Review GKM - Draf Tesis Proposal Erwin Cek GKM

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 44

COLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA

BERBASIS ADAT (STUDI KASUS KOMUNITAS BONOKELING DESA


PEKUNCEN KECAMATAN JATILAWANG)

PROPOSAL TESIS

OLEH:

AHMAD ERWIN
F2A019003

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
PURWOKERTO
2021
2

A. Judul Penelitian

Collaborative Governance Dalam Pengembangan Desa Wisata Berbasis

Adat (Studi Kasus Komunitas Bonokeling Desa Pekuncen Kecamatan

Jatilawang).

B. Latar Belakang

Republik Indonesia sejak awal berdiri merupakan negara kepulauan yang

dianugerahi oleh kemajemukan identitas Suku, Agama, Ras, dan Adat (SARA).

Kemajemukan itupun didukung dengan adanya semboyan Bhinneka Tunggal

Ika sebagai salah satu empat pilar negara, yang secara filosofis menunjukkan

penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan dari keanekaragaman

SARA itu baik secara sosial, budaya, politik ataupun hukum.

Dengan keanekaragaman yang ada pula, masing-masing daerah punya ciri

khas atau identitas kebudayaan tersendiri, termasuk dalam hal potensi sumber

daya alamnya. Apalagi Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak

warisan adat dan budaya. Termasuk menjadi salah satu pemilik delapan situs

warisan dunia Unesco atau keajaiban dunia yang tentunya menjadi daya tarik

para wisatawan mancanegara.

Melalui hasil riset di aplikasi twitter, Indonesia masuk dalam 10 negara

yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan pengguna twitter dari Asia

Pasifik. Dengan riset melibatkan lebih dari 7500 responden di 13 negara,

termasuk 6 negara di Asia Pasifik. Hasilnya Indonesia pada peringkat ke 10 dan

Thailand berada pada peringkat pertama sebagai destinasi wisata yang paling

banyak dikunjungi para pengguna twitter di Asia Pasifik (Anggita Muslimah

MPS, 2019. Alasan Utama Turis Asing Berwisata ke Indonesia). Berpengaruh

terhadap aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya, maka seharusnya

pariwisata dikembangkan secara dinamis seiring dengan kondisi strategis

lingkungan, baik lokal maupun global.

Selain itu, pariwisata juga merupakan bagian penting dalam


3
pembangunan sektor ekonomi. Sebab, maju berkembang atau mundurnya

sektor parawisata, maka akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan

ekonomi daerah atau pendapatan ekonomi negara. Menjadi penyumbang devisa

terbesar setelah ekspor migas. Sektor pariwisata berperan penting dalam

penyerapan kesempatan kerja dan pemberdayaan usaha mikro dalam jumlah

yang tinggi pada daerah-daerah tujuan wisata maupun daerah-daerah lain

penghasil produk daerah wisata (Demartoto Argyo hal:17).

Hal ini didasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang

Kepariwisataan yang menerangkan bahwa kepariwisataan merupakan bagian

integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis,

terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap

memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam

masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional.

Sehingga pembangunan atau pengembangan kepariwisataan diperlukan untuk

mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta

mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan

global. Dimana pada prinsipnya pembangunan pariwisata ialah upaya untuk

mengembangkan dan memanfaatkan obyek dan daya tarik wisata yang

terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah, keanekaragaman flora dan

fauna, kemajemukan tradisi dan seni budaya serta peninggalan sejarah.

Dilansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS), dari tahun ke tahun

perolehan devisa dari bidang pariwisata meningkat drastis. Perolehan devisa

pada tahun 2015 sebanyak 10.761 miliar US dollar, pada tahun 2016 meningkat

menjadi 11.206 miliar US dollar. Lalu tahun 2017 meningkat lagi sebesar

13.139 miliar US dollar, dan tahun 2018 meningkat sebesar 16.426 milliar US

dollar.

Begitu juga dengan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan

mancanegara ke Indonesia turut mengalami peningkatan. Dimana pada tahun


4
2015 tercatat 10.230.775 kunjungan wisatawan mancanegara, tahun 2016

meningkat sebesar 11.519.275 kunjungan, tahun 2017 meningkat lagi sebesar

14.039.799 kunjungan wisatawan, dan tahun 2018 meningkat sebesar

15.810.305.

Dari data tersebut, menjadi pegangan bahwa Indonesia berpotensi

menjadi tempat incaran para wisatawan mancanegara untuk berlibur atau

berekreasi, sehingga akan mendorong peningkatan devisa Indonesia dari sektor

pariwisata. Karena sektor pariwisata mempunyai peranan yang sangat penting

dalam membangun atau meningkatkan ekonomi masyarakat Indonesia,

khususnya terhadap masyarakat yang berada pada wilayah sekitar objek wisata

atau destinasi.

Sebab itu, dibutuhkan pembangunan pariwisata yang berbasis pada

pendekatan masyarakat. Dengan tetap memperhatikan aspek lokalitas atau

masyarakat dan kearifan lokalnya, yang tentu dapat membuka dan memperluas

lapangan pekerjaan untuk masyarakat, dapat membantu membangun atau

meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat, serta membuka lapangan kerja

bagi masyarakat yang belum mempunyai pekerjaan. Apalagi, mayoritas

masyarakat Indonesia hidup di wilayah pedesaan, oleh karena itu potensi

sumber daya manusia dan sumber daya alam banyak ditemukan di daerah

pedesaan. Adanya potensi yang ada di pedesaan membuat orientasi

pembangunan dengan menitikberatkan pada daerah pedesaan ialah tindakan

yang sangat diperlukan, karena akan memberikan dampak positif yang sangat

luas.

Selain itu hubungan antara masyarakat lokal sebagai pelaku

pembangunan dengan potensi wisata yang ada di pedesaan sangat erat

kaitannya, karena itu komunitas masyarakat yang mengelola potensi-potensi

tersebut memiliki peranan yang begitu penting. Pada intinya, pengembangan

pariwisata ialah suatu aktivitas yang menggali segala potensi pariwisata, baik
5
yang berasal dari sumber daya manusia, sumber daya alam, maupun sumber

daya buatan manusia.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009

tentang Kepariwisataan, pada hakikatnya tujuan dari penyelenggaraan

kepariwisataan sebagai berikut:

1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi

2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat

3. Menghapus kemiskinan

4. Mengatasi pengangguran

5. Melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya

6. Memajukan kebudayaan

7. Memajukan citra bangsa

8. Memupuk rasa cinta tanah air

9. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, dan

10. Mempererat persahabatan antar bangsa

Adapun kegiatan wisata ialah kegiatan yang dilaksanakan dengan sifatnya

yang sementara, secara suka rela dan dilaksanakan tanpa paksaan untuk

menikmati objek dan wahana wisata yang tersedia. Dengan memanfaatkan

potensi sumber daya alam, atau sumber daya manusia yang dimiliki suatu desa.

Desa dapat dikembangkan menjadi desa yang berstatus sebagai desa wisata.

Yaitu salah satu program pemerintah dalam melaksanakan pembangunan

pariwisata, dengan menggunakan paradigma pendekatan masyarakat. Dengan

bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang ada

dalam suatu struktur kehidupan masyarakat disatukan dalam tatacara dan tradisi

yang berlaku. Dapat diartikan juga bahwa desa wisata ialah sebuah pedesaan

yang memiliki beberapa karakteristik khusus untuk dijadikan sebagai kawasan

tujuan wisata.

Untuk mendukung pembangunan desa atau pemanfaatan potensi aset desa


6
menjadi desa wisata, ialah hal yang harus digali, dengan salah satu caranya

melalui pelatihan-pelatihan oleh pemerintah maupun swasta guna menciptakan

kesejahteraan masyarakat di desa wisata, agar mampu menjadi andalan

pariwisata daerah (Priasukmana : 67).

Pengembangan desa wisata akan berhasil jika semua potensi desa seperti

sumber daya manusia dan potensi alam yang dimiliki dapat disinergikan secara

maksimal. Membuka peluang penyerapan tenaga kerja, mendorong

meningkatnya transaksi perdagangan produk asli daerah atau desa, dan pada

akhirnya akan berimplikasi pada peningkatan ekonomi masyarakat desa

tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa, disebutkan

setiap desa yang ada di Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk

dapat dikembangkan dengan potensi yang dimilikinya, dilakukan secara

mandiri sesuai dengan kebutuhan masing-masing desa dalam hal untuk

mewujudukkan kesejahteraan desa tersebut. Mengembangkan desa menjadi

desa wisata, berarti menggali potensi yang dimiliki desa agar dapat mendorong

pertumbuhan ekonomi desa dan meningkatkan ekonomi masyarakat desa.

