SK Dirjen P2P Juknis Imunisasi JE 2023
SK Dirjen P2P Juknis Imunisasi JE 2023
SK Dirjen P2P Juknis Imunisasi JE 2023
kasus positif JE, terbanyak di provinsi Bali (77 kasus), kedua di Provinsi Kalimantan Barat (28
kasus) disusul Provinsi D.I Yogyakarta (13 kasus) dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (12 kasus).
Sebanyak 85% kasus JE di Indonesia terdapat pada kelompok usia ≤15 tahun.
Mempertimbangkan tingginya kasus JE dan sesuai dengan kajian serta rekomendasi ITAGI,
maka dilakukan introduksi vaksin JE ke dalam program imunisasi yang diawali dengan imunisasi
tambahan massal imunisasi JE di daerah paling endemis di Indonesia pada tahun 2016, yaitu
provinsi Bali. Pemilihan Bali juga karena Bali memiliki sistem surveilans yang kuat, nilai strategis
sebagai daerah pariwisata dan minat masyarakat yang tinggi. Berdasarkan hasil survei cakupan
imunisasi JE di Provinsi Bali yang dilaksanakan oleh Universitas Udayana tahun 2018, cakupan
imunisasi tambahan massal imunisasi JE adalah 93,3% dan sumber informasi terbanyak berasal
dari iklan layanan masyarakat di televisi lokal, tenaga kesehatan dan kader.
Mempertimbangkan perkembangan kasus JE di Indonesia ini, pada tahun 2019 ITAGI
memberikan kajian dan rekomendasi tentang perluasan imunisasi JE di mana hasil pelaksanaan
kampanye (imunisasi tambahan massal) dan introduksi imunisasi JE di Bali dapat menjadi dasar
pertimbangan rencana strategi perluasan di provinsi lain yang memiliki endemisitas JE tinggi di
Indonesia.
1.2. Tujuan
Petunjuk teknis ini dibuat sebagai pedoman dalam melaksanakan imunisasi tambahan massal
dan introduksi pemberian Imunisasi Japanese Encephalitis (JE).
1.3. Sasaran
Petugas kesehatan di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas serta fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.
1.5. Kebijakan
Kebijakan dan strategi program imunisasi JE adalah sebagai berikut:
1. Pemberian imunisasi JE di Indonesia dilaksanakan secara bertahap di daerah endemis dan
-3-
didahului dengan pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE dengan target sasaran anak usia
9 bulan sampai dengan kurang dari 15 tahun.
2. Pelaksanaan introduksi imunisasi JE dilaksanakan setelah selesai imunisasi tambahan massal
dengan target sasaran anak usia 10 bulan dan terintegrasi dengan program imunisasi rutin
lainnya.
3. Pemberian imunisasi JE diberikan sebanyak 1 (satu) dosis dalam pelaksanaan imunisasi
tambahan massal dan introduksi pada daerah endemis JE.
4. Diperlukan kesiapan sumber daya daerah dalam pelaksanaan imunisasi JE.
5. Penyelenggaraan imunisasi dilaksanakan secara terpadu dengan lintas program dan lintas
sektoral dalam hal tenaga, sarana, dan dana mulai dari tingkat pusat sampai tingkat pelaksana.
6. Seluruh kebutuhan vaksin dibebankan pada APBN, sedangkan biaya operasional dibebankan
pada APBN, APBD dan sumber lainnya yang tidak mengikat.
-4-
pada kelompok usia ≤15 tahun dan 15% pada kelompok usia > 15
Gambaran Klinis JE
- 11 -
Komplikasi
Sekitar 16-30% kasus JE dapat menyebabkan kematian.
Kematian dapat terjadi beberapa hari setelah gejala prodromal
yang diikuti oleh fase fulminan, ataupun setelah terjadinya
koma. Kasus JE pada anak, khususnya bila usia kurang dari 10
tahun, memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi. Bila bertahan
hidup pun, anak sering kali mengalami gejala sisa berupa
- 13 -
2) Larvasidasi
3) Kelambu berinsektisida
4) Insektisida rumah tangga
2. Manajemen lingkungan
Upaya pencegahan dan pengendalian JE melalui
manajemen lingkungan dilakukan dengan cara menjaga
kebersihan lingkungan pemukiman dan peternakan.
Lingkungan pemukiman harus bebas dari habitat
perkembangbiakan dan tempat peristirahatan nyamuk penular
JE. Lingkungan peternakan harus dibersihkan setiap hari.
Seperti halnya di lingkungan pemukiman, di lingkungan
peternakan harus bebas dari habitat perkembangbiakan
nyamuk.
3. Surveilans
Surveilans JE penting dilakukan untuk mendapatkan
gambaran epidemiologi, besaran masalah penyakit dan
mengidentifikasi daerah risiko tinggi sehingga dapat menjadi
dasar perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan
pencegahan dan pengendalian JE.
Tujuan surveilans JE:
1) Menghasilkan informasi gambaran epidemiologi dan
besaran masalah JE sebagai dasar penanggulangan JE
yang cepat dan tepat sehingga dapat disusun perencanaan
yang sesuai dengan permasalahannya.
