LP Pneumonia Fix

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

PNEUMONIA

DISUSUN OLEH

YOSEP KOPERTINO SESO

23203041

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS RUTENG
TAHUN 2024
LAPORAN PENDAHULUAN
PNEMOUNIA

1. Definisi Pnemounia
Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung-
kantung kemampuan menyerap oksigen menjadi kurang. Kekurangan oksigen membuat
sel-sel tubuh tidak bisa bekerja. Gara-gara inilah, selain penyebaran infeksi ke seluruh
tubuh, penderita pneumonia bisa meninggal (Misnadiarly, 2008).
Pneumonia adalah keradangan parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan
radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium,
menyebabkan sekumpulan gejala dan tanda khas biasanya dengan gambaran infiltrat
sampai konsolidasi pada foto rontgen dada. Gejala/tanda tersebut antara lain, demam,
sesak napas, batuk dengan dahak purulen kadang disertai darah dan nyeri dada (Syahrir,
2008).

2. Klasifikasi Pneumonia
Tiga klasifikasi pneumonia.
1.Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia).
b.Pneumonia nosokomial, (hospital-acquired pneumonia/nosocomial
pneumonia).
c. Pneumonia aspirasi.
d. Pneumonia pada penderita
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia Bakteri/Tipikal.
Dapat terjadi pada semua usia. Pneumonia bakterial sering diistilahkan
dengan pneumonia akibat kuman. Pneumonia jenis itu bisa menyerang siapa
saja, dari bayi hingga mereka yang telah lanjut usia. Para peminum alkohol,
pasien yang terkebelakang mental, pasien pascaoperasi, orang yang
menderita penyakit pernapasan lain atau infeksi virus adalah yang
mempunyai sistem kekebalan tubuh rendah dan menjadi sangat rentan
terhadap penyakit itu.
Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut,
dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan
merusak paru-paru. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-
paru, atau pun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-
paru (tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi
cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh
tubuh melalui peredaran darah. Bakteri Pneumokokus adalah kuman yang
paling umum sebagai penyebab pneumonia bakteri tersebut.
Gejalanya Biasanya pneumonia bakteri itu didahului dengan infeksi
saluran napas yang ringan satu minggu sebelumnya. Misalnya, karena
infeksi virus (flu). Infeksi virus pada saluran pernapasan dapat
mengakibatkan pneumonia disebabkan mukus (cairan/lendir) yang
mengandung pneumokokus dapat terisap masuk ke dalam paru-paru
(Soeparman, dkk, 1998, Hal 697). Beberapa bakteri mempunyai tendensi
menyerang seseorang yang peka, misalnya klebsiellapada penderita
alkoholik, staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
Pneumonia Atipikal. Disebabkan mycoplasma, legionella, dan chalamydia
(Soeparman, dkk, 1998, Hal 697).
b. Pneumonia Akibat virus.
Penyebab utama pneumonia virus adalah virus influenza (bedakan
dengan bakteri hemofilus influenza yang bukan penyebab penyakit
influenza, tetapi bisa menyebabkan pneumonia juga). Gejalanya Gejala awal
dari pneumonia akibat virus sama seperti gejala influenza, yaitu demam,
batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, dan kelemahan. Dalam 12 hingga 36
jam penderita menjadi sesak, batuk lebih parah, dan berlendir sedikit.
Terdapat panas tinggi disertai membirunya bibir. Tipe pneumonia itu bisa
ditumpangi dengan infeksi pneumonia karena bakteri. Hal itu yang disebut
dengan superinfeksi bakterial. Salah satu tanda terjadi superinfeksi bakterial
adalah keluarnya lendir yang kental dan berwarna hijau atau merah tua (S.
A. Price, 2005, Hal 804-814).
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus (percabangan
besar dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.
b. Pneumonia bronkopneumonia
Pneumonia yang ditandai bercak-bercak infeksi pada berbagai tempat di
paru. Bisa kanan maupun kiri yang disebabkan virus atau bakteri dan sering
terjadi pada bayi atau orang tua. Pada penderita pneumonia, kantong udara
paru-paru penuh dengan nanah dan cairan yang lain. Dengan demikian,
fungsi paru-paru, yaitu menyerap udara bersih (oksigen) dan mengeluarkan
udara kotor menjadi terganggu. Akibatnya, tubuh menderita kekurangan
oksigen dengan segala konsekuensinya, misalnya menjadi lebih mudah
terinfeksi oleh bakteri lain (super infeksi) dan sebagainya. Jika demikian
keadaannya, tentu tambah sukar penyembuhannya. Penyebab penyakit pada
kondisi demikian sudah beraneka macam dan bisa terjadi infeksi yang
seluruh tubuh. (S. A. Price, 2005, Hal 804-814).
3. Etiologi
a. Bakteri
Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi
sampai usia lanjut. Agen penyebab pneumonia di bagi menjadi organisme gram-
positif atau gramnegatif seperti : Steptococcus pneumoniae (pneumokokus),
Streptococcus piogenes, Staphylococcus aureus, Klebsiela pneumoniae,
Legionella dan lain-lain. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling
umum adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia
sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi,
bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang
terinfeksi pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah dan
denyut jantungnya meningkat cepat (Misnadiarly, 2008).
b. Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus.
Influenzae virus, Parainfluenzae virus, Respiratory, Syncytial adenovirus,
chicken-pox (cacar air), Rhinovirus, Sitomegalovirus, Virus herpes simpleks,
Virus insial pernapasan, hanta virus dan lain-lain. Virus yang tersering
menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV).Meskipun
virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada
balita gangguan ini bisa memicu pneumonia.Tetapi pada umumnya sebagian
besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat.Namun
bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat dan
kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).
c. Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan
penyakit pada manusia.Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus
maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya.Pneumonia yang
dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang
segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia muda.
Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati
(Misnadiarly, 2008).
d. Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia
pneumosistis.Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia
(PCP).Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang
prematur.Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai
beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari.Diagnosis pasti
ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau spesimen yang
berasal dari paru (Djojodibroto, 2009).
e. Fungi
Pneumonia fungi yang terjadi sering diakibatkan oleh adanya jamur Aspergilus,
Fikomisetes, Blastomises dermatitidis, histoplasma kapsulatum dan lain-lain.
f. Bahan Lain Non Infeksi
Selain disebabkan oleh infeksi, pneumonia juga dapat diakibatkan oleh
adanya agen non infeksi seperti aspirasi lipid, zat-zat kimia, polutan, allergen
dan radiasi.Selain itu juga dapat diakibatkan oleh konsumsi obat seperti
nitofurantoin, busulfan dan metotreksat.
4. Faktor Risiko
Faktor risiko pada pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian: (PDPI, 2003)
1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh
Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme,
azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur,
perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid,
pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi
berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis
2. Faktor eksogen adalah :
a. Pembedahan :
Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis
pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan
operasi abdomen bawah (5%).
b. Penggunaan antibiotik :
Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang
aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran
pencernaan.Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin
mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran
pencernaan.Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal
di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan
bakteri gram negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan
sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram
negatif di orofaring.
c. Peralatan terapi pernapasan
Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas
aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.
d. Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi
enteral
Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung
karena asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh
bakteri yang tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang
mempertahankan pH > 4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram
negatif aerobik di lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral
6,4 - 7,0.
e. Lingkungan rumah sakit
 Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur
 Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur,
seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll
 Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi

Faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita


(Depkes, 2004), diantaranya :
a. Faktor risiko yang terjadi pada balita
Salah satu faktor yang berpengaruh pada timbulnya pneumonia dan berat
ringannya penyakit adalah daya tahan tubuh balita. Daya tahan tubuh tersebut
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :
1) Status gizi
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya
pneumonia.Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik
seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan
kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi
suatu penyakit seperti pneumonia
2) Status imunisasi
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada
balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari
penyakit.Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka
diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada
balita (Depkes RI, 2004).Salah satu strategi pencegahan untuk mengurangi
kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian
imunisasi.Melalui imunisasi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan
dan kematian penyakit yang dapapat dicegah dengan imunisasi.
3) Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
Asi yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai bahan
makanan bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan infeksi,
karena dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus. Riwayat
pemberian ASI yang buruk menjadi salah satu faktor risiko yang dapat
meningkatkan kejadian pneumonia pada balita
4) Umur Anak
Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
pneumonia.Risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur
dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status
kerentanan anak di bawah 2 tahun belum sempurna dan lumen saluran napas
yang masih sempit.

b. Faktor Lingkungan
Lingkungan khususnya perumahan sangat berpengaruh pada peningkatan
resiko terjadinya pneumonia.Perumahan yang padat dan sempit, kotor dan tidak
mempunyai sarana air bersih menyebabkan balita sering berhubungan dengan
berbagai kuman penyakit menular dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang
berasal dari tempat yang kotor tersebut (Depkes RI, 2004), yang berpengaruh
diantaranya :
1. Ventilasi
Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan pengeluaran
udara kotor dari ruangan yang tertutup.Termasuk ventilasi adalah jendela
dan penghawaan dengan persyaratan minimal 10% dari luas lantai.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan naiknya kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan media untuk berkembangnya bakteri
terutama bakteri pathogen.
2. Polusi Udara
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya disebabkan
oleh polusi di dalam dapur.Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor
risiko terhadap kejadian pneumonia pada balita. Polusi udara di dalam
rumah juga dapat disebabkan oleh karena asap rokok, kompor gas, alat
pemanas ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak sempurna dari
kendaraan bermotor.

5. Manifestasi Klinis
Data Subjektif Data Objektif
a. Dispnea a. Demam
b. Takipnea (laju pernafasan >60 b. Membebat hemotoraks yang sakit
kali/menit). c. Hipoksemia
c. Nyeri dada pleuritik d. Bunyi pekak saat perkusi
d. Demam tinggi (suhu 39-40’C) e. Krakles
e. Menggigil f. Tidak ada bunyi napas pada bidang
f. Hemoptisis paru yang dakit
g. Batuk produktif dengan sputum g. Rongent dada mungkin
berbusa atau purulen menunjukkan infiltrat, konsolidasi,
atau opasifikasi
(Asih, Niluh., 2003)

Kelompok umur Criteria pneumonia Gejala klinis


Batuk bukan pneumonia Tidak ada napas cepat dan
tidak ada tarikan dinding
dada bagian bawah
pneumonia Adanya napas cepat dan tidak
2 bulan - < 5 tahun
ada tarikan dinding dada
bagian bawah kedalam
Pneumonia berat Adanya tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam
< 2 bulan Bukan pneumonia Tidak ada napas cepat dan
tidak ada tarikan dinding
dada bagian bawah kedalam
yang kuat
Pneumonia berat Adanya napas cepat dan
adanya tarikan dinding bawah
kedalam yang kuat
Sumber: Ditjen P2PL Depkes RI 2007.

TABEL 4. Tanda & Gejala Berdasarkan Jenis Pneumonia (Somantri, 2007)


JENIS PNEUMONIA FAKTOR RESIKO TANDA & GEJALA
Sindroma Tipikal  Sickle cell disease  Onset mendadak dingin,
 Hipogammaglobuline menggigil, demam (39-400C)
mia  Nyeri dada pleuritis
 Multiple myeloma  Batuk produktif, sputum hijau,
purulen, dan mungkin
mengandung bercak darah,
serta hidung kemerahan
 Retraksi interkostal,
penggunaan otot aksesorius,
dan bisa timbul sianosis
Sindrom Atipikal  Usia tua  Onset bertahap dalam 3-5 hari
 Flu  Malaise, nyeri kepala, nyeri
 Anak-anak tenggorokan
 Dewasa muda  Nyeri dada karena batuk
Aspirasi  Kondisi lemah karena  Anaerobic campuran, mulanya
konsumsi alkohol onset perlahan
 Perawatan (misalnya  Demam rendah dan batuk
infeksi nosokomial)  Produksi sputum; bau busuk
 Gangguan kesadaran  Foto dada jaringan interstitial
yang terkena tergantung
bagian yang terkena di paru-
parunya
 Infeksi gram negative atau
positif
 Gambaran klinik mungkin
sama dengan pneumonia
klasik
 Distress respirasi mendadak,
dispnea berat, sianosis, batuk,
dan diikuti tanda infeksi
sekunder
Hematogen  Kateter IV yang  Gejala pulmonal timbul
terinfeksi minimal disbanding gejala
 Endokarditis sepilkemia
 Drug abuse  Batuk non produktif dan nyeri
 Abses intra abdomen pleuritik sama dengan yang

