0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
19 tayangan8 halaman

Medication Safety Sebagai Upaya Pemutusan Rantai Infeksi Dan Hazard Kimia

456

Diunggah oleh

Nur Al Fina
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
19 tayangan8 halaman

Medication Safety Sebagai Upaya Pemutusan Rantai Infeksi Dan Hazard Kimia

456

Diunggah oleh

Nur Al Fina
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 8

Medication Safety Sebagai Upaya Pemutusan Rantai Infeksi dan Hazard

Kimia
Adisty Olyvia Hutagalung
[email protected]

Latar Belakang
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal penting yang harus diterapkan di
semua tempat kerja, baik pada sektor formal maupun sektor informal. Terlebih bagi tempat
kerja yang memiliki risiko atau bahaya yang tinggi, serta dapat menimbulkan kecelakaan kerja
maupun penyakit akibat kerja.

Salah satu tempat kerja yang berisiko adalah Rumah Sakit, hal ini karena rumah sakit
memiliki potensi terjadinya penyakit infeksi terhadap para karyawan, pasien, bahkan
pengunjung. Beberapa contoh penyakit infeksi yang dapat terjadi di Rumah Sakit adalah TB,
Hepatitis B, Hepatitis C, dan bahkan berisiko terinfeksi HIV/AIDS. Selain penyakit-penyakit
infeksi, di rumah sakit juga memiliki risiko atau bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan
kondisi di rumah sakit, seperti kecelakaan (meliputi kejadian ledakan, kebakaran, kecelakaan
yang diakibatkan adanya masalah pada instalasi listrik, serta faktor-faktor yang dapat
menimbulkan cidera lainnya), radiasi, paparan bahan kimia beracun dan berbahaya, gas-gas
anastesi, gangguan terkait psikis dan ergonomi.

Dilihat dari jenis pekerjaan yang ada di rumah sakit, dapat dikatakan tenaga medis
merupakan karyawan yang rentan terkena penyakit akibat kerja, karena mereka selalu
melakukan kontak dengan pasien yang sakit setiap hari. Namun tenaga non medis juga
memiliki potensi untuk terkena penyakit akibat kerja, walaupun mereka tidak melakukan
kontak langsung dengan pasien. Berbagai penyakit infeksi menular kepada tenaga non medis
melalui media udara, lantai, dinding, ruang kerja, jarum suntik bekas, dan infus bekas.

Penularan infeksi merupakan salah satu resiko di tempat kerja. Penyakit infeksi merupakan
salah satu masalah kesehatan yang paling utama di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Penyakit infeksi yang sering di derita adalah penyakit diare, demam tifoid, demam
berdarah, radang paru-paru. Penyakit infeksi merupakan satu kumpulan jenis-jenis penyakit
yang mudah menyerang yang disebabkan oleh infeksi virus, infeksi bakteri, dan infeksi parasit.

Medication Safety merupakan salah satu alternatif untuk pencegahan resiko penularan
infeksi. Pemberian medikasi merupakan proses yang kontinyu dan memerlukan pengetahuan
tentang klien dan medikasi saat melakukan proses keperawatan, yaitu pengkajian, perencanaan,
pemberian/ administrasi medikasi, evaluasi, dan dokumentasi. Pinsip pemberian medikasi
terdiri dari 10 prinsip, yaitu Benar Obat, Benar Dosis, Benar Pasien, Benar Rute, Benar Waktu,
Benar Edukasi Klien, Benar Dokumentasi, Benar untuk Menolak Edukasi, Benar Pengkajian,
dan Benar Evaluasi.

Metode

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dimana maksudnya dengan cara
mengumpulkan sebanyak-banyaknya data untuk dianalisis, yaitu dengan literature review ini
dengan menganalisis bagaimana medication safety sebagai upaya pemutusan rantai infeksi.
Adapun tinjauan literatur yang digunakan seperti buku teks, buku referensi, jurnal, dan google
scholar. Dengan kata kunci Pemutusan Infeksi, Medication Safety, Hazard Kimia, dan K3. Dan
literature yang digunakan adalah 10 literatur yang diterbitkan 10 tahun terakhir.

