Teori Adobsi Inovasi

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI


TAHUN ANGGARAN 2020

KAJIAN ADOPSI TEKNOLOGI KOMUNIKASI PEMBELAJARAN


DARING DI ERA PANDEMI COVID-19 DENGAN PENDEKATAN
DIFUSI INOVASI (STUDI KASUS FIS UNY)

Oleh :

Chatia Hastasari, S.Sos., M.I.Kom./NIP. 19860624 201504 2 003


Novianto Yudha Laksana, S.Pd., M.Pd./NIP. 19891115 201903 1 003
Hardian Wahyu Widianto, S.Sos., MPA./NIP. 19940428 201903 1 006
Ridwan Atras Shani/NIM. 17419144024
Millencia Laura Mahadevi/NIM. 18419141006

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
NOVEMBER 2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
RINGKASAN.......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian…. ........................................................................ 14
D. Kontribusi Penelitian ....................................................................... 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA............................................................................. 16
A. Difusi Inovasi ................................................................................. 16
B. Kategori Adopter ............................................................................ 16
C. Saluran Komunikasi ....................................................................... 17
D. Proses Adopsi Inovasi ..................................................................... 18
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 20
A. Roadmap Penelitian.......................................................................... 20
B. Jenis Penelitian ................................................................................ 20
C. Setting Penelitian ............................................................................. 20
D. Subyek Penelitian ............................................................................. 21
E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data........................................ 21
F. Keabsahan Data ............................................................................... 22
G. Teknik Analisis Data........................................................................ 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 24
BAB V KESIMPULAN ……………….............................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 26
LAMPIRAN ............................................................................................................ 27
KAJIAN ADOPSI TEKNOLOGI KOMUNIKASI PEMBELAJARAN
DARING DI ERA PANDEMI COVID-19 DENGAN PENDEKATAN
DIFUSI INOVASI (STUDI KASUS FIS UNY)

RINGKASAN

Pandemi Covid-19 telah membuat semua kegiatan pembelajaran harus dilakukan


secara daring. Penguasaan teknologi kaitanya dengan media yang digunakan
sebagai platform pendukung proses pembelajaran musti dikuasai. Permasalah
muncul ketika proses adopsi teknologi tidak merata sehingga menghambat atau
menjadi pemicu gap teknologi dalam proses pembelajaran daring di masa
pandemi. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui bagaimana proses difusi
inovasi teknologi komunikasi pembelajaran daring di era pandemi Covid-19 serta
(2) mengetahui bagaimana proses adopsi inovasi yang dilakukan oleh dosen.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan setting penelitian


di Fakultas Ilmu Sosial UNY. Teknik pengumpulan data yang digunakan
menggunakan metode indepth interview atau wawancara mendalam terhadap
narasumber dosen-dosen FIS UNY yang melakukan pembelajaran daring. Fokus
penelitian dari sisi komunikasi dibangun pada bagaimana proses individu dalam
mengadopsi inovasi baru. Peneliti menggunakan teknik purposive sampling dalam
menentukan sampel. Teknik pengumpulan data melalui studi literatur dan
wawancara mendalam sebagai data utama. Untuk validasi, peneliti menggunakan
triangulasi data. Dengan penelitian ini diharapkan dosen akan semakin mudah
beradaptasi dengan perkembangan teknologi terkini, terutama di masa pandemi
Covid-19.

Kata kunci: teknologi komunikasi, pembelajaran daring, difusi inovasi


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Awal tahun 2020, dunia dikejutkan dengan mewabahnya virus yang
kemudian disebut Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Wabah COVID-19
telah memunculkan beragam kepanikan, termasuk salah satunya di ranah
pendidikan tinggi. Pemerintah pun mengambil langkah antisipatif dengan berbagai
kebijakan diantaranya menetapkan status siaga, darurat bencana, kejadian luar
biasa hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Semenjak saat itulah
diberlakukan pengaturan jarak sosial dan fisik (social & physical distancing) di
berbagai lini kehidupan guna mencegah meluasnya penyebaran COVID-19.
Semakin sulit dikendalikannya virus ini dan seiring bertambahnya jumlah korban
tiap hari menjadi dasar kebijakan tersebut diambil untuk diterapkan di seluruh
penjuru Indonesia.

Salah satu kementerian yang mengambil langkah cepat adalah Kementerian


Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kemendikbud menghimbau melalui
Surat Edaran No 3 Tahun 2020 tentang pencegahan COVID-19 untuk diterapkan
dan ditindaklanjuti oleh seluruh satuan pendidikan tinggi di Indonesia, tidak
terkecuali Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Menanggapi surat edaran
tersebut, UNY mengambil langkah tegas atas himbauan pemerintah untuk
melakukan pembatasan kegiatan di kampus melalui Surat Edaran Nomor 6 Tahun
2020. Rektor UNY menghimbau untuk segala aktivitas akademik yang biasa
dilakukan di kampus, saat masa pandemi ini harus dilakukan dari rumah. Tidak
terbatas hanya mahasiswa saja, namun juga seluruh dosen dan tenaga
kependidikan pun harus bekerja dari rumah guna mencegah persebaran wabah
COVID-19.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa wabah pandemi ini memiliki efek
yang luar biasa sehingga memaksa dunia pendidikan tinggi mengubah dan
mengadaptasi pola kerja baru yakni dari pelayanan konvensional menjadi
pelayanan yang berbasis daring (online). Pada dasarnya, sebagai pelopor
pendidikan tinggi di Indonesia, UNY telah memiliki platform untuk implementasi
sistem pembelajaran jarak jauh sebelum wabah COVID-19. Oleh karenanya,
ketika ada kebijakan pemerintah mengenai "belajar dari rumah" selama pandemi
Covid-19, UNY hanya perlu meneruskan saja implementasi pembelajaran daring
tersebut dengan platform yang telah disediakan yaitu Be-Smart UNY. Namun,
meski infrastruktur teknologi dan SDM-nya telah disiapkan dengan baik,
implementasi pembelajaran daring yang dilakukan oleh dosen masih sangat
terbatas. Hal ini disebabkan karena berbagai hal, diantaranya adalah kurangnya
sosialisasi penggunaan baik di kalangan dosen ataupun mahasiswa, kurangnya
jadwal pelatihan bagi pengguna Be-Smart khususnya dosen, rendahnya motivasi
dosen dalam mengembangkan sistem pembelajaran secara daring, dan kendala
lainnya yang dirasakan oleh mahasiswa lebih tertuju pada kurangnya fasilitas
komputer yang dapat digunakan (Sukardi, dkk, 2007).