2) Mendapatkan data distribusi JE menurut orang, tempat,
- 15 -
dan waktu.
3) Mendapatkan gambaran tren JE
4) Melakukan pengamatan kewaspadaan dini (SKD KLB)
dalam rangka mencegah dan menanggulangi KLB secara
dini.
5) Penguatan laboratorium untuk sero diagnosis
6) Surveilans JE meliputi surveilans kasus dan surveilans
vektor yang dapat dilakukan secara pasif dan aktif.
4. Imunisasi
Strategi yang efektif untuk menurunkan angka insiden JE
adalah pemberian imunisasi. Imunisasi merupakan intervensi
kesehatan masyarakat yang dapat diandalkan. Perluasan
pemberian imunisasi JE akan dilaksanakan secara bertahap di
daerah endemis dengan mempertimbangkan perkembangan
surveilans JE dan ketersediaan vaksin JE.
Dosis Satu dosis (0,5 ml) berisi tidak kurang dari 5,4
log PFU virus hidup JE
B. Sasaran Pelaksanaan
Sasaran pelaksanaan kegiatan imunisasi tambahan massal JE adalah seluruh anak usia 9
bulan sampai dengan <15 tahun di daerah endemis JE. Imunisasi JE diberikan tanpa melihat
status imunisasi maupun riwayat penyakit JE sebelumnya.
2. Waktu Pelaksanaan
Imunisasi tambahan massal JE dilaksanakan selama dua bulan penuh, termasuk
sweeping. Kegiatan sweeping dilakukan untuk menjangkau sasaran yang belum diberikan
imunisasi karena sakit, sedang bepergian, orang tua sibuk, tidak mengetahui mengenai
adanya imunisasi tambahan massal JE maupun alasan lainnya.
3. Mekanisme Pelaksanaan
Target cakupan imunisasi tambahan massal JE adalah minimal 95%. Untuk itu
diperlukan strategi yang efektif agar berhasil mencapai target yang diharapkan.
- 22 -
Tahap kedua yaitu pemberian imunisasi untuk anak-anak di luar sekolah usia 9 bulan sampai
<15 tahun di pos-pos pelayanan imunisasi seperti Posyandu, Puskesmas, Puskesmas
pembantu, Rumah Sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Khusus kelompok anak dengan imunokompromais, pemberian Imunisasi JE
berkonsultasi dengan dokter spesialis anak yang merawat. Imunisasi dapat dilakukan dengan
menggunakan jenis vaksin JE inactivated di rumah sakit.
Alasan utama pemberian imunisasi di sekolah lebih dahulu yaitu lebih mudah dilakukan
karena sasaran sudah terkumpul dan anak yang belum mendapatkan imunisasi lebih mudah
diidentifikasi dan ditindaklanjuti. Setelah pemberian imunisasi di sekolah-sekolah selesai,
maka dilanjutkan dengan pemberian imunisasi di pos-pos pelayanan imunisasi lainnya.
Kegiatan ini harus dilaksanakan berdasarkan pada mikroplaning yang telah disusun
sebelumnya. Daftar nama anak-anak yang menjadi sasaran harus sudah tersedia sebelum
dilaksanakan pelayanan Imunisasi. Setiap petugas kesehatan maupun kader yang bertugas
harus memahami ZZZ tiap anak (usia 9 bulan sampai <15 tahun) yang datang ke pos
pelayanan imunisasi untuk mendapatkan imunisasi JE harus diberikan imunisasi JE,
meskipun anak tersebut tidak masuk ke dalam daftar sasaran yang telah disiapkan.
3.1.1. Mikroplaning
Dalam penyusunan mikroplaning dibutuhkan data-data sebagai berikut:
1. Jumlah sasaran, yaitu anak usia 9 bulan sampai <15 tahun yang ada di wilayah kerja
masing-masing.
2. Peta wilayah kerja, memuat informasi mengenai batas- batas wilayah, jumlah sasaran
per wilayah, kondisi geografis (wilayah yang mudah dijangkau dan sulit dijangkau), dan
lokasi pos atau fasilitas pelayanan imunisasi yang sudah ada seperti sekolah,
Posyandu, Rumah Sakit, Klinik Dokter Praktek Swasta, Klinik Bidan Praktek Swasta,
serta fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
3. Inventarisasi peralatan rantai dingin, jumlah dan kondisi cold chain (untuk penyimpanan
- 23 -
dan distribusi vaksin) yang ada saat ini, serta kekurangannya di tingkat Provinsi,
Kabupaten/Kota maupun Puskesmas, serta upaya mengatasi jika terjadi kekurangan.
4. Daftar satuan pendidikan berdasarkan nama, yang terdiri dari sekolah PAUD, Taman
Kanak-kanak, serta SD dan SMP atau yang sederajat, baik negeri/pemerintah maupun
swasta.
5. Jumlah pos pelayanan imunisasi, yaitu Posyandu, Puskesmas, Puskesmas pembantu,
Rumah Sakit, sekolah-sekolah, serta pos pelayanan imunisasi lainnya termasuk fasilitas
pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh LSM dan fasilitas pelayanan kesehatan swasta
lainnya.
