Ilmu Pascapanen Peternakan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU PASCAPANEN PETERNAKAN


“KOMPOSISI DAN PASCAPANEN DAGING”

OLEH:
Nama : GAINDRA ARTAWAN KUSDARMONO
NIM : D1A022076
KELOMPOK : 2C
ASISTEN : Rezzi Octela Viani

LABORATORIUM TEKNOLOGI HASIL TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2024
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Daging merupakan salah satu sumber protein yang dibutuhkan manusia sejak zaman
dahulu. Sumber protein didalam daging menjadikkannya daging menjadi salah satu
kebutuhan angka kecukupan gizi pada setiap individu. Protein yang terdapat didalamnya
menjadikan daging menjadi mudah rusak dalam proses penyimpanan. Berbagai teknik
pemrosesan daging untuk meningkatkan ketersediaan dan daya simpannya untuk menjaga
kualitas.
Salah satu faktor penting dalam kualitas daging adalah pH, yang merujuk pada
tingkat keasaman atau kebasaan dalam daging setelah disembelih. Perubahan pH dapat
memengaruhi kualitas daging, seperti warna, tekstur, dan daya simpannya. Selain pH,
Water Holding Capacity (WHC) juga merupakan parameter penting dalam menilai kualitas
daging. WHC mengukur kemampuan daging untuk menahan air saat diproses atau dimasak.
Kelembutan (tenderness) adalah karakteristik penting lainnya dalam kualitas daging
yang sangat mempengaruhi pengalaman makan. Daging yang lembut memiliki tekstur yang
mudah dikunyah dan menghasilkan sensasi yang menyenangkan di mulut, meningkatkan
kepuasan konsumen. Cooking losses, atau kerugian masak merupakan fenomena yang
umum terjadi saat daging dimasak. Hal tersebut terjadi karena berbagai faktor termasuk
hilangnya air, lemak, dan zat-zat larut lainnya selama proses pemanasan.
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengukur angka kecukupan gizi daging pada masing-masing individu.
2. Mahasiswa dapat mengukur nilai Water Holding Capacity pada daging.
3. Mahasiswa dapat mengukur coocking losses pada daging.
4. Mahasiswa dapat mengukur tenderness pada daging.
5. Mahasiswa dapat mengukur pH pada daging.
1.3 Waktu dan Tempat
Praktikum Ilmu Pascapanen Peternakan acara “Komposisi dan Pascapanen Susu”
dilaksanakan pada Kamis, 10 Mei 2024 pukul 07.00 WIB sampai selesai di Laboratorium
Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Angka Kecukupan Gizi