Padahal jika ditinjau lebih jauh, platform Be-Smart UNY sudah sangat
memadai. Mahasiswa dapat secara leluasa mengakses berbagai materi perkuliahan
yang terdaftar, forum diskusi, ruang chat, serta mengerjakan tugas kuliah dari
dosen. Selain itu, dosen pun juga dapat memanfaatkan Be-Smart UNY untuk
memberikan variasi pembelajaran secara konvensional. Namun karena tidak
semua dosen terbiasa menggunakan platform Be-Smart UNY, dosen diberikan
kebebasan untuk menggunakan platform lainnya seperti Whatsapp group, aplikasi
video conference seperti Zoom, Google Meet, Google classroom, maupun Webex.

Seluruh platform tersebut dapat digunakan secara bergantian untuk


memudahkan proses pembelajaran secara daring. Namun hal terpenting dari
implementasi pembelajaran daring adalah proses komunikasi. Seorang dosen
harus memperhatikan perkembangan anak didiknya serta memastikan hak
memperoleh pendidikan tetap berjalan meskipun dengan perantara teknologi.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa


Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial UNY (HIMA AP FIS UNY) pada Bulan
April 2020 lalu, ada beberapa kendala yang ditemui saat implementasi
pembelajaran daring dimana salah satunya adalah adanya kendala pada
penyampaian materi yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak seluruh
dosen telah mempersiapkan metode pembelajarannya secara daring. Kesiapan
dosen dalam melakukan pembelajaran secara daring dipengaruhi kemampuan
dalam menggunakan teknologi. Sedangkan kemampuan seseorang dalam
menggunakan teknologi berhubungan dengan proses difusi inovasi yang
diterimanya.

Rogers (2003) dalam Sahin (2006) mendefinisikan difusi sebagai suatu proses
dimana suatu inovasi yang baru dikomunikasikan oleh seseorang melalui saluran-
saluran tertentu dengan rentang waktu tertentu di dalam suatu kelompok
masyarakat. Rogers juga menyebutkan bahwa ada empat unsur utama dalam
difusi, hal tersebut ialah inovasi, saluran komunikasi, waktu dan social system.
Ansorudin Sidik (2007) mengungkapkan tujuan dari difusi berbeda dengan tujuan
dari komunikasi. Tujuan dari difusi adalah perubahan perilaku dari masyarakat
sedangkan tujuan komunikasi sekedar perubahan pengetahuan dan sikap. Agar
masyarakat mengadopsi teknologi terbaru, pengenalan terhadap inovasi teknologi
yang ditawarkan tidak berhenti pada tujuan komunikasi saja melainkan lebih
kepada tujuan difusi.

Selama ini proses difusi inovasi berupa pemanfaatan platform-platform yang


dapat digunakan sebagai media pembelajaran daring oleh UNY pada para dosen
memang masih sangat terbatas dan cenderung mengabaikan tingkat kemampuan
para dosen. Sebagai contoh, saat pelatihan penggunaan Be-Smart tidak ada
klasifikasi peserta yang didasarkan pada usia dan jenis mata kuliah yang
diajarkan. Akibat dari tidak adanya klasifikasi peserta yang oleh Rogers disebut
sebagai adopter berdasar pada usia dan jenis mata kuliah yang idajarkan, hingga
saat ini UNY masih belum dapat mencapai kualitas pembelajaran daring secara
optimal.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini akan secara khusus mengkaji dan
menganalisis menggunakan pendekatan teori difusi inovasi milik Rogers untuk
mengetahui bagaimana proses difusi pada pembelajaran daring khususnya di FIS
UNY. Fokus penelitian dari sisi komunikasi dikonstruksikan bagaimana proses
adopsi inovasi yang dilakukan oleh dosen. Dengan bahasan ini diharapkan dosen
lebih mudah beradaptasi terhadap adanya perkembangan teknologi terbaru
terutama pada masa pandemi Covid-19.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses difusi inovasi teknologi komunikasi pembelajaran
daring di era pandemi Covid-19 di FIS UNY?
2. Bagaimana proses adopsi inovasi yang dilakukan oleh dosen FIS UNY?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana proses difusi inovasi teknologi komunikasi
pembelajaran daring di era pandemi Covid-19 di FIS UNY;
2. Untuk mengetahui bagaimana proses adopsi inovasi yang dilakukan oleh
dosen FIS UNY.

D. Kontribusi Penelitian
Penelitian ini akan memberikan sumbangan konseptual dalam mengatasi
hambatan yang dihadapi oleh dosen dengan menghasilkan sebuah konsep
dasar mengenai identifikasi adopter pada setiap tahapan difusi inovasi berupa
teknologi komunikasi pembelajaran daring di era pandemi Covid-19. Spesifikasi
luaran penelitian antara lain berupa artikel ilmiah yang dimuat di jurnal
internasional bereputasi atau jurnal nasional terakreditasi. Selain itu luaran
penelitian juga diseminasikan dalam seminar internasional ICERI 2020.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Difusi Inovasi
Menurut Mizar, Mawardi, Maksum, dan Rahardjo (2008) adopsi merupakan
penerimaan atau penggunaan suatu ide, alat – alat (mesin) atau teknologi baru
oleh adopter yang disampaikan oleh pembawa teknologi. Sementara itu telah
diakui secara umum bahwa teknologi dapat membantu organisasi meningkatkan
kinerja dan selanjutnya mencapai keunggulan kompetitif (Ellitan, 2003). Teori
difusi inovasi atau Diffusion of Innovation (DOI) yang dikemukakan oleh Rogers
pada tahun 1983 (Rogers, 2003) merupakan kerangka teori yang digunakan untuk
memahami evaluasi, adopsi dan implementasi teknologi; serta mengidentifikasi
faktor-faktor yang menghambat dan mendorong adopsi dan implementasi
teknologi (Fichman, 1992).
Rogers (2003: 14-16) mengemukakan lima kriteria dalam teori difusi inovasi
yang menjadi penentu adopsi teknologi baru. Kriteria pertama, relative advantage
menunjukkan sejauh mana sebuah inovasi teknologi lebih dari inovasi
sebelumnya. Manfaat ini dapat dilihat dari sudut pandang teknis, ekonomis,
prestise, kenyamanan dan kepuasan. Jika seseorang merasa bahwa sebuah inovasi
teknologi memberikan relative advantage yang tinggi maka ia akan mengadopsi
teknologi tersebut. Kriteria kedua, compatibity adalah kesesuaian sebuah inovasi
teknologi dengan nilai diri adopter, pengalaman adopter, dan kebutuhan adopter.
Kriteria ketiga, complexity (Rogers, 2003: 15) merujuk pada tingkat kesulitan
pemahaman dan penggunaan sebuah inovasi teknologi. Semakin kompleks dan
rumit sebuah inovasi teknologi akan lebih sulit diadopsi. Kriteria keempat,
trialability (Rogers, 2003: 16) adalah sejauh mana suatu inovasi teknologi dapat
dicoba dan diuji. Kriteria terakhir yang menjadi pertimbangan dalam mengadopsi
teknologi baru adalah observability, kriteria ini terkait dengan sejauh mana hasil
adopsi inovasi teknologi dapat diamati dan dikomunikasikan. Jika sebuah inovasi
bisa dicoba sebelum diadopsi maka akan meningkatkan keinginan individu
mengadopsi teknologi baru (Wahid dan Iswari, 2007).
Mizar dkk (2008) menyimpulkan bahwa dalam mengukur penerimaan adopsi
inovasi teknologi, teori difusi inovasi lebih menekankan pada aspek teknis.
Peneliti- peneliti tersebut menyatakan disamping aspek teknis terdapat tiga hal
lain yang tak kalah penting yaitu aspek lingkungan, aspek organisasi, dan aspek
individual. Al-Qeisi (2009) menyebutkan adanya empat kriteria tambahan yang
mempengaruhi adopsi teknologi yaitu: 1) tipe dari inovasi teknologi; 2) saluran
komunikasi; 3) sistem sosial; dan 4) perubahan agen promosi.

