Panduan Praktik Klinis Bedah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 222

.

306

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


TATA LAKSANA KASUS

NEOPLASMA TIROID
1. Pengertian (Definisi) Merupakan tumor yang menyerang tiroid.

2. Anamnesis 1. Benjolan di leher bagian depan


2. Ikut bergerak waktu menelan disertai dengan penekanan
3. Sesak nafas
4. Suara parau
5. Pembesaran kelenjer getah bening
6. Konsistensi keras
3. Pemeriksaan Fisik 1. Teraba benjolan di bagian leher
2. Pembesaran kelenjer getah bening
4. Kriteria Diagnosis Benjolan di leher bagian depan, ikut bergerak waktu menelan
disertai tanda penekanan, suara parau, gangguan menelan,
pemebesaran kelenjer getah bening.
5. Diagnosis Kerja Neoplasma Tiroid
6. Diagnosis Banding Tiroiditis kronis, Struma Adenomatosa
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto leher (kalua perlu)
2. Foto Thoraks
3. FNAB
4. USG Tiroid
5. T3 T4, TSH
8. Terapi  Total tiroidektomi, near total tiroidektomi + FND bila
metastase ke leher.
 Radiasi externa/interna (J-131)

 Kemoterapi bila ada indikasi.

 Subsitusi terapi levotiroksin


9. Edukasi 1. Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion) 2. Edukasi faktor resiko
3. Edukasi gaya hidup sehat
4. Edukasi obat obatan
10. Prognosis Tergantung factor resikonya
Diharapakan baik bila usia <45 tahun
Ukuran tumor <4cm

1
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Sri Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

2
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

LIPOMA
1. Pengertian (Definisi) Merupakan penyakit yang ditandai dengan benjolan berisi lapisan
lemakyang secara bertahap menumpuk dibawah kulit, yang mana
benjolan ini berada antara kulit dan lapisan otot.
2. Anamnesis 1. Teraba benjolan
2. Nyeri (+/-)
3. Demam (+/-)
4. Ukuran benjolan
3. Pemeriksaan Fisik Teraba benjolan dibawah kulit
4. Kriteria Diagnosis - Tumor berbentukbulat, oval atau lobulated, tumbuh pelan,
konsistensi lunak (pseudofluktuasi), tidak nyeri, single atau
multiple, subkutan.

5. Diagnosis Kerja Lipoma


6. Diagnosis Banding Tumor Ganas Jaringan Lunak
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium (darah lengkap)
2. Radiologis : X-Ray Foto, CT Scan, MRI pada tempat tumor
3. Patologis : FNA, Biopsi, pemeriksaan specimen operasi

8. Terapi - Eksisi Tumor


- Elektro Kauter
- Cryosurgery
- Abrasi / Dermabrasi
9. Edukasi 1. Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)
2. Edukasi factor resiko
3. Edukasi gaya hidup sehat
4. Edukasi obat obatan
10. Prognosis dubia ad bonam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 3 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Sri Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli
3
4
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

TUMOR JINAK PAYUDARA


1. Pengertian (Definisi) Merupakan benjolan tumor yang tumbuh di payudara, tidak
berbentuk dari sel- sel yang ganas dan tidak menyebar ke bagian
tubuh lainnya.

2. Anamnesis 1. Teraba benjolan di payudara


2. Benjolan mudah digerakan
3. Nyeri (+/-)
4. Demam (+/-)
3. Pemeriksaan Fisik Teraba benjolan di bagian payudara, benjolan bisa digerakan,
nyeri (+/-).
4. Kriteria Diagnosis  Fibroadenoma Mama
Usia muda dibawah umur 30 tahun, tumbuh pelan – pelan
dalam waktu tahunan, batas tegas, bentuk bulat, permukaan
halus, konsistensi padat elastis, tumor dapat single dan
multiple.
 Tumor Fillodes mamma
Tumor besar pada mamma > 5cm dan dapat lebih dari 30
cm, diameter tumor umumnya besar, permukaan berbenjol-
benjol, kulit diatas tumor mengkilat, kadang disertai ulkus.
 Papilloma Intra Duktal
Pendarahan atau keluar cairan abnormal dari putting susu,
tumor kecil di subrareoler.
5. Diagnosis Kerja Tumor Jinak Payudara
6. Diagnosis Banding 1. Kanker Payudara
2. Kista Payudara
3. TBC Payudara

5
7. Pemeriksaan Penunjang 
Epidemiologi : Umur, Faktor Resiko

Radiologi : USG Mamma / mammografi

Patologi : Biopsi eksisi, insisi.
8. Terapi  Fibroadenoma Mamma : Eksisi Tumor mamma
 Tumor Filloides : Eksisi tumor atau mastektomi simple
dengan atau tanpa rekontruksi langsung.
 Papiloma Intraduktal : Duktektomi
9. Edukasi 1. Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)
2. Edukasi factor resiko
3. Edukasi gaya hidup sehat
4. Edukasi obat obatan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Sri Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

6
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

GANGREN DIABETIK
1. Pengertian (Definisi) Gangrene diabetic merupakan suatu komplikasi yang ditimbulkan
akibat infeksi atau suatu proses peradangan luka pada tahap lanjut
yang disebabkan karena perubahan degenerative atau perawatan
yang kurang intensif yang dikaitan dengan penyakit diabetes
mellitus.
2. Anamnesis 1. Tampak luka merah
2. Nyeri dan bengkak
3. Warna kulit berubah (hijau, hitam, merah, atau biru)
4. Demam (+/-)
5. Berbau (+/-)
3. Pemeriksaan Fisik Tampak luka terbuka, merah, dan berbau, dan dijumpai pus (+)

4. Kriteria Diagnosis Secara klinis gangren diabetik ditandai dengan kematian


jaringan yang terjadi akibat makro dan mikro angiopati diabetic
dan disertai atau tanpa disertai factor trauma atau infeksi. Tanda
dan gejala klinis berupa menurut berat jaringan nya lesi,
kelainan kaki diabetic dibagi dalam derajat. Ulkus atau gangrene
bersifat tidak nyeri karena neuropati.
5. Diagnosis Kerja Gangren Diabetik
6. Diagnosis Banding 1. Gangren karena PAPO (penyakit arteri perifer oklusif) atau
Buerger Disease
2. Penyakit arterio sklerotik obliterans
3. Ulkus trophicum atau ulkus trofik karena varises tungkai

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium : DL, D-dimer


2. Mikrobiologi : Kultur Pus dan tes kepekaan kuman
3. Radiologi : foto polos ekstremitas, Doppler USG bila ada
indikasi gangguan vaskular

8. Terapi 1. Pertama – tama perhatikan vaskularisasi


2. Non Bedah
 Pengendalian penyakit DM
 Obat-obatan anti agresi trombosit, dan
antikoagulansia
 Perawatan lokal ulkus

7
 Antibiotic sesuai kultur dan tes kepekaan, secara
empiris dapat diberi kombinasigol Gram (-) dan
gram (+) dan anerob.
3. Bedah
 Insisi Drainase abses
 Nekrotomi atau debridement
 Disartikulasi atau amputasi ekstremitas
9. Edukasi 1. Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)
2. Edukasi factor resiko
3. Edukasi gaya hidup sehat
4. Edukasi obat obatan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi D atau C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat 7 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Sri Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

8
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

HEMOROID
1. Pengertian (Definisi) Hemoroid adalah pembengkakan pembuluh darah pada rectum
bagian bawah dan anus.

2. Anamnesis  Perdarahan berwarna merah terang setelah buang air


besar (BAB)
 Gatal sekitar anus
 Nyeri sekitar anus
 Adanya benjolan keluar dari anus, pada keadaan tertentu
dapat membengkak dan tidak dapat di masukan kembali.

3. Pemeriksaan Fisik  Dijumpai benjolan yang keluar dari bagian anus

 Nyeri saat buang air besar (bab), keluar darah saat


selesai buang air besar.

