Makalah Ilmu Kalam

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Aliran Mu’tazilah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalaam
Dosen Pembimbing : Drs. Amir Gufron, M.Ag.

Disusun Oleh;
Kelompok 8
Muhammad Ahmad Marzuki
Diki Andika
Divia Varellita

Kelas : PAI A7 Semester 2


PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
karunianya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini untuk tugas
kelompok mata kuliah Ilmu kalam yang berjudul “Aliran Mu’tazilah”.

Penyusun pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada semua


orang yang membantu kami serta mendukung penyusun demi menyelesaikan
makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna sebab


keterbatasan pengalaman serta pengetahuan penyusun. Oleh sebab itu penyusun
mengharapkan segala bentuk saran, komentar, bahkan kritik yang membangun.
Akhir kalimat penyusun berharap semoga makalah ini bisa memberikan manfaat
berita bagi para pembaca dan yang lain.

Jepara, 06 Juni 2024

Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu aliran teologi Islam yang mengagungkan akal di atas segala hal
adalah Mu'tazilah. Dalil-dalil nas Al-Quran dan hadis adalah penopang dari
kapasitas akal yang sudah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia, demikian
kesimpulan umum dari doktrin ajaran Mu'tazilah. Penganut aliran Mu'tazilah
meyakini bahwa akal bisa mengantarkan pada keimanan dan ketaatan pada Allah
SWT.
Aliran Mu'tazilah dipelopori tokoh intelektual muslim bernama Washil bin Atha'
Al-Makhzumi pada tahun 700-an masehi di Irak. Dia dianggap sebagai tokoh
pemula yang membangun aliran ini. Washil bin Atha’ mulai belajar dan
mendalami agama Islam di Madinah. Ketika ia tumbuh dewasa, pengaruh Islam di
bawah pemerintahan Khalifah al-Walid I (86-96 H/705-715 M) sedang meluas
hingga mencapai Andalusia.
Saat dewasa, ia bermukim di Bashrah. Di kota tersebut, Washil
berhubungan dan menimba ilmu dari banyak tokoh intelektual muslim, terutama
Hasan al-Basri. Selama hidupnya, Washil bin Atha’ memperoleh julukan al-
Gazzal (penenun). Sebab, dia gemar sekali berkeliling dalam pasar tenun dan
memberikan sumbangan kepada buruh-buruh melarat di kilang-kilang tenun.
Sejumlah kitab berpengaruh juga lahir dari pemikiran Washil bin Atha’. Misalnya,
kitab Tabaqat al-Murji'ah, Tabaqat al-'Ulama wa al-Juhala, Kitab al-
Taubah, Kitab Manzilah bain al-Manzilatain, dan Khutbah al-Tauhid wa al-Adl.
Washil bin Atha’ meninggal dunia pada masa pemerintahan Marwan II
(127-132 H/744-750 M), juga khalifah dari Bani Umayyah. Sosoknya pun
dikenang sebagai intelektual muslim yang zahid (asketis). Salah satu sahabatnya,
‘Amr bin Ubaid menggambarkan Washil bin Atha’ sebagai seorang muslim zahid
yang mendirikan salat di sepanjang malamnya. Washil juga tercatat berangkat haji
dengan jalan kaki sebanyak empat kali.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Mu’tazilah?
2. Bagaimana sejarah lahirnya Mu’tazilah?
3. Apa saja ajaran pokok Mu’tazilah?
4. Apa saja sekte-sekte dalam Mu’tazilah?
5. Bagaimana pengaruh Mu’tazilah?
C. Tujuan
1. Dapat menjelaskan pengertian Mu’tazilah
2. Memahami sejarah lahirnya Mu’tazilah
3. Mengetahui ajaran pokok dari Mu’tazilah
4. Dapat menyebutkan sekte-sekte dalam Mu’tazilah dan ajarannya
5. Dapat menjelaskan pengaruh dari Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mu’tazilah
Memahami aliran Mu’tazilah bisa dimulai dengan memahami akar kata
dari nama aliran ini. Ditinjau dari kebahasaan, kata Mu’tazilah berasal dari
i’tazala yang memiliki arti ‘berpisah’ atau ‘memisahkan diri’, yang berarti
juga 'menjauh' atau 'menjauhkan diri’.1

