Althruiseer 2280211014 SRI UTAMI

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

Resume Bentangan Konsep Interpelasi Louis Pierre Althusser

Oleh SRI UTAMI

“Ideology has very little to do with ‘consciousnes’– it is profoundly unconscious.”


-Louis Althusser-

Dalam perkembangan Cultural studies, Konsep ideologi Althusser menjadi terkenal dan

menarik ketika dikaitkan dengan negara, yakni, relasi penguasa dengan yang dikuasai.

Althusser menyebutkan dua mekanisme utama; RSA (repressive state apparatus)

dan ISA (ideological state apparatus) sebagai perangkat yang ideologis.

RSA mekanisme kerjanya memaksa, seperti pengadilan, penjara, atau militer.

Sedangkan ISA mekanisme kerjanya halus, seperti pendidikan, ormas, parpol dan media.

Kedua perangkat ini memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk melanggengkan kekuasaan

penguasa terhadap warga yang dikuasai.

Dari pemikiran Althusser tentang RSA dan ISA ini kita jadi memahami mengenai posisi

subjek sebagai yang mendominasi dan yang terdominasi. Althusser mengatakan,

“Tidak ada praktik apapun kecuali melalui dan di dalam ideologi, dan tidak ada ideologi

apapun kecuali demi subjek dan melalui subjek”.

Jadi ideologi tidak hanya digunakan dalam bernegara saja tapi juga dalam segala bidang

kehidupan manusia.( Ideologi Dalam Perspektif Louis Althusser – LPM Rhetor).

Louise Pierre Althusser menjadi salah seorag tokoh yang merupakan filsuf

berkebangsaan Prancis-Aljazair dengan aliran Marxis pada era 1960-1970an. Althusser

adalah kritikus Marxisme Karl Marx. Konsep ideologi Althusser sendiri dipengaruhi dan

berasal dari pemikiran Marxisme, namun Althuser juga mengkritisi apa yang menurutnya

kurang tepat.. Bagi Althusser, struktur dasar tidak memengaruhi supra struktur tetapi
ekonomi hanyalah sekedar relatif dalam supra struktur. Althusser mengabaikan metafisika

yang hanya sebuah candu dan bertumpu pada sisi nyata kehidupan manusia (Wulandari,

2014)

Althusser bergabung sebagai tentara dan ditangkap di Vannes. Dia menghabiskan sisa

perang selama setengah dekade dalam kamp tahanan sebagai tawanan perang di Jerman

Utara. Dalam momen inilah Althusser menemukan pengalaman solidaritas, komunitas dan

aksi politik di kamp yang sekaligus membuka dirinya terhadap gagasan komunisme. Di

dalam penjara, dia menuangkan berbagai pemikiran dalam tulisan yang kemudian tulisan

penjaranya dikumpulkan sebagai Jurnal de Captivite. Tahun 1948, Althusser pernah

bergabung dengan partai Komunis kemudian lulus dalam agregasi.

Kemudian Althusser menjabat sebagai direktur studi di ENS selama 30 tahun lamanya

yang menghasilkan beberapa pemikiran paling cerdas yang dihasilkan prancis selama ini

(termasuk di dalamnya pemikiran dari Alain Badiou, Michel Foucault, dan Pierre Bourdieu)

(Lewis, 2009).

Interpelasi Louis Piere Althusser-konsep hegemoni Gramsci

Pada tahun 1970-an, cultural studies dimasuki oleh pemikiran dan konsep yang dikemukakan

oleh Antonio Gramsci, yaitu tentang hegemoni. Roger Webster mengatakan bahwa Teori

Studi Budaya sangat berhutang budi dengan konsep hegemoni ini melalui pemikiran

Gramsci: the Italian Marxist philisopher Antonio Gramsci, writing in the 1930s, anticipated

some of Althusser’s theories on idiology; have been influential in th area now known as

Cultural Studies. Konsep hegemoni mempunyai hubungan dengan idiologi, kekuasaan, dan

pengaruh. Dalam masyarakat modern pihak penguasa melakukan eksploitasi kepada

bawahannya dengan pengaruh yang dimilikinya.


culturalmaterialism dimasuki oleh pemikiran Louis Althusser yang memasukkan konsep

cultural dentification dan social control. Begitu juga masuk pemikiran Jacgues Lacan,

psikoanalisis struktural yang meneliti sastra secara kejiwaan dalam hubungan bawah sadar

individu dan masyarakat. Pada tahun 1980-an masuk lagi satu pemikiran gerakan sastra yang

berpengaruh pada waktu itu yaitu pascastrukturalisme. Dengan sendirinya diterima gagasan

pemikiran Barthes, Derrida, dan Kristeva yang membentuk teori sastra pascastrrukturalisme,

yang pendekatannya kepada semiotik yang telah berpecah penandanya. Pada tahun 1980-an,

itulah cultural materialism muncul sebagai teori sastra yang bergabung dengan Historisisme

Baru. Penjelmaannya sebagai cultural materialism di Inggris ini mendapat kedudukan yang

istimewa, karena membawa nafas yang berbeda dengan teori-teori yang muncul di prancis

(Sikana, 2009).

