SK Dirjen P2P Juknis Imunisasi JE 2023

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 72

-2-

kasus positif JE, terbanyak di provinsi Bali (77 kasus), kedua di Provinsi Kalimantan Barat (28

kasus) disusul Provinsi D.I Yogyakarta (13 kasus) dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (12 kasus).

Sebanyak 85% kasus JE di Indonesia terdapat pada kelompok usia ≤15 tahun.

Mempertimbangkan tingginya kasus JE dan sesuai dengan kajian serta rekomendasi ITAGI,
maka dilakukan introduksi vaksin JE ke dalam program imunisasi yang diawali dengan imunisasi
tambahan massal imunisasi JE di daerah paling endemis di Indonesia pada tahun 2016, yaitu
provinsi Bali. Pemilihan Bali juga karena Bali memiliki sistem surveilans yang kuat, nilai strategis
sebagai daerah pariwisata dan minat masyarakat yang tinggi. Berdasarkan hasil survei cakupan
imunisasi JE di Provinsi Bali yang dilaksanakan oleh Universitas Udayana tahun 2018, cakupan
imunisasi tambahan massal imunisasi JE adalah 93,3% dan sumber informasi terbanyak berasal
dari iklan layanan masyarakat di televisi lokal, tenaga kesehatan dan kader.
Mempertimbangkan perkembangan kasus JE di Indonesia ini, pada tahun 2019 ITAGI
memberikan kajian dan rekomendasi tentang perluasan imunisasi JE di mana hasil pelaksanaan
kampanye (imunisasi tambahan massal) dan introduksi imunisasi JE di Bali dapat menjadi dasar
pertimbangan rencana strategi perluasan di provinsi lain yang memiliki endemisitas JE tinggi di
Indonesia.

1.2. Tujuan
Petunjuk teknis ini dibuat sebagai pedoman dalam melaksanakan imunisasi tambahan massal
dan introduksi pemberian Imunisasi Japanese Encephalitis (JE).

1.3. Sasaran
Petugas kesehatan di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas serta fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.

1.4. Ruang Lingkup


Ruang lingkup kegiatan imunisasi tambahan massal dan introduksi imunisasi JE meliputi:
1. Persiapan
2. Pelaksanaan
3. Pemantauan dan penanggulangan KIPI
4. Monitoring dan evaluasi

1.5. Kebijakan
Kebijakan dan strategi program imunisasi JE adalah sebagai berikut:
1. Pemberian imunisasi JE di Indonesia dilaksanakan secara bertahap di daerah endemis dan
-3-

didahului dengan pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE dengan target sasaran anak usia
9 bulan sampai dengan kurang dari 15 tahun.
2. Pelaksanaan introduksi imunisasi JE dilaksanakan setelah selesai imunisasi tambahan massal
dengan target sasaran anak usia 10 bulan dan terintegrasi dengan program imunisasi rutin
lainnya.
3. Pemberian imunisasi JE diberikan sebanyak 1 (satu) dosis dalam pelaksanaan imunisasi
tambahan massal dan introduksi pada daerah endemis JE.
4. Diperlukan kesiapan sumber daya daerah dalam pelaksanaan imunisasi JE.
5. Penyelenggaraan imunisasi dilaksanakan secara terpadu dengan lintas program dan lintas
sektoral dalam hal tenaga, sarana, dan dana mulai dari tingkat pusat sampai tingkat pelaksana.
6. Seluruh kebutuhan vaksin dibebankan pada APBN, sedangkan biaya operasional dibebankan
pada APBN, APBD dan sumber lainnya yang tidak mengikat.
-4-

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi Japanese Encephalitis (JE)


Virus JE merupakan penyebab utama ensefalitis virus di
Asia. Dalam perjalanan penyakit JE diperlukan vektor dan
reservoir (sumber infeksi). Vektor penyebar virus JE adalah
nyamuk yang biasa ditemukan di sekitar rumah antara lain Culex
tritaeneorhyncus, Culex quinquifasciatus dan lain-lain. Sedangkan
reservoirnya adalah babi, burung air, kerbau, anjing, maupun
unggas. Babi merupakan reservoir utama dan amplifier terbaik
bagi perkembangbiakan virus JE.
Nyamuk Culex merupakan jenis nyamuk antropofilik
(nyamuk betina lebih suka menghisap darah manusia
dibandingkan dengan darah hewan), karena itulah melalui gigitan
nyamuk dapat terjadi penularan JE dari hewan kepada manusia.
Manusia merupakan dead-end host untuk JE, sehingga tidak akan
menjadi sumber penyebaran virus JE.

Gambar 2.1 Siklus penularan virus Japanese Encephalitis


-5-

Daerah persawahan terutama pada musim tanam yang


selalu digenangi air diduga berpengaruh pada endemisitas JE. Di
daerah perkotaan, nyamuk ini mudah ditemukan pada selokan dan
air tergenang. Selain itu pada musim hujan populasi nyamuk akan
meningkat sehingga menyebabkan peningkatan penularan
penyakit.
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya infeksi adalah
tidak adanya antibodi spesifik JE baik yang didapat secara
alamiah maupun melalui imunisasi, tinggal di daerah endemik JE,
serta perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan digigit oleh
nyamuk (misalnya berada di luar rumah pada malam hari atau
tidur tanpa menggunakan kelambu atau tidak menggunakan
pencegah gigitan nyamuk lainnya).
Secara global sistem surveilans JE masih terus berkembang
dan pemeriksaan laboratorium juga masih menghadapi beberapa
kendala, sehingga jumlah kasus sebenarnya sulit ditentukan.
Campbell (2011) menuliskan di Bulletin of the World Health
Organization bahwa diperkirakan 67.000 kasus JE klinis terjadi
setiap tahunnya dengan sekitar 13.600 hingga 20.400 kematian.
Angka insidens secara keseluruhan adalah sekitar 1,8/100.000
yang terjadi di 24 negara yang berisiko JE. Angka insidens JE
bervariasi antar negara atau antar wilayah di suatu negara. Secara
umum, insidens JE di negara endemis diperkirakan 5,4/100.000
pada kelompok usia 0–14 tahun dan 0,6/100.000 pada kelompok
usia >15 tahun. (https://dx.doi.org/10.2471/BLT.10.085233)
-6-

Walaupun secara umum JE dianggap sebagai penyakit pada


anak, sebenarnya JE juga dapat berjangkit pada semua usia,
terutama bila virus tersebut menginfeksi daerah baru di mana
penduduknya tidak mempunyai riwayat kekebalan sebelumnya.
Dengan dimulainya program imunisasi JE di beberapa negara,
kasus pada anak di negara tersebut cenderung menurun.

Gambar 2.2 Negara-negara dengan risiko Japanese Encephalitis

Peta tersebut menunjukkan bahwa negara-negara yang


memiliki risiko Japanese Encephalitis (JE) ditemukan hampir di
seluruh wilayah Asia, antara lain Jepang, Korea, India, Srilanka,
dan Indonesia serta sebagian Northern Territory di Australia.
Seperti di negara-negara lain, di Indonesia kasus JE
didapatkan melalui surveilans Acute Encephalitis Syndrome
-7-

(AES). Tanda klinis dari JE tidak dapat dibedakan dengan


penyebab lain dari AES, sehingga konfirmasi laboratorium menjadi
sangat penting. Kasus JE konfirm (pasti) adalah kasus AES yang
telah dikonfirmasi positif dengan pemeriksaan laboratorium IgM-
captured ELISA (spesifik JE).
Infeksi JE pada kelompok masyarakat di berbagai wilayah
Indonesia telah diketahui melalui berbagai penelitian yang
dilakukan sejak tahun 1972 oleh berbagai kelompok dan institusi
antara lain Badan Litbangkes Departemen Kesehatan bekerja
sama dengan NAMRU-2. Hasil yang diperoleh menunjukkan
adanya infeksi JE dalam berbagai hewan seperti babi dan ternak,
unggas, sapi, kerbau, kuda, kambing, dan lain - lain yang
dilaksanakan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB,
Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, dan Sulawesi.
Selanjutnya di tahun 2001-2003 dilakukan surveilans
berbasis masyarakat di Bali oleh Direktorat Pemberantasan
Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (DitJen PP-
PL) bekerjasama dengan berbagai institusi termasuk International
Vaccine Institute (IVI) dengan dana dari Children Vaccine Program
(CVP) - Program for Appropriate Technology in Health (PATH).
Surveilans menunjukkan bahwa kasus JE ditemukan di seluruh
kabupaten di Bali dengan tingkat kematian/Case Fatality Rate
(CFR) sebesar 11% sementara 36% penderita yang masih hidup
menderita kecacatan permanen. Hasil penelitian tersebut di atas
-8-

menggambarkan bahwa JE merupakan masalah di Bali, tapi


belum menggambarkan situasi JE di Indonesia sebab Bali
mempunyai beberapa faktor risiko seperti adanya daerah
persawahan, vektor JE dan pemeliharaan babi yang berdekatan
dengan tempat tinggal.
Berdasarkan hasil studi Maha et al. (2009) dari 15 rumah
sakit di 6 provinsi (termasuk Kalimantan Barat), pada tahun 2005-
2006 menunjukkan dari 72 anak dengan JE, 25% meninggal di
RS, 25% menderita sekuele berat, 7% menderita sekuele sedang
dan 18% menderita sekuele ringan. 25% sisanya sembuh
sempurna.
Tahun 2005 - 2006 dilakukan surveilans berbasis fasilitas
kesehatan di 6 provinsi (Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Jawa
Timur, NTB, NTT, Papua) oleh Badan Litbangkes, Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(DitJen P2-PL) Depkes bekerjasama dengan PATH.
Setelah rencana pilot project yang akan dilaksanakan tahun
2007 tertunda, sejak tahun 2014 Kementerian Kesehatan bekerja
sama dengan WHO mengembangkan surveilans sentinel JE.
-9-

Tabel 2.1 Hasil Sentinel Surveilans JE, 2014 - 2022

Sumber Data: Surveilans JE Kementerian Kesehatan 2014 - 2022

Data surveilans kasus JE di Indonesia tahun 2014-2021

menunjukkan bahwa terdapat delapan provinsi yang melaporkan

adanya kasus JE, diantaranya adalah Provinsi Bali, Kalimantan

Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, DIY


Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Kepulauan Riau. Distribusi kasus

JE terbanyak di Provinsi Bali dan Provinsi Kalimantan Barat

kemudian diikuti oleh Provinsi lainnya yaitu provinsi D.I

Yogyakarta, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Sulawesi


- 10 -

Utara. Kasus JE per kelompok umur di Indonesia dilaporkan 85%

pada kelompok usia ≤15 tahun dan 15% pada kelompok usia > 15

tahun. Pada tahun 2022 pelaksanaan surveilans sentinel JE masih


maksimal terkait dengan situasi pandemi COVID-19.
Sampai dengan tahun 2022, pada kawasan South-East Asia
menurut regional WHO, sepuluh dari sebelas negara memiliki
risiko JE, dimana enam negara sudah memasukkan imunisasi JE
ke dalam program imunisasi rutin. Empat negara melaksanakan
secara nasional dan dua negara melaksanakan di daerah tertentu

yang berisiko JE.


Data source: Thirteenth Meeting of the WHO South-East Asia Regional Immunization
Technical Advisory Group (SEAR ITAG) New Delhi, India, 17-19 August 2022

Gambar 2.3 Negara-Negara yang Telah Menggunakan Vaksin JE

Gambaran Klinis JE
- 11 -

Gejala utama JE adalah adanya gejala ensefalitis dengan


masa inkubasi 4-14 hari. Gejala klinis dimulai dengan demam
tinggi yang mendadak, perubahan status mental, gejala
gastrointestinal, sakit kepala, disertai perubahan gradual
gangguan bicara, berjalan, adanya gerakan involuntir
ekstremitas ataupun disfungsi motorik lainnya. Pada anak,
gejala awal berupa demam, iritabilitas, muntah, diare, dan
kejang. Kejadian kejang terjadi pada 75% kasus anak. Pada
orang dewasa, keluhan yang paling sering muncul adalah sakit
kepala dan gejala peningkatan tekanan intrakranial.

Gambar 2.4 Gejala Japanese Encephalitis

Gejala Sisa (Sekuele)


Gejala sisa ditemukan pada 5-70 % kasus, umumnya
pada anak usia di bawah 10 tahun. Pada bayi gejala sisa akan
lebih berat. Kekerapan terjadinya gejala sisa berhubungan
- 12 -

langsung dengan beratnya penyakit. Gejala sisa dapat berupa


gangguan:
1. Sistem motorik (motorik halus, kelumpuhan, gerakan
abnormal)
2. Perilaku (agresif, emosi tak terkontrol, gangguan perhatian,
depresi)
3. Intelektual (retardasi).
4. Fungsi neurologi lain (gangguan ingatan/memori, afasia
ekspresif, epilepsi, paralisis saraf kranial, kebutaan)
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan atas:
1. Gejala klinis
2. Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan darah dan
pemeriksaan cairan cerebrospinal)
3. Pemeriksaan lain untuk mendukung diagnosis seperti
pencitraan CT scan, elektroensefalografi (EEG) dan
elektromiografi (EMG)

Komplikasi
Sekitar 16-30% kasus JE dapat menyebabkan kematian.
Kematian dapat terjadi beberapa hari setelah gejala prodromal
yang diikuti oleh fase fulminan, ataupun setelah terjadinya
koma. Kasus JE pada anak, khususnya bila usia kurang dari 10
tahun, memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi. Bila bertahan
hidup pun, anak sering kali mengalami gejala sisa berupa
- 13 -

gangguan neurologis. Imunisasi merupakan cara yang paling


efektif untuk mencegah JE pada manusia.

