Semua Yang Kau Cinta Akan Pergi
Semua Yang Kau Cinta Akan Pergi
Semua Yang Kau Cinta Akan Pergi
T
elah begitu lama kota ini berdiri, menampung segala hiruk-pikuk manusia. Kota
yang selalu diagung-agungkan oleh banyak orang, dianggap surga bagi pendatang
baru. Banyak hal yang terjadi di kota ini, setiap sudutnya menyimpan kenangan
indah bagi setiap insan manusia yang telah menapakkan kakinya di kota ini. Tak peduli hari
libur maupun tanggal merah, segala hiruk-pikuk di kota ini akan terus berjalan.
Tetapi seperti yang sudah banyak disiarkan oleh televisi, tidak hanya indah tetapi kota ini
memiliki beribu sisi kelam di dalamnya. Jakarta, itulah namamu. Jakarta memaksa semua
orang di dalamnya untuk selalu kuat menghadapi kerasnya kota. Setiap hari Jakarta akan
selalu berkisah tentang segala hal, baik itu cerita sedih, bahagia, marah dan banyak hal
lainnya sesuai dengan perasaan setiap orang yang menetap di kota Jakarta.
Jakarta dan segala cerita di dalamnya. Wadah bagi jiwa yang sedang menunggu giliran
untuk melebur dengan tanah secara perlahan. Semua pejabat sangat mencintaimu, kekayaan
negara telah digunakan untuk mempercantik dirimu. Orang-orang telah jatuh cinta akan daya
tarik yang engkau punya, tapi tidak tahukah mereka betapa kelamnya engkau?
Aku adalah sepeda kuning yang dimiliki oleh seorang gadis remaja bernama Kanindya,
ibunya memberikanku kepada Kanin pada ulang tahunnya ketika ia genap berumur 15 tahun.
Kini berlalu sudah setahun sejak ulang tahun pemilikku yang ke-15 tahun, namun ia masih
setia menggunakanku, ia merawatku dan begitu menyayangiku. Kanin juga merupakan salah
seorang penghuni kota Jakarta yang setia, ia lahir dan tumbuh besar di kota itu. Tak pernah
terlintas di pikirannya untuk meninggalkan kota ini suatu saat nanti, baginya sudah begitu
banyak kenangan yang ia ukir di kota kelahirannya ini.
Libur sekolah sudah tiba, ini tandanya setiap hari Kanin akan mengendarai diriku
mengelilingi kota Jakarta dan pastinya hal yang sangat aku nantikan ialah berburu senja
bersama Kanindya. Di saat ia pergi sekolah, aku sangat kesepian karena pukul 06.45 WIB ia
sudah berangkat dengan diantar oleh ayahnya dan akan tiba di rumah pukul 17.00 WIB.
Sudah pasti ia kelelahan dan memilih untuk beristirahat sehingga lupa akan diriku. Ketika
aku berharap hari Sabtu dan Minggu ketika libur sekolah, ia akan menyempatkan waktunya
untuk bermain denganku ternyata ia masih saja sibuk dengan tugas sekolahnya untuk
dikerjakan di rumah. Jadi, bila libur panjang seperti ini tentunya aku akan bersorak gembira
karena Kanin lepas dari tugas sekolahnya dan akan bermain bersamaku.
Seperti yang sudah aku harapkan, pada hari pertama libur sekolah ini Kanin
memandikanku. Akhirnya ia sadar betapa berdebunya aku di dalam ruangan dengan pintu
sorong berwarna hitam itu. Setelah selesai memandikanku, tak berapa lama setelahnya Kanin
berpamitan dengan orangtuanya, sore ini Kanin mengendaraiku dan kembali mengajakku
mengelilingi kota kelahirannya itu. Sore yang teduh, kami terus menyusuri kota Jakarta
mengitari alun-alun kota, melewati setiap pedagang dan insan manusia yang berlalu lalang.
Ada wajah bahagia, muram, lelah dengan napas tersengal-sengal.
Tiba-tiba sang pemilikku berhenti di depan sebuah halte, terlihat halte tersebut penuh
dengan anak manusia yang berdesak-desakkan. Aku heran bercampur bingung, kira-kira
apakah yang menarik perhatian pemilikku ini sehingga ia memilih berhenti di tempat ini.