4. Kriteria Diagnosis Keluar darah segar saat buang air besar (bab) terutama saat feses
akan keluar atau setelah fases keluar

5. Diagnosis Kerja Hemoroid


6. Diagnosis Banding  Karsinoma Rekti
 Polip Rekti
 Prolap Rekti
 Peradangan anorectal (proktitis)

7. Pemeriksaan Penunjang  Protoskopi


 Colok dubur

8. Terapi  Stadium I dan II tanpa atau dengan perdarahan : rawat


jalan , medikamentosa, pengaturan diet, skleroterapi,
ligase ruber band
 Stadium III dan IV : MRS, ligase ruber band, dan operasi
haemoroidektomi

9. Edukasi  Edukasi gizi dan pola makan


(Hospital Health Promotion)
 Edukasi factor resiko

 Edukasi gaya hidup sehat

9
 Edukasi obat obatan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Sri Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

10
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

PNEUMOTORAKS
1. Pengertian (Definisi) Pneumotoraks merupakan isitilah medis yang digunakan untuk
menggambarkan kondisi paru – paru digunakan untuk
menggambarkan kondisi paru – paru yang kolaps (mengempis).
Pneumotoraks terjadi saat udara memasuki ruangan antara paru-
paru dan lapisan pleura yang menyelimuti organ tersebut.
2. Anamnesis  Sesak nafas
 Cedera pada dinding dada
 Nyeri dada persisten
 Membiru
3. Pemeriksaan Fisik Sesak nafas, dijumpai tanda cedera di dada, sulit untuk menarik
nafas, auskultasi suara nafas berkurang atau menurun, perkusi
dijumpai hipersonor.
4. Kriteria Diagnosis Secara klinis pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana
terdapat udara di dalam rongga pleura dan mengakibatkan paru
menjadi kolaps. Tanda dan gejala klinis nya adalah :
a. Sesak nafas
b. Pada inspeksi gerakan hemitoraks berkurang atau menurun
c. Pada perkusi dijumpai hipersonor
d. Auskultasi dijumpai suara pernapasan menurun atau
berkurang.
e. Pada foto polos toraks ada bayangan udara bebas pada
hemitoraks yang bersangkutan dan paru tampak kolaps.
5. Diagnosis Kerja Pneumotoraks
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium : DL, BTA Sputum

 Radiologi : Foto polos Thoraks, CT Scan


8. Terapi  Non bedah : Oksigenasi, Fisioterapi Nafas , Obat-obatan
 Bedah
a. Jarum kontra ventil atau jarum terbuka dilanjutkan
dengan pipa drainase (WSD) untuk kasus
pneumotoraks tension
b. Punksi bila paru kolaps minal <30%
c. Pipa torakostomi dengan continous suction
d. Bila Pneumotoraks terbuka, luka ditutup atau
dijahit dan pasang pipa toraks

11
9. Edukasi a. Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)
b. Edukasi factor resiko
c. Edukasi gaya hidup sehat
d. Edukasi obat obatan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat 7 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Sri Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

12
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

APENDISITIS
1. Pengertian (Definisi) Apendisitis merupakan kondisi peradangan pada usus buntu
(apendiks).

2. Anamnesis  Nyeri perut bawah kanan


 Demam
 Perut kembung
 Mual – muntah
 Nyeri tekan di perut bawah kanan
3. Pemeriksaan Fisik  Dijumpai nyeri di titik McBurney disertai dengan defance
muskulare
 Nyeri tekan pada perut kanan bawah
 Colok dubur nyeri jam 09.00-11.00
4. Kriteria Diagnosis Klinis
Nyeri di titik McBurney dapat disertai defance muskulare
Demam kadang disertai dengan muntah
Nyeri tekan pada perut kanan bawah
Defance muskular (+)
5. Diagnosis Kerja Apendisitis
6. Diagnosis Banding  Diverticulitis
 Limpadenitis
 Torsio kista ovarium
 KET
 Colitis
 Gastroenteritis

7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium : DL


 Radilogi : USG Appendik

8. Terapi  Apendisitis kronis : direncanakan apendiktomi elektif


 Apendisitis Akut : direncanakan apendiktomi segera
 Periapendikular abses : Insisi, Drainase
 Bila ditemukan tanda – tanda peritonitis umum dilakukan
laparatomi dengan insisi median.
9. Edukasi  Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)
 Edukasi factor resiko

13
 Edukasi gaya hidup sehat

 Edukasi obat obatan


10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis Rawatan 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Sri Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

14
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

HERNIA INGUINALIS LATERALIS /MEDIALIS


1. Pengertian (Definisi) Hernia Inguinalis adalah penonjolan organ seperti usus dan
jaringan yang ada didalam perut ke area inguinal atau
selangkangan.
Hernia dapat berupa lateralis, medialis dan femoralis.
2. Anamnesis  Sejak kapan benjolan timbul

 Nyeri atau tidak

 Apakan benjolan masih bisa keluar masuk

 Demam (+/-)

 Riwayat penyakit hernia di dalam keluarga

 Riwayat cedera

3. Pemeriksaan Fisik  Hernia lateralis dijumpai benjolan di lipatan paha, dapat keluar
masuk
 Hernia inguinalis medialis benjolan diatas lig.inguinale.
 Hernia femoralis benjolan di bawah lig.inguinale

4. Kriteria Diagnosis  Hernia lateralis dijumpai benjolan di lipatan paha, dapat keluar
masuk
 Hernia inguinalis medialis benjolan diatas lig.inguinale.
 Hernia femoralis benjolan di bawah lig.inguinale
5. Diagnosis Kerja Hernia Inguinalis
6. Diagnosis Banding  Hidrokel
 Varikokel
 Adesensus testis
 Limfadenopati inguinal

15
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium rutin

8. Terapi  Operasi segera bila inkaserata

 Operasi terencana untuk hernia reponibilis dan hernia


ireponibilis
 Hernioraphy memakai prolene Mesh (Lichtenstein )
9. Edukasi  Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)
 Edukasi factor resiko

 Edukasi gaya hidup sehat


 Edukasi obat obatan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis Rawatan 4 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Sri Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

16
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

FISTULA PERIANAL
1. Pengertian (Definisi) Merupakan terbentuknya saluran abnormal diantara ujung usus
besar dan kulit pada area anus atau dubur, kondisi ini disebabkan
oleh infeksi yang berkembang menjadi benjolan berisi nanah
(abses) diarea anus.
2. Anamnesis  Nyeri di bagian anus yang semakin parah di saat duduk,
bergerak, buang air besar atau batuk
 Iritasi kulit disekitar anus, seperti bengkak, perubahan
warna kulit menjaddi kemerahan, gatal
 Keluar darah saat buang air besar
 Demam
 Keluar nanah berbau busuk dari kulit dekat anus
3. Pemeriksaan Fisik  Iritasi kulit di sekitar anus, tampak warna merah dan tampak
benjolan
 Keluar nanah berbau busuk dari kulit dekat anus
 Demam
4. Kriteria Diagnosis Dimulai dengan radang septik, timbulnya abses dan fistula
5. Diagnosis Kerja Fistula Perianal
6. Diagnosis Banding  Radang Spesifik (TBC)
 Penyakit Inflamatory Bowel Disease
 Hydradenitis Supurativa
 Keganasan Kolon Rectum
7. Pemeriksaan Penunjang Fistulografi : pada kasus fistel yang komplek
8. Terapi Fistulotomi atau fistulektomi
Seton untuk kasus fistel yang komplek
9. Edukasi  Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)  Edukasi factor resiko
 Edukasi gaya hidup sehat
 Edukasi obat obatan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis Rawatan 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh

dr.Sri Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli
17
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

KHOLELITIASIS
1. Pengertian (Definisi) Adalah kondisi yang ditandai dengan sakit perut mendadak akibat
terbentuknya batu didalam kantung empedu. penyakit batu empedu
juga bias terjadi di saluran empedu.
2. Anamnesis Nyeri perut yang dirasakan secara tiba-tiba
Mual muntah
Nyeri di bagian punggung
3. Pemeriksaan Fisik Nyeri tekan pada hipokondrium kanan
Peritonitis lokal ( defans muscular (+), Murphy Sign (+))
4. Kriteria Diagnosis kolik perut kanan atas, kadang menjalar ke belakang dapat disertai
radang akut kolesistitis atau penyumbatan kholestatis.
5. Diagnosis Kerja Kholelitiasis
6. Diagnosis Banding Hepatitis
Abses hepar
Pangkreatitis
Kholangitis
Ulkus peptikum
7. Pemeriksaan Penunjang Radiologi : Foto polos Abdomen
USG Abdomen
Laboratorium : Bilirubin direct dan indirect
8. Terapi  Kholelitiasis disertai dengan gejala direncanakan
kholesistektomi secara elektif
 Kholelitiasis disertai dengan radang akut, sebelum ada
perlekatan (infiltrate) dapat segera dibedah
 Bila sudah ada masa diberi antibiotik sampai radang akut
reda, baru dilakukan kholesistektomi.
9. Edukasi  Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)  Edukasi factor resiko
 Edukasi gaya hidup sehat
 Edukasi obat obatan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad

11. Tingkat Evidens IV


12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis Rawatan 4 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Sri Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli
18
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

LUKA BAKAR
1. Pengertian (Definisi) Adalah kerusakan jaringan yang disebabkan oleh panas, bahan
kimia, listrik, radiasi atau matarahri.
2. Anamnesis Tampak kulit melepuh, rasa sakit, pembengkakan dan
pengelupasan kulit
3. Pemeriksaan Fisik Tampak kulit melepuh, rasa sakit, pembengkakan dan
pengelupasan kulit
4. Kriteria Diagnosis  Derajat I : hanya mengenai cairan epidermis luar, tampak
hiperemi dan eritema
 Derajat II : mengenai lapisan epidermis yang lebih dalam dan
sebagian dermis disertai lepuh, edema jaringan dan basah
 Derajat III : mengenai semua lapisan epidermis dan dermis,
biasanya tampak luka kering dengan vena koogulasi pada
permukaan kulit
Tanda dan gejala klinik ; cemas, nyeri dan dehidrasi
5. Diagnosis Kerja Luka Bakar
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium : DL, RFT, Elektrolit, Protein darah
 Mikrobiologi : kultur dan tes kepekaan kuman
 Radiologi : foto polos thoraks
 Jantung : EKG
8. Terapi  Non Bedah
 tindakan darurat ABC, retutilasi jantung, paru otak
 koreksi elektrolit
 perawatan terhadap jantung paru ginjal hati
 nutrisi pasien
 antibiotik, analgetik, antidiuretik, ATS
 \
 Bedah
Debridemant
9. Edukasi  Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)  Edukasi factor resiko
 Edukasi gaya hidup sehat
 Edukasi obat obatan
10. Prognosis Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan respons terapi
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis Rawatan 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Sri Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


19
Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

20
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

ARTRITIS PIRAI
1. Pengertian (Definisi) penyakit yang disebabkan oleh deposisi kristal-monosodium urat (
MSU) yang terjadi akibat sipersaturasi cairan ekstra seluler dan
mengakibatkan satu atau beberapa, manifestasi
klinik
2. Anamnesis perjalanan alamiah gout terdiri dari tiga periode
hiperurismia tanpa gejala klinis, episode artritis gout akut
diselingi interval tanpa gejala klinis, dan artitis gout kronis
3. Pemeriksaan Fisik Keadaan sendi harus dievaluasi apakah terdapat tanda-tandav
inflamasi, seperti eritema, hangat, bengkak, dan nyeri tekan, serta
tanda deformitas sendi dan tofi ( tanda khas gout). Sendi yang
terkena biasanya pada tungkai bawah, umumnya pada sendi
metatarsofalangeal I (MTP I).
faktor lain perlu juga dicarikelainan atau penyakit sekunder
seperti tanda-tanda anemia, pembesaran organ limmmfoid,
keadaan kardiovaskular, tekanan darah, tanda kelainan ginjal
4. Kriteria Diagnosis a.Didapatkan Kristal monosodium urat didalam cairan sendi,
atau
b. Didapatkan Kristal monosodium urat di dalam tofus, atau
c. Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut :
1. Inflamasi maksimal pada hari pertama
2. Serangan artritis akut lebih dari 1 kali
3. Artritis monoartikular
4. Sendi yang terkena berwarna kemerahan
5. Pembengkakan dan sakit pada sendi MTP I
6. Serangan pada sendi MTP unilateral
7. Serangan pada sendi tarsal unilateral
8. Tofus
9. Hiperurisemia
10.Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologic.
11.Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologic
12.Kultur bakteri cairan sendi negative
5. Diagnosis Kerja Artritis pirai
6. Diagnosis Banding Pseudogout, artritis septik, artritis rheumatoid.

21
7. Pemeriksaan Penunjang • LED, CRP
• Analisis cairan sendi
• Analisis cairan darah dan urin 24 jam
• Ureum, kreatinin, CCT
• Radiologi sendi
8. Terapi 1.Penyuluhan
2.Pengobatan fase akut :
a.Kolkisin. Dosis 0,5 mg diberikan tiap jam sampai terjadi
perbaikan imflasi atau terdapat tanda-tanda toksik atau dosis
tidak melebihi 8mg/24 jam.
b.Obat antiinflamasi non-steroid
c.Glukokortikoid dosis rendah bila ada kontraindikasi dari
kolkisin dan obat antiinflamasi non-steroid
3. Pengobatan hiperurisemia :

a.Diet rendah purin


b.Obat penghambat xantin oksidase (untuk tipeproduksi
berlebih), misalnya allopurinol
c.Obat urikosurik (untuk tipe sekresi rendah) obat
antihiperurisemik tidak boleh diberikan pada stadium akut.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

22
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

ARTRITIS REUMATOID
1. Pengertian (Definisi) penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama mengenai
sendi diartrodial. Termasuk penyakit autoimun dengan
etiologi yang tidak diketahui.
2. Anamnesis 1. Kaku pagi, sekurangnya 1 jam
2. Artritis pada sekurangnya 3 sendi
3. Artritis pada sendi pergelangan tangan, metacarpophalanx
(MCP) dan Proximal interphalanx (PIP)
4. Artritis yang simetris
5. Nodul rheumatoid
6. Faktor rheumatoid serum positif
7. Gambaran radiologic yang spesifik
Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut di
atas. Kriteria 1-4 harus minimal diderita selama 6 minggu
8. Pemeriksaan Fisik  Palindromic rheumatism; gejala monoarthritis yang hilang
timbul antara 3-5 hari dan diselingi masa remisi sempurna.
 Pauciarticular rheumatism; oligoartikuler yang melibatkan
4 persendian atau kurang.
9. Kriteria Diagnosis Kriteria Diagnosis (ACR, 1987)
1. Kaku pagi, sekurangnya 1 jam
2. Artritis pada sekurangnya 3 sendi
3. Artritis pada sendi pergelangan tangan, metacarpophalanx
(MCP) dan Proximal interphalanx (PIP)
4. Artritis yang simetris
5. Nodul rheumatoid
6. Faktor rheumatoid serum positif
7. Gambaran radiologic yang spesifik
Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut di
atas. Kriteria 1-4 harus minimal diderita selama 6 minggu
10. Diagnosis Kerja Artritis reumatoid
11. Diagnosis Banding Spondiloartropati seronegatif, sindrom Sjogren.

23
12. Pemeriksaan Penunjang • LED, CRP
• Faktor Reumatoid serum. Hasil positif dijumpai pada sebagian
besar kasus (85%), sedangkan hasil negative tidak
menyingkirkan adanya AR
• Analisis cairan sendi. Dapat terlihat peningkatan jumlah
leukosit di atas 2.000/mm3. Analisis ini sekaligus digunakan
untuk menyingkirkan adanya artropati Kristal.
• Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini berupa
pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-
articular dan erosi pada bare area tulang. Keadaan lanjut
terlihat penyempitan celah sendi, osteoporosis difus, erosi
meluas sampai daerah subkondral
• Biopsy sinovium/nodul rheumatoid
13. Terapi  Penyuluhan

 Proteksi sendi, terutama pada stadium akut

 Obat antiinlamasi non-steroid

 Obat remitif (DMARD), misalnya :


- Klorokuin dengan dosis 1x250mg/hari
- Metotreksat dosis 7,5-20mg sekali seminggu
- Salazopirin dosis 3-4x500 mg/hari
- Garam emas per oral dosis 3-9mg/hari, atau subcutan dosis
awal 10g, dilanjutkan seminggu kemudian dengan dosis
25mg/minggu, dan dinaikkan menjadi 50mg/minggu selama
20 minggu, selanjutnya diturunkan setiap 4 minggu sampai
dosis kumulatif 2 g.
 Glukokartikoid, dosis seminimal mungkin dan sesingkat
mungkin, untuk mengatasi keadaan akut atau kekambuhan.
Dapat diberikan prednisone dengan dosis 20mg dosis terbagi
dan segera tapering off.
 Bila terdapat peradangan yang terbatas hanya pada 1-2 sendi,
dapat diberikan injeksi steroid intraartikular seperti
triamcinolone acetonide 10 mg atau metilprednisolon 20- 40
mg.
 Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis
 Operasi untuk memperbaiki deformitas
14. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
15. Prognosis Bonam
16. Tingkat Evidens IV
17. Tingkat Rekomendasi C
18. Indikator Medis
24
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