 Pyelonefritis terjadi pada emboli paru-paru

 Empiema kandung
kemih

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):


1) Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin.Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini
dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi
oksigen hemoglobin.
2) Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3) Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
4) Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan ciri-ciri sebagai berikut:
Inspeksi
 Retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping
hidung.
 Distres pernapasan: retraksi dinding dada, Penggunaan otot tambahan yang
terlihat; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Hal ini
disebabkan oleh tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama
inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-
bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter
dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya,
ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura
yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir
dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan
anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan
pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang
paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant,
kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan
jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area
suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada
“head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya
distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara
abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung
memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas
atas dan keseluruhan.Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas
dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.
Palpasi
 Taktil fremitus masih ada
Perkusi
 Tidak ditemukan kelainan.
Auskultasi
 Ditemukan crackles sedang nyaring. Crackles adalah bunyi non musikal,
tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi
antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah, keras atau lemah,
jarang atau banyak, halus atau kasar. Crackles dihasilkan oleh gelembung-
gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang
tiba-tiba terbuka.
b. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkandiagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial
serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus
pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat
bilateralatau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia
sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun
dapat mengenai beberapa lobus.
Pemeriksaan radiologi dapat memberikan gambaran yang bervariasi, di
antaranya:
 Bercak konsolidasi merata pada bronkopneumonia
 Bercak konsolidasi satu lobus pada pneumonia lobaris
 Gambaran bronkopneumonia difua atau infiltrate interstitial pada pneumonia
staphylococcus
 Bercak infiltrate alveolar menunjukkan pneumonia yang disebabkan oleh \
bakteri, virus maupun mycoplasma
 Bercak infiltrate sirkular menunjukkan gambaran pneumonia pneumococcal
pada tahap awal
 Bercak infiltrasi difus menunjukkan adanya infeksi M. pneumonia
 Bercak konsolidasi lobus, plate like atelectasis,m nodular infiltration dan
hilar adenopathy juga menunjukkan adanya infeksi M. pneumonia
 Bercak reticulonodular infiltrate yang mengarah ke infiltrate alveolar
menunjukkan pneumonia P. carinii
 Hilar adenopathy menunjukkan adanya kecenderungan tuberculosis.
(Jadavji, dkk.1997)
c. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita
yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

a. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi


semua organisme yang ada.
b. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis organisme
khusus.
c. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas
berat penyakit dan membantu diagnosis keadaan.
d. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis
e. Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi
f. Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing.

d. Penegakkan diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al.,
2011):
 Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada
 Panas badan
 Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
 Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
 Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan).