Akhirnya pada tahun 1990-an, cultural materialism mengeluarkan dirinya dari

Historisisme Baru dan berdiri sendiri sebagai sebuah teori sastra yang diberi nama theory of

cultural studies. Menurut Simon, ada tiga tuntutan terhadap teori ini, pertama di dunia global

sekarang ini berlaku hubungan antara rasionalisme ekonomi dengan nasionalisme, semakin

dibuka batas antara rasinalisme ekonomi dengan nasionalisme, ekonomi akan merajalela dan

jurang antara yang kaya dengan yang miskin semakin meluas. Ini akan membahayakan.

Kedua, generasi sekarang selalu memandang budaya lama dianggap usang, seandainya hal ini

berkelanjutan, bangsa Eropah akan kehilangan wibawahnya. Ketiga, korupsi keilmuan dan

universitas di Eropah dan Amerika. Hancurnya nilai-nilai akademik dalam kehidupan

intelektual kampus. Mengecam profesor yang menjadikan universitas bukan lagi tempat

berpikir (Sikana, 2009).


Konsep interpelasi Althusser mengharuskan untuk sementara membedakan antara

individu-individu konkret dengan subjek-subjek konkrit. Meskipun sejauh ini, subjek konkret

hanya ada sejauh mereka didukung oleh individu konkret. Interpelasi dapat dibayangkan bila

kita memanggil seseorang di jalanan, maka individu yang dipanggil akan menengok dan

berbalik arah. Individu tersebut merupakan subjek karena dia telah mengenali bahwa

panggilan itu ditunjukkan kepadanya. Eksistensi ideologi dan interpelasi individu sebagai

subjek adalah satu hal yang sama. Apa yang tampak terjadi di luar ideologi pada

kenyataannya terjadi di dalam ideologi. Individu di interpelasi sebagai subjek yang bebas

agar subjek tersebut dengan bebas menerima penaklukannya. Individu akan mmebuat

gerakan dan tindakan penaklukannya (Rivkin & Ryan, 2004).

Secara sederhana, bagi Althusser, interpelasi bekerja dengan cara: memberikan

identitas kepada individu misal dengan memberi mereka nama atau memanggil mereka ketika

berada di jalanan dengan nama yang sudah diberikan tadi. Identitas tersebut didorong untuk

mereka terima, hanya saja tidak dipaksa apalagi melalui kekerasan. Konsep ini mirip dnegan

konsep hegemoni dari teori kepemimpinan Gramsci (Dr. I Nyoman Wijaya, 2022). Antonio

Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai sebuah kepemimpinan intelektual dan moral yang

terwujud secara konsensual. Dalam sebuah kepemimpinan terdapat implikasi adanya

kepatuhan secara sadar yang dilakukan seseorang atas seseorang. Kekuasaan dibangun

bukanlah melalui sebuah koersi, kekerasan ataupun paksaan, melainkan kekuasaan dibangun

melalui kontrol dan konsensus (Sugiono, 2006).

Konsep hegemoni dari teori kepemimpinan Gramsci menetapkan derajat agensi bagi

semua kelompok sosial dalam suatu produksi dan negosiasi sebuah makna. Sama halanya

dengan Althusser yang mempertanyakan tentang kemungkinan untuk melawan pesan

ideologis yang disajikan kepada objek yang berkaitan pada agensi atau kebebasan bertindak

(Ramah, 2019).
Paralelisasi konsep Interpelasi Althusser- Konsep Pinocticon Foulcault

Foulcault memberikan pandangan bahwa subyek dibuat dalam wacana, wacana

bukanlah manifestasi megah dari pemikiran pengetahuan. Berbeda dengan standar

pemahaman Barat tentang tunduk sebagai entitas otonom dan berdaulat. Dalam pemikiran ini,

Foulcault dipengaruhi oleh Louis Althusser yang sekaligus sebagai guru dari Pierre Foulcault

sehinga terdapat paralelisasi antara pemikiran pemikiran keduanya termasuk pada konsep

subjek. Sementara Althusser menghubungkan antara keeratan subjek dengan ideologi

dimana individu menjadi subjek ideologi melalui proses interpelasi, disini wacana menarik

bagi individu sebagai sebuah subjek. Bagi Althusser, interpelasi menunjukkan proses melalui

mana sebuah bahasa dikonstruksi dalam posisi sosial untuk individu yang dengan demikian

menjadikan subjek ideologis yakni ideologi bertindak atau berfungsi sedemikian rupa. Subjek

dapat direkrut diantara individu atau bisa saja mengubah individu menjadi subjek dengan

operasi yang sangat sempurna yang disebut interpelasi (memanggil). Bila memanggil “Hei

kamu, disana” pada jalanan dengan individu lebih dari satu, maka yang berbalik arah yang

menjadi subjek. Contohnya, dalam aspek kesehatan di Indonesia, kita sering mendapat

informasi publik tentang modernitas kesehatan. Pembaca informasi tersebut diinterpretasi

sebagai konsumen dengan tanggung jawab secara pribadi (bukan masalah publik yang

menuntut solusi kolektif) untuk merawat kesehatan tubuh dengan cara yang tepat sesuai

dengan isi informasi. Kita menerima peran sebagai konsumen atau penerima teks maka kita

berafiliasi sendiri ke posisi subjek yang telah dibuat interpelasi. Disimpulkan bahwa

konsumen mereporduksi ideologi konsumerisme dan posisi sebagai subjek dalam budaya

konsumen. Asumsi Althusser bahwa manusia selalu menerima posisi subjek yang

dialokasikan baginya (Ramah, 2019)

