3590 8664 1 SM
3590 8664 1 SM
3590 8664 1 SM
Idama Kusuma Dewi, Naila Khoirina, dan Nadya Alfa Cahaya Imani*
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang , Gedung E1, Kampus Sekaran, Gunungpati,
Semarang 50229
*E-mail : [email protected]
Abstract
Durian skin waste is an agricultural waste that has great potential if it is further processed. Durian skin waste
itself is abundant in the Gunungpati area, Semarang, which produces agricultural commodities in the form of
durian fruit. However, the utilization of agricultural commodities has not been done to the fullest because
durian skin is just thrown away so that it accumulates and it leads to a bad smell. Of course, this disturbs the
surrounding environment because of the presence of piles of durian skin waste. Previous research proved that
durian skin waste has a high pectin content. The high pectin content can be used as an edible coating on red
chili peppers. Red chili pepper is an agricultural commodity that can rot easily even during the distribution
process so that it affects the selling price of red chili pepper. The purpose of this study was to obtain the right
formulation of durian skin pectin edible coating. This research consisted of two steps, namely extraction of
pectin from durian skin and coating of red chili using extracted pectin. The results of the study prove that the
use of an edible coating that has been prepared can reduce the weight loss that occurs during the shelf life of
15 days, from 39.25% to 16.25%.
Keywords: durian peel, red chili pepper, pectin extraction, edible coating, glycerol
Pendahuluan
Durian merupakan buah yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia. Di wilayah Semarang terutama daerah
Gunungpati, Sekaran, keberadaan buah durian sangat melimpah. Produksi melimpah tersebut mengakibatkan
tingginya tingkat konsumsi masyarakat Semarang terhadap buah durian. Hasil konsumsi buah durian tentunya
menyisakan limbah berupa kulit durian. Limbah kulit durian tersebut biasanya hanya dibuang oleh masyarakat sekitar
sehingga menumpuk dan mengganggu lingkungan karena kulit durian membutuhkan waktu yang lama untuk proses
pembusukan (Kusumaningtyas dkk., 2018).
Limbah kulit durian yang berwarna putih atau biasa disebut mesocarp memiliki kandungan pektin sebesar 2,56% .
Pektin merupakan bagian dari senyawa pektat yang ditemukan di antara dinding sel buah dan sayuran . Kandungan
pektin banyak ditemukan pada lapisan kulit buah. Penggunaan pektin yang paling umum adalah sebagai bah an
perekat/pengental (gelling agent) pada selai dan jelly. Selain pada industri makanan, pektin juga dapat dimanfaatkan
pada industri pertanian dengan meningkatkan mutu pertanian menjadi lebih baik lagi. Salah satunya sebagai pengawet
untuk memperpanjang masa simpan pada produksi pertanian agar tidak cepat busuk (Wai dkk, 2009 dan Suput dkk.,
2015).
Metode pengawetan yang biasa digunakan pada produk pertanian berupa buah sayur adalah dengan pelapisan atau
coating menggunakan lilin atau bisa juga dengan penyemprotan menggunakan bahan kimia. Namun penggunaan
bahan-bahan kimia tersebut mempunyai efek yang merugikan bila ikut terkonsumsi. Bahan kimia yang digunakan
untuk menyemprot cenderung masih meninggalkan residu yang tidak hilang meskipun sudah dicuci dengan air karena
sifat bahan kimia yang diguanakan sulit larut dalam air (Panahirad dkk., 2020). Produk pertanian yang biasa mudah
busuk dan seringkali diawetkan dengan metode coating adalah cabai merah.
Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan komoditi pertanian yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia
sebagai penambah cita rasa masakan.Waktu yang dibutuhkan cabai merah dari proses pasca panen hingga sampai di
tangan konsumen tergolong lama akibatnya kesegaran dan mutu cabai merah ketika sampai di tangan konsumen
menjadi turun. Faktor yang menyebabkan penurunan mutu cabai merah ad alah kerusakan mekanis dan kerusakan fisis.
Kerusakan mekanis terjadi selama proses pengemasan dan pengangkutan sedangkan kerusakan fisik terjadi karena
suhu penyimpanan yang terlalu lembab atau suhu tropis yang tinggi. Penurunan mutu cabai tersebut mempegaruh i
nilai ekonomi pada cabai. Nilai ekonomi cabai yang tidak stabil akibat penurunan mutu tersebut tentunya merugikan
banyak pihak terutama petani cabai. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawetan setelah proses pasca panen untuk
mempertahankan mutu cabai hingga tiba di tangan konsumen.