25
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

LUPUS
1. Pengertian (Definisi) Penyakit autoimun yang ditandai produksi antibody terhadap
komponen-komponen inti sel yang mengakibatkan
manifestasi klinis yang luas
2. Anamnesis 1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Ulserasi dimulut atau nasofaring
4. Kelainan neurologi, kejang- kejang atau psikosis
3. Pemeriksaan Fisik Ruam/eritema pada daerah malar, ulkus pada rongga mulut
atau orofaring, efusi pleural, pembengkakan atau efusi sendi,
dan tergantung organ mana yang terlibat
4. Kriteria Diagnosis 1. Fotosensitivitas
2. Artritis
3. Serositis (Pleuritis atau pericarditis)
4. Kelainan ginjal (proteinuria > 0,5 g/hari, atau slinder sel)
5. Kelainan hematologi, anemia hemolitik, atau leukopenia,
atau limfopenia, atau trombopenia.
6. Kelainan imunologik, sel LE positif atau anti DNA posistif,
atau anti Sm positif, tes serologis untuk sifilis positif palsu.
7. Antibody antinuclear (ANA) positif
5. Diagnosis Kerja Lupus
6. Diagnosis Banding Mixed connective tissue disease, sindrom vaskulitis
7. Pemeriksaan Penunjang • LED, CRP
• C3 dan C4
• ANA, ENA (anti dsDNA dsb)
• Coomb test, bila ada AIHA
• Biopsi kulit
8. Terapi • Penyuluhan
• Proteksi terhadap sinar matahari, sinar ultraviolet, dan sinar
fluorescein
• Pada manifestasi non-organ vital (kulit, sendi, fatigue) dapat
diberikan klorokuin 4mg/kgBB/hari
• Bila mengenai organ vital, berikan prednisone 1-1,5
mg/kgBB/hari selama 6 minggu, kemudian tapering off
• Bila terdapat peradangan terbats pada 1-2 sendi, dapat

26
diberikan injeksi steroid intraartikularkan

27
• Pada kasus berat atau mengancam nyawa dapat diberikan
metilprednison 1gr/ hari IV selama 3 hari berturut-turut, lalu
prednisone 40-60 mg/hari per oral
• Bila pemberian glukokortikoid selama 4 minggu tidak
memuaskan, maka dimulai pemberian immunosupresif lain,
missal sikloofosfamid 500-1000 mg/m2 sebulan sekali selama 6
bulan, kemudian tiap 3 bulan sampai 2 tahun.
•Imunosupresan lain yang dapat diberikan adalah azatioprin,
siklosporin-A
9. Edukasi  Mengkomunikasikan, menginformasikan, dan
(Hospital Health Promotion) mengedukasikan tentang penyakit, pengobatan, dan
prognosisnya
 Istirahat yang cukup
 Hindari stress mentalmaupun fisik yang berlebihan
 Hindari paparan sinar matahari yang terlalu banyak
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

28
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

ARTRITIS SEPTIK
1. Pengertian (Definisi) artritis yang disebabkan oleh adanya infeksi berbagai
mikroorganisme (bakteri, non-gonokokal)
2. Anamnesis  Nyeri sendi, nyeri tekan, hangat, gerakan
terbatas,gangguan fungsi.
3. Pemeriksaan Fisik Sendi terasa hangat, merah, bengkak
4. Kriteria Diagnosis • Nyeri sendi akut, umumnya monoartikular
• Umumnya terdapat penyakit lain yang mendasari
• Ditemukan bakteri dari kultur cairan sendi
5. Diagnosis Kerja Artritis septik
6. Diagnosis Banding Artritis gonokokal, bursitis septic
7. Pemeriksaan Penunjang • Analisis cairan sendi
• Pewarnaan gram dan kultur cairan sendi
• Radiografi sendi yang terserang
• LED, CRP, leukosit darah
• Kultur darah, bila ada tanda-tanda sepsis
8. Terapi • Aspirasi cairan sendi
• Antibiotik berspektrum luas sebelum ada hasil kultur dan
diubah setelah hasil kultur diperoleh
• Drainase sendi yang terinfeksi
• Indikasi tindakan bedah adalah infeksi koksa pada anak- anak,
infeksi mengenai sendi yang sulit dilakukan drainase secara
adekuat, terdapat bukti osteomilietis, infeksi
berkembang ke jaringan lunak sekitarnya.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli
29
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

DEMAM BERDARAH DENGUE


1. Pengertian (Definisi) Demam berdarah dengue merupakan penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk aedes aegeypty dan aedes albopictus serta memenuhi
kriteria WHO untuk demam berdarah dengan
dengue (DBD)
2. Anamnesis  Demam tinggin mendadak tanpa sebab yang jelas,
berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari
3. Pemeriksaan Fisik  Pembesaran hati

 Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba,


penyempitanan tekanan nadi (20 mmhg), hipotesis sampai
tidak terukur kaki dan tanggan tidak terukur
4. Kriteria Diagnosis • Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya
bifasik
• Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut ini :
- Uji toniquet posistif (>20 petekie dalam 2,54 cm2)
- Petekie, ekimosis, atau purpura
- Perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas suntikan, atau
tempat lain
- Hematemesis atau melena
• Trombositopenia (≤ 100.000/mm2)
• Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage :
- Hematocrit meningkat ≥ 20% disbanding hematocrit rata-
rata pada usia, jenis kelamin, dan populasi yang sama
- Hematocrit turun hingga ≥ 20% dari hematocrit awal,
setelah pemberian cairan
- Terdapat efusi pleura, efusi perikard, asites, dan
hipoproteinemia
5. Diagnosis Kerja Demam berdarah dengue
6. Diagnosis Banding Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia
7. Pemeriksaan Penunjang Hb, Ht, leukosit, trombosit, serologi dengue

30
8. Terapi Nonfarmakologis : tirah baring, makanan lunak
Farmakologis :
• Simtomatis : antipiretik parasetamol bila demam
• Tatalaksana terinci :
- Cairan intravena : Ringer laktat atau ringer asetat 4-6
jam/kolf koloid/plasma ekspander pada DBD stadium III
dan IV bila diperlukan
- Tranfusi trombosit dan komponen darah sesuai
indikasi
- Pertimbangan heparinisasi pada BDB stadium III
atau IV dengan koagulan intravascular diseminata
(KID)
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

31
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

DEMAM TIFOID
1. Pengertian (Definisi) merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh
infeksi kuman salmonella typhi atau salmonella partatyphi.
2. Anamnesis demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam
menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam
terutama sore/malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare.
3. Pemeriksaan Fisik Febris menigkat perlahan terutama sore hingga malam hari,
kesadaran berkabut, bradikardia relative (peningkatan suhu 1C
tidak diikiuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang
berselaput (kotor ditengah, tepid an ujung merah, serta tremor),
hepatomegaly, splenomegaly, nyeri abdomen, roseolae (jarang
pada orang Indonesia)
4. Kriteria Diagnosis  Demam
 Gejala seperti diatas
 Laboratorium :
 Darah lengkap: lekopeni, lekositosis, atau lekosit normal, atau
aneosinofilia, limfopenia, gangguan funsi hati,
 Penningkatan titer uji widal tunggal dengan titer antibodi O
1/320 atau H I/640 disertai gambaran klinis khas menyokong
diagnosis
 Hepatitis tifosa
bila memenuhi 3 atau lebih kriteria khosla (1990):
hepatomegali, ikterik, kelainan labnoratorium ( antara lain
: peningkatan bilirubin, peningkatan SGOT/SGPT, penurunan
indeks PT)
 Tifoid karier
ditemukanya kuman salmonella typhi dalam biakan feses
atau urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada
seseorang setelah 1 tahun pasca-demam tifoid
5. Diagnosis Kerja Demam Tifoid
6. Diagnosis Banding Infeksi virus, malaria
7. Pemeriksaan Penunjang Darah perifer lengkap, widal dan kultur organisme, uji
TUBEX, tes fungsi hati, serologi, kultur darah (biakan
empedu)