6. Jumlah tenaga kesehatan pelaksana imunisasi yang tersedia, yang terdiri dari dokter,
bidan, dan perawat.
7. Jumlah tenaga pengawas/supervisor
8. Jumlah tenaga guru yang dibutuhkan sebagai pendamping pelaksanaan kegiatan
imunisasi tambahan massal JE di satuan pendidikan.
9. Jumlah tenaga kader yang tersedia
10. Jumlah tenaga medis yang tersedia untuk melakukan penanganan apabila terjadi kasus
KIPI, baik dokter pemerintah (PNS) maupun swasta.
11. Jumlah Rumah Sakit rujukan untuk menangani kasus KIPI.
12. Jumlah Logistik yang dibutuhkan
Mikroplaning disusun bersama oleh pengelola program imunisasi, penanggung jawab
kegiatan imunisasi tambahan massal JE beserta pengelola program lain yang terkait.
B. Pendataan Sasaran
Delapan minggu sebelum pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE dimulai,
pengelola imunisasi kabupaten/kota meminta data anak sekolah melalui Dinas Pendidikan
- 24 -
dan Kanwil Kementerian Agama sebagai data sasaran. Data ini kemudian dikonfirmasi oleh
petugas Puskesmas dengan mendatangi sekolah untuk mendapat daftar murid dan tanggal
lahir dari Kepala Sekolah/guru.
Petugas puskesmas dibantu oleh kader melakukan kunjungan rumah ke rumah untuk
mendata seluruh sasaran (usia 9 bulan s.d <15 tahun) khususnya anak-anak balita yang
belum masuk usia sekolah dan/atau anak-anak usia sekolah namun tidak bersekolah.
Selagi mendata, minta orang tua agar membawa anaknya untuk diberikan imunisasi JE
di pos-pos pelayanan imunisasi yang telah ditentukan. Bagi orang tua dari anak usia sekolah,
diingatkan agar anaknya datang ke sekolah pada hari di mana akan dilaksanakan pemberian
imunisasi JE. Kepada orang tua dari anak usia sekolah namun tidak bersekolah wajib
membawa anaknya ke pos pelayanan imunisasi terdekat yang telah ditentukan.
pelayanan imunisasi.
Apabila tidak tersedia pen marker dapat menggunakan gentian violet untuk memberikan
penandaan kepada anak-anak yang sudah mendapatkan imunisasi JE dalam kurun waktu
pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE.
Jumlah Jumlah
Jumlah Jumlah hari
Desa sasaran/ tenaga yg
Sasaran pelaksanaan
perhari dibutuhkan
Perlu diinventarisasi juga tenaga yang dapat membantu pelaksanaan di pos pelayanan
seperti:
a. Tenaga kesehatan (Perawat, Bidan, dan Dokter) yang ada di unit pelayanan swasta dan
RS untuk melakukan penyuntikan.
b. Tenaga kesehatan yang sedang tugas belajar di sekolah-sekolah (Akper, Akbid dan
Fakultas Kedokteran) untuk membantu pelayanan selain penyuntikan.
2. Bidang Logistik
a. Menyusun perhitungan kebutuhan vaksin dan logistik
b. Melakukan koordinasi dan pemantauan dalam rangka distribusi (pengambilan atau
pengiriman) vaksin JE
3. Bidang Pelaksanaan
a. Melaksanakan kegiatan advokasi dan sosialisasi pelaksanaan imunisasi tambahan massal
JE
b. Melaksanakan kegiatan pelatihan pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE
c. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lintas program dan lintas sektor
4. Bidang Komunikasi
a. Menyusun dan mengkaji materi Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) imunisasi
tambahan massal JE
b. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan media dalam rangka publikasi kegiatan
imunisasi tambahan massal JE
c. Melakukan dokumentasi kegiatan
5. Bidang Monitoring dan Evaluasi
a. Melakukan pemantauan pra-pelaksanaan, proses pelaksanaan dan pasca pelaksanaan
imunisasi tambahan massal JE
b. Mengumpulkan data, melakukan analisa hasil kegiatan imunisasi tambahan massal JE dan
membuat umpan balik.
3.1.4. Pembiayaan
Pembiayaan kegiatan imunisasi tambahan massal JE ini bersumber dari APBN (Pusat,
Dekonsentrasi dan DAK non fisik), APBD, pemanfaatan dana kapitasi dan sumber lain yang sah.
valid/akurat, serta sumber daya yang optimal termasuk sumber daya manusia yang
profesional.
1. Advokasi
Advokasi dilakukan kepada para penentu kebijakan dan pemangku kepentingan
guna mendapatkan dukungan dalam bentuk kebijakan dan sumber daya yang diperlukan.
