan
politik mengusulkan janji-janji proteksionisme di setiap pemilu, sementara syok ekonomi
ternyata membuat reformasi kebijakan jangka pendek memungkinkan namun tidak memiliki
efek jangka panjang. Pilkada tahunan dapat memberikan tekanan terhadap cara populisme
dan proteksionisme hingga terlalu kuat untuk dilawan. Meskipun pemerintah menyadari bahwa
kebijakan mereka membuat harga beras domestik hampir dua kali lipat harga internasional,
status beras sebagai komoditas ‘sakraluci’ membuat upaya untuk mengubah kebijakan beras
jadi sangat sulit. Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa kebijakan beras yang diberlakukan
sesuai dengan kepentingan pemerintah daripada kepentingan produsen dan konsumen beras,
serta kelompok lainnya (Nuryanti et al., 2017).

21
BEKERJA SAMA DENGAN NEGARA-NEGARA LAIN:
UPAYA YANG MEMUNGKINKAN

Bab sebelumnya menyoroti bahwa proses pembuatan kebijakan pada sektor beras sangat
tergantung pada kekuatan politik dan syok eksternal. Sementara syok eksternal mungkin
telah membantu membuka sektor beras untuk perdagangan internasional dan berpotensi
menurunkan harga beras, namun pemilu politik yang lebih sering memiliki pengaruh dominan
terhadap perkembangan ini. Hal tersebut membuat reformasi kebijakan sulit untuk dilakukan.

Sebuah alternatif Sebuah alternatif untuk reformasi politik domestik pada sektor beras adalah
untuk reformasi untuk menggunakan perjanjian internasional yang dapat membantu membentuk
kebijakan. Indonesia menandatangani ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) pada
politik domestik pada
tahun 1992 dan bergabung di WTO pada tahun 1995. AFTA berkembang menjadi
sektor beras adalah perjanjian dengan negara-negara di luar ASEAN—seperti Cina (ACFTA), Jepang
untuk menggunakan (AJCEP), Korea Selatan (AKFTA), Australia dan New Zealand (AANZFTA), dan
perjanjian internasional India (AIFTA)—awalnya dibuat untuk dikonsolidasikan menjadi sebuah Regional
yang dapat membantu Comprehensive Economic Partnership (RCEP), tetapi negosiasi masih berlangsung.
Perjanjian-perjanjian tersebut telah memaksa pemerintah Indonesia untuk
membentuk kebijakan.
mengurangi hambatan dagang.

Sementara RCEP melibatkan banyak negara, penting juga untuk diingat bahwa tidak semua pihak
menganggap bahwa sektor beras adalah isu utama mereka di dalam perjanjian internasional.
Pembahasan dan peraturan pada sektor beras hanya terjadi di AFFTA melalui skema Common
Effective Preferential Tariff (CEPT), yang memberikan pengecualian pengurangan tarif untuk
produk pertanian sensitif seperti beras. AFTA berkembang lebih lanjut menjadi Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA), yang dibentuk pada 2015. Objektif dari MEA adalah untuk membuat
ASEAN menjadi pusat pasar dan produksi tunggal, yang memungkinkan peredaran barang,
jasa, investasi, dan tenaga ahli yang bebas di antara anggota ASEAN (ASEAN, 2012). MEA juga
berharap untuk meningkatkan perdagangan antara negara-negara anggota, karena MEA juga
memungkinkan pengurangan atau penghapusan hambatan dagang yang ada untuk banyak
komoditas. Tujuan MEA adalah untuk memperkuat ruang lingkup ekonomi dan politik setiap
anggotanya melalui rencana dinamis untuk mengelola relevansi dengan ekonomi global. Cetak
Biru MEA 2025 bertujuan untuk mengarahkan fase integrasi regional berikutnya.

MEA memiliki fokus utama pada sektor pertanian, mengusahakan peningkatan konektivitas dan
kerja sama sektoral di bidang Pangan, Pertanian, dan Kehutanan (Food, Agriculture, and Forestry
- FAF) hingga tahun 2025 (Cetak Biru MEA 2015, 2015). Sementara inisiatif tersebut ditekankan
dalam Cetak Biru, penting juga untuk mengetahui upaya-upaya sebelumnya yang dilakukan oleh
negara-negara anggota ASEAN untuk membangun sebuah kerangka kerja kerja sama melalui
penetapan ASEAN Integrated Food Security (AIFS). AIFS dibentuk untuk merespons krisis beras
2008 dan dimaksudkan untuk memastikan ketahanan pangan jangka panjang di ASEAN (Kerangka
kerja AIFS, 2009) dengan mendorong pasar pangan yang paling diminati dan perdagangan antar
negara, serta memperkuat bantuan kekurangan stok. Hal itu kemudian dikembangkan menjadi
program seperti pembentukan ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve (APTERR) dan
pemberlakuan implementasi ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA).

22
APTERR mengupayakan penguatan produksi beras dan mencegah kerugian pascapanen untuk
komoditas beras. Ewing-Chow dan Slade (2016) menjelaskan bagaimana APTERR bisa menjadi
solusi bagi masalah minimnya ketahanan beras ASEAN. Perjanjian ini ditandatangani pada 2011
oleh ASEAN, Cina, Jepang, dan Korea, dan memberikan tanggung jawab bagi setiap anggotanya
untuk ambil bagian dalam membuat cadangan beras guna mencegah krisis beras di masa yang
akan datang seperti yang pernah terjadi di tahun 2008 atau untuk menyediakan bantuan kala
bencana. Sebuah negara yang perlu mengakses cadangan akan membuat permohonan kepada
sekretariat APTERR, yang kemudian akan merekomendasi mitra dagang yang layak dan harga
yang sesuai dengan perhitungan yang sudah disetujui alih-alih menggunakan harga pasar.
Ewing-Chow dan Slade (2016) berargumen bahwa rancangan tersebut mungkin menjadi solusi
hanya pada kondisi darurat, dan bukan untuk harga tinggi yang sedang berlangsung seperti di
Indonesia.

ATIGA adalah langkah pertama menuju MEA dengan menghubungkan tingkat-tingkat


perkembangan ekonomi yang berbeda antara negara anggota ASEAN dan menanggulangi
kesenjangan perkembangan dengan memfasilitasi kerja sama teknis dan pengembangan,
sehingga semua negara anggota siap untuk menghadapi MEA (ASEAN, 2009). Perjanjian yang
dimulai pada 2007 ini, mendata beras dan gula sebagai komoditas yang sangat sensitif. Hal
itu berarti kedua komoditas tersebut mendapatkan penanganan khusus yang mengizinkan
penundaan penyesuaian tarif seperti yang dimandatkan di dalam ATIGA. Terkait komoditas
beras, pemerintah Indonesia mengklasifikasikannya sebagai komoditas yang harus dikeluarkan
dari konsesi tarif. ATIGA memberikan mandat kepada semua negara anggota ASEAN untuk
mengurangi hambatan dagang sebagian, termasuk untuk komoditas beras, hingga tahun 2015.
Hingga tahun 2015, Indonesia masih diizinkan untuk memberlakukan tarif 25% pada beras.
Tetapi dengan MEA di tahun 2015 semua tarif harus dikurangi menjadi maksimum 5%. Akan
tetapi, tetap saja pada 2015, Cetak Biru MEA mengizinkan implementasi aturan tersebut untuk
ditunda beberapa tahun melalui skema pengecualian, di mana negara yang ingin menunda
implementasinya harus mendapatkan izin dari negara anggota lainnya dan juga dari negara
pengekspor.

Telaah lebih lanjut terkait partisipasi Indonesia yang lebih dalam di perdagangan
beras dipandang tidak terlalu penting (berdasarkan wawancara dengan ESD, Revisi UU Pangan,
Anggota Legislatif, 2018). Revisi UU Pangan, hingga batas tertentu, kontradiktif
hingga batas tertentu,
dengan MEA dan tidak menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional
kontradiktif dengan
(Prolegnas).5 Indonesia masih harus menghadapi penyesuaian kedepannya dan
MEA dan tidak menjadi
pada akhirnya menghapus beras dari daftar komoditas sensitif.. Alasan lain
prioritas dalam
Indonesia enggan untuk menghapus beras dari dalam daftar pengecualian adalah
Program Legislasi
karena tingginya biaya produksi, yang membuat produsen Indonesia sulit untuk
Nasional (Prolegnas).
berkompetisi di kancah dunia (wawancara dengan TA, Staf Pemerintahan, 2018).

5
Prolegnas adalah sebuah instrumen yang dapat membantu merancang undang-undang di Indonesia. Rancangan secara
sistematis dikerucutkan ke dalam beberapa periode tertentu yang meliputi topik yang dipandang penting untuk diintervensi oleh
fraksi partai, komisi, anggota legislatif, dan/atau masyarakat. Topik-topiknya juga berdasarkan usulan yang dibuat oleh fraksi
partai, komisi, anggota legislatif, dan/atau masyarakat.

23
Sejak 2018, impor beras masih dikenakan tarif sebesar Rp450 atau setara dengan tarif 5%.
Peraturan lainnya yang terkait beras kebanyakan ditujukan untuk merespons ketidakstabilan
harga domestik melalui HET dan HPP, izin impor, dan impor oleh BULOG. Gambar 5
mengilustrasikan tren pasar beras setelah penetapan MEA.

Peraturan lainnya yang terkait beras kebanyakan


ditujukan untuk merespons ketidakstabilan harga
domestik melalui HET dan HPP, izin impor, dan impor
oleh BULOG. Gambar 5 mengilustrasikan tren pasar
beras setelah penetapan MEA.

Gambar 5.
Perbandingan Harga dan Volume Perdagangan Beras, Per Kuartal 2015-2017

11.000 1.200
10.800
1.000
10.600
800
10.400

Ribu Ton
Rupiah/kg

10.200 600
10.000 400
9.800
200
9.600
9.400 0
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
2015 2015 2015 2015 2016 2016 2016 2016 2017 2017 2017 2017

Volume Impor, Beras (Ribu Ton) Harga Retail Rata-Rata/Rupiah


Sumber: BPS melalui CEIC (2016) untuk Harga Retail Harian Rata-Rata, Badan Pusat Statistik (2018) untuk Volume Impor

Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 5, impor telah menjadi respons kenaikan harga dan tidak
selalu karena MEA. Kami hanya bisa menemukan satu peraturan yang sudah disesuaikan untuk
menaati perjanjian di ASEAN, yaitu Permenkeu Nomor 6 Tahun 2017 yang mengatur penyesuaian
tarif impor sesuai dengan perubahan di Nomenklatur Penyeragaman Tarif ASEAN. Akan tetapi,
kita belum melihat perubahan inti dalam kegiatan perdagangan beras.

Perjanjian internasional, terutama MEA tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
reformasi kebijakan di Indonesia. Meskipun cadangan beras dapat menyediakan wadah yang
lebih baik untuk mengakses pasar beras internasional, akan tetapi penggunaannya dibatasi
oleh tujuan awalnya sebagai cadangan darurat. Terlebih lagi, ATIGA mengizinkan negara-negara
anggota untuk menunda perubahan nilai tarif atau penetapan harga untuk penanganan khusus
komoditas sensitif. Memahami perspektif negara-negara ASEAN yang membantu merancang
perjanjian ini sangat penting guna memahami perspektif anggota-anggota ASEAN tentang
kebijakan perdagangan beras sehingga MEA bisa mendukung reformasi kebijakan beras di
Indonesia.

24
Cetak Biru MEA pada 2007 mempunyai visi sebuah wilayah dengan pergerakan barang yang
bebas. Upaya-upaya sebelumnya untuk mencapai visi tersebut telah dilakukan, termasuk
ASEAN Free Trade Agreement (AFTA), yang juga mendapatkan tantangan karena setiap anggota
mencoba untuk mempertahankan kebijakan yang nampaknya mendukung kepentingan nasional
setiap negara alih-alih komitmen regional yang lebih luas. Hambatan-hambatan tersebut dapat
dikaitkan ke dalam implementasi CEPT, yang menyediakan sebuah mekanisme untuk secara
bertahap mengurangi hambatan dagang di antara negara-negara anggota ASEAN dalam kurun
waktu tertentu. CEPT digantikan dengan ATIGA.

Meskipun terdapat adanya liberalisasi perdagangan yang progresif, kerangka kerja tersebut juga
telah menciptakan sistem yang mengecualikan komoditas sensitif secara besar-besaran melalui
Temporary Exclusion List (Daftar Pengecualian Sementara) dan Highly Sensitive List (Daftar
Komoditas Sangat Sensitif) (di mana Indonesia mencantumkan beras), dan General Exclusion List
(Daftar Pengecualian Umum). Mekanisme ini mengizinkan negara-negara anggota ASEAN untuk
mengecualikan kewajiban mereka untuk mengeliminasi hambatan tarif dan non-tarif—terutama
untuk beras dan gula (ADB, 2014). Celah tersebut, ditambah kurangnya otoritas dan komitmen
dari para anggota ASEAN, menunda implementasi MEA dari 1 Januari 2015 hingga 31 Desember
2015 (Nipawan, 2015).

Setelah implementasi MEA, tarif antar-regional telah menurun tetapi langkah-langkah


proteksionis untuk beras telah meningkat angkanya, dari 94 di tahun 2000 menjadi 400 di
tahun 2018 (OECD, 2018). Tanpa mengabaikan perkembangan yang telah dibuat untuk integrasi
pasar di ASEAN, termasuk penetapan MEA, kita dapat menyimpulkan bahwa MEA akan sulit
untuk merealisasikan mimpi pergerakan barang yang bebas dalam beberapa waktu ke depan.
Kelompok ASEAN mengetahui bahwa mereka seringkali “terkurung” dalam prinsip “ASEAN Way”
itu sendiri, yang didefinisikan sebagai “konsensus fleksibel” dan “regionalis ringan” yang kembali
ke akarnya bahwa mereka harus menghormati kedaulatan nasional, dan tidak mencampuri
urusan domestik (Acharya, 1997).