Angka kecukupan gizi (AKG) adalah nilai referensi yang digunakan untuk menentukan
asupan nutrisi yang cukup bagi individu dalam satu hari. AKG mencerminkan jumlah rata-
rata nutrisi yang diperlukan oleh sebagian besar populasi untuk menjaga kesehatan dan
mencegah kekurangan nutrisi. AKG tersebut ditetapkan oleh otoritas kesehatan masing-
masing negara berdasarkan pada data ilmiah dan panduan gizi yang terbaru. Angka
kecukupan gizi mencerminkan asupan rata-rata sehari yang harus dikonsumsi (Hartono,
2006).
AKG digunakan untuk memberikan panduan kepada individu dan kelompok populasi
tentang berapa banyak nutrisi yang harus mereka konsumsi setiap hari. Misalnya, AKG bisa
mencakup jumlah kalori, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral yang diperlukan
dalam diet harian seseorang. Informasi AKG tersebut biasanya disajikan dalam bentuk tabel
atau panduan gizi yang dapat membantu individu dalam merencanakan makanan mereka
agar memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan. Angka kecukupan gizi merupakan
rekomendasi asupan berbagai nutrien esensial yang perlu dipertimbangkan berdasarkan
pengetahuan ilmiah agar asupan nutrien tersebut cukup memadai untuk memenuhi
kebutuhan gizi pada semua orang (Hartono, 2006).
Tingkat aktivitas fisik berpengaruh besar terhadap kebutuhan gizi seseorang. Individu
yang memiliki aktivitas fisik yang tinggi, seperti atlet atau pekerja fisik, mungkin
memerlukan asupan energi dan nutrisi yang lebih tinggi daripada individu yang memiliki
gaya hidup yang lebih santai. Kebutuhan gizi dapat berbeda antara pria dan wanita karena
perbedaan dalam komposisi tubuh, hormon, dan faktor-faktor biologis lainnya. Individu
dengan berat badan dan tinggi badan yang lebih tinggi mungkin memerlukan asupan nutrisi
yang lebih besar untuk mempertahankan berat badan yang sehat dan memenuhi kebutuhan
energi tubuh mereka. Kebutuhan setiap individu, dipengaruhi pula oleh gender, berat
badan, tinggi badan, dan juga aktivitas fisik (Festi, 2018).
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang kaya akan nutrisi
penting. Protein merupakan komponen penting dalam pembentukan jaringan tubuh,
termasuk otot, tulang, kulit, dan rambut. Meningkatnya kesadaran akan pentingnya pola
makan yang sehat dan seimbang, masyarakat cenderung mencari sumber protein
berkualitas tinggi. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan kesadaran masyarakat akan
pentingnya protein hewani maka kebutuhan daging sapi cendrung akan meningkat
(Puradireja, 2021).
Daging sapi memang merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat
bernutrisi dan memiliki manfaat besar dalam memenuhi kebutuhan gizi manusia. Protein
adalah nutrisi penting yang diperlukan oleh tubuh untuk membangun dan memperbaiki
jaringan, termasuk otot, tulang, kulit, dan rambut. Sebagai sumber protein hewani, daging
sapi mengandung semua asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia Daging
sapi memiliki manfaat yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan gizi berupa protein
hewani (Puradireja, 2021).
2.2 Water Holding Capacity
Daya ikat air merupakan parameter penting dalam mengevaluasi kualitas daging,
karena mempengaruhi tekstur, kelembutan, dan rasa produk daging. komposisi kimia daging
seperti kandungan protein, lemak, dan kolagen memiliki hubungan yang signifikan dalam
mengikat air. Daging dari hewan muda cenderung memiliki WHC yang lebih tinggi daripada
daging dari hewan yang lebih tua. WHC adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya
atau mengikat air yang ditambahkan selama adanya pengaruh dari luar (Kuswati dan
Susilawati, 2016).
Pengaruh faktor lingkungan dan manajemen pascapanen juga menjadi perhatian
dalam memahami WHC daging. Variasi suhu, kelembaban, dan penanganan selama
penyimpanan dapat memengaruhi kemampuan daging untuk menahan air. Pemilihan
metode penyimpanan yang tepat dan manajemen rantai pasok yang baik dapat membantu
meminimalkan kerugian air dan menjaga WHC daging selama periode penyimpanan. Daya
mengikat air (DMA) dapat dihitung berdasarkan persentase mgH2O (Ismail et al., 2016).
Metode penekanan (press method) adalah salah satu teknik yang digunakan untuk
meningkatkan daya mengikat air (WHC) dalam daging sesuai dengan petunjuk yang
diberikan oleh Hamm. Proses tersebut melibatkan penggunaan tekanan fisik untuk