32
33
8. Terapi Nonfarmakologis : tirah baring, makan lunak rendah serat
Farmakologis :
• Simtomatis
• Antimikroba :
- Pilihan utama : kloramfenikol 4x500 mg sampai dengan 7
hari bebas demam
Alternatif lain :
- Tiamfenikol 4x500mg (komplikasi hematologi lebih rendah
dibandingkan kloramfenikol)
- Kotrimoksazol 2x2 tablet selama 2 minggu
- Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2
minggu
- Sefalosporin generasi III; yang terbukti efektif adalah
seftriakson 3-4 gram dalam dextrose 100cc selama ½ jam
per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula
diberikan sefotaxim 2-3x1 gram, sefoperazon 2x1 gram.
- Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau
menjelang hari atau menjelang hari ke IV) :
- Norfloksasin 2x400mg/hari selama 14 hari
- Ciprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari
- Oflokasasin 2x400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin 400mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
• Pada kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai gangguan
kesadaran dengan atau tampak kelainan neurologis lainnya
dan hasil pemeriksaan cairan dan otak masih dalam batas
normal) langsung diberikan kombinasi kloramfenikol
4x500mg dengan ampisilin 4x1 gram dan deksametason 3x5
mg
• Kombinasi antibiotik hanya diindikasikan pada toksik tifoid,
peritonitis atau perforasi, renjatan septik
• Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam
tifoid yang mengalami renjatan septik dengan
dosis 3x5 mg
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Baik. Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/ tidak
adekuat atau ada komplikasi berat, prognosis
meragukan/buruk.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :


34
dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul
Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

35
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

LEPTOSPIROSIS
1. Pengertian (Definisi) Penyakit zoonosis yang disebabkan olehspirokaeta pathogen
dari family Leptospiraceae
2. Anamnesis  Riwayat kontak dengan urin, serta air, tanah, atau
makanan yang terkontaminasi urin dari hewan yang
terinfeksi
 Demam tinggi

 Mengigil

 Sakit kepala

 Nyeri otot

 Mual

 Muntah

 Diare
3. Pemeriksaan Fisik  Injeksi konjuntiva

 Ikterik

 Fotofobia

 Hepatomegaly

 Splenomegali

 Penurunan kesadaraan
4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Kerja Leptospirosisi


6. Diagnosis Banding Hepatitis tifosa, icterus obstruktif, malaria, kolangitis,
hepatitis fulminant
7. Pemeriksaan Penunjang DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amylase,
lipase, serologi leptospira
MAT (mikroaglutinasi test)
8. Terapi Nonfarmakologis
Tirah baring, makanan/cairan tergantung pada komplikasi
organ yang terlibat
Farmakologis
• Simtomatis
• Antimikroba pilihan adalah pilihan utama : Penisilin G
4x1,5 juta unit selama 5-7 hari, alternatifnya tetrasiklin,
eritromisin, doksisiklin, sefalosporin generasi III,

36
fluorokuinolon

37
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

38
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK


1. Pengertian (Definisi)  Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS)
yang disebabkan oleh infeksi.
 Renjatan (syok) septik : sepsis dengan hipotensi, ditandai
dengan penurunan TDS < 90 mmHg atau penurunan > 40
mmHg dari TD awal, tanpa adanya obat-obatan yang dapat
menurunkan TD
 Sepsis berat : gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi
organ termasuk penurunan kesadaran, gangguan fungsi hati,
ginjal, paru-paru, dan asidosis metabolik
2. Anamnesis  Suhu badan >380C atau <36oC

 Frekwensi denyut jantung > 90x/menit

 Frekwensi pernafasan > 24x/menit atau PaCO2<32

 Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3, atau


adanya> 10% sel batang
3. Pemeriksaan Fisik  Hipotensi

 Sianosis

 Nekrotik iskemik jaringan perifer khususnya jari.


4. Kriteria Diagnosis 1. SIRS ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut :
 Suhu badan >380C atau <36oC

 Frekwensi denyut jantung > 90x/menit

 Frekwensi pernafasan > 24x/menit atau PaCO2<32

 Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3, atau


adanya> 10% sel batang
2. Ada focus infeksi yang bermakna
5. Diagnosis Kerja Sepsis dan rejatan septik
6. Diagnosis Banding Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
7. Pemeriksaan Penunjang DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amylase,
lipase, serologi leptospira
MAT (mikroaglutinasi test)
8. Terapi  Eradikasi focus infeksi

 Antimikroba empiric diberikan sesuai dengan tempat infeksi,


dugaan kuman penyebab, profil antimikroba

39
(farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan fungsi ginjal
dan fungsi hati.
Antimikroba definitif diberikan bila hasil kultur
mikroorganisme telah diketahui, antimkikroba dapat diberikan
sesuai hasil uji kepekaan mikroorganisme
 Suportif : resusitasi ABC, oksigenisasi, terapi cairan,
vesopresor/inotropic, dan transfuse (sesuai indikasi) pada
renjatan septik diperlukan untuk mendapatkan respons
secepatnya.
- Resusitasi cairan. Hipovolemia pada sepsis segera diatasi
dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid. Volume
cairan yang diberikan mengacu pada renjatan respons klinis
(respons terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan
frekwensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan
ekstremita, produksi urin dan perbaikan kesadaran) dan
perlu diperhatikan ada tidaknya tanda kelebihan cairan
(peningkatan tekanan vena jugularis, ronki, gallop S3, dan
penurunan saturasi oksigen), sebaiknya dievaluasi dengan
CVP (dipertahankan 8-12 mmHg), dengan
mempertimbangkan kebutuhan kalori perhari.
- Oksigenasi sesuai kebutuhan, ventilator diindikasikan pada
hipoksemia yang progresif, hiperkapnia, gangguan
neurologis, atau kegagalan otot pernafasan.
- Bila dehidrasi cukup terapi pasien tetap hipotensi, diberikan
vasoaktif untuk mencapai tekanan darah sistolik ≥ 90
mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin dengan dosis >
8µg/kgBB/menit, norepinefrin 0,03-1,5 µg/kbBB/menit
fenilefrin 0,5-8µg/kgBB/menit, atau epinefrin 0,1-0,5
µg/kgBB/menit. Bila terdapat disfungsi miokard, dapat
digunakan inotropic seperti dobutamin dengan dosis 2-28
µg/kgBB/menit, dopamine 3-8µg/kgBB/menit, epinefrin
0,1-0,5 mcg/kgBB/menit, atau fosfodiesterase inhibitor
(amrinon dan milrinom)
- Transfuse komponen darah sesuai indikasi
- Koreksi gangguan metabolic : elektrolit, gula darah, dan
asidosis metabolic (secara empiris dapat diberikan bila
pH<7,2 atau bikarbonat serum <9mEq/l, dengan disertai
upaya perbaikan hemodinamik)
- Nutrisi yang adekuat
- Terapi suportif terhadap gangguan funsi ginjal
- Kortikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal

40
- Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya
tromboemboli, dapat diberikan heparin dengan dosis 100
IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 IU/kgBB/jam dengan
infus kontiniu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai
target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau antikoagulan lainnya.

9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

41
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

FEVER OF UNKNOW ORIGIN


1. Pengertian (Definisi)  Fever of unknown origin (FUO) klasik adalah demam > 38,3C
selama lebih dari 3 minggu, sudah dilakukan pemeriksaan
intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali
kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan
penyebab demam. Penyebab : infeksi, neoplasma, penyakit
kolagen dan vascular
 FUO pada pasien HIV adalah demam >38,30C selama 4
minggu atau lebih pada pasien rawat jalan atau minimal 4 hari
pada pasien yang dirawat hasil pertumbuhan mikroorganisme
negative dari dugaan focus infeksi. Penyebab : infeksi, obat,
sarcoma, limfoma
 FUO pada pasien neutropenia (jumlah lekosit PMN <
500/mm3) adalah demam >38,30C, dalam 3 hari perawatan
pertumbuhan mikroorganisme masih negative dari dugaan
focus infeksi, penyebab : infeksi
 FUO pada geriatric adalah demam > 38,30C, dalam 3 hari
perawatan atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan
belum dapat ditentukan penyebab dari demam. Penyebab :
neoplasma, penyakit kolagen, infeksi
 FUO pada pasien pediatric (usia < 18 tahun) adalah demam
> 38,30C selama lebih dari 8 hari, sudah dilakukan
pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau
minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum
dapat ditentukan penyebab demam. Penyebab : infeksi,
penyakit kolagen, neoplasma
 FUO pada pasien nosocomial demam> 38,30C timbul pada
pasien yang dirawat di RS dan pada saat mulai dirawat serta
pada masa permulaan perawatan tidak terjangkit infeksi,
penyebab demam tidak diketahui dalam waktu 3 hari termasuk
hasil pertumbuhan mikroorganisme negative dari dugaanfokus
infeksi. Penyebab : infeksi
 FUO iatrogenic adalah demam > 38,30C akibat penggunaan
obat : penisilin, sefalosporin, sulfonamide, atropine, feniton,
prokainamida, amfoterisin,interferon,