Hasil

Dalam Faletehan Health Journal (2018) hasil identifikasi risiko kemudian dilakukan
penilaian terhadap kemungkinan terjadi dan konsekuensi dari tiap risiko untuk di analisis
tingkat risikonya didapatkan hasil 36,6 % risiko berada pada tingkatan high risk yaitu risiko
terpapar debu dan kuman, terpapar bakteri atau pun virus dan terpapar obat kemoterapi, 45,1%
risiko pada tingkatan moderate risk yaitu risiko tertusuk jarum suntik, tergores benda tajam,
terpeleset atau terjatuh karena lantai licin dan gangguan muskuloskeletal, 18,3% risiko pada
tingkatan low risk yaitu risiko alergi atau iritasi terhadap penggunaan bahan kimia seperti
pembersih lantai dan lainnya.

Dalam Jurnal Online Keperawatan Indonesia (2018), berdasarkan hasil observasi yang
dilakukan peneliti saat penelitian didapatkan bahwa banyak perawat yang tidak menggunakan
alat pelindung diri saat melakukan tindakan keperawatan hal itu disebabkan karena kurang
tersedianya alat pelindung diri, tidak mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan tindakan
keperawatan serta perawat memakai alat medis berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya
infeksi nosokomial, serta perawat pelaksana juga mengatakan bahwa tidak pernah dilakukan
pelatihan tentang infeksi nosokomial bagi perawat pelaksana.

Dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas (2018), subyek yang memiliki


pengetahuan kategori baik (26,7%) tentang penyakit menular semuanya menggunakan
pelindung kaki, masker dan sarung tangan, dan juga melakukan cuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan tindakan pada pasien. Subyek yang memiliki pengetahuan cukup tentang
penyakit menular menggunakan masker hanya 59% menggunakan selama berkontak dengan
pasien dan yang melepasnya hanya 57%. Sedangkan penggunaan handscoond hanya 38% dan
semuanya melepaskan setelah selesai melaksanakan tindakan pada pasien. Dari 18 orang yang
berpengetahuan kategori cukup hanya 56% perawat gigi yang mencuci tangan sebelum
melakukan tindakan pada pasien dan hanya 52% melakukan mencuci tangan setelah tindakan.

Dalam Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia (2017), dapat diketahui bahwa


sebagian besar responden (75,0%) berada pada usia 18-40 tahun atau merupakan usia dalam
rentang dewasa dini menurut teori Hurlock (2002). Begitupun dengan pendidikan para
responden, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden (75,0%) berpendidikan D3 dan
sebagian kecil responden (25,0%) berpendidikan S1. Maka, seluruh responden telah memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam PERMENKES No 148 tahun 2010 tentang izin dan
penyelenggaraan praktek perawat yang menyatakan bahwa, seorang perawat dapat melakukan
praktek keperawatan setelah mendapatkan Surat Ijin Praktek Perawat (SIPP) dan minimal
berpendidikan D3 keperawatan. Sedangkan untuk lama bekerja, dapat diketahui bahwa hampir
setengah responden (44,6%) telah bekerja selama lebih dari 5 tahun.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian risiko terpapar debu dan kuman, terpapar bakteri atau pun
virus dan terpapar obat kemoterapi, 45,1% risiko pada tingkatan moderate risk yaitu risiko
tertusuk jarum suntik, tergores benda tajam, terpeleset atau terjatuh karena lantai licin.

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang kompleks, padat profesi
dan padat modal. Pelayanan rumah sakit menyangkut berbagai fungsi pelayanan, pendidikan,
penelitian dan juga mencakup berbagai tindakan maupun disiplin medis. Rumah Sakit adalah
tempat kerja yang memiliki potensi terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Bahan mudah
terbakar, gas medik, radiasi pengion, dan bahan kimia merupakan potensi bahaya yang
memiliki risiko kecelakaan kerja. Oleh karena itu, Rumah Sakit membutuhkan perhatian
khusus terhadap keselamatan dan kesehatan pasien, staf dan umum.