7. Penatalaksanaan Pneumonia
a. Tindakan suportif (Setyoningrum,2006)
 Pemberian oksigen yang adekuat untuk mempertahankan PaO 2> 8 kPa
(SaO2< 90%) melalui kateter hidung atau masker. Jika penyakitnya berat
dan sarana tersedia, alat bantu nafas mungkin diperlukan terutama bila
terdapat tanda gagal nafas.
 Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Resusitasi cairan intravena
untuk memastikan stabilitas hemodinamik. Cairan rumatan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup. Jumlah cairan sesuai berat
badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. Pasien yang mengalami sesak yang
berat dapat dipuasakan, tetapi bila sesak sudah berkurang asupan oral dapat
segera diberikan. Pemberian asupan oral dapat diberikan bertahap melalui
NGT drip susu atau makanan cair. Dapat dibenarkan pemberian retriksi
cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema
otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone)
 Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan normal salin
untuk memperbaiki transpor mukosiliar.
 Koreksi kelainan elektrolit / metabolik yang terjadi misalnya hipoglikemia
dan asidosis metabolik.
 Mengatasi penyakit penyerta seperti kejang, demam, diare dan lainnya serta
komplikasi bila ada.
 Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas positif
kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis
mungkin diperlukan pada gagal napas.
 Fisioterapi dada dengan drainage postural, bronkoskopi & suction dapat
diberikan untuk membantu pasien mengeluarkan sekret di saluran
pernafasan. Dan hidrasi untuk mengencerkan sekresi sekret.
 Terapi antibiotika(Setyoningrum,2006)
Sesuai dengan kebijakan Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (P2ISPA), antibiotika yang dipakai untuk pengobatan
pneumonia adalah kotrimoksasol (480 mg dan 120 mg) dengan pemberian
selama 5 hari. Antibiotika yang dapat dipakai sebagai pengganti
kotrimoksasol ialah ampisilin, amoksisilin, dan prokain penisilin.
Kotrimoksasol adalah antibiotika yang diprioritaskan oleh WHO dengan
pertimbangan sebagai berikut :
 Resistensinya belum pernah dilaporkan.
 Harganya murah dan mudah didapat.
 Sangat mudah cara pemberiannya yaitu cukup dua kali sehari selama 5
hari (bila dibandingkan dengan antibiotika lain pemberiannya harus
empat kali sehari).
a. Golongan beta-laktam (Penisilin, Sefalosporin, Karbapenem dan monobaktam)
digunakan untuk terapi pneumonia karena bakteri seperti Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae dan Staphyloccocus aereus.
b. Golongan Sefalosporin digunakan untuk pneumonia berat, terutama bila
penyebabnya belum diketahui.
c. Golongan penisilin digunakan pada pneumonia ringan – sedang.
d. Ampisilin digunakan pada pneumonia karena Streptococcus dan Pneumococcus
dsb. (bakteri gram +)
e. Ampisilin dan Kloramfenikol digunakan pada pneumonia karena Hemofilus dsb.
(bakteri gram -)
f. Pada keadaan imunokompromais (gizi buruk, penyakit jantung bawaan,
gangguan neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka panjang,
fibrosis kistik dan infeksi HIV), pemberian antibiotik harus segera dimulai saat
tanda awal pneumonia didapatkan dengan pilihan antibiotik : sefalosporin
generasi 3. Dapat dipertimbangkan juga pemberian :
 Kotrimaksasol pada Pneumonia Pneumokistik Karinii
 Anti viral (Asiklovir, gansiklovir) pada pneumonia karena sitomegalovirus
 Anti jamur (amphotericin B, ketokenazol, flukonazol) pada pneumonia
karena jamur
g. British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan bahwa antibiotik secara
parental diberikan pada anak-anak dengan pneumonia berat / anak yang tidak
bisa menerima antibiotika oral
h. Pemberian antibiotik biasanya diberikan sesuai jenis infeksius pneumonia, jika
pada pneumonia selain bekteri maka pemberian antibiotik bertujuan untuk
mengurangi resiko infeksi bakteri sekunder.
i. Sedangkan untuk pengobatan simptomatik demam yang muncul dapat diberikan
parasetamol (500 mg), pemberian setiap 6 jam selama 2 hari, dengandosis :

 2 bulan - <6 bulan  tablet 500mg


 6 bulan - < 3 tahun  tablet 500mg

 3 tahun - < 5 tahun  tablet 500mg

Pengobatan Berdasarkan Jenis Pneumonia (Smeltzer, 2002)


JENIS NAMA OBAT
PNEUMONIA BAKTERIAL
Pneumonia streptokokus  Penisilin G IV
 Penisilin V PO (per oral)
 Terapi Antibiotik bergantian:
- Sefuroksim atau sefalosporin generasi ke-3
(sefotaksim, seftriakson, seftizoksim)
- Eritromisin
- Klindamisin
- Trimetoprim-sulfametoksazol (Bactrim)
Pneumonia stafilokokus  Nafcillin
 Metisilin
 Oksasilin
 Vankomisin untuk organism yang resistan
terhadap metisilin, atau pasien yang alergi
terhadap penisilin
Pneumonia klebsiella  .Gentamisin
 Tobramisin
 Sefalosporin generasi ke-3 (Sefotaksim,
seftizoksim, seftriakson)
Pneumonia pseudomonas  Piperasilin
 Tikarsilin dikombinasikan dengan gentamisin
atau ortobramisin
Haemophilus influenza  Ampisilin
 Amoksisilin
 Augmentin
 Sefaklor atau sefurosim
 Trimethoprim sulfametoksazol bagi pasien
yang alergi terhadap penisilin
PNEUMONIA ATIPIKAL
Penyakit Legionnaires  Erotromisin
 Rifampin
Pneumonia mikoplasma  Eritromisin
 Derivate tetrasiklin (Doxycycline)
Pneumonia virus  Amantadine
 Rimantadine
 Diobati secara simptomatis
 Tidak memberikan respon terhadap pngobatan
dengan antimicrobial yang ada saat ini
Pneumonia pneumosistis carinii  Tritoprim-sulfametoksazol
(PCP)  Dapsone
 Pentaimidin
Pneumonia fungi  Flusitoasin dengan ampoterisin B pada pasien
non-neutropenik
 Ketokonazol
 Lobektomi dari bola fungus
Pneumonia klamidia (Pneumonia  Doksisiklin
TWAR)  Eritromiin
 Klaritomisin
 Azitromisin
Tuberkulosis  Rifampin
 Streptomisin
 Etambutol
 Isoniazid (INH)
 Pirazinamid

