Masalah Infrastruktur Kota Bandung

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 12

Semester Genap-Tahun Akademik 2012/2013

PENGANTAR KOTA

INFRASTRUKTUR

Tema
Masalah Infrastruktur Transportasi di Kota Bandung
(Jalan)

RUSLAN RAHIM
E1B1 10 052

PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK ARSITEKTUR


JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HALUOLEO
2013
Kota Bandung merupakan kota metropolitan terbesar di Jawa Barat sekaligus
menjadi ibu kota provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km sebelah tenggara Jakarta, dan
merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya menurut jumlah
penduduk. Sedangkan wilayah Bandung Raya (Wilayah Metropolitan Bandung) merupakan
metropolitan terbesar ketiga di Indonesia setelah Jabodetabek dan Gerbangkertosusila
(Grebangkertosusilo). Di kota yang bersejarah ini, berdiri sebuah perguruan tinggi teknik
pertama di Indonesia (Technische Hoogeschool te Bandoeng - TH Bandung, sekarang Institut
Teknologi Bandung - ITB, menjadi ajang pertempuran di masa kemerdekaan, serta pernah
menjadi tempat berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika 1955, suatu pertemuan yang
menyuarakan semangat anti kolonialisme, bahkan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru
dalam pidatonya mengatakan bahwa Bandung adalah ibu kotanya Asia-Afrika.

Pada tahun 1990 kota Bandung menjadi salah satu kota paling aman di dunia
berdasarkan survei majalah Time.

Kota kembang merupakan sebutan lain untuk kota ini, karena pada jaman dulu kota
ini dinilai sangat cantik dengan banyaknya pohon-pohon dan bunga-bunga yang tumbuh di
sana. Selain itu Bandung dahulunya disebut juga dengan Parijs van Java karena
keindahannya. Selain itu kota Bandung juga dikenal sebagai kota belanja, dengan mall dan
factory outlet yang banyak tersebar di kota ini, dan saat ini berangsur-angsur kota Bandung
juga menjadi kota wisata kuliner. Dan pada tahun 2007, British Council menjadikan kota
Bandung sebagai pilot project kota terkreatif se-Asia Timur. Saat ini kota Bandung
merupakan salah satu kota tujuan utama pariwisata dan pendidikan.

A. Geografi

Kota Bandung dikelilingi oleh pegunungan, sehingga bentuk morfologi wilayahnya


bagaikan sebuah mangkok raksasa, secara geografis kota ini terletak di tengah-tengah
provinsi Jawa Barat, serta berada pada ketinggian ±768 m di atas permukaan laut, dengan
titik tertinggi di berada di sebelah utara dengan ketinggian 1.050 meter di atas permukaan
laut dan sebelah selatan merupakan kawasan rendah dengan ketinggian 675 meter di atas
permukaan laut.

Kota Bandung dialiri dua sungai utama, yaitu Sungai Cikapundung dan Sungai
Citarum beserta anak-anak sungainya yang pada umumnya mengalir ke arah selatan dan
bertemu di Sungai Citarum. Dengan kondisi yang demikian, Bandung selatan sangat rentan
terhadap masalah banjir terutama pada musim hujan.

Keadaan geologis dan tanah yang ada di kota Bandung dan sekitarnya terbentuk pada
zaman kwartier dan mempunyai lapisan tanah alluvial hasil letusan Gunung Tangkuban
Parahu. Jenis material di bagian utara umumnya merupakan jenis andosol begitu juga pada
kawasan dibagian tengah dan barat, sedangkan kawasan dibagian selatan serta timur terdiri
atas sebaran jenis alluvial kelabu dengan bahan endapan tanah liat.