mengekstrak kelebihan air yang terdapat dalam jaringan otot daging. Prinsip dasar dari
metode tersebut adalah untuk memastikan bahwa air yang terikat dalam daging
dipertahankan semaksimal mungkin, sehingga meningkatkan kelembutan, kekenyalan, dan
rasa daging. Daya mengikat air dilakukan dengan metode penekanan (press method) sesuai
dengan petunjuk Hamm (Ismail et al.,2016).
Daging yang diproses atau dimasak pada tahap awal setelah hewan disembelih
cenderung memiliki WHC yang lebih tinggi daripada daging yang diproses pada fase post-
rigor. Fase pre-rigor terjadi dalam beberapa jam setelah hewan disembelih, di mana otot-
otot masih dalam keadaan relaksasi sebelum rigor mortis atau kaku tubuh secara penuh
dimulai. Selama fase pre-rigor, jaringan otot masih aktif secara metabolik dan memiliki
kapasitas yang tinggi untuk menahan air, yang pada gilirannya menghasilkan daging dengan
WHC yang lebih tinggi. Daya ikat air tertinggi pada daging diperoleh pada saat fase pre-rigor
(Bahar, 2003).
WHC menjadi salah satu parameter kualitas utama yang dipertimbangkan oleh
konsumen saat memilih daging. Kadar air adalah jumlah air yang terdapat dalam daging, dan
tingkat kelembaban tersebut sering dihubungkan dengan kesegaran produk. Daging yang
segar biasanya memiliki kadar air yang tinggi karena air merupakan komponen utama dalam
jaringan otot yang masih hidup. Kadar air, WHC, dan keeempukan menjadi standar atau
acuan konsumen dalam penerimaan daging karena tingginya kadar air menandakan bahwa
daging tersebut segar (Nurjaya et al., 2023).
2.3 Cooking Losses
Susut Masak adalah parameter penting yang menunjukkan seberapa banyak berat
yang hilang selama proses pemasakan daging. Proses pemasakan mengakibatkan
penghilangan air, lemak, dan zat-zat larut lainnya dari jaringan daging. Semakin tinggi
tingkat susut masak, semakin besar jumlah berat yang hilang selama pemasakan, yang dapat
memengaruhi kualitas akhir produk daging. Susut Masak Susut masak menunjukkan
banyaknya berat yang hilang selama pemasakan (cooking loss) (Santoso, 2021).
Daging dengan daya ikat air yang tinggi dan kadar air yang rendah cenderung
mengalami susut masak yang lebih rendah, karena lebih sedikit air yang hilang selama
proses pemasakan. Proses tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan daya ikat air dan
kadar air dalam daging dapat menjadi strategi untuk mengontrol tingkat susut masak dan
mempertahankan kualitas produk daging yang optimal. Pada proses pemasakan akan terjadi
pelepasan air oleh otot pada daging. Susut masak daging sapi dipengaruhi oleh daya ikat air
dan kadar air (Haq et al., 2015).
Susut masak yang rendah menunjukkan bahwa daging mampu mempertahankan
kelembaban dan nutrisi esensialnya selama proses memasak. Selain itu, kandungan susut
masak yang rendah juga mengindikasikan bahwa daging tidak mengalami degradasi nutrisi
yang signifikan selama pemasakan. Hal tersebut berarti bahwa nutrisi penting seperti
protein, vitamin, dan mineral dapat dipertahankan dengan baik. Kandungan susut masak
yang rendah akan membuat kualitas daging menjadi baik (Haq et al., 2015).
Proses pemanasan akan mempengaruhi dan menghasilkan hasil akhir pada daging.
Daya mengikat air yang tinggi pada daging juga berkontribusi pada retensi kelembaban dan
rasa yang lebih baik selama proses memasak. Pemilihan daging dengan daya mengikat air
yang tinggi dapat menjadi pertimbangan penting dalam mencapai hasil memasak yang
optimal. Semakin tinggi daya mengikat air, amak ketika pemanasan air dan cairan nutrisi
sedikit yang terbuang, sehingga massa daging yang berkurang sedikit (Santoso, 2021).
Susut masak yang rendah menandakan bahwa kehilangan nutrisi pada saat
pemasakan lebih sedikit. Nutrisi penting seperti protein dan vitamin dapat dipertahankan
dengan lebih baik dalam daging yang mengalami susut masak yang rendah. Kehadiran
nutrisi yang lebih tinggi dalam daging yang diproses dengan susut masak rendah
memberikan manfaat tambahan bagi kesehatan konsumen. Susut masak relative rendah
menandakan kualitas daging lebih baik karena kehilangan nutrisi pada saat pemasakan lebih
sedikit (Kuswati dan Susilowati, 2016).
2.4 Perubahan Kualitas Susu
Komponen-komponen daging secara langsung memengaruhi tekstur dan keempukan
daging saat dimakan. Tenunan pengikat, seperti kolagen, bertanggung jawab atas kekuatan