Sementara MEA berkembang perlahan untuk mencapai tujuannya, namun tetap layak untuk
menginvestigasi apakah negara-negara ASEAN lainnya bekerja secara individual menuju
integrasi pasar di sektor beras. Pada bab berikutnya, studi ini meneliti empat negara, dua di
antaranya adalah eksportir beras (Thailand dan Vietnam) dan dua lainnya adalah importir beras
(Filipina dan Malaysia).

A. Implementasi APTERR
APTERR bertujuan untuk menguatkan ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, dan
pemberantasan malnutrisi tanpa mengganggu perdagangan normal di pasar global. Dalam
implementasinya di wilayah ASEAN, kapasitas APTERR seringkali terbatas hanya untuk
menyediakan bantuan beras ketika ada bencana, meskipun cadangan yang ada disuplai oleh
beberapa produsen beras terbesar di dunia (Desker et al., 2013). Hanya ada kapasitas untuk
menyimpan 787.000 ton cadangan, yang hanya bisa mensuplai tingkat konsumsi negara-negara
ASEAN untuk satu setengah hari (Ma dan Montesclaros, 2015). Terlebih lagi, beberapa negara
ASEAN menunjukkan minat yang lemah untuk menggunakan atau menguatkan cadangan APTERR
menuju ketahanan pangan. Misalnya pada tahun 2012, ketika ekspor beras Thailand turun drastis
akibat kebijakan internal yang salah satunya rencana kartel beras yang kontra dengan perjanjian

25
APTERR (Yoshimatsu, 2016). Mekanisme APTERR yang telah ditetapkan tidak dipandang sebagai
wadah strategis—fungsi utamanya sebagai cadangan darurat juga diremehkan.

B. Kebijakan Tarif
ATIGA dimaksudkan untuk memfasilitasi pengurangan tarif secara bertahap di negara-negara
ASEAN, tetapi akhirnya justru memberikan pengaruh yang berbeda-beda kepada setiap negara
anggota. Sebagai negara pengekspor beras, Thailand dan Vietnam tidak memberlakukan tarif
impor, tidak seperti importir beras seperti Indonesia. Malaysia mengaplikasikan biaya impor
20% di bawah CEPT, dibandingkan dengan Indonesia yang hanya 5%. Filipina, yang baru-baru
ini mengimplementasikan UU Tarif Beras yang menggantikan seluruh larangan kuantitatif
tarif, mengaplikasikan tarif sekitar 35-180% untuk beras (USDA, 2019). Seluruh negara ASEAN
akan terkena dampak dari tarif 35%, tetapi kebijakan tersebut adalah respons terhadap
meningkatnya inflasi pangan di Filipina dan nilainya telah disesuaikan melalui perjanjian
antara Filipina dan mitra dagangnya. UU tersebut selanjutnya menyebabkan dibuatnya “Rice
Competitiveness Enhancement Fund” (Dana Peningkatan Daya Kompetisi Beras), yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan petani Filipina melalui beberapa program yang kebanyakan
menargetkan pengurangan biaya produksi.

Meskipun ada tantangan-tantangan tersebut, beberapa negara pengimpor beras ASEAN tetap
memberlakukan tarif beras yang tidak mengikuti kisaran angka yang sudah disetujui. Hal
tersebut bisa juga merupakan tanda yang positif, karena ATIGA memang dimaksudkan untuk
mengurangi hambatan perdagangan beras secara berkala di kalangan negara-negara ASEAN,
dan lagipula memang belum diimplementasikan secara penuh.

C. Peran Lembaga Parastatal dalam Perdagangan Beras


Parastatal adalah lembaga atau badan yang memiliki kepentingan politik dan otoritas untuk
mewakili negara secara tidak langsung. Praktik penetapan institusi semacam itu untuk
kegiatan perdagangan beras di negara-negara ASEAN sangatlah umum. The Public Warehouse
Organization of Thailand (PWO) melakukan intervensi pasar dan secara rutin melakukan
perdagangan beras (domestik dan internasional) dan tidak didirikan untuk berkompetisi dengan
sektor swasta. Intervensi yang dilakukan PWO beragam dari mulai penjualan sementara hingga
kebijakan stabilisasi harga, berlaku sebagai agen impor, dan mengekspor beras antar pemerintah,
serta mengekspor melalui kontrak-kontrak yang sudah dinegosiasikan. Sama halnya dengan
VINAFOOD Vietnam. Kapasitas VINAFOOD diperluas dengan pabrik pemrosesan beras khususnya
yang berkapasitas mengamankan suplai hingga pasokan satu etahun. VINAFOOD berpartisipasi
dalam intervensi pemerintah yang mencoba untuk mengontrol harga beras (Nguyen et al., 2017).
Selain itu di Vietnam juga ada Vietnam Food Association (VFA). VINAFOOD seperti diatur dalam
Keputusan 609/QD-TTg dan 339/QD-TTg melakukan perdagangan pangan domestik untuk
menstabilkan harga, sementara VFA berlaku lebih sebagai panduan untuk melakukan impor
dan ekspor beras dan pangan lainnya seperti yang diatur dalam Peraturan Kementerian Dalam
Negeri tentang VFA tanggal 3 Oktober 2006. Parastatal sektor beras kedua negara memainkan
peran serupa dengan BULOG, tetapi Indonesia tidak mengatur impor dan ekspor secara langsung
seperti VFA.

Layaknya di Indonesia, negara-negara pengimpor beras lainnya seperti Malaysia dan Filipina

26
juga memiliki parastatal. BERNAS Malaysia mencoba untuk mendukung ketahanan pangan
nasional melalui stabilisasi harga beras, memastikan suplai beras yang cukup, dan mendukung
keberlanjutan produksi beras domestik, dan seperti BULOG, memonopoli dalam melakukan
impor. Meskipun BERNAS sudah diprivatisasi pada 1996, namun secara konsisten tetap
mengikuti instruksi pemerintah, termasuk instruksi untuk memberlakukan harga minimum
beras USD 246,42 per ton dan kisaran HET, berpartisipasi dalam produksi beras, memonopoli
impor, menerbitkan izin perdagangan padi dan beras, dan mengelola subsidi petani (Ismail
dan Ngadiman, 2017). Monopoli impor BERNAS dicabut pada 2018 dan pemerintah Malaysia
memutuskan untuk membuka peluang bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam mencapai
kuota impor 30%. Sementara BULOG masih melakukan monopoli impornya.

Filipina memiliki institusi yang bekerja seperti parastatal, yaitu National Food Authority (NFA). Baik
BULOG dan NFA bekerja dengan pendekatan instruksi-dan-kontrol, alih-alih dengan pendekatan
berbasis pasar (Departemen Pertanian Filipina, 2018). Hal tersebut berarti segala keputusan
impor dan juga kegiatan pembelian dan penjualan diatur oleh kementerian pemerintah. Tidak
seperti BULOG, NFA memiliki hak tunggal untuk menentukan kuota impor untuk NFA sendiri
maupun pihak swasta karena, tidak seperti di Indonesia, Filipina tidak membatasi impor hanya
untuk parastatal.

Parastatal memiliki pengaruh di pasar beras ASEAN. Dikarenakan tidak adanya peraturan
mengenai keterlibatan institusi semacam itu di MEA, sangatlah mudah untuk melihat bahwa
institusi-institusi tersebut membawa agenda politik yang diatur dalam Cetak Biru MEA. Meskipun
tampak seperti masalah, parastatal dapat memainkan peran penting di sektor pertanian di mana
mereka membantu mengatur kegiatan pemangku kepentingan lain di industri terkait, seperti
pada kasus pasar kakao di Ghana (Quartey, 2013).

D. Dukungan Produksi
Setiap negara anggota ASEAN memiliki kebijakan kerangka kerja sendiri untuk meningkatkan
produksi beras domestik dan menanggulangi situasi internalnya, tetapi sebetulnya ada polanya
di kalangan negara pengekspor beras. Pemerintah Vietnam membuat kebijakan “Rice Land
Preservation” (Perlindungan Lahan Padi),6 yang mencoba untuk meningkatkan pengelolaan
lahan untuk sawah guna meningkatkan pendapatan petani, mengelola lahan untuk produksi
beras, dan meningkatkan ekspor beras. Giesecke et al. (2013) memperkirakan bahwa sekitar
40% lahan pertanian hanya ditujukan untuk penanaman padi. Sama halnya dengan pemerintah
Thailand yang membuat zona khusus untuk produksi beras guna memenuhi tingkat produksi
sesuai permintaan yang ada dengan membersihkan area lahan yang diklasifikasikan sebagai
“tidak cocok untuk tanaman padi” tetapi ditanami padi. Untuk memengaruhi petani beras
untuk menanam tanaman lain, pemerintah telah membuat sistem insentif dalam bentuk
dukungan peralatan dan pengembangan merk dagang (Pongsrihalduchai, 2012). Lahan yang
diklasifikasikan “cocok untuk tanaman padi” akan mendapatkan peningkatan efisiensi produksi
seperti perubahan jadwal penanaman atau tidak menanam saat musim kemarau.

6
Keputusan Nomor 42 Tahun 2012.

27
Pemerintah Vietnam membuat Panduan Strategi Pengembangan Pasar Beras 2017-2020 guna
mengeksekusi perubahan kebijakan produksi dari produksi beras medium menjadi premium
sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan pertani, yang tidak mampu meningkatkan
pendapatan mereka melalui peningkatan produksi tanaman bernilai rendah dan memiliki marjin
profit yang kecil. Perdagangan internasional yang sangat kompetitif telah mengurangi kekuatan
negosiasi eksportir Vietnam, selain itu menaati peraturan serta regulasi pasar yang dituju
sangatlah mahal (Sothy et al., 2017). Melalui buku panduan ini, pemerintah Vietnam bermaksud
untuk secara bertahap menguraingi volume impor beras sembari meningkatkan nilainya—
sementara volume ekspor beras tahunan Vietnam diharapkan mencapai 5 juta ton pada 2020
dengan nilai USD 2,3 triliun milyar per tahun, mereka menargetkan untuk mengurangi volume
ekspor hingga sekitar 4 juta ton dan meningkatkan nilainya menjadi USD 2,5 triliun milyar per
tahun selama sepuluh tahun ke depan. Untuk mencapai itu, pemerintah Vietnam berencana
untuk merestrukturisasi ekspor beras sehingga beras wangi dan beras premium lainnya
mencapai angka 40% dari semua ekspor beras, diikuti dengan ekspor beras ketan dan beras
putih pada angka 25% masing-masing. 10% lainnya akan dialokasikan ke beras berkualitas
tinggi, beras organik premium, dan beras bernutrisi, serta produk beras lainnya (Vietnamnet,
2017). Jika berhasil, hal tersebut akan membuat kompetisi dengan Thailand semakin sengit,
karena Thailand merupakan sebuah negara yang terkenal dengan ekspor beras premiumnya.

Pemerintah Thailand mengintervensi harga padi dengan mendorong petani untuk menimbun
melalui “On-Farm Paddy Pledging” di mana pemerintah memberikan pinjaman tenor enam bulan
berbunga rendah apabila petani menunda menjual hasil panen mereka. Meskipun program
tersebut pertama kali dilakukan untuk beras wangi dan beras ketan, sekarang telah diperluas
dan berlaku juga untuk beras putih pada 2016/2017 (USDA, 2017). Untuk menurunkan biaya
produksi, pemerintah berniat untuk terus meningkatkan kualitas panen dengan memperbarui
teknologi dan sertifikasi serta praktik pertanian yang baik (Good Agricultural Practices - GAP)
kepada petani beras (Pongsrihadulchai, 2018). Sementara itu, pemerintah Vietnam tidak memiliki
kebijakan yang serupa, sedangkan pemerintah Indonesia menggunakan kapasitas BULOG untuk
membeli dan menjual guna mencapai tujuan kebijakan yang serupa.

Negara-negara pengimpor beras lainnya telah mengimplementasikan program yang serupa


dengan kebijakan domestik Indonesia. Malaysia memberlakukan subsidi input dan output untuk
mengurangi biaya produksi petani. Subsidi output berbentuk pembelian hasil panen petani oleh
pemerintah dengan harga referensi, sementara subsidi input meliputi subsidi pupuk atau mesin
sebanyak MYR 25/100 kg yang disimpan di fasilitas pengeringan. Malaysia juga mendistribusikan
kupon hingga MYR 200/hektare untuk membeli anti hama (Harun, 2015). Di Filipina, pemerintah
mengimplementasikan subsidi untuk bibit berkualitas ke daerah yang sesuai dengan persyaratan
(misalnya, lahan rendah yang teririgasi dan memiliki curah hujan cukup serta memanen di bawah
3,8 ton/hektare), mendistribusikan 7.000 unit mesin pascapanen dan 90.000 unit mesin produksi
pertanian, dan memberikan bantuan teknis kepada petani dengan bekerja sama dengan pihak
swasta di bawah program Special Area for Agriculture Development (SAAD).

Kami tidak menemukan program yang serupa dengan proyek-proyek food estate di Indonesia.
Negara ASEAN lainnya berfokus untuk mendukung petani melalui subsidi untuk menurunkan
biaya produksi, pengelolaan lahan, dan stok cadangan.

