Althruiseer 2280211014 SRI UTAMI
Althruiseer 2280211014 SRI UTAMI
Althruiseer 2280211014 SRI UTAMI
Dalam perkembangan Cultural studies, Konsep ideologi Althusser menjadi terkenal dan
menarik ketika dikaitkan dengan negara, yakni, relasi penguasa dengan yang dikuasai.
Sedangkan ISA mekanisme kerjanya halus, seperti pendidikan, ormas, parpol dan media.
Kedua perangkat ini memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk melanggengkan kekuasaan
Dari pemikiran Althusser tentang RSA dan ISA ini kita jadi memahami mengenai posisi
“Tidak ada praktik apapun kecuali melalui dan di dalam ideologi, dan tidak ada ideologi
Jadi ideologi tidak hanya digunakan dalam bernegara saja tapi juga dalam segala bidang
Louise Pierre Althusser menjadi salah seorag tokoh yang merupakan filsuf
adalah kritikus Marxisme Karl Marx. Konsep ideologi Althusser sendiri dipengaruhi dan
berasal dari pemikiran Marxisme, namun Althuser juga mengkritisi apa yang menurutnya
kurang tepat.. Bagi Althusser, struktur dasar tidak memengaruhi supra struktur tetapi
ekonomi hanyalah sekedar relatif dalam supra struktur. Althusser mengabaikan metafisika
yang hanya sebuah candu dan bertumpu pada sisi nyata kehidupan manusia (Wulandari,
2014)
Althusser bergabung sebagai tentara dan ditangkap di Vannes. Dia menghabiskan sisa
perang selama setengah dekade dalam kamp tahanan sebagai tawanan perang di Jerman
Utara. Dalam momen inilah Althusser menemukan pengalaman solidaritas, komunitas dan
aksi politik di kamp yang sekaligus membuka dirinya terhadap gagasan komunisme. Di
dalam penjara, dia menuangkan berbagai pemikiran dalam tulisan yang kemudian tulisan
Kemudian Althusser menjabat sebagai direktur studi di ENS selama 30 tahun lamanya
yang menghasilkan beberapa pemikiran paling cerdas yang dihasilkan prancis selama ini
(termasuk di dalamnya pemikiran dari Alain Badiou, Michel Foucault, dan Pierre Bourdieu)
(Lewis, 2009).
Pada tahun 1970-an, cultural studies dimasuki oleh pemikiran dan konsep yang dikemukakan
oleh Antonio Gramsci, yaitu tentang hegemoni. Roger Webster mengatakan bahwa Teori
Studi Budaya sangat berhutang budi dengan konsep hegemoni ini melalui pemikiran
Gramsci: the Italian Marxist philisopher Antonio Gramsci, writing in the 1930s, anticipated
some of Althusser’s theories on idiology; have been influential in th area now known as
Cultural Studies. Konsep hegemoni mempunyai hubungan dengan idiologi, kekuasaan, dan
cultural dentification dan social control. Begitu juga masuk pemikiran Jacgues Lacan,
psikoanalisis struktural yang meneliti sastra secara kejiwaan dalam hubungan bawah sadar
individu dan masyarakat. Pada tahun 1980-an masuk lagi satu pemikiran gerakan sastra yang
berpengaruh pada waktu itu yaitu pascastrukturalisme. Dengan sendirinya diterima gagasan
pemikiran Barthes, Derrida, dan Kristeva yang membentuk teori sastra pascastrrukturalisme,
yang pendekatannya kepada semiotik yang telah berpecah penandanya. Pada tahun 1980-an,
itulah cultural materialism muncul sebagai teori sastra yang bergabung dengan Historisisme
Baru. Penjelmaannya sebagai cultural materialism di Inggris ini mendapat kedudukan yang
istimewa, karena membawa nafas yang berbeda dengan teori-teori yang muncul di prancis
(Sikana, 2009).