struktural daging, sementara serabut daging, yang terdiri dari protein utama seperti miosin
dan aktin, menentukan tekstur dan konsistensi daging. Sel-sel lemak di antara serabut
daging juga berperan dalam memberikan kelembutan dan rasa yang kaya pada daging, serta
mempengaruhi keempukan secara keseluruhan. Keempukan daging berhubungan dengan
komposisi daging, yaitu berupa tenunan pengikat, serabut daging, dan sel-sel lemak di
antara serabut daging (Santoso, 2021).
Berbagai metode pengujian, seperti alat pengukur keempukan dan sensori manusia,
digunakan untuk mengukur keempukan daging secara objektif. Hasil dari pengujian
keempukan daging menjadi acuan bagi produsen untuk memastikan kualitas produk mereka
sesuai dengan standar yang diinginkan oleh konsumen. Pengujian keempukan daging
merupakan langkah penting dalam pengendalian mutu dan pengembangan produk daging.
Pengujian keempukan daging Keempukan daging menjadi tolak ukur kualitas daging
(Herawati dan Widiarso, 2021).
Sifat fisik daging merupakan salah satu aspek yang diperhatikan oleh konsumen
dalam menilai kualitas daging yang akan dikonsumsi. Daging yang keras akan menimbulkan
kualitas yang sedikit susah untuk dikunyah. Daging yang empuk akan memudahkan
konsumen dalam mengunyah daging yang dikonsumsi. Keempukan daging termasuk
kedalam sifat fisik yang terdapat pada daging (Hidayah et al,. 2019).
Faktor penentu kualitas daging adalah tekstur dan keempukan (Hidayah et al., 2019)
Penggunaan enzim protease dalam proses pengolahan daging dapat membantu
memperbaiki tekstur dan keempukan daging. Enzim protease bekerja dengan memecah
protein dalam daging, termasuk kolagen, yang dapat menghasilkan daging agar lebih
empuk. enzim protease dalam industri daging menjadi penting untuk terus meningkatkan
kualitas produk. Enzim protease dapat meningkatkan nilai keempukan pada daging
(Zulfahmi et al., 2014).
2.5 pH Daging
Tingkat keasaman (pH) merupakan parameter penting dalam menentukan kualitas
daging. Nilai pH dapat menjadi petunjuk yang berguna dalam menilai kualitas daging secara
menyeluruh. Kondisi keasaman daging, yang tercermin dalam nilai pH yang memiliki
dampak signifikan pada berbagai aspek termasuk warna, tekstur, dan kemampuan
pengikatan air pada daging. Tingkat keasaman (pH) adalah indikator untuk menentukan
derajat keasaman atau kebasaan dari daging segar ataupun produk yang dihasilkan
(Merthayasa et al., 2015).
Penilaian kualitas menjadi penting untuk memenuhi standar bagi konsumen.
Memantau nilai pH daging menjadi langkah yang krusial dalam upaya memastikan bahwa
produk daging yang dihasilkan memenuhi standar kualitas yang baik. Derajat keasaman
tersebut menyoroti pentingnya mempertimbangkan nilai pH. Nilai pH merupakan salah satu
kategori dalam menentukan kualitas daging (Syafri et al., 2023).
ph daging memengaruhi warna karena menentukan aktivitas enzim dan
pembentukan pigmen yang terkait dengan warna. pH juga memengaruhi daya ikat daging,
yaitu kemampuan daging untuk mempertahankan air dan teksturnya. pH juga memengaruhi
keempukan daging karena memengaruhi aktivitas enzim proteolitik yang bertanggung jawab
untuk merombak protein dalam daging.. Ph daging akan mempengaruhi warna, daya ikat,
dan keempukan daging (Herawati dan Widiarso,2021).
Pengukuran pada derajat keasaman dapat menggunakan ph meter ataupun kertas
lakmus. Kertas lakmus biasanya digunakan untuk menguji tingkat keasaman atau kebasaan
dalam cairan yang telah dihomogenkan dengan daging yang akan diukur pHnya. Dalam
konteks daging, pH meter digunakan untuk mengukur tingkat keasaman daging dengan cara
menyuntikkan probe atau elektroda pH meter ke dalam sampel daging. Pengukuran nilai pH
pada daging menggunakan pH meter (Merthayasa et al., 2015).
Nilai pH yang dianggap normal untuk daging berkisar antara 5,4 hingga 5,8. Hal
tersebut menunjukkan bahwa daging yang memiliki nilai pH dalam rentang tersebut
dianggap memiliki keasaman yang sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan. Rentang
nilai pH tersebut merupakan hasil dari penelitian dan pengujian yang dilakukan oleh otoritas
terkait untuk menentukan parameter kualitas daging yang ideal. Berdasarkan standar SNI
nilai pH daging yang normal berkisar antara 5,4-5,8 (Merthayasa et al., 2015).
III. MATERI DAN CARA KERJA