2.2. Strategi Pencegahan dan Pengendalian JE


Strategi pencegahan dan pengendalian JE di Indonesia
dilakukan melalui beberapa kegiatan sebagai berikut:
1. Pengendalian Vektor (jentik dan nyamuk dewasa) dapat
dilakukan dengan cara non kimiawi dan kimiawi.
a. Pengendalian non kimiawi
● Pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
● Penggunaan kelambu
● Ovitrap, yaitu perangkap telur nyamuk yang dapat
diletakkan di lingkungan pemukiman dan lingkungan
peternakan.
b. Pengendalian biologi (biological control), dilaksanakan
dengan menggunakan organisme hidup (predator) dalam
pengendalian larva nyamuk, dapat berupa penaburan ikan,
Bacillus thurigiensis, atau jenis lainnya dan pemasangan
kawat kasa (barrier).
c. Pengendalian Kimiawi merupakan alternatif terakhir.
Pengendalian ini dilakukan apabila PSN dan Pengendalian
biologi hasilnya kurang optimal terhadap penurunan populasi
vektor dan apabila terjadi KLB. Kegiatan pengendalian kimia,
diantaranya:
1) Pengasapan (fogging)
- 14 -

2) Larvasidasi
3) Kelambu berinsektisida
4) Insektisida rumah tangga
2. Manajemen lingkungan
Upaya pencegahan dan pengendalian JE melalui
manajemen lingkungan dilakukan dengan cara menjaga
kebersihan lingkungan pemukiman dan peternakan.
Lingkungan pemukiman harus bebas dari habitat
perkembangbiakan dan tempat peristirahatan nyamuk penular
JE. Lingkungan peternakan harus dibersihkan setiap hari.
Seperti halnya di lingkungan pemukiman, di lingkungan
peternakan harus bebas dari habitat perkembangbiakan
nyamuk.
3. Surveilans
Surveilans JE penting dilakukan untuk mendapatkan
gambaran epidemiologi, besaran masalah penyakit dan
mengidentifikasi daerah risiko tinggi sehingga dapat menjadi
dasar perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan
pencegahan dan pengendalian JE.
Tujuan surveilans JE:
1) Menghasilkan informasi gambaran epidemiologi dan
besaran masalah JE sebagai dasar penanggulangan JE
yang cepat dan tepat sehingga dapat disusun perencanaan
yang sesuai dengan permasalahannya.
2) Mendapatkan data distribusi JE menurut orang, tempat,
- 15 -

dan waktu.
3) Mendapatkan gambaran tren JE
4) Melakukan pengamatan kewaspadaan dini (SKD KLB)
dalam rangka mencegah dan menanggulangi KLB secara
dini.
5) Penguatan laboratorium untuk sero diagnosis
6) Surveilans JE meliputi surveilans kasus dan surveilans
vektor yang dapat dilakukan secara pasif dan aktif.

4. Imunisasi
Strategi yang efektif untuk menurunkan angka insiden JE
adalah pemberian imunisasi. Imunisasi merupakan intervensi
kesehatan masyarakat yang dapat diandalkan. Perluasan
pemberian imunisasi JE akan dilaksanakan secara bertahap di
daerah endemis dengan mempertimbangkan perkembangan
surveilans JE dan ketersediaan vaksin JE.

2.3. Dampak Ekonomi Imunisasi Japanese Encephalitis (JE)


Hasil studi Dr. Soewarta Kosen et all pada tahun 2021
tentang Expanding Japanese Encephalitis vaccination to selected
endemic indonesia provinces: A cost-effectiveness analysis
disimpulkan bahwa berdasarkan perspektif pemerintah dan
masyarakat untuk tiga birth cohorts dan satu kali imunisasi
tambahan massal, pemberian imunisasi JE pada anak 1-15 tahun,
- 16 -

akan menghemat biaya dan mencegah terjadinya 31.386 kasus


dan 7.219 kematian; mencegah keluarnya biaya sebesar US$39,8
juta (masyarakat) dan US$68,7 juta (pemerintah) dalam 3 tahun;
ICER US$ 485 - US$ 619 per DALY yang dapat dicegah bila
vaksin JE digunakan dalam imunisasi tambahan massal, dan
dilanjutkan dengan imunisasi rutin.
Berdasarkan hasil studi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
penggunaan vaksin JE dalam program imunisasi rutin yang
didahului dengan satu kali imunisasi tambahan massal sangat
“cost-effective”.

2.4. Imunisasi Japanese Encephalitis (JE)


Di Indonesia terdapat beberapa jenis vaksin JE yang sudah
mendapat prakualifikasi WHO dan ijin edar dari BPOM yaitu:
1. Live attenuated vaccines
Virus JE strain SA 14-14-2 produksi dari Chengdu
Institute of Biological Product, dilisensi dan digunakan secara
luas di Cina sejak 1988 dan saat ini banyak digunakan di
negara lain di Asia dan sudah mendapat prakualifikasi WHO
tanggal 9 Oktober 2013.
2. Live attenuated recombinant
Live attenuated vero cell dengan teknologi DNA, dilisensi
dan diproduksi oleh Sanofi Pasteur. Vaksin ini sudah digunakan
di Australia dan beberapa negara di Asia. Vaksin ini sudah
- 17 -

mendapat prakualifikasi WHO tanggal 18 September 2014.


Vaksin ini banyak digunakan di pelayanan kesehatan swasta.
3. Japanese Encephalitis Vaccine (Inactivated).
Japanese Encephalitis Inactivated Vaccine (Human)
(Purified Inactivated Vaccine - Adsorbed) JEEV®. Produksi dari
Biological E Limited India dan sudah mendapat prakualifikasi
WHO tanggal 12 Juli 2013. Vaksin JE inactivated ini akan
dipakai oleh para dokter spesialis anak untuk anak dengan
imunokompromais.

WHO position paper on JE vaccines bulan Februari 2015


merekomendasikan agar negara yang berisiko tinggi terhadap JE
untuk melakukan introduksi vaksin JE minimal satu dosis dalam
program imunisasi rutin dengan didahului oleh imunisasi tambahan
massal JE.
Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI) juga telah
memberikan rekomendasi pada bulan Januari 2016 agar vaksin JE
diintroduksi ke dalam program imunisasi nasional yang dimulai
dengan menggunakan vaksin tersebut sebagai bagian dari catch
up campaign di daerah endemis di Indonesia. Mempertimbangkan
perkembangan kasus JE di Indonesia ini, ITAGI pada tahun 2019
memberikan kajian dan rekomendasi tentang perluasan imunisasi
JE dimana hasil pelaksanaan imunisasi tambahan massal dan
introduksi imunisasi JE di Bali dapat menjadi dasar pertimbangan
- 18 -

rencana strategi perluasan di provinsi lain yang memiliki


endemisitas JE tinggi di Indonesia.

2.5. Vaksin JE yang Digunakan


Vaksin yang akan digunakan dalam imunisasi tambahan
massal dan introduksi imunisasi JE adalah live attenuate vaccines
yang dikenal sebagai vaksin virus SA 14-14-2, diberikan 1 (satu)
dosis (0.5ml) secara suntikan subkutan pada anak usia 10 bulan
sampai < 15 tahun.
Vaksin JE live attenuated memiliki kontraindikasi sebagai
berikut:
1) Wanita hamil
2) Riwayat alergi terhadap komponen dari vaksin (gelatin,
kanamycin, gentamisin)
3) Anak dengan TB aktif yang tidak diobati
4) Otitis media
5) Riwayat kejang selama 12 bulan terakhir, epilepsi
6) Anak dengan gangguan hati, ginjal, dan jantung
7) Anak imunodefisiensi, imunokompromais atau anak yang
sedang menerima terapi imunosupresi
Anak-anak dengan imunokompromais tidak dapat diberikan
vaksin JE jenis live-attenuated namun tetap bisa diimunisasi
dengan vaksin JE jenis inaktif. Imunokompromais adalah suatu
keadaan menurunnya status imunologis seseorang baik status
- 19 -

imun hormonal atau seluler atau keduanya hingga sangat rentan


terhadap infeksi. Keadaan imunokompromais ini ditemukan pada
orang atau penderita yang mendapat terapi sitostatik/radioterapi,
penerima transplantasi sumsum tulang, transplantasi organ,
penderita dengan infeksi HIV, penyakit Hodgkins, leukemia,
limfoma atau dengan keganasan lain.
Vaksin JE live-attenuated dapat diberikan dalam
pengawasan dokter spesialis anak yang merawat pada kondisi
sebagai berikut:
1. Pengobatan kortikosteroid topikal atau penggunaan
kortikosteroid sistemik pada dosis rendah (kurang dari 0,5
mg/kg) seperti pada dermatitis, eksim atau lainnya
2. Kondisi neurologis yang stabil misal cerebral palsy, down
syndrome
Pemberian imunisasi ditunda pada keadaan sebagai berikut:
● Demam tinggi
● Batuk pilek berat
● Diare berat

Tabel 2.2 Detail Administrasi Vaksin Japanese Encephalitis

Jenis Vaksin Vaksin SA 14-14-2

Kemasan Vial untuk 5 dosis berisi bubuk liofilisasi


- 20 -

Pelarutan Vaksin dilarutkan dengan cairan pelarut yang


disediakan. Setelah pelarutan, warna berubah
menjadi merah muda. Vaksin yang sudah
dilarutkan hanya boleh diberikan dalam waktu
6 jam

Dosis Satu dosis (0,5 ml) berisi tidak kurang dari 5,4
log PFU virus hidup JE

Cara Vaksin harus digunakan dengan memakai


pemberian Auto Disable Syringe (ADS)
Vaksin disuntik secara subkutan pada paha
atau lengan atas, tergantung usia anak

Penyimpanan Vaksin disimpan dan dikirim dalam suhu 2-8oC


vial vaksin dan dan terlindung dari sinar matahari.
pelarut Pelarut dapat disimpan pada suhu ruangan
dan sebelum digunakan disimpan pada suhu
2-8oC minimal 12 jam.
- 21 -

BAB III: PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN


IMUNISASI TAMBAHAN MASSAL JE

3.1. Persiapan Imunisasi Tambahan Massal


Sebelum melaksanakan langkah-langkah persiapan, perlu diketahui tujuan, sasaran, tempat,
waktu serta strategi pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE.

A. Tujuan imunisasi tambahan massal JE


Tujuan pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE adalah tercapainya pengendalian
penyakit JE di daerah endemis JE.
Tujuan khusus:
1. Menurunkan angka kasus Acute Encephalitis Syndrome (AES).
2. Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat JE.

B. Sasaran Pelaksanaan
Sasaran pelaksanaan kegiatan imunisasi tambahan massal JE adalah seluruh anak usia 9
bulan sampai dengan <15 tahun di daerah endemis JE. Imunisasi JE diberikan tanpa melihat
status imunisasi maupun riwayat penyakit JE sebelumnya.

C. Tempat Dan Waktu Pelaksanaan


1. Tempat Pelaksanaan
Pelayanan imunisasi dilakukan di pos - pos pelayanan imunisasi yang telah ditentukan
yaitu:
1) Satuan pendidikan antara lain Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak,
SD/MI/sederajat, SDLB, serta SMP/MTs/sederajat dan SMPLB
2) Puskesmas, Posyandu, Puskesmas pembantu, Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, serta pos imunisasi lainnya.

2. Waktu Pelaksanaan
Imunisasi tambahan massal JE dilaksanakan selama dua bulan penuh, termasuk
sweeping. Kegiatan sweeping dilakukan untuk menjangkau sasaran yang belum diberikan
imunisasi karena sakit, sedang bepergian, orang tua sibuk, tidak mengetahui mengenai
adanya imunisasi tambahan massal JE maupun alasan lainnya.

3. Mekanisme Pelaksanaan
Target cakupan imunisasi tambahan massal JE adalah minimal 95%. Untuk itu
diperlukan strategi yang efektif agar berhasil mencapai target yang diharapkan.
- 22 -

Pelaksanaan imunisasi tambahan massal imunisasi JE dibagi menjadi 2 tahap:


Tahap pertama yaitu pemberian imunisasi JE di seluruh satuan pendidikan yang terdiri dari
sekolah PAUD, TK, SD/MI/sederajat, SDLB dan SMP/MTs/sederajat dan SMPLB. Bagi anak
yang tidak hadir pada hari pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE, wajib datang ke
Puskesmas untuk mendapatkan JE.
Sebelum pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE, perlu melibatkan Tim Pembina UKS
(Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Kantor Wilayah Kementerian Agama, Pemerintah
Daerah) untuk koordinasi pelaksanaan kegiatan imunisasi JE di sekolah.

Tahap kedua yaitu pemberian imunisasi untuk anak-anak di luar sekolah usia 9 bulan sampai
<15 tahun di pos-pos pelayanan imunisasi seperti Posyandu, Puskesmas, Puskesmas
pembantu, Rumah Sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Khusus kelompok anak dengan imunokompromais, pemberian Imunisasi JE
berkonsultasi dengan dokter spesialis anak yang merawat. Imunisasi dapat dilakukan dengan
menggunakan jenis vaksin JE inactivated di rumah sakit.
Alasan utama pemberian imunisasi di sekolah lebih dahulu yaitu lebih mudah dilakukan
karena sasaran sudah terkumpul dan anak yang belum mendapatkan imunisasi lebih mudah
diidentifikasi dan ditindaklanjuti. Setelah pemberian imunisasi di sekolah-sekolah selesai,
maka dilanjutkan dengan pemberian imunisasi di pos-pos pelayanan imunisasi lainnya.
Kegiatan ini harus dilaksanakan berdasarkan pada mikroplaning yang telah disusun
sebelumnya. Daftar nama anak-anak yang menjadi sasaran harus sudah tersedia sebelum
dilaksanakan pelayanan Imunisasi. Setiap petugas kesehatan maupun kader yang bertugas
harus memahami ZZZ tiap anak (usia 9 bulan sampai <15 tahun) yang datang ke pos
pelayanan imunisasi untuk mendapatkan imunisasi JE harus diberikan imunisasi JE,
meskipun anak tersebut tidak masuk ke dalam daftar sasaran yang telah disiapkan.