28
E. Tantangan Integrasi Pasar Beras
Sebuah telaah terhadap kebijakan-kebijakan negara anggota utama ASEAN tidak menunjukkan
adanya upaya serius untuk mencapai integrasi pasar beras. APTERR tidak digunakan untuk
menurunkan harga beras, dan aplikasi ATIGA belum optimal. Peraturan-peraturan yang
dimaksudkan untuk secara bertahap mengurangi tarif di negara anggota ASEAN tidak
diimplementasikan oleh semua negara, dan aksi parastatal menyoroti pengaruh politik di pasar
beras ASEAN. Beberapa negara anggota ASEAN mengimplementasikan kebijakan yang bertujuan
untuk mencapai swasembada, alih-alih mengintegrasikan perdagangan yang memungkinkan
petani untuk mengakses bahan baku yang lebih murah. Negara-negara pengekspor beras utama
di ASEAN mencoba untuk meningkatkan kompetisi mereka dengan beralih ke pasar beras
premium, alih-alih mengizinkan produk yang lebih murah untuk menguntungkan negara-negara
importir. Tabel berikut dalam bagian ini merangkum kebijakan yang dijelaskan dalam bab ini.

Vietnam menghadapi turunnya tingkat kesuburan tanah karena praktik yang tidak melestarikan
lahan dengan menggunakan pupuk kimia untuk meningkatkan kualitas panen. Meskipun
kebijakan yang ada mendorong praktik yang meningkatkan produktivitas lahan-lahan sawah
dan akhirnya memberikan Vietnam keuntungan dalam produksi beras berkualitas rendah-
ke-medium, kesejahteraan petani masih stagnan dalam beberapa tahun terakhir ini, yang
menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan lama tidak lagi relevan. Pemerintah Vietnam berencana
untuk mengubah jenis beras yang diproduksi menjadi beras yang berkualitas tinggi guna mampu
untuk berkompetisi dengan Thailand supaya bisa meningkatkan kesejahteraan petani. Dengan
memproduksi output beras yang berkualitas lebih tinggi, pemerintah Vietnam mengharapkan
adanya perbaikan pada kesejahteraan petani lokal. Untuk mendukung upaya tersebut,
pemerintah Vietnam akan mengganti beras berkualitas rendah-medium yang diproduksi lokal
dengan beras impor dari Kamboja. Sementara itu, Thailand menghadapi tantangannya sendiri,
termasuk berkembangnya kompetisi di pasar internasional dan masalah internal seperti ragam
penggunaan lahan— perekonomian berkembang pesat ke arah industrialisasi, mengurangi
ketersediaan lahan untuk pertanian. Pemerintah sudah merespons dengan intervensi harga
beras dan bantuan pertanian yang dirancang untuk mempertahankan kompetisi dengan
menurunkan biaya produksi dan mempertahankan produksi.

Upaya untuk mengubah produksi beras ke beras yang berkualitas lebih tinggi oleh Vietnam
dapat meningkatkan kompetitif harganya di pasar internasional. Negara-negara produsen
beras lainnya yang lebih kecil seperti Kamboja dan Myanmar bisa diuntungkan dari perubahan
itu dan negara pengimpor juga dapat diuntungkan kalau hal tersebut menekan harga agar
turun. Akan tetapi, Indonesia dan negara-negara pengimpor lainnya seperti tidak tertarik untuk
mengambil keuntungan dari pasar internasional untuk mengakses beras dengan harga yang
lebih terjangkau. Malaysia, yang swasembada 70%, mencoba untuk swasembada penuh pada
tahun 2020 melalui National Agro-Food Document dan terus mengimplementasikan beberapa
kebijakan perdagangan proteksionis di sektor beras termasuk kuota dan tarif impor, serta
intervensi harga.

Filipina, meskipun baru-baru ini menunjukkan ketertarikan untuk mengimpor beras dan telah
melonggarkan proteksi perdagangan berasnya, mengimplementasikan tarif beras yang berkisar
antara 35%-50%. Meskipun hampir tidak mungkin untuk membatasi faktor yang mendorong
kebijakan proteksionis yang diberlakukan di Filipina dan Malaysia, kedua negara tersebut juga
mengalami Krisis Beras Dunia pada tahun 2008. Filipina mengalami kenaikan pesat untuk harga

29
grosir dan retail yang ternyata tidak menguntungkan petani lokal dan malah berujung pada harga
yang lebih tinggi setelah krisis berlalu (Balisacan et al., (2010). Demikian halnya dengan Malaysia,
yang meskipun tidak seburuk Filipina sebagai sesama negara importir, yang merespons kondisi
pasar yang tidak stabil dengan menaikkan stok cadangan Bernas dari dua minggu (92.000 ton)
menjadi tiga bulan (550.000 ton) (Slayton, 2009) dengan mengirimkan delegasi ke Thailand yang
akhirnya hanya dapat membeli 200.000 ton. Sebagai respons terhadap krisis, negara-negara
pengimpor seperti Filipina dan Malaysia menargetkan untuk tidak terlalu bergantung pada
pasar internasional.

Indonesia secara historis telah menjadi negara nasionalis pro-petani yang melihat kedaulatan
dan kesejahteraan sektor beras domestik sebagai simbol kemerdekaan negara (Davidson,
2018). Desakan kandidat politik yang menyerukan swasembada beras tetap ada di setiap
pemilu. Hal tersebut memperkuat anggota parlemen yang sepertinya tidak menerima ide untuk
menggunakan MEA sebagai upaya menstabilkan pasar beras (Wawancara dengan Juru Bicara
Parlemen, 2018). Sebagai respons terhadap Krisis Beras Dunia pada tahun 2008, Indonesia
relatif berhasil dalam mengisolasi diri dari ketidakstabilan pasar beras internasional, tetapi
harga beras telah meningkat setelah krisis tersebut, sehingga posisi negara menjadi sama
dengan negara pengimpor lainnya.

30
Perbandingan Kebijakan Beras antara Negara-Negara ASEAN
Jenis Kebijakan IndonesiaV ietnam Thailand FilipinaM alaysia

Strategi Pengembangan Pasar


Beras 2017 - 2020.
Buku panduan yang bertujuan
untuk mengurangi volume Propaganda Duterte tentang
ekspor beras sementara swasembada.
meningkatkan nilai beras impor.
Kebijakan Agro-Pangan
Merevisi produksi beras Nasional 2011-2020
Strategi Restrukturisasi Pertanian bertujuan agar Malaysia lebih
nasional dari 33 juta ton
Besar Menuju Peningkatan Nilai swasembada dalam hal
menjadi 27 juta ton di
Nasional Tambah dan Program pangan, meningkatkan nilai
tahun 2017.
Pengembangan Berkelanjutan produk, menggalakkan
yang; kembali rantai suplai, dan
1) Meningkatkan PDB pertanian, meningkatkan kapasitas
2) Memperbaiki standar hidup teknis.
pedesaan, 3) Memastikan
ketahanan pangan dan nutrisi,
4) Mengurangi emisi gas rumah
kaca dan memperluas area
hutan hingga 45% pada 2020.

Vinafood 1 & Vinafood 2 BERNAS melakukan


memastikan ketahanan pangan, pengecekan dan transformasi
mengelola masalah logistik, dan padi lokal, beras impor,
mengkoordinasikan perusahaan gudang penyimpanan,
BULOG. pangan pada level provinsi dan National Food Authority distribusi, dan pemasaran.
Badan Usaha Meregulasi kuota kota. (NFA) melakukan impor dan Juga terlibat dalam
Milik Negara impor dan waktu meregulasi kuota impor mengimplementasikan harga
(BUMN) impor. untuk importir pemerintah dasar dan harga atap,
Vietnam Food Association manufaktur beras,
dan swasta.
(VFA) melakukan pengecekan memonopoli impor, dan
ekspor-impor beras dan mengelola subsidi untuk
komoditas pangan lainnya. petani.

31
32
Sistem insentif untuk
memengaruhi petani agar
menanam tanaman lain.

Mengubah produksi ke
tanaman bernilai tinggi.

Rice Famer Assistance


Keputusan Nomor 35 Tahun Measure Program SUBUR Program yang
2015. Pemerintah mengganti yang; 1) membiayai petani berlaku seperti kupon
50-70% kerugian panen yang yang terkena dampak Sistem kredit FSSP dan pangan yang memberikan
disebabkan oleh bencana, 70% kekeringan,2) memberikan asuransi panen. diskon untuk jenis beras
biaya pembukaan lahan penangguhan utang tertentu yang digunakan
pertanian baru, dan 100% selama dua tahun dengan untuk masyarakat miskin.
biaya bibit padi. tingkat bunga yang sama,
3) kompensasi sebagian
Sengketa untuk kerugian panen, 4)
Lahan menanggung sebagian
biaya panen dan
2012 UU Koperasi. pascapanen. Rice Competitiveness
Serikat pekerja tani menjadi Enhancement Fund Subsidi biaya produksi
diakui karena badan hukum Provisi pinjaman untuk bertujuan untuk untuk membeli bahan kimia
mendapatkan kemudahan organisasi petani dan meningkatkan kesejahteraan dan pupuk yang terpercaya.
untuk mendapatkan pinjaman koperasi pertanian. petani dengan mengurangi
dari bank. biaya produksi.
Kredit pinjaman untuk
mempromosikan pertanian
hijau dan berkelanjutan.
Ketapang Food
Estate and Merauke
Integrated Food and
Energy Estate Mekanisasi panen beras.
(MIFEE). Sebuah
program yang Perbaikan infrastruktur
mengintegrasikan irigasi, bibit terbaik,
pertanian, implementasi teknologi
peternakan, produk pertanian, dan integrasi
susu, dan perikanan lahan sawah.
melalui pembuatan Special Area for Agriculture
area-area pertanian Development (SAAD)
baru. meningkatkan produktivitas
Perbaikan pertanian berdasarkan
Produktivitas Permentan Nomor 4 potensi lokal dengan
Tahun 2016 menyediakan bantuan teknis
menyebutkan bahwa kepada petani dan dengan
pemerintah bekerja sama dengan pihak
menyediakan pupuk swasta.
dan bibit berkualitas
tinggi.

Subsidi permesinan
sebanyak MYR 25/100kg
Permentan Nomor
beras untuk petani beras.
47 Tahun 2017
menyebutkan Program subsidi bibit.
bahwa pemerintah
menyediakan bibit
untuk petani di
beberapa desa
terpilih untuk
menambah output
beras.

33
34
On-Farm Paddy Pledging
Program. Pemerintah
menawarkan pinjaman
dengan tenor enam bulan
berbunga rendah bila
Penimbunan petani menahan penjualan
Beras mereka. Sistem zonasi penyimpanan
Pemerintah menahan beras.
100.000 ton beras yang
akan didistribusikan ketika
kekurangan muncul di
pasar domestik.

Kuota impor diatur oleh NFA


dan diperbolehkan untuk
Hambatan perusahaan-perusahaan
perdagangan bebas swasta.
Regulasi Tarif impor untuk pangan
- upaya tarif dan Kuota impor dari Lao PDR adalah sebesar 20 - 40%.
Impor Republic Act No 11203
non-tarif. telah dihapuskan. imemperkenalkan kebijakan
Dilaksanakan oleh
tarif baru untuk beras dan
BULOG
menggantikan pembatasan
kuantitatif untuk impor.

Set minimum ekspor beras

Beras ekspor diperiksa oleh


VFA
Regulasi
Penetapan Kelompok Kerja
Ekspor Pengelolaan Ekspor Beras
sebuah perjanjian pengelolaan
antar-kementerian yang
mengurusi pengelolaan ekspor
beras.

Mempromosikan produk
bernilai kepada petani
beras Thailand melalui
Strategi Harga peralatan pengemasan
pemasaran dan pelatihan
pengembangan merk
dagang.
MENANGGULANGI MASALAH BERSAMA-SAMA:
APAKAH MEA DAPAT MENYELESAIKAN MASALAH
YANG ADA?

Berdasarkan observasi pada bab sebelumnya, sangatlah jelas bahwa pasar beras internasional
yang sudah ramping tampaknya tidak akan berubah dalam beberapa tahun ke depan.
Negara-negara pengekspor utama di Asia Tenggara akan bergerak meningkatkan daya
kompetisi mereka di pasar beras premium sementara negara pengimpor bersikeras untuk
menjadi lebih swasembada. Tampaknya negara-negara ASEAN secara internal dipaksa untuk
mengimplementasikan kerangka kerja MEA yang sudah disepakati. Sebuah alternatif harus
ditemukan untuk mendorong integrasi pasar beras di ASEAN.

A. Mendefinisikan masalahnya kembali


Menurut USDA (USDA, 2019), Thailand dan Vietnam yang mendominasi ekspor beras, mengekspor
sekitar 17,3 juta ton pada tahun 2018. Negara pengimpor di Asia Tenggara bergantung pada
beras Thailand dan Vietnam yang menawarkan harga bersaing dengan dukungan dari perjanjian
perdagangan multilateral. Sementara pasar beras internasional dikenal kecil (sekitar 8-10%
dari seluruh beras yang diproduksi di dunia), pemerintah Vietnam berencana untuk mengubah
produksi dari beras giling dan beras menir menjadi beras wangi (berkualitas lebih tinggi) untuk
mulai berkompetisi dengan Thailand. Hal tersebut dapat menurunkan suplai beras giling.
Rencana itu dapat menyebabkan kekhawatiran lebih dalam pada pasar beras karena mewakili
sekitar 54,3% dari semua beras yang diperdagangkan secara internasional (USDA, 2017).

Negara pengimpor cenderung melakukan impor berdasarkan kondisi panen domestik. Dalam
kasus Indonesia, keputusan impor dibuat dengan mempertimbangkan estimasi produksi dan
stok yang tersedia di penyimpanan BULOG. Pada praktiknya, keputusan impor dibuat karena
tingginya harga. Karena Indonesia secara historis memiliki data produksi beras yang tidak akurat,
data terbaru yang lebih baik masih harus diperiksa. Mengingat data tersebut digunakan untuk
memutuskan impor atau tidak, maka data itu juga bisa membawa sektor beras Indonesia ke posisi
yang rentan. Terlebih lagi, Indonesia dan negara pengimpor lainnya masih mengaplikasikan
berbagai hambatan perdagangan yang dirancang dan cenderung mengganggu harga beras.