B. Sejarah Lahirnya Mu’tazilah


Secara teknis, istilah Mu'tazilah dapat merujuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respons
politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik. khususnya
dalam arti sikap yang lunak dalam menengahi pertentangan antara ‘Ali bin
Abi Talib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, ‘Abdullah bin Zubair.
golongan yang netral politik masa inilah yang sesungguhnya disebut dengan
kaum Mu'tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah
khilafah. Kelompok yang menjauhkan diri ini bersifat netral politik tanpa
stigma teologis seperti yang adapada kaum Mu’tazilah yang tumbuh
kemudian hari.2 Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu'tazllah II) muncul
sebagai respons persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij
dan Murji'ah karena peristiwa tahkim. Golongan Mu’taziiah ini muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji'ah
tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
Beberapa versi analisis tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan
kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata’ (...-131
H) serta temannya, ‘Amr bin 'Ubaid, dan Hasan al-Basri (30-110 H) di
Basrah. Pada waktu Wasil bin Ata’ mengikuti pelajaran yang diberikan oleh

1
Louwis Ma'luf al-Yassu'i, al-Munjid fi al-Lughah wa al-alam (Beirut: Dar al-Mashriq, 2002), 207
2
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), 17.
Hasan al-Basri di Masjid Basrah, datang seseorang yang bertanya mengenai
pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al-Bashri
masih berpikir, tiba- tiba Wasil bin Ata’ mengemukakan pendapatnya dengan
mengatakan, ‘Saya berpendapat bahwa orang yang yang berbuat dosa besar
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, melainkan berada pada posisi antara
keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.‘ Kemudian, Wasil bin Ata’
menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di lingkungan
masjid. Di sana, Wasil bin Ata’ mengulangi pendapatnya di hadapan para
pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini Hasan al-Basri berkata, ' Wasil bin
Ata’ menjauhkan diri dari kita (i’tazala ’anna).’ Menurut ash-Shahrastani
(474-548 H), kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa di atas disebut
kaum Mu’tazilah.3

C. Ajaran pokok Mu’tazilah


Ajaran Mu’tazilah dituangkan dalam al-Ushul al Khamsah (lima dasar
ajaran), yaitu:
a. Tauhīd (Ke-Esaan Allah Swt.)
Untuk mengesakan Allah SWT, ajaran Mu'tazilah menafikan dan
mengingkari sifat-sifat Allah yang tertuang dalam Asmaul Husna. Menurut
Mu'tazilah, ada kesalahpahaman umat Islam memahami tauhid Allah.
Penganut Mu'tazilah meyakini bahwa yang disebut sifat dan nama-nama-
Nya yang Indah (Asmaul Husna) adalah satu kesatuan dengan Zat Allah
SWT, bukan terpisah dari-Nya. Selain itu, Mu'tazilah memandang
bahwasanya Al-Quran adalah "makhluk baru". Dalam kasus ini, "makhluk"
merujuk ke penggunaan bahasa Arab, yang artinya sesuatu yang
diciptakan. Artinya, Allah menciptakan Al-Quran, serta terlepas dari sifat
firman-Nya. Sifat Allah juga Maha Agung dan di luar kekuatan panca
indera manusia. Karena itu juga, ketika manusia masuk surga, mereka
tidak dapat melihat Allah SWT.