Dalam definisi yang lain desa wisata ialah pedesaan yang menawarkan

suasana keaslian desa. Mulai dari segi kehidupan sosial, ekonomi, budaya, adat

istiadat, punya karakteristik arsitektur bangunan, struktur tata ruang desa yang

khas, kegiatan perekonomian yang unik dan menarik. Serta mempunyai potensi

untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan serta kebutuhan

wisata lainnya (Suryo sakti Hadiwidjoyo :68). Memberikan ruang bagi

masyarakat setempat untuk mengelola sesuai dengan potensi yang ada di desa-

desa. Program desa wisata ialah program yang dibentuk pemerintah secara

langsung melibatkan masyarakat setempat.

Menariknya di Indonesia, daya tarik pariwisata tidak hanya pada

keindahan alamnya saja, seperti pesisir pantainya atau panorama gunungnya,


7
tetapi daya tarik itu terdapat juga pada keanekaragaman budaya yang dimiliki

serta kearifan lokal. Mengemas wisata dengan kearifan lokal atau dengan

budaya yang ada, tentu menjadi nilai tersendiri dan menjadi pembeda dari desa-

desa wisata yang lainnya.

Kearifan lokal dimaknai sebagai kebijaksanaan manusia yang bersandar

pada filosofi dan nilai-nilai etika yang telah ditetapkan oleh suatu komunitas

atau masyarakat. Mengacu pada kearifan lokal maka pengembangan pariwisata

berbasis kearifan lokal menjadi penting untuk di lakukan. Hal ini salah satunya

dapat diwujudkan melalui community based tourisme atau pariwisata berbasis

masyarakat dimana partisipasi masyarakatlah yang diusung menjadi konsep

pariwisatanya.

Oleh itu, pengembangan desa wisata merupakan bentuk dari pariwisata

berbasis masyarakat. Dimana setiap potensi yang ada dalam desa dikelola atau

dikenalkan kepada para wisatawan, agar menjadi wadah ekonomi untuk

meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa dan menjadikan desa mandiri

serta sejahtera.

Pengembangan desa wisata berbasis kearifan lokal atau adat dan budaya

sejalan dengan tiga prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan yang

dikembangkan oleh World Tourism Organization (WTO) yaitu kelangsungan

ekologis, kelangsungan sosial budaya, dan kelangsungan ekonomi, baik untuk

generasi sekarang maupun generasi akan datang.

Kabupaten Banyumas memiliki potensi yang cukup besar dalam bidang

pariwisata, baik wisata alam, wisata terpadu atau buatan, wisata religi atau

budaya, bahkan wisata pendidikan yaitu musium. Dilansir dari data BPS

Purwokerto, statistik jumlah pengunjung di objek wisata di Kabupaten

Banyumas, dari tahun ketahun kunjungan ke objek wisata seperti Curug

Cipendok, Telaga Sunyi, Pancuran Tiga, Pancuran Tujuh, Bumi Perkemahan

Baturraden, Lokawisata Baturraden, Kalibacin, Wanawisata Baturraden, Curug


8
Gede, Curug Ceheng, dan Dream Land Park cenderung mengalami kenaikan.

Tahun 2015 terdapat total 1.221.141 jumlah pengunjung diobjek wisata

tersebut, tahun 2016 1.499.212 total jumlah pengunjung, dan tahun 2017

1.499.894 jumlah pengunjung.

Sementara sepanjang tahun 2019, jumlah pengunjung atau wisatawan ke

Banyumas mencapai 2.700.000 juta wisatawan. Hal ini berdasarkan data yang

dihimpun dari 50 objek wisata milik Pemerintah Daerah, BUMN, swasta

maupun Desa Wisata. Terdapat peningkatan dari jumlah pendapatan yang

masuk, termasuk tiket yang mengalami peningkatan 10 persen dibanding tahun

sebelumnya atau sebanyak Rp. 29,65 miliar (Nugroho Pandhu S, 2020. 2019,

Banyumas Dikunjungi 2,7 Juta Wisatawan.

Melalui hal itu menjadi dasar bahwa potensi wisata di Kabupaten

Banyumas harus dikembangkan dengan baik, seperti halnya potensi wisata

berbasis adat. Di Banyumas sendiri, meski telah terdapat beberapa Desa

Wisata, namun belum ada desa wisata berbasis adat.

Seperti Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang, dengan jumlah penduduk

kurang lebih sekitar 4.567 jiwa, desa ini merupakan salah satu desa yang masih

memegang adat Bonokeling. Sehingga menjadi potensi wisata yang menarik

untuk dikembangkan. Apalagi ditengah arus globalisasi dan modernisasi yang

membawa dampak terhadap terkikisnya nilai-nilai budaya lokal, menunjukkan

bahwa dengan keberadaan keyakinan dan tradisi warisan leluhur yang masih

dijalankan oleh masyarakat adat Bonokeling Desa Pekuncen juga sebagai upaya

pelanggengan budaya dari generasi ke generasi.

Melihat potensi itu, menurut Bapak Karso Kepala Desa Pekuncen,

Bonokeling tidak hanya diharapkan menjadi ikon tetapi dapat dikembangkan

menjadi daya tarik desa wisata. Dengan wisata yang lebih kepada konsistensi

dan orisinalitas oleh apa yang terjadi dan selama ini dilaksanakan oleh

komunitas masyarakat adat Bonokeling. Membuat pemerintah desa memiliki


9
inisiatif untuk mengembangkan desa menjadi desa wisata berbasis adat

Bonokeling.

Pengembangan desa Pekuncen menjadi desa wisata berbasis adat, harus

mendapat dukungan dari pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pemuda

Olahraga, Budaya dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas, tokoh

masyarakat, komunitas adat, dan seluruh elemen masyarakat di desa tersebut

ataupun pihak swasta. Dimana adanya dukungan dari berbagai pihak itu,

sehingga diharapkan pengembangan desa wisata berjalan sesuai dengan yang

diharapkan.

Pengembangan desa wisata pasti melibatkan setiap potensi desa sebagai

penunjang dan pendukung untuk terciptanya suatu kawasan desa wisata.

Ditambah adanya dukungan dari berbagai pihak, tentu akan lebih

mempermudah dalam pengembangan tersebut.

Pengembangan dan pembangunan desa wisata, harus mensinergikan

potensi sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia yang ada.

Melibatkan potensi sumber daya manusia ataupun alam yang ada, secara

langsung akan membawa manfaat terhadap sektor ekonomi, sosial, dan budaya

masyarakat setempat. Walaupun kadang tidak dapat dipungkiri jika terdapat

pengembangan pariwisata yang malah justru membawa kerugian bagi

masyarakat lokal itu sendiri. Sehingga pengembangan harus memperhatikan

dampak-dampak tersebut, agar pengelolaan yang tidak efektif dapat dihindari

dan dampak terhadap timbulnya kerugian tidak terjadi.

Komunitas masyarakat adat Bonokeling masih menjaga dan merawat

sistem ritual yang di dalamnya terdapat berbagai macam kearifan lokal dari

leluhur. Menjunjung tinggi warisan leluhur, untuk kegiatan wisata, masyarakat

adat tidak ingin menghilangkan atau merubah nilai-nilai lokal yang telah ada di

Desa Pekuncen. Seperti adanya pergeseran nilai dalam pelaksanaan ritual, maka

akan diluruskan.
10
Selain itu, dalam pengembangan wisata yang dimiliki, masyarakat adat

Bonokeling sangat menjaga keindahan lingkungan sekitar. Dengan potensi

pengembangan desa wisata berbasis adat, komunitas masyarakat adat memiliki

kemampuan untuk memanfaatkan kekayaan alam seperti membuat kerajinan

tangan berbagai aksesoris dan peralatan rumah tangga yang unik dan khas.

Desa Pekuncen dengan adanya kegiatan ritual adat Bonokeling yang

dilaksanakan sekali sewindu dengan kegiatan yang telah terjadwal, mampu

mendatangkan berbagai macam pengunjung bahkan dari luar daerah atau luar

negeri. Namun terdapat kendala fasilitas seperti home stay atau pondokan,

walau tamu atau pengunjung ada yang ditempatkan dipesemuan dan pedogol.

Hal itu ternyata belum cukup menjadi solusi, sebab selama ini masih terdapat

tamu atau pengunjung yang ditempatkan dirumah penduduk.

Keterbatasan sarana dan prasarana untuk tamu atau pengunjung,

perbedaan kepentingan politik pengembangan desa wisata antara kepala Desa

dan kepala komunitas adat menjadi hal yang berpengaruh terhadap

pengembangan wisata dan menarik untuk diteliti. Apalagi, kepala desa

sebelumnya, seperti diutarakan Bapak Karso, Kepala Desa saat ini menjabat

“Pemetintah desa sebelumnya Jarang mendukung kegiatan-kegiatan adat

bonekeling, hal ini karena kepala desa sebelumnya bukan termasuk orang adat”.

Melalui pengembangan menuju desa wisata berbasis adat, Kepala

Komunitas Adat Bonokeling, Bapak Sumitro menyetujui dengan catatan

pengembangan tidak merombak atau merubah kegiatan-kegiatan adat yang ada

dan selama ini berjalan. “Program apapun disini monggo yang penting ada

batasnya, kalau dijadikan wisata dan pemerintahnya mendukung yang penting

dalamnya tidak diganggu”.

