MAKALAH Qawaid 10

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

QAWAID FIQIHIYAH

Tentang

RIBA

Disusun oleh

Kelompok 10:

Dinda Helvina Lubis : 2116050123

Dosen pengampu:

Ahmad wira M.Ag, Ph.D

PRODI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

2024 M / 1445 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah memberi kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayat-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ RIBA” dengan tepat waktu.

Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas bapak Ahmad wira M.Ag, Ph.D. pada
bidang Hukum Administrasi Negara. Tugas yang diberikan ini dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait bidang yang di ketahui penulis. Penulis juga mengucapkan kepadasemua
pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 28 april 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

BAB I ......................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ............................................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 5

C. Tujuan.......................................................................................................................... 5

BAB II........................................................................................................................................ 6

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6

A. Allah Telah menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan Riba ........................... 6

B. Setiap tambahan yang disyaratkan di dalam di dalam hutang piutang dan Hutang
yang di syarat kan kemanfaatan ............................................................................................. 8

1. Setiap tambahan yang disyaratkan di dalam di dalam hutang piutang .................... 8

2. Hutang yang di syarat kan kemanfaatan .................................................................. 9

C. Tidak ada jual beli dalam satu akad .......................................................................... 10

D. Gorol.......................................................................................................................... 12

BAB III .................................................................................................................................... 14

PENUTUP................................................................................................................................ 14

A. Kesimpulan................................................................................................................ 14

DAFTAR PUTAKA ................................................................................................................ 15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Riba dalam konteks qawaid fiqhiyyah adalah terkait dengan prinsip-prinsip hukum
Islam yang mengatur transaksi keuangan, khususnya dalam perbankan syariah. Riba
diharamkan dalam Islam karena dianggap merugikan dan bertentangan dengan prinsip-
prinsip keadilan ekonomi. Dalam penerapan qawaid fiqhiyyah, terdapat kaidah-kaidah yang
digunakan untuk menetapkan hukum terkait riba, seperti kaidah ‫ الٌهي يذل علً التحشين‬yang
menunjukkan keharaman riba berdasarkan larangan yang jelas dalam Al-Qur'an. Selain itu,
prinsip dasar perbankan syariah adalah meninggalkan transaksi yang mengandung unsur
keharaman seperti riba, sehingga qawaid fiqhiyyah digunakan untuk memastikan transaksi
perbankan syariah sesuai dengan ajaran Islam. Penerapan qawaid fiqhiyyah dalam kasus riba
dan perbankan syariah bertujuan untuk memastikan kehalalan dan keadilan dalam aktivitas
keuangan umat Islam.

Kehidupan manusia zaman dahulu memang terbilang jauh dari istilah modern,
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat pun masih terbilang sangat sederhana.
Masyarakat dahulu hidup dengan tanpa dibantu oleh mesin-mesin canggih yang
mendukung, menunjang, atau pun memudahkan kegiatan dan pekerjaan mereka.
Kegiatan dalam segala bidang, seperti belajar, bercocok tanam, jual beli, pinjam-
meminjam, menabung, dan lain sebagainya, masih dilakukan dengan cara manual yang
sangat sederhana. Belum ada bercocok tanam dengan alat canggih, juga belum ada
istilah belajar online, jual-beli online, termasuk pinjam-meminjam online, dan lain
sebagainya.

Di mana semua kegiatan serba online dan semua kegiatan yang


menggunakan mesin itu, membutuhkan alat elektronik modern yang belum ditemukan
ada pada zaman dahulu. Seiring dengan terus berkembangnya kehidupan manusia dari
zaman ke zaman, maka seluruh aspek kegiatan manusia juga mengalami
perkembang yang sangat signifikan. Salah satunya adalah kegiatan dalam bidang
ekonomi. Banyak aspek yang dapat disoroti dari perkembangan ekonomi, salahsatu di
antaranya adalah keberadaan institusi atau lembaga intermediasi keuangan yang disebut
dengan “bank”.