B. Kategori Adopter
Rogers (2003: 22) menyatakan berdasarkan karakteristik individu seperti
kondisi sosial ekonomi, perilaku dalam berinteraksi dan berkomunikasi maka
perilaku dalam mengadopsi sebuah inovasi dapat dipilah menjadi lima kategori
yaitu inovator, early adopter, early majority, late majority, dan laggards. Rogers
(2003) menggambarkan perilaku terhadap adopsi inovasi baru tersebut
membentuk kurva distribusi normal seperti yang tampak pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Kategorisasi Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi


Sumber: Roger (2003)

C. Saluran komunikasi
Dalam pengambilan keputusan terhadap sebuah inovasi, saluran komunikasi
memegang peranan penting dalam proses tersebut. Saluran komunikasi
merupakan alat yang digunakan dalam proses penyampaian pesan dari satu
individu ke individu lain. Menurut Soekartawi (dalam Sarwoprasdjo, Sri, &
Mulyandari, 2016), salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi kecepatan
adopsi inovasi adalah pola hubungan pengadopsi dalam memperoleh sumber
informasi. Media massa merupakan suatu saluran yang digunakan untuk
mentransmisikan pesan yang memungkinkan sumber untuk mencakup beberapa
audiens sekaligus. Komunikasi massa menunjukkan seluruh sistem yang
menunjukkan pesan-pesan diproduksi, dipilih untuk disiarkan dan ditanggapi.
Komunikasi massa menyiarkan informasi ide atau gagasan serta sikap kepada
komunikan yang beragam dalam jumlah yang besar dengan menggunakan media
(Setiawati, 2008). Media massa dapat meliputi media cetak dan elektronik seperti
buku, majalah, televisi, radio, koran yang audiensnya bersifat heterogen.
Media massa digunakan sebagai saluran komunikasi untuk mencari informasi
oleh early adopter dan early majority karena ketika mereka meyadari akan adanya
teknologi baru tersebut lingkungan sosial mereka belum sadar dan minim akan
informasi tersebut. Hal ini membuat early adopter dan early majority
menggunakan media massa sebagai alat untuk menggali informasi akan inovasi
ini.
Karakteristik media massa yang bersifat cepat dalam penyebarannya sangat
berpengaruh terhadap penerimaan adopter awal. Penyebaran informasi yang
digunakan untuk menyampaikan pesan terkait adanya inovasi baru dengan
menggunakan media massa akan sangat efektif dalam menjangkau sasaran.
Saluran media massa mampu secara cepat menjangkau adopter tingkat awal.
Saluran komunikasi interpersonal meliputi penyampian pesan yang dilakukan satu
individu ke individu lainnya. Saluran interpersonal merupakan cara yang
digunakan melalui pendekatan pribadi dengan tujuan individu mau mengadopsi
sebuah inovasi (Pratama dalam Puspitasari, 2017). Dalam komunikasi
interpersonal, peran komunikator sangat menentukan keberhasilan pesan yang
diterima calon adopter.

D. Proses Adopsi Inovasi


Menurut Rogers (dalam Sahin, 2006) proses adopsi inovasi yang dilakukan
memiliki beberapa tahapan, tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Knowledge (Pengetahuan)
Proses keputusan inovasi dimulai dari tahap pengetahuan, yakni pengetahuan
kesadaran tentang adanya sebuah inovasi dan pengetahuan akan penggunaan dari
inovasi tersebut. Menurut Rogers (dalam Sahin, 2006) terdapat tiga jenis
pengetahuan, pertama, pengetahuan akan kesadaran adanya inovasi, yakni bahwa
mengerti akan adanya inovasi baru, kedua, pengetahuan akan penggunaan yakni
pengetahuan terkait bagaimana cara menggunakan teknologi tersebut dan ketiga,
prinsip pengetahaun, yakni pemahaman bagaimana dan mengapa inovasi tersebut
bekerja. Pengetahuan kesadaran yang telah dimiliki individu dapat mendorong
untuk mencari informasi lebih terkait how-to-knowledge, yakni memahami cara
penggunaan inovasi tersebut serta prinsip kerja dari inovasi. Pengetahuan tentang
eksistensi inovasi dapat menjadi motivasi individu untuk lebih banyak belajar
tentang inovasi sehingga akhirnya memutuskan untuk mengadopsi (Rogers dalam
Sahin, 2006). Penggunaan media komunikasi yang benar dan tepat dalam
menyebarkan informasi terkait pengetahaun akan mendapatkan hasil yang efektif
dan mampu menjangkau sasaran yang dituju.

2. Persuasion (Persuasi)
Tahap persuasi menunjukkan bagaimana individu atau keompok bersikap
setelah memiliki pengetahuan tentang inovasi. Tahap persuasi mengarah kepada
bagaiman individu memandang positif atau negative terkait inovasi. Selama tahap
ini, indvidu akan terus mencari informasi guna mengurangi ketidakpastian,
informasi yang dicari lebih mempengaruhi sisi afektif dibanding kognitif.

3. Decision Stage (Keputusan)


Pada tahap ini individu mulai terlibat lebih jauh dalam proses adopsi,
aktivitas individu mengarah pada pilihan adopsi atau rejection inovasi. Adopsi
merupakan keputusan untuk menggunakan secara penuh sebuah inovasi
sedangkan rejection berarti penolakan untuk menggunakan inovasi. Pada tahap
ini, adopter akan mengambil keputusan terkait penggunaan inovasi, setiap
keputusan yang adopter pilih disertai alasan mereka mengambil keputusan
tersebut.

4. Implementation (Pelaksanaan)
Pada tahap ini sebuah inovasi dipraktekkan. Pada tahap ini individu mulai
menggunakan inovasi dalam kegiatan recording mereka. Ketidakpastian akan
hasil bisa saja membuat adopter untuk berhenti memakai inovasi.