Semetara iklim kota Bandung dipengaruhi oleh iklim pegunungan yang lembab dan
sejuk, dengan suhu rata-rata 23.5 °C, curah hujan rata-rata 200.4 mm dan jumlah hari hujan
rata-rata 21.3 hari per bulan.
B. Kependudukan

Kota Bandung merupakan kota terpadat di Jawa Barat, di mana penduduknya


didominasi oleh etnis Sunda, sedangkan etnis Jawa merupakan penduduk minoritas terbesar
di kota ini dibandingkan etnis lainnya.

Pertambahan penduduk kota Bandung awalnya berkaitan erat dengan ada sarana
transportasi Kereta api yang dibangun sekitar tahun 1880 yang menghubungkan kota ini
dengan Jakarta (sebelumnya bernama Batavia). Pada tahun 1941 tercatat sebanyak 226.877
jiwa jumlah penduduk kota ini kemudian setelah peristiwa yang dikenal dengan Long March
Siliwangi, penduduk kota ini kembali bertambah dimana pada tahun 1950 tercatat jumlah
penduduknya sebanyak 644.475 jiwa.

C. Infrastruktur

Infrastruktur mengacu pada sistem fisik yang menyediakan transportasi, air,


bangunan, dan fasilitas publik lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia secara ekonomi dan sosial.

Hudson, et al. (1997): Associated General Contractors of America (AGCA 82)


menyatakan bahwa infrastuktur adalah ”A system of public facilities, both publicy or privately
funded, which provide for delivery of essential services and a sustained standard of living”.

Kelompok Bidang Keahlian Manajemen Rekayasa Konstruksi ITB (2001):


”Infrastruktur (prasarana) adalah bangunan atau fasilitas fisik yang dikembangkan untuk
mendukung pencapaian tujuan sosial dan ekonomi suatu masyarakat atau komunitas”.

Transportasi di dalam kota Bandung, masyarakat Bandung biasanya menggunakan


angkutan kota atau yang lebih akrab disebut angkot. Selain itu, bus kota dan taksi juga
menjadi alat transportasi di kota ini. Sedangkan sebagai terminal bus antarkota dan provinsi
di kota ini adalah terminal Leuwipanjang untuk rute barat dan terminal Cicaheum untuk rute
timur.

Pada 24 September 2009, TMB (Trans Metro Bandung) resmi beroperasi, walaupun
sempat diprotes oleh sopir angkot setempat. TMB ini merupakan proyek patungan antara
pemerintah kota Bandung dengan Perum II DAMRI Bandung dalam memberikan layanan
transportasi massal dengan harga murah, fasilitas dan kenyamanan yang terjamin serta tepat
waktu ke tujuan.

Kota Bandung memiliki sebuah pelabuhan udara yang bernama Bandar Udara Husein
Sastranegara untuk menghubungkan kota ini dengan beberapa kota-kota lainnya di Indonesia
seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar, Menado, Yogyakarta, Batam, Mataram, Makassar,
Palembang, Pangkalpinang, Semarang, dan Medan. Sedangkan untuk rute luar negeri
diantaranya Malaysia, Singapura, Thailand dan Brunei Darussalam.

Kota Bandung juga mempunyai stasiun kereta api yang setiap harinya melayani rute
dari dan ke Jakarta, ataupun Semarang, Surabaya dan Yogyakarta, yaitu Stasiun Bandung
untuk kelas bisnis dan eksekutif. Sedangkan Stasiun Kiaracondong melayani rute yang sama
(kecuali Jakarta) untuk kelas ekonomi.
Selain 2 buah stasiun tersebut, terdapat 5 stasiun KA lain yang merupakan stasiun
khusus peti kemas, yakni Gedebage, Cimindi, Andir, Ciroyom dan Cikudapateuh.

Sampai pada tahun 2004, kondisi transportasi jalan di kota Bandung masih buruk
dengan tingginya tingkat kemacetan serta ruas jalan yang tidak memadai, termasuk masalah
parkir dan tingginya polusi udara. Permasalahan ini muncul karena beberapa faktor
diantaranya pengelolaan transportasi oleh pemerintah setempat yang tidak maksimal seperti
rendahnya koordinasi antara instansi yang terkait, ketidakjelasan wewenang setiap instansi,
dan kurangnya sumber daya manusia, serta ditambah tidak lengkapnya peraturan pendukung.