3.1 Materi
3.1.1 Alat
1. Timbangan
2. Blender
3. Kertas pH
4. Plat aca
5. Pembeban 35kg
6. Kertas saring
7. Penetrometer
8. Plastik mika transparan
9. Plastik tahan panas
10. Panci
11. Kertas millimeter blok
12. Spidol
13. Kalkulator
14. Benang Kasur
15. Pisau
16. Tisu
17. Kresek
3.1.2 Bahan
1. Akuades
2. Daging ayam segar
3.2 Cara Kerja
3.2.1 Angka Kecukupan Gizi
Menggunakan berat badan dan protein daging sebesar 20% untuk
mengestimasikan kandungan zat gizi daging ayam

Hitung rumus perhitungan AKG asal ternak

Hitung kebutuhan protein perhari

Catat hasilnya

3.2.2 Water Holding Capacity

Sampel daging 0,3gram disiapkan

Daging diletakkan diatas kertas saring dan diantara plastik mika transparan

Sampel daging di-press diantara 2 plat kaca dengan diberi beban 35kg
selama 5 menit

Daerah basah pada sampel yang telah di-press digamabar pada plastik mika
transparan

Gambar dipindahkan ke kertas milimeter blok

Luas area basah diukur dalam cm2

water holding capacity dihitung

3.2.3 Cooking Losses


Daging dipotong dengan ukuran 1x1x1cm3

Daging ditimbang sebagai berat awal (sebelum direbus)

Sampel daging dimasukkan kedalam kantong plastik tahan panas dan ikat
menggunakan benang agar air tidak masuk pada saat direbus

Sampel direbus dalam panci selama 30 menit dengan suhu 80oC

Sampel diangkat dan dikeluarkan dari kantong plastik

Daging dilap menggunakan tisu tanpa ditekan

Daging ditimbang sebagai berat akhir setelah direbus

Hasil Coocking losses dihitung

3.2.4 Tenderness

Daging hasil pengukuran coocking losses digunakan sebagai sampel

Alat penetrometer disiapkan

Sampel daging daging diletakkan pada dasar penetrometer

Jarum penunjuk diatur hingga permukaan daging bersinggungan dengan


ujung jarum dan jarum pada skala menunjukkan pada angka nol

Tuas penetrometer ditekan selama 10 detik

Skala dibaca yang menunjukkan kedalaman jarum ke dalam sampel

Hasil dinyatakan dalam mm/g/dt

3.2.5 pH Daging
Daging ditimbang 10gram, kemudian dipotong menjadi bagian yang lebih kecil

Daging yang sudah dipotong dimasukkan ke dalam blender dan ditambahkan


aquades 20ml, dan diblender hingga halus

Kertas pH dicelupkan ke dalam larutan daging

Perubahan warna pada kertas pH diamati

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Angka Kecukupan Gizi
Diketahui:
Berat Badan = 78 Kg = 78 gr
Protein hewani asal ternak = 78 gr × ¼ × 1/3 = 6,5 gram
Kebutuhan protein per hari X = Kebutuhan protein asal ternak
20% × X = 6,5
X = 6,5 / 20%
X =32,5 gram
4.1.2 Water Holding Capacity
Gambar Keterangan
Diketahui: Area basah daging 7 kotak/4=
1,75

H O Area basah ( cm2 )−8


Mg 2 =
0,0948
1 ,75
Mg H 2 O = - 8= 10,46
0,0948
Mg H 2 O
WHC = Kadar air total (%) - ×
300 Mg
100%
10 , 46
WHC = 75% - × 100%
300
WHC = 71,51%
4.1.3 Cooking Losses
Gambar Keterangan
Daging 1:
Bobot awal: 1,19 gr
Bobot akhir: 0,96 gr
Bobot awal−bobot akhir
CL = × 100%
Bobot awal
1, 19−0 , 96
CL = × 100%
1 , 19
CL = 19,33%
Daging 2:
Bobot awal: 1,49 gr
Bobot akhir: 1,15 gr
Bobot awal−bobot akhir
CL = × 100%
Bobot awal
1, 49−1 , 15
CL = × 100%
1 , 49
CL = 22,82%
4.1.4 Tenderness
Gambar Keterangan
Daging 1: 100
Keempukkan daging= b/a/t= 100/200/20 =
0,025