5. Confirmation (Pemantapan)
Pada tahap ini individu telah memutuskan untuk tetap menerima inovasi atau
berhenti menggunakannya. Pada tahap ini, adopter dapat berhenti memakai
inovasi dengan jika ada inovasi yang lebih baik untuk menggantikan inovasi saat
ini, penghentian jenis ini disebut pengganti penghentian. Jenis lainnya adalah
penghentian kekecewaan, dimana individu menolak atau berhenti menerima
inovasi karena tidak puas akan kinerjanya (Rogers dalam Sahin, 2006).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Roadmap Penelitian
Adapun proses difusi inovasi teknologi komunikasi pembelajaran daring yang
dikaji pada masa pandemi tahun 2020 menjadi referensi penelitian di tahun
berikutnya. Sampai pada tahun 2022 diharapkan tercipta proses atau prototipe
produk yang mendukung program kemerdekaan kampus untuk kegiatan belajar
mengajar (KBM).

Gambar 2. Alur penelitian atau Roadmap Penelitian

B. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
digunakan untuk mengemukakan gambaran mengenai bagaimana dan mengapa
suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi (Pawito 2008 : 35). Pada penelitian
ini peneliti ingin memberi gambaran mengenai adopsi teknologi komunikasi
pembelajaran daring maka metode yang tepat ialah dengan pendekatan deskriptif.
Menurut Bajari (2015), tujuan dari penelitian deskriptif adalah mengembangkan
konsep dan menghimpun fakta-fakta, bukan untuk menguji hipotesis. Penelitian
deskriptif berusaha menemukan pola sederhana yang didasarkan pada konsep
terntentu.
C. Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Yogyakarta mulai dari bulan April hingga September 2020.

D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah dosen di lingkungan FIS UNY. Subjek penelitian
diambil secara purposif, yaitu dilakukannya berbagai pertimbangan mengambil
subjek penelitian yang memiliki kompetensi sesuai dengan tujuan penelitian.

E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dipilih peneliti dalam penelitian ini untuk
data kualitatif yaitu metode indepth interview/ wawancara mendalam. Peneliti
melakukan wawancara mendalam dengan model semi-struktur. Hal ini dilakukan
agar peneliti memiliki kebebasan dalam bertanya kepada narasumber dan juga
mengatur alur serta setting wawancara.
Menurut (Moleong, 2010), teknik wawancara adalah percakapan dengan
maksud tertentu. Percakapan dalam wawancara dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan
jawaban atas pertanyaan. Menurut (Sugiyono, 2010), metode wawancara adalah
metode pengumpulan data yang dilakukan dengan pertemuan dua orang untuk
bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan
makna dalam suatu topik tertentu. Dengan wawancara, maka peneliti akan
mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam
menginterprestasikan situasi dan fenomena yang terjadi.
Sedangkan instrumen dalam penelitian dapat berupa pedoman wawancara,
kuesioner, dan peneliti itu sendiri. Menurut (Sugiyono, 2010), peneliti kualiatif
sebagai human instrumen berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih
informasi sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas
data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan. Instrumen dalam
penelitian ini adalah peneliti.
F. Keabsahan Data
Wawancara dilakukan langsung dengan responden melalui wawancara yang
mendalam, terbuka dan partisipatif, sehingga proses wawancara dapat berjalan
lancar. Guna menguji validitas data, peneliti menggunakan triangulasi.
Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain (Moleong, 2009: 330). Dalam penelitian ini, peneliti akan
menggunakan trianggulasi sumber, yaitu cara membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi atau data yang telah diperoleh melalui
wawancara antara responden satu dengan lainnya. Dari sini, peneliti akan sampai
pada salah satu kemungkinan: data yang diperoleh ternyata konsisten, tidak
konsisten, atau berlawanan. Dengan cara begini peneliti kemudian dapat
mengungkapkan gambaran yang lebih memadai (beragam perspektif) mengenai
gejala yang diteliti (Pawito, 2007:99).

G. Teknik Analisis Data


Analisis data menggunakan model yang dikemukakan oleh Miles dan
Huberman (1992:2) yaitu tahap reduksi data, tahap penyajian data, dan tahap
penarikan kesimpulan dan verifikasi data. Berdasarkan konsep dari Miles dan
Huberman tersebut setelah data terkumpul :
1. Pengumpulan data, yaitu proses pengumpulan data yang diperoleh secara
keseluruhan di lapangan, meliputi wawancara, observasi dan dokumentasi.
2. Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan dan transformasi data mentahdari catatan-catan tertulis di
lokasi penelitian.
3. Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan dari data mengenai kekuatan perempuan pemimpin.
4. Pembuatan simpulan merupakan kegiatan akhir dari analisis data yang berupa
kegiatan interpretasi atau pemaknaan dari hasil penelitian.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Inovasi
Inovasi merupakan ide, gagasan atau konsep yang diterima sebagai sesuatu
yang baru oleh masyarakat atau unit penerima lainnya, sedangkan digitalisasi
menurut Rogers merupakan sebuah produk inovasi (Rogers dalam Setyawan,
2017). Dalam penelitian ini, inovasi yang dimaksudkan adalah teknologi
komunikasi pembelajaran daring yang hadir sebagai inovasi bahkan sebelum
munculnya pandemi.
Pembelajaran daring di Fakultas Ilmu Sosial UNY sendiri sebenarnya sudah
pernah dilakukan secara blended, yakni kombinasi antara pembelajaran tatap
muka dengan daring. Ada beberapa dosen di FIS UNY yang memang menerapkan
metode ini sebagai solusi kedinamisan dalam pembelajaran. Salah satu platform
teknologi komunikasi yang digunakan dalam pembelajaran daring adalah besmart.
kutipan
Dari beberapa defenisi yang telah di paparkan diatas dapat disimpulkan
bahwa e-learning merupakan suatu proses pembelajaran jarak jauh yang berbasis
elektronik dengan memanfaatkan media jaringan komputer. Selain menggunakan
e-learning sebagai sarana pembelajaran, dosen maupun mahasiswa juga
menggunakan teknologi komunikasi seperti Whatsapp, Telegram dan video
conference seperti Zoom, Google Meet dan lain-lain.

B. Kategori Adopter
Berdasarkan waktu pengambilan keputusan, kategori pengadopsi inovasi terbagi
atas beberapa kategori antara lain (a) inovator, (2) early adopter, (3) early
majority, (4) late majority dan (5) leggards. Inovator, adalah penggagas pertama
sebuah inovasi dan hal-hal baru sangat disenangi oleh mereka. Dalam
menyampaikan ide yang baru, seorang inovator dapat menggunakan berbagai
saluran komunikasi. Early adopter, adalah mereka yang menerima ide baru
pertama kali dari inovator, dan sangat berpengaruh dalam sistem tatanan sosial.
Early majority, merupakan pengadopsi selanjutnya dari inovasi, mereka menerima
inovasi selangkah lebih cepat dibanding yang lainnya. Late majority, adalah
kategori keempat, dimana masing masing individu akan mengadopsi sebuah
inovasi apabila sebagaian besar anggota dalam sistem sosialnya telah mengadopsi.