Bahaya biologi dan bahaya perilaku yaitu kontak dengan darah pasien yang terjadi
apabila tiba-tiba darah memancar ke arah wajah dan terkena mata, sedangkan petugas medis
tidak menggunakan alat pelindung diri. Dampaknya sangat berbahaya apabila pasien memiliki
riwayat penyakit menular. Petugas kesehatan memiliki kemungkinan tertular penyakit
Hepatitis, AIDS, dan HIV. Pada bahaya biologi dan perilaku apabila menerapkan rekomendasi
pengendalian dari peneliti dapat menurunkan tingkat risiko yaitu perlu diawasi dan
diperhatikan secara berkesinambungan.

Tahap selanjutnya dari pekerjaan penjahitan luka yaitu merapikan alat. Merapikan alat
memiliki bahaya fisik jarum jahit luka (hecting) dan instrumen tajam yang telah digunakan
dalam proses penjahitan luka. Jarum hecting tidak langsung di buang ke dalam safety box dan
meletakkan jarum bekas pakai ke dalam tempat instrumen tajam. Dampak dari bahaya tersebut
bukan hanya luka tusuk jarum suntik tetapi ada juga bahaya tertular penyakit menular yang di
derita oleh pasien. Bahaya biologi dalam tahapan merapikan alat pun sama dengan bahaya fisik
yaitu kontak dengan darah pasien dan dampaknya tertular penyakit hepatitis, HIV dan AIDS.
Pada bahaya fisik apabila menerapkan rekomendasi pengendalian dari peneliti dapat
menurunkan tingkat risiko yaitu perlu diawasi dan diperhatikan secara berkesinambungan.
Pada bahaya biologi tingkat risikonya turun yaitu mengharuskan adanya perbaikan secara
teknis.

Potensi bahaya kimia yang teridentifikasi yaitu disinfektan, dengan melakukan


pembersihan ruangan. Dapat terjadi resiko bahaya keracunan, cedera mata dan infeksi. Dari
Undang-undang No 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, BAB III Pasal 3 ayat 1
memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban. Serta Permenkes No 66 Tahun 2016 tentang
Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit BAB III Standar Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja,bahwa bahaya kimia yaitu disinfektan berada di semua area dan pekerja yang paling
beresiko yaitu petugas kebersihan dan perawat.

Potensi bahaya biologi yang teridentifikasi yaitu melakukan perawatan pada penderita
penyakit menular. Dapat terjadi resiko bahaya tertular penyakit AIDS, tertular tuberkulosis,
tertular Hepatitis A dan Hepatitis B, tertular difteri. Dari Undang-undang No 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan BAB X penyakit menular dan tidak menular bagian kesatu penyakit menular
pasal 152 ayat (2) upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular
dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang
sakit, cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi
akibat penyakit menular. Ayat (3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit
menular dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi individu
atau masyarakat. Ayat (4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan terhadap lingkungan dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.
Kepmenkes RI Nomer: 382/Menkes/SK/III/2007 tentang pedoman pencegahan dan
pengendalian infeksi di Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan lainnya, BAB II yang berisi fakta-
fakta penting beberapa penyakit menular diantaranya HIV/AIDS dan Tuberkulosis.

Upaya pengendalian bahaya Kimia (disinfektan) yaitu aktivitas kerja melakukan


perawatan terhadap pasien pada siang hari adalah harus memperhatikan tanda-tanda peringatan
yang ada di area kerja untuk mengantisipasi adanya bahaya pada bahan kimia yang tersedia
diruangan tersebut dan perhatikan penggunaan bahan kimia sesuai prosedur.

Upaya pengendalian bahaya biologi (tertular penyakit AIDS, Hepatitis A, Hepatitis B,


Tuberkulosis) yaitu aktivitas kerja melakukan perawatan pada penderita penyakit menular
adalah mengunakan APD yang dibutuhkan sesuai dengan pekerjaan, seperti menggunakan
sarung tangan dan masker ketika kontak langsung dengan pasien diagnosa penyakit menular
maupun tidak menular.