Menjadi aset dan potensi desa, diketahui penduduk Desa Pekuncen yang

menganut adat Bonokeling berjumlah sekitar 70 persen dari jumlah penduduk

yang ada. Sehigga melalui kolaborasi antara pemerintahan desa dan komunitas
11
adat bisa lebih berkembang jauh kedepan untuk pengembangan desa. Termasuk

pada sisi program kegiatan adat Komunitas Adat Bonokeling setiap tahunnya

harus dialokasikan dari dana desa, sehingga menjadi bukti dan komitmen

Pemerintah Desa Pekuncen untuk melakukan pengembangan desa menuju desa

wisata berbasis adat, yang disisi lain untuk pelestarian budaya aset desa.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diterangkan di atas,

penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana kerjasama

atau kolaborasi pemangku kepentingan dalam proses pengembangan Desa

Wisata Berbasis Adat di Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan collaborative governcane pengembangan Desa

wisata berbasis adat Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang,

kolaborasi antara Pemerintah Desa, Komunitas Adat, Swasta, setra

elemen yang terlibat dalam mendorong terwujudnya Desa wisata

berbasis adat.

2. Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat kolaborasi

dalam proses pengembangan Desa Wisata berbasis adat Desa

Pekuncen Kecamatan Jatilawang.

E. Manfaat Penelitiaan

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan

pengayaan konsep terutama mengenai collaborative governance yang

mencirikan praktik dari kajian Ilmu Administrasi Publik dan dapat

menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau solusi


12
terhadap kolaborasi pengembangan desa wisata berbasis adat, pada

Pemerintah Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang dan pihak-pihak

lain yang terkait dengan penelitian ini.

b. Bagi peneliti, dapat memecahkan permasalahan dan menemukan

penjelasan serta faktor penghambat dan pendukung terdahap

kolaborasi pengembangan desa wisata berbasis adat tersebut.

F. Tinjauan Pustala

Tinjauan pustaka merupakan bagian penting yang dapat menunjang

dalam penyusunan penelitian ini. Dalam tinjauan pustaka ini akan membahas

mengenai collaborative governance pengembangan desa wisata. Berikut

merupakan beberapa konsep yang akan dibahas meliputi :

1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan upaya yang dilakukan untuk

mencari perbandingan serta mendapatkan inspirasi untuk penelitian

berikutnya. Penelitian terdahulu juga digunakan untuk menunjukkan

orisinalitas dari penelitian. Berikut merupakan 10 penelitian terdahulu:

a. Priyanto, Dyah Safitri. (2016) melakukan penetilian dengan judul

“Pengembangan Potensi Desa Wisata Berbasis Budaya Tinjauan

Terhadap Desa Wisata di Jawa Tengah”. Dengan tujuan penelitian

untuk menggali potensi desa wisata sebagai daya tarik pariwisata

budaya dan menyajikan beberapa persoalan mendasar terkait

keberadaan desa wisata budaya di Jawa Tengah. Dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa secara umum potensi desa wisata budaya di

Jawa Tengah cukup banyak. Namun terdapat beberapa permasalahan

yang ada seperti belum optimalnya kualitas sumber daya manusia,

sarana prasarana, dan promosi. Lalu permasalahan tersebut oleh

peneliti dapat diatasi dengan peran serta, atau keaktifan dari berbagai

pihak terutama masyarakat desa wisata budaya setempat.


13
b. Aris Tri Cahyo Purnomo (2015) melakukan penelitian dengan

judul “Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan

Desa Wisata Di Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten

Purbalingga”. Hasil penelitian menunjukkan jika partipasi

masyarakat dipengaruhi faktor internal berupa semangat dan

keinginan diri sendiri, lalu faktor eksternal pemerintah desa sebagai

pendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan-

kegiatan pertemuan. Namun dari tingkat partisipasi masyarakat

terdapat hambatan yang ditemukan peneliti berupa proses sosialisai

yang belum optimal, kesibukan masyarakat yang berbeda-beda,

kesadaran masyarakat terhadap perencanaan pembangunan desa

wisata masih relatif kurang, dan sebagian masyarakat belum begitu

paham terhadap desa wisata.

c. Andri Sulistyani, Rd. Siti Sofro Sidiql, dan Chelsy Yesicha (2020),

melakukan penelitian dengan judul “Persepsi Masyarakat Lokal

Terhadap Pengembangan Desa Wisata Berbasis Adat”. Penelitian

dilakukan dengan tujuan untuk mengukur persepsi masyarakat

lokal terhadap pengembangan desa wisata berbasis adat kenegarian

sentajo. Dimana dari hasil penelitian menunjukkan bahwa

masyarakat menyetujui pembangunan pariwisata dilaksanakan

sebagai salah satu upaya peningkatan perekonomian dengan

rentang skor 82,01 % - 100 %. Akan tetapi dalam indikator

keterbukaan terhadap orang asing dan investor luar, masyarakat

melakukan penolakan secara implisit dengan rentang skor 44,04 %

- 79,36 %. Untuk itu kajian pembangunan pariwisata dengan

pendekatan etno-ekologi dan dukungan pelatihan sangat disarankan

oleh peneliti sebagai tindak lanjutnya.

d. Yuviani Kusumawardani (2017), melakukan penelitian dengan


14
judul “Strategi Pengembangan Manajemen Parawisata Desa

Sukaharja Menjadi Suatu Desa Wisata”. Penelitian ini dilakukan

dengan tujuan untuk merumuskan strategi pengembangan

manajemen parawisata Desa Sukaharja menjadi Desa Wisata.

Dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat kendala

yang dikelompokkan ke dalam 3 aspek yaitu aspek ekonomi, sosial

budaya dan lingkungan. Namun kendala yang ada kemudian dari

peneliti, diminimalkan dengan merumuskan strategi-strategi

pengembangan Desa Wisata.

e. Rawuh Edy Priyono, Bambang Widodo, dan Hariyadi (2019),

melakukan penelitian dengan judul “Membaca Potensi, Peluang

dan Tantangan Kota Purwokerto-Banyumas Untuk

Menyelenggarakan Paket Wisata City Tour Dengan Bus

Pariwisata”. Dilakukannya penelitian dengan tujuan untuk

menjawab pertanyaan tentang potensi dan peluang yang ada serta

tantangan kedepan. Dengan hasil penelitian yang menunjukkan

bahwa ada potensi yang besar yang dimiliki Purwokerto sebagai

daerah tujuan wisata. Potensi tersebut berupa potensi budaya,

dengan artefak tinggalan budaya masa lalu, kawasan wisata buatan

kreativitas masyarakat, serta didukung oleh pusat-pusat kuliner dan

penginapan yang tersedia. Tantangan kedepan untuk menjadikan

Purwokerto sebagai destinasi wisata dengan paket city tour adalah

dengan meningkatkan pengelolaan dan mempersiapkan sumber

daya manusia terlatih untuk menangani paket tersebut.

f. Fitriani, Marsuq, dan Suhardiman (2019), melakukan penelitian

dengan judul “Collaborative Governance Dalam Meningkatkan

Keterampilan Kewirausahaan Masyarakat Di Desa Muara Pantun

Kabupaten Kutai Timur”. Dengan tujuan penelitian untuk


15
mengetahui proses Collaborative Governance dalam meningkatkan

keterampilan Kewirausahaan Masyarakat di Desa Muara Pantun

Kabupaten Kutai Timur. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa

pada indikator face to face dialogue (dialog/tatap muka)

menunjukkan proses dialog dilakukan secara interaktif dalam artian

saling bertanya dan menjawab baik pada kegiatan keterampilan

yang diberikan dari kampus dan juga pemerintah daerah bahkan

dalam pelatihan yang diberikan ada ruang komunikasi lanjutan

dengan pelatih dan peserta lainnya dalam bentuk group WA yang

bertujuan agar komunikasi peserta setelah pelatihan dapat

berlanjut. Pada trust building (membangun kepercayaan)

menunjukkan ada semacam keraguan terhadap kegiatan pemerintah

terkait efektivitas kegiatan yang dilaksanakan. Keraguan tersebut

didasari pada kegiatan yang dinilai setengah-setengah kurang total

dalam memberikan pemberdayaan tidak cukup sampai pada tahap

pelatihan, tetapi peserta meningkatan keterampilan kewirausahaan

mesti dikontrol terus sampai mereka mandiri dan produktif. Pada

indikator commitment to process (komitmen bersama)

menunjukkan bahwa pemerintah memerlukan kontribusi semua

pihak dalam upaya peningkatan keterampilan kewirausahaan

masyarakat keberhasilan dalam upaya pemberdayaan masyarakat

ini dapat tercapai jika ada sinergitas antara masing-masing

pemangku kepentingan pemerintah sebagai pengarah, swasta dan

LSM berkontribusi dalam berbagai bentuk dukungan baik secara

fisik maupun moril atau motivasi. Pada indikator shared

understanding (pemahaman bersama) menunjukkan pelatihan yang

dirasakan masih belum maksimal bagi seluruh peserta ada yang

mendapat dukungan pendanaan dan peralatan namun ada juga


16
peserta yang hanya mendapat pengalaman. Kemudian pada

indikator intermedite outcome (pencapaian hasil) menunjukkan

bahwa proses kolaborasi terjadi jika peserta pelatihan keterampilan

kewirausahaan melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan serta

menunjukkan progres yang bagus sehingga mendapat kesempatan

untuk memperoleh bantuan seperti bantuan pendanaan yang

bekerjasama dengan perbankan melalui kredit lunak namun yang

perlu diperhatikan yaitu kolaborasi dapat berfungsi maksimal jika

peserta peningkatan keterampilan kewirausahaan memiliki

komitmen yang kuat.