b. Penatalaksanaan keperawatan (Muscari, 2005.)


a. Kaji adanya distres pernafasan dengan memantau tanda-tanda vital dan status
pernafasan
b. Beri obat sesuai indikasi :
 Antibiotik diindikasikan untuk pengobatan pneumonia bakteri.
 Antibiotik tidak digunakan untuk mengobati pneumonia virus, tetapi
mungkin dianjurkan untuk mengurangi resiko infeksi bakteri sekunder.
c. Tingkatkan oksigenasi yang adekuat dan pola nafas normal
d. Rekomendasikan vaksin pneumokokus untuk anak-anak usia 2 tahun dan anak
yang lebih besar yang berisiko terhadap pneumonia.
e. Berikan penyuluhan pada anak dan keluarga.
8. Komplikasi
Dalam Buku Saku Dasar Patologis Penyakit ( Corwin, 2009), komplikasi
pneumonia terdiri atas:
 Pembentukan abses
 Empiema (penyebaran infeksi ke dalam rongga pleura)
 Pneumotoraks
 Gagal napas
 Pengorganisasian eksudat menjadi jaringan parut fibrotic
 Efusi pleura
 Hipoksemia
 Pneumonia kronik
 Bronkaltasis
 Atelektasis (pengembangan paru yang tidak sempurna/bagian paru-paru yang
diserang tidak mengandung udara dan kolaps)
 Komplikasi sistemik (meningitis)
 Endokarditis
 Osteomielitis
 Hipotensi
 Delirium
 Asidosis metabolic
 Dehidrasi
 Bakterimia :merupakan komplikasi dari pneumonia pneumokokus yang paling
serius. Kejadian ini meningkatkan kemungkinan kematian secara bermakna.
Supurasi yang terkait dengan nekrosis likuefaktif alveolus menyebabkan
daerah paru yang rusak digantikan oleh nanah.
 Pneumonia bakteri nekrotikan: kelainan ini merupakan komplikasi yang jarang
terjadi, dicirikan oleh nekrosis paru sangat berat yang berkaitan dengan
penyakit progresif cepat dan angka kematian yang tinggi.

Komplikasi Berdasarkan Jenis Pneumonia (Smeltzer, 2002)


JENIS KOMPLIKASI
PNEUMONIA BAKTERIAL
Pneumonia streptokokus  Syok
 Efusi pleura
 Superinfeksi
 Perikarditis
 Otitis media
Pneumonia stafilokokus  Pneumotoraks/efusi pleural
 Abses paru
 Empiema
 Meningitis
Pneumonia klebsiella  Abses paru multiple dengan
pembentukan kista
 Empiema
 Perikarditis
 Efusi pleura.
Pneumonia pseudomonas  Mencakup peronggaan paru
 hemoragi dan infark paru
Haemophilus influenza  Abses paru
 Efusi pleura

PNEUMONIA ATIPIKAL
Penyakit Legionnaires  Hipotensi
 Syok
 Gagal ginjal akut
Pneumonia mikoplasma  Meningitis aseptic
 Menigoensefalitis
 Perikarditis
 Miokarditis
Pneumonia virus  Infeksi bacterial
 Superimposed
 Bronkopenia
Pneumonia pneumosistis carinii  Gagal nafas
(PCP)
Pneumonia klamidia (Pneumonia  Infeksi
TWAR)  ARDS
Tuberkulosis  ARDS