Sebagai respons terhadap Krisis Beras Dunia dan juga terhadap gagalnya upaya Thailand untuk
mengontrol harga beras selama 2011-2014, negara pengekspor juga cenderung melakukan
ekspor berdasarkan kondisi pasar internal mereka. Misalnya, peningkatan biaya bbm domestik
pada 2008 memotivasi India dan Vietnam untuk melarang ekspor beras dan menyebabkan
kekacauan lebih lanjut di pasar dunia. Terlebih lagi, kegagalan Thailand untuk mengontrol harga
beras dengan menimbun beras untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi gagal karena negara
pengekspor lainnya tiba-tiba membuka larangan impor mereka dan menyebabkan harga terus
menurun. Keputusan yang tidak dapat diprediksi tersebut makin menyebabkan ketidakstabilan
pasar beras.

Pasar beras Indonesia menjaga stabilitas harga namun di angka yang tinggi. Secara politis, para

35
elit di Indonesia tidak setuju dengan liberalisasi perdagangan yang dapat menekan harga, tetapi
motivasi mereka untuk mengontrol harga domestik didasari oleh data yang masih problematis.
Hal tersebut membuat keputusan Indonesia untuk mengimpor atau tidak menjadi sulit. Terlebih
lagi, pasar internasional tidak dalam kondisi baik untuk mendukung kebijakan yang ada di
Indonesia saat ini karena karakternya yang kecil dan tidak stabil dan potensi untuk penyesuaian
perubahan produksi oleh eksportir besar seperti Vietnam. Akan tetapi penting bagi Indonesia
untuk menggunakan perdagangan internasional mengingat limit kapasitas domestiknya.
Sangatlah jelas bahwa hambatan perdagangan yang diberlakukan saat ini dan keputusan impor
dibuat berdasarkan data yang salah yang selalu diandalkan Indonesia di masa lampau tidak
membuat perubahan besar pada harga beras di Indonesia.

B. Membangun Pasar Berjangka Beras


Tingginya tingkat ketergantungan pasar beras internasional terhadap sektor dan kebijakan
beras domestik negara-negara anggota ASEAN bisa menyebabkan informasi pasar yang tidak
selaras. Sederhananya, negara pengimpor beras bisa perlu untuk mengimpor beras sebagai
respons terhadap kekhawatiran domestik seperti halnya dengan harga beras internasional
berubah sebagai respons terhadap kebijakan negara anggota lain yang membuat impor tidak
efisien. Demikian juga dengan negara pengekspor beras dapat gagal untuk mengoptimalkan
pendapatan mereka. Maka dari itu akan menguntungkan untuk menetapkan sebuah pasar yang
menyediakan informasi harga yang terkalkulasi lebih baik.

Sebelumnya perdagangan komoditas, seperti beras, gandum, kopi, kakao, dan gula, telah
terjadi di pasar komoditas. Praktik pasar komoditas dimulai dengan kontrak berjangka (future
contracts), atau perjanjian hukum untuk bertukar komoditas dengan harga tetap yang disetujui
sebelumnya oleh pembeli dan penjual pada waktu yang sudah ditentukan di masa depan. Tidak
seperti pasar konvensional (pasar spot), di mana komoditas perdagangan dikirim secepatnya,
penjual dan pembeli berjangka bisa mengabaikan kontrak berjangka kalau kondisi pasar lebih
menguntungkan daripada perjanjian mereka.

Secara teori, pasar berjangka (futures market) bisa dianggap seperti kesempatan bagi petani
untuk menekan risiko menjual rugi. Produk pertanian dikenal dengan harganya yang kaku.
Petani mungkin harus menyediakan sejumlah uang untuk memproduksi beberapa komoditas
tetapi juga menghadapi risiko bahwa mereka hanya akan ditawar dengan harga di bawah biaya
produksi mereka di musim panen berikutnya. Pada pasar spot, petani harus menggunakan
harga pada saat panen, terutama kalau hasil panen mereka akan membusuk seiring berjalannya
waktu. Akan tetapi, pasar berjangka mengizinkan petani untuk membatasi risiko dengan menjual
komoditas pada harga tertentu hari itu juga melalui kontrak berjangka yang menjamin tingkat
harga saat ini (atau harga yang sudah disetujui sebelumnya antara penjual (posisi kontrak
berjangka pendek) dan pembeli (posisi kontrak berjangka panjang)), di saat petani menganggap
saat itulah waktu yang tepat untuk menanam, hingga tanggal pengiriman. Maka dari itu, kalau
tingkat harga dalam kontrak berjangka di bawah biaya produksi petani atau di bawah tingkat yang
diinginkan, kerugian petani yang muncul di pasar spot bisa dikompensasikan dengan keuntungan
yang didapat dari pasar berjangka. Terlebih lagi, pasar berjangka mendukung penentuan harga
dengan mengizinkan negosiasi antara pembeli dan penjual untuk mengemukakan ekspektasi
mereka. Madre dan Devuyst (2016) memperkirakan bahwa harga jual di awal proses produksi
adalah informasi penting bagi petani yang bekerja di pasar pertanian yang tidak stabil.

36
Akan tetapi, petani bukanlah satu-satunya pelaku di pasar berjangka—karena bisa juga
melibatkan pemangku kepentingan seperti penjual grosir, tengkulak, parastatal, dan bahkan
mereka yang tidak bekerja di industri ini namun merupakan spekulator. Meskipunspekulator
dapat mengganggu pasar dan bahkan menaikkan harga atau menyebabkan ketidakstabilan
harga, mereka juga bisa diuntungkan oleh pasar berjangka melalui likuiditas pasar. Sementara
di masa lalu spekulasi di Amerika Serikat telah memberikan dampak yang signifikan pada harga
pangan dunia, pasar berjangka komoditas AS hanya sebesar 8% dari semua produk keuangan
derivatif yang tersedia (IATP, 2008).

Beberapa pasar komoditas memperdagangkan produk pertanian. Chicago Mercantile Exchange


(CME) di AS adalah pasar berjangka terbesar di dunia. Di Asia, terdapat Agricultural Futures
Exchange Thailand (AFET), Tokyo Commodity Exchange Jepang (TOCOM), Zhengzhou Commodity
Exchange Cina (ZCE), dan Singapore Commodity Exchange (SICOM). Hanya TOCOM dan SICOM
yang tidak memperdagangkan beras. CME mengoperasikan pasar berjangkanya untuk komoditas
beras melalui Chicago Board of Trade (di bawah Grup CMO). Pasar tersebut dianggap berhasil
mengelola kontrak berjangka beras (Ewing, 2012). Ewing menjelaskan faktor kunci kesuksesan
tersebut, termasuk pasar bebas dalam kontrak berjangka dan mengkomunikasikan kontrol
harga pemerintah dalam tingkat rendah, lingkungan regulasi yang suportif, dan dan lembaga
kliring yang mumpuni.

Di Thailand, AFET adalah satu-satunya pasar berjangka pertanian. Didirikan pada 2001, AFET
pertama kali didanai oleh pemerintah Thailand dan memperjualbelikan kontrak berjangka untuk
komoditas karet, beras, dan tapioka. AFET membedakan pemangku kepentingan pasar menjadi
makelar dan penjual. Transaksi memiliki maksimal 20 makelar, tetapi penjual baru selalu boleh
bergabung. Di Cina, ZCE memperjualbelikan beberapa jenis beras: Early rice, beras Japonica, dan
beras late indica. ZCE didirikan sebagai pasar berjangka beras Cina yang pertama yang sudah
beroperasi sejak 1993.

Penilaian kebijakan pasar beras sebelumnya di Indonesia dan penilaian serupa di negara-negara
ASEAN telah menemukan bahwa langkah menuju integrasi pasar beras secara politis tidak
populer. Semua anggota ASEAN menganggap beras sebagai komoditas pokok – menjadikannya
sangat penting. Perlakuan tersebut memotivasi negara-negara tersebut untuk condong pada
kebijakan yang mendukung produksi beras domestik, yang kadang-kadang secara efektif
proteksionis membawa ke arah harga yang lebih tinggi—seperti di Indonesia dan Filipina (OECD,
2018). Desakan bagi semua negara anggota untuk berintegrasi melalui Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA), kerangka kerja ASEAN Integrated Food Security (AIFS), dan perencanaan strategis
untuk kerja sama ASEAN dalam bidang pangan, pertanian, dan kehutanan telah mendorong
lebih lanjut kebijakan-kebijakan internal tersebut untuk disesuaikan dengan peraturan
regional, termasuk yang mengintervensi atau melindungi keberlangsungan sektor beras lokal.
Sementara kerangka kerja perencanaan strategis AIFS dibuat oleh pembuat kebijakan, OECD
(2018) melaporkan bahwa ada sedikit bukti empiris mengenai integrasi pasar beras, meskipun
harga beras kerapkali bergerak bersama, yang menunjukkan integrasi pasar beras. Observasi
OECD menunjukkan perubahan harga di seluruh wilayah ASEAN cukup serupa, meskipun ada
penundaan karena penyesuaian. Terlepas dari bukti adanya integrasi pasar, kebijakan internal
di setiap negara dapat membuat kesenjangan harga antar negara, yang mengurangi efektivitas
integrasi pasar beras. Hal tersebut disayangkan—beberapa studi menemukan bahwa integrasi
yang lebih penuh di pasar beras ASEAN akan menutup kesenjangan harga dan membantu

37
mengurangi kekurangan gizi di keluarga ASEAN hingga 5% (OECD, 2017, 2018).

Mempertimbangkan situasi saat ini dan bagaimana negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia,
masih enggan untuk mengusung liberalisasi perdagangan beras, pendirian pasar berjangka
beras bersama dapat meningkatkan pengetahuan tentang harga dan pengelolaan risiko petani.
Hal tersebut setidaknya akan meningkatkan kesinambungan perdagangan antara negara-
negara ASEAN dan akhirnya membantu keluarga di seluruh negara pengimpor beras di Asia
Tenggara untuk mengakses beras dengan harga yang lebih terjangkau tanpa ketakutan akan
menghadapi tingkat harga yang tidak pasti. Parastatal atau badan usaha negara yang ditunjuk
untuk mengurusi impor beras telah bergabung di pasar berjangka dan mengelola stok beras
dengan lebih baik tanpa harus memiliki data suplai nasional yang terpercaya, yang juga masih
dipertanyakan apakah Indonesia mampu melakukannya.

Sementara hal itu bisa saja memengaruhi perdagangan beras ASEAN, studi yang layak tentang
pendirian pasar beras berjangka telah memberikan opini yang bermacam-macam. RSIS (2012)
melaporkan adanya rapat kelompok kerja ahli yang membahas pasar berjangka beras Asia.
Menurut laporan tersebut, pendirian pasar tersebut sangatlah menantang, karena:
(i) Varietas beras yang berbeda-beda dan membutuhkan perlakuan pasar yang
berbeda juga,
(ii) Hakikat beras yang sangat dipolitisasi, sehingga membuatnya sulit untuk
mendirikan sistem perdagangan yang adil, dan
(iii) Kemungkinan perluasan penentuan harga pasar spot dan berjangka.

Studi layak lainnya di wilayah ASEAN oleh McKenzie (2012) menemukan bahwa kontrak
berjangka beras ASEAN dapat membantu meningkatkan penentuan harga dan manajemen
risiko. Sementara hal tersebut dapat membantu seluruh pihak dalam membuat keputusan
pemasaran dan produksi, studi ini juga menyoroti bahwa pasar berjangka dapat memainkan
peran yang terbatas dalam menstabilkan harga di sepanjang beberapa tahun atau musim karena
pasar berjangka bukan alat untuk mengurangi ketidakstabilan harga, tetapi sebuah alat untuk
mengelola risiko yang datang dengan ketidakstabilan harga. Terlebih lagi, ketidakstabilan harga
beras, meskipun dilihat sebagai masalah, penting untuk menarik para pelaku lindung nilai dan
spekulator ke pasar berjangka.

McKenzie (2012) menyatakan bahwa pasar spot dengan informasi pasar yang besar, kompetitif,
jelas, dan dengan intervensi pemerintah yang minimum memengaruhi suksesnya sebuah
kontrak berjangka. Terlebih lagi, keberhasilan pasar berjangka beras tergantung tidak hanya
pada situasi di pasar spot tetapi juga pada beberapa hal berikut ini:
• Keterlibatan yang lebih besar dari sektor swasta pada pemasaran beras
internasional
• Meningkatnya kerja sama regional untuk kebijakan perdagangan beras, bersama
dengan harmonisasi kualitas beras dan standar penilaian
• Perbaikan infrastruktur sektor beras, terutama fasilitas penyimpanan dan
pembiayaan peserta pasar
• Pendirian institusi independen yang bertanggung jawab terhadap harga pasar
beras dan data produksi
• Kerangka kerja regulasi yang memadai untuk mengawasi kontrak berjangka
• Dukungan edukasi bagi peserta pasar yang potensial dan staf perdagangan
pemerintah

38
• Pembentukan forum regional di mana pemangku kepentingan pasar kontrak
berjangka dapat membahas kebijakan yang kondusif untuk mengembangkan
kontrak berjangka
• Meningkatkan transparansi harga di pasar spot yang sudah ada dan pengembangan
indeks harga tunai untuk wilayah ASEAN

Poin-poin di atas menunjukkan bahwa mendirikan pasar berjangka beras akan membutuhkan
perubahan sistemik di banyak aspek pada sektor beras Perubahan tersebut harus terjadi di
setiap negara dan bersama-sama pada tingkat ASEAN.