Pada tahun 2008, pemerintah merencanakan pembangunan Pusat Listrik Tenaga


Sampah (PLTSa) di Gedebage, namun sempat diprotes warga setempat. Dan baru pada tahun
2010 wacana pembangunan PLTSa ini kembali digulirkan, dimana tendernya akan dilakukan
pada November 2010 dan proyek ini akan dimulai pada awal 2011 dan diperkirakan selesai
pada akhir 2012.

Sementara untuk melayani kebutuhan akan air bersih, pemerintah kota melalui PDAM
kota Bandung saat ini baru mampu memasok air untuk 66 % dari total jumlah penduduknya.
Hal ini terjadi karena semakin berkurangnya debit air baku, baik sumber air dalam tanah
maupun mata air. Sementara itu penggunaan sumber air dalam tanah di kota ini sudah
memainkan penting dalam pemenuhan kebutuhan air minum sejak dimulai pembangunan
kota ini di akhir abad ke-19, namun seiring dengan perkembangan kota terutama
berkembangnya industri serta ditambah kurangnya regulasi dalam konservasi sumber air
sehingga menjadikan masalah air minum semakin rumit dan perlu penangganan khusus.

Saat ini sebagian besar sumur artesis milik PDAM, tidak lagi berfungsi termasuk
andalan utama pasokan air baku dari Sungai Cisangkuy yang berasal dari Sungai Cilaki
melalui Situ Cipanunjang dan Situ Cileunca. Selain itu pendistribusian air pada masyarakat
kadangkala dilakukan secara bergilir dan juga air yang didistribusikan kotor dan keruh pada
jam-jam tertentu.

Sampai tahun 2000 panjang jalan di kota Bandung secara keseluruhan baru mencapai
4.9 % dari total luas wilayahnya dengan posisi idealnya mesti berada pada kisaran 15-20 %.
Pembangunan jalan baru, peningkatan kapasitas jalan dan penataan kawasan mesti menjadi
perhatian bagi pemerintah kota untuk menjadikan kota ini menjadi kota terkemuka. Pada 25
Juni 2005, jembatan Pasupati resmi dibuka,[ untuk mengurangi kemacetan di pusat kota, dan
menjadi landmark baru bagi kota ini. Jembatan dengan panjangnya 2.8 km ini dibangun pada
kawasan lembah serta melintasi Ci Kapundung dan dapat menghubungkan poros barat ke
timur di wilayah utara kota Bandung.

Kota Bandung berjarak sekitar 180 km dari Jakarta, saat ini dapat dicapai melalui
jalan Tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) dengan waktu tempuh antara 1.5
jam sampai dengan 2 jam. Jalan tol ini merupakan pengembangan dari jalan Tol Padaleunyi
(Padalarang-Cileunyi), yang sudah dibangun sebelumnya.
D. Kutipan Masalah Infrastruktur Kota Bandung

Gambar : Macet Kota Bandung

Gambar : Jalan berlubang pada jalan Van de Venter, Bandung

Gambar : Kemacetan pada jalan Asia - Afrika, Bandung


Gambar : Jalan Dewi Sartika

Gambar : Banjir pada jalan Soekarno - Hatta

Gambar : Pedagang vs Kemacetan pada Jalan Merdeka, Bandung


"Ya setiap kali reses, masih berkutat saja di masalah infrastruktur. Seperti jalan dan
penerangan jalan. Ini sudah bertahun-tahun, dan terus menjadi keluhan," kata Lia kepada
wartawan di Gedung DPRD Kota Bandung, Jalan Aceh.

Begitu banyak keluhan warga Bandung ditampung anggota DPRD Bandung.