Dahulu tidak dikenal adanya istilah bank, namun saat ini, eksistensi bank cukup urgen
menjadi salah satu komponen dalam kegiatan ekonomi masyarakat dan bahkan tidak
bisa dipisahkan darinya.Meski demikian, keberadaan bank ini juga tidak bisa luput
dari unsur keagamaan. terlebih lagi, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
4
beragama, dan matoritas agamanya adalah agama Islam. Oleh karenanya, kegiatan
dalam perbankan juga harus disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Tidak
seharusnya masyarakat Muslim melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan
ajaran Islam atau yang bertentangan dengan penjelasan-penjelasan dari ayat-ayat Al-
Qur‟andan Hadis, termasuk juga di dalamnya kegiatan perbankan.

B. Rumusan Masalah

1 Jelaskan Allah Telah menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan Riba
2. Apa Setiap tambahan yang disyaratkan di dalam di dalam hutang piutang
3. Jelaskan Tidak ada jual beli dalam satu akad
4. Jelaska apa itu goror

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui allah mengharamkan riba

2. Mengetahui tambahan yang disyaratkan di dalam di dalam hutang piutang

3. Dapat mengetahui Tidak ada jual beli dalam satu akad

4. Dapat memahami apa itu goror

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Allah Telah menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan Riba

Kata riba(‫ )الشتا‬secara kebahasaan bermakna Ziyādah, yang memiliki arti


bertambah.Sedangkan makna riba secara istilah yaitu pengambilan nilai tambah 1
terhadap harta pokok dan atau modal dengan cara-cara yang tidak dibenarkan syariat (batil).

Sedangkan riba menurut pendapat para ulama yaitu:

1. Menurut Imam Assarakhsi dari madzhab Ḥanafīyyah ‫الشتا هى الفضل الخالي عي العىض‬
‫“الوششوط فً الثيع‬Riba adalah tambahan (dalam suatu transaksi) yang tidak
memiliki padanan sebagaimana syarat-syarat dalam suatu jual beli”
2. Menurut Imam al-Nawāwīdari Madzhab Syafi„i‫” “طلة الزيادج فً الوال تزيادج األجل‬Jika kita
perhatikan beberapa definisi riba yang dikemukakan oleh ulama di atas, maka kita
bisa menemukan persamaan dan perbedaan dari definisi-definisi terebut, yakni
imam Assarakhsi, imam Ahmad bin Hanbal dan imam al-Nawawi, sama-sama
mengungkapkan bahwa suatu perkara dikatakan riba apabila dalam perkara
tersebut mengandung tambahan dana dari dana pokok yang sebelumnya.
Sedangkan perbedaannya ialah terletak pada unsur waktu, jika imam
Assaraksi tidak mengungkapkan adanya unsur waktu dalam tambahan dana
tersebut, namun imam Ahmad bin Hanbal dan imam al-Nawawi menambahkan
adanya unsur waktu dalam tambahan dana tersebut. 2

Dengan demikian, dari beberapa definisi riba di atas, dapat penulis simpulkan
bahwa definisi riba ialah diambilnya suatu tambahan atas harta pokok ataupun modal

1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 469

2
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik(Jakarta: Gema Insani, 2007), 38-39.

6
yang terjadi dengan carabatil, yang disebabkan karena adanya unsur waktu (adanya
tambahan waktu atau perpanjangan waktu dari batas waktu telah ditentukan sebelumnya)3

Allah SWT mengharamkan secara tegar praktik riba. Allah SWT berfirman:

ّ ِ ‫ّٰللاُ ۡال َث ۡي َع َو َح َّش َم‬


‫الش ٰتىا‬ ‫" َوا َ َح َّل ه‬

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Al Baqarah: 275).

Kemudian Allah juga memerintahkan orang-orang beriman untuk menghentikan praktik riba.
Allah berfirman:

َ‫الش ٰ ٰٓتىا ا ِۡى ُك ٌۡت ُ ۡن ُّه ۡؤ ِهٌِ ۡيي‬ ‫" ٰٰۤيـاَيُّ َها الَّز ِۡييَ ٰا َهٌُىا اتَّقُىا ه‬Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
َ ‫ّٰللاَ َورَ ُس ۡوا َها تَ ِق‬
ّ ِ َ‫ً ِهي‬
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang beIum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman" (Al Baqarah 278).