Daging 2: 129
Keempukkan daging= b/a/t= 129/200/20 =
0,032

4.1.5 pH Daging
Gambar Keterangan
pH daging = 6

4.2 Pembahasan
4.2.1 Angka Kecukupan Gizi
Protein merupakan salah satu unsur makro nutrient yang sangat penting bagi
manusia. Protein dapat dipenuhi dari protein nabati dan juga protein hewani. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Naga et al., (2017) bahwa protein dapat diperoleh dari hewan
(hewani) dan tumbuh-tumbuhan (nabati).
Pemenuhan protein dapat didapatkan dari protein hewani sebanyak 1/3 bagian dari
kebutuhan protein dan sisanya diperoleh dari protein nabati. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Ginting et al. (2018) bahwa konsumsi protein dalam makanan sehari-hari yang
dianjurkan yaitu 1/3 bagian protein yang dibutuhkan berasal dari protein hewani. Protein
hewani dapat didapatkan dari sektor peternakan seperti susu, daging, telur, dan juga dapat
dari sektor perikanan berupa ikan.
Angka kecukupan gizi merupakan standar minimal pemenuhan gizi untuk kebutuhan
manusa. Angka kecukupan gizi harus dipenuhi setiap hari berdasarkan umur, jenis kelain,
aktivitas, dan kondisi fisiologis orang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Adha dan
Suseno (2020) bahwa Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu nilai yang menunjukkan
kebutuhan rata-rata zat gizi tertentu yang harus dipenuhi setiap hari bagi hampir semua
orang dengan karakteristik tertentu yang meliputi umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik,
dan kondisi fisiologis, untuk hidup sehat.
Perhitungan angka kecukupan gizi dapat dihitung berdasarkan pada berat badan. Hal
tersebut sesuai dengan Rukmana dan Kartasurya (2014) bahwa faktor utama dalam
perhitungan AKG yaitu tinggi dan berat badan. Kebutuhan protein hewani dari sektor
peternakan sebesar 32,5 gram harus dipenuhi oleh orang dengan bobot 78 kg.
Zat gizi sangat dibutuhkan dan sangat penting bagi pertumbuhan manusia. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Ramlah (2021) bahwa zat gizi dibutuhkan untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Pemenuhan gizi harus didasarkan pada angka kecukupan
gizi sehingga memperoleh gizi yang seimbang.
4.2.2 Water Holding Capacity
Water Holding Capacity merupakan kemampuan protein dalam mengikat air atau
menahan air selama mendapatkan tekanan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Jaelani
et al, (2014) bahwa daya ikat air tersebut berkaitan dengan kemampuan protein otot dalam
mengikat air. Semakin daging kehilangan air bebas maka kualitas daging semakin berkurang.
Daging yang baik yaitu daging yang dapat menahan air sehingga tidak banyak kandungan air
bebas yang terlepas.
Daging akan melepaskan kandungan air ketika daging tersebut mendapatkan sebuah
tekanan dari luar. Tekanan dari luar yang dimaksud yaitu seperti mendapatkan perlakuan
pemotongan, penggilingan, pengepresan, dan pemanasan. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Poernomo et al, (2022) bahwa kemampuan dari daging untuk mengikat atau
menahan air selama mendapat tekanan dari luar, seperti pemotongan, pemanasan,
penggilingan atau pengepresan. Metode yang dilakukan pada saat praktikum yaitu dengan
metode Hamm atau filter paper press.
Water Holding Capacity dipengaruhi oleh faktor internal seperti bangsa dan umur
ternak, bagian otot, dan lemak intermuscular. Umur pada ternak maka semakin tua umur
ternak menjadi semakin tidak dapat menahan air. Bagian otot ternak yaitu dimana semakin
rapat serabut otot daging maka kemampuan WHC akan semakin tinggi. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Soeparno (2005) bahwa kerusakan aktin dan miosin menyebabkan
penurunan kemampuan protein otot untuk mengikat air. Perlemakan intermuscular yaitu
semakin banya lemak dalam daging maka WHC akan semakin tinggi.
Faktor eksternal juga dapat memperngaruhi kemampuan daging dalam mengikat air.
Pemanasan yang menyebabkan temperature tinggi menyebabkan protein terdenaturasi
sehingga air banyak yang dikeluarkan. Nilai daya ikat air juga dipengaruhi oleh pH dimana
semakin tinggi pH maka daya ikat air juga akan semakin tinggi. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Haikal et al, (2021) bahwa perubahan daya ikat air terjadi disebabkan oleh
pengaruh pH.
Praktikum yang dilakukan yaitu menggunakan daging ayam dan mendapatkan hasil
sebesar 50,95%. Hasil yang diperoleh tersebut mendapatkan hasil yang kurang baik untuk
sebuah daya ikat air pada daging. Daya ikat air yang baik tidak kurang dari 70% dan hanya
kehilanga 5% kadar air. Hal tersebut sedikit berbeda dengan Prasetyo et al, (2019) bahwa
bahwa standar nilai kandungan air yang hilang untuk daging ayam segar tidak boleh
melebihi 6%.
4.2.3 Cooking Losses
Cooking losses bertujuan untuk mengukur jumlah air yang hilang dari daging selama
proses memasak. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Prayitno et al, (2020) bahwa
keempukan daging merupakan pengujian kualitas daging berdasarkan kemudahan dalam
menembus serat daging. Coocking losses juga sering disebut dengan susut masak yang
dapat memberikan petunjuk tentang kualitas daging. Dalam proses memasak, daging akan
kehilangan air karena penguapan dan pengeluaran lemak dan protein.
Susut masak dihitung dengan cara mencari kandungan air yang hilang sebelum
dimasak dan dibandingkan dengan beratnya setelah dimasak. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Prayiitno et al. (2020) bahwa Susut masak daging adalah banyak sedikitnya air
yang hilang dari dalam daging akibat pemasakan. Cooking losses sering dianggap sebagai
indikator penting dalam mengevaluasi kualitas daging. Daging yang memiliki nilai coocking
losses yang tinggi mengakibatkan kualitas daging yang semakin rendah.
Mekanisme susut masak yaitu pengaruh suhu dan lama pemasakan membuat
protein terdenaturasi lalu mencair membentuk gelatin dan akhirnya termobilisasi
bercampur lemak dan air. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Telussa et al, (2018)
bahwa protein terdenaturasi dan teragulasi bahkan akan mencair dan terbentuk gelatin