Upaya advokasi dilakukan dalam rangka menggalang komitmen, dukungan yang konkrit
serta partisipasi aktif dari pemimpin daerah tingkat provinsi (gubernur), pemimpin daerah
tingkat kabupaten/kota (bupati/walikota) dan pimpinan serta anggota DPRD tingkat provinsi
dan kabupaten/kota, para pembuat keputusan dari lintas sektor terkait (seperti Dinas
Pendidikan, Kanwil Kementerian Agama, dll), tokoh masyarakat, tokoh agama, para ketua
organisasi profesi, organisasi masyarakat, para pimpinan media cetak dan elektronik lokal,
serta pihak lainnya seperti LSM kesehatan.
Pertemuan-pertemuan advokasi dalam rangka menggalang komitmen, dukungan
yang konkrit serta partisipasi aktif dari seluruh pihak terkait seperti pimpinan daerah,
sekolah, tokoh agama, tokoh masyarakat, ketua TP PKK, organisasi masyarakat seperti
Aisyiyah, Muslimat NU, Perdhaki, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Wanita Hindu
Dharma Indonesia (WHDI) dan organisasi keagamaan lainnya, dilaksanakan baik di
provinsi, kabupaten/kota maupun puskesmas. Pada saat pertemuan dijelaskan mengenai
tujuan dilaksanakannya imunisasi tambahan massal JE dan materi/informasi terkait
pelaksanaannya diberikan kepada seluruh peserta yang hadir. Kegiatan pertemuan ini
sebaiknya dilaksanakan sebelum dilakukan penyusunan mikroplaning.
2. Penggerakan Masyarakat:
Upaya penggerakan masyarakat dapat dilakukan melalui strategi komunikasi
interpersonal yang baik, didukung oleh media massa dan kegiatan lainnya yang bertujuan
mensosialisasikan imunisasi tambahan massal JE kepada masyarakat. Tujuan kegiatan
penggerakan masyarakat ini adalah agar masyarakat sadar dan mau membawa anaknya
yang berusia 9 bulan sampai <15 tahun ke pos pelayanan imunisasi selama masa
imunisasi tambahan massal untuk mendapatkan imunisasi JE.
Sasaran penggerakan masyarakat dalam rangka imunisasi tambahan massal JE
adalah para orang tua, sekolah-sekolah/madrasah/pesantren, kelompok-kelompok sosial
kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dharma Wanita, TP-PKK, PAUD,
organisasi keagamaan dan LSM-LSM setempat. Petugas kesehatan di setiap tingkatan
administrasi bertanggung jawab dalam memantau proses mobilisasi ini berjalan sesuai
yang diharapkan.
Dalam rangka melakukan upaya mobilisasi masyarakat yang efektif, maka harus
menentukan saluran resmi sebagai sumber informasi resmi. Selain itu, dapat
- 30 -
memanfaatkan media komunikasi lainnya, seperti (contoh: TV spot, banner, poster, radio
spot, dll) seperti:
a. Media sosial, misalnya Instagram, Facebook, WhatsApp, Twitter, Youtube, TikTok dan
media sosial lainnya.
b. Media cetak dan elektronik
c. Media Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
3. Kemitraan
Kemitraan dilaksanakan untuk mendukung pemberdayaan masyarakat dan advokasi
dalam rangka memelihara dan meningkatkan kesehatan. Kemitraan dilaksanakan dengan
prinsip kesamaan kepentingan, kejelasan tujuan, kesetaraan kedudukan, dan transparansi
di bidang kesehatan.
3.1.5.2. Pendukung dalam Pelaksanaan Promosi Kesehatan
1. Media cetak dan elektronik
Tentukan media apa yang akan digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
komunikasi mengenai kegiatan imunisasi tambahan massal JE. Contoh: TV spot, radio
spot, layanan SMS gateway, koran, buletin, dll.
2. Media Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) cetak
Media KIE cetak seperti leaflet, brosur, banner, poster, spanduk, dan lainnya
digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasi mengenai kegiatan imunisasi
tambahan massal JE kepada masyarakat/orang tua dan sekolah-sekolah. Untuk
penyampaian pesan kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama dapat dipilih media KIE
yang berisi informasi yang lebih mendetail, berisi tentang latar belakang, alasan, serta
tujuan dari pelaksanaan imunisasi tambahan massal JE ini.
3. Penggunaan megaphone/loudspeaker
Megaphone atau loudspeaker dapat digunakan untuk mensosialisasikan imunisasi
tambahan massal JE dan mengajak masyarakat untuk membawa anak-anak yang menjadi
kelompok sasaran agar datang ke pos pelayanan imunisasi dan mendapatkan imunisasi
tersebut.
Sosialisasi menggunakan megaphone/loudspeaker ini juga dapat dilakukan pada
siang atau sore hari setelah pelayanan di pos pelayanan imunisasi untuk menjaring
sasaran yang tidak datang ke pos pelayanan imunisasi pada pagi harinya.
4. Pertemuan sosialisasi Komite Sekolah dan kelas parenting/pengasuhan tentang imunisasi
JE dapat disampaikan pada saat pertemuan komite sekolah, penerimaan rapor atau
pertemuan penerimaan peserta didik baru, serta pada pertemuan kelas
parenting/pengasuhan.