3.1.1. Mikroplaning
Dalam penyusunan mikroplaning dibutuhkan data-data sebagai berikut:
1. Jumlah sasaran, yaitu anak usia 9 bulan sampai <15 tahun yang ada di wilayah kerja
masing-masing.
2. Peta wilayah kerja, memuat informasi mengenai batas- batas wilayah, jumlah sasaran
per wilayah, kondisi geografis (wilayah yang mudah dijangkau dan sulit dijangkau), dan
lokasi pos atau fasilitas pelayanan imunisasi yang sudah ada seperti sekolah,
Posyandu, Rumah Sakit, Klinik Dokter Praktek Swasta, Klinik Bidan Praktek Swasta,
serta fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
3. Inventarisasi peralatan rantai dingin, jumlah dan kondisi cold chain (untuk penyimpanan
- 23 -

dan distribusi vaksin) yang ada saat ini, serta kekurangannya di tingkat Provinsi,
Kabupaten/Kota maupun Puskesmas, serta upaya mengatasi jika terjadi kekurangan.
4. Daftar satuan pendidikan berdasarkan nama, yang terdiri dari sekolah PAUD, Taman
Kanak-kanak, serta SD dan SMP atau yang sederajat, baik negeri/pemerintah maupun
swasta.
5. Jumlah pos pelayanan imunisasi, yaitu Posyandu, Puskesmas, Puskesmas pembantu,
Rumah Sakit, sekolah-sekolah, serta pos pelayanan imunisasi lainnya termasuk fasilitas
pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh LSM dan fasilitas pelayanan kesehatan swasta
lainnya.
6. Jumlah tenaga kesehatan pelaksana imunisasi yang tersedia, yang terdiri dari dokter,
bidan, dan perawat.
7. Jumlah tenaga pengawas/supervisor
8. Jumlah tenaga guru yang dibutuhkan sebagai pendamping pelaksanaan kegiatan
imunisasi tambahan massal JE di satuan pendidikan.
9. Jumlah tenaga kader yang tersedia
10. Jumlah tenaga medis yang tersedia untuk melakukan penanganan apabila terjadi kasus
KIPI, baik dokter pemerintah (PNS) maupun swasta.
11. Jumlah Rumah Sakit rujukan untuk menangani kasus KIPI.
12. Jumlah Logistik yang dibutuhkan
Mikroplaning disusun bersama oleh pengelola program imunisasi, penanggung jawab
kegiatan imunisasi tambahan massal JE beserta pengelola program lain yang terkait.

3.1.5.2. Perhitungan Dan Pendataan Sasaran


A. Perhitungan Estimasi Sasaran
Jumlah estimasi sasaran dihitung berdasarkan data Penduduk Sasaran Program
Pembangunan Kesehatan tahun 2021-2025 (Kepmenkes No HK.01.07/Menkes/5675/2021)
kelompok usia 1-14 tahun ditambah 25% dari Surviving Infant tahun pelaksanaan imunisasi
tambahan massal. Estimasi sasaran ini untuk menghitung kebutuhan logistik
Contoh penghitungan:
Wilayah A
X = jumlah anak kelompok 1-14 tahun
Y = jumlah surviving infant

B. Pendataan Sasaran
Delapan minggu sebelum pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE dimulai,
pengelola imunisasi kabupaten/kota meminta data anak sekolah melalui Dinas Pendidikan
- 24 -

dan Kanwil Kementerian Agama sebagai data sasaran. Data ini kemudian dikonfirmasi oleh
petugas Puskesmas dengan mendatangi sekolah untuk mendapat daftar murid dan tanggal
lahir dari Kepala Sekolah/guru.
Petugas puskesmas dibantu oleh kader melakukan kunjungan rumah ke rumah untuk
mendata seluruh sasaran (usia 9 bulan s.d <15 tahun) khususnya anak-anak balita yang
belum masuk usia sekolah dan/atau anak-anak usia sekolah namun tidak bersekolah.
Selagi mendata, minta orang tua agar membawa anaknya untuk diberikan imunisasi JE
di pos-pos pelayanan imunisasi yang telah ditentukan. Bagi orang tua dari anak usia sekolah,
diingatkan agar anaknya datang ke sekolah pada hari di mana akan dilaksanakan pemberian
imunisasi JE. Kepada orang tua dari anak usia sekolah namun tidak bersekolah wajib
membawa anaknya ke pos pelayanan imunisasi terdekat yang telah ditentukan.

3.1.5.3. Perhitungan Kebutuhan Vaksin dan Logistik


A. Kebutuhan vaksin, ADS dan Safety Box
Cara perhitungan kebutuhan vaksin dan logistik dalam rangka pelaksanaan imunisasi
tambahan massal JE:

Keterangan: Untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota kebutuhan vaksin ditambahkan 5%


sebagai cadangan
● Kebutuhan ADS 5 ml = Σ vial vaksin JE
● Kebutuhan ADS 0,5 ml = Σ sasaran imunisasi tambahan massal JE + 5 % sebagai
cadangan
● Kebutuhan Safety Box 5 L

Keberhasilan pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE sangat bergantung pada


perencanaan ketersediaan vaksin dan logistik yang baik, yaitu:
1) Penyusunan rencana distribusi yang detail yang menjelaskan kapan dan bagaimana
vaksin dan logistik didistribusikan ke setiap tingkatan administrasi: dari provinsi ke
kabupaten/kota, dari kabupaten/kota ke puskesmas dan dari puskesmas ke pos
pelayanan imunisasi
2) Penyusunan rencana khusus untuk daerah-daerah yang sulit dijangkau
3) Pastikan vial vaksin sisa pelayanan yang belum dibuka diberi tanda dan dikembalikan ke
puskesmas untuk kemudian didahulukan penggunaannya pada esok harinya di pos
- 25 -

pelayanan imunisasi.

B. Kebutuhan perlengkapan anafilaktik


Perlengkapan anafilaktik merupakan komponen penting dalam pelayanan imunisasi
sebagai antisipasi terjadinya syok anafilaktik yang merupakan salah satu KIPI serius. Setiap
tempat pelayanan imunisasi harus menyediakan minimal 1 (satu) set perlengkapan anafilaktik
sehingga jumlah kebutuhan perlengkapan anafilaktik disesuaikan dengan jumlah tempat
pelayanan imunisasi.

C. Kebutuhan logistik PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi)


Kebutuhan logistik PPI termasuk didalamnya adalah Alat Pelindung Diri (APD).
Ketentuan alat pelindung diri mengacu pada Petunjuk Teknis Pelayanan Imunisasi Pada Masa
Pandemi COVID-19 meliputi masker medis, sabun untuk mencuci tangan atau sarung tangan
bila tersedia dan Alat Pelindung Diri (APD) lain bila tersedia.

D. Kebutuhan Pen Marker


Satu buah pen marker dapat digunakan untuk 100 orang sasaran

Apabila tidak tersedia pen marker dapat menggunakan gentian violet untuk memberikan
penandaan kepada anak-anak yang sudah mendapatkan imunisasi JE dalam kurun waktu
pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE.

3.1.5.4. Perhitungan Tenaga Pelaksana


Kebutuhan tenaga pelaksana bervariasi pada setiap pos pelayanan, dapat dihitung
dengan pendekatan jumlah sasaran dibagi jumlah pos pelayanan imunisasi:
1. Satu orang tenaga kesehatan diperkirakan mampu memberikan pelayanan suntikan
imunisasi JE pada maksimal 100 - 125 sasaran per hari.
2. Setiap pos pelayanan dibantu oleh kurang lebih 3 orang kader/guru yang bertugas untuk:
(a) menggerakkan sasaran/orang tua untuk datang ke pos pelayanan imunisasi, (b)
mengatur alur pelayanan imunisasi di pos pelayanan (c) mencatat hasil imunisasi, dan (d)
memberi tanda/marker pada kuku jari kelingking kiri anak yang sudah mendapat imunisasi.
3. Setiap 3-5 pos pelayanan imunisasi dikoordinir oleh satu orang supervisor untuk
memastikan pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE berjalan dengan baik. Supervisor
juga bertugas memantau kecukupan logistik dan kesiapan penanggulangan KIPI
- 26 -

Tabel 3.1 Contoh Puskesmas Bakti Husada

Jumlah Jumlah
Jumlah Jumlah hari
Desa sasaran/ tenaga yg
Sasaran pelaksanaan
perhari dibutuhkan

A 2.000 4 500 5 orang

B 5.000 8 625 5 orang

C 3.000 5 600 6 orang

Perlu diinventarisasi juga tenaga yang dapat membantu pelaksanaan di pos pelayanan
seperti:
a. Tenaga kesehatan (Perawat, Bidan, dan Dokter) yang ada di unit pelayanan swasta dan
RS untuk melakukan penyuntikan.
b. Tenaga kesehatan yang sedang tugas belajar di sekolah-sekolah (Akper, Akbid dan
Fakultas Kedokteran) untuk membantu pelayanan selain penyuntikan.

3.1.5.5. Pemetaan dan Penyusunan Jadwal Kegiatan


Sebelum menyusun jadwal kegiatan, petugas perlu mengetahui wilayah kerjanya
dengan baik. Kabupaten/Kota harus menginventarisasi daerah (kecamatan, puskesmas, dan
desa termasuk sekolah) di wilayahnya berdasarkan tingkat kesulitannya. Hal ini akan
membantu dalam menentukan strategi pelaksanaan sehingga semua sasaran dapat
dijangkau. Setelah dilakukan pemetaan, menentukan tanggal dan lamanya pelaksanaan tiap
puskesmas serta petugas kabupaten yang bertanggung jawab sebagai supervisor dan nama-
nama tim per pos pelayanan imunisasi.

3.1.2. Orientasi Imunisasi Tambahan Massal JE


Sasaran kegiatan pelatihan di tingkat:
1. Provinsi yaitu TP-UKS, petugas pengelola program imunisasi, petugas pengelola program
kesehatan keluarga dan petugas pengelola vaksin tingkat kabupaten/kota
2. Kabupaten/kota yaitu TP-UKS, petugas pengelola program imunisasi, petugas pengelola
program kesehatan keluarga dan petugas pengelola vaksin tingkat puskesmas
3. Puskesmas yaitu para petugas kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat yang ditunjuk
sebagai pelaksana Imunisasi, kader, kepala sekolah, guru dan petugas pendukung lainnya.
Metode orientasi dapat dilakukan secara bauran (blended) yaitu kombinasi secara tatap
muka dan daring. Materi orientasi, meliputi:
- 27 -

a. Tujuan dan strategi pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE


b. Waktu pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE
c. Kelompok usia sasaran
d. Penyusunan mikroplaning, meliputi perhitungan dan pendataan sasaran, perhitungan
kebutuhan vaksin dan logistik, perhitungan tenaga pelaksana, serta pemetaan dan
penyusunan jadwal kegiatan
e. Pengelolaan vaksin dan rantai dingin vaksin
f. Penyelenggaraan pelayanan di pos pelayanan imunisasi, termasuk cara melarutkan vaksin JE
g. Teknik penyuntikan yang aman
h. Pengelolaan limbah medis imunisasi
i. Keamanan vaksin JE
j. Pencatatan dan pelaporan hasil pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE
k. Pencatatan dan pelaporan KIPI
l. Monitoring dan supervisi pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE
m. Penggerakan masyarakat dalam rangka imunisasi tambahan massal JE
n. Panduan pelaksanaan pelayanan imunisasi pada era adaptasi baru
o. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi pada masa pandemi COVID-19

3.1.3. Pembentukan Panitia/Kelompok Kerja Pelaksanaan Imunisasi Tambahan Massal JE Tingkat


Provinsi dan Kabupaten/Kota
Pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE membutuhkan upaya total dari seluruh
komponen pemerintah daerah dan masyarakat, sehingga perlu dibentuk suatu Panitia/ Kelompok
Kerja yang akan bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses pelaksanaan imunisasi
tambahan massal JE di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Panitia/Kelompok Kerja ini bertugas untuk merencanakan, mengelola, dan memantau
seluruh kegiatan dalam rangka pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE. Tim ini
beranggotakan perwakilan dari lintas program dan lintas sektor terkait serta organisasi profesi
dan organisasi masyarakat yang dibagi ke dalam lima bidang yaitu bidang perencanaan, logistik,
pelaksanaan, komunikasi serta monitoring dan evaluasi.
POKJA ini dapat dibentuk dari POKJA terkait imunisasi yang sudah ada sebelumnya
dengan memperluas tugas-tugas sesuai dengan tujuan imunisasi tambahan massal JE.
Tugas dan tanggung jawab Panitia/Kelompok Kerja per bidang yaitu sebagai berikut
1. Bidang Perencanaan
a. Melakukan analisis situasi meliputi sasaran, tenaga, sarana-prasarana yang dibutuhkan
dan kondisi geografis
b. Menyusun rencana anggaran pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE
c. Menyusun rencana dan jadwal kegiatan pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE
- 28 -

2. Bidang Logistik
a. Menyusun perhitungan kebutuhan vaksin dan logistik
b. Melakukan koordinasi dan pemantauan dalam rangka distribusi (pengambilan atau
pengiriman) vaksin JE
3. Bidang Pelaksanaan
a. Melaksanakan kegiatan advokasi dan sosialisasi pelaksanaan imunisasi tambahan massal
JE
b. Melaksanakan kegiatan pelatihan pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE
c. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lintas program dan lintas sektor
4. Bidang Komunikasi
a. Menyusun dan mengkaji materi Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) imunisasi
tambahan massal JE
b. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan media dalam rangka publikasi kegiatan
imunisasi tambahan massal JE
c. Melakukan dokumentasi kegiatan
5. Bidang Monitoring dan Evaluasi
a. Melakukan pemantauan pra-pelaksanaan, proses pelaksanaan dan pasca pelaksanaan
imunisasi tambahan massal JE
b. Mengumpulkan data, melakukan analisa hasil kegiatan imunisasi tambahan massal JE dan
membuat umpan balik.

3.1.4. Pembiayaan
Pembiayaan kegiatan imunisasi tambahan massal JE ini bersumber dari APBN (Pusat,
Dekonsentrasi dan DAK non fisik), APBD, pemanfaatan dana kapitasi dan sumber lain yang sah.