Allah SWT mengancam akan memerangi orang-orang yang tidak menuruti perintah-Nya untuk
meninggalkan riba. Allah berfirman:

ۚ‫س ۡى ِله‬ ‫فَا ِۡى لَّ ۡن ت َۡفعَلُ ۡىا فَ ۡارًَُ ۡىا تِ َح ۡشب ِ ّهيَ ه‬
ُ ‫ّٰللاِ َو َس‬

"Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan RasulNya akan memerangimu." (QS Al Baqarah 279).

Atas ayat ini, Imam Al Qurthubi menjelaskan, ketika Imam Malik ditanya seseorang
yang mengatakan, "Istri saya tertalak jika ada yang masuk ke dalam rongga anak Adam lebih
buruk daripada khamr." Dia berkata," Pulanglah, aku cari dulu jawaban pertanyaanmu!
Keesokan harinya orang tersebut datang dan Imam Malik mengatakan hal serupa. Setelah
beberapa hari orang itu datang kembali dan imam Malik berkata, "Istrimu tertalak. Aku telah
mencari dalam seluruh ayat Alquran dan hadits Nabi tidak aku temukan yang paling buruk yang
masuk ke rongga anak Adam selain riba, karena Allah memberikan sanksi pelakunya dengan
berperang melawanNya.

3
12Dadan Ramdhani, dkk, Ekonomi Islam Akuntansi dan Perbankan Syariah (Filosofis dan Praktis di Indonesia dan Dunia)(Boyolali:
CV Markumi, 2019),

7
B. Setiap tambahan yang disyaratkan di dalam di dalam hutang piutang dan Hutang
yang di syarat kan kemanfaatan

1. Setiap tambahan yang disyaratkan di dalam di dalam hutang piutang

Tambahan ketika membayar utang adalah tidak wajib, namun tambahan itu adalah
suatu kesadaran dari seseorang yang berhutang, ia boleh menambahkan dari utang pokoknya
dengan syarat tambahan tersebut tidak diucapkan diawal akad, hal ini pernah dilakukan Nabi
dalam hadisnya:
“Telah menceritakan kepada kami Khallad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada
kami Mis'ar berkata, telah menceritakan kepada kami Muharib bin Ditsar dari Jabir bin
'Abdullah berkata, "Aku datang menemui Nabi saw., saat beliau berada di masjid -Mis'ar
berkata, "Menurutku Jabir berkata, 'Saat waktu dluha.'- Jabir bin 'Abdullah berkata, “Beliau
bersabda: “Shalatlah dua rakaat.” Ketika itu beliau mempunyai hutang kepadaku. Maka
beliau membayarnya dan memberi tambahan kepadaku” (HR. Bukhari)

Hadis di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW, mengembalikan hutangnya


dengan memberikan tambahan sebagai rasa ucapan syukur atau terimakasih kepada si
pemberi pinjaman.

Meskipun demikian, tidak boleh bagi pemberi pinjaman untuk mensyaratkan bahwa
ketika nanti mengembalikan utang maka harus diberi tambahan atau kelebihan. Kalau
memberi tambahan itu dilakukan dengan sukarela.4

Adapun kalau tambahan tersebut yang disyaratkan dalam akad, maka para ulama
sepakat bahwa itu hukumnya haram. Jika memberikan tambahan yang melebihi jumlah
hutangnya saat membayar hutang juga tidak diperbolehkan, hal itu bukan berarti juga
diperbolehkan memberikan hadiah dan sejenisnya sebelum hutangnya sendiri di bayar, hal itu
sama dengan suap yang jelas-jelas tidak dihalalkan.5

4
Iska, Sukri. Sistem Perbankan Sayriah di Indonesia dama Persperspektik Fikih Ekonomi , Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012.