Rekomendasi di bawah ini berlaku bila :

• Diagnosis pasien dan faktor-faktor risiko sudah diketahui.

• Pengadaan alat pelindung diri (APD) akan bervariasi tergantung pada kebijakan yang berlaku.

• Ruang dan tempat rawat pasien tergantung pada kebijakan yang berlaku.

Seberapa dekat jarak antara pemeriksa dan pasien selama tindakan berlangsung

• Kontak berulang dengan pasien, lingkungan perawatan, dan peralatan bekas pakai.

• Kontak dalam jangkauan 1 meter dari pasien.

Bagaimana seharusnya petugas kontak dengan darah atau cairan dari tubuh pasien selama
prosedur ini berlangsung

• Kemungkinan pasien akan bersin dan batuk saat menjalani perawatan.

• Petugas kesehatan dapat terpajan sekresi pasien pada permukaan yang terkontaminasi,
peralatan, tisu, atau linen bekas pakai.

Tindakan apa yang tepat untuk mencegah transmisi patogen dari pasien

• Lingkungan

– Batasi jumlah petugas di lingkungan pasien seminimal mungkin.

– Pastikan ruangan cukup udara (buka pintu dan jendela)


– Tempatkan pasien di ruangan tersendiri ketika melakukan tindakan resusitasi, intubasi, dan
suction.

• Pasien

– Instruksikan pasien agar selalu mematuhi peraturan kebersihan pernapasan dan etika batuk
dengan memakai tisu/masker bedah dan membersihkan tangan.

– Bila pasien berkenan, selalu gunakan masker bedah.

• Petugas kesehatan

– Gunakan masker bedah dan membersihkan tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
pasien.

– Gunakan sarung tangan, gaun pelindung, pelindung mata, dan respirator partikulat ketika
melakukan tindakan resusitasi, intubasi, dan suction.

Perlengkapan penunjang apa yang harus tersedia untuk mencegah terjadinya infeksi

• Tisu, masker bedah, dan perlengkapan untuk kebersihan tangan (seperti air, sabun,
tisu/handuk sekali pakai, dan antiseptik berbasis alkohol).

Sarana prasarana atau fasilitas RS terkait K3 yang diberikan belum lengkap, fasilitas
yang sudah disediakan oleh rumah sakit berupa Alat Pelindung Diri, pegelolaan limbah cair,
pemisahan limbah medis dan non medis, sistem komunikasi menggunakan line telf, safety sign,
pengawasan terhadap peralatan yang digunakan, format pelaporan insiden, ketidaksesuaian dan
identifikasi sumber bahaya. Sedangkan untuk fasilitas yang belum terpenuhi yaitu berkaitan
dengan struktur organisasi K3 yang rencanya akan dibuat pada tahun ke dua, sistem
komunikasi tanggap darurat secara dengan menggunakan alarm juga belum terpasang dan
rencananya akan dipasang bersaman dengan adanya Tim K3RS, sedangkan untuk prosedur
informasi K3 pada RS belum ada dan rencananya akan dibuat tentang K3RS bersamaan dengan
Tim K3RS. Fasilitas akan dilengkapi sesuai anggaran yang sudah dianggarkan untuk kegiatan
yang berhubungan dengan K3.

Medication Safety merupakan salah satu alternatif dalam pemutusan rantai infeksi.
Pinsip pemberian medikasi terdiri dari 10 prinsip, yaitu Benar Obat, Benar Dosis, Benar Pasien,
Benar Rute, Benar Waktu, Benar Edukasi Klien, Benar Dokumentasi, Benar untuk Menolak
Edukasi, Benar Pengkajian, dan Benar Evaluasi (Berman et al., 2008). Prinsip tersebut akan
dijelaskan secara terperinci sesuai dengan proses keperawatan. Upaya secara nasional
bertujuan untuk mengurangi kejadian tidak diharapkan akibat medikasi (Adverse Drug Event/
ADE) melalui beberapa strategi termasuk dokumentasi adanya alergi, sistem pelaporan tanpa
diberlakukannya hukuman, dan standarisasi waktu pemberian medikasi. Pendidikan dan
pelatihan perawat bertujuan untuk meningkatkan keselamatan pemberian medikasi dan
mengurangi kesalahan medikasi.