Masyarakat masih banyak yang mengeluhkan kondisi jalan, penerangan jalan, trotoar, air
bersih, dan infrastruktur lainnya yang semakin tahun semakin tidak ideal.

Kecamatan Gedebage, Rancasari, Bandung Kidul, dan Buahbatu, banyak


mendapat pertanyaan dan keluhan masyarakat tentang buruknya sarana jalan, terutama jalan-
jalan inspeksi dan jalan gang. Di kawasan timur tepatnya, infrastruktur itu masih sangat jauh
berbeda dibandingkan dengan di pusat kota.

Masalah pasokan air bersih, juga dikeluhkan warga lainnya di Arcamanik,


Mandalajati dan Cibiru. Hampir sebagian besar tiga wilayah itu belum kebagian air
PDAM. Selain air bersih, warga juga mengeluhkan masalah infrastruktur lainnya seperti
kondisi jalan, drainase, modal usaha, regulasi pasar modern dan tradisional serta buruknya
Jalan Pasar Sindanglaya.

sumber: BANDUNG, publiknasional.com “Warga Kota Bandung Keluhkan Infrastruktur”

Gambar : Peta Infrastruktur Kota Bandung

Di Kota Bandung terdapat 336 persimpangan dan putaran utama, dan setidaknya
terdapat 64 kawasan yang rawan terjadinya kemacetan. Dari ke-64 kawasan itu, 34 kawasan
berupa pasar tumpah dan PKL, 11 kawasan pertokoan dan mal, 5 kawasan pendidikan, 5
kawasan factory outlet (FO), 4 kawasan tempat rekreasi, dan 10 kawasan wisata kuliner.
Kawasan mal dan pertokoan di Kota Bandung yang rawan kemacetan yakni Jalan
Gatot Subroto (BSM), Cicadas (BTM), Purnawarman (BEC), Mohamad Toha (ITC), Dewi
Sartika (Kings, Yogya, dll.), Merdeka (BIP, Gramedia,), Otto Iskandar Di Nata (Pasar Baru),
Setiabudi (Rumah Mode), Cihampelas (Ciwalk), Ujungberung, sampai Dr. Djundjunan
(BTC).
Sementara 10 kawasan wisata kuliner yang menjadi titik rawan kemacetan cukup
signifikan adalah kawasan Jalan L.L.R.E. Martadinata, Ir. H. Djuanda (Dago), Pelajar
Pejuang '45/Laswi, Pasteur, Banda, Aceh, Taman Pramuka, Trunojoyo, Sukajadi,
Burangrang, dan kawasan Sudirman, Gardujati, Cibadak.

Gambar : Peta Jalan Kota Bandung

Badan Promosi Pariwisata Kota Bandung (BP2KB) menargetkan jumlah kunjungan


wisatawan mancanegara tahun ini ke Kota Bandung melonjak menjadi 8.000 orang.
Meskipun demikian, kondisi infrastruktur dan kemacetan lalu lintas di Kota Bandung
dirasakan terus menjadi kendala peningkatan jumlah kunjungan tersebut.

Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif BP2KB Momon Aburrochman, dalam konferensi
pers di Hotel Lodaya, Senin (14/1/13) petang. "Saat ini kunjungan wisatawan mancanegara
ke Kota Bandung baru mencapai 3.000 orang, itu harus ditingkatkan dengan menambah
daya tarik Kota Bandung," tutur Momon.