Saat ini, negara-negara ASEAN kekurangan partisipasi sektor swasta di sistem pemasaran beras
internasional. Petani beras di Asia Tenggara relatif tidak terlalu terlibat dalam pasar internasional
dan sama halnya dengan petani di Indonesia. Petani beras Indonesia umumnya memiliki luas
lahan yang sangat kecil (kurang dari 0,5 hektare per kapita), maka itu kemungkinannya kecil
hingga mereka akan secara langsung berpartisipasi dalam pasar berjangka beras. Faktanya
adalah pasar berjangka beras yang sudah berjalan, seperti CME, memiliki angka partisipasi
yang rendah dari perusahaan-perusahaan pertanian kecil meskipun berbagai upaya telah
dilakukan oleh USDA untuk mengajarkan mereka tentang instrumen finansial ini (McKenzie,
2012). Hanya perusahaan pertanian besar (dengan kepemilikan lahan lebih dari 800 hektare)
yang menggunakan pasar berjangka.

Sebaliknya, perusahaan pertanian kecil relatif lebih tertarik bergabung dengan kontrak forward
(daripada kontrak berjangka), yang ditawarkan oleh sektor merchandising (penggiling beras).
Penggiling padi biasanya menggunakan kontrak berjangka untuk melindungi diri dari risiko.
Pedagang, penggiling, penjual, dan retailer relatif lebih terlibat di pasar beras internasional
daripada produsen beras, tetapi hal ini kebanyakan disebabkan oleh keterlibatan parastatal yang
memiliki hak monopoli atau status khusus lainnya dari pemerintah. Sebagai hasilnya, sektor
swasta tidak terlalu terlibat dan mungkin menahan keterlibatan mereka, dan hal itu secara
negatif memengaruhi kemungkinan dibentuknya pasar berjangka beras yang sukses. Sulit untuk
menyamaratakan keterlibatan pedagang, penggiling beras, dan retailer di pasar internasional
karena tidak ada data yang terpercaya dari setiap negara, meskipun demikian mereka tetap bisa
berpartisipasi dan dapat meningkatkan likuiditas pasar berjangka.

Kerja sama regional di wilayah ASEAN telah ditetapkan dalam berbagai cara. Formasi APTERR
(ASEAN Plus Three Emergency Rice Reserve) dimotivasi oleh keinginan untuk membuat cadangan
beras fisik yang dapat menutup permintaan beras untuk negara anggota ASEAN ketika produksi
lokal dan pasar internasional tidak mampu untuk memenuhi permintaan (Mujahid dan Kornher,
2016). Di samping perjanjian cadangan itu, negara anggota ASEAN sebelumnya telah menyetujui
perjanjian perdagangan multilateral (AFTA) yang mengurangi hambatan perdagangan untuk
komoditas (meskipun hambatan-hambatan tersebut masih ada dalam bermacam bentuk di
hampir semua negara). Meskipun faktanya wadah-wadah ini terus menghadapi tantangan untuk
diimplementasikan, APTERR telah mengadopsi sistem serupa untuk pasar berjangka (Skema Tier
1), tetapi jarang digunakan. APTERR saat ini digunakan hanya untuk membantu mengamankan
stok beras di wilayah yang terkena bencana.

Standardisasi kualitas untuk beras di negara-negara Asia Tenggara saat ini dilakukan
melalui adopsi individu sejumlah standar dari FAO (CODEXSTAN 198:1995), ISO, dan institusi

39
internasional lainnya. Standar regional bisa menjadi hal yang penting untuk mempermudah
transaksi guna mendorong terbentuknya pasar berjangka beras. East African Community (EAC)
mengimplementasikan standardisasi regional untuk menyelaraskan bukan hanya kualitas beras
tetapi juga persyaratan produk dan jasa (EAC, 2011).
Kebutuhan untuk meningkatkan infrastruktur sektor beras, terutama penyimpanan dan skema
pendanaan terlihat nyata di Indonesia. Saat ini ada sedikit atau bahkan tidak ada studi tentang
kualitas penyimpanan BULOG di Indonesia, atau di negara Asia pada umumnya, meskipun
faktanya infrastruktur adalah faktor kunci yang memengaruhi kualitas dan ketahanan beras
(Swastika, 2012). IRRI (2013) menemukan bahwa situasi penyimpanan-penyimpanan utama
di lahan yang sudah ada di seluruh Asia terbuka (kantung atau lumbung padi) dan terpapar
hama. Situasi penyimpanan komersil pun serupa, produk terpapar atmosfer dan hama. Kotak
1 mengeksplorasi sebuah solusi yang dicoba untuk memecahkan masalah ini di Etiopia melalui
pembuatan ECX.
Beberapa program pendanaan dan skema subsidi telah diimplementasikan di Indonesia,
termasuk Kartu Tani, KUR (kredit usaha rakyat). Skema serupa juga dapat ditemukan di negara
Asia Tenggara lainnya dalam bentuk kredit musiman dan subsidi untuk petani. Akan tetapi,
literasi keuangan rendah di Indonesia (29,7%, menurut OJK, 2018) dan juga di Asia Tenggara
(34%, S&P Global Finlit Survey, 2014) membuat hampir tidak mungkin ada banyak pemangku
kepentingan yang terlibat di pasar finansial.

C. Fasilitas Pendukung untuk Pasar Berjangka Beras


Demikian halnya dengan pasar berjangka, pembentukan ECX (lihat Kotak 1) sesuai dengan
pembentukan fasilitas pendukung: lembaga kliring dan penyimpanan. Backer (2016) menemukan
bahwa lembaga kliring adalah sekelompok pengaturan institusi yang dirancang untuk
meningkatkan perjanjian antar pelaku pasar swasta. Tujuan dari lembaga kliring berjangka
adalah untuk mengelola risiko pinjaman (default risk) terkait jual/beli kontrak berjangka. Kalau
daya kredit satu pihak dagang berkurang selama durasi kontrak berjangka, tidak ada bantuan
untuk kerugian atau perilaku berisiko sampai akhir kontrak.

Sebagai respons, dibentuklah kelompok/klub penjual informal, yang memberikan pengamanan


transaksi multilateral oleh anggota yang setuju untuk saling menerima kontrak satu sama
lain sebagai subtitusi.7 Pasar berjangka juga mengembangkan aturan untuk mengelola risiko
pinjaman, yang memperbolehkan pasar untuk melarang mangkir dari transaksi, untuk menilai
akun perusahaan trading apabila kekhawatiran solvensi muncul, dan untuk mensyaratkan
perusahaan untuk mempublikasikan marjin dagang mereka.

Lembaga kliring sejatinya ada di tengah perdagangan dan menciptakan dua transaksi baru
melalui proses hukum yang dikenal dengan sebutan novation. Transaksi yang baru menggantikan
yang pertama, termasuk penggantian perjanjian kontraktual pertama antara pembeli dan
penjual. Pada salah satu transaksi, lembaga kliring bertindak sebagai pembeli, dan pada

7
‘‘Pengamanan Multilateral’ adalah istilah investasi yang mengacu pada pengaturan di antara beberapa pihak untuk
mengintegrasikan transaksi mereka untuk membantu menghindari penagihan ganda dan penyelesaian pembayaran di antara
para pihak. Implementasi yang ada dari konsep ini umumnya terletak pada kasus-kasus penyelesaian antar perusahaan untuk
transaksi yang dilakukan oleh setiap anak perusahaan menggunakan mata uang yang berbeda.

40
transaksi lainnya sebagai penjual. Hal itu menguntungkan dalam hal mengurangi risiko
pinjaman pihak utama, dan juga mengizinkan pengamanan multilateral, efisiensi transaksional,
dan meningkatkan transparansi, serta memfasilitasi kemampuan portabilitas kliring. Biaya
lembaga kliring yang digunakan sudah termasuk dalam pengamanan antara derivatif Over-the-
Counter (OTC)8 yang dibutuhkan untuk dikliring dan yang dikliring, serta ketika yang dikliring
dan diselesaikan secara bilateral terganggu. Lembaga kliring juga menciptakan masalah moral
berbahaya setidaknya melalui dua cara: dengan mengurangi kekhawatiran anggota tentang
perjanjian berisiko tinggi dan tentang pengelolaan pinjaman mereka sendiri.

Dalam kasus ASEAN, pasar berjangka beras dapat didukung oleh sebuah lembaga kliring yang
dikelola secara independen dan dibiayai bersama-sama oleh negara-negara anggota ASEAN.
Seperti contoh ECX, sebetulnya sangat mungkin untuk membuat kemitraan negara-swasta
dalam pengelolaan pasar. Memang merupakan suatu tantangan untuk mengumpulkan institusi
swasta untuk mewakili masyarakat dari setiap negara anggota ASEAN (yang mungkin diperlukan
untuk memperkuat independensi pasar), namun masih memungkinkan untuk membuka proses
rekrutmennya mengingat MEA sudah memfasilitasi pergerakan tenaga kerja melalui Cetak Biru
MEA.

8
Derivatif OTC adalah kontrak derivatif yang diperjualbelikan antar pihak tanpa melalui mekanisme jual-beli. Lembaga kliring
mensyaratkan kontrak semacam ini untuk dikliring karena kontrak tersebut memiliki risiko kredit mengingat tidak adanya pihak
perantara.

41
Kotak 1.
Pelajaran dari Pasar Komoditas Etiopia

Ethiopia Commodity Exchange (ECX) adalah kantor yang dimiliki pemerintah dengan
pengelolaan sektor swasta yang menjalankan perdagangan pangan berbasis teknologi.
Kantor ini memiliki visi model bisnis nirlaba untuk meningkatkan kesejahteraan sosial,
tetapi anggota mereka diizinkan untuk mendapatkan penghasilan dari hak dagang
eksklusif (Gabre-Madhin, 2012).

Sebelum ECX dibentuk, perdagangan pangan di Etiopia dibatasi oleh hambatan geografis
dan tingginya biaya transportasi, kurangnya kejelasan kontrak dagang dan standar
sertifikasi komoditas. Pemerintah Etiopia mendirikan ECX pada 2006 untuk meregulasi
komoditas seperti polong-polongan, minyak sayur, ,kacang, dan kopi. Pemerintah juga
menetapkan peraturan sistem penyimpanan, pusat-pusat pergudangan, lembaga kliring,
standardisasi kualitas dan kontrak, dan sistem pengawasan pasar.

Petani bisa memperjualbelikan komoditas mereka di seluruh Etiopia dengan


mendepositkan barang mereka di penyimpanan ECX di Nekempt. Mereka akan dibayar di
hari berikutnya sesuai dengan nilai harga yang disetujui sebelumnya oleh ECX dan petani.
Perundang-undangan yang berlaku menjamin pasar ini agar tetap independen dan berjalan
dengan sendirinya, tidak mewakili beban atau kemungkinan memberikan penghasilan
untuk pemerintah. Maka dari itu, meskipun kepemilikan ECX ada di pemerintah, namun
pengelolaannya oleh swasta menjaganya tetap independen. Tekanan pemerintah dalam
keputusan yang memengaruhi efisiensi ECX juga tidak signifikan. Kebijakan dan regulasi
kebanyakan diatur oleh pemerintah, tetapi hal lain seperti keputusan kunci manajemen
dan keputusan operasional sepenuhnya dibuat secara independen.

Meskipun ECX dipandang sebagai lembaga monopoli yang mengurusi pasar komoditas,
tetapi di dalamnya penuh dengan keberagaman, di mana terdapat kantor broker dan peserta
swasta. Penting untuk mempunyai semua pemain di satu pasar untuk pasar komoditas
berjangka komoditas seperti ECX guna menentukan harga. ECX telah membukukan hasil
yang baik, senilai USD 820 juta, dan menambah 5510 peserta setelah hanya tiga tahun.

Tempat penyimpanan dan gudang juga harus didirikan untuk memfasilitasi pembentukan
pasar berjangka. Rantai suplai yang solid dan efisien juga penting untuk operasi pasar seperti
ini, maka harus ada investasi juga terkait penyimpanan, transportasi, dan fasilitas pelabuhan.
Optimalisasi kerangka kerja ASEAN dapat membantu pembentukan fasilitas-fasilitas ini. FAO
(2017) mendeskripsikan infrastruktur yang ideal untuk penyimpanan pasar beras berjangka. Hal
tersebut termasuk material dan peralatan yang dibutuhkan untuk pengemasan dan penanganan
kantung-kantung gandum, serta kontrol hama di ruang penyimpanan. Idealnya, barang-barang
tersebut disimpan secara terpisah.

Filipina dan Singapura memiliki pelabuhan internasional besar yang berpengalaman dalam
memindahkan dan menyimpan komoditas ke dan dari pasar dunia. Pemerintah Filipina
mengelola dua kompleks pelabuhan perikanan di Navotas dan General Santos. Navotas adalah
pusat perikanan utama dan juga termasuk yang terbesar di Asia, diikuti dengan General Santos

42
di tempat kedua. Kedua pelabuhan perikanan tersebut melayani berbagai macam fungsi,
termasuk pasar bisnis, penyimpanan dengan pendingin, dan fasilitas pemrosesan ikan, yang
diperlukan untuk mendukung sektor perikanan. Di Singapura, gudang-gudang dan fasilitas
penyimpanan didirikan oleh sektor swasta dan telah berkembang. Misalnya, Rantai Suplai DHL
telah membangun Advanced Regional Center (ARC) yang baru dengan gudang senilai 90 juta
Euro. Hal tersebut memberikan bukti tambahan bahwa negara anggota dapat diuntungkan
dengan mengizinkan penyimpanan mereka untuk dikelola oleh sektor swasta.