5. Kegiatan Pencanangan
- 31 -
g. Ukur suhu tubuh anak dan pengantar saat tiba di tempat pelayanan.
h. Membantu pendaftaran anak yang datang ke tempat pelayanan imunisasi di buku register
i. Membantu pencatatan hasil imunisasi dan memberi tanda pada ujung bawah jari kelingking
kiri dengan gentian violet atau pen marker.
j. Mendampingi petugas kesehatan untuk menunggu 30 menit setelah pelayanan imunisasi
selesai.
k. Melaporkan kepada petugas kesehatan bila ditemukan kasus diduga KIPI.
l. Mengingatkan orang tua untuk melengkapi imunisasi rutin.
m. Pada akhir pelayanan mendata anak yang tidak datang imunisasi sesuai jadwal yang
ditentukan
n. Mencatat dan melaporkan hasil pendataan sasaran yang datang dan tidak datang ke tempat
pelayanan imunisasi kepada petugas.
Ketentuan ruang/tempat pelayanan imunisasi dan waktu pelaksanaan pada masa pandemi
diselenggarakan sesuai protokol kesehatan dengan mengacu pada Petunjuk Teknis Pelayanan
Imunisasi pada Masa Pandemi COVID-19.
- 34 -
2. Sasaran Pelaksanaan
Sasaran pelaksanaan kegiatan Introduksi imunisasi JE
adalah seluruh anak usia 10 bulan di daerah endemis JE.
3. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
a. Tempat Pelaksanaan
Pelayanan imunisasi dilakukan di pos-pos pelayanan
imunisasi yang telah ditentukan yaitu: Posyandu,
Puskesmas, Puskesmas pembantu, Rumah Sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Khusus kelompok anak dengan imunokompromais,
pemberian Imunisasi JE berkonsultasi dengan dokter
spesialis anak yang merawat. Imunisasi dapat dilakukan
dengan menggunakan jenis vaksin JE inactivated di rumah
sakit secara mandiri.
b. Waktu Pelaksanaan
Introduksi imunisasi JE dilaksanakan segera setelah
imunisasi tambahan massal JE.
c. Strategi Pelaksanaan
Diperlukan strategi yang efektif untuk mencapai
cakupan imunisasi yang tinggi dan merata. Seperti halnya
imunisasi rutin lainnya, kegiatan ini harus dilaksanakan
berdasarkan pada mikroplaning yang telah disusun
sebelumnya. Daftar anak-anak yang menjadi sasaran harus
sudah tersedia sebelum dilaksanakan pelayanan Imunisasi.
- 36 -
4.2 Mikroplaning
Dalam penyusunan mikroplaning dibutuhkan data-data
sebagai berikut:
1. Jumlah sasaran, yaitu bayi usia 0-11 bulan (Surviving Infant)
yang ada di wilayah kerja masing-masing.
2. Peta wilayah kerja, memuat informasi mengenai batas- batas
wilayah, jumlah sasaran per wilayah, kondisi geografis (wilayah
yang mudah dijangkau dan sulit dijangkau), dan lokasi pos atau
fasilitas pelayanan imunisasi yang sudah ada seperti
Posyandu, Rumah Sakit, Klinik Dokter Praktek Swasta, Klinik
Bidan Praktek Swasta, serta fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya.
3. Inventarisasi peralatan rantai dingin, jumlah dan kondisi cold
chain (untuk penyimpanan dan distribusi vaksin) yang ada saat
ini, serta kekurangannya di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota
maupun Puskesmas, serta upaya mengatasi jika terjadi
kekurangan.
4. Jumlah pos pelayanan imunisasi, yaitu Posyandu, Puskesmas,
Puskesmas pembantu, Rumah Sakit, serta pos pelayanan
imunisasi tambahan termasuk fasilitas pelayanan kesehatan
yang dimiliki oleh LSM dan fasilitas pelayanan kesehatan
swasta lainnya.
5. Jumlah tenaga kesehatan pelaksana imunisasi yang tersedia,
yang terdiri dari dokter, bidan, dan perawat.
6. Jumlah tenaga pengawas/supervisor
- 37 -
Surviving Infant (SI) = Jumlah lahir hidup – (AKB x Jumlah lahir hidup)
4.2.4. Pelatihan
Pelatihan dalam rangka introduksi imunisasi JE dapat
dilaksanakan bersamaan dengan pelatihan imunisasi tambahan
massal JE dikarenakan introduksi imunisasi JE merupakan
kelanjutan dari imunisasi tambahan massal sehingga materi
yang disampaikan tidak jauh berbeda. Dapat dilakukan
penyegaran apabila diperlukan.
4.3 Pembiayaan
Pembiayaan kegiatan Introduksi imunisasi JE ini bersumber
dari APBN (Pusat, Dekonsentrasi dan DAK non fisik), APBD,
pemanfaatan dana kapitasi, dan sumber lain yang sah.
12 bulan PCV3
Kelas 1 Campak-Rubella, DT
Kelas 2 Td
Kelas 6 HPV
INGAT
LARUTKAN VAKSIN DENGAN PELARUT YANG BERASAL
DARI PRODUSEN YANG SAMA
INGAT
JANGAN MENYIMPAN BENDA SELAIN VAKSIN DI DALAM
VACCINE CARRIER
Jawaban
No Pertanyaan
(Ya/Tidak)
terakhir (epilepsi)?