Sebelumnya jika kami mengelilingi Jakarta, seingatku tak pernah Kanin memilih untuk
beristirahat di halte jika lelah mengayuh pedal sepeda. Paling-paling kami akan berhenti di
kolong jembatan, lalu Kanin akan memberikan sedikit makanan dan minuman kepada anak-
anak jalanan di sekitar. Akhirnya, aku tersadar bahwa Kanin melayangkan pandangannya
kepada lelaki tinggi dengan jaket merah dan celana kargo berwarna hijau tentara atau orang
menyebutnya army. Lantas aku juga ikut mengarahkan pandanganku kepada lelaki itu,
ternyata lelaki itu sedang mencoba mengambil ponsel genggam milik seorang wanita yang
sedang menenteng belanjaannya. Tak ada yang memperhatikan aksi lelaki itu, semua sibuk
dengan dunia masing-masing. Kanin pun turun dari diriku, ia langsung menubrukkan dirinya
pada kerumunan sehingga tak sengaja mengenai dirinya dengan wanita dan lelaki berjaket
merah sehingga wanita yang menenteng belanjaan itu tersentak dan melihat ke arah Kanin
yang sedang berusaha meminta maaf pada orang di sekitar terutama kepada wanita dan lelaki
itu.
“Tidak apa. Sini berdiri di samping ibu, kamu juga pasti sedang nunggu bis ya.” ucap
wanita itu lembut
“Terimakasih ya, Bu. Engga saya hanya sedang menunggu teman saya karena kami ada
janji temu di sini, Bu.” balas Kanin dengan senyumnya, ia memilih berdiri di belakang wanita
itu yang artinya ia berdiri di depan lelaki yang aksi pencopetannya telah Kanin gagalkan.
Kanin melihat ke arah belakang dan menemukan lelaki itu yang menatapnya sengit,
terlihat di wajahnya yang memerah menahan emosi. Kanin yakin bahwa pria itu pasti sangat
kesal dengan dirinya, persetan dengan hal itu. Hal yang dilakukan lelaki itu sangat tercela,
jika ia memang membutuhkan uang tak perlu dengan mencopet. Karena pasti orang yang
dicopetnya juga membutuhkan barang yang dicopetnya itu.
Tak lama waktu berselang, bis berwarna biru tiba di depan orang-orang yang sudah
menunggu kedatangannya. Semua orang berbondong masuk ke dalamnya, hingga tersisa
Kanin dan lelaki itu. Sekali lagi sebelum berlalu, lelaki itu melayangkan penglihatannya
kepada Kanin sangat sengit, tersimpan amarah di dalam mata lelaki itu. Kanin membalasnya
dengan senyum yang terukir di wajahnya, lelaki itu tak peduli dengan senyuman Kanin dan
memilih untuk langsung berlalu dari halte itu.
Setelahnya, Kanin kembali lagi padaku dan menaiki diriku. Ku kira setelah insiden kecil
tadi kami akan melanjutkan menyusuri jalanan kota, tapi aku salah. Kanin memilih untuk
mengikuti lelaki tadi, ia mengendaraiku dengan perlahan agar lelaki itu tak sadar bahwa kami
sedang mengikuti dirinya. Entah apa yang sedang Kanin pikirkan sehingga ia memilih untuk
mengikuti lelaki itu. Setelah mengikuti lelaki itu selama kurang lebih 15 menit kami sampai
di sebuah warung yang dipenuhi oleh laki-laki yang sepertinya sepantaran dengan lelaki itu
atau ada juga yang lebih tua dan muda dari lelaki itu.
Sepertinya, warung ini adalah tempat tongkrongan lelaki itu. Para lelaki yang ada di
warung itu sepertinya juga suka melakukan aksi tercela seperti yang dilakukan lelaki itu tadi
di halte atau mungkin lebih parah daripada itu. Kami memperhatikan warung itu dari jarak
beberapa meter, setelahnya Kanin memutuskan untuk mengayuh diriku lagi. Ia membawaku
pergi dari sana, Kanin membawaku ke Taman Lembang dan sore ini kami menikmati senja di
tempat itu. Hingga saat matahari sudah mulai semakin turun dan tergantikan dengan gelapnya
malam, Kanin memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Aku merasa senang dengan hari ini,
ada secuil kejadian berkesan yang akan aku ingat, insiden lelaki berjaket merah dengan
celana hijau tuanya.
─── ׁ ⟆𑁍⟅ ۫ ───
Suatu malam pada pukul 19.00 tepat, Kanin memutuskan keluar dengan mengayuh diriku.
Ia lapar dan malas jika harus memasak malam-malam begini, kebetulan ibunya sedang
bertamu di rumah seorang teman SMP dulu, sedangkan pada waktu seperti itu, ayahnya
sedang menyiarkan berita. Ayah Kanin bekerja sebagai Penyiar Berita di sebuah saluran
televisi.