Historisisme Baru dan berdiri sendiri sebagai sebuah teori sastra yang diberi nama theory of
cultural studies. Menurut Simon, ada tiga tuntutan terhadap teori ini, pertama di dunia global
sekarang ini berlaku hubungan antara rasionalisme ekonomi dengan nasionalisme, semakin
dibuka batas antara rasinalisme ekonomi dengan nasionalisme, ekonomi akan merajalela dan
jurang antara yang kaya dengan yang miskin semakin meluas. Ini akan membahayakan.
Kedua, generasi sekarang selalu memandang budaya lama dianggap usang, seandainya hal ini
berkelanjutan, bangsa Eropah akan kehilangan wibawahnya. Ketiga, korupsi keilmuan dan
intelektual kampus. Mengecam profesor yang menjadikan universitas bukan lagi tempat
individu-individu konkret dengan subjek-subjek konkrit. Meskipun sejauh ini, subjek konkret
hanya ada sejauh mereka didukung oleh individu konkret. Interpelasi dapat dibayangkan bila
kita memanggil seseorang di jalanan, maka individu yang dipanggil akan menengok dan
berbalik arah. Individu tersebut merupakan subjek karena dia telah mengenali bahwa
panggilan itu ditunjukkan kepadanya. Eksistensi ideologi dan interpelasi individu sebagai
subjek adalah satu hal yang sama. Apa yang tampak terjadi di luar ideologi pada
kenyataannya terjadi di dalam ideologi. Individu di interpelasi sebagai subjek yang bebas
agar subjek tersebut dengan bebas menerima penaklukannya. Individu akan mmebuat
identitas kepada individu misal dengan memberi mereka nama atau memanggil mereka ketika
berada di jalanan dengan nama yang sudah diberikan tadi. Identitas tersebut didorong untuk
mereka terima, hanya saja tidak dipaksa apalagi melalui kekerasan. Konsep ini mirip dnegan
konsep hegemoni dari teori kepemimpinan Gramsci (Dr. I Nyoman Wijaya, 2022). Antonio
Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai sebuah kepemimpinan intelektual dan moral yang
kepatuhan secara sadar yang dilakukan seseorang atas seseorang. Kekuasaan dibangun
bukanlah melalui sebuah koersi, kekerasan ataupun paksaan, melainkan kekuasaan dibangun
Konsep hegemoni dari teori kepemimpinan Gramsci menetapkan derajat agensi bagi
semua kelompok sosial dalam suatu produksi dan negosiasi sebuah makna. Sama halanya
ideologis yang disajikan kepada objek yang berkaitan pada agensi atau kebebasan bertindak
(Ramah, 2019).
Paralelisasi konsep Interpelasi Althusser- Konsep Pinocticon Foulcault
pemahaman Barat tentang tunduk sebagai entitas otonom dan berdaulat. Dalam pemikiran ini,
Foulcault dipengaruhi oleh Louis Althusser yang sekaligus sebagai guru dari Pierre Foulcault
sehinga terdapat paralelisasi antara pemikiran pemikiran keduanya termasuk pada konsep
dimana individu menjadi subjek ideologi melalui proses interpelasi, disini wacana menarik
bagi individu sebagai sebuah subjek. Bagi Althusser, interpelasi menunjukkan proses melalui
mana sebuah bahasa dikonstruksi dalam posisi sosial untuk individu yang dengan demikian
menjadikan subjek ideologis yakni ideologi bertindak atau berfungsi sedemikian rupa. Subjek
dapat direkrut diantara individu atau bisa saja mengubah individu menjadi subjek dengan
operasi yang sangat sempurna yang disebut interpelasi (memanggil). Bila memanggil “Hei
kamu, disana” pada jalanan dengan individu lebih dari satu, maka yang berbalik arah yang
menjadi subjek. Contohnya, dalam aspek kesehatan di Indonesia, kita sering mendapat
sebagai konsumen dengan tanggung jawab secara pribadi (bukan masalah publik yang