g. Denok Kurniasih, Paulus Israwan Setyoko, dan Moh. Imron

(2017), melakukan penelitian dengan judul “Collaborative

Governance Dalam Penguatan Kelembagaan Program Sanitasi

Lingkungan Berbasis Masyarakat (SLBM) Di Kabupaten

Banyumas”. Dilakukannya penelitian untuk mengetahui

implementasi program sanitasi berbasis SLBM. Dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa implementasi Program Sanitasi

Lingkungan Berbasis Masyarakat (SLBM) di Kabupaten

Banyumas belum mampu mencapai tujuan kebijakan. Indikasinya

adalah aksesibilitas masyarakat terhadap program yang belum

merata serta tata kelola kelembagaan yang belum efektif. Hal

tersebut disebabkan sistem kelembagaan program belum mampu

mengelola interaksi sosial diantara berbagai pihak yang terlibat.

Akibatnya mulai dari perencanaan sampai dengan pengelolaan

program belum dilakukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Oleh

sebab itu dibutuhkan sistem kelembagaan yang mampu mengelola

interaksi sosial diantara berbagai pihak. Model yang tepat bagi

penguatan kelembagaan program SLBM adalah model sistem


17
kelembagaan yang mampu membangun administrative network

yang sinergis dan luas antar berbagai stakeholders. Berdasarkan

kondisi tersebut. Penelitian ini menghasilkan model bagi penguatan

kelembagaan melalui pendekatan collaborative governance.

h. Ranggi Ade Febrian (2016), melakukan penelitian dengan judul

“Collaborative Governance Dalam Pembangunan Kawasan

Pedesaan (Tinjauan Konsep dan Regulasi). Dilakukannya

penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pembangunan kawasan

pedesaan. Dari hasil penelitian menunjukkan adanya keterlibatan

berbagai pihak dalam pembangunan kawasan perdesaan memiliki

potensi untuk memajukan desa dengan mengkolaborasi sumber

daya yang dimiliki. Kolaborasi dimulai dari rencana pembangunan

yang dibahas oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi,

pemerintah daerah kabupaten / kota, dan pemerintah desa bahkan

sebaliknya dari desa sampai tingkat pusat melalui sebuah konsesus.

Permasalahan yang terjadi dalam konteks ini dilihat dari konsep

collaborative governance adalah kurang berjalannya system

contexs yang dilihat dari kondisi perubahan peraturan perundang-

undangan, drivers yang dilihat dari elemen leadership yang sangat

mempengaruhi perencanaan pembangunan di desa, dan dinamika

kolaborasi yang terjadi yaitu kondisi yang tidak menguntungkan

semua pihak sehingga masih terjadi ego sektoral. Konsep

collaborative governance sebagai basis alternatif dinilai mampu

mewujudkan percepatan dan implementasi kawasan perdesaan

sebagai sebuah solusi bagi pihak yang akan mengembangkan dan

mengimplementasikan kawasan perdesaan dalam bentuk kebijakan

atau pun penelitian.

i. Dimas Luqito Chusuma Arrozaq (2017), dengan judul penelitian


18
“Collaborative Governance (Studi Tentang Kolaborasi Antara

Stakeholders Dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan Di

Kabupaten Sidoarjo)”. Dilakukannya penelitian dengan tujuan

untuk mengetahui proses kolaborasi antara stakeholder dalam

pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Sidoarjo, juga

untuk mengetahui dalam proses model kolaborasi apa yang

diimplementasikan. Dengan hasil penelitian yang menunjukkan

bahwa terdapat hambatan-hambatan dalam pengembangan

kawasan Minapolitan, seperti satu, kelompok usaha kesusahan

dalam membuat kelompoknya menjadi berbadan hukum atau legal

sehingga dapat bergabung dalam kolaborasi dan mendapat bantuan.

Kedua, pemerintah kurang memfasilitasi dalam hal pemasaran.

Ketiga, kontinuitas kolaborasi masih sangat kurang. Keempat,

pihak swasta kurang diikutsertakan dalam seluruh kegiatan

pengembangan kawasan Minapolitan hingga terjadi sedikit

permasalahan karena kurangnya komunikasi. Selain itu terkait

proses kolaborasi antara stakeholder dalam pengembangan

kawasan Minapolitan menunjukkan sudah memenuhi komponen

kolaborasi Kirk Emerson. Yaitu proses kolaborasi dimulai dari

pergerakan bersama, motivasi bersama, dan pembentukan kapasitas

bersama.

j. Meiga Ervianti (2018), melakukan penelitian dengan judul

“Faktor-Faktor Yang Menghambat Collaborative Governance

Dalam Implementasi Manajemen Dan Rekayasa Lalu Lintas Di

Kota Pekanbaru”. Dilakukannya penelitian dengan tujuan untuk

mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menghambat

collaborative governance dalam implementasi manajemen dan

rekayasa lalu lintas di Kota Pekanbaru. Hasil penelitian


19
menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor yang menghambat

penerapan collaborative governance dalam implementasi

manajemen dan rekayasa lalu lintas di Kota Pekanbaru yaitu

diantaranya faktor partisipasi masyarakat seperti kurangnya

kesadaran masyarakat dalam tertib berlalu lintas, faktor koordinasi

seperti kurangnya koordinasi antara pihak state dan private sector

dalam manajemen dan rekayasa lalu lintas, faktor sosialisasi yang

tidak dilakukan secara merata di seluruh wilayah yang di rekayasa,

kemudian faktor pengawasan dan penindakan yang tidak maksimal

dilakukan oleh pihak state sehingga tidak menimbulkan efek jera

bagi masyarakat, serta faktor kurangnya sumber daya manusia

yang berkompeten di bidang manajemen dan rekayasa lalu lintas.

Berdasarkan penelitian terdahulu, terdapat persamaan antara

penelitian yang akan dilakukan peneliti, pertama, sama-sama

menggunakan pendekatan collaborative governance, kedua sama-

sama mengkaji pengembangan desa wisata. Namun, yang dapat

membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang telah

dipaparkan di atas terletak pada fokus dan lokusnya. Pertama, dalam

penelitian ini berfokus pada collaborative governance dalam

pengembangan desa wisata berbasis adat (studi kasus komunitas adat

Bonokeling Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang). Kedua, lokus dari

penelitian ini pada kolaborasi antara pihak Pemerintah Desa

Pekuncen, Komunitas Adat Masyarakat Bonokeling, ataupun swasta

dalam pengembangan desa wisata. Apalagi sepengetahuan peneliti,

bahwa belum ada penelitian yang meneliti tentang collaborative

governance dalam pengembangan desa berbasis adat (studi kasus

komunitas adat bonokeling Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang).

2. Konsep Tata Kelola (Governance) Sektor Publik


20
Secara bahasa governance berasal dari Bahasa Latin yaitu

gubernare yang diserap kedalam Bahasa Inggris menjadi govern, yang

dapat diartikan sterr (menyetir, mengendalikan), direct (mengarahkan)

atau rule (mengatur). Sedangkan governance ialah kata sifat dari

govern yang memiliki arti yaitu tindakan (melaksanakan) tata cara

pengendalalian.

Konsep governance secara sederhana merujuk pada proses

pembuatan keputusan maupun implementasinya. Berlaku diseluruh

tingkatan sektor publik, baik global, nasional ataupun lokal.

Pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu

menjadi aktor paling menentukan. Dalam konsep governance, peran

pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan

infrastruktur akan bergeser menjadi bahan pendorong terciptanya

lingkungan yang mampu menfasilitasi pihak lain di komunitas

masyarakat dan sektor swasta untuk ikut aktif melakukan upaya

tersebut (Sumarto, 2004:2).

Governance itu sendiri didefinisikan oleh Kooiman (2007)

sebagai sebuah konsepsi tentang interaksi dalam memerintah, di mana

interaksi itu sendiri merupakan hubungan saling menguntungkan

antara dua atau lebih aktor atau entitas. Menurut Dwiyanto (2018)

governance memiliki perhatian terhadap pentingnya keterlibatan para

pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan, hal ini

disebabkan dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaannya

sudah semakin kompleks akan tantangan dan masalah yang dihadapi.