Kanin memutuskan untuk membeli nasi goreng di warung pinggir jalan, entah ini
keberuntungan atau kesialan tetapi malam ini di warung nasi goreng, Kanin kembali bertemu
dengan lelaki yang dijumpainya di halte bis tempo hari. Lagi dan lagi, setiap bertemu lelaki
ini selalu mengenakan setelan jaket merah dan celana hijaunya. Apakah lelaki ini tidak
pernah mandi dan mengganti pakaiannya? Atau memang pakaiannya hanya itu-itu saja? Tak
hanya setelan pakaiannya yang sama, hal yang dilakukan lelaki itu masih saja sama seperti di
halte. Malam ini ia berusaha untuk mengambil dompet seorang pria bertopi hitam yang ia
letakkan di sebelahnya, pria itu makan seorang diri sehingga tidak menyadari kedatangan
seorang lelaki lain dengan diam-diam berusaha menjangkau dompetnya. Melihat hal itu
Kanin langsung menarik lengan lelaki jaket merah itu, Kanin membawa lelaki itu keluar dari
warung. Kini kedua manusia itu sedang berdiri di depan diriku, tentu saja aku akan melihat
dengan jelas cerita malam ini.
“Heh, Jakarta emang sempit kali ya? Sampai aku harus bertemu kau terus, apa sih mau
mu?” lelaki itu mengepalkan tangannya dan menggeram
“Kamu kira aku sudi bertemu denganmu? Jijik tau! Bahkan dua kali aku ketemu sama
kamu, selalu saja menyaksikan perbuatan haram itu!” sergah Kinan yang tak kalah geramnya
“Emangnya orang seperti kau ini tau apa hah? Kalian beruntung lahir di keluarga berada,
bisa mencukupi segala kebutuhan bahkan keinginan kalian.” balas lelaki itu dengan
menunjuk-nunjuk wajah Kinan
“Kamu kan bisa cari kerjaan halal, ga harus nyopet dong!” kata Kinan dengan mendorong
dada lelaki itu, kesal telah ditunjuk-tunjuk.
“Halah omong kosong, kamu itu udah cukup bahagia dengan kehidupanmu. Jadi tak perlu
mengurusi urusan orang lain.” lelaki itu pergi meninggalkan Kanin dengan emosi yang
ditahannya.
Kanin terlihat berpikir sejenak lalu masuk kembali ke warung itu dan memesan satu porsi
nasi goreng lagi entah untuk siapa, setelah mendapatkan pesanannya dan membayar. Kanin
langsung mengayuh sepedanya dan menelusuri jalan yang aku yakini bukanlah jalan menuju
rumah. Ternyata Kanin mampir ke warung, tempat tongkrongan lelaki jaket merah itu.
Sesampainya di sana, Kanin memberanikan diri untuk melihat-lihat dari luar apakah ada
lelaki jaket merah itu. Saat mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, tiba-tiba ada
seorang pria yang mungkin usianya kisaran 30 tahun mendatangi kami.
Pria itu tersenyum sembari mengisap puntung rokoknya, “Cari siapa malam-malam
begini?”
“Maaf ganggu, Om. Kalau boleh tau, di sini ada laki-laki yang selalu pakai jaket merah
dan celana hijau bukan? Dia di mana ya, Om.” ucap Kanin was-was ia takut dengan
perawakan pria itu. Rambutnya yang gondrong, sekujur tubuhnya penuh dengan tato dan di
telinganya terdapat banyak anting.
“Tumben ada perempuan yang cari anak itu, kamu pacarnya?” balas pria itu dan
melemparkan puntung rokoknya dan memijaknya.
Mendengar hal itu tentu saja pemilikku langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat,
Kanin pun menceritakan pertemuannya dengan lelaki yang belum ia ketahui identitasnya,
Kanin berkata tadinya dia memang sangat kesal dengan lelaki itu tapi entah siapa yang
berbisik padanya, membuat hati dan pikirannya sejalan memaksanya mendatangi lelaki itu. Ia
menjadi merasa bersalah dan iba akan lelaki itu walau tetap sedikit kesal, sehingga memilih
untuk datang ke sini dengan niat meminta maaf dan mungkin memberikan nasi goreng tadi.