yang bercampur lemak dan air sehingga akan termobilisasi, perubahan fisik tersebut dapat
menyebabkan cairan daging keluar secara perlahan ketika pemasakan, sehingga daging yang
dimasak lebih lama memiliki susut masak. Ketika daging dipanaskan, protein-protein yang
ada di dalamnya mengalami perubahan struktural yang disebut denaturasi. Pada saat yang
sama, lemak dalam daging mulai mencair akibat panas, menciptakan suasana yang lebih
berminyak dan berair.
Semakin banyak lemak pada daging akan mengurangi nilai coocking losses.
Temperatur yang tinggi akan memperbesar kandungan air yang keluar yang akan
mengakibatkan susut masak semakin besar. pH juga mempengaruhi nilau susut masak
karena semakin rendah pH maka nilai coocking losses akan semakin meningkat. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Santoso (2021) bahwa Susut masak dipengaruhi oleh pH, panjang
sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, ukuran, dan berat sampel daging.
Praktikum yang dilakukan yaitu dengan memotong dadu sebesar 1cm3 dan
ditimbang terlebih dahulu dan dimasukkan ke dalam kantong plastik lalu dipanaskan pada
suhu 80oC selama 30 menit. Daging yang sudah dipanaskan lalu ditimbang kembali sebagai
hasil akhir dalam perhitungan. Hasil yang diperoleh yaitu sebesar 19% dan 16,5% yang dapat
dikatakan karena nilai susut masak yang baik yaitu tidak lebih dari 40%. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Soeparno (1998) bahwa pada umumnya nilai susut masak daging
bervariasi antara 1,5%-54,5%.
4.2.4 Perubahan Kualitas Susu
Tenderness atau keempukan daging adalah salah satu parameter utama dalam
menilai kualitas daging. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Fadilla et al, (2023) bahwa
keempukan adalah parameter utama dalam menentukan kualitas daging yang diuji secara
sensoris. Kualitas daging yang dimaksud yaitu kemampuan untuk memutus serat daging
tanpa mempengaruhi sifat jaringan yang layak. Kelembutan daging mencerminkan
kemampuannya untuk dipotong atau dimakan dengan mudah.
Alat yang digunakan dalam prektikum tingkat keempukan daging yaitu
penetrometer. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Warastomo et al, (2021) bahwa
pengukuran keempukan daging menggunakan alat penetrometer. Semakin empuk daging,
maka semakin tinggi hasil yang dikeluarkan pada monitor penetrometer. Hasil pengukuran
penetrometer dapat memberikan informasi objektif tentang keempukan daging.
Beberapa faktor-faktor tertentu dapat mempengaruhi nilai keempukan pada daging.
Lama perebusan dan suhu yang meningkat akan meningkatkan nilai tenderness. Jaringan
ikat berpengaruh karena semakin sedikit jaringan ikat maka akan semakin empuk. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Santoso (2021) bahwa semakin banyak jaringan ikat
pada daging, maka keempukannya akan semakin rendah.
Faktor lain yang mempengaruhi yaitu serabut myofibril dan pelayuan pada daging.
Serabut myofibril yang semakin sedikit akan membuat daging semakin empuk. Pelayuan
pada daging juga dapat mempengaruhi keempukan karena pelayuan pada daging akan
mengakibatkan daging menjadi lunak. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bahar (2003)
bahwa untuk mendapatkan keempukan daging yang optimal, maka daging harus mengalami
proses aging.
Hasil yang diperoleh dari pengujian keempukan daging yaitu sebesar 73mm/g/detik.
Hasil tersebut dilihat dari monitor penetrometer ketika daging sudah mendapatkan beban
dari testrode. Semakin besar nilai yang didapatkan ketika pengujian maka akan semakin
empuk daging. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Suantika et al, (2017) bahwa
semakin besar angka yang ditunjukan, maka daging semakin empuk.
4.2.5 pH Daging
Pengukuran derajat keasaman pada daging bertujuan untuk mengetahui kualitas
daging berdasarkan pH. Standar pH yang baik pada ternak hidup yaitu berada pada kisaran
7,0 - 7,2. Standar pH yang baik pada ternak yang sudah dipotong yaitu berada pada kisaran
5,4 - 5,8. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rumondor et al, (2023) bahwa nilai pH
daging adalah berkisar antara 5,4-5,8.
Indikasi pH pada daging terbagi menjadi 2 yaitu PSE (pale soft exudative) dan DFD
(dry firm dark). Pale soft exudative pada daging, ternak terindikasi stress sebelum
pemotongan yang menyebabkan pH menurun dibawah 5,4. Dry firm dark pada daging,
ternak terindikasi kelelahan yang menyebabkan glikogen otot sedikit saat sebelum
pemotongan sehingga pH daging meningkat diatas 5,8. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Wibowo et al, (2021) bahwa Dark Firm Dry (DFD) beef adalah indikator dari
stres, luka, penyakit atau kelelahan pada hewan sebelum disembelih.
Pada saat pemotongan ternak akan terjadi mekanisme penurunan pH pada daging.
Ternak yang dipotong akan mengalami glikolisis anaerob dan akan menghasilkan asam
laktat sehingga pH menurun. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rumondor et al, (2023)
bahwa proses glikolisis akan menghasilkan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH
daging. Penurunan ph mempengaruhi sifat fisik seperti menurunkan Water Holding
Capacity, dan pH daging ultimate menimbulkan kesan juiceness.
Suhu yang semakin tinggi akan mempengaruhi cepatnya penurunan pH pada daging.
Lama penyimpanan juga mempengaruhi karena semakin lama daging disimpan akan
menyebabkan pH semakin menurun. Perlakuan sebelum dipotong juga menjadi faktor yang
mempengaruhi pH pada daging. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Wibowo et al,
(2021) bahwa sifat fisik sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum pemotongan dan
setelah pemotongan.
Praktikum yang dilakukan yaitu mengukur pH daging ayam menggunakan kertas
lakmus. Hasil yang didaptkan yaitu ketika kertas lakmus diangkat dari daging yang sudah
diblender mendapatkan derajat keasaman sebesar 6. Hasil tersebut termasuk ke dalam
daging dry firm dark karena berada pada pH diatas 5,8. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Bahar (2003) bahwa bila pH akhir lebih tinggi (misal 6.2) maka daging akan
terlihat gelap, keras, dan kering dan dikenal dengan istilah Dry , Firm , Dark (DFD).