Sedangkan United Nations Development Programme (UNDP)

mendefinisikan governance sebagai pelaksanaan kewenangan politik,

ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah negara

atau bangsa. Karena governance dapat diartikan sebagai bentuk


21
peralihan dalam penyelenggaraan kebijakan publik yang tidak hanya

berpusat pada pemerintah, maka secara umum di dalam governance

terdapat tiga sektor yang berperan, saling berinteraksi dan

menjalankan fungsinya masing-masing. Ketiga sektor itu yaitu state

(negara atau pemerintah), private sektor (swasta) dan society

(masyarakat).

Pada dasarnya terdapat karakteristik sebuah governance,

Roderick Arthur William Rhodes (1996) dari hasil penelitian yang

dilakukannya mendapati 4 karakter dominan dari governance.

Keempat karakter sersebut meliputi :

a. Governance bermakna lebih luas daripada government dengan

melibatkan aktor non-negara yang menjadikan ada hubungan

saling ketergantungan antar organisasi.

b. Keberlanjutan hubungan interaksi antar anggota karena

dilatarbelakangi kebutuhan pertukaran sumber daya dan

negosiasi untuk membagi bersama.

c. Berakar pada hubungan saling percaya dan diregulasikan

dengan peraturan akibat dari negosiasi dan kesepakatan antar

aktor.

d. Memiliki derajat signifikan untuk terlepas atau otonom dari

pemerintah.

Oleh Hamberger (2004), karakteristik governance

diklasifikasikan menjadi 3 model, yaitu terkoordinasi oleh negara

(state coordinated), terkoordinasi oleh pemerintah daerah (local

government coordinated) dan terkoordinasi oleh multi-aktor (multi

actor coordinated). Karakteristik setiap model dapat dilihat pada tabel

dibawah:

Tabel.1 Karakteristik Governance


22
Characteristics Model governance

State Local Multi actor

coordinated government coordinated

coordinated

Legal around / State Local Partnership

regulation decisions government, agreements

(state, / contracts

province

decisions)

Democratic Representativ Representativ Participator

orientation e / elitiss e / elitiss or y or

discursive discursive

Principal State Local Participatin

government, g actors

(state,

province)

Agents Municipalities State, firms, Participatin

, firms, citizens, g actors,

organization organizations, external

(local actors

government)

Type of policy Tame-gentle Wicked/ Wicked/

problems complex complex

Implementatio Top-down, Top Bottom-up,

n process strong down/bottom achieving

management up, intentions consensus

control adjusted to on some

local goals,
23
conditions collective

learning

Conditions for Clear: Divided: Divided or

accountability national Local/ unclear:

politicians national partnership

and official politicians or members

province

officials

Sumber: Hanberger (2004), “Democratic Governance and

Evaluation”.

Kajian governance menurut Dwiyanto (2018), memiliki

perhatian setidaknya pada 3 (tiga) isu penting, yang membedakannya

dengan tradisi administrasi publik yang konvensional. Isu tersebut,

yaitu :

a. Isu atau dimensi kelembagaan. Isu ini menjadi tema yang

banyak dikaji terlebih pada bagaimana mengidentifikasi

pemangku kepentingan yang terlibat dalam suatu kegiatan.

Isu ini juga dipahami sebagai sebuah sistem administrasi

yang melibatkan banyak pelaku, baik dari pemerintah

maupun di luar pemerintah.

b. Isu atau dimensi nilai. Isu ini merupakan dasar dalam

penggunaan kekuasaan atau wewenang, mengetahui nilai apa

yang sebaiknya dipergunakan bisa berbeda antara ruang dan

waktu tergantung pada sejarah dan pengalaman masing-

masing negara. Seperti nilai yang menggambarkan local

wisdom dalam praktik governance kemudian tergusur ketika

model birokrasi Weberian dengan segala karakteristiknya

dilembagakan (Dwiyanto, 2018).


24
c. Isu atau dimensi proses. Isu ini menggambarkan urutan

pelaksanaan atau kejadian yang saling terkait, atau

pengertian lainnya bahwa proses adalah serangkaian langkah

sistematis, atau tahapan yang jelas dan dapat ditempuh

berulangkali untuk mencapai hasil yang diinginkan. Isu ini

menjelaskan bagaimana berbagai unsur dan lembaga

memberi respons terhadap berbagai masalah publik yang

muncul di lingkungannya (Dwiyanto, 2018).

3. Konsep Collaborative Governance

Collaborative (kolaborasi) secara bahasa berasal dari Bahasa

Inggris yaitu co-labour yang berarti bekerja bersama. Istilah ini mulai

populer digunanakan pada abad ke 19, ketika industrialisasi mulai

berkembang. Perkembangan industri menuntut organisasi agar semakin

kompleks dalam struktur organisasi, pembagian tugas tenaga kerja

dalam organisasi menjadi titik awal digunakannya kolaborasi dalam

berbagai organisasi (Wanna 2008:3).

Secara umum kolaborasi merupakan upaya kegiatan yang

dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen untuk mencapai tujuan

yang sama. Menurut Schrage dalam Harley dan Bisman (2010:18),

kolaborasi ialah upaya penyatuan berbagai pihak untuk mencapai

tujuan yang sama. Adapun Leever (2010) menyatakan bahwa

kolaborasi adalah konsep yang digunakan untuk menjelaskan

hubungan kerjasama yang dilakukan selama usaha penggabungan

pemikiran oleh pihak-pihak tertentu, dimana para pihak mencoba

mencari solusi dari perbedaan cara pandang tersebut dalam

permasalahan.

Ahli yang lain Raharja (2008:8) mengungkapkan kolaborasi

adalah kerjasama yang dilakukan antar organisasi untuk mencapai


25
tujuan bersama yang sulit dicapai secara individual. Keterbatasan

organisasi dalam mencapai tujuan, dan tuntutan organisasi untuk

mencapai tujuan, menjadi dasar atau sebab organisasi harus melakukan

kerjasama dengan organisasi lain atau pihak lain.

Menurut Fendt (2010:22), terdapat 3 alasan mengapa organisasi

melakukan kolaborasi, seperti :

a. Organisasi perlu berkolaborasi karena tidak dapat

menyelesaikan tugas tertentu seorang diri tanpa bantuan pihak

lain.

b. Dengan berkolaborasi, keuntungan yang akan diperoleh

organisasi dapat lebih besar jika dibandingkan dengan bekerja

sendiri.

c. Dengan berkolaborasi, organisasi dapat menekan biaya

produksi sehingga produk mereka dapat menjadi murah dan

memiliki daya saing pasar.

Ansell dan Gash (2007:543) mengatakan bahwa collaborative

governance adalah strategi baru dalam tata kelola pemerintahan yang

membuat beragam pemangku kebijakan berkumpul pada forum yang

sama untuk mebuat sebuah konsensus yang sama atau kesepakatan

bersama. Mereka juga mendefinisikan collaborative governance

sebagai sebuah aransemen tatakelola pemerintahan yang mana satu

atau lebih institusi publik secara langsung melibatkan aktor non-

pemerintahan dalam sebuah proses pembuatan kebijakan kolektif yang

bersifat formal, berorientasi konsensus, dan konsultatif dengan tujuan

untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik,

mengelola program ataupun aset publik.

Menurut Donahue dan Zeckhauser (2011:4) collaborative

governance ialah kondisi dimana pemerintah dalam memenuhi tujuan


26
publik melalui kolaborasi antar organisasi maupun individu. Adapun

Holzer (2012:349) menyatakan bahwa collaborative governance

adalah kondisi ketika pemerintah dan swasta berupaya mencapai

tujuan bersama untuk masyarakat.

Robertson dan Choi (2010) mendefinisikan collaborative

governance sebagai proses kolektif dan egalitarian dimana setiap

partisipan di dalamnya memiliki otoritas dalam pengambilan

keputusan dan setiap pemangku kepentingan memiliki kesempatan

yang sama untuk merefleksikan aspirasinya dalam proses tersebut.

Dalam collaborative governance, Ansell dan Gash (2007:5)

menekankan enam kriteria. Pertama, forum diinisiasi oleh institusi

publik. Kedua, partisipan dalam forum tersebut harus mencakup aktor

non-pemetintah. Ketiga, partisipan harus terlibat secara langsung

dalam pembuatan kebijakan publik dan tidak sekedar berkonsultasi

dengan pihak pemerintah. Keempat, forum harus terorganisasi secara

formal dengan adanya pertemuan secara rutin. Kelima, kebijakan atau

keputusan yang diambil harus didasarkan konsensus. Keenam,

kolaborasi berfokus pada kebijakan publik atau manajemen publik.

Dapat ditarik kesimpulan dari berbagai pendapat ahli bahwa

collaborative governance adalah keterlibatan multi organisasi lintas

sektoral dalam proses pembuatan kesepakatan bersama, keputusan

bersama, dan upaya pencapaian konsensus melalui interaksi formal

ataupun informal serta bersifat saling menguntungkan dalam mencapai

tujuan bersama.