Setelah melakukan wawancara, narasumber dalam penelitian ini dikelompokkan


menjadi tiga yakni kategori early adopter, early majority dan late majority. Dalam
penelitian ini, early adopter memiliki karakteristik terbuka terhadap informasi dan
mempunyai senioritas serta jaringan informasi yang luas.

”iya selalu, banyak sekali media yang diajarkan mulai dari besmart, google
clasroom, google meet, dan masih banyak lagi. Jadi karena saya memang
concernnya ke media digital alhasil memang banyak yang kemudian saya ajarkan
terkait berbagai hal yang berbau teknologi baik kepada para dosen baik formal
maupun informal”.

(Grendi, Dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi FIS UNY)

Karakter individu early adopter merupakan kategori adopsi yang dihormati oleh
anggota dibawahnya. Mereka juga mempunyai pengaruh dan jaringan informasi
yang kuat serta kemampuan berkomunikasi yang baik. Jam terbang yang tinggi
dalam penggunaan inovasi teknologi pembelajaran serta banyak mengikuti
kegiatan workshop di dalam maupun diluar fakultas membuat karakter ini
disegani. Selain itu early adopter juga terbuka terhadap informasi, mereka lebih
cepat mendapat informasi daripada anggota sosial lainnya. Mereka juga sering
melakukan sharing terhadap rekan sejawat atau anggota dibawahnya.

Early majority dalam penelitian ini memiliki karakteristik yakni terbuka terhadap
informasi dan memiliki jaringan yang luas.

“sesama dosen sering, misal saya dengan pak Miftah, saya dengan pak Danar,
saling komunikasi ini bagaimana. Karena kita satu sama lain juga kadang tidak
tahu secara penuh proses atau langkah-langkah menggunakan media digital
tersebut. Misal saya tahu disini, pak Miftah tahu disini, jadi saling bertukar
informasi saja”.

(Ajat, Dosen Jurusan Ilmu Sejarah FIS UNY)

Sedangkan menurut Satriyo Wibowo dosen jurusan pendidikan IPS mengatakan,


“kegiatan lebih bersifat pada sharing atau saling membantu antar dosen ketika
ada dosen yang mengalami kesulitas dan kita bisa, maka akan dibantu dan begitu
sebaliknya”.

(Striyo, Dosen Jurusan Pendidikan IPS FIS UNY)

Selain bertukar informasi, setiap anggota kelompok early majority memeiliki


pengetahuan yang cukup dalam pengelolaan media edukasi yang lainnya.

“.........beberapa dosen yang meminta bantuan saya untuk mengunggah materi


dan membuatkan akun gitu. Jadi saya hanya mengarahkan beliaunya jalan
sendiri. Media yang saya ajarkan Besmart dan Quiziiz”.

(Chatia, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FIS UNY).

Beberapa media sosial yang sudah familiar seperti instagram dan twitter menjadi
salah satu media pembelajaran selain besmart.

“..........kemudian media social instagram”.

(Sasiana, Dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi FIS UNY).

Hal serupa juga disampaikan oleh Dyna Herlina, yang sudah menggunakan media
sosial sebagai alat pembelajaran dari tahun 2017.

“aku tuh pakai twitter secara rutin tahun 2017, 2018, 2019...........”.

(Dyna, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FIS UNY)

Setiap anggota early majority memiliki sifat keterbukaan yang cukup tinggi
terhadap informasi terkait inovasi. Mereka aktif mencari informasi dengan
menggunakan berbagai jenis media. Mereka juga berekplorasi dengan media
pembelajaran yang lain untuk menemukan alternatif yang lain. Sedangkan untuk
kategori late majority dalam penelitian ini merupakan tenaga pengajar yang
mengadopsi inovasi teknologi pembelajaran setelah banyak dipakai oleh yang
lain. Individu ini memiliki karakteristik yakni lamban dalam proses adopsi dan
cenderung curiga terhadap inovasi.

“kalau saya sendiri lebih ke menunggu sih orangnya, nggak inisiatif untuk
membantu, ya kalau menunggu beliaunya kesusahan ya saya bantu”.
(Herdian, Dosen Administrasi Publik FIS UNY).

Karakteristik yang curiga terhadap inovasi dan juga dianggap sebagai


“menggurui” juga termasuk dalam kategori kelompok late majority.

“tidak, kalau inisiatif sendiri dikira menggurui, biasanya beliau menanya dulu
kemudian semampu saya menunjukan caranya”.

(Candra, Dosen Jurusan PPKn FIS UNY)

C. Saluran Komunikasi
Dalam pengambilan keputusan terhadap sebuah inovasi, saluran komunikasi
memegang peranan penting dalam proses tersebut. Saluran komunikasi
merupakan alat yang digunakan dalam proses penyampaian pesan dari satu
individu ke individu lain. Menurut Soekartawi (dalam Sarwoprasdjo, Sri, &
Mulyandari, 2016), salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi kecepatan
adopsi inovasi adalah pola hubungan pengadopsi dalam memperoleh sumber
informasi. Temuan dari hasil wawancara menunjukkan bahwa adaptasi terhadap
penggunaan teknologi menjadi sebuah alternatif kegiatan pembelajaran di era
pandemi seperti saat ini.
“ya karena kondisi pandemic, saat ini yang membuat pembelajran tatap
muka tidak memungkinkan sehingga dilakukan secara daring yang media
utamanya adalah digital, sehingga pembelajaran tetap dapat dilakukan”
(Agustina, Dosen Jurusan Pendidikan IPS FIS UNY).
Saluran komunikasi dalam mendapatkan informasi menjadi sebuah upaya yang
seharusnya dilakukan untuk mencapai tujuan. Penyampaian pesan menggunakan
teknologi digital menjadi sebuah hal yang seharsunya dipahami dan dimiliki oleh
setiap individu, khususnya pada kegiatan pembelajaran. Penyaluaran informasi
melalui digital menjadi sebuah jembatan atau solusi dalam menghadapi situasi dan
kondisi pandemi seperti saat ini. Sehingga seluruh proses dan aktivitas seseorang
dapat dijalankan sesuai dengan prinsip dan tujuan yang akan dicapai.