3.1.5. Promosi Kesehatan


Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2015
tentang Upaya Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit, promosi kesehatan adalah
proses untuk memberdayakan masyarakat melalui kegiatan menginformasikan, mempengaruhi
dan membantu masyarakat agar berperan aktif untuk mendukung perubahan perilaku dan
lingkungan serta menjaga dan meningkatkan kesehatan menuju derajat kesehatan yang optimal.
3.1.5.1. Strategi Promosi Kesehatan
Untuk menyelenggarakan promosi kesehatan diperlukan suatu strategi. Strategi dasar
utama promosi kesehatan terdiri dari advokasi (kebijakan sehat), gerakan pemberdayaan
masyarakat (peningkatan kemampuan masyarakat) dan kemitraan (bekerja sama atas dasar
prinsip kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan). Pelaksanaan promosi
kesehatan harus didukung dengan metode dan media yang tepat, data dan informasi yang
- 29 -

valid/akurat, serta sumber daya yang optimal termasuk sumber daya manusia yang
profesional.
1. Advokasi
Advokasi dilakukan kepada para penentu kebijakan dan pemangku kepentingan
guna mendapatkan dukungan dalam bentuk kebijakan dan sumber daya yang diperlukan.
Upaya advokasi dilakukan dalam rangka menggalang komitmen, dukungan yang konkrit
serta partisipasi aktif dari pemimpin daerah tingkat provinsi (gubernur), pemimpin daerah
tingkat kabupaten/kota (bupati/walikota) dan pimpinan serta anggota DPRD tingkat provinsi
dan kabupaten/kota, para pembuat keputusan dari lintas sektor terkait (seperti Dinas
Pendidikan, Kanwil Kementerian Agama, dll), tokoh masyarakat, tokoh agama, para ketua
organisasi profesi, organisasi masyarakat, para pimpinan media cetak dan elektronik lokal,
serta pihak lainnya seperti LSM kesehatan.
Pertemuan-pertemuan advokasi dalam rangka menggalang komitmen, dukungan
yang konkrit serta partisipasi aktif dari seluruh pihak terkait seperti pimpinan daerah,
sekolah, tokoh agama, tokoh masyarakat, ketua TP PKK, organisasi masyarakat seperti
Aisyiyah, Muslimat NU, Perdhaki, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Wanita Hindu
Dharma Indonesia (WHDI) dan organisasi keagamaan lainnya, dilaksanakan baik di
provinsi, kabupaten/kota maupun puskesmas. Pada saat pertemuan dijelaskan mengenai
tujuan dilaksanakannya imunisasi tambahan massal JE dan materi/informasi terkait
pelaksanaannya diberikan kepada seluruh peserta yang hadir. Kegiatan pertemuan ini
sebaiknya dilaksanakan sebelum dilakukan penyusunan mikroplaning.
2. Penggerakan Masyarakat:
Upaya penggerakan masyarakat dapat dilakukan melalui strategi komunikasi
interpersonal yang baik, didukung oleh media massa dan kegiatan lainnya yang bertujuan
mensosialisasikan imunisasi tambahan massal JE kepada masyarakat. Tujuan kegiatan
penggerakan masyarakat ini adalah agar masyarakat sadar dan mau membawa anaknya
yang berusia 9 bulan sampai <15 tahun ke pos pelayanan imunisasi selama masa
imunisasi tambahan massal untuk mendapatkan imunisasi JE.
Sasaran penggerakan masyarakat dalam rangka imunisasi tambahan massal JE
adalah para orang tua, sekolah-sekolah/madrasah/pesantren, kelompok-kelompok sosial
kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dharma Wanita, TP-PKK, PAUD,
organisasi keagamaan dan LSM-LSM setempat. Petugas kesehatan di setiap tingkatan
administrasi bertanggung jawab dalam memantau proses mobilisasi ini berjalan sesuai
yang diharapkan.
Dalam rangka melakukan upaya mobilisasi masyarakat yang efektif, maka harus
menentukan saluran resmi sebagai sumber informasi resmi. Selain itu, dapat
- 30 -

memanfaatkan media komunikasi lainnya, seperti (contoh: TV spot, banner, poster, radio
spot, dll) seperti:
a. Media sosial, misalnya Instagram, Facebook, WhatsApp, Twitter, Youtube, TikTok dan
media sosial lainnya.
b. Media cetak dan elektronik
c. Media Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
3. Kemitraan
Kemitraan dilaksanakan untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dan advokasi
dalam rangka memelihara dan meningkatkan kesehatan. Kemitraan dilaksanakan dengan
prinsip kesamaan kepentingan, kejelasan tujuan, kesetaraan kedudukan, dan transparansi
di bidang kesehatan.
3.1.5.2. Pendukung dalam Pelaksanaan Promosi Kesehatan
1. Media cetak dan elektronik
Tentukan media apa yang akan digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
komunikasi mengenai kegiatan imunisasi tambahan massal JE. Contoh: TV spot, radio
spot, layanan SMS gateway, koran, buletin, dll.
2. Media Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) cetak
Media KIE cetak seperti leaflet, brosur, banner, poster, spanduk, dan lainnya
digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasi mengenai kegiatan imunisasi
tambahan massal JE kepada masyarakat/orang tua dan sekolah-sekolah. Untuk
penyampaian pesan kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama dapat dipilih media KIE
yang berisi informasi yang lebih mendetail, berisi tentang latar belakang, alasan, serta
tujuan dari pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE ini.
3. Penggunaan megaphone/loudspeaker
Megaphone atau loudspeaker dapat digunakan untuk mensosialisasikan imunisasi
tambahan massal JE dan mengajak masyarakat untuk membawa anak-anak yang menjadi
kelompok sasaran agar datang ke pos pelayanan imunisasi dan mendapatkan imunisasi
tersebut.
Sosialisasi menggunakan megaphone/loudspeaker ini juga dapat dilakukan pada
siang atau sore hari setelah pelayanan di pos pelayanan imunisasi untuk menjaring
sasaran yang tidak datang ke pos pelayanan imunisasi pada pagi harinya.
4. Pertemuan sosialisasi Komite Sekolah dan kelas parenting/pengasuhan tentang imunisasi
JE dapat disampaikan pada saat pertemuan komite sekolah, penerimaan rapor atau
pertemuan penerimaan peserta didik baru, serta pada pertemuan kelas
parenting/pengasuhan.
5. Kegiatan Pencanangan
- 31 -

Kegiatan pencanangan dilakukan dengan tujuan untuk memberikan informasi


mengenai kegiatan imunisasi tambahan massal JE kepada masyarakat luas dengan
melibatkan pimpinan daerah, para pembuat keputusan, tokoh masyarakat, tokoh agama
dan lintas sektor terkait lainnya. Kegiatan pencanangan dapat dilaksanakan di tingkat
provinsi, kabupaten/kota maupun tingkat kecamatan.

3.1.6. Monitoring Kesiapan


Monitoring kesiapan imunisasi tambahan massal JE dilaksanakan mulai 6 (enam) minggu
sebelum pelaksanaan imunisasi tambahan massal dimulai, dan diulang pada 4 (empat) dan 2
(dua) minggu sebelum pelaksanaan di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas.
Kegiatan ini meliputi penilaian terhadap:
1. Perencanaan, koordinasi, dan pendanaan
2. Advokasi, sosialisasi, komunikasi, dan mobilisasi
3. Ketersediaan sumber daya manusia
4. Ketersediaan dan rencana distribusi vaksin, rantai dingin, dan logistik lain seperti
perlengkapan anafilaktik dan APD
5. Rencana monitoring dan supervisi

Monitoring ini dapat menggunakan daftar tilik asesmen kesiapan (Readiness


Assessment/RA) berupa pertanyaan untuk melihat kesiapan Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas yang dapat dilihat melalui tautan dibawah ini :

Tingkat provinsi https://bit.ly/RA-JE-Provinsi


Tingkat Kabupaten/Kota https://bit.ly/RA-JE-KabupatenKota
Tingkat Puskesmas https://bit.ly/RA-JE-Puskesmas

Monitoring kesiapan sebaiknya juga dilakukan secara mandiri (self assessment).

3.2. Pelaksanaan Imunisasi Tambahan Massal JE


Pelayanan imunisasi dilakukan di pos-pos pelayanan imunisasi yang telah ditentukan seperti
di puskesmas, posyandu, di seluruh satuan pendidikan yaitu PAUD, Taman Kanak- kanak,
SD/MI/sederajat, SDLB dan SMP/MTs/sederajat dan SMPLB.
Pelayanan imunisasi dapat dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan dan
mengikuti Petunjuk Teknis Pelayanan Imunisasi Pada Masa Pandemi. Peran petugas kesehatan,
guru dan kader dalam pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE, adalah sebagai berikut:
- 32 -

1. Peran Tenaga Kesehatan


a. Memastikan sasaran usia 9 bulan sampai dengan <15 tahun menerima imunisasi JE.
b. Memastikan kondisi rantai vaksin terpelihara dengan baik dalam suhu 2-8ºC.
c. Memastikan vaksin dan pelarut berasal dari pabrik yang sama dan memeriksa tanggal
kadaluarsanya.
d. Memeriksa kondisi VVM vaksin JE (pastikan dalam kondisi A atau B).
e. Memastikan perlengkapan anafilaktik tersedia dan dapat digunakan
f. Melarutkan vaksin, mencatat tanggal dan waktu pelarutan tiap vial.
g. Memberikan penyuntikan vaksin JE dengan benar (subkutan).
h. Melakukan pengolahan limbah imunisasi (tajam dan tidak tajam) secara aman.
i. Memantau dan menangani kasus KIPI.
j. Mencatat dan melaporkan hasil pelayanan imunisasi ke dalam sistem pencatatan elektronik
dan buku KIA dan pelaporan manual (liat subpin)
k. Mengawasi dan membina guru dan kader saat pelayanan imunisasi.
l. Berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat.
m. Menunggu di tempat pelayanan minimal 30 menit setelah pelayanan imunisasi selesai untuk
antisipasi apabila terjadi kasus KIPI.
2. Peran Kader dan Guru
Persiapan sebelum hari pelaksanaan
a. Memberikan informasi kepada orangtua/wali murid melalui Pertemuan Orangtua Murid atau
surat edaran yang berisi pemberitahuan manfaat imunisasi JE dan tanggal pelaksanaannya.
Membantu memberikan penyuluhan kepada orangtua/ wali murid.
b. Memberikan data murid yang akan diberikan imunisasi
c. Mendata murid yang berusia <15 tahun dan sedang sakit atau tidak masuk sekolah karena
alasan lainnya.
d. Membantu petugas kesehatan melakukan skrining kesehatan untuk memastikan anak dan
pengantar dalam kondisi sehat untuk datang ke pelayanan imunisasi
e. Membantu menyiapkan ruangan untuk penyuntikan dan ruang tunggu setelah penyuntikan.

Pada hari pelaksanaan pelayanan imunisasi


a. Memastikan diri dan guru/kader lainnya dalam keadaan sehat untuk membantu pelayanan di
tempat pelayanan imunisasi (tidak demam, batuk, pilek dan lain-lain)
b. Menggunakan alat pelindung diri yang sesuai dengan prinsip protokol kesehatan.
c. Membantu memastikan area pelayanan imunisasi bersih
d. Memastikan fasilitas cuci tangan pakai air dan sabun dan hand sanitizer tersedia
e. Membantu mengatur alur pelayanan imunisasi.
f. Memastikan orangtua/pengantar disiplin menerapkan protokol Kesehatan
- 33 -

g. Ukur suhu tubuh anak dan pengantar saat tiba di tempat pelayanan.
h. Membantu pendaftaran anak yang datang ke tempat pelayanan imunisasi di buku register
i. Membantu pencatatan hasil imunisasi dan memberi tanda pada ujung bawah jari kelingking
kiri dengan gentian violet atau pen marker.
j. Mendampingi petugas kesehatan untuk menunggu 30 menit setelah pelayanan imunisasi
selesai.
k. Melaporkan kepada petugas kesehatan bila ditemukan kasus diduga KIPI.
l. Mengingatkan orang tua untuk melengkapi imunisasi rutin.
m. Pada akhir pelayanan mendata anak yang tidak datang imunisasi sesuai jadwal yang
ditentukan
n. Mencatat dan melaporkan hasil pendataan sasaran yang datang dan tidak datang ke tempat
pelayanan imunisasi kepada petugas.