5
Al-Imam Muhammad AsSyaukani, 1994: 657

8
2. Hutang yang di syarat kan kemanfaatan

Hutang yang disyaratkan kemanfaatan, dalam konteks Islam, dilarang karena


dianggap sebagai bentuk riba atau saling merugikan antara pihak yang memberi pinjaman dan
pihak yang menerima pinjaman. Dalam Islam, hutang piutang diperbolehkan, namun dengan
syarat-syarat yang jelas dan adab-adab yang harus diikuti. Syarat-syarat tersebut antara lain:
Dua orang yang berakad (pemberi hutang dan orang yang berhutang)
Syarat pemberi hutang antara lain ahli tabarru‟ (orang yang berbuat kebaikan), yakni

a. merdeka,
b. baligh,
c. berakal sehat, dan
d. rasyid (pandai serta dapat membedakan yang baik dan yang buruk)

Syarat orang yang berhutang, termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah al-
muamalah (kelayakan melakukan transaksi), yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat, Syarat
pemberi hutang antara lain ahli harta yang dihutangkan, harta yang dihutangkan berupa harta
yang ada padanannya, seperti uang, barang-barang yang ditakar, ditimbang

Syarat pemberi hutang antara lain ahli Harta yang dihutangkan Harta yang
dihutangkan diketahui kadarnya Sighat ijab kabul Ucapan antara dua pihak yang memberi
hutang dan orang yang berhutang

Dalam Islam, hutang piutang diperbolehkan dengan syarat-syarat tersebut, namun


hukum asal dari hutang piutang adalah mubah (boleh), namun hukum tersebut bisa berubah
sesuai situasi dan kondisi. Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan
orang yang memberikan hutang hukumnya sunnah sebab ia termasuk orang yang menolong.
Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, jika terkait dengan hal-hal yang melanggar
aturan syariat. Oleh karena itu, dalam Islam, hutang piutang harus dilakukan dengan syarat-
syarat yang jelas dan adab-adab yang harus diikuti untuk menghindari riba dan transaksi yang
merugikan salah satu pihak.

9
Semua syarat yang disyaratkan oleh pemberi utang kepada orang yang berutang
dalam utang piutang adalah hukum asalnya adalah haram baik tunai maupun non tunai.
Sebaliknya, syarat yang menguntungkan pihak yang berutang hukum asalnya adalah boleh.

Bila ada syarat yang menguntungkan pemberi utang, maka orang yang berutang
haram untuk menyetujuinya. Menyetujui syarat ini termasuk dalam kategori saling tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al
Maidah ayat 2

‫ٱۡل ۡث ِن َو ۡٱلعُ ۡذ ٰ َو ۚ ِى‬


ِ ۡ ًَ‫َوت َ َع َاوًُىاْ َعلًَ ۡٱل ِث ِ ّش َوٱلتَّ ۡق َى ٰي َو ََل تَ َع َاوًُىاْ َعل‬

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….

C. Tidak ada jual beli dalam satu akad

Tidak ada jual beli dalam satu akad adalah prinsip yang penting dalam Islam, yang
mengindikasikan bahwa dalam satu akad, tidak boleh terjadi transaksi jual beli yang bersifat
terpisah. Hal ini berarti bahwa dalam satu akad, tidak boleh ada unsur jual beli yang terpisah
atau terpecah menjadi dua transaksi yang berbeda. Prinsip ini menekankan bahwa setiap akad
harus jelas dan tidak boleh mengandung unsur yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah Islam, seperti riba atau transaksi yang merugikan salah satu pihak.6

Dalam Islam, akad jual beli adalah perjanjian yang diucapkan saat melakukan
transaksi. Ketahui jenis-jenis dan syarat sah akad jual-beli di sini Dalam Islam, segala
transaksi yang dilakukan oleh umat Muslim ada aturannya. Salah satu aturan yang harus
ditaati, yaitu mengenai akad jual beli. Jadi, sebelum melakukan transaksi, penjual dan
pembeli harus melakukan akad terlebih dahulu. Jika akad yang diucapkan sesuai dengan
syariat Islam, maka transaksinya sah. Namun sebaliknya, jika akad yang dilakukan tidak
sesuai aturan Islam, maka transaksi yang dilakukan tidak sah.