“......... sudah dua semester ini menerapkan blended learning, hanya dalam
pandemic ini full daring. Jadi konsep blended learing ini alasannya untuk
mengakomodir tingkat homogenitas mahasiswa yanag generasi sekarang.
Kalau mahasiswa jaman sekarang harus kita fasilitasi dengan teknologi
digital seperti itu”.
(Dyah Kumalasari, Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FIS UNY).

Proses saluran komunikasi menjadi hal pokok untuk menciptakan dan mengadopsi
era yang baru. Penggunaan teknologi digital memberikan tingkat kemudahan yang
banyak dalam proses pembelajaran. Pengadopsian teknologi komunikasi menjadi
hal yang efektif dan efisien dalam mendukung setiap kegiatan. Sehingga seluruh
kegiatan dapat terakomodir dalam sebuah teknologi digital guna meningkatkan
pengetahuan dalam dunia saluran informasi dan komunikasi.

D. Proses Adopsi Inovasi


Tahap knowledge, proses keputusan inovasi dimulai dari tahap pengetahuan,
yakni pengetahuan kesadaran tentang memahami cara penggunaan inovasi
tersebut serta prinsip kerja dari inovasi. Pengetahuan tentang eksistensi inovasi
dapat menjadi motivasi individu untuk lebih banyak belajar tentang inovasi
sehingga akhirnya memutuskan untuk mengadopsi[2]. Penggunaan media
komunikasi yang benar dan tepat dalam menyebarkan informasi terkait
pengetahaun akan mendapatkan hasil yang efektif dan mampu menjangkau
sasaran yang dituju.

"dalam mempelajari media komunikasi khususnya untuk pembelajaran saya lebih


otodidak, belajar dari satu referensi ke referensi yang lain. Selain itu beberapa
pelatihan juga sempat saya ikuti guna menambah pengetahuan tentang
penggunaan media komunikasi"

(Anto, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FIS UNY)

Tahap persuasi menunjukkan sikap individu atau kelompok setelah memiliki


pengetahuan tentang inovasi. Ketertarikan yang dirasakan oleh informan sejak
awal membuat informan mencari tahu lebih jauh tentang inovasi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Notoatmojo[6] bahwa proses adopsi yang didasari oleh
pemahaman dan kesadaran maka ketertarikannya akan bersifat langgeng.
Informan akan terlibat lebih jauh sebelum mengambil proses keputusan dan akan
menilai inovasi dengan berbagai pertimbangan yang dilihat dari karakteristik
inovasi. Karakteristik tersebut seperti yang dijelaskan oleh Rogers, yakni relatif
advantage (keuntungan relatif), compatibility (compatibility), complexity
(kerumitan) [7].
Keuntungan relatif, gagasan atau ide tersebut dianggap lebih baik dari ide yang
sebelumnya, sehingga layak menggantikan ide sebelumnya. Tingkat keuntungan
relatif dapat diukur dari segi ekonomi, faktor kepuasan ataupun kenyamanan[3].
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap informan, ditemukan bahwa
teknologi komunikasi pembelajaran daring menawarkan kemudahan bagi
pengguna, mulai dari deliver materi hingga interaksi dalam pembelajaran.

“manfaat dari segi aspek waktu jauh lebih fleksibel dan efektif, disisi lain kita
membutuhkan energi dalam menyusun konseptualitas bagaimana merancang
media pembelajaran. .........dampaknya menunjukan waktu yang lebih bisa
fleksibeldan bisa diakses kapan pun. Kemudian dari aspek teknologi ini juga
menunjukan sisi kepraktisan, .........literasi digital yang baik adalah adopsi
pembelajaran daring, dari memamahi, mempelajarai, mempraktekkan, sehingga
ada upgrading dari knowlages dan skillnya. .......”.

(Kurnia, Dosen Jurusan Administrasi Publik FIS UNY).

Compatibility, adalah kesesuaian akan kebutuhan dan inovasi dianggap sejalan


dengan nilai-nilai yang ada dalam sistem sosial dan tidak melanggar norma
didalamnya. Hasil wawancara yang dilakukan ditemukan bahwa teknologi
komunikasi pembelajaran daring sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh
informan. Hal tersebut berupa kemudahan dan kebebasan yang tidak diperoleh
dari teknologi sebelumnya.

“ya sangat dibutuhkan. Karena kondisi mahasiswa mempunyai ketersediaan


media yang dapat mengakses dan juga kedewasaan serta kemandirian mahasiswa
dalam belajar yang tidak perlu diragukan”.

(Suranto, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FIS UNY).

Complexity, merupakan sejauh mana tingkat kerumitan yang dimiliki oleh sebuah
inovasi untuk dipahami dan digunakan. Semakin mudah inovasi dipahami oleh
masyarakat, maka peluang untuk diadopsi akan lebih cepat [8]. Dari hasil
wawancara menunjukkan bahwa tingkat kerumitan teknologi komunikasi
pembelajaran daring memiliki variasi yang berbeda beda.

“setalah saya mengerti cara kerjanya ya sekarang bisa, dulu di awal mungkin
saya mengalami kesulitan seperti tidak bisa meng-input presensi, kalau di
classroom bisa”.

(Herman, Dosen Jurusan Ilmu Sejarah FIS UNY).

Hasil temuan yang lain dari proses wawancara juga ditemukan bahwa tingkat
kerumitas penggunaan teknologi komunikasi dalam pembelajaran daring dari
variasi yang lainnya.
“saya kira enggak. Karena di internet banyak sekali yang menyediakan tutorial-
tutorial pelatihan berbagai macam platform tersebut. Kalau Besmart tutorialnya
sudah diunggah ke e-learning UNY sehingga bisa mempelajari sendiri”.

(Eko, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FIS UNY).

Temuan pendapat yang serupa juga ditemukan dalam proses pengambilan data
wawanacara kepada responden.

“enggak ada yang rumit. Cuma memang aplikasi pembuatan video memang
belom sempat, paling saya membuat video pembelajaran dari ppt saja”.

(Bambang, Dosen Juruusan Pendidikan Geografi FIS UNY).

Tingkat kerumitan dalam penggunaan teknologi komunikasi dalam kegiatan


pembejaran daring dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kemampuan dalam
penggunaan serta penerapannya. Hal ini sesuai dengan temuan dalam wawancara
pengambilan data dalam penelitian ini.

“iya kadangkala saya merasa rumit, karena kerumitan saya itu mungkin karena
diri saya sendiri gaptek sehingga agak susah mengikuti perkembangan”.

(Puji Lestari, Dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi FIS UNY).

Kerumitan teknologi komunikasi dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran


daring juga dipengaruhi oleh faktor geografis suatu wilayah. Hal ini dikarenakan
pemerataan jaringan internet dalam hal akses teknologi komunikasi guna
mendukung kegiatan pembalajaran daring menjadi terhambat. Keadaan tersebut
ditemukan dalam wawanacara pengambilan data penelitian ini.