Ketentuan ruang/tempat pelayanan imunisasi dan waktu pelaksanaan pada masa pandemi
diselenggarakan sesuai protokol kesehatan dengan mengacu pada Petunjuk Teknis Pelayanan
Imunisasi pada Masa Pandemi COVID-19.
- 34 -

BAB IV: PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN INTRODUKSI


IMUNISASI JAPANESE ENCEPHALITIS

Persiapan merupakan salah satu rangkaian kegiatan penting


yang harus dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan Introduksi
imunisasi dimulai. Tujuan dari persiapan ini adalah untuk
mengidentifikasi dan mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan
agar pelaksanaan Introduksi imunisasi JE dapat terlaksana
dengan baik. Hal-hal yang harus disiapkan/ dilaksanakan dalam
rangka mempersiapkan Introduksi imunisasi JE meliputi
mikroplaning, pembiayaan, pelatihan dan promosi Kesehatan
4.1 Persiapan Introduksi
Sebelum melaksanakan langkah-langkah persiapan, perlu
diketahui tujuan, sasaran, tempat dan waktu serta strategi
pelaksanaan Introduksi imunisasi JE sebagai berikut:
1. Tujuan pelaksanaan introduksi imunisasi JE
a. Tujuan umum:
Menurunkan angka kesakitan akibat penyakit JE
b. Tujuan khusus:
● Mengintegrasikan imunisasi JE kedalam imunisasi
program di daerah endemis.
● Mencapai cakupan imunisasi JE yang tinggi dan
merata di daerah endemis.
- 35 -

2. Sasaran Pelaksanaan
Sasaran pelaksanaan kegiatan Introduksi imunisasi JE
adalah seluruh anak usia 10 bulan di daerah endemis JE.
3. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
a. Tempat Pelaksanaan
Pelayanan imunisasi dilakukan di pos-pos pelayanan
imunisasi yang telah ditentukan yaitu: Posyandu,
Puskesmas, Puskesmas pembantu, Rumah Sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Khusus kelompok anak dengan imunokompromais,
pemberian Imunisasi JE berkonsultasi dengan dokter
spesialis anak yang merawat. Imunisasi dapat dilakukan
dengan menggunakan jenis vaksin JE inactivated di rumah
sakit secara mandiri.
b. Waktu Pelaksanaan
Introduksi imunisasi JE dilaksanakan segera setelah
imunisasi tambahan massal JE.
c. Strategi Pelaksanaan
Diperlukan strategi yang efektif untuk mencapai
cakupan imunisasi yang tinggi dan merata. Seperti halnya
imunisasi rutin lainnya, kegiatan ini harus dilaksanakan
berdasarkan pada mikroplaning yang telah disusun
sebelumnya. Daftar anak-anak yang menjadi sasaran harus
sudah tersedia sebelum dilaksanakan pelayanan Imunisasi.
- 36 -

4.2 Mikroplaning
Dalam penyusunan mikroplaning dibutuhkan data-data
sebagai berikut:
1. Jumlah sasaran, yaitu bayi usia 0-11 bulan (Surviving Infant)
yang ada di wilayah kerja masing-masing.
2. Peta wilayah kerja, memuat informasi mengenai batas- batas
wilayah, jumlah sasaran per wilayah, kondisi geografis (wilayah
yang mudah dijangkau dan sulit dijangkau), dan lokasi pos atau
fasilitas pelayanan imunisasi yang sudah ada seperti
Posyandu, Rumah Sakit, Klinik Dokter Praktek Swasta, Klinik
Bidan Praktek Swasta, serta fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya.
3. Inventarisasi peralatan rantai dingin, jumlah dan kondisi cold
chain (untuk penyimpanan dan distribusi vaksin) yang ada saat
ini, serta kekurangannya di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota
maupun Puskesmas, serta upaya mengatasi jika terjadi
kekurangan.
4. Jumlah pos pelayanan imunisasi, yaitu Posyandu, Puskesmas,
Puskesmas pembantu, Rumah Sakit, serta pos pelayanan
imunisasi tambahan termasuk fasilitas pelayanan kesehatan
yang dimiliki oleh LSM dan fasilitas pelayanan kesehatan
swasta lainnya.
5. Jumlah tenaga kesehatan pelaksana imunisasi yang tersedia,
yang terdiri dari dokter, bidan, dan perawat.
6. Jumlah tenaga pengawas/supervisor
- 37 -

7. Jumlah tenaga kader yang tersedia


8. Jumlah tenaga medis yang tersedia untuk melakukan
penanganan apabila terjadi kasus KIPI, baik dokter pemerintah
(PNS) maupun swasta.
9. Jumlah Rumah Sakit rujukan untuk menangani kasus KIPI.
Mikroplaning disusun oleh pengelola program imunisasi,
penanggung jawab kegiatan introduksi imunisasi JE beserta
pengelola program lain yang terkait. Hal-hal yang perlu
didiskusikan dan disepakati bersama yaitu:
1. Waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan:
a. Pelatihan bagi petugas kesehatan,
b. Pelatihan bagi kader
c. Sosialisasi kepada lintas program dan lintas sektor
d. Pertemuan koordinasi lainnya.
2. Estimasi kebutuhan vaksin dan logistik lainnya serta rencana
pendistribusiannya
3. Rencana pengolahan limbah medis
4. Rencana penanganan dan penatalaksanaan kasus KIPI

4.2.1. Penentuan Sasaran


Penentuan sasaran dalam rangka introduksi imunisasi JE
sama dengan cara menentukan sasaran untuk pelaksanaan
imunisasi rutin lainnya.
- 38 -

Jumlah bayi yang bertahan hidup (Surviving Infant)


dihitung/ditentukan berdasarkan jumlah lahir hidup dikurangi
dengan jumlah kematian bayi. Jumlah kematian bayi diperoleh
dari perhitungan “angka kematian bayi (AKB) dikalikan dengan
jumlah lahir hidup”.

Surviving Infant (SI) = Jumlah lahir hidup – (AKB x Jumlah lahir hidup)

4.2.2. Perhitungan Kebutuhan Vaksin Dan Logistik


Manajemen stok vaksin yang efektif penting untuk
memastikan jangan sampai vaksin berlebih maupun
kekurangan. Untuk memastikan jumlah vaksin cukup, stok
vaksin harus diperiksa secara kontinu dan vaksin yang masuk
dan keluar dari tempat penyimpanan harus dicatat dengan
pencatatan berbasis elektronik.
Dalam menghitung kebutuhan, setiap tingkat
penyimpanan harus menyediakan stok cadangan yang dapat
digunakan apabila terjadi keterlambatan pengiriman vaksin atau
apabila terjadi peningkatan kebutuhan yang mendadak. Stok
vaksin di tingkat provinsi adalah 2 (dua) bulan ditambah 1
(satu) bulan cadangan, di tingkat kabupaten/kota yaitu 1 (satu)
bulan ditambah 1 (satu) bulan cadangan dan di tingkat
puskesmas adalah 1 (satu) bulan ditambah 1 (satu) minggu
cadangan.
1. Menghitung Indeks Pemakaian (IP)
Indeks pemakaian vaksin adalah pemakaian rata-rata
- 39 -

setiap kemasan vaksin, dihitung dengan rumus dibawah ini:

Indeks Pemakaian (standar nasional): 3.5


2. Menghitung Kebutuhan Vaksin
Kebutuhan vaksin dan logistik dihitung berdasarkan
kelompok sasaran masing-masing. Cara perhitungan
kebutuhan vaksin dan logistik dalam rangka pelaksanaan
introduksi JE:
Kebutuhan vaksin JE (5 dosis per vial):

Kebutuhan ADS 5 ml = Jumlah vial vaksin JE


Kebutuhan ADS 0,5 ml = Jumlah sasaran + 5% sebagai
cadangan
Safety box (kemasan isi 100 syringe) =

Cara menghitung kebutuhan vaksin JE yaitu:

Keterangan: Jumlah sasaran = Jumlah Surviving Infant


(Pusdatin)
- 40 -

4.2.3. Pemetaan dan Penyusunan Jadwal Kegiatan


Sebelum menyusun jadwal kegiatan masing-masing
posyandu, petugas perlu mengetahui wilayah kerjanya dengan
baik. Puskesmas harus menginventarisasi desa/kelurahan di
wilayahnya berdasarkan tingkat kesulitannya. Hal ini akan
membantu dalam menentukan strategi pelaksanaan pelayanan
imunisasi rutin sehingga semua sasaran dapat dijangkau.
Setelah dilakukan pemetaan, tentukan tanggal pelaksanaan
masing-masing posyandu.

4.2.4. Pelatihan
Pelatihan dalam rangka introduksi imunisasi JE dapat
dilaksanakan bersamaan dengan pelatihan imunisasi tambahan
massal JE dikarenakan introduksi imunisasi JE merupakan
kelanjutan dari imunisasi tambahan massal sehingga materi
yang disampaikan tidak jauh berbeda. Dapat dilakukan
penyegaran apabila diperlukan.

4.2.5. Pembentukan Panitia/Kelompok Kerja Pelaksanaan


Introduksi Imunisasi JE Tingkat Provinsi Dan Kabupaten/Kota
Panitia/Kelompok Kerja Pelaksanaan imunisasi tambahan
massal JE dapat merangkap sebagai Panitia/ Kelompok Kerja
Pelaksanaan Introduksi imunisasi JE karena waktu
pelaksanaannya yang beriringan. Kelompok kerja ini
- 41 -

selanjutnya dapat terlibat secara regular dalam pelaksanaan


pemberian imunisasi JE dalam jadwal imunisasi rutin termasuk
meningkatkan kesadaran masyarakat.

4.3 Pembiayaan
Pembiayaan kegiatan Introduksi imunisasi JE ini bersumber
dari APBN (Pusat, Dekonsentrasi dan DAK non fisik), APBD,
pemanfaatan dana kapitasi, dan sumber lain yang sah.

4.4 Promosi Kesehatan


4.4.1. Strategi Promosi Kesehatan
Prinsip penyelenggaraan promosi kesehatan yang
diperlukan sama dalam pelaksanaan imunisasi tambahan
massal terdiri dari advokasi (kebijakan sehat), pergerakan
(peningkatan kemampuan masyarakat), dan kemitraan (bekerja
sama atas dasar prinsip kesetaraan, keterbukaan dan saling
menguntungkan). Pelaksanaan promosi kesehatan harus
didukung dengan metode dan media yang tepat, data dan
informasi yang valid/ akurat, serta sumber daya yang optimal
termasuk sumber daya manusia yang profesional dalam rangka
kesinambungan program imunisasi JE pada daerah perluasan
introduksi imunisasi JE.
Beberapa sarana/peralatan yang dipakai dalam kegiatan
promosi kesehatan dalam Introduksi imunisasi JE terintegrasi
- 42 -

dengan program imunisasi rutin lainnya pada daerah perluasan


imunisasi JE.

4.4.2. Kegiatan Pencanangan


Kegiatan pencanangan dilakukan dengan tujuan untuk
memberikan informasi mengenai kegiatan Introduksi imunisasi
JE kepada masyarakat luas dengan melibatkan pimpinan
daerah, para pembuat keputusan, tokoh masyarakat, tokoh
agama, dan lintas sektor terkait lainnya. Kegiatan pencanangan
dapat dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan pencanangan
imunisasi tambahan massal di tingkat provinsi, kabupaten/ kota
maupun tingkat kecamatan.

4.4.3. Pelaksanaan introduksi imunisasi JE


Setelah selesai imunisasi tambahan massal JE pada
anak usia 9 bulan sampai kurang dari 15 tahun, maka imunisasi
JE akan dimasukkan dalam jadwal imunisasi rutin pada anak
usia 10 bulan di daerah endemis JE. Adapun pemberian
imunisasi JE dalam jadwal imunisasi rutin menjadi sebagai
berikut:
- 43 -

Usia Anak Jenis Imunisasi

<24 jam Hepatitis HB0

1 bulan BCG, OPV1

2 bulan DPT-HB-Hib 1, OPV2, PCV1, RV1

3 bulan DPT-HB-Hib 2, OPV3, PCV2, RV2

4 bulan DPT-HB-Hib3, OPV4 dan IPV1, RV3

9 bulan Campak-Rubella, IPV2

10 bulan Japanese Encephalitis

12 bulan PCV3

18 bulan Campak-Rubella, DPT-HB-Hib4

Kelas 1 Campak-Rubella, DT

Kelas 2 Td

Kelas 5 Td, HPV

Kelas 6 HPV

Tabel 4.1 Jadwal Imunisasi Rutin


Catatan: Apabila anak belum mendapat imunisasi JE pada usia 10
bulan, maka imunisasi JE masih dapat diberikan sampai anak berusia
59 bulan.
- 44 -

BAB V: PEMBERIAN IMUNISASI JAPANESE ENCEPHALITIS

5.1. Karakteristik Vaksin JE


Vaksin JE yang digunakan dalam program imunisasi
nasional merupakan vaksin dengan serbuk lyophilized berwarna
kuning cerah atau berwarna merah jambu cerah dan setelah
dilarutkan dengan pelarut akan berwarna orange merah atau
merah jambu cerah, berisi virus hidup yang telah dilemahkan (live
attenuated), strain SA 14-14-2. Vaksin ini tersedia dalam kemasan
5 (lima) dosis per vial dan dalam penggunaannya membutuhkan
pelarut atau pengencer.
Hal-hal penting yang perlu diingat adalah:
1. Vaksin harus disimpan dan didistribusikan pada suhu 2-8ºC dan
harus terlindung dari sinar matahari.
2. Vaksin JE rusak bila terkena paparan suhu beku. Jangan
menyimpan vaksin JE di dalam freezer.
3. Jumlah pelarut yang tersedia harus sama dengan jumlah vaksin
JE.

5.2. Penyiapan Vaksin dan Logistik


5.2.1. Distribusi Vaksin dan Logistik
Vaksin dan logistik didistribusikan secara berjenjang dari
pusat sampai ke tempat pelayanan imunisasi. Tenaga
- 45 -

kesehatan atau tim imunisasi akan menerima vaksin JE dan


pelarutnya dari puskesmas terdekat.
ADS 0,5 ml, ADS 5 ml, safety box, kapas, formulir
pencatatan, perlengkapan anafilaktik, kantong plastik untuk
limbah tidak tajam dan logistik lainnya yang tidak memerlukan
cold chain dapat didistribusikan ke petugas sebelum
pelaksanaan kegiatan imunisasi berdasarkan mikroplanning
yang telah dibuat. Vaksin JE dan pelarut didistribusikan ke pos
pelayanan pada hari yang sama dengan menggunakan vaccine
carrier standar. Sehari sebelum pelayanan, pelarut harus
disimpan dalam vaccine refrigerator pada suhu 2-8ºC. Pelarut
juga harus dimasukan ke dalam vaccine carrier agar memiliki
suhu yang sama dengan vaksin yaitu berkisar 2-8ºC pada saat
pelarutan.
Petugas Kesehatan pelaksana imunisasi bertanggung
jawab membawa vaccine carrier ke tempat pelayanan. Saat
sesi pelayanan sudah selesai setiap harinya, petugas
bertanggung jawab mengembalikan vaccine carrier dan safety
box yang telah terisi ke puskesmas.
- 46 -

Gambar 5.1 Hal-Hal yang Harus Dilakukan dalam Pelayanan


Imunisasi
- 47 -

Untuk pelayanan imunisasi JE, Puskesmas atau pos


pelayanan imunisasi lainnya harus membawa logistik sebagai
berikut:
1. Vaksin JE dan pelarut
2. ADS 0,5 ml dan ADS 5 ml
3. Safety Box
4. Kapas
5. Formulir pencatatan dan pelaporan cakupan dan logistik
6. Formulir laporan KIPI serius dan non serius
7. Anafilaktik kit
8. Kantong limbah medis untuk vial vaksin kosong
9. Pen marker atau gentian violet (pada saat imunisasi
tambahan massal)
10. APD, minimal masker bedah
11. Sarana cuci tangan/hand sanitizer
12. Alat pengukur suhu tubuh
13. Formulir skrining
14. Kantong atau tempat sampah untuk limbah non medis
lainnya

5.2.2. Pelarutan Vaksin


Dalam melarutkan vaksin harus memperhatikan hal- hal
sebagai berikut:
1. Pelarutan vaksin hanya boleh dilakukan ketika sasaran
- 48 -

sudah datang untuk imunisasi.