Pengawetan yang bisa dilakukan dengan aman adalah coating dengan menggunakan bahan yang aman untuk
dimakan (edible) selain itu coating tersebut juga mudah larut dengan air (Ortega dkk, 2014). Oleh karena itulah perlu
adanya edible coating berbahan dasar pektin dari limbah kulit durian. Sifat pektin yang mudah hancur menjad i
permasalahan baru, sehingga perlu ditambahkan zat pembentuk gel yang dapat merekatkan tekstur pektin yang mudah
hancur agar pektin bisa diterapkan sebagai coating. Zat yang bisa ditambahkan adalah gliserol karena gliserol
berfungsi sebagai pembentuk gel pada pektin.
Metode
Persiapan bahan baku
Limbah kulit durian diambil bagian putihnya dengan pisau kemudian dipotong-potong secara kasar. Potongan kulit
durian dimasukkan pada suatu wadah dan ditambahkan aquades dengan perbandingan berat 1:2. Kemudian campuran
dihaluskan dengan blender. Tujuan penambahan aquades adalah agar kandungan pektin yang ada pada kulit durian
dapat larut. Kulit durian yang sudah halus lalu disaring dengan kertas saring.
Proses Ekstraksi
Hasil saringan kulit durian diekstraksi menggunakan refluks. Proses refluks dilakukan selama 90 menit dengan
tambahan larutan HCl 1 N. Proses refluks bertujuan untuk memastikan campuran homogen agar kandungan pektin
yang diperoleh maksimal. Setelah proses refluks selesai, campuran dipanaskan hingga volumenya berkurang menjad i
setengah dari volume semula. Tujuan dari pemanasan adalah menghilangkan kandungan asam yang digunakan selama
proses refluks.
Proses Pengendapan
Pengendapan dilakukan setelah proses pemanasan dengan menggunakan alkohol asam. Alkohol asam dibuat dengan
mencampurkan alkohol 96% v/v dan asam sulfat pekat sebanyak 3 tetes. Penambahan alkohol asam memilik i
perbandingan volume sebesar 1:1,5. Penambahan alkohol asam ini berfungsi untuk mengendapkan kandungan pektin
sehingga nantinya diperoleh pektin basah. Agar diperoleh pektin basah, campuran alkohol asam dan filtrat pektin
diendapkan selama 12 jam.
Proses Penyaringan dan Pengeringan
Pektin hasil pengendapan disaring dengan corong buchner agar tidak ada kandungan air. Pektin yang sudah disaring
kemudian dikeringkan pada suhu ruang agar benar-benar kering untuk kemudian dihaluskan.
Proses Pembuatan Coating
Pektin yang sudah kering ditambah dengan aquades dengan perbandingan volume 1:2. Kemudian ditambah dengan
0,5% w/v NaHCO3 dan 0,5% w/v CaCl2 . Coating yang sudah jadi ditambah dengan variasi konsentrasi gliserol seperti
yang tertera pada Tabel 1.
Analisis
Pada penelitian ini analisis dilakukan dengan melihat susut berat dari sampel yang telah dipersiapkan serta analisa
signifikansi variabel menggunakan uji statistik dengan metode ANOVA (alfa = 0.05).
Pada penelitian ini tidak dilakukan proses dekolorisasi pada serbuk pektin yang dihasilkan sehingga bila serbuk
tersebut dicampurkan dengan NaHCO3 , CaCl2, dan gliserol, akan dihasilkan gel kental berwarna merah muda seperti
yang dapat dilihat pada Gambar 3. Gel tersebut digunakan sebagai pelapis pada cabai rawit merah untuk
memperpanjang masa simpan.
4
3,5
Susut Bobot pada cabai rawit merah diamati tiap interval 5 hari selama kurun waktu 15 hari. Hal tersebut bertujuan
untuk membandingkan susut bobot cabai rawit merah. Pada hari ke 5 penurunan susut bobot terkecil yaitu pada cabai
rawit merah dengan edible coating dari pektin yang ditambah dengan gliserol 7% (P7). Pada hari ke 10, bobot cabai
rawit merah turun tetapi pada P7, penurunan bobot tidak terlalu signifikan.