Dia mengakui, kondisi infrastruktur dan kemacetan bisa membuat wisatawan


mancanegara kapok untuk kembali mendatangi Kota Bandung. Untuk itu, dia berharap agar
Pemkot Bandung segera melakukan pembenahan untuk lebih menata Kota Bandung sehingga
bisa menarik minat wisatawan.
http://www.pikiran-rakyat.com/node/218920
Sebanyak 12 jalan utama di Kota Bandung menjadi langganan kemacetan lalu lintas.
Kemacetan terjadi terutama karena sepekan jelang Lebaran. Sebanyak 12 lokasi macet
tersebut adalah Jalan Surya Sumantri-Jalan DR Djunjunan (Pasteur), Jalan Sukajadi (pusat
perbelanjaan Paris Van Java PVJ), Jalan Setiabudi (Terminal Ledeng, Jalan Gegerkalong
Girang dan Jalan Gegerkalong Hilir), Jalan Cipaganti-Jalan Setiabudi. Jalan lainnya yang
sering macet adalah Jalan Cihampelas (pusat perbelanjaan atau factory outlet), dan
Cihampelas Walk (Ciwalk), Jalan Soekarno Hatta-Kopo. Lalu Jalan Otto Iskandardinata di
depan Pasar Baru, Jalan Soekarno Hata-Mochamad Toha, Jalan Soekarno Hatta-Jalan Buah
Batu, Jalan Soekarno Hatta-Jalan Kiara Condong.
http://news.okezone.com/read/2011/08/21/340/494504/titik-titik-kemacetan-di-bandung

Masalah jalan rusak dan berlubang sepertinya tidak akan pernah berhenti dibahas dan
dikeluhkan masyarakat. Terlebih jika jalan yang rusak dan berlubang tersebut tidak kunjung
diperbaiki dan akhirnya memakan korban jiwa. Sudah tidak terhitung lagi berapa orang yang
menjadi korban akibat jalan rusak dan berlubang.
Tampaknya jalan aspal yang ada di Kota Bandung banyak yang tidak tahan dengan
air hujan, awalnya satu atau dua minggu masih kuat, akan tetapi setelah berbulan-bulan
dihantam oleh hujan, banyak aspal yang kemudian berlubang.
http://www.klik-galamedia.com/hujan-datang-jalan-berlubang

Ulasan :
"Kalau infrastruktur yang tidak memadai dan jumlah transportasi yang tidak
terkendali itu sudah jelas. Di luar itu, ada masalah pendidikan, keamanan, teknologi, bahkan
budaya juga ikut mempengaruhi," ujar Sekjen Bandung Creative City Forum (BCCF) Tita
Larasati, kepada wartawan, Jumat (6/9/2013).
Kota bukanlah lingkungan binaan yang dibangun dalam waktu singkat, tetapi
dibentuk dalam waktu yang panjang dan merupakan akumulasi setiap tahap perkembangan
sebelumnya. Setiap lapis tahapan tersebut merupakan keputusan banyak pihak dan
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor (Alvares, 2002). Seperti yang dikatakan oleh Rossi
(1982), bahwa kota adalah bentukan fisik buatan manusia (urban artefact) yang kolektif dan
dibangun dalamwaktu lama dan melalui prosesnya yang mengakar dalam budaya
masyarakatnya.

Jalan merupakan salah satu kebutuhan utama dalam keberadaan prasarana perkotaan.
Sirkulasi pergerakan dalam kota sangat bergantung dari keberadaan jalan yang ideal dalam
sebuah kota. Masalah infrastruktur jalan sudah menjadi urutan pertama dalam kategori
masalah yang sering terjadi dalam suatu kawasan perkotaan di Indonesia, khususnya kota
Bandung.
Panjang jalan yang terdapat di kota bandung adalah 1.173.811 km, dengan kondisi
rusak sepanjang 179.556 km, sisanya tergolong dalam kondisi baik. Transportasi darat berupa
angkutan kota terdiri dari 38 trayek dengan jumlah total armada 5268, taxi terdapat 10
perusahaan dengan jumlah armada 1.344.

Pembangunan infrastruktur di wilayah Bandung tak berkembang bahkan terlihat jalan


di tempat. Untuk itu, Pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran yang lebih besar
untuk infrastruktur khususnya jalan.