2. Pelarut harus berasal dari produsen yang sama dengan
vaksin yang digunakan.
3. Pastikan vaksin dan pelarutnya belum kadaluarsa dan VVM
vaksin dalam kondisi A atau B.
4. Vaksin dan pelarut harus mempunyai suhu yang sama (2-
8ºC) dan tidak pernah beku.
5. Melarutkan vaksin dengan dengan menggunakan ADS 5 ml.
Satu ADS 5 ml digunakan untuk melarutkan satu vial vaksin.
Jangan menyentuh jarum ADS dengan jari.
6. Memastikan seluruh cairan pelarut vaksin terhisap dalam
ADS kemudian masukan pelarut secara perlahan ke dalam
botol vaksin agar tidak terjadi gelembung/busa.
7. Kocok campuran vaksin dengan pelarut secara perlahan
sampai tercampur rata.
8. Vaksin yang sudah dilarutkan hanya boleh digunakan dalam
waktu 6 jam setelah itu harus dibuang. Oleh karena itu
hanya boleh melarutkan satu vial vaksin dan baru boleh
melarutkan vaksin lagi bila vaksin pada vial sebelumnya
sudah habis serta masih ada sasaran. Catat jam dan tanggal
pelarutan vaksin pada label vaksin.
9. Memperhatikan prosedur aseptik.

Vaksin yang sudah dilarutkan harus segera dibuang jika:


a. Ada kecurigaan vial vaksin yang terbuka telah
- 49 -

terkontaminasi seperti ada sesuatu yang kotor dalam vial,


vial jatuh ke tanah, penutup karet (rubber cap) tidak sengaja
tersentuh, dan kontak dengan air.
b. VVM C dan D
c. Waktu pelarutan sudah melebihi 6 jam

INGAT
LARUTKAN VAKSIN DENGAN PELARUT YANG BERASAL
DARI PRODUSEN YANG SAMA

5.2.3. Pemeliharaan Cold Chain


1. Vaksin JE harus disimpan pada suhu 2–8ºC, jangan simpan
vaksin di freezer.
2. Vaksin yang sudah dilarutkan harus segera digunakan.
3. Vaccine carrier ditempatkan terlindung dari sinar matahari
langsung.
4. Vaksin yang sudah dipakai ditempatkan pada spons/busa
penutup vaccine carrier, sedangkan yang belum dipakai
tetap disimpan didalam vaccine carrier.
5. Selalu perhatikan kondisi VVM setiap akan menggunakan
vaksin. Vaksin yang bisa digunakan adalah kondisi VVM A
atau B.
- 50 -

Gambar 5.2 Cara Meletakkan Vaksin yang Sudah Dipakai

INGAT
JANGAN MENYIMPAN BENDA SELAIN VAKSIN DI DALAM
VACCINE CARRIER

5.2.4. Pengembalian Vaksin Sisa


Hal yang perlu diperhatikan dalam pengembalian vaksin
sisa, antara lain:
1. Vaksin dan pelarut yang masih dalam keadaan tertutup
(belum digunakan) harus dikembalikan ke Puskesmas dan
diberi tanda “K” (Kembali) kemudian segera dimasukkan ke
dalam vaccine refrigerator. Pada hari pelayanan berikutnya,
vaksin tersebut harus digunakan segera dengan tetap
memperhatikan kondisi VVM dan tanggal kadaluarsa.
2. Semua vaksin JE yang digunakan pada pelayanan imunisasi
harus segera dicatat di dalam aplikasi pencatatan dan
- 51 -

pelaporan logistik imunisasi berbasis elektronik.


3. Semua sisa vial vaksin JE yang telah dilarutkan lebih dari
6 jam atau akhir sesi pelayanan di luar gedung harus
dimasukkan dalam plastik limbah medis (plastik kuning)
tersendiri untuk dimusnahkan sesuai dengan manajemen
limbah.
4. Jangan pernah menyimpan sisa vaksin JE yang telah
dilarutkan di dalam vaccine refrigerator untuk digunakan
pada hari pelayanan berikutnya.

5.3. Cara Pemberian Vaksin JE


Berikut adalah langkah - langkah dalam melakukan
penyuntikan vaksin JE:
1. Sebelum melakukan pemberian imunisasi petugas kesehatan
pelaksana imunisasi harus memastikan bahwa anak berada
dalam kondisi yang sehat dan dapat menerima imunisasi JE,
dengan melakukan wawancara ataupun observasi dengan
menggunakan pertanyaan berikut:
- 52 -

Tabel 5.1 Daftar Pertanyaan dalam Observasi Sebelum Pemberian


Imunisasi JE

Jawaban
No Pertanyaan
(Ya/Tidak)

1 Apakah anak demam dalam 24 jam terakhir?

2 Apakah anak menderita malnutrisi berat? (lihat grafik


tumbuh kembang anak)

3 Apakah sedang menderita penyakit infeksi akut (infeksi


bakteri atau virus, infeksi saluran pernafasan akut,
dll)?

4 Apakah sedang menderita infeksi telinga (sakit atau


keluar cairan dari telinga)?

5 Apakah anak menderita TB tetapi tidak diobati, sedang


batuk terus menerus dengan atau tanpa demam?

6 Apakah anak punya riwayat alergi (alergi obat


tertentu)?

7 Apakah anak mempunyai gejala penyakit kuning, hati,


jantung, ginjal?

8 Apakah anak sedang atau baru saja menerima terapi


imunosupresif (steroid)?

9 Apakah anak memiliki riwayat kejang selama 12 bulan


- 53 -

terakhir (epilepsi)?

10 Apakah anak dicurigai atau pernah mengalami


hipersensitif terhadap obat-obatan (gentamycin,
kanamycin)?

Jika semua jawaban ”Tidak” maka anak dapat diberikan


imunisasi JE, namun jika ada salah satu jawaban ”Ya” maka
anak tersebut dikonsulkan ke dokter.
Dokter yang akan memutuskan apakah anak tersebut dapat
diberikan imunisasi JE atau tidak.
2. Imunisasi dilakukan dengan menggunakan alat suntik sekali
pakai (Auto Disable Syringes/ADS) 0,5 ml. Penggunaan alat
suntik tersebut dimaksudkan untuk menghindari pemakaian
berulang jarum sehingga dapat mencegah penularan penyakit
HIV/AIDS, Hepatitis B dan C, dsb.
3. Pengambilan vaksin yang telah dilarutkan dilakukan dengan
cara memasukkan jarum ke dalam vial vaksin dan pastikan
ujung jarum selalu berada di bawah permukaan larutan vaksin
sehingga tidak ada udara yang masuk ke dalam spuit.
4. Tarik torak perlahan-lahan agar larutan vaksin masuk ke dalam
spuit dan keluarkan udara yang tersisa dengan cara mengetuk
alat suntik dan mendorong torak sampai pada skala 0,5 ml,
kemudian cabut jarum dari vial.
5. Bersihkan kulit tempat pemberian suntikan dengan kapas
- 54 -

kering sekali pakai atau kapas yang dibasahi dengan air


matang, tunggu hingga kering. Apabila lengan anak tampak
kotor diminta untuk dibersihkan terlebih dahulu.
6. Pada anak usia 9-12 bulan, penyuntikan dilakukan pada paha
lateral kanan sedangkan pada anak usia >12 bulan,
penyuntikan dilakukan pada area deltoid di lengan kanan atas.
Dosis pemberian adalah 0,5 ml diberikan secara subkutan
(sudut kemiringan penyuntikan 45 o).
7. Setelah vaksin disuntikkan, jarum ditarik keluar, kemudian ambil
kapas kering baru lalu ditekan pada bekas suntikan, jika ada
perdarahan kapas tetap ditekan pada lokasi suntikan hingga
darah berhenti.
8. Menerapkan prinsip penyuntikan yang aman.

Gambar 5.3 Gambar Posisi Anak pada Saat Penyuntikan

5.4. Manajemen Limbah


1. Setiap tempat pelayanan imunisasi harus disediakan safety box
- 55 -

dengan jumlah yang cukup berdasarkan jumlah sasaran.


2. Safety box harus diberi label dengan nama petugas, nama
tempat pelayanan dan tanggal pelayanan.
3. Semua ADS yang telah digunakan harus dimasukan ke dalam
safety box tanpa menutup kembali jarum suntik (recapping).
Jangan membuang sampah lainnya ke dalam safety box.
4. Setelah safety box terisi penuh (3/4), safety box harus
ditempatkan di tempat yang aman dengan kondisi tertutup.
5. Limbah lainnya seperti vial vaksin, ampul pelarut, kapas
dibuang ke dalam kantong plastik khusus limbah medis atau
kantong plastik biasa yang diberi tanda/ ditulis “limbah medis”.
6. Safety box dan limbah sementara yang telah terkumpul
tersebut dibawa ke tempat penyimpanan limbah sementara di
masing–masing fasilitas pelayanan kesehatan terkait untuk
dimusnahkan
- 56 -

BAB VI: PEMANTAUAN DAN PENANGGULANGAN KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI

6.1 Pengertian
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat KIPI adalah kejadian medik yang
terjadi setelah imunisasi, menjadi perhatian dan diduga berhubungan dengan imunisasi. Dapat
berupa gejala, tanda, hasil pemeriksaan laboratorium atau penyakit.
Meningkatnya jumlah pemberian imunisasi akan meningkatkan jumlah laporan KIPI. KIPI
yang tidak tertangani dengan baik dapat berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap
program imunisasi, sehingga dapat menurunkan cakupan imunisasi. Dalam menghadapi hal
tersebut penting dilakukan surveilans KIPI, untuk mengetahui apakah kejadian tersebut
berhubungan dengan vaksin yang diberikan ataukah terjadi secara kebetulan (koinsiden).
Surveilans KIPI tersebut sangat membantu program imunisasi, khususnya memperkuat keyakinan
masyarakat akan pentingnya imunisasi dan keamanan vaksin.
KIPI dikategorikan menjadi dua, yaitu KIPI serius dan non-serius, dengan penjelasan sebagai
berikut:
1. KIPI serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi yang menyebabkan rawat inap,
kecacatan, kematian, tuntutan medikolegal serta yang menimbulkan keresahan di masyarakat.
Dilaporkan oleh faskes ke Dinkes kab/kota/provinsi segera 1x24 jam setiap ada kejadian dan
secara berjenjang, dilengkapi investigasi oleh pengelola program imunisasi di Dinkes
kab/kota/provinsi untuk selanjutnya dilakukan kajian oleh Pokja/Komda PP-KIPI serta
rekomendasi oleh Komnas PP - KIPI. Hasil kajian dan rekomendasi berupa klasifikasi yaitu reaksi
yang berkaitan dengan produk vaksin dan defek kualitas vaksin, kekeliruan prosedur pemberian
imunisasi, reaksi kecemasan yang berlebihan (immunization stress related response/ISRR),
kejadian koinsiden, dugaan hubungan kausal kuat tetapi tidak cukup bukti (indeterminate), dan
hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan penyebabnya (unclassifiable)
2. KIPI non-serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi dan tidak menimbulkan risiko
potensial pada kesehatan penerima. Dilaporkan rutin melalui laman
(https://keamananvaksin.kemkes.go.id/)

6.2 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Vaksin JE yang Mungkin Terjadi dan Antisipasinya
Vaksin JE yang digunakan dalam program imunisasi termasuk vaksin yang aman dan efektif.
Secara umum, vaksin tidak menimbulkan reaksi simpang pada tubuh, atau apabila terjadi, hanya
menimbulkan reaksi ringan. Imunisasi memicu terbentuknya kekebalan tubuh dengan
menyebabkan sistem kekebalan tubuh penerima bereaksi terhadap antigen yang terkandung dalam
vaksin.

Tabel 6.1 Reaksi Yang Dapat Terjadi Setelah Imunisasi JE


- 57 -

Jenis Reaksi
Nyeri di lokasi suntikan

JE Live attenuated Demam


SA-14-14-2 Ruam menyebar pada kulit (jarang
terjadi dan umumnya tidak memerlukan
pengobatan)

Berdasarkan hasil Post Marketing Surveillance yang dilaksanakan di Bali tahun 2018 dengan
total 1.000 subjek, didapati reaksi yang umum terjadi berupa nyeri pada lokasi suntikan (21,1%),
bengkak ringan (14,1%) pada 30 menit setelah imunisasi, dan demam (0,8%). Tidak terdapat
laporan KIPI serius selama pelaksanaan surveilans aktif imunisasi JE di Bali
KIPI yang terkait kekeliruan prosedur dapat terjadi, untuk itu persiapan sistem pelayanan
imunisasi yang terdiri dari petugas pelaksana yang kompeten (memiliki pengetahuan cukup,
terampil dalam melaksanakan imunisasi dan memiliki sikap profesional sebagai tenaga kesehatan),
peralatan yang lengkap dan petunjuk teknis yang jelas, termasuk surat tugas, STR dan SIP harus
disiapkan dengan maksimal kepada semua jajaran yang masuk dalam sistem ini serta harus
memahami petunjuk teknis yang diberikan. KIPI yang tidak terkait dengan vaksin atau koinsiden
harus diwaspadai. Untuk itu penapisan status kesehatan anak yang akan diimunisasi harus
dilakukan seoptimal mungkin.