Persentase penurunan susut bobot pada hari ke 0-15 pada edible coating tanpa penambahan gliserol (P0) adalah
39,25% dari bobot semula. Penurunan susut bobot pada cabai rawit merah dengan penggunaan edible coating yang
berasal dari pektin dengan penambahan gliserol 3% (P3) sebesar 31,5 %. Pengaplikasian edible coating dari pektin
dengan penambahan gliserol 5% (P5) menunjukkan susut bobot cabai rawit merah 31 %. Susut bobot terkecil didapat
pada P7 yang menunjukkan hasil penyusutan sebesar 16,25%.
Analisa statistik menggunakan ANOVA membuktikan bahwa variasi pada jumlah gliserol sangat berpengaruh
terhadap susut berat dari cabai dengan nilai P sebesar 1,96 x 10-5 (P<0.05). Semakin sedikitnya penyusutan seiring
dengan penambahan konsentrasi gliserol ini disebabkan karena gliserol yang berperan sebagai plastisizer mempunyai
sifat hidrofilik. Sifat ini berkaitan erat dengan pengikatan air dan juga adsorbsi sehingga menyebabkan berat cabai
yang dilapisi film akan lebih stabil disbandingkan dengan cabai tanpa coating. Pada cabai tanpa coating, kandungan
air akan lebih cepat berkurang sehingga susut beratnya akan lebih tin ggi (Juliarsi dkk, 2011 dan Jouki dkk, 2013).
Selain susut bobot, penambahan gliserol juga berpengaruh pada warna cabai rawit merah setelah penyimpanan 15
hari. Aplikasi edible coating tidak membuat warna cabai merah berubah bahkan warnanya tetap saja sama seperti hari
ke 0, sehingga penambahan coating tidak berpengaruh pada penurunan kualitas warna pada cabai merah.
Kesimpulan
Edible coating dari pektin kulit durian mampu memperpanjang masa simpan cabai efektif hingga 15 hari.
Pengaplikasian terbaik pada pektin dengan kandungan gliserol 7%. Penambahan tersebut dapat menurunkan susut
bobot pada cabai sehingga susut bobot cabai hanya 16,25 %.
Daftar Pustaka
Cserjési P, Bélafi-Bakó K, Csanádi Z, Beszédes S, Hodúr C. Simultaneous recovery of pectin and colorants from solid
agro-wastes formed in processing of colorful berries. Progress in Agricultural Engineering Sciences 2011; 7 (1):
65–80.
Jouki M, Khazaei N, Ghasemlou M, Hadinezhad M. Effect of glycerol concentration on edible film production fro m
cress seed carbohydrate gum. Carbohydrate Polymers 2013; 96 (1): 39–46.
Juliyarsi I, Melia S, Sukma A. The quality of edible film by using glycerol as plastisizer. Pakistan Journal of Nutrition
2011; 10 (9): 884–887.
Kusumaningtyas RD, Suyitan H, Wulansarie R. Pengolahan limbah kulit durian di wilayah gunungpati menjad i
biopestisida yang ramah lingkungan. 2018; 15 (1): 38–43.
Panahirad S, Naghshiband-Hassani R, Mahna N. Pectin-based edible coating preserves antioxidative capacity of
plum fruit during shelf life. Food Science and Technology International 2020.
https://doi.org/10.1177/1082013220916559
Sánchez-Ortega I, García-Almendárez BE, Santos-López EM, Amaro-Reyes A, Barboza-Corona JE, Regalado C.
Antimicrobial edible films and coatings for meat and meat products preservation . Scientific World Journal 2014.
https://doi.org/10.1155/2014/248935.
Suput D, Lazic V, Popovic S, Hromis N. Edible films and coatings : Sources, properties and application. Food and
Feed Research 2015; 42 (1): 11–22. https://doi.org/10.5937/ffr1501011s.
Wai WW, Alkarkhi AFM, Easa AM. Optimization of pectin extraction from durian rind (durio zibethinus) using
response surface methodology. Journal of Food Science 2009; 74 (8): 637–641.
Xie L, Li X, Guo Y. Ultrafiltration behaviors of pectin-containing solution extracted from citrus peel on a ZrO2
ceramic membrane pilot unit. Korean Journal of Chemical Engineering 2008; 25 (1): 149–153.