“Haduh, dunia ini keras apalagi Jakarta. Hanya orang keras juga yang bisa hidup di
Jakarta. Orang yang kamu cari itu namanya Putra, dia dari panti asuhan. Di panti dia tersiksa,
pemilik panti udah dapat uang dari pemerintah setempat malah uangnya digunakan untuk
kesenangan pribadi. Benar-benar jahanam kelakuannya. Makanya Putra mutusin buat kabur
dari panti dan ketemu sama orang-orang seperti kami ini. Oh iya, kenalin nama saya Bima.”
ucap pria itu dengan tenang tapi terkesan memilukan.
Kanin memandangi Bima yang memutuskan untuk duduk di kursi depan warung, “Kalian
semua yang ada di sini melakukan pekerjaan haram ya?”
“Itulah tuntutan hidup. Kamu benar, kami semua di sini melakukannya. Seperti yang Putra
lakukan di ceritamu tadi adalah makanan sehari-hari kami, bahkan kami melakukan yang
lebih berbahaya lagi. Mengedarkan narkoba contohnya.” Bima tersenyum getir
“Tak takut dengan polisi, Om? Kalau kalian tertangkap gimana?” bisik Kanin yang
kelihatannya takut Ketika mendengar kata narkoba.
“Ga usah ketakutan gitulah, saya hanya pengedar bukan pemakai. Tapi, ya wajar saja bila
kamu takut dengan saya, ya sudahlah. Kalau masalah takut tidak takutnya dengan polisi, ya
mau bagaimana lagi. Kalau ga gini, ntah bagaimana hidup saya. Saya punya keluarga yang
harus saya tanggung biaya hidupnya di kampung. Hanya dengan bekerja seperti inilah kami
bisa bertahan hidup.” Bima menatap Kanin seksama dan melanjutkan ucapannya, “Jika kamu
pikir Putra jahat, kamu salah besar. Dia memang datang kepada kami tapi tak pernah dia mau
mengikuti jejak kami. Dua kali ya kamu bertemu dengannya dan anehnya di mata kamu
kelihatannya dia sedang mencuri, tapi sebenarnya tidak. Dia bekerja secara halal, dia tidak
mencuri seperti yang kamu ceritakan walau berteman dengan kami.”
Kanin yang mendengar itu merasa bingung, lalu apa yang Putra lakukan tadi dan tempo
hari di halte jika tidak mencuri. Aku menatap pria di depannya lekat-lekat, apakah pria ini
berbohong? Tapi mengapa? Sedangkan Kanin sibuk dengan pikirannya sendiri, tak lama
waktu berselang lelaki yang dikatakan oleh Bima Bernama Putra itupun datang. Sepertinya ia
kaget melihat Kanin dan terlihat tatapan tak suka dari dirinya.
Putra menghampiri Bima dan menyalaminya, menatap sinis ke arah Karin yang masih
bingung akan segalanya. Seakan memikirkan apa maksud ucapan Bima.
“Sepertinya kamu disangka pencopet ya, Put. Tadi dia cerita ke abang tentang
pertemuannya dengan kamu.” ucap Bima yang diakhiri dengan tawa kecil
“Orang seperti dia ini memang tahunya menyimpulkan sendiri, Bang.” sindir Putra pada
Kanin
Terlihat sangat kesal, Kanin langsung membuka mulutnya untuk membalas ucapan Putra
tapi dipotong oleh Bima, “Eh nama kamu siapa? Dari tadi kita ngobrol, saya ga tahu
namamu.”
“Kanindya, panggil aja Kanin.” pemilikku memperkenalkan dirinya dan kemudian
melanjutkan untuk berbicara lagi karena perkataannya yang belum sempat ia lontarkan
dipotong oleh Bima, “Hey, Bang Putra yang terhormat! Bukannya aku mau menyimpulkan
sendiri, tapi kelakuanmu tempo hari dan beberapa jam yang lalu benar-benar menunjukkan
dirimu seperti PENCOPET!”
“Tak usah sok tahu lah. Aku bukan pencopet, malahan aku membantu orang tersebut.”
sergah Putra
“Anak muda yang baik hati, lebih baik kalian duduk. Saya pusing melihat kalian berdiri
seperti ini, cobalah tenang sedikit.” Bima melerai kedua anak remaja itu dan mereka
mengikuti saran Bima untuk duduk.
Putra menatap ke arah Kanin dan membuang nafas kasar, terlihat sekali ia sudah sangat
kesal dengan Kanin sejak pertemuan pertama mereka. Walau aku belum tahu bagaimana
kebenaran yang sesungguhnya, tapi terkadang aku sadar pemilikku ini terlalu peduli dan
terkadang terkesan mencampuri urusan orang lain. Hanya saja, aku tahu bahwa niatnya baik.