Sebuah diskusi dengan salah satu Anggota Komisi V DPR bidang infrastrukur,
Roestanto Wahidi, :

"Kita tak bisa membayangkan lagi pada lima tahun ke depan akan bagaimana
Bandung ini. Kalau di Kota Bandung akan lebih macet, sedangkan di desa-desa jalan dalam
kondisi rusak," katanya di Balai Desa Cileunyi Wetan.

Peran pemerintah sangat diharapkan dalam penataan wajah kota khusunya jalan.
Namun pemerintah nampaknya hanya bisa tutup telinga, seperti mengesampingkan
permasalahan itu. Jika pemerintah daerah tak mampu membiayai pembangunan atau
perbaikan jalan, maka pemerintah daerah bisa mengajukan bantuan kepada pemerintah pusat.
Pengajuan agar mendapatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk infrastruktur yang masuk
ke kas daerah.

"KUA PPAS infrastruktur tahun depan mencapai Rp600 miliar sampai Rp700 miliar.
Angka itu tiga kali lipat dari tahun sebelumnya karena target kita pada tahun 2013 tidak ada
lagi lubang di jalan protokol, apalagi titik-titik banjir di tempat strategis," kata Sekretaris
Daerah (Sekda) Kota Bandung Edi Siswadi usai pengambilan sumpah pegawai negeri sipil
(PNS) di Plaza Balai Kota Jalan Wastukancana Kota Bandung, Senin (12/10/2012).

Alokasi terbesar dari anggaran itu diperuntukkan bagi perbaikan jalan, drainase, dan
penerang jalan umum (PJU). Sebagiannya akan didistribusikan berdasarkan kewilayahan
melalui kecamatan.

Infrastruktur merupakan komponen utama dalam menunjang kemajuan suatu daerah.


Peran infrastruktur dalam pembangunan dapat dilihat dari peningkatan pertumbuhan ekonomi
wilayah maupun peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat. Pembangunan infrastruktur
secara makro mempengaruhi marginal productivity of private capital terutama dalam
menciptakan iklim investasi yang kondusif dan kompetitif sehingga mampu mewujudkan
stabilitas ekonomi makro dalam hal ini termasuk keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar
kredit, serta peningkatan lapangan kerja. Sedangkan implikasi pembangunan infrastruktur
secara mikro yaitu meningkatkan efisiensi sektor industri dalam mengurangi biaya produksi.
Kontribusi infrastruktur terhadap peningkatan kualitas hidup dapat ditunjukkan oleh
terciptanya kenyamanan dan keamanan lingkungan, terjadinya peningkatan kesejahteraan
masyarakat, termasuk diantaranya peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas dan
akses tenaga kerja serta peningkatan kemakmuran nyata. Salah satu jenis infrastruktur yang
vital dalam pembangunan kota adalah infrastruktur transportasi, yang permintaannya sangat
dipengaruhi oleh faktor mobilitas penduduk. Naiknya mobilitas penduduk di suatu perkotaan
sangat dipengaruhi oleh besaran populasi, tingkat kepadatan dan aktifitas perekonomian di
suatu wilayah perkotaan.
Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan Kota Bandung dalam lima tahun terakhir
menunjukan bahwa mobilitas penduduk di Kota Bandung sangat tinggi, hal ini setidaknya
dapat dilihat dari beberapa indikator seperti pertumbuhan ekonomi kota, populasi dan
kepadatan penduduk. Pertumbuhan rata-rata nilai PDRB per kapita atas dasar harga berlaku
Kota Bandung antara tahun 2005-2009 mencapai 17% (atas dasar harga berlaku)
melampaui pertumbuhan ekonomi rata-rata Jawa Barat 12% dan rata-rata nasional yang
mencapai 19%. Kemudian, populasi Kota Bandung pada tahun 2010 diperkirakan mencapai
2,4 juta jiwa (Badan Pusat Statistik), dengan pertumbuhan rata-rata per tahun mencapai 1,6%
antara tahun 2004-2010 (Badan Pusat Statistik). Jika kecenderungan kenaikan angka
pertumbuhan penduduk tersebut berlanjut maka diperkirakan pada tahun 2020 akan terdapat
setidaknya 2,8 juta jiwa penduduk di Kota Bandung, dan angka ini belum termasuk penduduk
yang kesehariannya beraktifitas di dalam kota namun bertempat tinggal diluar wilayah
administratif Kota Bandung (commuting) dan kepadatan Kota Bandung saat ini berkisar
>14.000 jiwa/km2 (Kepadatan normal ±1.000 jiwa/km2) yang mengindikasikan kepadatan
Bandung saat ini sangat tinggi.