6.1 Pengertian
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat KIPI adalah kejadian medik yang
terjadi setelah imunisasi, menjadi perhatian dan diduga berhubungan dengan imunisasi. Dapat
berupa gejala, tanda, hasil pemeriksaan laboratorium atau penyakit.
Meningkatnya jumlah pemberian imunisasi akan meningkatkan jumlah laporan KIPI. KIPI
yang tidak tertangani dengan baik dapat berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap
program imunisasi, sehingga dapat menurunkan cakupan imunisasi. Dalam menghadapi hal
tersebut penting dilakukan surveilans KIPI, untuk mengetahui apakah kejadian tersebut
berhubungan dengan vaksin yang diberikan ataukah terjadi secara kebetulan (koinsiden).
Surveilans KIPI tersebut sangat membantu program imunisasi, khususnya memperkuat keyakinan
masyarakat akan pentingnya imunisasi dan keamanan vaksin.
KIPI dikategorikan menjadi dua, yaitu KIPI serius dan non-serius, dengan penjelasan sebagai
berikut:
1. KIPI serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi yang menyebabkan rawat inap,
kecacatan, kematian, tuntutan medikolegal serta yang menimbulkan keresahan di masyarakat.
Dilaporkan oleh faskes ke Dinkes kab/kota/provinsi segera 1x24 jam setiap ada kejadian dan
secara berjenjang, dilengkapi investigasi oleh pengelola program imunisasi di Dinkes
kab/kota/provinsi untuk selanjutnya dilakukan kajian oleh Pokja/Komda PP-KIPI serta
rekomendasi oleh Komnas PP - KIPI. Hasil kajian dan rekomendasi berupa klasifikasi yaitu reaksi
yang berkaitan dengan produk vaksin dan defek kualitas vaksin, kekeliruan prosedur pemberian
imunisasi, reaksi kecemasan yang berlebihan (immunization stress related response/ISRR),
kejadian koinsiden, dugaan hubungan kausal kuat tetapi tidak cukup bukti (indeterminate), dan
hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan penyebabnya (unclassifiable)
2. KIPI non-serius adalah setiap kejadian medik setelah imunisasi dan tidak menimbulkan risiko
potensial pada kesehatan penerima. Dilaporkan rutin melalui laman
(https://keamananvaksin.kemkes.go.id/)
6.2 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Vaksin JE yang Mungkin Terjadi dan Antisipasinya
Vaksin JE yang digunakan dalam program imunisasi termasuk vaksin yang aman dan efektif.
Secara umum, vaksin tidak menimbulkan reaksi simpang pada tubuh, atau apabila terjadi, hanya
menimbulkan reaksi ringan. Imunisasi memicu terbentuknya kekebalan tubuh dengan
menyebabkan sistem kekebalan tubuh penerima bereaksi terhadap antigen yang terkandung dalam
vaksin.
Jenis Reaksi
Nyeri di lokasi suntikan
Berdasarkan hasil Post Marketing Surveillance yang dilaksanakan di Bali tahun 2018 dengan
total 1.000 subjek, didapati reaksi yang umum terjadi berupa nyeri pada lokasi suntikan (21,1%),
bengkak ringan (14,1%) pada 30 menit setelah imunisasi, dan demam (0,8%). Tidak terdapat
laporan KIPI serius selama pelaksanaan surveilans aktif imunisasi JE di Bali
KIPI yang terkait kekeliruan prosedur dapat terjadi, untuk itu persiapan sistem pelayanan
imunisasi yang terdiri dari petugas pelaksana yang kompeten (memiliki pengetahuan cukup,
terampil dalam melaksanakan imunisasi dan memiliki sikap profesional sebagai tenaga kesehatan),
peralatan yang lengkap dan petunjuk teknis yang jelas, termasuk surat tugas, STR dan SIP harus
disiapkan dengan maksimal kepada semua jajaran yang masuk dalam sistem ini serta harus
memahami petunjuk teknis yang diberikan. KIPI yang tidak terkait dengan vaksin atau koinsiden
harus diwaspadai. Untuk itu penapisan status kesehatan anak yang akan diimunisasi harus
dilakukan seoptimal mungkin.
Keterangan:
1. Orang tua, kader, masyarakat atau pihak lain yang mengetahui adanya KIPI melaporkan kepada
petugas penanggung jawab surveilans KIPI di fasilitas pelayanan kesehatan (puskesmas/
RS/fasyankes swasta).
2. Selanjutnya, setiap fasilitas pelayanan kesehatan akan mencatat laporan KIPI serius melalui
formulir pelaporan KIPI serius dan segera melaporkan KIPI serius melalui laman web Keamanan
Vaksin (https://keamananvaksin.kemkes.go.id/), secara otomatis dinas kesehatan kabupaten/kota
dan dinas kesehatan provinsi akan menerima laporan dari fasilitas pelayanan kesehatan pelapor.