Kembali Putra membuka mulutnya, ia pasti akan menjelaskan pada Kanin, “Kanin, aku
tahu memang Jakarta ini keras dan hanya orang yang keras juga yang bisa hidup di Jakarta.
Saya bukan orang asli Jakarta, saya di antar ke tempat ini pada usia 7 tahun, tapi saya paham
dengan kerasnya kota ini.” Putra menatap lurus ke depan dengan matanya yang sendu dan
melanjutkan ucapannya, “aku dihampiri banyak masalah dan sakit yang berkelanjutan, hidup
sebatang kara tanpa seorangpun di sisiku ga membuat aku jadi orang jahat seperti yang kau
pikirkan itu.”
Kanin masih menatap lelaki itu lekat mengharapkan lanjutan ucapan Putra, “Aku bukan
pencopet. Pertama di halte, di sampingku ada seorang pencopet sebenarnya, seorang
pengamen yang menyanyi itu jika kau ingat. Sebelum kau datang, aku sudah menegur
pengamen itu dan mengambil ponsel wanita tersebut yang kemudian aku masukkan kembali
ke tasnya. Tapi saat kau datang dan menyenggol wanita itu, ponselnya hampir jatuh. Lalu,
kau langsung menyimpulkan aku mencopet. Kemudian kedua, di warung nasi goreng aku
tidak mencopet tapi pria itulah pencopetnya. Ia mengambil dompet bos tempatku bekerja di
saat pria itu sedang berbelanja di toko bosku. Tentu saja itu bukan miliknya, tapi bodohnya
kau menarikku sehingga pria itu sudah pergi karena dia sadar dengan kehadiranku. Terserah
kau mau percaya atau tidak.” jelas Putra, aku pun teringat bahwa di halte memang ada
pengamen saat itu.
“Kalau memang aku berbuat hal jahat seperti yang kau katakan, maka aku tidak akan
pantas mendapatkan kebaikan di dunia ini terutama di kota yang keras ini, Kanin. Kau tahu
Kanin, bagaiman bisa aku mengharapkan kebaikan di dunia ini jika aku saja tidak menjadi
orang yang menebarkan kebaikan? Karena sesungguhnya orang yang baik lahir daripada
mereka yang telah melakukan kebaikan terlebih dahulu. Dan percuma rasanya aku tidak
berbuat kebaikan karena kau harus tau bahwa semua yang kau cinta akan pergi maka dari itu
sebelum segala yang ku cinta akan pergi dan aku juga akan pergi, aku akan menunjukkan
cintaku melalui kebaikan yang akan selalu aku lakukan.” ucap Putra yang membuat Kanin
terdiam dan menatap ke bawah
Benar-benar tak disangka jikalau cerita yang sebenarnya begitu, aku menjadi merasa
bersalah telah berburuk sangka pada Putra, kurasa Kanin merasakan hal yang sama.
“Kamu ga bohong kan? Ucapanmu memang sangat serius, tapi aku bukan orang yang
mudah percaya dengan seseorang.” Kanin masih belum percaya sepenuhnya pada Putra,
tetapi Putra hanya mengatakan “Terserah mau percaya atau tidak semua orang punya
pilihan.”
“Kanin, kamu pasti ga percaya sama Putra karena melihat saya dan orang-orang di warung
ini ya? Tenang aja, Putra memang berteman dengan kami tapi Putra tak pernah mengikuti
pekerjaan kami malahan dia sering menasehati kami. Tapi ya mau bagaimana lagi, hanya ini
cara mudah untuk bertahan hidup. Sulit cari pekerjaan zaman sekarang.” Bima meyakinkan
Kanin dengan perkataannya.
“Lalu, kapan Om Bima mau berhenti? Ga mungkin selamanya kan Om? Seperti kata Bang
Putra, Om. Tunjukkan cintamu sebelum kamu pergi Om melalui kebaikan di hidup ini.”
perkataan Kanin membuat Bima tersenyum sedangkan Putra tertawa, “Sekarang kamu mirip
dengan Putra selalu mengunakkan kalimat ‘Semua yang Kau Cinta Akan Pergi’ jika
menasehatiku.”
Kini tiga orang itu duduk menatap ke langit ke arah bintang dan bulan yang bersinar
malam itu, aku senang dengan perjalananku hari ini. Aku mengetahui tentang kebaikan
melalui ucapan Putra, senang berkenalan dengan Putra dan Bima dan senang Kanin adalah
pemilikku, aku menjadi mengenal kebaikan. Aku yakin Kanin pasti sangat bersyukur karena
mendapat pelajaran indah hari ini.