6.3 Mekanisme Pemantauan dan Penanggulangan KIPI


Pemantauan KIPI dimulai langsung setelah imunisasi. Setelah menerima imunisasi maka
anak dianjurkan menunggu di lokasi imunisasi sampai dengan 30 menit untuk dilakukan observasi
timbulnya KIPI. Jika tidak ada keluhan/gejala maka anak diperbolehkan pulang dan orang tua
diberikan edukasi tata laksana jika anak mengalami KIPI di rumah. Puskesmas/ fasyankes lainnya
dapat menerima laporan KIPI dari masyarakat/ orang tua/kader. Apabila ditemukan dugaan KIPI
serius maka harus segera direspon, diinvestigasi dan dilaporkan.
- 58 -

Gambar 6.1 Skema Penemuan dan Pelaporan KIPI Serius

Keterangan:
1. Orang tua, kader, masyarakat atau pihak lain yang mengetahui adanya KIPI melaporkan kepada
petugas penanggung jawab surveilans KIPI di fasilitas pelayanan kesehatan (puskesmas/
RS/fasyankes swasta).
2. Selanjutnya, setiap fasilitas pelayanan kesehatan akan mencatat laporan KIPI serius melalui
formulir pelaporan KIPI serius dan segera melaporkan KIPI serius melalui laman web Keamanan
Vaksin (https://keamananvaksin.kemkes.go.id/), secara otomatis dinas kesehatan kabupaten/kota
dan dinas kesehatan provinsi akan menerima laporan dari fasilitas pelayanan kesehatan pelapor.
3. Dinas kesehatan kabupaten/kota dan/atau dinas kesehatan provinsi segera melakukan
investigasi. Investigasi dapat dilakukan bekerja sama dengan Balai Besar POM provinsi dan
Pokja PP KIPI kabupaten/kota atau Komda PP KIPI provinsi (jika diperlukan). Hasil investigasi
dilaporkan melalui laman web Keamanan Vaksin, secara otomatis Pokja maupun Komda PP KIPI
akan menerima laporan tersebut.
4. Kajian KIPI serius oleh Pokja PP KIPI kabupaten/kota atau Komda PP KIPI Provinsi dilakukan
setelah investigasi selesai. Komnas PP KIPI akan melakukan tanggapan ketika sudah dilakukan
kajian oleh Pokja PP KIPI kabupaten/kota atau Komda PP KIPI provinsi.
Laporan KIPI non-serius akan didapatkan oleh puskesmas/ fasyankes lainnya dari orang
tua/pengantar anak pada saat pelayanan imunisasi di bulan berikutnya setelah pemberian imunisasi
JE. Pada saat skrining sebelum diberikan imunisasi maka petugas fasilitas pelayanan kesehatan
wajib menanyakan riwayat terjadinya KIPI pada anak setelah diberikan imunisasi JE. Apabila orang
tua/pengantar anak menyatakan bahwa terdapat gejala klinis setelah pemberian imunisasi JE
namun dapat diatasi di rumah dan tidak menimbulkan risiko potensial pada kesehatan anak, maka
hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kasus KIPI non-serius.
Pencatatan dan pelaporan KIPI serius dan non-serius dilakukan melalui laman web
Keamanan Vaksin (https://keamananvaksin.kemkes.go.id/) oleh petugas surveilans KIPI yang telah
- 59 -

ditunjuk oleh fasilitas kesehatan. Apabila terdapat kendala dalam pelaporan KIPI serius melalui
laman web Keamanan Vaksin (https://keamananvaksin.kemkes.go.id/), maka untuk sementara
dapat dilakukan secara manual menggunakan format standar yang dapat diunduh pada tautan
https://bit.ly/formkipi . Laporan segera dikirim secara berjenjang kepada Kementerian Kesehatan cq.
Direktorat Pengelolaan Imunisasi melalui email [email protected] dengan tembusan ke
Komnas PP-KIPI melalui email [email protected]. Namun pencatatan dan pelaporan KIPI
serius melalui laman web Keamanan Vaksin (https://keamananvaksin.kemkes.go.id/) tetap harus
dilakukan.
Pelaporan KIPI non-serius melalui laman web Keamanan Vaksin
(https://keamananvaksin.kemkes.go.id/) bisa dilakukan kapanpun sesuai dengan waktu
pelaksanaan imunisasi.

6.4 Pelacakan KIPI


Untuk mengetahui hubungan antara imunisasi dengan KIPI diperlukan pencatatan dan
pelaporan dengan keterangan rinci semua reaksi simpang yang timbul setelah pemberian imunisasi
yang merupakan kegiatan dari surveilans KIPI. Data yang diperoleh dipergunakan untuk
menganalisis kasus dan mengambil kesimpulan. Pelaporan KIPI dilaksanakan secara bertahap dan
berjenjang.
Pada keadaan KIPI yang menimbulkan perhatian berlebihan/ meresahkan masyarakat atau
laporan kasus yang masih membutuhkan kelengkapan data, maka laporan satu kasus KIPI dapat
dilaporkan beberapa kali pada masing-masing tingkat pelaporan sampai laporan memenuhi
kelengkapan tersebut.
Pelaporan KIPI serius dibuat secepatnya sehingga keputusan dapat dipakai untuk tindakan
penanggulangan. Kurun waktu pelaporan dapat mengacu pada tabel di bawah ini.

Tabel 6.2 Kurun Waktu Pelaporan Berdasarkan Jenjang Administrasi Penerima Laporan

Jenjang Administrasi Kurun waktu diterimanya laporan

Dinas kesehatan kabupaten


24 jam dari saat penemuan kasus
/kota/Pokja KIPI

Dinas kesehatan provinsi/ 24 - 72 jam dari saat penemuan


Komda PP-KIPI kasus

Direktorat Pengelolaan 24 jam - 7 hari dari saat penemuan


Imunisasi/ Komnas PP-KIPI kasus

Perbaikan mutu pelayanan diharapkan sebagai tindak lanjut dan umpan balik setelah
didapatkan kesimpulan penyebab berdasarkan hasil investigasi kasus KIPI.
- 60 -

Pelacakan kasus KIPI mengikuti standar prinsip pelacakan yang telah ditentukan, dengan
memperhatikan kaidah pelacakan kasus, vaksin, teknik, dan prosedur imunisasi, serta melakukan
perbaikan berdasarkan temuan yang didapat. Adapun langkah- langkah pelacakan KIPI sesuai
tabel berikut:

Tabel 6.3 Langkah-Langkah dalam Pelacakan KIPI

Langkah Tindakan

1. Pastikan ● Dapatkan catatan medik kasus (atau catatan


informasi klinis lain)
pada laporan ● Periksa informasi tentang kasus dari catatan
medik dan dokumen lain
● Isi setiap kelengkapan yang kurang dari formulir
laporan KIPI
● Tentukan informasi dari kasus lain yang
dibutuhkan untuk melengkapi pelacakan
2. Lacak dan Tentang kasus
Kumpulkan
data ● Kronologis imunisasi saat ini yang diduga
menimbulkan KIPI
● Riwayat medis sebelumnya, termasuk riwayat
imunisasi sebelumnya dengan reaksi yang sama
atau reaksi alergi yang lain
● Riwayat keluarga dengan kejadian yang sama
Tentang kejadian

● Kronologis, deskripsi klinis dan setiap hasil


laboratorium yang relevan dengan KIPI dan
penegakan diagnosis dari kejadian ikutan
● Tindakan yang didapatkan, apakah dirawat
inap/jalan dan bagaimana hasilnya
Tentang vaksin yang diduga menimbulkan KIPI:

● Tuliskan jenis vaksin dan no batch vaksin


● Prosedur pengiriman vaksin,
● Kondisi penyimpanan,
● Keadaan vaccine vial monitor,
● Catatan suhu pada lemari es (vaccine
refrigerator).
Tentang kondisi anak lainnya:

● Adakah anak lain yang mendapat imunisasi dari


vaksin dengan nomor batch yang sama dan
menimbulkan gejala yang sama
● Adakah anak lain yang tidak mendapat imunisasi
dan memiliki gejala yang sama
3. Menilai ● Penyimpanan vaksin (termasuk vial vaksin yang
pelayanan telah dibuka), distribusi dan pembuangan limbah
dengan ● Penyimpanan kit anafilaktik
menanyakan ● Pelatihan praktek imunisasi, supervisi dan
tentang pelaksana imunisasi
4. Mengamati ● Apakah pelayanan imunisasi dilakukan dalam
pelayanan jumlah lebih banyak dari yang direncanakan
● Bagaimana penyimpanan vaksin dalam lemari
pendingin
● Prosedur imunisasi (penyimpanan vaksin, teknik
- 61 -

Langkah Tindakan

pemberian imunisasi, pembuangan limbah)


5. Rumuskan ● Kemungkinan penyebab kejadian tersebut
klasifikasi ● Lakukan uji sterilitas dan toksisitas vaksin (jika
lapangan diperlukan)
6. Membuat ● Buat kesimpulan penyebab KIPI
kesimpulan ● Lengkapi formulir investigasi KIPI
Pelacakan ● Lakukan tindakan koreksi dan rekomendasikan
tindakan lebih lanjut

6.5 Pengenalan dan Penanganan Anafilaktik


Reaksi anafilaktik adalah reaksi hipersensitivitas sistemik yang berat, terjadi dengan cepat
(umumnya 5–30 menit sesudah pemberian imunisasi), serius, dan dapat menyebabkan kematian.
Reaksi anafilaktik menjadi risiko pada setiap pemberian imunisasi, obat, makanan dan lainnya, dan
merupakan KIPI serius yang harus mendapat penanganan segera. Jika reaksi tersebut cukup hebat
dapat menimbulkan syok yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan
pertolongan cepat dan tepat. Tata laksana mulai dari penegakan diagnosis sampai pada terapi
dilakukan di tempat kejadian, dan setelah tanda-tanda vital dari kasus stabil baru dipertimbangkan
untuk dirujuk ke rumah sakit terdekat. Setiap petugas pelaksana imunisasi harus sudah kompeten
dalam mengenali dan menangani reaksi anafilaktik.
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilaktik berbeda-beda sesuai dengan berat atau
ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang. Namun pada tingkat yang
berat berupa syok anafilaktik, gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan
respirasi.

Tabel 6.4 Gejala dan Tanda Syok Anafilaktik

Kriteria A. Satu gejala muncul tiba-tiba dalam menit sampai jam


melibatkan kulit, jaringan mukosa atau keduanya (misalnya bercak
merah diseluruh tubuh terasa gatal dan panas bibir lidah dan uvula
bengkak)

Ditambah sedikitnya satu dari keadaan berikut:


Tekanan darah menurun
Gejala pada pernapasan
mendadak atau timbulnya
(misalnya sesak nafas, mengi,
gejala disfungsi organ seperti
batuk, stridor, hipoksemia)
hipotonia (kolaps), inkontinensia

ATAU kriteria B. dua atau lebih dari keadaan berikut yang muncul
mendadak setelah pajanan alergen atau pemicu lainnya
- 62 -

Gejala muncul Gejala Tekanan darah Gejala


tiba-tiba dalam pada menurun pencernaan
hitungan menit pernapasan mendadak atau yang timbul
sampai jam, (misalnya timbulnya mendadak
melibatkan kulit, sesak gejala disfungsi (misalnya
jaringan mukosa, napas, organ seperti nyeri perut
atau keduanya batuk hypotonia sampai kram
(misalnya bercak hipoksemia kolaps muntah)
merah di seluruh ) inkontinensia
tubuh, terasa
gatal dan panas,
serta bibir, lidah,
dan uvula
bengkak)
ATAU kriteria C. Tekanan darah berkurang setelah pajanan alergen
yang diketahui untuk pasien(dalam hitungan menit sampai jam)
Bayi dan anak-anak tekanan darah sistolik rendah spesifik usia atau
pengurangan tekanan darah sistolik yang lebih besar dari 30%
Keterangan:
● Sebagai contoh: imunologik namun independen IgE atau non
imunologik (aktivasi sel mast langsung)
● Sebagai contoh: setelah sengatan serangga berkurangnya
tekanan darah dapat menjadi satu-satunya manifestasi
anafilaksis atau setelah imunoterapi alergen bercak merah gatal
diseluruh tubuh dapat menjadi manifestasi awal satu-satunya
dari anafilaksis
● Tekanan darah sistolik rendah pada anak diartikan sebagai
tekanan darah yang kurang dari 70 mmHg untuk usia 1 bulan - 1
tahun
● Frekuensi denyut jantung normal bervariasi dari 80 sampai 140
x / menit untuk usia 1-2 tahun

Penatalaksanaan terhadap syok anafilaktik harus dilakukan dengan tepat dan cepat. Untuk
itu, dalam setiap pelayanan harus disediakan perlengkapan anafilaktik yang lengkap, stetoskop,
tensimeter (dengan ukuran bayi dan anak) dan oximeter (bila tersedia). Isi dari perlengkapan
anafilaktik terdiri dari:
1. Epinefrin ampul 1: 1000
2. Deksametason ampul
3. Spuit 1 ml
4. Infus set
5. Larutan infus (NaCl 0.9% atau Dekstrose 5%)
6. Tabung oksigen
- 63 -

1. Miliki protokol gawat darurat tertulis


untuk mengenal syok anafilaktik
beserta tatalaksananya dan latih
tenaga kesehatan secara rutin.
Letakan protokol tersebut dalam
perlengkapan anafilaktik
2. Sedapat mungkin, jauhkan bayi dari
paparan faktor pemicu, yang
kemungkinan menjadi pemicu
gejala
3. Nilai jalan nafas, pernafasan, dan
sirkulasi (airway, breathing,
circulation), status mental, kulit, dan
berat badan
4. Pada saat yang sama, panggil
bantuan tim resusitasi (jika kejadian
di rumah sakit) atau tim medis
gawat darurat (jika kejadian di luar
rumah sakit/komunitas)
5. Posisikan bayi terlentang atau
setengah berbaring

6. Beri injeksi epinefrin (adrenalin)


secara intramuskular pada regio
tengah paha bagian depan dengan
dosis 0,01 mg/kg larutan 1:1000 (1
mg/ml), maksimum 0,3 mg. Catat
waktu pemberian dan dosis, ulangi
5–15 menit kemudian bila
diperlukan. Kebanyakan pasien
akan menunjukkan respon setelah
1–2 dosis.
7. Bila diperlukan, berikan oksigen
dengan kecepatan tinggi (8-10
L/menit) dengan masker khusus
bayi

8. Buat akses intravena menggunakan


jarum dan mulai pemberian
resusitasi cairan dengan larutan
NaCl 0,9% dengan dosis 10-20
ml/kg selama 5–10 menit
9. Pantau tekanan darah, denyut dan
fungsi jantung, status pernafasan,
serta kadar oksigen sesering
mungkin dalam interval yang teratur
- 64 -

10. Bila diperlukan, lakukan resusitasi


jantung paru dengan teknik
kompresi dada menggunakan satu
tangan dengan frekuensi 100 kali
per menit kedalaman sekitar 5 cm
secara kontinu dan berikan nafas
buatan dengan kecepatan 15–20
kali/menit

Sumber (dengan modifikasi): Simon, FER, & Sampson, HA. Anaphylaxis: Unique aspects of clinical diagnosis and
management in infants (birth to age 2 years). J Allergy Clin Immunol 2015(135):1125-31

Gambar 6.2 Langkah-langkah dalam Penanganan Syok Anafilaktik


- 71 -

BAB VII: MONITORING DAN EVALUASI

Monitoring dan evaluasi dalam pelaksanaan program imunisasi merupakan komponen


penting, dilakukan untuk memantau dan menilai apakah kegiatan telah dilaksanakan sesuai
dengan rencana dan Petunjuk Teknis ini. Melalui kegiatan ini dapat juga diketahui hasil yang
telah dicapai. Monitoring dan evaluasi dilakukan pada setiap tahapan kegiatan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan (termasuk di dalamnya adalah hasil cakupan) dan dampak.