Collaborative Governance menturut Donahue dan Zeckhauser

(2011) dapat dilihat dari empat hal, yaitu:

a. Kolaborasi untuk produksi

b. Kolaborasi untuk informasi


27
c. Kolaborasi untuk legitimasi

d. Kolaborasi untuk sumber daya

Terkait model proses collaborative governance, menurut Ansell

dan Gash (2007) proses collaborative governance dimulai dari kondisi

awal yaitu para stakeholders memiliki kepentingan dan visi bersama

yang ingin dicapai, sejarah kerjasama dimasa lalu, saling menghormati

kerjasama yang terjalin, kepercayaan masing-masing stakeholders,

ketidak seimbangan kekuatan, sumber daya dan pengetahuan.

Kemudian terdiri dari kepemimpinan fasilitatif yang berkaitan dengan

musyawarah yang dilakukan oleh stakeholders, penetapan aturan-

aturan dasar yang jelas, membangun kepercayaan, memfasilitasi

dialog antar stakeholders dan pembagian keuntungan bersama. Serta

desain institusional berkaitan dengan tata cara dan peraturan dasar

dalam kolaborasi untuk prosedural proses kolaborasi yang legal,

transparansi proses, inklusivitas partisipan, dan eksklusivitas forum.

Berikut model collaborative governance Ansell dan Gash :


28

Inklusivitas partisan,
Desain institusional ekslusivitas forum,
aturan-aturan dasar
yang jelas, tranpransi
proses.

Kondisi awal Proses Kolaboratif

Membangun kepercayaan Komitmen terhadap proses


Ketidak - Saling memahami
seimbangan ketergantugan
kekuatan sumber - Kepemilikan proses
daya bersama
pengetahuan Dialog tatap muka
- Negosiasi atas dasar - Keterbukaan terhadap
kepercayaan yang pengembangan capaian
bersama Outcome
Insentif untuk baik
dan hambatan
partisipasi
Pemahaman Bersama
Outcome menengah - Misi yang jelas
- “Kemenangan kecil” - Definisi masalah
Prasejarah - Rencana strategis bersama
kerjasama atau - Temuan fakta - Identifikasi nilai-nilai
konflik (tingkat bersama bersama.
kepercayaan
awal)

Pengaruh Kepemimpinan fasilitatif (pemberdayaan)

Sumber : Ansell dan Gash (2007:550)

Gambar.1

Model collaborative governance menurut Ansell dan Gash di


29
atas terdiri dari empat variabel utama, yaitu kondisi awal, desain

kelembagaan, kepemimpinan dan proses kolaboratif. Untuk tahapan

pada proses kolaborasi diawali dengan face to face dialogue (dialog

tatap muka), trust building (membangun kepercayaan), commitment to

process (komitmen terhadap proses), share understanding

(pemahaman bersama), dan intermedite outcome (pencapaian hasil).

Menurut Grossman (2015) kolaborasi adalah jantung dari

partnership (kemitraan), oleh karena itu tata kelola kemitraan mengacu

pada penerapan organisasi pragmatis dari tata kelola kolaboratif.

Kolaborasi adalah perilaku yang memunculkan pembelajaran,

pertumbuhan, pengembangan dan merupakan proses utama dari

kemitraan. Dimana kemitraan sendiri ialah organisasi yang bertindak

sebagai aspek sinergis dari kolaborasi organisasi pemerintah,

masyarakat dan swasta atau pada dasarnya setiap fenomena sosial.

Dalam hal ini sturuktur universal kemitraan meliputi 4 hal (Dwi

Harsono dalam Center for Governance and Policy Analysis, 2021),

yaitu :

a. Agreement (kesepakatan /perjanjian), perjanjian adalah nilai

dan aset dari kemitraan, dimana kolaborasi yang sukses ialah

yang bekerja pada perjanjian, dan bukan sebaliknya.

b. Management (pengolaan), perjanjian dipertahankan melalui

manajemen professional. Oleh karena itu, manajemen adalah

kunci untuk kolaborasi yang sukses.

c. Commitment (komitmen), adalah kontribusi sumber daya

yang mutlak dan adil oleh para pemangku kepentingan

secara berkelanjutan. Karena keberhasilan dicapai ketika

kolaborasi sebagai kemitraan, berkomitmen untuk mencapai

kesepakatan mereka.
30
d. Accountability (akuntabilitas), ketika kolaborasi

menghasilkan kemitraan, akuntabilitas mengatur hasil

kemitraan.

Dengan indikator sebagai berikut:

Tabel.2 Indikator Sturuktur Kemitraan

Trust

Rendah Tinggi

Kesepakatan Kepuasan instan Perubahan nyata

Orientasi output saja Kemitraan

Permusuhan, dikotomi Orientasi hasil

Pengelolaan Ad hoc / proxy Profesionalisme

Manipulatif Transparansi

Esklusif/misskomunikasi Komunikasi inklusif

Komitmen Muslihat Komitmen

Komitmen Kolaborasi

Ketidaklengkapan Aksi

Pendek Jangka Panjang

Akuntabilitas Ketidaksepakatan Janji

Kebingungan Kejelasan

Kinerja rendah Kinerja tinggi

Tidak ada pengukuran Pengukuran seimbang

4. Desa Wisata

Desa wisata ialah merupakan pariwisata yang terdiri dari

keseluruhan pengalaman pedesaan, atraksi alam, tradisi, unsur-unsur

yang unik secara keseluruhan dapat menarik wisatawan (Joshi, 2012).

Desa wisata juga merupakan pengembangan suatu wilayah desa yang

pada dasarnya tidak merubah apa yang sudah ada, tetapi lebih kepada
31
pengembangan potensi desa yang ada dengan melakukan pemanfaatan

kemampuan unsur-unsur yang ada di dalam desa, yang berfungsi

sebagai atribut produk wisata dalam skala yang kecil menjadi

rangkaian aktivitas atau kegiatan pariwisata dan mampu menyediakan

serta memenuhi kebutuhan wisatawan baik dari aspek daya tarik

maupun sebagai fasilitas pendukung (AJ, Muljadi 2012:12).

Setiap desa wisata mempunyai karakteristik tersendiri, daya tarik

tersendiri, yang kemudian menjadi potensi sehingga desa tersebut

dijadikan desa wisata. Adapun karakteristik desa wisata berdasarkan

community based tourisme, yaitu :

a. Daya tarik pariwisata, berupa daya tarik wisata alam atau

buatan.

b. Akomodasi pariwisata, berupa penginapan atau tempat makan,

kuliner dan kepemilikan akomodasi oleh mayoritas dari

masyarakat.

c. Penguatan komunitas lokal, yaitu perlibatan komunitas lokal

serta masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan

pariwisata.

d. Manfaat yang diterima masyarakat, adanya lapangan kerja baru

atau keuntungan dari aktifitas pariwisata.

e. Dukungan pemerintah terkait keberlanjutan desa wisata, dan

f. Kelembagaan dalam pengembangan desa wisata

Dalam buku pedoman desa wisata Kementerian Pariwasata,

pengembangan desa wisata dapat dijabarkan dalam 3 tahapan, yaitu

rintisan, berkembang, maju dan mandiri. Tahapan ini menggambarkan

posisi desa untuk dapat dilihat program yang dapat dilaksanakan sesuai

tahapannya.

a. Rintisan, masih berupa potensi yang dapat dikembangkan


32
untuk menjadi destinasi wisata. Pengembangan sarana dan

prasarana wisata masih terbatas. Kesadaran masyarakat

terhadap potensi wisata belum tumbuh, dan sangat diperlukan

pendampingan dari pihak terkait, baik pemerintah atau swasta.

b. Berkembang, yaitu sudah mulai dikenal dan dikunjungi

masyarakat sekitar dan pengunjung luar daerah, sudah terdapat

pengembangan sarana prasarana dan fasilitas pariwisata,

kesadaran masyarakat terhadap potensi wisata sudah mulai

tumbuh, dan masih memerlukan pendampingan dari pihak

terkait.

c. Maju, yaitu masyarakat sudah sepenuhnya sadar akan potensi

wisata termasuk pengembangannya, sudah menjadi destinasi

wisata yang dikenal dan banyak dikunjungi oleh wisatawan,

termasuk wisatawan mancanegara, sarana prasarana wisata

sudah memadai, masyarakat sudah berkemampuan untuk

mengelola usaha pariwisata melalui Pokdawis / kelompok kerja

lokal, dan masyarakat sudah berkemampuan memanfaatkan

dana desa untuk pengembangan desa wisata.

d. Mandiri, yaitu masyarakat sudah memberikan inovasi dalam

pengembangan potensi wisata desa menjadi unit kewirausahaan

yang mandiri, sudah menjadi destinasi wisata yang dikenal

oleh mancanegara dan sudah menerapkan konsep berkelajutan

yang diakui dunia, sarana dan prasana sudah mengikuti standar

internasional minimal Asean. Pengelolaan desa wisata sudah

dilakukan secara kolaboratif antar sektor dan sudah berjalan

dengan baik, dana desa menjadi bagian penting dalam

pengembangan inovasi diversifikasi produk wisata di desa

wisata, dan desa sudah mampu memanfaatkan digitalisasi


33
sebagai bentuk promosi mandiri atau mampu membuat bahan

promosi dan menjual secara mandiri melalui digitalisai dan

teknologi.