Untuk mendirikan lembaga kliring yang memiliki standar yang cukup, negara anggota ASEAN
dapat berkolaborasi untuk menciptakan regulasi dan sistem manajemen untuk mengoperasikan
gudang-gudang di seluruh pos perdagangan di ASEAN. Tempat penyimpanan tersebut sebaiknya
dimiliki oleh ASEAN, tetapi teknis operasionalnya dapat dilakukan oleh lembaga swasta
independen untuk mencegah gangguan politik yang muncul dari kekhawatiran negara anggota
ASEAN. Biaya membangun dan mengoperasikan fasilitas penyimpanan bisa dibiayai dengan
ASEAN Insfrastructure Fund (AIF) yang sudah ada dan dibuat pada tahun 2011. Tipe penyimpanan
seperti ini tidak terbatas hanya untuk parastatal negara, karena pasar berjangka beras harus
membuka pasarnya untuk para pemain dan spekulator swasta untuk mempermudah penentuan
harga. Semua pengguna fasilitas penyimpanan harus menyediakan data yang dibutuhkan
tentang bisnis mereka sehingga bisa meningkatkan aliran informasi bebas yang dibutuhkan
untuk pasar berjangka.

Sebuah kemitraan dengan sektor swasta dalam hal pergudangan juga memungkinkan. Di
industri gandum AS, sektor swasta memainkan peran besar dalam rantai pemasaran beras dan
peningkatan penyimpanan serta fasilitas transportasi. Dalam pasar berjangka beras Thailand,
pemain pasar enggan untuk berpartisipasi karena keterlibatan besar pemerintah, terutama
dalam hal pergudangan dan penyimpanan melalui Public Warehousing Organization (PWO).
Tempat penyimpanan pemerintah menjauhkan investasi swasta dan melemahkan keterlibatan
sektor swasta di pasar berjangka.

43
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Beras adalah makanan pokok bagi kebanyakan masyarakat Indonesia dan juga di seluruh negara
ASEAN. Di Indonesia, harga tinggi berkontribusi terhadap besarnya pengeluaran rumah tangga
untuk pangan. Pemerintah Indonesia mengatur sektor beras berdasarkan sekelompok data yang
telah terbukti tidak akurat, dan hal tersebut secara negatif memengaruhi keputusan-keputusan
impor dan intervensi lainnya di sektor beras. Terlebih lagi, harga domestik beras cenderung naik
dari waktu ke waktu sejak Krisis Beras Dunia pada tahun 2008. Tren ini diulang di negara-negara
pengimpor lainnya seperti Filipina, dan hal tersebut dapat berkontribusi terhadap kemiskinan
ekstrem dan meningkatnya malnutrisi di wilayah tersebut.

Secara historis, pemerintah Indonesia telah menargetkan swasembada produksi beras.


Sementara kebijakan-kebijakan era Soekarno cenderung anti-kolonialisme dan menekankan
hanya pada pembangunan infrastruktur untuk penanaman beras, Indonesia pada era Suharto
mengimplementasikan Revolusi Hijau dan mencapai swasembada pada tahun 1984-1985.
Pencapaian luar biasa tersebut didapat dengan harga mahal, sehingga akhirnya bertahan
kurang dari satu dekade. Pada awal 1990an dan melalui Krisis Ekonomi Asia 1998, Indonesia
dipaksa untuk mengimpor 6 juta ton beras karena gagal panen, El Nino, dan gagalnya proyek
lahan gambut satu hektar.

Setelah Suharto lengser, pemerintah merespons dengan liberalisasi perdagangan beras


besar-besaran guna mengamankan pinjaman dari IMF. Liberalisasi hanya bertahan sebentar,
dan kebijakan di era ini berubah kembali menjadi proteksionisme dengan monopoli parastatal
pemerintah untuk impor (BULOG) dan hambatan tarif serta non-tarif untuk melindungi petani
domestik dari kompetisi internasional.

Berbagai studi selama era yang disebut era reformasi menemukan bahwa elit politik di Indonesia
juga mempromosikan swasembada beras, tetapi Indonesia terus mengimpor beras setiap
tahunnya. Meskipun tujuan di balik cara proteksionisme adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
petani, pemerintah telah gagal untuk menyadari bahwa dampak yang sesungguhnya dari cara
tersebut adalah rusaknya daya beli konsumen. Bahkan di antara petani beras, dimana 75% dari
kaum yang ingin dibantu melalui kebijakan tersebut adalah konsumen net beras, mereka juga
justru dirugikan alih-alih dibantu dengan harga beras yang tinggi (McCulloch, 2008).

Tujuan Indonesia yang konsisten dalam mencapai swasembada baik sebagai tujuan politik
maupun ekonomi sebagian dipengaruhi oleh pencapaian swasembada pada tahun 1984 dan
dengan tidak mempertimbangkan biaya besar serta singkatnya pencapaian tersebut. Studi ini
mendukung temuan oleh Davidson (2018) yang menyatakan bahwa motivasi di balik tujuan-tujuan
tersebut juga terkait dengan anti-kolonialisme di era Soekarno, didorong lagi dengan Revolusi
Hijau di era Suharto dan akhirnya semakin diperkuat dengan adanya ketidakseimbangan pada
era reformasi.

Studi ini juga mencatat pertimbangan politik dan ekonomi di balik kebijakan beras beberapa
negara anggota ASEAN. Negara pengimpor net seperti Filipina, Malaysia, dan Indonesia secara
historis telah mencapai status swasembada beras, sementara negara pengekspor net seperti

44
Thailand dan Vietnam berencana untuk memengaruhi pasar beras dengan mengganti produksi
mereka menjadi beras premium, sebuah gerakan yang kalau berhasil akan berdampak pada
negara-negara pengimpor net. Dengan anggapan yang setara, para negara pengimpor net
tersebut mungkin akan merespons dengan cara proteksionis untuk menghindari pasar beras
internasional yang sudah kecil dan dinamis. Krisis Beras Dunia pada tahun 2008 melemahkan
keinginan importir net untuk bergantung pada pasar internasional demi ketahanan pangan,
karena ancaman perubahan harga. Kondisi itu diprediksi akan bertahan hingga beberapa
tahun ke depan, sebagai bukti bahwa pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN dan perjanjian
perdagangannya mengecualikan beras dari upaya-upaya liberalisasinya. Di Indonesia, pihak
legislatif, eksekutif, dan otoritas kompetisi independen tidak melihat liberalisasi perdagangan
sebagai tujuan kebijakan, dan tidak ada rencana untuk membahas MEA di parlemen.

Nampaknya pengurangan hambatan dagang tidak akan terjadi di Indonesia atau di negara
pengimpor net lainnya di Asia Tenggara dalam waktu dekat, maka dari itu penting untuk melihat
cara lain untuk meningkatkan keterjangkauan beras melalui pasar internasional. Studi ini
merekomendasi pemerintah Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya untuk mengusahakan
pembentukan pasar berjangka beras untuk memfasilitasi perdagangan.

Secara teoretis, pasar pertukaran dapat meningkatkan informasi mengenai harga beras dan
membantu para pelaku industri untuk mengelola risiko mereka sendiri ketika menghadapi
ketidakstabilan pasar beras internasional. Akan tetapi, seiring dengan pembentukan wadah ini,
pasar berjangka beras juga mendorong perubahan struktural besar-besaran di sektor beras,
seperti keterlibatan sektor swasta di perdagangan beras, harmonisasi standar menyeluruh,
pembentukan institusi yang mengawasi dan mengadakan pembahasan untuk perkembangan
pasar berjangka, dan berbagi edukasi dan pengetahuan oleh dan di antara pemangku kepentingan
beras. Upaya-upaya tersebut, terutama yang terakhir, akan memakan waktu, seperti bisa
dilihat dari pengalaman pasar-pasar AFET dan CME. Sulit untuk mengetahui bagaimana pasar
berjangka dan pertukaran akan menguntungkan petani kecil yang adalah mayoritas petani di
wilayah Asia Tenggara. Rendahnya nilai inklusi ekonomi di Asia Tenggara adalah salah satu
tantangan nyata untuk mencapai pasar berjangka beras yang sukses dan lancar di ASEAN.
Akhirnya, karena kemungkinan adanya studi mengenai hal ini terbatas dan sejauh ini berujung
pada beragam opini, para negara jangan membatasi opsi mereka hanya pada pasar berjangka,
dan perlu mempertimbangkan juga produk finansial lainnya seperti swap dan forward.

Kualitas pemberian harga dan data produksi beras di Indonesia perlu untuk terus diperiksa.
Meskipun sulit untuk mengatakan apakah negara lain menghadapi tantangan-tantangan serupa
dengan data yang ada, tetapi penting untuk menyoroti bahwa tidak ada institusi independen
yang menyimpan, mempublikasikan, dan membagikan informasi pasar beras di wilayah
ASEAN, dan situasi ini harus diubah. Institusi yang sudah ada dan yang mungkin paling mudah
mengambil peran ini adalah ASEAN Food Security Reserve Board (AFSRB), yang mengelola
risiko terkait ketidakstabilan harga ekstrem di pasar beras. AFSRB bisa memperluas kerjanya
untuk menawarkan Cash Price Index ASEAN demi mendukung perdagangan berjangka beras.
Untuk menghindari masalah solvabilitas dalam perdagangan berjangka dan untuk mendukung
perbaikan sistem penyimbanan beras, negara-negara anggota ASEAN dapat bersama-sama
mengeksplorasi kemungkinan membuat pusat-pusat informasi dan membangun fasilitas
penyimpanan dan sistem operasi menggunakan Dana Infrastruktur ASEAN yang sudah ada.

45
A. Kesenjangan Pengetahuan dalam Studi Beras Berjangka
Meskipun menyediakan informasi penting tentang harga dan juga wadah yang melindungi
pertanian beras, serta penekanan akan bagaimana Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya
dapat bergerak maju membuat pasar berjangka beras, namun hanya ada informasi terbatas
tentang kecenderungan dampak pasar berjangka beras pada petani di Indonesia dan negara-
negara Asia Tenggara lainnya. Ewing (2012) mengemukakan bahwa pasar berjangka beras
internasional bisa meningkatkan transparansi, kepastian, dan stabilitas pasar beras, tetapi
masih belum jelas bagaimana dampaknya pada petani kecil di pedesaan.

Mengingat tingginya pengaruh politik terhadap kebijakan beras di Asia Tenggara, sulit untuk
menjamin bahwa langkah-langkah yang perlu diambil untuk membuat situasi pasar berjangka
beras yang berfungsi dengan baik akan dilaksanakan. Contoh AFET menyarankan bahwa potensi
intervensi politik seperti pada kasus kedekatan AFET dengan Kementerian Perdagangan Thailand,
telah melemahkan kepercayaan terhadap pasar berjangka AFET (McKenzie, 2012). Penting untuk
mempertimbangkan bahwa dibutuhkan tiga puluh tahun untuk pemangku kepentingan pasar
berjangka beras CME untuk membuat pasar yang bekerja dengan sukses (Ewing, 2012).

46
REFERENSI

Purnomo, S. (1997, Januari). Ideas, identity, and institution-building: From the ‘ASEAN way’ to the ‘Asia-Pacific
way’?. The Pacific Review, 10(3), 319-346. doi: 10,1080/951274908719226

Achmad. (2014, Juli 7). Program Ketahanan Pagan Jokowi-JK Lebih Sulit Diwujudkan. Diambil dari http://www.
pemilu.com/berita/program-ketahanan-pangan-jokowi-jk-lebih-sulit-diwujudkan/

Andolong, I. (2018, Oktober 12). Duterte: PH won’t be rice self-sufficient during my term. Diambil dari http://
cnnphilippines.com/news/2018/10/12/Duterte-Philippines-rice-self-sufficiency.html

Asian Development Bank. (2014). Food Security and Resilience of the Association of Southeast Asian Member States
to Food Price Volatility. Diambil dari https://www.adb.org/sites/default/files/project-document/81591/47208-
001-tar.pdf

Ashari, F. A., Aprianto, T. C., Sejarah, M. J., Sastra, F. (2015). Pasang Surut Sejarah BULOG di Indonesia pada
tahun 1967-1998. Diambil dari https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/68824/FAUZAN%20
ADI%20ASHARI.pdf?sequence=1

Asia Human Rights Commission. (2011). Human Rights in Papua. Diambil dari https://reliefweb.int/report/
indonesia/human-rights-papua-20102011

Aspinall, E. (2015). The New Nationalism in Indonesia. Diambil dari https://onlinelibrary.wiley.com/doi/


full/10.1002/app5.111

Association of Southeast Asian Nations. (2012). ASEAN Economic Community. Diambil dari https://asean.org/
asean-economic-community/

Badolo, F., Traore, F. (2012, Februari). Impact of Rising World Rice Prices on Poverty and Inequality in Atmarita,
Ita. (2005) Nutrition Problems in Indonesia. Seminar Paper on Lifestyle Related Diseases Gajah Mada University,
Indonesia. Diambil dari http://catalog.ihsn.org/index.php/citations/4925

Backer, C. M. Clearinghouses for Over-the-Counter Derivatives. Diambil dari https://www.volckeralliance.org/


sites/default/files/attachments/VolckerAlliance_ClearinghouseForOverTheCounterDerivatives.pdf

Balisacan et al., (2010). The Rice Crisis: Markets, Policies and Food Security. Diambil dari http://www.fao.org/3/
a-an794e.pdf

Burkina Faso. Diambil dari https://halshs.archives-ouvertes.fr/halshs-00713258/document


Bappenas. (2011). Laporan Kajian Strategis Kebijakan Subsidi Pertanian Yang Efektif Efisien Dan Berkeadilan.
Diambil dari https://www.bappenas.go.id/files/3313/6082/9889/laporan-kebijakan-subsidi-pertani
an__20120727143017__3607__0.pdf