3
Muhhammad bin ‘Abdul Karim ash-Shahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Kairo: Dar al-Fikr, 1990),
48.
b. Keadilan Allah Swt.
Doktrin teologi Mu’tazilah yang berkaitan dengan keadilan adalah:
Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan
manusia. Manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan
meninggalkan larangan- larangan-Nya dengan kekuasaan yang diciptakan-
Nya terhadap diri manusia. Ia hanya memerintahkan apa yang
dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan- kebaikan yang
diperintahkan-Nya dan tidak campur tangan dalam keburukan yang
dilarang-Nya. Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai
dengan apa yang diperbuat manusia. Apabila berbuat baik maka akan
diberi balasan pahala dan sebaliknya apabila berbuat buruk maka akan
mendapatkan dosa dan siksa. Itulah yang dianggap adil oleh Mu’tazilah,
karena manusia mempunyai akal untuk mempertimbangkan sesuatu
sebelum berbuat. Dan perbuatan manusia itu murni dari manusia itu
sendiri, karena Allah tidak campur tangan dalam perbuatan manusia.
c. Janji dan ancaman
Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah Swt. tidak akan mengingkari
janjinya, memberi pahala kepada orang muslim yang berbuat baik, dan
menimpakan azab kepada yang berbuat dosa. Manusia dengan kemampuan
akalnya dapat memilih berbuat baik atau buruk. Apabila berbuat baik
maka akan dimasukkan surga, dan sebaliknya yang berbuat buruk akan di
siksa di neraka selama-lamanya.
d. Posisi di antara dua posisi (al-manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini, Waṣil bin Aṭo’ memisahkan diri dari majlis Hasan
al-Baṣri. Menurut pendapatnya, seseorang muslim yang mengerjakan dosa
besar ia tergolong bukan mukmin, tetapi juga tidak kafir, melainkan
menjadi orang fasik. Jadi kefasikan merupakan tempat tersendiri antara
“kufur” dan “iman”. Tingkatan seorang fasik berada di bawah orang
mukmin dan diatas orang kafir. Orang mukmin yang melakukan dosa
besar dan mati atas dosanya maka tidak dihukumi mukmin, juga bukan
kafir, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya, tetapi
hukumannya diringankan, nerakanya tidak sepanas neraka yang dihuni
oleh orang-orang kafir.
e. Amar makruf dan nahi mungkar
Doktrin Mu’tazilah tentang amar makruf dan nahi mungkar pada
awalnya mempunyai kesamaan dengan doktrin Ahlussunnah, yaitu bahwa
setiap muslim mempunyai kewajiban untuk mengajak kebaikan dan
menghindari kemungkaran. Namun, dalam perkembangannya digunakan
untuk memaksa kepada pihak yang tidak sepaham dengan teologi
Mu’tazilah untuk menerimanya. Para ulama yang dicurigai tidak
sependapat dengan Mu’tazilah dinterogasi dan dipaksa untuk menerima
pandangan teologinya, khususnya tentang kemakhlukan Kalamullah (al-
Qur’an). Inilah yang dinamakan mihnah. Para pejabat dan ulama yang
tidak mau mengakui kemakhlukan al-Qur’an akan dipenjarakan dan
disiksa, bahkan ada yang meninggal. Alasannya adalah bahwa orang yang
tidak mengakui Kalamullah itu makhluk, maka dihukumi musyrik. Di
antara Ulama yang menjadi korban mihnah adalah Imam Ahmad bin
Hanbal yang disiksa di penjara karena tidak mengakui kemakhlukan al-
Qur’an.4

D. Sekte sekte Ajaran Al mu'tazilah


pemikiran Mu’tazilah apabila dilihat dari segi metode berpikir terbagi
menjadi tiga fase, di antaranya fase pertumbuhan, yakni yang secara
representatif ditokohi oleh Washil bin Atha’, fase ini terjadi di penghujung
pemerintahan Bani Umayyah. Berikutnya fase perkembangan, yang secara
representatif diinisiasi oleh Abu Huzail dan An-Nazzham. Fase ini
sezaman dengan awal pemerintahan Abbasiyah hingga kejayaannya.
Kemudian fase penghujung, yang secara representatif ditokohi oleh Ali al-
Juba’i dan putranya Abu Hisyam, pada fase ini sezaman dengan pemerintahan
Al-Mutawakkil dan khalifah berikutnya dari dinasti Abbasiyah.

4
Milahudun Shilabul. AKIDAH AKHLAK MA KELAS XI. Cetakan ke-1, Tahun 2020. Hal 29
Sekte-sekte dalam aliran Mu’tazilah yang masing-masing sekte itu mempunyai
tokoh dan pendapat yang berbeda, seperti sekte Washiliyah (pengikut
Washil bin Atha), Huzailiyah (pengikut Abu Huzail Al-Allaf), Nazzhamiyah
(pengikut An-Nazzham), Juba’iyah (pengikut ibn Abd. Al-Wahhab al-Juba’i)
dan masih banyak lagi sekte lainnya.
Pertama, Huzailiyah merupakan mereka para pengikut Abu Huzail
Hamdan bin Huzail Al-Allaf (135-235 H), pendapatnya di antaranya Iradah
Allah tidak ada tempatnya, Allah hanya menghendakinya, ada sebagian
Kalam Allah yang tidak mempunyai tempat seperti amar, nahi, berita dan
sebagainya.
Kedua, Nazzhamiyah adalah para pengikut Ibrahim bin Yasar bin
Hani An-Nazzham. Pendapatnya di antaranya ketentuan(qadar) baik dan buruk
berasal dari manusia. Menurutnya Allah swt tidak kuasa untuk menciptakan
keburukan dan kemaksiatan karena hal itu tidak termasuk dalam kehendak
(qudrah) Allah.
Menurut Nazzhamiyah pada dasarnya Allah tidak mempunyai sifat iradat.
Apabila dalam al-Qur’an dicantumkan bahwa Allah mempunyai sifat Iradat,
namun yang dimaksudkan bahwa Allah adalah pencipta dan pengatur sesuai
dengan Ilmu Allah.
Ketiga, Juba’iyah, pendiri aliran ini adalah Abu Ali Muhammad bin Abdul
Wahab al-Juba’i (295 H) dan Abu Hasyim Abdul Salam (321 H). Kedua tokoh
ini termasuk kelompok Mu’tazilah Basrah.5