5. Kerangka Berfikir

Model teoritis yang menjadi pemandu penyelidikan, diadaptasi

dari Murphy (1990) serta menggunakan struktur universal kemitraan.

Mengetahui proses kolaborasi dalam rangka pengembangan desa wisata

berbasis adat di desa Pekuncen, yang juga diharapkan dapat melihat

upaya penguatan kapasitas, peran serta inisiatif masyarakat sebagai

kelompok kepentingan, untuk berkontribusi dan aktif sebagai pelaku

atau penerima manfaat dalam pengembangan pariwisata yang

berkelanjutan. Berikut model teoritis tersebut:

- Dinas Pemuda Olahraga Collaborative governance dilihat LSM/ sektor


Budaya dan Pariwisata dari: swasta
Kabupaten Banyumas 1. Kesepakatan atau Perjanjian
2. Pengelolaan
- Pemerintah Kecamatan
3. Komitmen
Jatilawang 4. Akuntabilitas
- Pemerintah Desa /Pemdes
Pekuncen

Masyarakat/ komunitas adat


desa Pekuncen

Desa wisata berbasis adat

Gambar.2 Kerangka Berpikir

G. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Pekuncen Kecamatan

Jatilawang Kabupaten Banyumas, khususnya pada kolaborasi

stakeholder dalam pengembangan desa wisata berbasis adat. Dengan

alasan bahwa keberadaan Komunitas Masyarakat Adat Bonokeling di

Desa Pekuncen, menjadi potensi dan daya tarik untuk kegiatan


34
pariwisata, apalagi setiap ada kegiatan peribadatan atau upacara adat,

desa ini selalu ramai dengan tamu. Sehingga menarik untuk melihat

dan menggambarkan seperti apa kolaborasi yang dilakukan oleh para

elemen terkait dalam proses pengembangan Desa Pekuncen menjadi

desa wisata berbasis adat, yang outputnya nanti dapat mendorong

peningkatan pendapatan desa dan membuka lapangan pekerjaan baru

bagi masyarakat.

2. Fokus Kajian Penelitian

Collaborative Governance dalam pengembangan desa wisata

berbasis adat ialah pendekatan yang dipakai peneliti dalam melihat

proses pengembangan desa wisata berbasis adat di desa Pekuncen

Kecamatan Jatilawang. Keberadaan komunitas adat Bonokeling di desa,

serta bagaimana pemerintah desa memberdayakan masyarakat adat

menjadi tantangan dan peluang tersendiri.

Sehingga untuk melihat lebih jauh keterlibatan setiap stakeholder

dalam pengembangan desa wisata khususnya desa wisata dengan potensi

adat yang ada. Peneliti menggunakan pendekatan collaborative

governance. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif

kualitatif.

Aspek Sub aspek

Rendah Tinggi

Kesepakatan Kepuasan instan Perubahan nyata

Orientasi output saja Kemitraan

Permusuhan, dikotomi Orientasi hasil

Pengelolaan Ad hoc / proxy Profesionalisme

Manipulatif Transparansi

Esklusif/misskomunikasi Komunikasi inklusif

Komitmen Muslihat Komitmen


35
Komitmen Kolaborasi

Ketidaklengkapan Aksi

Pendek Jangka Panjang

Akuntabilitas Ketidaksepakatan Janji

Kebingungan Kejelasan

Kinerja rendah Kinerja tinggi

Tidak ada pengukuran Pengukuran seimbang

3. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ditujukan terhadap seluruh pihak yang

mempunyai peran penting dan dominan dalam pengembangan desa

wisata berbasis adat di Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang

Kabupaten Banyumas. Pihak-pihak itu ialah Pemerintah Kabupaten

Banyumas melalui Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata

(Dinporabudpar) Kabupaten Banyumas, Pemerintah Desa Pekuncen,

Ketua Komunitas Adat Masyarakat Bonokeling, Pemerintah

Kecamatan Jatilawang, serta tokoh-tokoh masyarakat Desa Pekuncen.

4. Metode Penelitian

Metode penelitian menerangkan rencana dan prosedur penelitian

yang akan dilakukan peneliti untuk mendapat jawaban dari

permasalahan penelitian. Metode penelitian adalah suatu cara ilmiah

untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu

(Sugiono 2010:3). Jenis penelitian dalam tesis ini adalah penelitian

lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan di kancah

atau medan terjadinya masalah.

Menggunakan pendekatan kualitatif yakni suatu pendekatan yang

secara primer menggunakan paradigma berdasarkan pandangan

konstruktivist dengan pengembangan secara sosial atau diambil dari


36
pengalaman individual yang bertujuan untuk mengembangkan suatu

teori tertentu. Dengan berdasarkan fenomena-fenomena (gejala-gejala)

yang ada pada obyek penelitian atau situasi sosial hal demikian di

sebut fenomenologi dengan mengumpulkan data penting secara

terbuka terutama dimaksudkan untuk mengembangkan data yang

sudah di peroleh (Emzir 2008:28).

Penelitian ini digolongkan dalam penelitian deskriptif, yaitu

penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi

mengenai status gejala yang ada pada saat yang sudah dilakukan

(Sugiono 2010:28). Berdasarkan judul penelitian yang diangkat yaitu

collaborative governance dalam pengembangan desa wisata berbasis

adat (studi kasus komunitas bonokeling desa Pekuncen Kecamatan

Jatilawang), dengan mendeskripsikan permasalahan yang ada sesuai

data yang di temukan, maka penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif.

Metode ini digunakan untuk mendapatkan data yang sebenarnya

tentang pengembangan desa wisata berbasis adat.

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Dilakukannya observasi dalam penelitian ini, guna untuk

mengamati, memahami peristiwa secara cermat, mendalam, dan

terfokus terhadap obyek penelitian untuk mengetahui bagaimana

pengembangan desa wisata berbasis adat (studi kasus komunitas

adat Bonokeling Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang). Dengan

peneliti yang mendatangi langsung lokasi penelitian.

b. Wawancara

Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar

informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat di

konstruksikan makna dalam suatu topik (Sugiono 2010:317).


37
Sedangkan menurut Margono wawancara merupakan pengumpulan

informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan

dan dijawab dengan lisan pula (S.Margono 2003:165).

Sedangkan menurut Lexy Moleong wawancara adalah

percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh

dua orang pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan,

serta terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan

tersebut (Lexy J.Moeloeng 2003:186). Wawancara digunakan

untuk mengumpulkan data tentang kolaborasi stakeholder dalam

pengembangan desa wisata Desa Pekuncen, konsep desa wisata

berbasis adat komunitas adat Bonokeling, serta faktor-faktor yang

mempengaruhi pengembangannya.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah mencari data mengenai objek yang di

teliti, seperti teori-teori, konsep-konsep, preposisi yang relevan

dengan penelitian, profil desa, visi dan misi yang di emban, tentang

komunitas adat bonokeling, agenda adat, maupun terkait dengan

dokumen lainnya yang mendukung penelitian yang ada di Desa

Pekuncen Kecamatan Jatilawang.

6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data digunakan untuk mengakumulasikan dan

mereduksi seluruh data primer dan sekunder yang kemudian ditarik

sebuah kesimpulan. Peneliti menggunakan model Miles and Huberman

yang mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif

dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai

tuntas, sehingga datanya jenuh (Sugiono 2010:337).

a. Data Collection (Pengumpulan Data)

Data collection mengidentifikasi dan menggambarkan semua


38
instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data atau mengukur

perilaku dan mengapa hal itu digunakan. Dalam penelitian ini peneliti

mengumpulkan data melalui berbagai cara, yaitu observasi, wawancara,

rekaman dan dokumen. Wawancara yang penulis gunakan ialah

wawancara semi terstruktur dengan maksud agar wawancara relatif

luwes dan tidak kaku. Teknik ini memungkinkan penulis untuk

mengungkap harapan, cita-cita, problem dan data lain yang terkait

dengan yang peneliti lakukan. Dalam wawancara inilah peneliti

menggunakan rekaman sebagai alat pengumpulan data dengan maksud

data yang diperoleh valid.

Observasi yang peneliti lakukan dengan berpedoman pada

pedoman observasi yang peneliti buat sebelum peneliti terjun ke

lapangan. Hal tersebut digunakan untuk melihat gambaran umum yang

ada di lapangan. Memungkinkan peneliti untuk memiliki bekal terlebih

dahulu sebelum menggali data yang lebih dalam. Sedangkan

dokumentasi digunakan untuk mencari teori-teori, konsep-konsep,

pendapat dan data lapangan. Data tersebut terdapat pada buku, majalah

ilmiah, data dinding, web, manuskrip, dan data pendukung lainnya.