10. ASUHAN KEPERAWATAN


1). Pengkajian
a. Identitas
b. Riwayat Kesehatan :
1) Keluhan utama : batuk, pilek, demam, sesak napas, gelisah
2) Riwayat kesehatan sekarang (riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk
rumah sakit)
3) Riwayat kesehatan yang lalu (riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain
yang pernah diderita oleh pasien) : sesak napas, batuk lama, TBC, alergi
4) Riwayat kesehatan keluarga (riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain
yang pernah diderita oleh anggota keluarga yang lain baik bersifat genetik atau
tidak) : sesak napas, batuk lama, TBC, alergi
5) Riwayat imunisasi : BCG
6) Riwayat tumbuh kembang
c. Pemeriksaan persistem :
1) Keadaan umum : kesadaran, vital sign, status gizi (BB, TB)
2) Sistem persepsi sensori :
a) Sistem persyarafan : kesadaran, iritabel, kaku kuduk, kejang.
b) Sistem pernafasan : kusmaul, sianosis, pernapasan, cuping hidung, takipneu,
ronkhi, produksi secret meningkat
c) Sistem kardiovaskuler : takikardi, nyeri dada, nadi lemah dan cepat, kapilary
refill lambat, akral hangat/dingin, sianosis perifer
d) Sistem gastrointestinal : kadang diare
e) Sistem integumen : sianosis, bibir kering
f) Sistem perkemihan : bak 6 jam terakhir, oliguria/anuria
g) Sistem muskuloskeletal : tonus otot menurun, lemah secara umum
d. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan : kebiasaan bab di wc/sungai/kebun,
personal hygiene ?, sanitasi ? Keluarga perokok ?
2) Pola nutrisi dan metabolisme : anoreksia, mual, muntah, maknan teakhir yang
dimakan, alergi, baru saja ganti susu, salah makan, makan berlebihan efek samping
obat.
3) Pola eleminasi : bak terakhir, oliguria/anuri
4) Pola aktifitas dan latihan
5) Pola tidur dan istirahat : susah tidur
6) Pola kognitif dan perceptual
7) Pola toleransi dan koping stress
8) Pola nilai dan keyakinan
9) Pola hubungan dan peran
10) Pola seksual dan reproduksi
11) Pola persepsi diri dan konsep diri
Analisa Data dan Masalah

No Data Etiologi Masalah


Keperawatan
1 DO: dispnea, nafas cepat Bakteri, virus, jamur Ketidakefektifan
dan dangkal, pernafasan (inhalasi)  alveolus  Bersihan Jalan Nafas
cuping hidung, peradangan  ekstrapasasi b.d sekresi yang
bronkofoni, ronki basah cairan sirosa ke dalam tertahan
halus. RR: 35x/menit. alveoli  terbentuk eksudat
Gambaran multiple  produksi sputum
infiltrate paru sevelah meningkat  batuk tidak
kanan. efektif  ketidakefektifan
DS: pilek dan batuk jalan nafas
produktif dengan secret
tidak bisa dikeluarkan.
2 DO: tampak lemah, Bakteri, virus, jamur Gangguan
gelisah dan sianosis (inhalasi)  alveolus  Pertukaran Gas b.d
sekitar mulut dan perdangan  terbentuk perubahan membran
hidung, dipsnea, ronki eksudat dalam alveoli  O2 kapiler alveolar
basah halus, pernafasan ke vena alveolar kapiler
cuping hidung. terhambat  gangguan
DS: gelisah/rewel. pertukaran gas
3 DO: perut tampak Bakteri, virus, jamur Ketidakseimbangan
distended, hipertermi, S: (inhalasi)  alveolus  Nutrisi : Kurang dari
39,5o C. peradangan  eksutad Kebutuhan Tubuh
DS: rewel, tidak mau berlebih  bau dan kental b.d Diare
makan, muntah 3 kali,  ketidakseimbangan
diare 4 kali. nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

Diagnosis
Diagnosa Medis : Pneumonia
Diagnosa Keperawatan :
 Ketidakefektifan Jalan Nafas b.d sekresi yang tertahan.
 Gangguan Pertukaran Gas b.d perubahan membran kapiler alveolar
 Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh b.d Diare