Implikasi dari pesatnya pertumbuhan dan perkembangan Kota Bandung harus dapat
diimbangi dengan penyediaan infrastruktur perkotaan, diantaranya adalah penyediaan
infrastruktur transportasi untuk menunjang mobilisasi penduduk baik intra maupun antar
kota. Ketersediaan infrastruktur transportasi yang layak dan memadai merupakan pondasi
yang akan mendukung kesinambungan pertumbuhan dan perkembangan kota, serta
mengurangi dampak dan eksternalitas negatif seperti kemacetan lalu lintas. Urgensi
penyediaan infrastruktur transportasi juga ditandai dengan dari jumlah titik kemacetan yang
ada di wilayah perkotaan. Saat ini terdapat setidaknya ±32 titik kemacetan di Kota Bandung.
Terdapat setidaknya tiga faktor utama yang menjadi penyebab kemacetan, diantaranya :

1. Tingginya volume kendaraan, diketahui bahwa 50% penyebab kemacetan


berasal dari tingginya volume kendaraan. Saat ini di Kota Bandung diperkirakan
terdapat sekitar 1,2 juta kendaraan dengan proporsi 30% kendaraan roda empat
dan 70% nya kendaraan roda dua. Pertumbuhan jumlah kendaraan yang mencapai
16% tidak mampu diimbangi dengan pertumbuhan panjang jalan yang < 1% per
tahun. Persoalan kemacetan yang diakibatkan tingginya kendaraan ditambah
dengan volume kendaraan yang berasal dari luar Kota Bandung, yang pada hari
biasa sekitar 35-45 ribu unit dan pada hari libur mencapai 100-150 ribu unit
kendaraan.

2. Imitasi dan inefisiensi pada kapasitas jalan, diketahui saat ini rasio luas
jaringan jalan di Kota Bandung baru mencapai 3% dari porsi ideal normal sekitar
5%, terbatasnya ruang dan isu pembebasan lahan menyulitkan Pemerintah Kota
untuk meningkatkan kapasitas jalan di Kota Bandung. Kapasitas jalan yang sangat
terbatas diperparah dengan inefisiensi yang diakibatkan aktifitas seperti on-street
parking, dan aktifitas ekonomi informal seperti PKL, Pasar Kaget dan Pasar
Tradisional yang memangkas sekitar 33% kapasitas jalan.

3. Rendahnya perpindahan moda ke transportasi publik, dilihat dari semakin


menurunnya load factor transportasi umum eksisting, dalam hal ini angkot yang
turun dari 55% ke 32% dan bus dari 96% ke 54% sepanjang 1998 – 2008.
Menurunnya share moda angkutan umum dipicu oleh kenaikan penggunaan roda
dua yang meningkat tajam dari 29% ke 55% dalam periode yang sama, kenaikan
ini tentunya dipengaruhi peningkatan daya beli masyarakat, minimnya kualitas
pelayanan infrastruktur transportasi umum eksisting, dan sarana angkutan umum
massal (SAUM) belum secara penuh beroperasi. Saat ini cakupan layanan angkot
dan bus kota yang beroperasi di Kota Bandung baru menjangkau sekitar 30% dari
keseluruhan kota, sehingga terdapat 70% blank spot. Jika kondisi ini tidak
ditangani dengan segera maka diperkirakan dalam 5 tahun ke depan bus kota dan
angkot akan kehilangan pengguna karena akan terjadi konversi pengguna dari
moda kendaraan umum ke kendaraan pribadi. Hal ini merupakan persoalan serius
yang perlu ditangani dengan cermat oleh Pemerintah Kota Bandung.