menuntut solusi kolektif) untuk merawat kesehatan tubuh dengan cara yang tepat sesuai
dengan isi informasi. Kita menerima peran sebagai konsumen atau penerima teks maka kita
berafiliasi sendiri ke posisi subjek yang telah dibuat interpelasi. Disimpulkan bahwa
konsumen mereporduksi ideologi konsumerisme dan posisi sebagai subjek dalam budaya
konsumen. Asumsi Althusser bahwa manusia selalu menerima posisi subjek yang
subjek berjalan melalui proses yang kompleks. Penyapaan atau pemanggilan tidaklah berjalan
pada jalur tunggal secara langsung. Bahkan penyapaan lebih sering terjadi pasa penyapaan
yang bersifat tidak langsung. Dengan menempatkan penyapaan langsung kepada subjek pun
seakan subjek tidak memiliki otonom dan keleluasaan Kenyataannya, subjek memiliki
otonom keleluasaan bukan hanya untuk tidak menoleh ketika disapa (terlebih sapaan yang
posisi mereka di dalam masyarakat. Individu tersebut memiliki peran ganda atau menjadi
subjek dalam dua dunia. Pertama: subjek berperan sebagai individu, kedua: subjek dari
negara atau kekuasaan. Interpelasi menghubungkan secara imajiner antara subjek dan
pengakuan akan posisi dengan kondisi dari hubungan kita dengan keseluruhan produksi
makna yang ada dalam kehidupan kita. Interpelasi juga menyinggung melalui mana
Interpelasi akan membentuk subjek dalam posisinya dengan rakyat dan bagaimana
seharusnya bertindak dnegan kata lain interpelasi disini mengkonstruksi perilaku atau peran
individu (Dedees, 2014). Peran itu hanya ditawari kepada individu dimanapun mereka
menerimanya secara tidak sadar, persetujuan dilakukan ketika mereka tidak melalukan apa-
apa. Hal ini menyerupai konsep Panopticon dari Foulcault (Dr. I Nyoman Wijaya, 2022).
langsung antara orang yang mengawasi dan diawasi, yang mengontrol dan dikontrol, yang
merehabilitasi dan direhabilitasi, yang menormalkan dan abnormal dalam suatu lingkup
ruang kekuasaan. Efek dari mekanisme panopticon ini adalah timbulnya kesadaran yang
mengisyaratkan bahwa segala perilaku, tindak-tanduk dan gerak gerik mereka ada yang
mengawasi, mengontrol dan melihat secara terus menerus pada diri mereka. Tentunya
kesadaran akan pengawasan dan pengontrolan ini akan menimbulkan efek kepatuhan,
tekanan bahkan ketakutan. Biasanya konsep ini diterapkan pada narapidanan di dalam
penjara. Desain panopticon ini akan berefek terhadap psikologis yang narapidana. Efek
kepatuhan, ketakutan dan tekanan inilah yang diharapkan dapat memberikan kesadaran dan
kejerahan untuk tidak mengulangi tindakan kriminal yang telah dilakukan (Eldija & Mastuti,
2016).
Referensi
Dedees, A. R. (2014). Perempuan Seksi Dalam Jaring Korupsi . Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 11 No.2,
37-54.
Dr. I Nyoman Wijaya, M. H. (2022, September 12). Perkembangan Kajian Budaya. (Sesi Perkualiahan,
Interviewer)
Eldija, F. D., & Mastuti, F. (2016). Panoptic Architecture. Media Matrasain Vol. 13, No. 1, 16-23.
Lewis, W. (2009, October 16). Louis Althusser. Retrieved from Stanford Encyclopedia of Philosophy :
https://plato.stanford.edu/entries/althusser/#Life
Ramah, M. (2019). Wacana Dalam Perkembangan Ilmu Sosial Modern . Kinesik Vol.6 No.2, 165-175.
Sugiono, M. (2006). Kritik Antonio Gamsci Terhadap Pembangunan Dunia Ke Tiga. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Wulandari, T. S. (2014). Sumbangan Teori Loius Althusser Terhadap Sosiologi Pendidik . Academia, 1-
20. Retrieved from Academia.