6
Ejournal.uinsaid.ac.id: Interpretasi Hadis Nabi Larangan Dua Akad dalam Satu Transaksi

10
Dalam prakteknya, ada beberapa jenis akad jual beli yang dilakukan. Lebih dari itu
ada syarat-syarat yang dipenuhi agar akad yang dilakukan sah. Selengkapnya, simak
penjelasan mengenai pengertian, jenis-jenis, dan syarat sah akad jual beli dalam artikel
berikut ini Akad jual beli adalah sistem yang diterapkan oleh bank syariah. Pahami rukun,
syarat, dan macam-macamnya agar transaksi Anda terjamin halal di sini.

Dalam Islam, aktivitas perdagangan yang dilakukan tanpa adanya akad, maka
kegiatan jual beli dianggap tidak sah. Dalam Islam, rukun akad jual beli adalah suatu hal
yang wajib terpenuhi sebelum Anda melakukan proses transaksi untuk menentukan tingkat
kehalalan transaksi. Penjual dan Pembeli Dalam akad, harus ada penjual dan pembeli agar
aktivitas perdagangan bisa dilakukan secara sah. Selain itu, akan lebih baik jika akad
dilakukan tatap muka secara langsung untuk mencegah rasa ketidakpuasan atau salah paham
yang bisa terjadi.

Pengucapan Akad Pengucapan akad berisikan tentang pernyataan bahwa penjual


menyetujui kesepakatan dari pembeli dan bersedia untuk memberikan barang yang dijual.
Selain rukun, setidaknya ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi akad jual beli dalam
Islam. Ketiga syarat tersebut antara lain. Keikhlasan Penjual dan Pembeli Dalam akad, semua
pihak yang terlibat baik penjual maupun pembeli harus ikhlas dalam melakukan transaksi.
Wajib hukumnya untuk menegaskan bahwa tidak ada pihak yang terpaksa dalam aktivitas
tersebut. Kalau ada salah satu pihak yang merasa tidak ikhlas, maka kegiatan jual beli dapat
dianggap tidak sah.

Penjual dan Pembeli Memenuhi Syarat Kegiatan jual beli hanya bisa terealisasikan
untuk orang yang telah memenuhi syarat sah menggunakan hartanya dalam akad. Beberapa
contoh syarat tersebut antara lain: Kegiatan jual beli wajib dilakukan oleh orang yang
memiliki akal. Orang yang telah terbebani syariat atau mukallaf. Bukan merupakan hamba
sahaya para saudagar dan telah merdeka atas keinginannya sendiri. Sudah cukup umur dan
mengerti perihal harta. Halal Dalam contoh akad jual beli, objek yang diperjualbelikan harus
bersifat halal dan tidak dilarang oleh agama Islam.7

7
Yatim Mandiri: Mengenal Akad Jual Beli: Syarat Sah dan Jenis-Jenisnya

11
Akad yang dilakukan dalam kegiatan ekonomi syariah terdiri dari berbagai macam.
Dalam Islam, jual beli yang tidak ada ditempat akad adalah tidak sah sebab tidak memenuhi
syarat-syarat yang diperlukan. Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada
ditempat adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan.8

Dalam Islam, keridhaan merupakan syarat terpenting dalam akad jual beli. Hal itu
karena dalil-dalil syar'i secara tegas menyebutkannya, bahkan dalam hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW. Keridhaan ini berarti bahwa penjual dan pembeli harus sama-sama ridha
atau ikhlas atas barang dan uang yang didapat oleh masing-masing pihak. Jika tidak ada akad
atau ijab qabul, maka jual beli tersebut din yatakan tidak sah.

Dalam Islam, syarat sahnya jual beli adalah adanya siqhataqad dan ijab qabul.
Menurut Sayyid Sabiq, dalam ijab qabul harus ada kesepakatan antara penjual dan pembeli,
dan harus saling ridha, jika tidak ada akad atau ijab qabul, maka jual beli tersebut din yatakan
tidak sah. Syarat-syarat lainnya antara lain adalah keikhlasan penjual dan pembeli, penjual
dan pembeli memenuhi syarat, objek akad harus halal, dan pengucapan akad harus jelas.9

Dengan demikian, prinsip "Tidak ada jual beli dalam satu akad" dalam Islam
didasarkan pada Al-Qur'an, hadis Nabi, serta penafsiran ulama-ulama terkemuka dalam
bidang fiqih, yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam menjalankan transaksi
keuangan yang sesuai dengan ajaran agama.10