Penutup

Infeksi nosokomial merupakan masalah penting di dunia. Rumah Sakit (RS) dituntut
untuk memberikan pelayanan bermutu, efektif dan efisien untuk menjamin patient safety.
Infeksi nosokomial atau infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan atau Health
Care Associated Infections (HCAIs) adalah penyakit infeksi yang pertama muncul dalam
waktu antara 48 jam dan empat hari setelah pasien masuk rumah sakit atau tempat pelayanan
kesehatan lainnya, atau dalam waktu 30 hari setelah pasien keluar dari rumah sakit. Dalam hal
ini termasuk infeksi yang didapat dari rumah sakit tetapi muncul setelah pulang dan infeksi
akibat kerja pada petugas di fasilitas pelayanan kesehatan. Upaya pengendalian bahaya Kimia
(disinfektan) yaitu aktivitas kerja melakukan perawatan terhadap pasien pada siang hari adalah
harus memperhatikan tanda-tanda peringatan yang ada di area kerja untuk mengantisipasi
adanya bahaya pada bahan kimia yang tersedia diruangan tersebut dan perhatikan penggunaan
bahan kimia sesuai prosedur. Upaya pengendalian bahaya biologi (tertular penyakit AIDS,
Hepatitis A, Hepatitis B, Tuberkulosis) yaitu aktivitas kerja melakukan perawatan pada
penderita penyakit menular adalah mengunakan APD yang dibutuhkan sesuai dengan
pekerjaan, seperti menggunakan sarung tangan dan masker ketika kontak langsung dengan
pasien diagnosa penyakit menular maupun tidak menular.

Daftar Pustaka

Mutsaqof, A. A. N., Wiharto, Suryani. E. 2015. Sistem Pakar Untuk Mendiagnosis Penyakit
Infeksi Menggunakan Forward Chaining. Jurnal Itsmart, 4 (1), 43-47

Marbun, A. S. 2018. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pencegahan Infeksi Nosokomial Di


Ruang Icu Dan Rawat Inap Lantai 3 Rsu Sari Mutiara Medan. Jurnal Online Keperawatan
Indonesia, 1 (2), 10-16
Yuantari, MG. C., Nadia, H. 2018. Analisis Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada
Petugas Kebersihan di Rumah Sakit. Faletehan Health Journal, 5 (3), 107-116

Budihardjo, V. S. 2017. Faktor Perawat Terhadap Kejadian Medication Administration Error


Di Instalasi Rawat Inap. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia, 5 (1), 52-61

Putri, O. Z., Ariff, T. M., Kasjono, H. S. 2017. Analisis Risiko Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja Pada Petugas Kesehatan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Akademik UGM. Jurnal
Kesehatan, 10 (1), 1-12

Indragiri, S., Yuttya, T. 2018. Manajemen Risiko K3 Menggunakan Hazard Identification Risk
Assessment And Risk Control (HIRARC). Jurnal Kesehatan, 9 (1), 39-52

Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Prosedur Khusus di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. WHO

Ivana, A., Widjasena, B., Jayanti, S. 2014. Analisa Komitmen Manajemen Rumah Sakit (RS)
Terhadap Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Pada RS Prima Medika Pemalang. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 2 (1), 35-41

Indracahyani, A. 2010. Keselamatan Pemberian Medikasi. Jurnal Keperawatan Indonesia, 13


(2), 105-111

Herman, M. J., Handayani, R. S. 2016. Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Pemerintah dalam
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Indonesia. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 6
(2), 137-146

Simamora, R. H. (2019). Pengaruh Penyuluhan Identifikasi Pasien dengan Menggunakan Media


Audiovisual terhadap Pengetahuan Pasien Rawat Inap. Jurnal Keperawatan Silampari, 3(1), 342-351.

Simamora, R. H. (2020). Learning of Patient Identification in Patient Safety Programs Through Clinical
Preceptor Models. Medico Legal Update, 20(3), 553-556.

Anda mungkin juga menyukai