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Kebutuhan protein hewani ternak dengan bobot badan 78 kg adalah 32,5 gram
protein daging per hari.
2. Daya ikat air pada sampel yang digunakan bagus karena lebih dari 70%.
3. Coocking losses atau susut masak sampel daging tidak lebih dari 40% yang
menandakan kualitas daging bagus.
4. Skala penetrometer menunjukkan angka yang cukup tinggi menandakan keempukan
daging yang bagus.
5. pH sampel daging yang diuji dengan kertas lakmus adalah 6 karena warna paling
mirip adalah pH 6, berdasarkan hasil tersebut sampel termasuk dalam daging DFD.
5.2 Saran
Praktikum yang dilakukan sudah baik, namun sebaiknya peralatan juga diperbaiki agar
praktikum yang dilakukan bisa melakukan demonstrasi secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA

Adha, A. S. A. dan S.H Suseno. 2020. Pola konsumsi pangan pokok dan kontribusinya
terhadap tingkat kecukupan energi masyarakat Desa Sukadamai. Jurnal Pusat Inovasi
Masyarakat (PIM). 2(6): 988-995.
Bahar, B., 2003. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Fadilla, A., D. Sudrajat, D. Wahyuni, D. Kardaya. 2023. Kualitas Sensoris Daging Puyuh Yang
Diberi Ransum Substitusi Tepung Ikan Dengan Tepung Maggot (Hermetia
Illucens). Jurnal Peternakan Nusantara, 9(2): 71-78.
Festi, P. 2018. Buku Ajar Gizi dan Diet. UM Surabaya Publishing, Surabaya.
Ginting, W. M., E. Sudaryati dan S. Sarumpaet. 2018. Pengaruh Asupan Protein Terhadap
Kejadian Hipertensi Pada Wanita Usia Subur Dengan Obesitas Di Puskesmas
Patumbak Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda. 4(1):383-386.
Haikal, M. T., L. Suryaningsih, dan E. Wulandari. 2021. Pengaruh Pemberian Ekstrak Jambu
Biji (Psidium guajava) Terhadap Daya Ikat Air, Susut Masak, Keempukan, dan pH
Daging Ayam Petelur Afkir. Jurnal Teknologi Hasil Peternakan, 2(2): 75-81.
Haq, A. N., D. Septinova, dan P. E. Santosa. 2015. Kualitas Fisik Daging Dari Pasar Tradisional
Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 3(3): 98-103.
Hartono, A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Penerbit Buku Kedokteran BGC, Jakarta.
Herawati dan B. P. Widiarso. 2021. Penjaminan Mutu Bahan Pangan Asal Hewan. Media
Nusa Creative. Malang.
Hidayah, R., I. Ambarsari, dan S. Subiharta. 2019. Kajian sifat nutrisi, fisik dan sensori
daging ayam KUB di Jawa Tengah. Jurnal Peternakan Indonesia, 21(2): 93-101.
Ismail, M., R. Kautsar, P. Sembada, S. Aslimah, dan I. I. Arief. 2016. Kualitas fisik dan
mikrobiologis bakso daging sapi pada penyimpanan suhu yang berbeda. Jurnal Ilmu
Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, 4(3): 372-374.
Jaelani, A., S. Dharmawati, dan W. Wanda. 2014. Berbagai Lama Penyimpanan Daging Ayam
Broiler Segar Dalam Kemasan Plastik Pada Lemar Es (Suhu 4 oC) dan Pengaruhnya
Terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik. Ziraa'ah Majalah Ilmiah Pertanian, 39(3): 119-
128.
Kuswati, dan T. Susilawati. 2016. Ternak Sapi Potong. UB Press. Malang.
Merthayasa, J. D., I. K Suada, dan K. K. Agustina. 2015. Daya Ikat Air, pH, Warna, Bau dan
Tekstur Daging Sapi Bali dan Daging Wagyu. Indonesia Medicus Veterinus, 4(1): 16-
24.
Naga, W. S., B. Adiguna, E. S. Retnoningtyas, dan A. Ayucitra. 2017. Koagulasi protein
dari ekstrak biji kecipir dengan metode pemanasan. Widya Teknik, 9(1), 1-11.
Nurjaya, M. I. Y., ,O. R. Puspitarini, dan I. D. Retnaningtyas. 2023. Pengaruh Berbagai
Konsentrasi Asam Jawa Terhadap Kadar air, Whc (Water Holding Capacity), Dan
Keempukan Pada Daging Ayam Petelur Afkir. Jurnal Peternakan Lokal, 5(2): 116-122.
Poernomo, H., W. G. Kusumaningtyas, dan T. Setiawan. 2022. Modifikasi Metode Bowl
Cutter, Meat Grinder pada Efisiensi dan Efektifitas Kinerja Alat terhadap Kualitas Fisik
Daging Ayam Potong (Broiler). Jurnal Pengembangan Potensi Laboratorium, 1(1): 34-
44.
Prasetyo, B., L. D Mahfudz, dan H. M Nasoetion. 2021. Kualitas Fisik Daging Ayam Broiler
Yang Dipelihara Di Kandang Closed House Pada Ketinggian Dataran Berbeda. Jurnal
Sain Peternakan Indonesia, 16(1): 61-67.
Prayitno, S. S., J. Sumarmono, dan A. H. D. Rahardjo. 2020. Pengaruh lama perendaman
daging itik afkir pada ekstrak kulit buah carica (Carica Candamarcensis) terhadap
keempukan dan susut masak daging. Jurnal Peternakan Nusantara, 6(1): 15-20.
Puradireja, R. H., L. Herlina, dan H. Arief. 2021. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Permintaan Daging Sapi Di Provinsi Lampung. J Pemikir Masy Ilm Berwawasan
Agribisnis, 7(1): 1439-1448.
Ramlah, U. 2021. Gangguan Kesehatan pada Anak Usia Dini Akibat Kekurangan Gizi dan
Upaya Pencegahannya. Jurnal Pendidikan Anak, 2(2): 12-25.
Rukmana, S. C., dan M. I. Kartasurya. 2014. Hubungan asupan gizi dan status gizi ibu hamil
trimester III dengan berat badan lahir bayi di wilayah kerja Puskesmas Suruh
kabupaten Semarang. Journal of Nutrition College 3(1): 192-199.
Rumondor, D. B. J., J. A. D Kalele, M. Tandilino, H. J. Manangkot, dan C. L. K. Sarajar. 2023.
Pengaruh Marinasi Bawang Putih (Allium Sativum L) Terhadap Sifat Fisik dan Total
Bakteri Daging Ayam Broiler Dalam Penyimpanan Suhu Dingin. ZOOTEC, 43(1): 23-31.
Santoso, H. B. 2021. Industri Ternak Unggas Petelur. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Penerbit Gajah Mada University, Press.
Yogyakarta.
Suantika, R., L. Suryaningsih, dan J. Gumilar. 2017. Pengaruh lama perendaman dengan
menggunakan sari jahe terhadap kualitas fisik (daya ikat air, keempukan, dan ph)
daging domba. Jurnal Ilmu Ternak Universitas Padjadjaran, 17(2): 67-72.
Syafri, T. A., D. Yendri, dan R. Fedrian. 2023. Alat Pendeteksi Kualitas Ikan dan Daging Sapi
Berbasis Mikrokontroller. Penerbit Adab. Indramayu.
Telussa, I., R. Rosmawaty, dan J. Latupeirissa. 2018. Pemanfaatan Getah Buah Pepaya Untuk
Meningkatkan Kualitas Kimia Daging Kerang Darah (Anadara Granosa) Dengan
Beberapa Metode Pengolahan. Molluca Journal of Chemistry Education
(MJoCE), 8(1): 25-35.
Warastomo, M. T., W. Suryapratama, dan A. H. D. Rahardjo. 2021. Pengaruh Penambahan
Tepung Daun Kelor (Moringa Oleifera) dan Minyak Sawit Dalam Pakan Terhadap Sifat
Fisik Daging Domba. ANGON: Journal of Animal Science and Technology, 3(2): 156-
165.
Wibowo, A. Y., A. Wibowo, dan F. Ardhani. 2021. Perubahan Sifat Fisik Otot Vastus Lateralis
Pada Daging Sapi Bali Pasca Pemotongan (Post-Mortem) Di Rumah Potong Hewan
(Rph) Tanah Merah Samarinda. Jurnal Peternakan Lingkungan Tropis, 4(2): 52-58.
Zulfahmi, M., Y. B. Pramono, dan A. Hintono. 2014. Pengaruh marinasi ekstrak kulit nenas
(Ananas Comocus L. Merr) pada daging itik tegal betina afkir terhadap kualitas
keempukan dan organoleptik. Jurnal Pangan dan Gizi, 4(2): 19-26.

Anda mungkin juga menyukai