42
interleukin, rifampisin, INH, makrolida, klindamisin,

43
2. Anamnesis  Riwayat penyakit secara terperinci : pola demam, ada tidaknya
infeksi saluran nafas atas, infeksi saluran nafas bawah, kaku
leher, nyeri perut, dysuria atau sakit pinggang, diare, abses
atau radang tonsil dan otot, nyeri dan pembengkakan sendi,
atau tanpa kelainan spesifik
 Riwayat pekerjaan, perjalanan, kontak dengan orang sakit atau
hewan, trauma fisik atau bedah, obat-obatan (termasuk rokok,
alcohol, narkoba)keadaan kulit pasien,
kelenjar getah bening, lubang orifices pasien
3. Pemeriksaan Fisik demam ( suhu axilar ˃ 37.8⁰C
4. Kriteria Diagnosis demam lebih dari 7 hari tanpa focus yang jelas
5. Diagnosis Kerja Fever of unknoew origin
6. Diagnosis Banding Infeksi, penyakit kolagen, neoplasma, efek samping obat
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan hematologi, kimia darah, UL, mikrobiologi,
imunologi, radiologi, EKG, biopsy jaringan tubuh, pencitraan,
sidikan (scanning), endoskopi/peritoneoskopi, angiografi,
limfografi, tindakan bedah (laparatomi percobaan), uji
pengobatan
8. Terapi • Simtomatis
• Uji terapeutik dengan antibiotika, kortikosteroid, atau obat
antiinflamasi non-steroid tidak dianjurkan kecuali bila penyakit
progresif dan potensial fatal sehingga terapi empirik diperlukan.

9. Edukasi Memberikan pemahaman tentang pemeriksaan dan terapi


(Hospital Health Promotion)
yang harus dilakukan
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 1. 90 % pasien fever of unknow origin dirawat selama 10-14
hari, bila ditemukan penyebabnya adalah keganasan maka
pasien dirawat sesuai dengan clinical pathway hematologi-
onkologi; bila sepsis maka langsung mengikuti clinical
pathway sepsis; bila sepsis maka langsung mengikuti clinical
pathway neurologi anak;
2. Perpindahan penangana berdasarkan clinical pathway baru
dihitung dari perawatan sejak kepindahan BUKAN sejak awal
dirawat

44
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

45
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

MALARIA
1. Pengertian (Definisi) Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
parasite plasmodium falsiparum, plasmodium vivax, plasmodium
ovale, atau plasmodium malariae dan ditularkan
melalui gigitan nyamuk anopheles
2. Anamnesis riwayat demam intermiten atau terus menerus , riwayat dari atau
pergi kedaerah endemik malaria, trias malaria (keadaan
menggigil yang diikuti dengan demam dan kemudian timbul
keringat yang banyak; pada daerah endemik malaria, trias
malaria mungkin tidak ada, diare dapat merupakan gejala
utama )
3. Pemeriksaan Fisik  Konjungtiva pucat

 Sclera ikterik

 splenomegaly
4. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosis menurut WHO 2010 :
- Malaria resiko rendah : diagnosis klinis malaria inkomplikata
sebaiknya berdasarkan kemungkinan terpapar malaria dan riwayat
demam dalam 3 hari terakhir tanpa ada tanda penyakit akut
lainnya.
- malaria resiko tinggi : diagnosis klinis sebaiknya berdasarkan
keluhan demam selama 24 jam terakhir dan/atau
adanya anemia.
5. Diagnosis Kerja malaria
6. Diagnosis Banding Infeksi virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminant,
leptospirosis, ensefalitis
7. Pemeriksaan Penunjang Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes
fungsi ginjal, tes fungsi hati, gula darah, UL, AGD, elektrolit,
hemostasis, rontgen toraks, EKG
8. Terapi I. Infeksi P.vivax atau P.ovale
a. Daerah sensitive klorokuin :
Klorokuin basa 150mg :
Hari I : 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian) Hari II
dan III : 2 tablet atau
Hari I dan II : 4 tablet
Hari III : 2 tablet
Terapi radikal : ditambah primakuin 1x15 mg selama
14 hari
46
47
Bila gagal dengan terapi klorokuin, kina sulfat 3 x 400-
600mg/hari selama 7 hari
b. Daerah resisten klorokuin
Kina 3x400-600 mgselama 7 hari
Terapi radikal : ditambah primakuin 1x15 mg selama 14
hari
II. Infeksi P.falciparum ringan/sedang, infeksi campur
P.falciparum dan P.vivax
 Artemisin
Hari I : 4 tablet (200mg) Hari
II : 4 tablet (200mg) Hari III : 4
tablet (200mg)
 Amodiaquin
Hari I :4 tablet (600mg) Hari II :
4 tablet (600mg) Hari III : 4
tablet (600mg)
 Klorokuin basa 150mg :
Hari I : 4 tablet + 2tablet (6jam kemudian) Hari
II : 2 tablet
Hari III : 2 tablet atau
Hari I : 4 tablet
Hari II : 4 tablet Hari
III : 2 tablet
 Bila perlu ditambah terapi radikal : ditambah
primakuin 45mg (3 tablet) (dosis tunggal); infeksi
campur : primakuin 1x15 mg selama 14 hari  bila
resistaen dengan pengobatan tersebut : SP3 tablet
(dosis tunggal) atau kina sulfat 3x400- 600mg/hari
selama 7 hari
II. Malaria berat
 Artesunate iv/im 2,4 mg/kgBB diberikan pada jam ke-
0, 12, 24, dilanjutkan satu kali per hari.
 Drip kina HCL 500mg (10 mg/kgBB) dalam 250-
500ml D5% diberikan dalam 6-8 jam (maksimum
2000mg) dengan pemantauan EKG dan kadar gula
darah tiap 8-12 jam sampai pasien dapat minum obat
peroral atau sampai hitung parasite malaria sesuai
target (total pemberian parenteral dan per oral selama
7 hari dengan dosis per oral
10mg/kgBB/24 jam diberikan 3 kali sehari)

48
 Pengobatan dengan kina dapat dikombinasikan
dengan tetrasiklin 94 mg/kgBB diberikan 4 kali
sehari atau doksisiklin 3mg/kgBB sekali sehari
9. Edukasi Klorokuin basa 5 mg/KgBB, maksimal 300 mg/minggu diminum
(Hospital Health Promotion) tiap minggu sejak 1 minggu sebelum masuk daerah endemik
sampai dengan 4 minggu setelah setelah meninggalkan daerah
endemik atau doksisiklin 1,5 mg/kgBB/hari dimulai 1 (satu) hari
sebelum pergi ke daerah endemis malaria hingga 4 minggu
setelah meninggalkan
daerah endemis.
10. Prognosis Malaria falsiparum ringan/sedang, malaria vivax, atau malaria
ovale : bonam, malaria berat : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

49
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

INTOKSIKASI OPIAT
1. Pengertian (Definisi) Intoksikasi opiate merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat
golongan opiate yaitu morfin, petidin, heroin,
pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan
2. Anamnesis informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat
yang ada
3. Pemeriksaan Fisik  Ppupil miosis – pin point pupil