Model interpelasi Althusser bekerja dengan kesan simplisitik. Sebetulnya konstruksi

subjek berjalan melalui proses yang kompleks. Penyapaan atau pemanggilan tidaklah berjalan
pada jalur tunggal secara langsung. Bahkan penyapaan lebih sering terjadi pasa penyapaan

yang bersifat tidak langsung. Dengan menempatkan penyapaan langsung kepada subjek pun

seakan subjek tidak memiliki otonom dan keleluasaan Kenyataannya, subjek memiliki

otonom keleluasaan bukan hanya untuk tidak menoleh ketika disapa (terlebih sapaan yang

bersifat tidak eksplisit) (Dedees, 2014).

Model Bangunan Penjara Ala Panofticon

Konsep interpelasi menempatkan individu sebagai subjek. Individu disadarkan mengenai

posisi mereka di dalam masyarakat. Individu tersebut memiliki peran ganda atau menjadi

subjek dalam dua dunia. Pertama: subjek berperan sebagai individu, kedua: subjek dari

negara atau kekuasaan. Interpelasi menghubungkan secara imajiner antara subjek dan

pengakuan akan posisi dengan kondisi dari hubungan kita dengan keseluruhan produksi

makna yang ada dalam kehidupan kita. Interpelasi juga menyinggung melalui mana

seseorang akan ditempatkan posisinya atau perannya dalam kehidupan bermasyarakat.

Interpelasi akan membentuk subjek dalam posisinya dengan rakyat dan bagaimana

seharusnya bertindak dnegan kata lain interpelasi disini mengkonstruksi perilaku atau peran

individu (Dedees, 2014). Peran itu hanya ditawari kepada individu dimanapun mereka

melihatnya bahkan dimanapun budaya memberikannya. Siapapun akan didorong untuk

menerimanya secara tidak sadar, persetujuan dilakukan ketika mereka tidak melalukan apa-

apa. Hal ini menyerupai konsep Panopticon dari Foulcault (Dr. I Nyoman Wijaya, 2022).

Foucaoult menjelaskan konsep panopticon sebagai relasi tanpa adanya kontak

langsung antara orang yang mengawasi dan diawasi, yang mengontrol dan dikontrol, yang

merehabilitasi dan direhabilitasi, yang menormalkan dan abnormal dalam suatu lingkup

ruang kekuasaan. Efek dari mekanisme panopticon ini adalah timbulnya kesadaran yang

mengisyaratkan bahwa segala perilaku, tindak-tanduk dan gerak gerik mereka ada yang
mengawasi, mengontrol dan melihat secara terus menerus pada diri mereka. Tentunya

kesadaran akan pengawasan dan pengontrolan ini akan menimbulkan efek kepatuhan,

tekanan bahkan ketakutan. Biasanya konsep ini diterapkan pada narapidanan di dalam

penjara. Desain panopticon ini akan berefek terhadap psikologis yang narapidana. Efek

kepatuhan, ketakutan dan tekanan inilah yang diharapkan dapat memberikan kesadaran dan

kejerahan untuk tidak mengulangi tindakan kriminal yang telah dilakukan (Eldija & Mastuti,

2016).

Referensi

Ideologi Dalam Perspektif Louis Althusser – LPM Rhetor


Perkembangan Teori Cultural Studies Dalam Kesusastraan - Metrosulawesi 2022

Dedees, A. R. (2014). Perempuan Seksi Dalam Jaring Korupsi . Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 11 No.2,
37-54.

Dr. I Nyoman Wijaya, M. H. (2022, September 12). Perkembangan Kajian Budaya. (Sesi Perkualiahan,
Interviewer)

Eldija, F. D., & Mastuti, F. (2016). Panoptic Architecture. Media Matrasain Vol. 13, No. 1, 16-23.

Lewis, W. (2009, October 16). Louis Althusser. Retrieved from Stanford Encyclopedia of Philosophy :
https://plato.stanford.edu/entries/althusser/#Life

Ramah, M. (2019). Wacana Dalam Perkembangan Ilmu Sosial Modern . Kinesik Vol.6 No.2, 165-175.

Sugiono, M. (2006). Kritik Antonio Gamsci Terhadap Pembangunan Dunia Ke Tiga. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Wulandari, T. S. (2014). Sumbangan Teori Loius Althusser Terhadap Sosiologi Pendidik . Academia, 1-
20. Retrieved from Academia.

Anda mungkin juga menyukai