3. Dinas kesehatan kabupaten/kota dan/atau dinas kesehatan provinsi segera melakukan
investigasi. Investigasi dapat dilakukan bekerja sama dengan Balai Besar POM provinsi dan
Pokja PP KIPI kabupaten/kota atau Komda PP KIPI provinsi (jika diperlukan). Hasil investigasi
dilaporkan melalui laman web Keamanan Vaksin, secara otomatis Pokja maupun Komda PP KIPI
akan menerima laporan tersebut.
4. Kajian KIPI serius oleh Pokja PP KIPI kabupaten/kota atau Komda PP KIPI Provinsi dilakukan
setelah investigasi selesai. Komnas PP KIPI akan melakukan tanggapan ketika sudah dilakukan
kajian oleh Pokja PP KIPI kabupaten/kota atau Komda PP KIPI provinsi.
Laporan KIPI non-serius akan didapatkan oleh puskesmas/ fasyankes lainnya dari orang
tua/pengantar anak pada saat pelayanan imunisasi di bulan berikutnya setelah pemberian imunisasi
JE. Pada saat skrining sebelum diberikan imunisasi maka petugas fasilitas pelayanan kesehatan
wajib menanyakan riwayat terjadinya KIPI pada anak setelah diberikan imunisasi JE. Apabila orang
tua/pengantar anak menyatakan bahwa terdapat gejala klinis setelah pemberian imunisasi JE
namun dapat diatasi di rumah dan tidak menimbulkan risiko potensial pada kesehatan anak, maka
hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kasus KIPI non-serius.
Pencatatan dan pelaporan KIPI serius dan non-serius dilakukan melalui laman web
Keamanan Vaksin (https://keamananvaksin.kemkes.go.id/) oleh petugas surveilans KIPI yang telah
- 59 -
ditunjuk oleh fasilitas kesehatan. Apabila terdapat kendala dalam pelaporan KIPI serius melalui
laman web Keamanan Vaksin (https://keamananvaksin.kemkes.go.id/), maka untuk sementara
dapat dilakukan secara manual menggunakan format standar yang dapat diunduh pada tautan
https://bit.ly/formkipi . Laporan segera dikirim secara berjenjang kepada Kementerian Kesehatan cq.
Direktorat Pengelolaan Imunisasi melalui email [email protected] dengan tembusan ke
Komnas PP-KIPI melalui email [email protected]. Namun pencatatan dan pelaporan KIPI
serius melalui laman web Keamanan Vaksin (https://keamananvaksin.kemkes.go.id/) tetap harus
dilakukan.
Pelaporan KIPI non-serius melalui laman web Keamanan Vaksin
(https://keamananvaksin.kemkes.go.id/) bisa dilakukan kapanpun sesuai dengan waktu
pelaksanaan imunisasi.
Tabel 6.2 Kurun Waktu Pelaporan Berdasarkan Jenjang Administrasi Penerima Laporan
Perbaikan mutu pelayanan diharapkan sebagai tindak lanjut dan umpan balik setelah
didapatkan kesimpulan penyebab berdasarkan hasil investigasi kasus KIPI.
- 60 -
Pelacakan kasus KIPI mengikuti standar prinsip pelacakan yang telah ditentukan, dengan
memperhatikan kaidah pelacakan kasus, vaksin, teknik, dan prosedur imunisasi, serta melakukan
perbaikan berdasarkan temuan yang didapat. Adapun langkah- langkah pelacakan KIPI sesuai
tabel berikut:
Langkah Tindakan
Langkah Tindakan
ATAU kriteria B. dua atau lebih dari keadaan berikut yang muncul
mendadak setelah pajanan alergen atau pemicu lainnya
- 62 -
Penatalaksanaan terhadap syok anafilaktik harus dilakukan dengan tepat dan cepat. Untuk
itu, dalam setiap pelayanan harus disediakan perlengkapan anafilaktik yang lengkap, stetoskop,
tensimeter (dengan ukuran bayi dan anak) dan oximeter (bila tersedia). Isi dari perlengkapan
anafilaktik terdiri dari:
1. Epinefrin ampul 1: 1000
2. Deksametason ampul
3. Spuit 1 ml
4. Infus set
5. Larutan infus (NaCl 0.9% atau Dekstrose 5%)
6. Tabung oksigen
- 63 -
Sumber (dengan modifikasi): Simon, FER, & Sampson, HA. Anaphylaxis: Unique aspects of clinical diagnosis and
management in infants (birth to age 2 years). J Allergy Clin Immunol 2015(135):1125-31
7.1 Monitoring
Dalam kegiatan pemberian imunisasi Japanese Encephalitis (JE), monitoring ditujukan
untuk memantau proses pada setiap tahapan mulai dari pra pelaksanaan, saat pelaksanaan
dan pasca pelaksanaan imunisasi JE. Semakin cepat monitoring dilakukan, maka semakin
cepat tindak lanjut perbaikan dapat dilakukan.