Rencana Asuhan Keperawatan

a. Ketidakefektifan Jalan Nafas b.d sekresi yang tertahan


Tujuan : jalan nafas kembali efektif setelah 1x24 jam perawatan
Kriteria Hasil : Menunjukkan jalan nafas paten dengan bunyi nafas
bersih, tidak ada dipsnea dan sianosis RR kembali normal.
Intervensi dan Rasional :
1. Kaji ulang kemampuan klien untuk memobilisasi sekresi, jika tidak
mampu: ajarkan metode batuk efektif, gunakan suction (jika perlu
mengeluarkan sekret) dan lakukan fisioterapi dada (memantau tingkat
kepatenan jalan nafas dan meningkatkan kemampuan klien merawat
diri/membersihkan /membebaskan jalan nafas)
2. Secara rutin tiap 8 jam lakukan auskultasi dada untuk mengetahui
kualitas suara nafas dan kemajuannya (memantau kemajuan bersihan
jalan nafas)
3. Kolaborasi pemberian obat sesuai dengan resep;
mukolitik ,ekspektorans dan section (bila perlu) (untuk memudahkan
mengeluarkan sekret)
4. Edukasi keluarga untuk segera menghubungi perawat apabila jalan
nafas tidak efektif kembali; ditandai dengan sesak nafas, gerakan dada
dalam (mencegah terjadinya konisi yang lebih buruk)
b. Gangguan Pertukaran Gas b.d perubahan membran kapiler alveolar
Tujuan : klien mampu menunjukkan perbaikan oksigenasi
Kriteria Hasil : warna kulit perifer membaik (tidak sianosis), RR:
, nafas panjang, tidak menggunakan otot banttu
pernafasan, ketidaknyamanan dada (-), dispnea (-).
Intervensi dan Rasional :
1. Observasi status pernafasan, hasil gas darah arteri, nadi dan nilai
oksikometri (memantau perkembangan kegawatan pernafasan)
2. Awasi perkembangan membran mukosa/kulit; warna (gangguan
oksigenasi perifer tampak sianosis)
3. Observasi TTV dan status kesadaran (menentukan status pernafasan
dan kesadaran)
4. Berikan oksigenasi yang telah dilembabkan (memnuhi kebutuhan
oksigen)
5. Kolaborasi untuk pemberian obat yang telah diresepkan (obat
mukolitik dan ekspektoran akan mengencerkan produksi mukus yang
mengental)
c. Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh b.d diare
Tujuan : kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria Hasil : berat badan kembali dalam batas normal, klien
patuh dengan dietnya.
Intervensi dan Rasional :
1. Kaji status nutrisi klien (untuk mengetahui tentang keadaan dan
kebutuhan nutrisi klien sehingga dapat memberikan tindakan dan
pengaturan diet yang adekuat)
2. Ukur berat badan klien tiap minggu (mengetahui apakah klien telah
mengalami peningkatan; berat badan kembali dalam batas normal)
3. Kolaborasi dengan pemberian RL serta kolaborasi dengan ahli gizi
tentang pola diet yang harus diterima klien (pemberian RL akan
memperbaiki status gizi dan diet yang terkontrol akan mempercepat
proses kesembuhan klien.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammad.1989.Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press


Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta. 1992.
Ditjen P2PL Depkes RI 2007.Bimbingan penatalaksanaan pneumonia balita.
Jadavji, dkk.1997.A Practical Guide for the Diagnosis and Treatment of Pediatric
Pneumonia.http://www.canadianmedicaljournal.ca/content/156/5/703.full.p
df. Diakses tanggal 28 Februari 2013.Pukul 15.01 WIB.
Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Volume 3. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia
Khairuddin. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus Pneumonia
yang Dirawat pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP dr. Kariadi
Semarang Tahun 2008. Semarang: FKUNDIP.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia pada Anak,Orang
Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer
Morgan, Geri. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik Edisi 2. Jakarta: EGC
Muscari, M.E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik. Eds : 3. Jakarta : EGC
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia di Indonesia. Jakarta.
Setyoningrum, R.A. 2006. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI :
Pneumonia. FK Unair RSUD Dr. Soetomo. Surabaya)
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika
Syahrir, Muhammad, dkk., 2008. Guideline Ilmu Penyakit Paru.Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai