Msi Kelompok 6 Fix

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 28

Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam

Makalah ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


METEDOLOGI STUDI ISLAM
Dipresentasikan, Senin, 29 Mei 2023

Oleh:
Bunga Monica Harvira
Salsabilla Ilmi Yanis
Tri Elsi Ramadani

Pembimbing:
Alimuddin Hassan Palawa

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2023
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam
Bunga Monica Harvira
Salsabilla Ilmi Yanis
Tri Elsi Ramadani

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau


[email protected]

A. Pendahuluan
Didalam ajaran agama yang diwahyukan ada dua jalan un-
tuk memperoleh pengetahuan, pertama, jalan wahyu dalam arti
komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua jalan akal,
yang di anugerahkan Tuhan kepada manusia. Pengetahuan yang
dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang
pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin
benar dan mungkin salah.1
Orang yang beriman adalah orang yang berakal, tanpa
memahami secara akal sehat tentang agama maka orang cender-
ung tidak akan beriman (percaya). Artinya, orang tidak akan
beriman kepada agama jika tidak dipahami secara akal sehat. 2
Akal tugas pertamanya adalah membedakan antara yang baik dan
yang merusak serta menentukan status hukum segalanya dengan
menggunakan ukuran-ukuran yang sehat.3
Adanya akal manusia telah bisa melihat potensi-potensi
yang terdapat di alam dan di sekitar lingkungan dimana dia
hidup.4 Ketika manusia sudah tahu bahwa di alam realistis itu
banyak potensi-potensi yang bisa di kembangkan, maka manusia
dengan menggunakan akal sehatnya mencoba merefleksikan reali-

1
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Pers, 1986),
1.
2
Harjoni, Agama Islam dalam Pandangan Filosofis (Bandung: Alfabeta,
2012), 218.
3
Abdul Wahhab Abu Sulaiman, Peranan Akal dalam Hukum Islam, (Sema-
rang: Dina Utama, 1994), 7.
4
Fuadi,”Peran Akal Menurut Pandangan al-Ghazali”, Jurnal Substantia,
Vol. 15, No. 1, 2013, 81.

1
2 | Metodologi Studi Islam

tas dan memberikan penjelasan-penjelasan yang sesuai dengan


hukum-hukum berfikir untuk melahirkan ilmu pengetahuan.5
Masalah hubungan antara wahyu dan akal ini, sebagai kata
A.J. Arberry, merupakan bahan yang paling masyhur dan paling
mendalam dibicarakan dalam sejarah pemikiran manusia. Dari
sejak semula masalah akal dan wahyu telah menjadi bahan
polemik antara ulama-ulama islam, terutama dikalangan kaum
teolog dan kaum filosof islam. Sebagai akan dilihat nanti, per-
hatian pemikir-pemikir pembaharuan dalam islam, memang ban-
yak dipusatkan kepada kekuatan akal manusia semenjak rasional-
isme barat masuk ke dunia islam pada permulaan abad kesembi-
lan belas yang lalu.6
Para ahli fiqih telah memandang akal sebagai sumber uta-
ma menyangkut hal yang tidak ada penjelasannya dari syara’.
Dan ukuran ini (akal) telah mereka tetapkan secara khusus untuk
hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan perorangan dan
masyarakat di dalam segenap lapangan kehisupan sosial,
ekonomi, politik dan berbagai aktivitasnya.7
Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memberi sugesti
ke arah pengguna akal. Kedudukan akal dalam islam sangat ter-
hormat dan islam mempersyaratkan kewajiban menjalankan
agama bagi orang yang berakal.8
Dengan potensi akal pikiran manusia, Allah menyuruh
manusia untuk berfikir dan mengelola alam semesta serta me-
manfaatkan sebesar-besarnya bagi kemaslahatan dan kesejahter-
aan hidup manusia.9

B. Pengertian Akal
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari
kata Arab al-‘aql, yang dalam bentuk kata benda, berlainan
dengan kata al-wahy, tidak terdapat dalam Al-qur’an. Kata ‘aqala
dalam bahasa arab berarti mengikat dan menahan. Arti asli dari

5
Fuadi,”Peran Akal Menurut Pandangan al-Ghazali”, 81.
6
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, 1-2.
7
Abdul Wahhab Abu Sulaiman, Peranan Akal dalam Hukum Islam, 8.
8
Juwaini,”Konsep Akal (Suatu Analisis terhadap Pemikiran al-Farabi dan
Ibnu Sina)”, Jurnal Substantia, Vol. 12, No. 2, 2010, 382.
9
Zulfi Imran,”Akal dan Wahyu Menurut Ibnu Rusydi”, Jurnal Almufida,
Vol. 1, No. 1, 2016, 201.
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 3

kata ‘aqala kelihatannya adalah mengikat dan menahan dan


orang yang ‘aqil di zaman jahiliyyah, yang di kenal dengan
hamiyyah atau darah panasnya, adalah orang yang dapat mena-
han amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan
tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang
di hadapinya.10
Sedangkan menurut istilah akal adalah insting atau naluri
yang mampu merasa, yaitu naluri yang dimiliki manusia untuk
mengetahui dan memikirkan sesuatu, sama seperti kekuatan
melihat pada mata dan kekuatan merasa pada lidah.11
Manusia merupakan makhluk yang berakal yang dapat
mempergunakan daya berpikirnya untuk memahami berbagai
aspek dalam kehidupannya dan menentukan reaksinya. Olahan
akal manusia melalui hasil tangkapan inderanya akan mampu
menalar secara abstrak dan komulatif, yang menghasilkan penge-
tahuan akliyah dan menyodorkan kebenaran rasional. Maka akal
tidak dapat dipisahkan dengan indra, dari keduanya inilah akan
menghasilkan pengetahuan. Aktivitas akal ini di sebut berfikir.12
Manusia juga merupakan puncak ciptaan-Nya sebagai kha-
lifah, kodratnya “hanif”, yaitu makhluk yang cinta kepada kesu-
cian dan selalu cenderung kepada kebenaran, “Dhamier”(hati nu-
rani).
Menurut tinjauan al-Qur’an akal adalah hujjah atau
dengan kata lainmerupakan anugrah dari Allah SWT. Yang cukup
hebat dengannya manusia di bedakan dari makhluk lain. Akal ju-
ga merupakan alat yang dapat menyampaikan kebenaran dan
sekaligus sebagai pembukti dan pembela antara yang haq dan
yang bhatil, serta apa yang di temukannya dapat di pastikan
kebenarannya, asal saja persyaratan-persyaratan fungsi kerjanya di
jaga dan tidak di abaikan.13
Menurut Endang Saifuddin Anshari, akal dapat di tinjau
dari bahasa yaitu rasio (latin), akal (Bahasa Arab:aqal), budi (Ba-

10
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, 5-7.
11
Dadang Mahdar, “Kedudukan Akal dalam al-Qur’an dan Fungsinya da-
lam Pendidikan Hukum Islam”, Adliya, Vol. 8, NO. 1, 2014, 60.
12
Faisar Ananda Arfa, dkk., Metode Studi Islam Jalan Tengah Memahami
Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 4.
13
Ade Jamarudin,”Eksistensi Fungsi Akal Manusia terhadap Perspektif al-
Qur’an”, Jurnal An-Nur, Vol. 4, No. 1, 2015, 78.
4 | Metodologi Studi Islam

hasa Sansekerta), nous (Bahasa Yunani), reason (Bahasa Inggris),


verstand (Bahasa Belanda), dan vernunft (Bahasa Jerman).14 Dari
Banyaknya Bahasa, bahasa Yunani yaitu nous mengandung arti
yang sama dengan al-‘aql. Dalam Falsafat Yunani nous mengan-
dung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
Dengan demikian pemikiran dan pemahaman tidak lagi melalui
al- qalb di dada tetapi melalui al-‘aql di kepala.15
Akal dalam tradisi islam adalah bagian dari jiwa manusia
dan letaknya di jantung (atau hati) yang berpusat di dada. Dalam
pandangan islam (khususnya falsafat) antara akal dengan jiwa
memiliki kedekatan bagai dua sisi dalam satu realitas, sehingga
akal itu sendiri adalah realitas metafisik yang berada dalam diri
manusia.16
Menurut Al-Faribi akal dikelompokkan menjadi beberapa
macam di antaranya ialah akal praktis, yaitu akal yang menyim-
pulkan apa yang mesti di kerjakan, dan teoritis yaitu yang mem-
bentu menyempurnakan jiwa.17
Akal teoritis mempunyai empat derajat:
1. Akal Materil
Yang merupakan potensi belaka, yaitu akal yang ke
sanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak
pernah berada dalam materi, belum keluar.
2. Akal Bakat
Yaitu akal yang kesanggupannya berfikir secara murni ab-
strak telah mulai kelihatan. Ia telah dapat menangkap pengertian
dan kaedah umum, seperti seluruh lebih besar dari bahagian.
3. Akal Aktuil
Yaitu akal yang telah lebih mudah dan telah lebih banyak
dapat menangkap pengertian dan kaedah umum yang dimaksud.
Akal aktuil ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang
dapat dikeluarkan dengan mudah sekali.

14
Faisar Ananda Arfa, dkk., Metode Studi Islam Jalan Tengah Memahami
Islam, 4.
15
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, 8.
16
Reynaldi Aldi Surya,”Kedudukan Akal dalam Islam: Perdebatan antara
Mazhab Rasional dan Tradisional Islam”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 5, No.
1, 2019, 4-5.
17
Sakban Lubis, ”Akal Menurut Cendekiawan Muslim Klasik dan kontem-
porer”, Jurnal Al-Hadi. Vol. IV, No. 1, 2018, 751.
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 5

4. Akal Perolehan
Yaitu akal yang di dalamnya arti-arti abstrak tersebut
selamanya sedia untuk di keluarkan dengan mudah sekali.
Akal dalam derajat ke-empat inilah yang tertinggi dan
terkuat dayanya. Akal serupa inilah yang dimiliki filosof dan akal
inilah yang dapat memahami alam murni abstrak yang tak pernah
berada dalam materi.
Akal, dalam pengertian islam, tidaklah otak, tetapi adalah
daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia;daya, yang se-
bagai digambarkan dalam al-Qur’an, memperoleh pengetahuan
dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian
inilah yang dikontraskan dari luar diri manusia yaitu dari tuhan.18

C. Fungsi dan Kedudukan Akal dalam Islam


a. Fungsi Akal dalam Islam
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan
fungsi akal secara optimal, sehingga akal di jadikan sebagai
standart seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika
seseorang kehilangan akal maka hukum pun tidak berlaku bag-
inya. Saat itu dia di anggap sebagai orang yang tidak terkena
beban apapun. Di dalam islam, dalam menggunakan akal mesti-
lah mengikuti kaedah-kaedah yang di tentukan oleh wahyu supa-
ya akal tidak terbabas, supaya akal digiring oleh kepentingan, se-
hingga tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal, sehingga tidak menjadikan musuh sebagai kawan dan ka-
wan pula sebagai musuh.19
Al-Qur’an Berulang-ulang menyuruh dan mendorong per-
hatian manusia dengan bermacam-macam cara, supaya manusia
menggunakan akalnya. Ada secara tegas, perintah menggunakan
akal dan ada pula berupa petunjuk, mengapa seseorang tidak
menggunakan akalnya, kemudian di terangkan pula bahwa segala
benda di langit dan di bumi menjadi kebenaran kekuasaan, kemu-
rahan dan kebijaksanaan Allah, hanya manusia yang berakal dan
menggunakannya yang dapat memahaminya.

Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, 11-13.


18

19
Muhammad Amin, Kedudukan Akal Dalam Islam, Jurnal Pendidikan
Agama Islam, Vol. 3, No. 1, 2018, 81.
6 | Metodologi Studi Islam

Ada 6 fungsi akal dalam Islam yaitu:


1. Akal sebagai sarana memahami kebenaran.
2. Akal digunakan untuk berfikir dan ayat-ayat kauniyah adalah
obyek kajian.20
3. Kita dapat mengenal keagungan dan kebesaran Tuhan dan
fitrah kita sebagai manusia.
4. Kita dapat memahami konsistensi dan kontradiksi antara sifat
manusia dengan sifat alam semesta.
5. Kita dapat memperkuat iman.
6. Kita menjadi insan yang mulia.21
Menurut Harun Nasution akal berfungsi untuk berfikir se-
hingga mampu menemukan perubahan pemahaman keagamaan
sesuai dengan zaman dan tetap terikat pada substansi ayat al-
Qur’an maupun hadis. Akal memiliki fungsi berfikir sehingga
membawa jalan kemajuan, kemakmuran, kemuliaan serta terlepas
dari pola pikir tradisional menjadi rasional.22
Menurut Nurkholis Majid akal berfungsi sebagai alat untuk
menafsirkan, menguraikan dan mentakwilkan al-Qur’an berdasar-
kan batas-batas yang di izinkan oleh bahasa dan hadist, akal juga
berfungsi sebagai penalaran ilmiah untuk membangun paradigma
baru yang sesuai dengan zaman untuk proses pembaharuan, dan
menemukan ide-ide yang mampu memformulasikan kembali pos-
tulat-postulat islam yang fundamental mengenai Tuhan, manusia,
dan alam sesuai dengan perkembangan zaman modern.23
Pendidikan hukum Islam adalah suatu usaha untuk mem-
bantu manusia agar menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan
telah menjadi manusia apabila ia telah memiliki nilai-nilai (sifat)
kemanusiaan. Marimba menyatakan bahwa pendidikan adalah
bimbingan atau penyuluhan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju ter-
bentuknya kepribadian utama. Dalam konteks ini, bimbingan

20
Ade Jamarudin, ”Eksistensi Fungsi Akal Manusia terhadap Perspektif al-
Qur’an”, 81-86.
21
Harjoni, Agama Islam dalam Pandangan Filosofis, 220.
22
Ahmad Aldi Saputra, dkk., ”Fungsi Akal dalam Pemikiran Pembaharuan
Modern Islam”, Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2, 2022. 83.
23
Ahmad Aldi Saputra, dkk., ”Fungsi Akal dalam Pemikiran Pembaharuan
Modern Islam”, 83.
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 7

perkembangan rohani kepada anak, termasuk dalam kategori


bimbingan spiritual. Pendidikan Islam memandang bahwa pen-
didikan pendidikan kecerdasan spiritual anak melalui pendidikan
agama dalam keluarga merupakan tanggung jawab bersama anta-
ra keluarga, sekolah dan masyarakat (negara). Berarti pendidikan
agama masih diajarkan di sekolah. Diketahui bahwa manusia lahir
ke alam dunia dalam keadaan fitrah yaitu mempunyai potensi
yang perlu dikembangkan, baik dimensi fisik ( body), dimensi
emosional (mind), maupun dimensi spiritual (soul). Pengem-
bangan potensi-potensi tersebut dapat dilakukan melalui pendidi-
kan.24

b. Kedudukan Akal dalam Islam


Dalam perspektif al-Qur’an, ‘aql bukanlah otak, tapi daya
pikir dan memahami yang terdapat dalam diri manusia, atau daya
yang digambarkan memperoleh ilmu pengetahuan dan memper-
hatikan alam sekitarnya. Dalam beberapa konteks, al-Qur’an telah
menyerukan penggunaan al-‘aql dan memuji orang yang
menggunakannya serta mencela yang tidak menggunakannya. 25
Hadis sebagai sumber kedua dari ajaran-ajaran Islam se-
jalan dengan al-Qur’an, juga memberi kedudukan yang tinggi pa-
da akal. Dengan kata lain akallah makhluk Tuhan yang tertinggi
dan akallah yang memperbedakan manusia dari binatang dan
makhluk Tuhan lainnya. Karena akalnyalah manusia bertanggung
jawab atas perbuatan-perbuatannya dan akal yang ada dalam diri
manusia itu- lah yang dipakai Tuhan sebagai pegangan dalam
menentukan pemberian pahala atau hukuman kepada seseorang.
Penghargaan tinggi terhadap akal ini sejalan pula dengan ajaran
Islam lain yang erat hubungannya dengan akal, yaitu menuntut
ilmu.26
Dalam memandang kedudukan akal, mazhab rasional ada-
lah salah satu kelompok dalam Islam yang menganggap bahwa
akal adalah alat yang kokoh dalam mencari kebenaran dan sum-

24
Dadang Mahdar, “Kedudukan Akal dalam al-Qur’an dan Fungsinya da-
lam Pendidikan Hukum Islam”, 73.
25
Dadang Mahdar, “Kedudukan Akal dalam al-Qur’an dan Fungsinya da-
lam Pendidikan Hukum Islam”, 60-61.
26
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, 49.
8 | Metodologi Studi Islam

ber epistemologis untuk mendapatkan pengetahuan. Akal


mendapat posisi yang istimewa karena Allah sendiri yang menga-
nugerahkan kepada manusia sebagai jalan kepada-Nya, bahkan
dalam sebuah hadis mahsyur dari Rasulullah SAW tentang keu-
tamaan akal, Rasulullah bersabda: “Tidak ada Agama bagi orang
yang tidak memiliki Akal.”27

D. Apresiasi al-Qur’an dan Hadis terhadap Akal


a. Apresiasi al-Qur’an terhadap Akal
Istilah apresiasi berasal dari bahasa latin apreciatio yang
berarti “mengindahkan” atau “menghargai”.28 S. E. Effendi juga
mengungkapkan bahwa apresiasi adalah mengenali karya sehing-
ga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan untuk
mencermati kelebihan dan kekurangan suatu karya.29
Kata ‘aql dan qalb memiliki perbedaan makna yang signif-
ikan. Kata ‘aql lebih fokus pada rasional empiris/konkret yang
menggunakan kekuatan pikir dalam memahami sesuatu, sementa-
ra al-qalb lebih cenderung pada rasional emosional yang
menggunakan kekuatan dzikir dalam memahami realitas spiritual.
Keduanya merupakan daya ruhani manusia untuk memahami
kebenaran. Begitu pentingnya daya ini bagi manusia, al-Qur’an
memberikan penghargaan yang tinggi terhadapnya, bahkan tidak
ada penghargaan kitab suci yang lebih tinggi terhadap ‘aql,
melebihi penghargaan al-Qur’an.30
Hal tersebut disebabkan ‘aql merupakan daya pikir dalam
diri manusia, yang dengannya segala sesuatu dapat diserap. Ia
adalah anugerah Allah SWT. yang tidak dimiliki makhluk lain.
Dengannya, manusia bisa membedakan yang baik dan yang bu-

Reynaldi Aldi Surya, ”Kedudukan Akal dalam Islam:Perdebatan Antara


27

Mazhab Rasional dan Tradisional Islam”, 5.

28
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru Al-
gensindo, 2014), 34.
29
Dian Ramadhanti, Apresiasi Prosa Indonesia, (Sumbar: Deepublish,
2018), 1.
30
Dadang Mahdar, “Kedudukan Akal dalam al-Qur’an dan Fungsinya da-
lam Pendidikan Hukum Islam”, 61.
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 9

ruk, yang bersih dan yang kotor, bermanfaat dan madharat, serta
baik dan buruk.31
Banyak yang beranggapan dengan antusias mengatakan
bahwa akal tidak bisa dijadikan referensi atau pedoman dalam
memahami agama, hanya iman yang kompeten, padahal jika saya
boleh membuat premis atau tesis sebagai berikut:
Nafsu dan akal terhadap agama:
a. Jangan lupa bahwa, karena sumbangan nafsu dan akal lah
maka kita mengenal agama, bahkan percaya agama dan be-
ragama.
b. Karena nafsu dan akal lah kita hidup sampai sekaarang
dalam serba kemewahan dan kenikmatan dunia.
c. Karena nafsu dan akal lah kita bisa menderita atau bahagia,.
d. Karena nafsu dan akal lah kita bisa masuk surga dan neraka.32
Dari sini, jelaslah bahwa akal murni itu telah dijadikan se-
bagai standar dan timbangan bagi segala persoalan.33

b. Apresasi Hadis Terhadap Akal


Agama adalah akal, sebab tanpa akal maka orang tidak
akan beragama. Artinya bahasa, ungkapan dan pernyataan agama
selalu dalam wilayah akal, kalau di luar akal orang tidak akan
beriman (tidak akan percaya pada agama).
Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa “han-
ya orang berakal saja yang beriman”. Surat Ath Thalaaq (10) Allah
menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertaqwalah
kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal, (yaitu)
orang-orang yang beriman sesungguhnya allah telah menurunkan
peringatan kepadamu.34
Ingat perdebatan akal dan iman, bagaimanapun jika iman
di desak untuk menjawab kenapa percaya agama maka iman
menjelaskan dengan kemampuan akal, kalau tidak demikian maka
akal tidak pernah menerima agama.

31
Dadang Mahdar, “Kedudukan Akal dalam al-Qur’an dan Fungsinya da-
lam Pendidikan Hukum Islam”, 61.
32
Harjoni, Agama Islam dalam Pandangan Filosofis, 205.
33
Abdul Wahhab Abu Sulaiman, Peranan Akal dalam Hukum Islam, 8.
34
Harjoni, Agama Islam dalam Pandangan Filosofis, 205.
10 | Metodologi Studi Islam

Ibnu Rusyd (1126-1198) adalah seorang filosofi Muslim


yang banyak dikagumi filosofi barat, beliau menyatakan bahwa
kedudukan akal sama tinggi dan sama mulianya dengan wahyu,
sehingga paham beliau dikenal dengan rasionalisme yaitu paham
kebebasan berfikir.
Menurut (N.A. Rasyid, 1983: 19), berdasarkan studi isi al-
Qur’an dan Sunnah Rasul berbunyi; “al-insan (manusia) adalah
makhluk ciptaan Allah yang memiliki potensi untuk beriman
dengan akalnya, dan mampu memahami dan mengamalkan
Wahyu serta gejala-gejala alam lainnya. Kata Nabi SAW; “Addin,
agama yang benar adalah nalar”. Oleh karena itu, tidak ada aga-
ma yang tidak mempunyai nalar, karena manusia diciptakan
dengan nalar atas penggunaan akal sehat.
Sesuai dengan Hadis Sahl bin Hunaif ra: diriwayatkan Yu-
sain bin Amr katanya: Aku bertanya kepada Sahl bin Hunaif:
Adakah engkau pernah mendengar Nabi SAW menceritakan ten-
tang Khawarij? Sahl menjawab: Aku mendengarnya sambil
menunjuk dengan tangannya ke arah timur. Suatu golongan
membaca tetapi tidak sampai ke otak mereka. Mereka keluar dari
agama sebagaimana anak panah menembusi buruan.
Ini menjelaskan bahwa al-Qur’an tidak hanya di baca
(mengaji) melainkan dikaji agar dapat di pahami(menggunakan
akal) pesan-pesan yang ada dalam firman Tuhan tersebut sebagai
petunjuk (akal) bagi kehidupan alam semestas yang luas dan ber-
peran bijak sebagai khalifah bumi.35

E. Akal : Pembeda Manusia dan Makhluk lainnya


Akallah merupakan makhluk Tuhan yang tertinggi dan
akallah yang memperbedakan manusia dari binatang dan ma-
khluk Tuhan lainnya. Karena akalnyalah manusia bertanggung
jawab atas perbuatan-perbuatannya dan akal yang ada dalam diri
manusia itu- lah yang dipakai Tuhan sebagai pegangan dalam
menentukan pemberian pahala atau hukuman kepada seseorang.
Penghargaan tinggi terhadap akal ini sejalan pula dengan ajaran
Islam lain yang erat hubungannya dengan akal, yaitu menuntut
ilmu.36

35
Harjoni, Agama Islam dalam Pandangan Filosofis, 205-207.
36
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, 49.
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 11

Menurut tinjauan al-Qur’an akal adalah Hujjah atau


dengan kata lain merupakan anugerah Allah SWT. yang cukup
hebat dengannya manusia dibedakan dari makhluk lain.37 Akal
adalah objek taklif (pembeda ibadah) yang dapat membedakan
manusia dengan hewan.38
Al-Qur’an memberikan sebuah gambaran yang real bahwa
manusia di ciptakan oleh Allah diberiakn potensi yang luar biasa
berupa akal dan fikiran yang mana akan memberikan perbedaan
antara manusia dengan makhluk Allah yang lainnya, dengan po-
tensi yang dimilikinya maka pentingnya memahami dan
mempelajari kitab al-Qur’an dan mengkaji setiap ayat yang di da-
lamnya agar senantiasa memberikan dampak positif dalam
mengembangkan intelektualitas diri dengan memahami ayat-ayat
Allah dengan hal itu potensi yang dimiliki manusia akan berjalan
sesuai dengan tuntutan al-Qur’an.39

F. Peranan Akal dalam Memahami al-Qur’an dan Hadis


a. Peranan Akal dalam Memahami al-Qur’an
Al-Qur’an dan al-Hadis merupakan pegangan utama umat
Islam. Hal tersebut senada dengan Hadis Nabi SAW bahwa ba-
rang siapa yang berpegang teguh dengan keduanya maka tidak
akan tersesat selamanya.40
Qudamah Ibnu Ja’far menyebutkan bahwa akal itu terbagi
dua ; akal pemberian dan akal yang diusahakan (mauhub dan
maksub). Akal mauhub adalah akal yang diciptakan oleh Allah
SWT. Dan akal maksub ialah akal yang akal yang didapat dari
percobaan, melalui I’tibar, pendidikan nalar.41

Ade Jamarudin, “Eksistensi Fungsi Akal Manusia Perspektif al-Qur’an”,


37

78.
38
Dadang Mahdar, “Kedudukan Akal dalam al-Qur’an dan Fungsinya da-
lam Pendidikan Hukum Islam”, 60.
39
Mohammad Iqbal Abdullah Kafi dan Syarifah Hanum, “Pendidikan
Kecerdasan Intelektual Berbasis Al-Qur’an”, Jurnal Al-Hikmah, Vol 2, No 1,
2020, 98.
40
Aan Rukmana, “Kedudukan Akal dalam al-Qur’an dan al-Hadis”, Mum-
taz, Vol. 1, No. 1, 2017, 24.
41
Abdul Wahhab Abu Sulaiman, Peranan Akal dalam Hukum Islam, 5.
12 | Metodologi Studi Islam

Peran akal dalam memahami ayat al-Qur’an membantu


manusia mengetahui maksud dari ayat yang diturunkan seperti
ayat berikut:
َّ ِ‫ق فِى إ‬
‫ن‬ َِّ ‫ت خ َْل‬َِّ ‫ض ٱلس َٰ َم َٰ َو‬ َّ ِ ‫ف َو ْٱْلَ ْر‬َِّ َ‫ٱختِ َٰل‬ْ ‫ل َو‬ َِّ ‫ار ٱل ْي‬
َِّ ‫ك ََّوٱلن َه‬َِّ ‫فَِّى تَجْ ِرى ٱلتِى َو ْٱلفُ ْل‬
َِّ َ‫اس يَن َف َُّع بِ َما ْٱلب‬
‫حْر‬ ََّ ‫ل َو َماَّ ٱلن‬ ََّ َ‫ٱّللُ أَنز‬
َّ ‫ن‬ ََّ ‫ض بِ َِّه فَأَحْ يَا ماءَّ ِمن ٱلسَّ َما َِّء ِم‬ ََّ ‫بَ ْع ََّد ْٱْل َ َّْر‬
‫ل ِمن فِي َها َو َبثَّ َم ْوتِ َها‬ َِّ ‫يف َداَّبةَّ ُك‬ َِّ ‫ص ِر‬ْ َ‫ح َوت‬ َِّ َ‫ٱلرََّٰي‬
ِ ‫ب‬ َِّ ‫سخ َِّر َوٱلس َحا‬ َ ‫ْن ْٱل ُم‬ ََّ ‫ٱلسَّ َما َِّء بَي‬
َ ْ َٰ
َّ ِ ‫ون ِلقَ ْومَّ َل َءايَتَّ َوٱْل ْر‬
‫ض‬ ََّ ُ‫يَ ْع ِقل‬
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih ber-
gantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut mem-
bawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan
yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat)
tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.” (Q.S al-Baqarah: 164).
Menurut Sayyid Qutb, ayat tersebut merupakan metode
yang sempurna bagi penalaran karena mengarahkan akal manusia
kepada peran pertama yaitu mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an
yang tersaji dalam alam semesta ini. Di samping itu, dengan
adanya akal manusia dapat membuka cakrawala dan penge-
tahuan yang diungkapkan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an.42

b. Peranan Akal dalam Memahami Hadis


Di dalam islam terdapat dua referensi yaitu al-Qur’an dan
al-Hadis. Kedua referensi tersebut menjadi pegangan bagi umat
islam di dalam pembentukan hukum yang sesuai dengan syariat
islam. Hadis juga memainkan peranan penting dalam rangka
mempromosikan keutamaan intelektual atau kemampuan dalam
mendukung kehidupan kita sehari-hari.
Agama islam merupakan agama terakhir yang memiliki aja-
ran yang sangat lengkap. Ajaran tersebut meliputi kehidupan in-
dividu, masyarakat, tata cara bernegara yang baik sampai kepada
persoalan yang menyangkut ekonomi, politik dan lain se-
bagainya.

42
https://islami.co/tiga-fungsi-akal-dalam-al-quran/
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 13

Al-Qur’an dan al-Hadis merupakan pegangan utama umat


islam. Hal tersebut senada dengan Hadis Nabi SAW bahwa ba-
rang siapa yang berpegang teguh dengan keduanya maka tidak
akan tersesat selamanya.
Dari hadis tersebut Nampak jelas bahwa posisi al-Qur’an
dan al-Hadis memiliki peran yang amat penting dalam men-
dorong umat islam untuk maju jauh melampaui umat-umat yang
lainnya.
Di antara sekian ajaran al-Qur’an dan al-Hadis yang paling
fenomenal yaitu anjurannya untuk umat islam dalam me-
maksimalkan akal. Dampak dari anjuran ini umat islam mulai
memikirkan alam semesta dengan segenap isinya yang akibatnya
ilmu pengetahuan bekembang sangat pesat.43

G. Ijtihad dalam Dinamika Pemikiran Islam Klasik


a. Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata jahada yang
artinya mencurahkan segala kemampuan atau “menanggung
beban kesulitan”. Arti ijtihad menurut bahasa adalah mencu-
rahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Kata-kata
ijtihad ini tidak dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengan-
dung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga.44 Perkataann Al-
Ijtihad seperti yang di uraikan dalam Lisan al-Arab, terambil dari
kata Al-Jahd dan Al-Juhd, secara etimologi berarti al-Thaqah
(tenaga, kuasa, dan daya), sementara Al-Ijtihad dan Al-Ijtihud be-
rarti “penumpahan segala kesempatan dan tenaga” (bazl al wus’I
wa al-majhud).45 Secara historis, kegiatan ijtihad telah mempunyai
bibit dari ajaran Islam sendiri, serta usaha ini sudah mulai diprak-
tekkan sejak masa Nabui dan masa-masa sesudahnya. 46
Para ulama bersepakat tentang ijtihad secara bahasa, tetapi
berbeda pandangan mengenai pengertiannya secara istilah (ter-
minologi). Pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan,

43
Aan Rukmana, “Kedudukan Akal dalam al-Qur’an dan al-Hadis”, 23-24.
44
Achmad Syathori, Ijtihad dalam Syariat Islam (Jakarta: PT. Bulan Bin-
tang, 1987), 1.
45
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar Ibn al-Khaththab (Jakarta: CV. Rajawali,
1991), 51.
46
Helmi Karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam Pengem-
bangan Hukum Islam (Pekanbaru: Perc. CV. Fajar Harapan, 1994), 23.
14 | Metodologi Studi Islam

yaitu pada masa tasyri’ dan masa sahabat. Perbedaan ini meliputi
hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan al-Qur’an, ijtihad
dengan Al-Sunnah, dan ijtihad dengan dalala nash.
Menurut Abu Zahrah, secara istilah arti ijtihad ialah upaya
seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan
hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci. Se-
dangkan menurut Harun Nasution, pengertian ijtihad hanya da-
lam lapangan fikih adalah dalam pengertian sempit. Dalam arti
luas, menurutnya, ijtihad juga berlaku dalam bidang politik,
akidah, tasawuf dan filsafat.47
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad ada-
lah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara
yang bersifat dhanni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk
mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan Imam al-
Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagaian dari definisi
al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).48
Tetapi pengertian ijtihad dapat dilihat dari dua segi baik
etimologi maupun terminologi. Dalam hal ini memiliki konteks
yang berbeda. Ijtihad secara etimologi memiliki pengertian:
“pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuati yang
sulit”. Sedangkan secara terminologi adalah “penelitian dan
pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada
kitabullah(syara) dan sunnah rasul atau hyang lainnya untuk
memperoleh nasb yang ma’qur, agar maksud dan tujuan umum
dari hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat.49
Ijtihad mempunyai arti umum, yaitu sebagai kekuatan atau
kemampuan untuk mencetuskan ide-ide yang bagus demi ke-
maslahatan umat. Ada beberapa pendapat bahwa ijtihad adalah
pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fikih atau mu-
jtahid untuk memperoleh pengertian terhadap hukum syara
(hukum Islam).50

47
Atang ABD, dkk., Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2010), 95-97
48
Abd Wafi Has, “Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam”,
Epesteme, Vol. 8, No. 1, 2013, 92.
49
Abd Wafi Has, “Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam”,
91
50
Abd Wafi Has, “Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam”,
93
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 15

b. Dasar-Dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’an
dan al-Sunnah. Diantara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad
adalah sebagai berikut.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara
manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,
dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yangf tidak
bersalah), karena(membela) orang-orang yang khianat. (Q.S
al-Rum[30]: 105).”51
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya
hadis ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhsri,
Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad
bersabda:
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijti-
had, kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala.
Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah
maka ia mendapatkan satu pahala. (Muslim, II, t.th:62)”52

c. Hukum Ijtihad
Jumhur ulama sepakat apabila dalam nas tidak di jumpai
hukum yang akan di terapkan pada suatu kasus, maka seorang
mujtahid boleh melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang te-
lah di sepakati Bersama.53
Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan
kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang
berkaitan dengan hukum syara, maka hukum ijtihad bagi orang
itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayah, sunat, atau haram, bergantung
pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi orang Muslim yang memenuhi kriteria mu-
jtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang ter-
jadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilanh begitu saja tanpa
kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang

51
Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, 99.

52
Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, 99.
53
Ahmad Badi’, “Ijtihad: Teori dan Penerapannya”, Vol. 24, No. 2, 2013.
16 | Metodologi Studi Islam

tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi


wajib ‘ain. Kedua, bagi seorang Muslim yang memenuhu kriteria
mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang
terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain
dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi
wajib kifayah. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang
melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas persoa-
lan-persoalan yang tidak atau belum terjadi. Keempat, Hukum
ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang su-
dah jelas hukumnya secara qathi', baik dalam Al-quran maupun
Al-Sunnah; atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan secara ijmak.54

d. Ijtihad Rasulullah
Dalam Islam sumber wewenang dan otoritas tertinggi han-
yalah Allah semata-mata. Semua orang, termasuk Rasulullah dan
para penguasa yang memerintah tunduk kepada hukum-hukum
Allah. Dilihat dari segi ini, maka Nabi Muhammad55 sebagai
Rasulullah (utusan Allah) bertugas melaksanakan dan menyam-
paikan perintah-perintah Allah kepada umat manusia. Oleh sebab
itu, segala sebab itu segala kententuan yang bersumber dari Allah
yang disampaikan melalui wahyu dan diterima oleh Rasulullah
berfungsi sebagai peraturan yang mesti dilaksanakan.56
Pembicaraan ijtihad Rasulullah dikalangan para ulama,
nampaknya cukup luas dan berbelit-belit. Secara teoritis
umumnya mereka sependapat bahwa ijtihad Rasulullah terjadi
dalam urusan-urusan keduniawian, seperti dalam menentukan
taktik dan strategi dalam peperangan, serta keputusan-keputusan
yan berhubungan dengan perselisihan dan persengketaan. Akan
tetapi walaupun dari segi teoritis terdapat semacam kesepakatan,
namun ditinjau dari segi agama mereka berbeda pendapat dalam
seluruh persoalan, bukan saja dalam hal yang menyangkut masa-
lah-masalah agama, tetapi juga dalam masalah-masalah dunia.
Akibatnya, akan terlihat ada pendapat yang “bemuka dua”, yang

54
Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, 105.
55
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar IBN Al-Khaththab, 69.
56
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar IBN Al-Khaththab, 70.
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 17

secara teoritis mengakui adanya ijtihad Rasulullah, tetapi secara


syara tidak mengakuinya sama sekali

e. Karakteristik dan Ketentuan Ijtihad


Dari sini kita seharusnyalah menyeru kepada ijtihad tanpa
ada rasa takut atau khawatir agar ijtihad terus berjalan dengan
lurus dan tidak berbalik mundur kebelakang serta menyimpang ke
kana atau ke kiri.
Berikut ini uraian beberapa karakteristik dan aturan pokok ijtihad
kontemporer:57

1. Tidak Ada Ijtihad Tanpa Mencurahkan Semua Kemampuan


Layaknya kita sebutkan bahwa ijtihad menurut istilah ahli
ushul adalah; pencurahan semua kemampuan untuk mendapat-
kan hukum-hukum syara dengan jalan istimbat.Maka tidak ada
ijtihad kecuali setelah menghabiskan semua upaya (usaha dan
kemampuan) dalan artian, mencurahkan usaha sampai batas akhir
dalam meneliti dalil-dalil, mencari dalil yang dzanni dan men-
jelaskan kedudukan dalil-dalil tersebut lalu membandingkannya
apabila bertentangan, dengan menggunakan kaidah-kaidah taadul
dan tarjih (kaidah untuk mengkompromikan atau untuk memilih
dalil yang kuat) yang telah diletakkan ahli ushul fiqih.58
Jadi tidaklah termasuk dalam ijtihad yang benar menurut
syara, fatwa yang diberikan oleh orang-orang yang tergesa-gesa
mengeluarkan fatwa, yang berani memasuki daerah lingkup fatwa
karena keberanian mereka untuk masuk neraka! Sampai-sampai
ada di antara mereka yang memberi fatwa yang bertentangan
dengan dalil al-Qur’an yang jelas, mendustakan hadist shahih atau
menentang ijma’ umat islam.59

2. Tidak Ada Ijtihad dalam Masalah-Masalah yang Qath’i (yang


Pasti)
Perlu ditegaskan bahwa bidang ijtihad hanyalah hukum-
hukum yang dalilnya bersifat dzanni. Suatu dalil dikatakan dzanni,
bisa dilihat dari sudut konstansi dalil atau indikasi hukumnya atau

57
Achmad Syathori, Ijtihad dalam Syari’at Islam, 261.
58
Achmad Syathori, Ijtihad dalam Syari’at Islam, 261.
59
Achmad Syathori, Ijtihad dalam Syari’at Islam, 262.
18 | Metodologi Studi Islam

dari kedua sudut tersebut. Oleh sebab itu tidaklah boleh membu-
ka jalan ijtihad dalam suatu hukum yang telah ditetapkan dalam
dalil al-Qur’an yang pasti.
Apabila hukum-hukum qath’I ini dijadikan hukum yang
tidak qath’I dan masih dianggap sebagai letak perselisihan dan
pertentangan, berarti sudah tidak ada lagi di sana hukum yang
dijadikan tempat rujukan dan dijadikan sandaran, serta tidak ada
pula ukuran yang dijadikan landasan hukum.60

3. Tidak boleh Menganggap Hukum-Hukum Dzanni sebagai


Hukum yang Qath’i
Hendaknya urutan tingkat hukum itu sebagaimana aslinya
yang sampai kepada kita. Hukumm qath’i harus tetap dianggap
qath’I dan hukum dzanni juga harus tetap dianggap dzanni. Se-
bagaimana kita tidak membolehkan merubah hukum dzanni men-
jadi qath’I dan menyatakan suatu hukum sebagai hasil ijmak da-
lam hal-hal yang masih ada perselisihan pendapatnya. Padahal
kedudukan ijmak sebagai hujjh saja bukan merupakan hasil ijmak
umat.61

4. Menghubungkan Fiqih dengan Hadist


Kita menyaksikan, mayoritas orang yang menekuni al-
Hadist tidak banyak menaruh perhatian kepada studi fiqih dan
ushulnya serta tidak mengarahkan kemauannya untuk melihat illat
hukum, kaidah-kaidah hukum dan maksud-maksud syariah. Pa-
dahal fiqih dan ushulnya merupakan tempat persemaian yang
lazim untuk menumbuhkan bibit-bibit ijtihad dan mengantar-
kannya kepada batas tujuannya.62

5. Menjaga Diri Agar Jangan Sampai Terjatuh di Bawah Tekanan


Realita Dunia Modern
Sesungguhnya realita tersebut adalah suatu realita yang
tidak pernah di ciptakan oleh islam dan akidahnya, syariah dan
moralnya dan tidak pernah dilakukan oleh umat islam dengan
kehendaknya, akal dan tangannya. Akan tetapi realita tersebut di

60
Achmad Syathori, “Ijtihad dalam Syari’at Islam”, 261-262.
61
Achmad Syathori, “Ijtihad dalam Syari’at Islam”, 263.
62
Achmad Syathori, “Ijtihad dalam Syari’at Islam”, 264.
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 19

buat untuk menggoda umat islam dan dipaksakan kepada mereka


disaat mereka dalam keadaan lengah, lemah dan berpecah be-
lah.63

f. Ruang Lingkup Ijtihad


Apabila sebuah perkara telah ada di dalam nash yang jelas
(sharih) dan pasti (qath’i) baik dari sumber asalnya (Riwayat)
maupun pengertiannya dan ia telah menunjuk kepada suatu
hukum syar’i maka tidak ada peluang ijtihad di dalamnya.
Lebih jauh Abdyl Wahhab Khallaf mencontohkan ayat
hukum tentang zina yang tercantum dalam surah an-Nur ayat 2
yan artinya “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina
maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera”.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa penafsiran
atau dalam hal ni ijtihad tidak bisa mencakup seluruh tingkatan
hukum. Hal itu karena di luar wilayah yang dapat dijangkau oleh
ijtihad terdapat sejumlah teks yang dengan tegas menyatakan
hukum dalam banyak kasus. Dan kepastian yang dihasilkan nash-
nash itu tidak lagi memerlukan reinterpretasi apapun.
Abdul Wahhab Khallaf menegaskan bahwa ruang lingkup
ijtihad meliputi dua lapangan kajian: Pertama, peristiwa yang ter-
dapat nash, namun tidak cukup jelas dan pasti atau bersifat dzan-
ni. Yang dimana sifat dzanni adalah merupakan dugaan dari segi
riwayat maupun dalalahnya. Kedua, peristiwa yang memang tid-
ak ada nashnya sama sekali. Di sinilah lapangan ijtihad tempat
para mujtahid mencurahkan segenap daya kemampuan intel-
ektualnya untuk menemukan sebuah ketetapan hukum sebagai
sebuah solusi dan jalan keluar dari problematika yang dihadapi
umat.64

g. Pengertian Dinamika
Secara terminologi dalam Nandang Rusmana, kata dina-
mika berasal dari kata Dynamics (Yunani) yang bermakna
“Kekuatan” (force). “Dynamics is facts or concepts with refer to
conditions of change, expecially to forces” (Rusmana, n.d.). Da-

63
Achmad Syathori, “Ijtihad dalam Syari’at Islam”, 265.
64
Ahmad Hanany Naseh, “Ijtihad dalam Hukum Islam”, Jurnal an-Nur,
Vol. IV, No. 2, 2012, 254-255.
20 | Metodologi Studi Islam

lam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dinamika berarti; bagian ilmu


fisika yang berhubungan dengan benda yang bergerak dan tenaga
yg menggerakkan; gerak (dari dalam); tenaga yg menggerakkan;
semangat; kelompok gerak atau kekuatan yang dimiliki sekum-
pulan orang dalam masyarakat yang dapat menimbulkan peru-
bahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan; pem-
bangunan gerak yang penuh gairah dan penuh semangat dalam
melaksanakan pembangunan; sosial gerak masyarakat secara ter-
us-menerus yg menimbulkan perubahan dalam tata hidup
masyarakat yg bersangkutan.65
Menurut Slamet Santoso dalam Nandang Rusmana, dina-
mika berarti tingkah laku warga yang secara langsung
mempengaruhi warga yang lain secara timbal balik. Dinamika be-
rarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota ke-
lompok yang satu dengan anggota kelompok secara keseluruhan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dina-
mika adalah sebuah fakta, konsep, kondisi yang terjadi pada
tatanan masyarakat sehingga menimbulkan sebuah interaksi atau
hubungan timbal balik.66
Menurut saleh menyatakan bahwa dinamika lebih
menekankan pada gerakan yang timbul dari dirinya sendiri
artinya sumber gerakan berasal dari kekuatan yang ada di dalam
kelompok itu sendiri, bukan dari luar kelompok.67

h. Ijtihad dalam Dinamika Pemikiran Islam Klasik


Istilah peradaban Islam dan kebudayaan Islam biasanya
sering digunakan dengan maksud dan pengertian yang sama. 68
Sudah lama defenisi peradaban Islam atau kebudayaan Islam su-

65
Indah Suci Julia Sari, “Hakekat, Dinamika Organisasi, dan Fungsi Pem-
impin dan Kepemimpinan Pendidikan Islam”, Jurnal Ilmiah Iqra’ FTIK IAIN
Manado, Vol. 13, No. 1, 2019, 29.
66
Indah Suci Julia Sari, “Hakekat, Dinamika Organisasi, dan Fungsi Pem-
impin dan Kepemimpinan Pendidikan Islam”, 29.
67
Emanuel Kelbulan, dkk.,”Dinamika Kelompok Tani Kalelon di Desa
Kauneran Kecamatan Sonder”, Jurnal Transdisiplin Pertanian( Budidaya Tana-
man, Perkebunan, Kehutanan, peternakan, Perikanan), Sosial dan Ekonomi ,
Vol. 14, No. 3, 2018, 55-56.
68
Wilaela, Seri Sejarah Peradaban Islam Reinterpretasi Sejarah Islam Klasik
(Pekanbaru: Suska Press, 2012), 2.
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 21

kar dirumuskan.69 Mengenai zaman islam klasik, Harun Nasution


menyebutkan antara 650-1250 M.70 Pada masa klasik telah ter-
wujud kesatuan budaya islam di bawah naungan islam dengan
Bahasa arab.71 Ini terjadi semenjak rasul Muhammad menyebar-
kan risalahnya sampai hancurnya Baghdad pada abad XIII M. Ma-
sa itu merupakan masa perluasan wilayah, integrasi, dan keema-
san islam. Perluasan wilayah yang dimulai oleh Khulafau ar-
Rasyidin dilanjutkan Bani Umayyah dan mencapai keemasan pa-
da masa Bani Abbas, membuat islam menjadi negara besar.72
Pembicaraan tentang ijtihad Rasulullah di kalangan para
Ulama, nampaknya, cukup luas dan berbelit-belit. Secara teoritis
(aqlan) umumnya mereka sependapat bahwa ijtihad Rasulullah
terjadi dalam urusan-urusan keduniawian (al-umur al-
dunyawiyyah), seperti dalam menentukan taktik dan strategi da-
lam peperangan, serta keputusan-keputusan yang berhubungan
dengan perselisahan dan persengketaan (al-khusumat).73
Selain al-Qur’an dan sunnah, ijtihad juga mulai menjadi ru-
jukan fuqaha pada era ini. Perluasan wilayah merupakan salah
satu faktornya mengapa ijtihad sangat berperan pada era ini ka-
rena hal itu telah mendatangkan persoalan baru yang belum
muncul pada masa sebelumnya, tetapi hal ini juga adalah adanya
kebutuhan untuk memahami al-Quran dan sunnah. Meskepun
ijtihad membuka ruang ikhtilaf, tetapi sering digunakan secara
Bersama dan musyawarah apalagi saat itu para sahabat belum ter-
sebar luas, ijtihad sahabat banyak mendatangkan suatu kesepaka-
tan umum dari suatu generasi atau ijma.74
Khalifah pada masa Bani Umayyah ini tidak terlalu tahu
banyak tentang hukum dan syari‟at Islam dan cara-cara berijtihad
kecuali Umar bin Abdul Aziz. Ini disebabkan para khalifah Bani

69
Wilaela, Sejarah Islam Klasik (Pekanbaru: Fakultas Ushuluddin UIN Sul-
tan Syarif Kasim Riau, 2016), 57.
70
Musyrifa Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Prenada Media Group,
2007), 6.
71
https://an-nur.ac.id/periodisasi-sejarah-peradaban-islam/
72
Musyrifa Sunanto, Sejarah Islam Klasik, 6.
73
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar IBN al-Khaththab, 75.
74
Rusdiyah, “’Peranan Ijtihad dalam Legislasih Hukum Islam pada Era
Khulafaur Rasyidin”, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan , Vol. 10, No. 18,
2012, 40.
22 | Metodologi Studi Islam

Umayyah lebih terfokus kepada urusan politik agar kekuasaan


tidak berpindah ke tangan yang lain. Tidak seperti pada masa
Khulafa’urrasyidin pada masa ini urusan agama di serahkan pada
Ulama dan penguasa hanya bertanggung jawab pada urusan poli-
tik saja.
Selain itu, aktivitas ijtihad yang dilakukan oleh para tabi’in
/ dinasti Umayyah ada dua cara. Pertama, mereka tidak takut un-
tuk mengutamakan pendapat seorang sahabat daripada sahabat
yang lainnya, bahkan pendapat seorang tabi’in atas pendapat
seorang sahabat. Kedua, mereka sendiri melakukan pemikiran asli,
bahkan pada masa inilah pembentukan hukum yang
sesungguhnya dimulai.
Dengan kata lain, bahwa ketentuan-ketentuan hukum pada
masa Bani Abbasiyah sangat dipengaruhi oleh ijtihad para Imam
Mazhab. Adapun metode Ijtihad yang digunakan Imam Mazhab
tersebut adalah sebagai berikut:75
1. Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah termasuk pengikut tabi’in. Ia hidup disaat
empat orang sahabat masih ada, hanya saja diantara empat
orang sahabat tersebut yang sempat bertemu dengannya han-
ya Anas bin Malik.
Sumber syariat islam bagi Abu Hanifah adalah al-Qur’an
dan al-Sunnah, sebagaimana ulama lainnya. Hanya saja Abu
Hanifah sangat hati-hati dalam menerima hadis atau riwayat.
Ia tidak menerima suatu riwayat kecuali riwayat itu berasal
dari jama’ah atau riwayat itu di sepakati oleh fuqaha suatu
negeri dan di amalkan.76
2. Imam Malik
Nama lengkapnya adalah Malik bin bin Anas bin Malik
bin Abu Amir Al-Ashabi. Ia lahir di Madinah pada 93 H dan
menuntut ilmu kepada ulama Madinah. Orang yang di per-
gaulinya adalah Abdurrahman bin Hurmuz.

75
http://myrealblogcom.blogspot.com/2018/11/ijtihad-dan-fiqh-pada-
masa-bani-umayyah.html?m=1
76
Hadi Daeng Mapuna, “Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam
pada Masa Kodifikasi dan Iman-Iman Mujtahid”, al-daulah, Vol. 7, No. 1,
2018, 183-184.
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 23

Sandaran ijtihad Imam Malik adalah al-Qur’an, al-Sunnah,


ijma’ dan qiyas. Di samping itu, Imam Malik juga mena-
warkan ijtihad dalam bentuk al-maslahah al-mursalah. Teori
ini di ilhami oleh suatu paham bahwa syari’at islam bertujuan
untuk mendatangkan manfaat, kesejahteraan dan kedamaian
bagi kepentingan masyarakat dan mencegah kemudaratan.77
3. Imam Syafi’i
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdillah Mu-
hammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i Al-
Hasyimi Al-Muthalibi. Ia berasal dari keturunan Bani Muthalib
bin Abdi Manaf, yang juga kakek Rasulullah. Ia dilahirkan di
kota Ghazza di wilayah syiria pada tahun 150 H.
Landasan ijtihad Imam Syafi’I adalah al-Qur’an dan al-
Sunnah. Apabila dalam keduanya tidak ada, maka ia
mengqiyaskan (analogi) terhadap keduanya. Bila berkaitan
dengan hadis Rasulullah dan sanadnya shahih, maka itulah
tujuan akhir.78
4. Imam Ahmad bin Hambal
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah bin Hambal bin
Hilal bin Asad Asy-Syaebani Al-Mawarzi Al-Baghdadi. Ia lahir
di Baghdad pada tahun 164 H. Ia berusaha mengumpulkan
sunnahdan menghafalnya hingga menjadi imam ahli hadis
pada masanya. Imam Ahmad bin Hambal adalah murid ter-
tua Imam Syafi’i dari kalangan orang Baghdad.
Landasan ijtihad Imam Ahmad hampir sama dengan
prinsip Syafi’i. Ibnu Al-Qayyim dalam kitab I’lam Al-
Muwaqi’in sebagaimana dikutip As-Sayis menyebutkan bahwa
fatwa-fatwa Ahmad bin Hambal berdasar pada: (1) Al-Qur’an
dan hadis marfu’, (2) Fatwa sahabat, (3) Pendapat sahabat
yang lebih dekat pada Kitabullah dan sunnah, (4) Hadis Mur-
sal dan Hadis Dhaif (lemah) apabila dalam bab itu tak ada
sesuatu yang menolaknya, dan (5) Al-Qiyas (Analogi). Prinsip

77
Hadi Daeng Mapuna, “Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam
pada Masa Kodifikasi dan Iman-Iman Mujtahid”, 185.
78
Hadi Daeng Mapuna, “Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam
pada Masa Kodifikasi dan Iman-Iman Mujtahid”, 185.
24 | Metodologi Studi Islam

ini menurutnya digunakan ketika tidak mendapatkan hadis,


qaul Sahabi, hadis mursal atau dhaif.79

H. Penutup
Akal adalah anugrah yang sangat mulia yang Allah berikan
kepada manusia, dengan akal manusia dapat membedakannya
dengan mahluk yang lain. Dengan akal manusia dapat mem-
bedakan mana yang hak dan mana yang batil, dapat mem-
bedakan yang lurus dengan yang berliku-liku. Akal sangatlah ban-
yak perannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama di dunia is-
lam. Dengan akal manusia dapat memikirkan tentang penciptaan
Allah SWT.
Sebagaimana langit yang ditinggikan diciptakan dengan tanpa
tiang yang menyangganya, bagaimana terjadinya siang dan mal-
am yang terus menerus bergulir. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an
yang menjelaskan tentang akal, menjelaskan supaya manusia
menggunakan akalnya dengan baik. Allah memerintahkan manu-
sia supaya mempergunakan akal mereka untuk memikirkan apa-
apa yang ada disepannya, sesuatu yang terjadi yang manusia tisak
bisa melakukan semua itu, manusia disuruh berfikir tentang pen-
ciptaan Allah yang begitu besar, memikirkan tentang keagungan
Allah. Semua itu yang diperintahkan Allah supaya manusia
menggunakan akal yang diberikan denan maksimal dan tidak sia-
sia. Banyak fungsi-fungsi akal yang bisa kita lihat sepanjang ke-
hidupan ini. Dengan akal manusia dapat menciptakan penemuan-
penemuan yang canggih-canggih saat ini. Para ilmuan mem-
pergunakan akal mereka untuk meneliti sesuatu yang menurut
mereka belum pernah mereka temukan, para mufassir, para mu-
jitahid dan banyak lagi yang mempergunakan akal mereka untuk
menyelesaikan masalah yang hadir seiring dengan pergantian
waktu dan zaman.
Semua yang kita lakukan agar baik dan benar, kita harus
mempergunakan akal sehat kita sehingga mendapatkan hasil yang
memuaskan, karena seseorang yang mempergunakan akal mereka
dengan baik akan mendapatkan apa yang mereka tujukan.

79
Hadi Daeng Mapuna, “Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam
pada Masa Kodifikasi dan Iman-Iman Mujtahid”, 186.
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 25

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammad, “Kedudukan Akal dalam Islam”, Jurnal Pen-


didikan Agama Islam, Vol. 3, No. 1, 2018.
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Ba-
ru Algensindo, 2014)
Arfa, Ananda Faisar. Syam Syarifudin., dan Muhammad Syukri
Albani Nasution, Metode Studi Islam Jalan Tengah Me-
mahami Islam. (Jakarta: Rajawali Pers, 2016).
Badi’, Ahmad, “Ijtihad: Teori dan Penerapannya”, Vol. 24, N0. 2,
2013.
Fuadi, “Peran Akal Menurut Pandangan Al-Ghazali, Jurnal Sub-
stantia”, Vol. 15, No. 1, 2013).
Hakim, ABD Atang., dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010).
Harjoni, Agama Islam dalam Pandangan Filosofis (Bandung:
Alfabeta, 2012).
Has, Wafi Abd, “Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat
Islam”, Epesteme, Vol. 8, No. 1, 2013
http://myrealblog.com.blogspot.com/2018/11/ijtihad-dan-fiqh-
pada-masa-bani-umayyah.html?=1
https://an-nur.ac.id/periodisasi-peradaban-islam/
https://islami.co/tiga-fungsi-akal-dalam-al-quran
Imran, Zulfi, “Akal dan Wahyu Menurut Ibnu Rusydi, Jurnal Al-
mufida”, Vol. 1, No. 1, 2016.
Jamarudin, Ade, “Eksistensi Fungsi Akal Manusia Terhadap Per-
spektif al-Qur’an”, Jurnal An-Nur, Vol. 4, No. 1, 2015.
Juwaini, “Konsep Akal (Suatu Analisis Terhadap Pemikiran Al-
farabi dan Ibnu Sina)”, Jurnal Substansia, Vol. 12, No. 2,
2010.
26 | Metodologi Studi Islam

Kafi, Mohammad Iqbal Abdullah., dan Syarifah Hanum, “Pen-


didikan Kecerdasan Intelektual Berbasis Al-Qur’an”, Jurnal
Al-Hikmah, Vol. 2, No. 1, 2020.
Karim, Helmi, “Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia dalam
Pengembangan Hukum”, Pekanbaru: SUSQA PRESS, 1994).
Kelbulan, Emanuel. Jane S. Tambas., dan Oktavianus Parajouw,
“Dinamika Kelompok Tani Kalelon di Desa Kauneran
Kecamatan Sonder”, Jurnal Transdisiplin Pertanian (Budi-
daya Tanaman, Perkebunan, Perhutanan, Peternakan,
Perikanan), Sosial dan Ekonomi, Vol. 14, No. 3, 2018.
Lubis, Sakban, “Akal Menurut Cendikiawan Muslim Klasik dan
Kontemporer”, Jurnal Al-Hadi. Vol. IV, No. 1, 2018.
Mahdar, Dadang,” Kedudukan Akal dalam Al-Qur’an dan
Fungsinya dalam Pendidikan Hukum Islam”, Adliya, Vol.
8, No. 1, 2014.
Mapuna, Daeng Hadi, “Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Islam pada Masa Kodifikasi Dan Iman-Iman Mujtahid”, al-
daulah, Vol. 7, No. 1, 2018.
Naseh, Hanany Ahmad, “Ijtihad dalam Hukum Islam”, Jurnal An-
Nur, Vol. IV, No. 2, 2012.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Pers,
1996).
Nuruddin, Amiur, Ijtihad Umar Ibn al-Khaththab, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1991).
Ramadhanti, Dian, Apresiasi Prosa Indonesia, (Sumbar: Deepub-
lish, 2018).
Rukmana, Aan, “Kedudukan Akal dalam al-Qur’an dan Hadis”,
Mumtaz, Vol. 1, No. 1, 2017.
Rusdiansyah, ”Peran Ijtihad dalam Legislasih Hukum Islam Pada
Era Khulafaur Rasyidin”, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kali-
mantan, Vol. 10, No. 18, 2012.
Akal: Sumber Kebenaran dalam Islam | 27

Saputra, Aldi Ahmad. M. Noupal., dan Ahmad Soleh Sakni,


“Fungsi Akal dalam Pemikiran Pembaharuan Modern Is-
lam”, Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 3, No. 2,
2022.
Sari, Indah Julia Suci, “Hakekat, Dinamika Organisasi, dan Fungsi
Pemimpin dan Kepemimpinan Pendidikan Islam”, Jurnal
Ilmiah Iqra’ FTK IAIN Manado, Vol. 13, No. 1, 2019
Sulaiman, Abdul Wahhab Abu, Peran Akal dalam Hukum Islam
(Semarang: Dina Utama Semarang, 1994).
Sunanto, Musyrifa, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2007).
Surya, Reynaldi Aldi, “Kedudukan Akal dalam Islam: Perdebatan
Antara Mazhab Rasional dan Tradisional Islam”, Jurnal
Ilmu Ushuluddin, Vol. 5, No. 1, 2019.
Syathori, Achmad, Ijtihad dalam Syariat Islam (Jakarta: PT. Bulan
Bintang,1987).
Wilaela, Sejarah Islam Klasik (Pekanbaru: Fakultas Ushuluddin
UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2016).
Wilaela, Seri Sejarah Peradaban Islam Reinterprestasi Sejarah Islam
Klasik (Pekanbaru: Suska Press, 2011).

Anda mungkin juga menyukai