7.1 Monitoring
Dalam kegiatan pemberian imunisasi Japanese Encephalitis (JE), monitoring ditujukan
untuk memantau proses pada setiap tahapan mulai dari pra pelaksanaan, saat pelaksanaan
dan pasca pelaksanaan imunisasi JE. Semakin cepat monitoring dilakukan, maka semakin
cepat tindak lanjut perbaikan dapat dilakukan.
Kegiatan monitoring harus dapat mengidentifikasi pencapaian hasil kegiatan seperti
cakupan di masing-masing wilayah, pemakaian logistik dan masalah-masalah yang dihadapi
saat pelaksanaan, termasuk identifikasi laporan diduga KIPI yang terjadi serta aspek
penyebabnya.

Monitoring berkaitan erat dengan pelaporan, karena melibatkan pengumpulan data,


pengolahan, analisis data dan penyajian hasil berupa informasi yang dibutuhkan dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan.

7.1.1. Pra Pelaksanaan


Kegiatan ini meliputi pemantauan terhadap:
a. Pendataan sasaran
b. Perencanaan mikro (microplanning)
c. Biaya operasional pelaksanaan
d. Kegiatan mobilisasi masyarakat
e. Kegiatan pelatihan
f. Pengelolaan rantai dingin vaksin
g. Proses distribusi vaksin dan logistik.
Melalui kegiatan monitoring ini dapat diidentifikasi apa saja kendala yang ditemui dan
harus segera ditindaklanjuti agar kendala tersebut tidak menghambat proses selanjutnya.
- 72 -

7.1.2. Pelaksanaan
Monitoring pelaksanaan imunisasi JE meliputi pemantauan terhadap:
a. Pengorganisasian
b. Pelaksanaan pemberian dan cakupan imunisasi
c. Pengelolaan limbah medis
d. Pemantauan surveilans KIPI
e. Pengelolaan rantai dingin vaksin
f. Mobilisasi masyarakat
Dalam melakukan monitoring pelaksanaan imunisasi JE, harus memperhatikan
pengelompokkan sasaran. Hal ini perlu dilakukan mengingat rentang usia sasaran yang
sangat besar yaitu usia 9 bulan sampai < 15 tahun pada saat imunisasi tambahan massal
dan usia 10 bulan dalam jadwal imunisasi rutin.

Pencatatan dan Pelaporan Cakupan Imunisasi


Pencatatan dan pelaporan pelayanan imunisasi JE baik pada saat imunisasi tambahan
massal dan introduksi di mana imunisasi JE masuk dalam imunisasi rutin dilakukan secara
elektronik dengan menggunakan Aplikasi Sehat IndonesiaKu (ASIK). Disamping ASIK,
instrumen yang digunakan untuk pencatatan imunisasi JE di Puskesmas adalah buku
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan register kohort bayi. Pencatatan harus dilakukan segera
pada saat pelayanan, tidak ditunda dan diisi secara lengkap sesuai kolom hasil pelayanan
imunisasi yang tersedia. Apabila buku KIA belum terdapat baris untuk imunisasi JE, maka
pencatatan hasil layanan imunisasi ditulis secara manual pada baris kosong di tabel
pencatatan imunisasi pada buku KIA tersebut.
Hasil pelayanan imunisasi JE di praktik bidan, praktek dokter, klinik, rumah sakit atau
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, data hasil pelayanan juga harus dicatat pada buku KIA
dan diisi secara lengkap. Data tersebut kemudian disampaikan ke puskesmas yang ada di
wilayah kerjanya dalam bentuk form pencatatan hasil pelayanan imunisasi rutin pada anak di
klinik/rumah sakit/fasilitas pelayanan swasta untuk dimasukan ke dalam register kohort bayi

Pencatatan vaksin dan logistik imunisasi


Pencatatan vaksin dan logistik imunisasi lainnya harus dilakukan oleh setiap fasilitas
pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan imunisasi JE menggunakan vaksin
program. Pencatatan yang dilakukan meliputi pencatatan vaksin menggunakan buku/kartu
yang berbeda untuk setiap jenisnya dan sebisa mungkin dilakukan terpisah untuk setiap
nomor batch. Sebagai contoh, jika vaksin JE yang tersedia terdiri dari 3 nomor batch maka
- 73 -

jumlah kartu stok yang digunakan untuk mencatat stok dan pemakaian vaksin JE adalah 3
kartu stok. Selain itu, juga diperlukan dokumen pencatatan berupa Vaccine Arrival Report
(VAR) dan Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) sebagai kelengkapan administrasi pada saat
melakukan penerimaan dan pengeluaran vaksin dan logistik imunisasi. Dokumen VAR dan
SBBK harus diisi lengkap sesuai kolom yang tersedia
Stok dan pemakaian vaksin dan logistik imunisasi di setiap tingkatan harus dilaporkan
secara berjenjang dengan sistem pelaporan secara elektronik.

Pencatatan dan Pelaporan Monitoring Suhu


Puskesmas dan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan pelayanan
imunisasi JE, serta dinas kesehatan kabupaten/kota dan dinas kesehatan provinsi harus
melakukan pencatatan hasil monitoring suhu. Instrumen yang digunakan untuk monitoring
suhu adalah grafik monitoring suhu yang dihasilkan dari pencatatan suhu yang dicatat
secara berkala dua kali sehari (pagi dan sore), termasuk hari libur dan sabtu-minggu. Setiap
satu vaccine refrigerator harus memiliki satu grafik pencatatan suhu. Pencatatan suhu dapat
dilakukan dengan menggunakan temperature logger dan juga teknologi Internet of Things
(IoT) yang terintegrasi dengan sistem pelaporan secara elektronik. Grafik monitoring suhu ini
dibuat untuk mencatat hasil pemantauan suhu selama satu bulan dan dilengkapi dengan
catatan atau keterangan kejadian penting/ alarm. Pada akhir bulan, petugas yang
bertanggung jawab melakukan monitoring suhu harus melaporkan hasilnya kepada pimpinan
masing-masing. Pimpinan melakukan evaluasi terhadap laporan monitoring suhu yang
disampaikan oleh petugas pengelola cold chain untuk selanjutnya menandatangani sebagai
bentuk persetujuan atas laporan monitoring suhu tersebut.

7.1.3. Pasca Pelaksanaan


Pada saat imunisasi tambahan massal, monitoring pasca pelaksanaan imunisasi JE
dapat menggunakan format penilaian cepat atau Rapid Convenience Assessment (RCA).
Pelaksanaan RCA ditujukan pada 20 rumah yang memiliki sasaran usia 9 bulan sampai
dengan <15 tahun.
Terdapat beberapa alat pemantauan untuk pelaksanaan Program imunisasi JE yang
harus dimiliki, diketahui dan dipahami oleh petugas imunisasi yaitu:
1. Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)
Alat pemantauan ini berfungsi untuk memonitor kecenderungan pencapaian
cakupan program dalam periode tertentu (kuantitas program) agar dapat segera dilakukan
- 74 -

koreksi dan tindak lanjut. Untuk dapat membuat PWS yang baik maka perlu melakukan
pengumpulan, pengolahan dan analisis data cakupan disetiap jenjang dari tiap-tiap unit
terkecil pelayanan (desa/kelurahan) hingga ke tingkat pusat. Analisa dilakukan secara
berkala dengan membandingkan capaian cakupan baik setiap bulan, setiap tiga bulan,
setiap enam bulan atau tahunan. Dengan ini pengelola program imunisasi puskesmas
dapat menilai kecenderungan dari cakupan imunisasi di wilayahnya, serta dapat
mengidentifikasi masalah yang menghambat pelayanan imunisasi. Analisa PWS dapat
dilihat/dilakukan dengan memanfaatkan dashboard ASIK atau dilakukan secara manual.
Ada beberapa komponen yang dapat dilihat dalam melakukan analisa, antara lain:
a. Cakupan Imunisasi JE
Cakupan imunisasi JE didapatkan dengan menghitung persentase antara jumlah
sasaran yang sudah mendapatkan imunisasi JE dibandingkan dengan jumlah target
sasaran.
Rumus menghitung cakupan imunisasi JE:

Keterangan:
a = Jumlah sasaran yang telah mendapatkan imunisasi JE dalam kurun waktu tertentu
(numerator)
b = Jumlah target sasaran dalam kurun waktu tertentu (denominator)

b. Pemanfaatan vaksin
Setiap dosis vaksin JE diupayakan dapat diberikan kepada setiap sasaran agar
vaksin dapat dimanfaatkan secara lebih efisien. Untuk menentukan tingkat pemanfaatan
vaksin JE dalam setiap kemasan perlu dihitung indeks pemakaian vaksin JE, yang dapat
dilihat melalui aplikasi Sistem pencatatan dan pelaporan secara elektronik.

Supervisi Suportif
Supervisi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkala dan
berkesinambungan terintegrasi dengan kegiatan supervisi imunisasi rutin meliputi
pemantauan, pembinaan, dan pemecahan masalah serta tindak lanjut. Kegiatan ini
dilakukan menggunakan form standar yang dapat diunduh melalui
https://linktr.ee/data_analytics_team untuk melihat apakah program atau kegiatan
- 75 -

dilaksanakan sesuai dengan standar dalam rangka menjamin tercapainya tujuan kegiatan
imunisasi. Selain Supervisi Suportif (SS), kegiatan monitoring lainnya yang perlu
dilaksanakan yaitu Data Quality Self-assessment (DQS), dan Effective Vaccine
Management (EVM). Kegiatan monitoring ini dilaksanakan terintegrasi dengan kegiatan
monitoring imunisasi rutin lainnya.

7.2 Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan imunisasi JE dilakukan pasca kegiatan selesai dilaksanakannya
imunisasi tambahan massal dan dilaksanakan secara reguler untuk mendukung imunisasi rutin.
Evaluasi dapat berupa survei cakupan atau analisa dampak dari pelaksanaan imunisasi dan
pertemuan.

7.2.1. Survei Cakupan


Survei cakupan dilakukan 2-3 bulan setelah imunisasi tambahan massal JE. Kegiatan
ini bertujuan untuk menilai cakupan imunisasi tambahan massal JE serta faktor yang
mempengaruhi dan dilakukan oleh tim independen. Hasil kegiatan survei cakupan dapat
digunakan untuk perbaikan pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE di daerah lain.

7.2.2. Evaluasi Dampak


1. Evaluasi dampak dilakukan dalam rangka mengetahui dampak kegiatan imunisasi JE
terhadap penurunan kasus JE. Evaluasi dapat dilakukan melalui kegiatan surveilans
kasus Acute Encephalitis Syndrome (AES) yang disebabkan oleh JE.
2. Post Introduction Evaluation (PIE), dilakukan untuk mengetahui dampak introduksi
imunisasi JE terhadap sistem kesehatan yang sedang berjalan. Kegiatan ini dengan
menggunakan tool yang telah dikembangkan oleh WHO dan dapat disesuaikan dengan
situasi negara. Pelaksanaan PIE dilakukan minimal enam bulan setelah pelaksanaan
kegiatan introduksi vaksin baru dan dilakukan oleh tim independen
7.2.3. Pertemuan Evaluasi
Pertemuan evaluasi bertujuan untuk mengidentifikasi pencapaian hasil kegiatan,
seperti cakupan masing-masing wilayah, pemanfaatan logistik dan hambatan pelaksanaan,
dukungan, dan hasil cakupannya. Pada pertemuan evaluasi imunisasi JE juga diidentifikasi
laporan diduga KIPI serta penyebabnya. Hasil pertemuan evaluasi dapat digunakan sebagai
acuan dalam menyusun rencana tindak lanjut penguatan imunisasi rutin.
- 76 -

Setelah imunisasi JE masuk dalam jadwal imunisasi rutin, pertemuan evaluasi ini bisa
dilakukan satu kali dalam setahun atau dalam periode waktu tertentu sesuai dengan
kebutuhan. Semakin cepat evaluasi dilakukan, maka semakin cepat ditemukan hambatan
dan tindak lanjut penyelesaian masalahnya, sehingga target cakupan dapat dicapai.

Anda mungkin juga menyukai