BBC Indonesia. (2009, Juni 29). BBC Indonesia. Visi misi tiga calon presiden. Diambil dari: http://www.bbc.co.uk/
indonesian/news/story/2009/06/090629_visipresident.shtml

Berita Satu. (2015, Maret 27). Berita Satu. Pemerintah Proteksi Komoditas Beras dan Gula. Diambil dari https://
id.beritasatu.com/agribusiness/pemerintah-proteksi-komoditas-beras-dan-gula/111859

Chemutai, D. (2016) Political Will, Policy Implementation and Food Access, in Uganda. Diambil dari http://www.
ipcbee.com/vol92/rp013_ICFES2016-F0001.pdf

Davidson, J. (2018). Rice Imports and Electoral Proximity: The Philippines and Indonesia Compared. Diambil
dari https://pacificaffairs.ubc.ca/articles/rice-imports-and-electoral-proximity-the-philippines-and-indonesia-
compared/

47
Davidson, J. (2018) Then and Now: Campaigns to Achieve Rice Self-Sufficiency in Indonesia. Diambil dari
https://www.researchgate.net/publication/326383826_Then_and_Now_Campaigns_to_Achieve_Rice_Self-
Sufficiency_in_Indonesia

Department of Agriculture. (2018, September). The Philippine Rice Industry Roadmap 2030. Department of
Agriculture of the Philippine. Dimabil dari https://www.philrice.gov.ph/wp-content/uploads/2018/09/The-
Philippine-Rice-Industry-Roadmap-2030.pdf

Desker, B. M.-A. (2013). Thought/Issues Paper on ASEAN Food Security: Towards a More Comprehensive
Framework. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia. Diambil dari http://www.eria.org/ERIA-
DP-2013-20.pdf

Djurdfelt, G. H., Holmen, M. Jirstrom, R. Larsson. (2005). The African Food Crisis:Lessons
from the Green Revolution. Retrieved from https://books.google.co.id/books?
id=8MJBUei0ZMQC&pg=PA48&lpg=PA48&dq=rumus+tani+Suharto& source=bl&ots=Y9EIGUi46L&sig=CkZ6XOg
0LCDvuskDJtuopLNRDmQ&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjer5fIwOXcAhULfX0KHfhqA_
cQ6AEwDnoECAAQAQ#v=onepage&q&f=false.

Dorkedshan, M. J., Shamsudin. M. N., Zainalabidin, M & Radam, A. (2017, Februari 3). Journal of
Foods Product and Marketing, 23(8), 890-900. Diambil dari https://www.tandfonline.com/doi/
abs/10.1080/10454446.2017.1244798?journalCode=wfpm20

East African Standard. (2011). Milled rice—Specification. Diambil dari https://law.resource.org/pub/eac/ibr/


eas.128.2011.pdf

Fane, G. Warr, Peter. (2017). Distortions to Agricultural Incentives in Indonesia. Australian National University.
Diambil dari https://acbee.crawford.anu.edu.au/acde/prc/pdf/FaneandWarrIndonesia.pdf

Fang, A. H. (2016). Linkage Between Rural Voters and Politians: Effects on Rice Policies in the Philippines and
Thailang. Asia & Pacific Policy, 3(3), 505-517.

Food and Agriculture Organization of the United Nations. (1998). Drought and financial crisis leave Indonesia
facing record food deficit. Diambil dari http://www.fao.org/NEWS/GLOBAL/GW9810-e.htm

Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2017). Crops Data - Production of Rice, paddy: top 10
producers. Diambil dari http://www.fao.org/faostat/en/#data/QC/visualize

Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2018). OECD-FAO Agricultural Outlook 2018-2017.
Diambil dari http://www.agri-outlook.org/Outlook_flyer_EN.pdf

Forum Penelitian Agro Ekonomi. (1999). Penerapan Tarif Impor Dan Implikasi Ekonominya Dalam Perdagangan
Beras Di Indonesia. Diambil dari http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/fae/article/view/4336

Giesecke, J. A. (n.d.). Rice Land Designation Policy in Vietnam and the Implications of Policy Reform for Food
Security and Economic Welfare. Monash University, Centre of Policy Studies. Diambil dari https://www.
researchgate.net/publication/263232840_Rice_Land_Designation_Policy_in_Vietnam_and_the_Implications_
of_Policy_Reform_for_Food_Security_and_Economic_Welfare

Gummert, M. C. (n.d.). Rice Storage. IRRI Training Module. Los Banos, Philippines: International Research Rice
Institute. Diambil dari: http://www.knowledgebank.irri.org/images/docs/rice-storage-presentation.pdf

Greenville, J. (2018). ASEAN rice market integration: Findings from a feasibility study. OECD Food Agriculture and
Fisheries Papers. doi: http://dx.doi.org/10.1787/8ca16e31-en

Haggard, S., Webb, S. (1994). Voting for reform: democracy, political liberalization, and economic adjustment
(English). Diambil dari http://documents.worldbank.org/curated/en/116811468760536681/Voting-for-reform-
democracy-political-liberalization-and-economic-adjustment

Institute for Agriculture and Trade Policy. (2008). Commodities Market Speculation: The Risk to Food Security and
Agriculture. Diambil dari https://www.iatp.org/sites/default/files/451_2_104414.pdf

48
International Food Policy Research Institute. (2014). Political Economy of State Interventions in the Bangladesh
Food-Grain Sector. Diambil dari https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2545490.

Ismail, W. I. (2017). Land Use Conversion in Rice Production: Policies, Rice Productivity, and Paddy Landowners.
International Journal of Real Estate Studies, 11(2), 33-39. Diambil dari http://www.utm.my/intrest/
files/2017/09/04-LAND-USE-CONVERSION-ON-RICE-PRODUCTION-POLICIES-RICE-PRODUCTIVITY-AND-
PADDY-LANDOWNERS.pdf

Isvilanonda, S. (2017, June 20). Rice Policy in Thailand: Production and Economic Issue. Diambil dari https://www.
slideshare.net/sompornisvilanonda1/rice-policy-in-thailand-production-and-economic-issues-1-june-20-2017

Irawan, B. (2008). Kebijakan Penanggulangan Krisis Ekonomi dan Konsekuensinya Terhapap Peluang
Peningkatan Pendapatan Petani. Diambil dari https://media.neliti.com/media/publications/43851-ID-kebijakan-
penanggulangan-krisis-ekonomi-dan-konsekuensinya-terhapap-peluang-peni.pdf

Julitasari, E. N. (2014). The Overview of Asean Rice Trade Toward ASEAN Integrated Food Security (AIFS).
Journal of Emerging Economics and Islamic Research, 2(3), 1-8. Diambil dari http://www.jeeir.com/v2/images/
Vol2No32014/126-279-1-PB.pdf

Kalkuhl, M., Braun, J. V., Terero, M. (2016). Food Price Volatility and Its Implications for Food Security and Policy.
Diambil dari https://www.springer.com/la/book/9783319281995#aboutAuthors

Kedmey, D. (2013, July 12). How Thailand’s Botched Rice Scheme Blew a Big Hole in its Economy. Diambil dari
http://world.time.com/2013/07/12/how-thailands-botched-rice-scheme-blew-a-big-hole-in-its-economy/

Klapper, L. A. (n.d.). Financial Literacy Around the World: Insights from the Standard & Poor’s Ratings Services
Global Financial Literacy Survey. Retrieved from https://gflec.org/wp-content/uploads/2015/11/3313-Finlit_
Report_FINAL-5.11.16.pdf?x37611

Kusumawardani, T. L. (2010). Indonesia’s Rice Price Stabilisation: Policy Responses to the Staple Food
Price Spikes of 2007-2008. Retrieved from https://www.taylorfrancis.com/books/e/9781849776684/
chapters/10.4324/9781849776684-16

Ma, J., Montesclaros, L. P. (2015). It’s Not the Size, But How It’s Used: Lesson for ASEAN Rice Reserves. Retrieved
from https://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/2015/03/CO15047.pdf

MacLennan, B. (1980). Political Power and Policy Formulation Implementation and Evaluation. Policy Studies
Journal, 8(7), 1127-1134.

Madre, Y., Devuyst, P. (2016). Are futures the future for farmers. Diambil dari https://www.farm-europe.eu/
travaux/are-futures-the-future-for-farmers-2/#_ftn20

Manning, Chris. (1987). Public Policy, Rice Production and Income Distribution: A Review
of Indonesia’s Rice Self-Sufficiency Program. Southeast Asian Journal of Social Science.
15(1), 66-82. Diambil dari https://www.jstor.org/stable/pdf/24491634.pdf?casa_token=
LQPLEhRguYcAAAAA:We7UrWoZw7G9OQfjSvkNJLLxCSU99OEZmgTt5VAVw4QrW3PcCIrSY1nzg
RL04qkBW25jzmIntJyMQ4SxDNEiUwY8s9e9UiMgav6BTpWdQ1iAzHCkEE6fAw

Madre, Y. P. (2016, April 29). Are Futures the Future for Farmers?. Diambil dari https://www.farm-europe.eu/
travaux/are-futures-the-future-for-farmers-2/#_ftn20

McCulloch, N. (2008). Rice Prices and Poverty in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies,
44(1), 45-64. doi:10.1080/00074910802001579. Diambil dari https://www.tandfonline.com/doi/
abs/10.1080/00074910802001579

Mcculloch, N. (2008, April). Rice Prices and Poverty in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies,
44(1), 45-64. Diambil dari https://www.researchgate.net/publication/23780167_Rice_Prices_and_Poverty_in_
Indonesia

McKenzie, A. (2012, Maret). Prefeasibility Study of an ASEAN Rice Futures Market. ADB Sustainable

49
Development Working Series. Asian Development Bank. Diambil dari https://www.adb.org/sites/default/files/
publication/29676/asean-rice-futures-market.pdf

Merdeka. (2016). Jokowi Minta Pendistribusian Rastra Tidak Terlambat Satu Hari Pun. Merdeka. Diambil dari
https://www.merdeka.com/peristiwa/jokowi-minta-pendistribusian-rastra-tidak-terlambat-satu-hari-pun.
html

Ministry of Agriculture and Rural Development. (2019, Januari 12). Vietnamese rice makes name in world market.
Diambil dari: https://www.mard.gov.vn/en/Pages/vietnamese-rice-makes-name-in-world-market.aspx

Montescarlos, J. M. (2015). It’s Not the Size, But How It’s Used: Lessons for ASEAN Rice Reserves. Rajaratnam
School of International Studies. Diambil dari https://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/2015/03/CO15047.
pdf

Neilson, J. (2018). Feeding the Bangsa: Food, Sovereignty and the State in Indonesia. In Patunru A.A., Pangestu,
M.E. and Basri, M.C. (editors), Indonesia in the New World: Globalisation, Nationalism and Sovereignty. Singapore:
ISEAS – Yusof Ishak Institute, hlm. 73-89.

Nipawan, P. (2015). The ASEAN Way of Investment Protection: An Assessment of the ASEAN Comprehensive
Investment Agreement. University of Glasgow, School of Law. Diambil dari http://theses.gla.
ac.uk/6954/7/2015nipawanphd.pdf

Ngeoywijit, S. (2008). Market Efficiency of Rice Futures Market in Thailand. RU. Int. J, 121-136. Diambil dari
https://www.researchgate.net/profile/Sumalee_Ngeoywijit2/publication/255668417_Market_Efficiency_of_
Rice_Futures_Market_in_Thailand/links/55f3ea2408ae6a34f6608386/Market-Efficiency-of-Rice-Futures-
Market-in-Thailand.pdf?origin=publication_detail

Nuryanti, S., Budiman Hakim, D., Siregar, H., Sawit, H. (2017). Political Economic Analysis of Rice Self-sufficiency
in Indonesia. Diambil dari https://media.neliti.com/media/publications/237908-political-economic-analysis-of-
rice-self-f48e4056.pdf

OECD. (2018). ASEAN rice market integration: findings from a feasibility study. Diambil dari https://www.oecd-
ilibrary.org/agriculture-and-food/asean-rice-market-integration-findings-from-a-feasibility-study_8ca16e31-
en

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2018, Desember 5). ASEAN rice market integration:
Findings from a feasibility study. Joint Working Party on Agriculture and Trade. Diambil dari http://www.oecd.
org/officialdocuments/publicdisplaydocumentpdf/?cote=TAD/TC/CA/WP(2018)7/FINAL&docLanguage=En

Pablo, S. (2018, Oktober 23). BPS Rilis Data Bera, Tunjukkan Data Kementan Salah. Diambil dari https://www.
cnbcindonesia.com/news/20181023172905-4-38687/bps-rilis-data-beras-tunjukkan-data-kementan-salah

Pangaribuan, M. (2016, Agustus 17). HUT Ke-71 Kemerdekaan: Gagasan I.J Kasimo Semakin Relevan. Diambil
dari http://www.satuharapan.com/read-detail/read/hut-ke-71-kemerdekaan-gagasan-ij-kasimo-semakin-
relevan

Piggot et al. (1993). Food Price Policy in Indonesia. Diambil dari https://core.ac.uk/download/pdf/6377283.pdf

Phuong, T. D. (2014, April 9). ASEAN Economic Community: Food Security and Rice as Priorities in Agriculture.
Diambil dari http://victamfoundation.com/files/asia14/Keynote%20Speech%20-%20Mr.%20Tran%20Dong%20
Phuong,%20Director%20for%20Finance,%20Industry%20and%20Infrastructure,%20ASEAN%20Economic%20
Department.pdf

Pongsrihadulchai, A. (2018). Thailand’s Rice Industry and Current Policies towards High Value Rice Products.
Diambil dari http://ap.fftc.agnet.org/ap_db.php?id=878