Setelah data terkumpul selanjutnya dipilih untuk kemudian

disistematisasi. Keistimewaan dari data ini adalah bahwa data itu

mengatasi ruang dan waktu sehingga membuka kemungkinan bagi

peneliti untuk memperoleh pengetahuan mengenai masalah atau

peristiwa (Sartono Kartodirjo 1994:46).

b. Data Reduction (Reduksi Data)

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan

mengorganisasikan data sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan

finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Reduksi data yaitu merangkum,


39
memilih hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari

tema dan polanya dan juga membuang yang tidak perlu. Dengan

demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang

akan lebih jelas, dan mempermudah peneliti dalam melakukan

pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan (Sugiono

2010:338).

Reduksi data diperlukan karena data yang peneliti peroleh dari

lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat,

dirangkum secara teliti dan rinci, serta direkam. Semakin sering peneliti

ke lapangan maka semakin banyak data yang peneliti peroleh, makin

rumit dan makin kompleks. Peneliti mengambil data dari lapangan

dengan menggunakan tiga teknik, yakni dokumentasi, wawancara dan

juga observasi.

c. Data Display (Penyajian Data)

Penyajian data merupakan proses interpretasi, proses pemberian

makna, baik secara etik, baik terhadap unsur-unsur maupun totalitas.

Menurut Miles dan Huberman, penyajian data dalam penelitian

kualitatif dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan

antar kategori, flowchart, dan sejenisnya (Lexy J. Moleong: 341).

Dalam penelitian ini data disajikan dalam bentuk uraian. Peneliti

menyajikan data yang berkaitan dengan collaborative governance dalam

pengembangan desa wisata berbasis adat, komunitas adat bonokeling

desa Pekuncen dalam bentuk uraian yang disertakan data berupa hasil

wawancara, hasil dokumentasi dan juga data pendukung lainnya.

d. Conclusion Drawing (Verivikasi)

Langkah selanjutnya dalam analisis data kualitatif menurut Miles

and Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan

diawal bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-
40
bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data

berikutnya.

Kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal valid dan

konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka

kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel

(Sugiono 2010:344). Kesimpulan yang diambil merupakan jawaban dari

rumusan masalah dalam penelitian ini.

Temuan dalam penelitian ini diharapkan merupakan temuan yang

berupa gambaran dari objek mengenai pengembangan desa wisata

berbasis adat desa Pekuncen dengan melakukan wawancara kepada

subjek penelitian yang terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, E-Book, dan Jurnal

Ade, Ranggi Febrian, 2016. Collaborative Governance Dalam Pembangunan Kawasan

Perdesaan (Tinjauan Konsep Dan Regulasi). e-Journal UIR (Universitas Islam Riau)

Vol. II Nomor 1 Oktober 2016.

Ansell, Chris, & Alisson Gash, 2007. Collaborative Governance In Theory And Practice,

journal of public administratiob research and theory, vol 18. No. 4 hlm 543-571

Antara, Made. Et.al. 2015. Panduan Pengelolaan Desa Wisata Berbasis Potensi Lokal.

diterbitkan Konsorsium riset pariwisata Universitas Udayana Bali

Aryani, Vitria. Et.al. 2019. Buku panduan desa wisata, Kementerian Pariwisata edisi I.

Argyo, Demartoto. 2019. Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat, Surakarta:

Sebelas Maret University Press.

Donahue, John D & Richard J. Zeckhauser, 2011. Collaborative Governance : Private

Roles For Public Goals In Turbulent Times. New jerset, princenton university press.
41
Dwiyanto, A. (2018). Ilmu Administrasi Publik di Indonesia, Mencari Identitas. Gadjah Mada

University Press.

Edy, Rawuh Priyono, et.al (2019). Membaca Potensi, Peluang dan Tantangan Kota

Purwokerto-Banyumas Untuk Menyelenggarakan Paket Wisata City Tour Dengan

Bus Pariwisata. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers 19-20 November

2019 Purwokerto.

Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif: Korelasional,

Eksperimen, Ex Post Facto, Etnografi, Grounded Theory, Action Research, Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Ervianti, Meiga, 2018. Faktor-Faktor Yang Menghambat Collaborative Governance Dalam

Implementasi Manajemen Dan Rekayasa Lalu Lintas Di Kota Pekanbaru . Jom Fisip Vol. 5:

Edisi Ii Juli – Desember 2018.

Fendt, Thomas Christian, 2010. Introducting Electronic Supply Chain Collaboration In

China: Evidence From Manufacturing Industries. Berlin : unversitastsverlag der

technischen Universitat Berlin.

Hanberger, A. (2004). Democratic Governance and Evaluation. Sixth EES (European

Evaluation Society) Conference.

Harleym James & Blismas, Nick, 2010. An anatomy of collaboration withim the online

environment, dalam anandarajan, murugan (ed), e research collaboration :theory,

tecniques, and challenger. Hlm 15-32. Heideberg: springer internasional publishing.

Holzer, March et al (2012). An Analysis Of Collaborative Governance Models The

Context Of Shared Services. Dalam lauer shcachter hindy Kaifeng, yang (Ed). The

State Of Citizen Participation In America. (hlm 349-386). Charlotte information age

publishing.

J, Lexy.Moeloeng, 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya
42
Joyce, Paul Strategic. 2015. Management in The Public Sector. Routledge Taylor and

Francis Grup London and New York.

Kartodirjo, Sartono. 1994. Metode Penggunaan Bahan Dokumen-Dokumen Dalam Buku

Metode-Metode Penelitian Masyarakat Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia, 1994.

Kusumawardani, Yuviani. 2017., Strategi Pengembangan Manajemen Parawisata Desa

Sukaharja Menjadi Suatu Desa Wisata. Bogor hospitality journal vol. 1 no. 1 – juli

2017.

Kurniasih, Denok, et.al (2017). Collaborative Governance Dalam Penguatan

Kelembagaan Program Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat (Slbm) Di

Kabupaten Banyumas. Sosiohumaniora, Volume 19 No. 1 Maret 2017 : 1 – 7

Universitas Jenderal Soedirman.

Luqito, Dimas Chusuma Arrozaq, 2017. Collaborative Governance (Studi Tentang

Kolaborasi Antara Stakeholders Dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan Di

Kabupaten Sidoarjo). http://lib.unair.ac.id

Margono, S. 2003. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Muljadi, A.J. 2012. Kepariwisataan dan Perjalanan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Priyanto, et al. 2016. Pengembangan Potensi Desa Wisata Berbasis Budaya Tinjauan

Terhadap Desa Wisata di Jawa Tengah. Jurnal Vokasi Indonesia Volume 4 Nomor

1. Januari -Juni 2016.

Raharja, Sam’un Jaja, 2008. Model Kolaborasi Dalam Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai Citarum. Disertasi program doctor ilmu administrasi publik. Depok:

universitas Indonesia.

Sakti, Suryo Hadiwidjoyo. 2012. Perencanaan Pariwisata Perdesaan Berbasis

Masyarakat. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sudarmo, 2011. Isu-isu Administrasi Publik Dalam Perspektif Governance. Surakarta: Smart

Media.
43
Sugiono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitif, Kualitatif Dan R&D.

Bandung:Alfa Beta.

Sulistyani, Andri, et.al. 2020. Persepsi Masyarakat Lokal Terhadap Pengembangan Desa

Wisata Berbasi Adat. Jurnal Kebijakan Publik, Volume 11, Nomor 1, Maret 2020,

hlm. 1-58.

Toufiqurokhman. 2016. Manajemen strategik. Cetakan Pertama 2016 Diterbitkan oleh

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama.

Tri, Aris Cahyo Purnomo. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan

Pembangunan Desa Wisata Di Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten

Purbalingga. Skripsi program studi pendidikan luar sekolah Jurusan pendidikan luar

sekolah Fakultas ilmu Pendidikan Universitas negeri Yogyakarta Desember 2015.

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009.

UU Nomor 10 tahun1990 terkait Kepariwisataan dan Pelaksanaannya.

Undang-undang RI nomo 9 tahun 2010 pasal 3.

Undang-Undang Desa Nomor. 6 tahun 2014 tentang Desa Wisata.

Wanna, John, 2008. Collaborative Government: Meanings, Dimensions, Drivers, And

Outcomes, dalam O’flynn. Jannie & Wanna, John. Collaborative Governance : A

New Era Of Public Policy In Australia?. Canberra : Australian National University

E Press.

Yulianti, Devi. 2018. Manajemen Strategi Sektor Publik. Pusaka Media Bandarlampung.

Website :

https://amp.kompas.com/travel/read/2019/03/26/171100327/alasan-utama-turis-asing-

berwisata-ke-indonesia

https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/05/22%2000:00:00/1357/jumlah-devisa-sektor-

pariwisata-2015-2018.html
44
https://www.bps.go.id/indicator/16/1821/3/jumlah-kunjungan-wisatawan-mancanegara-

ke-indonesia-menurut-kebangsaan.html

https://banyumaskab.bps.go.id/indicator/16/50/2/jumlah-pengunjung-obgyek-wisata-di-

kabupaten-banyumas.html

https://suarabanyumas.com/2019-banyumas-dikunjungi-27-juta-wisatawan/

Anda mungkin juga menyukai