“rumit enggaknya itu sebenarnya tergantung sama stabilitas koneksinya. Kaya


kemarin Be-Smart tidak bisa di akses, nah ini menjadi rumit dan merugikan.
........”.

(Chatia, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FIS UNY).

Temuan dari hasil wawancara dengan pendapat yang serupa juga disampaikan
oleh responden yang mengalami tingkat kerumitan penggunaan teknologi
komunikasi dalam pembelajaran daring.

“sinya terutama, karena memang daerah saya itu sinyalnya susah dan dibelakang
rumah saya itu sutet jadi mungkin terhalang sutet tersebut. ............. beberapa
media seperti google clasroom, saya mengirim ppt itu ada beberapa gadget
mahasiswa yang tidak kompatibel”.

(Dyah Ayu, Dosen Jurusan Ilmu Sejarah FIS UNY).

Variasi tingkat kerumitan penggunaan teknologi komunikasi juga disebabkan oleh


kendala teknis dalam proses penggunaannya. Dalam proses wawancara ditemukan
data bahwa kerumitan secara umum tidak bermasalah, tetapi secara teknis menjadi
sebuah kendala dalam proses peningkatan mutu pembelajaran daring.

“secara teknis pada awalnya memang rumit,.......”

(Datu, Dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi FIS UNY).

Selain permasalahan teknis pada dosen, tingkat kerumitan secara teknis juga
menjadi permasalahan pada objek pendidikan, yaitu mahasiswa. Hal ini
ditemukan dalam proses wawancara pengambilan data responden.

“gangguan teknis terutama, pokoknya bukan berasal dari kita. Mahasiswa sendiri
masuk juga ribet, dosen masukin course juga sulit. .....”

(Kuncoro, Dosen Jurusan Ilmu Sejarah FIS UNY).

Proses penggunaan teknologi komunikasi pada dasarnya masih perlu adanya


peningkatan pengetahuan. Hal ini diupayakan agar setiap individu dapat
menggunakan kemajuan teknologi dengan optimal dan maksimal dalam
menunjang proses pembelajaran khsusunya di era pandemi yaitu daring. Tingkat
kerumitan yang dialami oleh setiap individu menjadi sebuah evaluasi dalam
meningkatkan pengetahua dan transfer ilmu kepada individu lain. Keadaan
tersebut dapat menjadi teusan dalam tahap pemilhan adopsi teknologi komunikasi
dalam peningkatan pembelajaran daring.

Decision stage, mengacu tahapan ketika individu mulai terlibat lebih jauh dalam
proses adopsi, aktivitas individu mengarah pada pilihan adopsi atau rejection
inovasi. Adopsi merupakan keputusan untuk menggunakan secara penuh sebuah
inovasi sedangkan rejection berarti penolakan untuk menggunakan inovasi. Pada
tahap ini, adopter akan mengambil keputusan terkait penggunaan inovasi, setiap
keputusan yang adopter pilih disertai alasan mereka mengambil keputusan
tersebut.

Keputusan adopter dalam penelitian ini didasari oleh beberapa alasan. Optional
innovation-decison, yakni ketika informan memutuskan untuk mengadopsi atas
kemauan diri sendiri bukan atas paksaan dari anggota lain dari sistem social [9].
Adopter tidak terpengaruh apakah inovasi tersebut sudah banyak yang
menggunakan dan telah familiar atau tidak.

“otodidak dengan mencoba untuk otak-atik di internet sehingga


pengaplikasiannya lebih nyata dan dapat mudah dipaham. Melalui proses trial
and error”.

(Sasiana, Dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi FIS UNY).

Proses pengambilan keputusan untuk mengadopsi teknologi komunikasi dalam


pembalajaran daring dipengaruhi oleh rasa ingin tahun diri yang tinggi dalam
meningkatkan pengetahun. Informan menjelaskan bahawa keinginan diri dalam
mengembangkan teknologi komunikasi dalam menujang kegiatan pembelajaran
daring merupakan suatu kebutuhan di saat ini. Oleh karena itu, proses peningkatan
diri dalam penggunaan teknologi komunikasi diperoleh secara pribadi tanpa ada
paksaan dari phak lain.

“pertama ya baca-baca di internet, kemudian tanya temen/kolega/mahasiswa/


yang lebih tau. Awalnya otodidak, biar punya gambaran lebih, yaa terus tanya-
tanya dengan yang lebih tau”.

(Danu, Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FIS UNY).

Tingkat pengambilan keputusan dalam pengaplikasian teknologi komunikasi juga


di gunakan sebagai media pendukung proses pendidikan kepada mahasiswa.
Kemauan diri dalam mengambil keputusan penggunaan teknologi komunikasi
menjadikan nilai tambah bagi seorang pendidik dalam meningkatkan pengetahuan
untuk orang lain.

“....karena saya memiliki minat lebih dalam dunia digital terutama yang
berhubungan dengan kemampuan mata kuliah bidang geografi tehnik yang saya
ampu”.

(Bambang, Dosen Jurusan Pendidikan Geografi FIS UNY).

Pengembangan diri dalam adopsi teknologi komunikasi pada kondisi pandemi


mengalami peningkatan diberbagai media. Selain media pembelajaran yang telah
familiar, tetapi media sosial yang lain juga dapat digunakan dalam proses
pembejalajaran daring. Hal ini disesuaikan dengan trend mahasiswa yang
memanfaatkan media sosial untuk kebutuhan diri setiap hari. Pengadopsian
teknologi komunikasi sebagai media pembelajaran daring menjadi sebuah
tantangan dan peluang baru dalam perkembangan pendidikan Indonesia. Hal
tersebut serupa dengan temuan data hasil wawancara bersama informan.

“....mulai tahun 2014/2015 kayaknya banyak base follow akun-akun media,


ditambah senang saya. Soalnya di twitter banyak perdebatan thread, trending....”.

(Dyna, Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FIS UNY).

Motivasi dari pimpinan atau pihak lain dalam pengambilan keputusan penggunaan
teknologi komunikasi sebagai media pembelajaran daring tidak memiliki
pengaruh yang lebih dalam penerapannya.

“ya mempengaruhi, tetapi tidak mendominasi. Karena sebelum adanya kebijakan


dari pimpinan semacam surat edaran pun saya sudah mulai mencoba
menggunakan media digital tersebut”.

(Aris, Dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi FIS UNY).


Implemantation, mengacu pada praktek inovasi. Pada tahap ini individu mulai
menggunakan inovasi dalam kegiatan perkuliahan masing-masing. Ketidakpastian
akan hasil bisa saja membuat adopter untuk berhenti memakai inovasi. Namun
pada penelitian ini, meskipun dalam implementasinya informan masih
menemukan ketidakpastian perihal hasil yang didapatkan, namun hal tersebut
dapat diatasi dengan berbagai cara.