 Defresei nafas

 Penurunana kesadaran

 Nadi lemah

 Hipotensi

 Tanda edema paru

 Needle track sign

 Sianosis

 Spasme saluran cerna dan biler

 Kejang
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis : informasi mengenai seluruh obat yang digunakan,
sisa obat yang ada
Pemeriksaan Fisis : pupil miosis –pin point pupil, depresi nafas,
penurunan kesadraan, nadi lemah, hipotensi, tanda edema paru,
needle track sign, sianosis, spasme saluran cerna dan biler, kejang
Laboratorium : opiate urin positif atau kadar dalam darah
tinggi
5. Diagnosis Kerja intoksikasi opiat
6. Diagnosis Banding Intoksitasi obat sedative : barbiturate, benzodiazepine, etanol
7. Pemeriksaan Penunjang Opiat urin/darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks
8. Terapi 1. Penanganan kegawatan : resusitasi A-B-C (airway,
breathing, circulation) dengan memperhatikan prinsip
kewaspadaan universal. Bebaskan jalan nafas, biarkan oksigen
sesuai kebutuhan, pemasangan infus, dan pemberian cairan
sesuai kebutuhan.
2. Pemberian antidote nalokson
1. Tanpa hipoventilasi : dosis awal diberikan 0,4 mg
intravena pelan-pelan atau diencerkan
50
51
2. Dengan hipoventilasi : dosis awal diberikan 1-2 mg
intravena pelan-pelan atau diencerkan
3. Bila tidak ada respon, diberikan nalokson 1-2 mg
intravena tiap 5-10 menit hingga timbul respon (perbaikan
kesadaran, hilangnya depresi pernafasan, dilatasi pupil)
atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg. bila tetap
tidak ada respon, diagnosis intoksikasi opiate perlu dikaji
ulang.
4. Efek nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan pasien
dapat jatuh kedalam keadaan overdosis kembali, sehingga
perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran, dan
perubahan pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat
diberikan drip nalokson satu ampul dalam 500 ml D5%
atau NaCl 0,9% diberikan dalam 4-6jam.
5. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiate urin dan
lakukan foto thoraks
6. Pertimbangan pemasangan pipa endo trakeal bila :
pernafasan tidak adekuat setelah pemberian nalokson yang
optimal, oksigenisasi kurang meski ventilasi cukup, atau
hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson
yang optimal
7. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi
akibat spasme pilorik, bila diperlukan dapat dipasang
NGT untuk mencegah aspirasi atau lambung pada
intoksikasi opiate oral
8. Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi
peroral dengan memberikan 240ml cairan dengan 30 gram
charcool, dapat diberikan sampai 100 gram
9. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam intravena 5-
10 mg dan dapat diulang bila perlu
Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana
rehabilitasi
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

52
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

53
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT
1. Pengertian (Definisi) Intoksikasi organofosfat merupakan intoksikasi akibat zat
yang mengandung organofosfat
2. Anamnesis riwayat minum/ kontak dengan zat yang mengandung
organofosfat, muntah
3. Pemeriksaan Fisik  Bradikardia

 Pupil miosis

 Penurunan kesadaran

 Tanda – tanda aspirasi


4. Kriteria Diagnosis • Anamnesis : riwayat minum/ kontak dengan zat yang
mengandung organofosfat, muntah
• Pemeriksaan fisis: bradikardia, pupil miosis, penurunan
kesadaran, tanda-tanda aspirasi
• Laboratorium : pemeriksaan bahan muntah atau darah
mengandung organofosfat
5. Diagnosis Kerja intoksikasi organofosfat
6. Diagnosis Banding intoksikasi karbamat, perdarahan pontin
7. Pemeriksaan Penunjang DPL, elektrolit, rontgent toraks, EKG, pemeriksaan
organofosfat
8. Terapi •Bilas lambung melalui NGT
•Atropinisasi
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

54
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

SINDROM NEFROTIK
1. Pengertian (Definisi) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang
ditandai dengan proteinuria massif > 3,5 gram/24 jam/1,73m2
disertai hipoalbuminemia, edema anasarka,
hyperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas
2. Anamnesis bengkak seluruh tubuh, buang air kecil keruh
3. Pemeriksaan Fisik  Edema anasarka

 Asites
4. Kriteria Diagnosis gejala klasik SN ditandai dengan edema, proteinuria berat,
hpoalbuminemia, hperkolestrolemia, dan lipiduria. ²SN dapat
bermanisfestasi dengan spektrum keluhan yang luas, mulai dari
proteinuria asimtomatik sampai keluhan yang sering yaitu
bengkak
5. Diagnosis Kerja sindrom nefrotik
6. Diagnosis Banding Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi,
diagnosis etiologi SN
7. Pemeriksaan Penunjang Urinalis, ureum, kreatinin, tes fungsi hati, profil lipid, DPL,
elektrolit, gula darah, hemostasis, pemeriksaan imunologi,
biopsy ginjal, protein urin kuantitatif
8. Terapi Nonfarmakologis :
 Istirahat

 Restriksi protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB


ideal/hari+ ekskresi protein dalam urin/24 jam. Bila fingsi
ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6
gram/kgBB ideal/hariekskesi protein dalam urin/ 24 jam
 Diet rendah kolestrol <600mg/hari

 Berhenti merokok

 Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema


Farmakologis :
 Pengobatan edema : diuretik loop

 Pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE


dan/antagonisb reseptor angiotensin II
 Pengobatan dislipedemia dengan golongan statin

55
 Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah
<125/75 mmHg. Penghambat ACE dan antagonis reseptor
angiotensin II sebagai pilihan obat utama
 Pengobatan kausal sesuai etiologi SN (lihat topik
penyakit glomerular)
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Tergantung jenis kelainan glomerular
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

56
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS Diketahui
Oleh :

PENYAKIT GLOMERULAR
1. Pengertian (Definisi) merupakan penyakit ginjal berupa peradangan pada Diketahui
Oleh :
glomerulus dan dapat dibedakan menjadi penyakit glomerular
primer atau sekunder.
2. Anamnesis Warna urine, keluhan penyertan : lemas, bengkak, sesak,
kadang terdapat sindroma uremik : mual, muntah.
3. Pemeriksaan Fisik Dapat ditemukan hipertensi dan edema anasarka
4. Kriteria Diagnosis Manifestasi klinis peyakit glomerular dapat berupa : dr.
Alemina
1. Sindrom nerotik Ginting,
Sp.A
2. Hematuria parsisten dr.
3. Proteinuria persisten Syaiful M.
Sitompul
4. Sindrom nefritik (hipertensi, hematuria, azotemia) Komite
Medik
5. Rapid progressive glomerulonephritis (RPGN) RSU
5. Diagnosis Kerja Penyakit glomerular Martha
Friska
6. Diagnosis Banding Etiologi dari penyakit glomerular Multatuli
7. Pemeriksaan Penunjang Urinalisis, ureum, kreatinin, protein urin kuantitatif/24 jam, Direktur
RSU
pemeriksaan imunologi, biopsy ginjal, gula darah, tes fungsi Martha
hati. Friska
Multatuli
8. Terapi Sesuai etiologi, penyakit glomerular primer :
1. Kelainan minimal :
 Steroid yang setara dengan prednisone 60mg/m2
(maksimal 80mg) selama 4-6 minggu
 Setelah 4-6 minggu dosis prednisone diberikan 40 mg/m2
selang sehari selama 4-6 minggu
- Bila terjadi relaps : dosis prednisone kembali
60mg/m2(maksimal 80mg) setiap hari sampai
3 hari bebas protein dalam urin, kemudian kembali
selang sehari dengan dosis 40 mg/m2 selama 4 minggu.
- Bila sering relaps (≥2kali) : prednisone selang sehari
ditambah dengan siklofosfamid 2 mg/kgBB atau
klorambusil 0,15mg/kgBB selama 8 mimggu. Bila
gagal, diberikan siklosporin 5mg/kgBB selama 6-12
bulan
- Bila tergantung steroid (relaps terjadi pada saat dosis
steroid diturunkan atau dalam 2 minggu
pasca obat sudah dihentikan, 2kali berturut-

57
turut : siklofosfamid 2mg/kgBB selama 8-12
minggu. Bila gagal, diberikan siklosporin
5mg/kgBB selama 6-12 bulan
- Bila resisten terhadap steroid, diberikan siklosporin
5mg/kgBB selama 6-12 bulan
2. Glomerulonephritis fokal segmental :
 Steroid yang setara dengan prednisone 60mg/hari
selama 6 bulan
- Bila resisten atau tergantung steroid : siklosporin
5mg/kgBB selama 6 bulan
- Bila terjadi remisi, dosis siklosporin diturunkan
25 % setiap 2 bulan
- Bila gagal, siklosporin dihentikan
3. Nefropati membranosa :
 Metil prednisolon bolus intravena 1 gram/hari selama
3 hari
 Kemudian diberikan steroid yang setara dengan
prednisone 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan lalu
diganti dengan klorambusil 0,2 mg/kgBB/hari selama
1 bulan
 Prosedur kedua diulang kembali sampai seluruhnya
dari prosedur kedua sebanyak 3 kali
4. Glomerulonephritis membranoproliferatif
 Steroid tidak terbukti efektif pada pasin dewasa

 Dianjurkan pemeberian aspirin 325 mg/hari atau


dipiridamol 3x75-100mg/hari atau kombinasi
keduanya selama 12 bulan. Bila dalam 12 bulan tidak
memberikan respon, pengobatan dihentikan sama
sekali.
5. Nefropati IgA
 Bila proteinuria < 1gram, hanya observasi