E. Pengaruh Mu’tzilah
Aliran Mu'tazilah memiliki pengaruh yang signifikan dalam
perkembangan pemikiran Islam. Aliran ini menggunakan pemikiran rasional
untuk menjelaskan masalah ketuhanan dan moralitas, dan menekankan keadilan

5
Harsono, Fatahurahman, Amri, K., Fajri, S., Juwairiani. 2023. Ajaran Pokok, Sekte-Sekte dan
Ajaran Masing-Masing (Al-Murji’ah, Al-Mu’tazilah, Al-Khawarij,Al-Farabi, Al-Qadariyah dan
Al-Jabariyah) Journal on Education, 05(03), 9880-9394
Tuhan serta kebebasan manusia dalam memilih tindakan yang baik atau buruk.
Pengaruh Mu'tazilah terlihat pada pemikiran tokoh intelektual seperti Nurcholis
Madjid yang dikenal dengan pembaharuan pemikiran Islamnya. Namun, di
Indonesia, aliran ini belum begitu dikenal karena dianggap mempunyai
pendapat-pendapat yang menyimpang dari ajaran agama Islam yang benar.6

6
Dien Fitria NR. "Aliran Mu’tazilah: Kajian Mendalam Tentang Teologi, Etika, dan
Pengaruhnya dalam Islam". Diakses pada 6 Juni 2024, dari https://www.kompasiana.com
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Aliran Mu'tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam Islam yang
dapat dikelompokan sebagai kaum rasionalis. Mereka menggunakan pemikiran
rasional untuk menjelaskan masalah ketuhanan dan moralitas, serta menekankan
keadilan Tuhan dan kebebasan manusia dalam memilih tindakan yang baik atau
buruk. Aliran ini memiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan pemikiran
Islam, terutama dalam hal pemahaman terhadap ajaran agama. Meskipun
demikian, di beberapa kalangan, aliran ini dianggap kontroversial dan memiliki
pendapat-pendapat yang dianggap menyimpang dari ajaran agama Islam yang
benar. Namun, Mu'tazilah tetap menjadi bagian penting dalam sejarah pemikiran
Islam.

B. Saran
Demikian pembahasan makalah tentang Aliran Mu’tazilah. Dari makalah
ini, penyusun mengharapkan agar pembaca dapat mengetahui secara lebih luas.
Dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang banyak serta
memberikan pengetahuan kepada para pembaca.
Daftar Pustaka

Louwis Ma'luf al-Yassu'i, al-Munjid fi al-Lughah wa al-alam (Beirut: Dar


al-Mashriq, 2002)
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 1995)
Muhhammad bin ‘Abdul Karim ash-Shahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal
(Kairo: Dar al-Fikr, 1990)
Milahudun Shilabul. AKIDAH AKHLAK MA KELAS XI. Cetakan ke-1,
Tahun 2020.
Harsono, Fatahurahman, Amri, K., Fajri, S., Juwairiani. 2023. Ajaran
Pokok, Sekte-Sekte dan Ajaran Masing-Masing (Al-Murji’ah, Al-Mu’tazilah,
Al-Khawarij,Al-Farabi, Al-Qadariyah dan Al-Jabariyah) Journal on Education,
05(03), 9880-9394

Dien Fitria NR. "Aliran Mu’tazilah: Kajian Mendalam Tentang Teologi,


Etika, dan Pengaruhnya dalam Islam". Diakses pada 6 Juni 2024, dari
https://www.kompasiana.com

Anda mungkin juga menyukai