Quartey, E. T. (2013, Maret 18). The Role of Parastatal Institutions in the Agricultural Sector: The Case of Ghana
Cocoa Board. UNCTAD Global Commodities Forum 2013. Geneva, Switzerland: UNCTAD. Diambil dari https://
unctad.org/meetings/en/Presentation/SUC_GCF2013_18-03-2013_Ebenezer-TEI-QUARTEY.pdf

50
Rahim, F. H. (2017). Supply and Demand of Rice in Malaysia: A System Dynamics Approach. International Journal
of Supply Chain Management, 6(4), 234-239. Diambil dari https://ojs.excelingtech.co.uk/index.php/IJSCM/
article/view/1945/pdf

Rashid, H. R. (2018, Oktober 17). 30 percent of Bernas monopoly to be opened to other players. Diambil dari
https://www.nst.com.my/news/nation/2018/10/422059/30-percent-bernas-monopoly-be-opened-other-
players

Reduan, H., Rashid, A. (2018). 30 percent of Bernas monopoly to be opened to other players. New Times Strait.
Diambil dari https://www.nst.com.my/news/nation/2018/10/422059/30-percent-bernas-monopoly-be-
opened-other-players

Ricks, Jacob. (2018). Politics and the price of rice in Thailand: Public choice, institutional change and rural subsidies.
Diambil dari https://ink.library.smu.edu.sg/cgi/viewcontent.cgi?article=3665&context=soss_research

Rosandy, R. (2016). Respons Sektor Beras Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN: Analisis Dampak
Produksi, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan. Sekolah Pascasajarna. Diambil dari https://repository.ipb.ac.id/
bitstream/handle/123456789/80543/2016rro.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Roehlano, B. M. (2016). Rice self-sufficiency: is it feasible? Policy Notes. Diambil dari https://dirp3.pids.gov.ph/
ris/pn/pidspn1212.pdf

Rosen, E. (2014, April 24). Why Can’t Vietnam Grow Better Rice. Retrieved from https://thediplomat.com/2014/04/
why-cant-vietnam-grow-better-rice/

RSIS Centre for Non-Traditional Security (NTS) Studies. (2012). Expert Working Group Meeting on an ‘Asian Rice
Futures Market’. Rajaratnam School of International Studies. Retrieved from https://www.researchgate.net/
publication/282672427_Exploring_an_Asian_Rice_Futures_Market

Santoso, B. (2019). Pememuhan 1,4 juta pekerja “Food Estate” didatangkan dari luar Kalteng. Antara News.
Retrieved from https://aceh.antaranews.com/nasional/berita/802577/pemenuhan-14-juta-pekerja-
food-estate-didatangkan-dari-luar-kalteng?utm_source=antaranews&utm_medium=nasional&utm_
campaign=antaranews

Saragih, J. (2016). Kebijakan Pertanian di Indonesia. http://repository.umy.ac.id/bitstream/


handle/123456789/13785/BAB%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y pada tanggal 27 Maret 2019 pukul 09.19
WIB. Hlmn 22-24.

Saragih, J. (2016). Kelembagaan Urusan Pangan dari Masa ke Masa dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Journal
of Economics and Development Studies, 17(2), 171-172. doi: 10.18196/jesp.17.2.3983. Diambil dari https://
www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwj7tf_
YnaHhAhVek3AKHdwlDx0QFjAJegQICRAC&url=http%3A%2F%2Fjournal.umy.ac.id%2Findex.
php%2Fesp%2Farticle%2Fdownload%2F3983%2F3276&usg=AOvVaw1vKM9NdGQ9Wqj7_zwTqOii

Satria. (2012, Januari 5). Berita: Pembagian BLT Menjadi Ajang Pembelian Suara Pilpres. Diambil dari https://
ugm.ac.id/id/berita/3944-pembagian.blt.menjadi.ajang.pembelian.suara.pilpres

Sayeed, K. A. (2018). Rice prices and growth, and poverty reduction in Bangladesh. Rome: Food and Agriculture
Organization of the United Nations. Diambil dari http://www.fao.org/3/I8332EN/i8332en.pdf

Sothy, E. S. (2017). Rice Policy Study: Implications of Rice Policy Changes in Vietnam for Cambodia’s Rice Policy
and Rice Producers in South-Eastern Cambodia. Phnom Penh: Cambodia Development Resource Institute.
Diambil dari https://cdri.org.kh/wp-content/uploads/WP113_Ricepolicy.pdf

Slayton, T. (2009). Rice Crisis Forensics: How Asian Governments Carelessly Set the World Rice Market on Fire.
Diambil dari https://libguides.library.usyd.edu.au/c.php?g=508212&p=3476096

State Ministry for Research and Technology. (2018). Inovasi KSA BPPT Hitung Akurat Produksi Padi Nasional.
Diambil dari https://www.bppt.go.id/teknologi-sumberdaya-alam-dan-kebencanaan/3332-inovasi-ksa-bppt-
hitung-akurat-produksi-padi-nasional.

51
Susantinah, W. N. (2017). Indonesia’s Rice Potentials on Trade Liberalization of the ASEAN Economic Community.
Russian Journal of Agricultural and Socio-Economic Sciences, 7(67), 178-183. Diambil dari https://rjoas.com/
issue-2017-07/article_21.pdf

Supriyono, HM. (2014). Pemikiran Soekarno Perihal Ekonomi. Blitar: Perpustakaan Nasional Proklamator Boeng
Karno. Diambil dari https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1541-0072.1980.tb00901.x

Suseno, D., Suyatna, H. (2007). Mewujudkan Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani, 10(3), 267-294.

Swastika, S. (2012). The role of post harvest handling on rice quality in Indonesia. Diambil dari https://media.
neliti.com/media/publications/69433-ID-none.pdf

The ASEAN. (2009). ASEAN Trade in Goods Agreement. Diambil dari http://investasean.asean.org/files/upload/
Doc%2002%20-%20ATIGA.pdf

The ASEAN Secretariat Jakarta. (2015). ASEAN economic community blueprint 2025. Diambil dari https://www.
asean.org/storage/2016/03/AECBP_2025r_FINAL.pdf

The Economist. (2013, Agustus 10). Thailand’s Economy: The rice mountain. Diambil dari https://www.economist.
com/asia/2013/08/10/the-rice-mountain

Timmer, C. P. (1975). The Political Economy of Rice in Asia: Indonesia. Food Research Institute Studies, 14(3), 197-
231. Diambil dari https://ageconsearch.umn.edu/record/135509/files/fris-1975-14-03-168.pdf

Tsimpo, C. Wodon, Q. (2008, October). Rice Prices and Poverty in Liberia. Diambil dari http://documents.
worldbank.org/curated/en/634181468271562493/pdf/WPS4742.pdf

Tusianti, E. (2018). Analisis Isu Terkini 2017. Diambil dari https://www.researchgate.net/profile/Ema_


Tusianti2/publication/322223427_Analisis_Isu_Terkini_2017/links/5a4c9d46a6fdcc3e99d04870/Analisis-Isu-
Terkini-2017.pdf

World Food Programme. (2012, September 04). How High Food Prices Affect the World’s Poor. Diambil dari
https://www.wfp.org/stories/how-high-food-prices-affect-worlds-poor

UNCTAD: Global Commodities Forum 2013. (2013). Recommitting to commodity sector development as an engine
of economic growth and poverty reduction. Retrieved from https://unctad.org/meetings/en/Presentation/SUC_
GCF2013_18-03-2013_Ebenezer-TEI-QUARTEY.pdf

United States Department of Agriculture. (2019). Philippines: Rice Tariffication Law Enacted. Diambil dari https://
www.fas.usda.gov/data/philippines-rice-tariffication-law-enacted

USDA Foreign Agricultural Service. (2019). Rice Tariffication Law Enacted. Diambil dari https://gain.fas.usda.gov/
Recent%20GAIN%20Publications/Rice%20Tariffication%20Law%20Enacted_Manila_Philippines_2-20-2019.pdf
Vietnam Net. (2017, September 29). Vietnam to reform rice production, improve exports. Diambil dari https://
english.vietnamnet.vn/fms/business/185490/vietnam-to-reform-rice-production--improve-exports.html

Wisnujati N.S., Nuhgil, H., Budi, Setiawan., Syafrial. (2017, Juli). Indonesia’s Rice Potentials on Trade Liberalization
of the ASEAN Economic Community. Russian Journal of Agriculture and Socio-Economic Sciences, 7(67), 178-
183. doi:https://doi.org/10.18551/rjoas.2017-07.21

World Food Programme. (2012, September 4). How High Food Prices Affect the World’s Poor. Diambil dari https://
www.wfp.org/stories/how-high-food-prices-affect-worlds-poor

Yoshimatsu, H. (2016). Critical junctures and institution-building: regional cooperation on free trade and food
security in East Asia. The Pacific Review, 29(5), 693-715.

Zaenal, A. (2013). Dahlan: Hasil Food Estate Ketapang Belum Maksimal. Antara News. Diambil dari https://kalbar.
antaranews.com/berita/317412/dahlan-hasil-food-estate-ketapang-belum-maksimal

52
TENTANG PENULIS
Arianto Patunru adalah Anggota Dewan Direksi Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)
dan fellow di Arndt-Corden Department of Economics, Crawford School of Public Policy, Australian
National University. Ia pernah menjadi Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat,
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FE-UI).

Assyifa Szami Ilman adalah Research Analyst di Bank Dunia, Jakarta dan Asisten Peneliti di
Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
(LPEM FEB UI). Sebelumnya, ia merupakan peneliti muda di Center for Indonesian Policy Studies
(CIPS) dimana penelitiannya berfokus pada kebijakan perdagangan pangan dan malnutrisi.
Semasa di CIPS, ia bertanggung jawab atas Bu RT Index, indeks yang membandingkan harga
pangan di Indonesia dan di negara-negara lain. Ilman merupakan alumni jurusan Ekonomi dari
Universitas Indonesia.

Kidung Asmara Sigit merupakan Peneliti Muda di CIPS dengan fokus area penelitian di bidang
Kesejahteraan Masyarakat. Kidung adalah lulusan dari Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Nadia Fairuza Azzahra adalah Peneliti Muda di Center for Indonesian Policy Studies. Pada saat
ini, ia sedang melakukan riset di bidang pendidikan. Sebelum bergabung dengan CIPS, Nadia
melakukan magang di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Manila, Filipina. Ia juga memiliki
pengalaman bekerja di sebuah perusahaan rintisan berbasis pendidikan di Indonesia.

DUKUNG CENTER FOR INDONESIAN POLICY STUDIES


Kontribusi Anda memungkinkan CIPS untuk melakukan penelitian dan advokasi rekomendasi
berbasis bukti untuk membantu masyarakat kurang mampu di Indonesia menjadi bebas dan
sejahtera.

Pindai untuk Berdonasi

53
54
55
TENTANG CENTER FOR INDONESIAN POLICY STUDIES
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) merupakan lembaga pemikir non-partisan dan non profit
yang bertujuan untuk menyediakan analisis kebijakan dan rekomendasi kebijakan praktis bagi pembuat
kebijakan yang ada di dalam lembaga pemerintah eksekutif dan legislatif.

CIPS mendorong reformasi sosial ekonomi berdasarkan kepercayaan bahwa hanya keterbukaan sipil,
politik, dan ekonomi yang bisa membuat Indonesia menjadi sejahtera. Kami didukung secara finansial
oleh para donatur dan filantropis yang menghargai independensi analisi kami.

FOKUS AREA CIPS:


Ketahanan Pangan dan Agrikultur: Memberikan akses terhadap konsumen di Indonesia yang
berpenghasilan rendah terhadap bahan makanan pokok dengan harga yang lebih terjangkau dan
berkualitas. CIPS mengadvokasi kebijakan yang menghapuskan hambatan bagi sektor swasta untuk
beroperasi secara terbuka di sektor pangan dan pertanian.

Kesempatan Ekonomi: CIPS mengadvokasi kebijakan yang bertujuan untuk memperluas kesempatan
ekonomi dan peluang bagi pengusaha dan sektor bisnis di Indonesia, serta kebijakan yang membuka
peluang lebih luas bagi masyarakat Indonesia berpenghasilan rendah untuk mendapatkan pendapatan yang
lebih layak dan menciptakan kesejahteraan ekonomi

Kebijakan Pendidikan: Masa depan SDM Indonesia perlu dipersiapkan dengan keterampilan dan
pengetahuan yang relevan terhadap perkembangan abad ke-21. CIPS mengadvokasi kebijakan yang
mendorong sifat kompetitif yang sehat di antara penyedia sarana pendidikan. Kompetisi akan mendorong
penyedia sarana untuk terus berupaya berinovasi dan meningkatkan kualitas pendidikan terhadap anak-
anak dan orang tua yang mereka layani. Secara khusus, CIPS berfokus pada peningkatan keberlanjutan
operasional dan keuangan sekolah swasta berbiaya rendah yang secara langsung melayani kalangan
berpenghasilan rendah.

Kesejahateraan Masyarakat: CIPS mempercayai bahwa komunitas yang solid akan menyediakan
lingkungan yang baik serta mendidik bagi individu dan keluarga mereka sendiri. Kemudian, mereka juga
harus memiliki kapasitas untuk memiliki dan mengelola sumber daya lokal dengan baik, berikut dengan
pengetahuan mengenai kondisi kehidupan yang sehat, agar mereka bisa mengelola pembangunan dan
kesejahteraan komunitas dengan baik.

www.cips-indonesia.org

facebook.com/cips.indonesia
@cips_id
@cips_id

Jalan Terogong Raya No. 6B


Cilandak, Jakarta Selatan 12430
Indonesia

56
Hak Cipta © 2019 oleh Center for Indonesian Policy Studies

Anda mungkin juga menyukai