Berdasarkan data diatas maka dapat disimpulkan bahwa salah satu opsi strategis untuk
menyelesaikan persoalan kemacetan di Kota Bandung adalah dengan menurunkan volume
kendaraan melalui konversi ke transportasi publik, hal ini mengingat kemampuan Pemerintah
Kota Bandung untuk meningkatkan kapasitas jalan sangat terbatas. Lahan di Bandung
terbatas, dan akan sulit membuat pelebaran jalan. Jumlah kendaraan berbanding terbalik
dengan lahan parkir yang tersedia. Sebagai contoh, akses jalan dan parkir di sentra sepatu
Cibaduyut dan sentra kain Cigondewah yang tergolong tidak memadai. Padahal, sentra
industri bisa menjadi tujuan wisata yang bisa meningkatkan perputaran uang.

Perlu ada perbaikan arus jalan dan pembenahan tempat parkir serta penegasan dan
pengadaan fungsi trotoar. Sementara jumlah kendaraan semakin akan bertambah. Sehingga
penyediaan infrastruktur transportasi massal dan sistem pendukungnya menjadi sangat krusial
bagi kesinambungan pertumbuhan dan perkembangan Kota Bandung. Hal ini hanya dapat
dicapai jika terdapat keinginan yang kuat dari kepala daerah (political will), realisasi yang
berpegang teguh pada rencana-rencana pembangunan, serta adanya dukungan dari seluruh
elemen masyarakat, pemerintah dan swasta. Dukungan yang dimaksud adalah upaya
mendorong implementasi kebijakan konversi ke moda transportasi publik serta dukungan
penyediaan infrastruktur moda transportasi publik. Setidaknya terdapat tiga kerangka utama
kebijakan yang umumnya pemerintah fokuskan untuk meningkatkan kinerja transportasi
publik, yaitu (1) Sector governance model, termasuk diantaranya kebijakan umum, struktur
pemerintaha serta peranan dan tanggung jawab regulator dalam transportasi publik, (2)
Efektifitas pergerakan dan konversi moda kendaraan, termasuk diantaranya kebijakan
insentif/disinsentif penggunaan trasportasi publik dan kebijakan perbaikan mobilitas, (3)
Strategi pembiayaan, termasuk diantaranya kebijakan investasi pemerintah/subsidi dan (4)
Keterlibatan sektor swasta di dalam transportasi publik.

Mobilitas penduduk Kota Bandung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun,


kenaikan terbesar dilihat dalam konteks Bandung Metropolitan yang melibatkan daerah yang
ada di sekitar Kota Bandung. Apabila tidak segera diselesaikan, maka potensi kerugian biaya
kemacetan di Kota Bandung dapat mencapai Rp.14 Trilyun per tahun pada tahun 2020.
Sehingga untuk mengurangi dampak akibat tingginya permintaan akan mobilitas maka perlu
direspon dengan penyediaan infrastruktur transportasi massal yang layak dan memadai.
Diketahui pula saat ini share transportasi umum Kota Bandung hanya mencapai 13% dari
total trip harian, yang mengalami penurunan signifikan dari 32% sekitar 10 tahun yang lalu.
Untuk mengejar target share sekitar 40% pada 2020, maka terdapat 2 strategi utama yang
perlu ditempuh, diantaranya mengutilisasi kapasitas sarana transportasi umum eksisting serta
menyediakan transportasi umum massal.

Anda mungkin juga menyukai