Kegiatan monitoring harus dapat mengidentifikasi pencapaian hasil kegiatan seperti
cakupan di masing-masing wilayah, pemakaian logistik dan masalah-masalah yang dihadapi
saat pelaksanaan, termasuk identifikasi laporan diduga KIPI yang terjadi serta aspek
penyebabnya.
7.1.2. Pelaksanaan
Monitoring pelaksanaan imunisasi JE meliputi pemantauan terhadap:
a. Pengorganisasian
b. Pelaksanaan pemberian dan cakupan imunisasi
c. Pengelolaan limbah medis
d. Pemantauan surveilans KIPI
e. Pengelolaan rantai dingin vaksin
f. Mobilisasi masyarakat
Dalam melakukan monitoring pelaksanaan imunisasi JE, harus memperhatikan
pengelompokkan sasaran. Hal ini perlu dilakukan mengingat rentang usia sasaran yang
sangat besar yaitu usia 9 bulan sampai < 15 tahun pada saat imunisasi tambahan massal
dan usia 10 bulan dalam jadwal imunisasi rutin.
jumlah kartu stok yang digunakan untuk mencatat stok dan pemakaian vaksin JE adalah 3
kartu stok. Selain itu, juga diperlukan dokumen pencatatan berupa Vaccine Arrival Report
(VAR) dan Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) sebagai kelengkapan administrasi pada saat
melakukan penerimaan dan pengeluaran vaksin dan logistik imunisasi. Dokumen VAR dan
SBBK harus diisi lengkap sesuai kolom yang tersedia
Stok dan pemakaian vaksin dan logistik imunisasi di setiap tingkatan harus dilaporkan
secara berjenjang dengan sistem pelaporan secara elektronik.
koreksi dan tindak lanjut. Untuk dapat membuat PWS yang baik maka perlu melakukan
pengumpulan, pengolahan dan analisis data cakupan disetiap jenjang dari tiap-tiap unit
terkecil pelayanan (desa/kelurahan) hingga ke tingkat pusat. Analisa dilakukan secara
berkala dengan membandingkan capaian cakupan baik setiap bulan, setiap tiga bulan,
setiap enam bulan atau tahunan. Dengan ini pengelola program imunisasi puskesmas
dapat menilai kecenderungan dari cakupan imunisasi di wilayahnya, serta dapat
mengidentifikasi masalah yang menghambat pelayanan imunisasi. Analisa PWS dapat
dilihat/dilakukan dengan memanfaatkan dashboard ASIK atau dilakukan secara manual.
Ada beberapa komponen yang dapat dilihat dalam melakukan analisa, antara lain:
a. Cakupan Imunisasi JE
Cakupan imunisasi JE didapatkan dengan menghitung persentase antara jumlah
sasaran yang sudah mendapatkan imunisasi JE dibandingkan dengan jumlah target
sasaran.
Rumus menghitung cakupan imunisasi JE:
Keterangan:
a = Jumlah sasaran yang telah mendapatkan imunisasi JE dalam kurun waktu tertentu
(numerator)
b = Jumlah target sasaran dalam kurun waktu tertentu (denominator)
b. Pemanfaatan vaksin
Setiap dosis vaksin JE diupayakan dapat diberikan kepada setiap sasaran agar
vaksin dapat dimanfaatkan secara lebih efisien. Untuk menentukan tingkat pemanfaatan
vaksin JE dalam setiap kemasan perlu dihitung indeks pemakaian vaksin JE, yang dapat
dilihat melalui aplikasi Sistem pencatatan dan pelaporan secara elektronik.
Supervisi Suportif
Supervisi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkala dan
berkesinambungan terintegrasi dengan kegiatan supervisi imunisasi rutin meliputi
pemantauan, pembinaan, dan pemecahan masalah serta tindak lanjut. Kegiatan ini
dilakukan menggunakan form standar yang dapat diunduh melalui
https://linktr.ee/data_analytics_team untuk melihat apakah program atau kegiatan
- 75 -
dilaksanakan sesuai dengan standar dalam rangka menjamin tercapainya tujuan kegiatan
imunisasi. Selain Supervisi Suportif (SS), kegiatan monitoring lainnya yang perlu
dilaksanakan yaitu Data Quality Self-assessment (DQS), dan Effective Vaccine
Management (EVM). Kegiatan monitoring ini dilaksanakan terintegrasi dengan kegiatan
monitoring imunisasi rutin lainnya.
7.2 Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan imunisasi JE dilakukan pasca kegiatan selesai dilaksanakannya
imunisasi tambahan massal dan dilaksanakan secara reguler untuk mendukung imunisasi rutin.
Evaluasi dapat berupa survei cakupan atau analisa dampak dari pelaksanaan imunisasi dan
pertemuan.
Setelah imunisasi JE masuk dalam jadwal imunisasi rutin, pertemuan evaluasi ini bisa
dilakukan satu kali dalam setahun atau dalam periode waktu tertentu sesuai dengan
kebutuhan. Semakin cepat evaluasi dilakukan, maka semakin cepat ditemukan hambatan
dan tindak lanjut penyelesaian masalahnya, sehingga target cakupan dapat dicapai.