D. Gorol

Riba tidak diperbolehkan baik sedikit maupun banyak, karena riba adalah praktik yang
diharamkan dalam Islam. Riba berbeda dengan gorol, yang diperbolehkan sedikit tapi tidak
banyak. Gorol adalah keuntungan tambahan yang diperoleh dari transaksi jual beli yang tidak

8
repo.iainlhokseumawe.ac.id: JUAL BELI DENGAN DUA HARGA DALAM SATU AKAD (TELA'AH AL-FIQHUL ISLAM WA
ADILLATUHU WAHBAH AZ-ZUHAILI) hlm 13

9
Ibid 15

10
Ibid 20

12
adil, sedangkan riba adalah tambahan yang diperoleh dari pinjaman uang atau utang secara
tidak sah menurut ajaran Islam.

Dalam Islam, riba dilarang karena dianggap merugikan salah satu pihak dan tidak sesuai
dengan prinsip keadilan ekonomi. Riba juga dilarang karena dapat menyebabkan
ketidakpastian dan ketidakadilan dalam transaksi.11

Gorol, sebaliknya, diperbolehkan sedikit tapi tidak banyak. Gorol adalah keuntungan
tambahan yang diperoleh dari transaksi jual beli yang tidak adil, namun jika keuntungan
tersebut tidak signifikan maka tidak dianggap sebagai riba.

Dalam prakteknya, riba dan gorol dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti jual beli
dengan dua harga, jual beli dengan syarat, atau jual beli dengan hadiah. Namun, dalam Islam,
semua bentuk riba dan gorol dilarang karena dianggap merugikan salah satu pihak dan tidak
sesuai dengan prinsip keadilan ekonomi.12

11
Repository.ar-raniry.ac.id: Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli hlm 23

12
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah: Study tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2007), hlm. 258.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada beberapa ayat Alquran yang menjelaskan tentang larangan memakan riba, salah
satunya terdapat dalam QS. Alī „Imrān: 130. Jika larangan riba dalam ayat tersebut ditelaah
dengan menggunakan salah satu kaidah uṣuliyah, yakni ‫الٌهي يذل علً التحشين‬, maka jelaslah
bahwa hukum memakan riba adalah haram.

Keharaman riba tidak hanya berdasarkan pada dalil Alquran dan qawaid uṣuliyahsaja,
tapi juga berdasarkan Hadis Nabi, ijma, dan qiyas. Oleh karenya, hukum memakan riba ini
sudah sangat jelas dan mutlak keharamannya. Sebagai umat Muslim yang taat untuk
meninggalkan larangan Allah, maka sudah selayaknya kita harus meninggalkan perbuatan

riba dalam transaksi apapun, termasuk dalam transaksi perbankan. Bank syari’ah hadir

dengan menawarkan berbagai macam akad sebagai solusi menghindari riba.

14
DAFTAR PUTAKA

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:


Pustaka Progressif, 1997), 469

Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik(Jakarta: Gema


Insani, 2007), 38-39.

12Dadan Ramdhani, dkk, Ekonomi Islam Akuntansi dan Perbankan Syariah (Filosofis
dan Praktis di Indonesia dan Dunia)(Boyolali: CV Markumi, 2019),

Iska, Sukri. Sistem Perbankan Sayriah di Indonesia dama Persperspektik Fikih Ekonomi ,
Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012.

Al-Imam Muhammad AsSyaukani, 1994: 657

Ejournal.uinsaid.ac.id: Interpretasi Hadis Nabi Larangan Dua Akad dalam Satu Transaksi

Yatim Mandiri: Mengenal Akad Jual Beli: Syarat Sah dan Jenis-Jenisnya

repo.iainlhokseumawe.ac.id: JUAL BELI DENGAN DUA HARGA DALAM SATU


AKAD (TELA'AH AL-FIQHUL ISLAM WA ADILLATUHU WAHBAH AZ-
ZUHAILI) hlm 13

Repository.ar-raniry.ac.id: Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli hlm 23

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari‟ah: Study tentang Teori Akad dalam Fiqh
Muamalah, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 258.

15

Anda mungkin juga menyukai