Jurnal Refleksi Modul 2.3 - Coaching Untuk Supervisi Akademik

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 6

JURNAL REFLEKSI DWI MINGGUAN

MODUL 2.3 COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK


Dibuat Oleh : I Wayan Abyong, CGP Angkata 7

A. Pendahuluan.
Pada jurnal refleksi Modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik ini saya akan
mencoba menggunakan model refleksi Description, Examination and Articulation of
Learning (DEAL). Model refleksi DEAL ini dikembangkan oleh Ash dan Clayton pada
tahun 2009. Refleksi model DEAL dijabarkan dalam 3 tahapan seperti berikut.
1. Description adalah mendeskripsikan pengalaman yang dialami dengan
menceritakan unsur 5W1H (apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, bagaimana).
2. Examination adalah Menganalisis pengalaman tersebut dengan
membandingkannya terhadap tujuan/rencana yang telah dibuat sebelumnya.
3. Articulation of Learning adalah Menjelaskan hal yang dipelajari dan rencana
untuk perbaikan di masa mendatang.

B. Penerapan Model Refleksi Deal.


1. Description.
Modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik merupakan kelanjutan dari modul
sebelumnya. Proses kegiatan pelaksanaan pelatihan dilakukan secara daring melalui
LMS (Learning Management Sistem), menggunakan alur MERDEKA (Mulai dari Diri,
Eksplorasi Konsep, Ruang Kolaborasi, Demonstrasi Kontekstual, Elaborasi Pemahaman
dan Aksi Nyata).
Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada
solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan
atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari
coachee (Grant, 1999). Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai
kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching
lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan
pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation (ICF) mendefinisikan
coaching sebagai bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan
potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan
mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”
Tahapan yang saya ikuti pada kegiatan modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi
Akademik dimulai dari tahapan: Mulai Dari Diri, dalam sesi ini CGP diminta untuk
menjawab beberapa pertanyaan terkait dengan kegiatan observasi. Adapun
pertanyaannya meliputi bagaimana perasaan saya ketika diobservasi, dan diminta untuk
menceritakan bagaimana pengalaman saat diobservasi dan pengalaman pasca kegiatan
observasi. Kemudian juga diminta untuk menjelaskan proses supervisi akademik yang
ideal yang dapat membantu diri saya berkembang sebagai seorang pendidik,
menggambarkan bagaimana posisi saya, jika saat ini menjadi seorang kepala sekolah
yang perlu melakukan supervisi, sehubungan dengan gambaran ideal dari skala 1
sampai dengan 10, dimana situasi belum ideal 1 dan situasi ideal 10, serta aspek apa
saja yang dibutuhkan untuk dapat mencapai situasi ideal tersebut. Terakhir saya diminta
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan reflektif, dan menuliskan harapan saya terkait
modul 2.3.
Eksplorasi Konsep, dalam kegiatan eksplorasi konsep terdapat banyak sekali
pengetahuan baru yang dibelajarkan. Pada tahap ini CGP dituntun untuk bereksplorasi
secara mandiri dalam memahami konsep Coaching secara umum dan konsep Coaching
dalam dunia pendidikan, memahami definisi Coaching dan perbedaannya dengan
metode pengembangan diri lainnya, dan yang terakhir adalah tentang konsep Coaching
dalam dunia pendidikan.
Ruang Kolaborasi, ruang kolaborasi sesi diskusi dilakukan dalam tiga bentuk
kegiatan, dua kegiatan dilakukan secara virtual dan dibagi menjadi beberapa kelompok
untuk mempraktekan kegiatan coaching.
Demonstrasi Kontektual, pada kegiatan demonstrasi kontekstual untuk modul 2.3
CGP diminta untuk membuat sebuah video dalam melakukan praktik kegiatan Coaching
yang dilakukan secara kolaborasi dalam kelompok, yang masing-masing kelompok terdiri
dari 3 orang. Dimana satu orang akan menjadi Coach, satu orang berperan sebagai
Coachee, dan satu orang lagi sebagai pengamat.
Elaborasi pemahaman akan dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan, yang dipandu oleh Instruktur Nasional. Dalam kegiatan ini Instruktur akan
memberikan tambahan pemahaman seputar Coaching untuk Supervisi Akademik
dengan berbagai contoh penerapan, untuk menuntun CGP semakin memahami
bagaimana cara menerapkan Coahing yang baik dalam kegiatan supervisi akademik atau
kegiatan lainnya di sekolah.
Koneksi antar materi adalah kegiatan mengambil intisari/membuat kesimpulan
atas pembelajaran yang telah diperoleh pada modul 2.3 dan menghubungkannya dengan
materi pada modul sebelumnya. Kemudian CGP membuat refleksi atas pembelajaran
yang telah dilakukan. Koneksi antar materi dapat dibuat dalam berbagai bentuk dan
diunggah di media sosial.

2. Examination.
Selain coaching, ada beberapa metode pengembangan diri yang lain yang bisa
jadi sudah kita praktikan selama ini di sekolah yaitu mentoring, konseling, fasilitasi dan
training. Agar lebih memahami konsep coaching secara lebih mendalam, ada baiknya
kita juga menyelami perbedaan peran coaching dengan metode-metode pengembangan
diri tersebut. Untuk mengetahui perbedaan peran tersebut, mari kita simak terlebih
dahulu definisi dari masing-masing metode pengembangan diri tersebut:
a. Definisi mentoring, Stone (2002) mendefinisikan mentoring sebagai suatu proses
dimana seorang teman, guru, pelindung, atau pembimbing yang bijak dan penolong
menggunakan pengalamannya untuk membantu seseorang dalam mengatasi
kesulitan dan mencegah bahaya. Sedangkan Zachary (2002) menjelaskan bahwa
mentoring memindahkan pengetahuan tentang banyak hal, memfasilitasi
perkembangan, mendorong pilihan yang bijak dan membantu mentee untuk membuat
perubahan.
b. Konseling, Gibson dan Mitchell (2003) menyatakan bahwa konseling adalah
hubungan bantuan antara konselor dan klien yang difokuskan pada pertumbuhan
pribadi dan penyesuaian diri serta pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Sementara itu, Rogers (1942) dalam Hendrarno, dkk (2003:24), menyatakan bahwa
konseling merupakan rangkaian-rangkaian kontak atau hubungan secara langsung
dengan individu yang tujuannya memberikan bantuan dalam merubah sikap dan
tingkah lakunya.
c. Fasilitasi, Shwarz (1994) mendefinisikan fasilitasi sebagai sebuah proses dimana
seseorang yang dapat diterima oleh seluruh anggota kelompok, secara substantif
berdiri netral, dan tidak punya otoritas mengambil kebijakan, melakukan intervensi
untuk membantu kelompok memperbaiki cara-cara mengidentifikasi dan
menyelesaikan berbagai masalah, serta membuat keputusan, agar bisa
meningkatkan efektivitas kelompok itu.
d. Training, Training menurut Noe, Hollenbeck, Gerhart & Wright (2003) merupakan
suatu usaha yang terencana untuk memfasilitasi pembelajaran tentang pekerjaan
yang berkaitan dengan pengetahuan, keahlian dan perilaku oleh para pegawai.
Untuk lebih jelasnya lagi, perbedaan-perbedaan peran antara coaching dengan
mentoring, konseling, fasilitasi dan training dapat dirangkum dalam tabel berikut:

Tabel Perbedaan Coaching


Dari tabel tersebut, sekarang kita lebih memahami perbedaan peran dari masing-
masing metode pengembangan diri tersebut. Tentunya sebagai guru kita telah
melakukan peran-peran tersebut. Kita juga sudah mengetahui peran apa yang bisa kita
pilih ketika menghadapi berbagai situasi baik ketika menghadapi murid atau rekan
sejawat.
3. Articulation of Learning.
a. Coaching dalam konteks pendidikan.
Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun’
tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya.
Oleh sebab itu keterampilan coaching perlu dimiliki para pendidik untuk menuntun segala
kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai
manusia maupun anggota masyarakat. Proses coaching sebagai komunikasi
pembelajaran antara guru dan murid, murid diberikan ruang kebebasan untuk
menemukan kekuatan dirinya dan peran pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi
tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan
menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.
Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani, menjadi semangat yang menguatkan keterampilan komunikasi guru dan
murid dengan menggunakan pendekatan coaching. Tut Wuri Handayani menjadi
kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan memberdayakan
(andayani/handayani) semua kekuatan diri pada murid. Sebagai seorang Guru
(pendidik/pamong) dengan semangat Tut Wuri Handayani, maka perlulah kita
menghayati dan memaknai cara berpikir atau paradigma berpikir Ki Hajar Dewantara
sebelum melakukan pendampingan dengan pendekatan coaching sebagai salah
pendekatan komunikasi dengan semangat among (menuntun). Dalam relasi guru
dengan guru, seorang coach juga dapat membantu seorang coachee untuk menemukan
kekuatan dirinya dalam pembelajaran. Pendekatan komunikasi dengan proses coaching
merupakan sebuah dialog antara seorang coach dan coachee yang terjadi secara
emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan persaudaraan. Oleh
sebab itu, empat (4) cara berpikir ini dapat melatih guru (coach/pamong) dalam
menciptakan semangat Tut Wuri Handayani dalam setiap perjumpaan pada setiap
proses komunikasi dan pembelajaran.
b. Penerapan Model TIRTA dalam Implementasi Coaching.
TIRTA: satu model coaching yang dapat membantu peran coach dalam membuat
alur percakapan menjadi lebih efektif dan bermakna.
TIRTA dikembangkan dari satu model umum coaching yang dikenal sangat luas
dan telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari
Goal, Reality, Options dan Will. Pada tahapan 1) Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui
apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini, 2) Reality (Hal-hal yang
nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee, 3) Options (Pilihan):
coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang
nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. 4) Will (Keinginan untuk maju):
komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.
Model TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang menuntut
guru untuk memiliki keterampilan coaching. Hal ini penting mengingat tujuan coaching
yaitu untuk melejitkan potensi murid agar menjadi lebih merdeka. Melalui model TIRTA,
guru diharapkan dapat melakukan pendampingan kepada murid melalui pendekatan
coaching di komunitas sekolah dengan lebih mudah dan mengalir.
TIRTA kepanjangan dari
T: Tujuan
I: Identifikasi
R: Rencana aksi
TA: Tanggung jawab
Dari segi bahasa, TIRTA berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita
ibaratkan murid kita adalah air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir
potensinya. Anda, sebagai guru memiliki tugas untuk menjaga air itu tetap mengalir,
tanpa sumbatan.

C. Penutup.
Modul Coaching untuk Supervisi Akademik memberikan ruang bagi Anda untuk
berlatih membangun komunikasi yang empatik dan memberdayakan sebagai Pemimpin
Pembelajaran dan Kepala Sekolah dalam membuat perubahan strategis yang mampu
menggerakan komunitas sekolah pada ekosistem belajar Anda. Perubahan strategis
yang sejalan semangat Merdeka Belajar untuk meningkatkan kualitas kurikulum (standar
isi-standar proses-standar penilaian) yang bermakna dan kualitas sumber daya guru dan
tenaga kependidikan dalam mewujudkan pendidikan yang berpihak pada murid pada
Satuan Pendidikan di sekolah dan daerah kita masing-masing.
Semoga jurnal dwimingguan modul 2.3. Coaching Untuk Supervisi Akademik
dapat bermanfaat bagi teman-teman guru dalam Caoaching untuk suvervsi akademik di
sekolahnya masing-masing.
Salam Guru Pengerak.

Anda mungkin juga menyukai