“...... meskipun memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Toh masih


bisa disiasati pindah ke media sebelah misalnya dari besmart yang error pindah
ke classroom. Setiap kelas saya sudah ada cadangan kelas dengan media daring
yang lain”.

(Candra, Dosen Jurusan PPKn FIS UNY).

“baik dengan metode kan ada plus minusnya, sehingga kemudian adanya
kekurangan itu ditutupi dengan metode lain, jadi tidak berpatokan pada satu
platform”.

(Danu, Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FIS UNY).

Confirmation, pada tahap ini individu telah memutuskan untuk tetap menerima
inovasi atau berhenti menggunakannya. Pada tahap ini, adopter dapat berhenti
memakai inovasi jika ada inovasi yang lebih baik untuk menggantikan inovasi
saat ini, penghentian jenis ini disebut pengganti penghentian. Jenis lainnya adalah
penghentian kekecewaan, dimana individu menolak atau berhenti menerima
inovasi karena tidak puas akan kinerjanya [2]

“saya menggunakannya saat kondisi pandemi ini saja”.

(Miftahudin, Dosen Jurusan Ilmu Sejarah FIS UNY)..

Pada tahap conformation pengguna teknologi komunikasi sebagai sebuah inovasi


pengembangan pembelajaran daring menunjukan adanya keputusan untuk
berhenti menggunakannya. Selain itu, keputusan lain yang memasuk dalam
decision atau penerimaan inovasi teknologi komunikasi berdasarkan arahan
pimpinan juga di temukan dalam pengambilan data wawancara bersama
responden.

”iya, saya masih menggunakan media digital karena situasi pandemi dan arahan
atau instruksi dari rektor dan alasan yang paling kuat mendasarinya adalah
regulasi karena masih pandemi.......”.
(Titis, Dosen Jurusan Administrasi Publik FIS UNY).

“kemungkinan iya, mungkin besmart karena itu yang disarankan oleh UNY”.

(Dyah Ayu, Dosen Jurusan Ilmu Sejarah FIS UNY).

Selain berdasarkan kedua faktor diatas, pengambilan keputusan pada tahap


confirmation juga disebabkan oleh adanya kebutuhan yang seharusnya dilakukan
pada dunia pendidika di era digital.

“karena dihadapkan masa pandemi saat ini dan dilarang perkuliahan tatap muka.
Sebelum pandemi lebih pada berkaitan dengan tugas dosen yang Tri Dharma PT
sehingga tidak ada tugas yang ditinggalkan, lalu apabila jadwal mengajar yang
bersamaan bisa semuanya tercover tanpa merugikan pihak manapun”.

(Annisa, Dosen Jurusan PPKn FIS UNY).

“...........Dan apalagi dalam konteks pandemi memang pembelajaran ini kan harus
dilaksanakan secara daring karena tidak ada pilihan lain, sehingga jelas sampai
saat ini penggunaan media digital itu sangat berperan penting”.

(Grendi, Dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi FIS UNY).

Pengambilan keputusan dalam penerapaan teknologi komunikasi juga di


pengaruhi oleh adanya keadaan dan situasi masa datang.

“sesuai dengan kebutuhan situasi kondisinya besok, ternyata banyak mahasiswa


yang lebih enjoy dengan pertemuan langsung. Bisa dengan blended learning bisa
dengan luring, secara bergantian”.

(Ajat, Dosen Ilmu Sejarah FIS UNY)

E. Kesimpulan
Teknologi komunikasi pembelajaran digital yang digunakan dalam lingkungan
FIS UNY merupakan produk inovasi dari pengembangan internal yakni berupa
platform pembelajaran digital besmart. Pembelajaran daring dengan teknologi
tersebut sudah cukup memenuhi kebutuhan perkuliahan. Fleksibilitas merupakan
keunggulan yang tidak dimiliki dari pembelajaran konvensional. Adopter dalam
penelitian ini juga menggunakan media pembelajaran yang lain untuk mencari
alternatif selain yang disediakan pihak universitas. Kategori adopter dalam
penelitian ini terbagi tiga yakni early adopter, early majority dan late majority.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qeisi, Kholoid I. 2009. Analyzing the Use of UTAUT Model in Explaining an


Online Behaviour: Internet Banking Adoption. Doctoral of Philosophy
Dissertation. Department of Marketing and Branding: Brunel University.

Ansorudin, S. M. (2007). Difusi Inovasi Teknologi Pengelolaan Sampah Pada


Masyarakat. Teknologi Lingkungan, 8(3), 253–260.

Bajari, A. (2015). Metode Penelitian Komunikasi. Simbiosa Rekatama Media

Ellitan, Lena, 2003. Peran Sumber Daya dalam MeningkatkanPengaruh Teknologi


terhadap Produktivitas. Jurnal Manajemen&Kewirausahaan, Vol.5, No. 2,
hal.155 – 170.

Fichman, R.G. 1992. Information Technology Diffusion: A Review of


Empirical Research. Proceedings of the International Conference on
Information Systems, EDIT 13. pp 195-205.

Mizar, A dan Mawardi, M Maksum, M dan Rahardjo B., 2008. Tipologi dan
Karakteristik Adopsi Teknologi pada Industri Kecil Pengolah Hasil Pertanian.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008 – Yogyakarta, 18-19
November.

Moleong, J.L (2010). Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja


Rosdakarya

Pratama, H. W. (2016). Difusi Inovasi Dan Adopsi Program Jaminan Kesehatan


Nasional.

Puspitasari, R. (2017). Difusi Inovasi E – Paper Solopos. Digital Repository


Universitas Muhammadiyah Surakarta

Rogers, Everett M. 2003. Diffusion of Innovations, 5th ed. New York: Free Press.
A Division of Macmillan Publishing Co Inc.

Sahin, I. (2006). Detailed Review of Rogers ’ Diffusion of Innovations Theory


and Educational Technology-Related Studies Based on Rogers ’. The Turkish
Online Journal of Educational Technology, 5(2), 14–23.
https://doi.org/10.1080/09687769.2010.529107
Sarwoprasdjo, S., Sri, R., & Mulyandari, H. (2016). Pengaruh Saluran
Komunikasi Interpersonal Terhadap Keputusan Adopsi Inovasi Pertanian
Bioindustri Integrasi Serai Wangi – Ternak Di Provinsi Jawa Barat. Agro
Ekonomi, 34(2), 135–144.

Setiawati, I. (2008). Peran Komunikasi Massa dalam Perubahan Budaya dan


Perilaku masyarakat. Fokus Ekonomi, Vol. 3 No., 44–55.

Sugiyono (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta

Wahid F., dan Iswari L. 2007. Adopsi Teknologi Informasi oleh UKM di
Indonesia. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi. Yogyakarta, 16
Juni

Anda mungkin juga menyukai