 Bila proteinuria 1-3 gram, dengan fungsi ginjal


normal, hanya observasi. Bila dengan gangguan
fungsi ginjal, diberikan munyak ikan
 Bila proteinuria>3 gram dengan
CCT>70ml/menit, diberikan steroid yang setara
dengan prednisone 1 mg/kgBB selama 2 bulan lalu
tapering off secara perlahan sampai dengan 6 bulan.
Bila CCT<70ml/menit, hanya diberikan
58
minyak ikan

59
 Suplementasi kalsium selama terapi dengan
steroid
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam
Tergantung jenis kelainan glomerular
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

60
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

HIPERTENSI
1. Pengertian (Definisi) adalah keadaan tekanan darah yang sama atau melebihi 140
mmHg sistolik dan/atau sama atau melebihi 90mmHg diastolic
pada seseorang yang tidak sedang makan obat
antihipertensi.
2. Anamnesis  Jantung : hipertrofi ventrikel kiri, angina atau riwayat infark
miokard, riwayat revascularisasi koroner, gagal jantung
 Otak: strok atau transient ischemic attack (TIA)

 Penyakit ginjal kronik

 Penyakit arteri perifer

 Retinopati
3. Pemeriksaan Fisik  Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk
menghindarkan kelainan pembuluh darah perifer
 Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri
diindikasikan pada pasien dengan resiko hipotensi
postural (lanjut usia, pasien DM,dll)
4. Kriteria Diagnosis Klasifikasi tekanan darah berdasarkan joint national commitee
VII:
- normal <120 TD sistolik dan <80 td diastolik
- pre-hipertensi 120-139 td sistolik atau 80-89 td diastolik
- Hipertensi stage 1 140-159 td sistolik atau 90-99 td diastolik
- hipertensi stage 2 ≥160 td sistolik atau ≥100 td diastolik
5. Diagnosis Kerja Hipertensi
6. Diagnosis Banding Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertension,
rasa nyeri, peningkatan tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat
obat,dll
7. Pemeriksaan Penunjang Urinalisis, tes fungsi ginjal, gula darah, elektrolit, profil lipid,
foto toraks, EKG, sesuai penyakit penyerta: asam urat, aktivitas
renin plasma, aldosterone, katekolamin urin, USG
pembuluh darah besar, USG ginjal, ekokardiografi.
8. Terapi  Modifikasi gaya hidup dengan target tekanan darah
<140/90 mmHg atau <130/80 pada pasien DM atau
penyakit ginjal kronis. Bila target tidak tercapai maka
diberikan obat inisial
 Obat inisial dipilih berdasarkan :
1. Hipertensi tanpa compelling indication
61
62
a. Pada hipertensi stage 1 dapat diberikan diuretik.
Pertimbangkan pemberian penghambat ACE, penyekat
reseptor beta, penghambat kalsium, atau kombinasi.
b. Pada hipertensi stage II dapat diberikan kombinasi 2 obat,
biasanya golongan diuretik, tiazid dan penghambat ACE
atau antagonis reseptor AII atau penyekat reseptor beta atau
penghambat kalsium.
2. Hipertensi dengan compelling indication. Lihat tabel
petunjuk pemilihan obat pada compelling indication.Obat
antihipertensi lain dapat diberikan bila dibutuhkan misalnya
diuretik, antagonis reseptor AII, penghambat ACE,
penyekat reseptor beta, atau penghambat kalsium.
Bila target tidak tercapat maka dilakukan optimalisasi dosis atau
ditambahkan obat lainn sampai target tekanan darah
tercapai.Pertimbangkan untuk berkonsultasi pada spessalis
hipertensi.
 Pada pengunaan penghambat ACE atau antagonis reseptor
AII:evaluasi kreatinin dan kalium serum,bila terdapat
peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus
dihentikan.
 Kondisi khusus lain:
- Obesitas dan sindrom metabolik ( terdapat 3 atau lebih
keadaan berikut; lingkar pinggang laki-laki > 102 cm atau
perempuan >89 cm,toleransi glukosa terganggu dengan
gula darah puasa ≥110 mgdl,tekanan darah minimal 130/85
mmHg, trigliserida tinggi ≥150 mg/dl,kolesterol HDL
rendah <40 mg/dl pada laki-laki atau <50 mg/dl pada
perempuan ) - > modifikasi gaya hidup yang insentif
dengan pilihan terapi utama golongan penghambat ACE
.Pilihan lain adalah antagonis resaeptorAII, penghambat
kalsium,dan penghambat α
- Hipertrofi ventrikel kiri- tatalaksana tekanan darah yang
agresif termasuk penurunan berat badan, restriksi asupan
natrium, dan terapi dengan semua kelas antihipertensi
kecuali vasodilator langsung, hidralazin dan minoksidil

63
9. Edukasi a. Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion) b. Edukasi factor resiko
c. Edukasi gaya hidup sehat
d. Edukasi obat obatan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad
sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam
Tergantung jenis kelainan glomerular
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

64
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

GAGAL GINJAL AKUT


1. Pengertian (Definisi) adalah sindrom yang ditandai oleh penurunan laju filtrasi
glomerulus secara mendadak dan cepat (hitungan jam- minggu)
yang mengakibatkan terjadinya retensi produk sisa nitrogen
seperti ureum dan kreatinin. Peningkatan kreatinin serum
0,5mg/dl dari nilai sebelumnya, penurunan CCT hitung sampai
50% atau penurunan fungsi ginjal yang
mengakibatkan kebutuhan akan dialysis
2. Anamnesis  Pre-renal : akibat hipoperfusi ginjal (dehidrasi, perdarahan,
penurunan curah jantung dan hipopotensi oleh sebab lain)
 Renal : akibat kerusakan akut parenkim ginjal (obat, zat
kimia/toksin, iskemi ginjal, penyakit glomerular)
 Post-renal : akibat obstruksi akut traktus urinarius (batu
saluran kemih, hipertrofi prostat, keganasan ginekologis)
3. Pemeriksaan Fisik 
4. Kriteria Diagnosis  anuria (produksi urin <100mg/24 jam),

 oliguria (produksi<400ml/24 jam),

 polyuria (produksi urin >3.500 ml/24 jam)


5. Diagnosis Kerja Penyakit Ginjal akut
6. Diagnosis Banding Episode akut pada penyakit ginjal kronik
7. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium :
 Tes fungsi ginjal

 Dpl

 Urinalisis elektrolit

 Agd

 Gula darah
8. Terapi • Asupan nutrisi
- Kebutuhan kalori 30 kal/kgBB ideal/hari pada GGA
tanpa komplikasi; kebutuhan ditambah 15-20% pada
GGA berat (terdapat komplikasi/stess)
- Kebutuhan protein 0,6-0,8 gram/kgBB ideal /hari pada
GGA berat
- Perbandingan karbohidrat dan lemak 70 :30
- Suplementasi asam amino tidak dianjurkan

65
66
• Asupan cairan tentukan status hidrasi pasien, catat cairan
yang masuk dan keluar tiap hari, pengukuran BB setiap hari
bila memungkinkan, dan pengukuran tekanan vena sentral
bila ada fasilitas
- Hipovolemia : rehidrasi sesuai kebutuhan
- Bila akibat perdarahan diberikan transfuse darah PRC
dan cairan isotonic, hematocrit, dipertahankan sekitar
30%
- Bila akibat diare, muntah, atau asupan cairan yang
kurang dapat diberikan cairan kristaloid
- Normovolemia : cairan seimbang (input=output)
- Hypervolemia : restriksi cairan (input<output)
- Fase anuria/oliguria :cairan seimbang ; fase polyuria:2/3
dari cairan yang keluar
Dalam keadaan insensible water loss yang normal, pasien
membutuhkan 300.500ml electrolite free water perhari sebagai
bagian dari total cairan yang diperlukan
- Koreksi gangguan asam basa
- Koreksi gangguan elektrolit :
- asupan kalium dibatasi<50mEq/hari. Hindari makanan yang
banyak mengandung kalium, obat yang mengganggu
eksresi kalium seperti penghambat ACE dan diuretik hemat
kalium, dan cairan/nutrisi parenteral yang mengandung
kalium
- bila terdapat hipokalsemia ringan diberikan koreksi per oral
3-4 gram per hari dalam bentuk kalsium karbonat, bila
sampai timbul tetani, diberikan kalsium glukonas 10%IV
- bila terdapat hiperfosfatemia, diberikan obat pengikat fosfat
seperti aluminium hidroksida atau kalsium karbonat yang
diminum bersaman dengan makan
- Pemberian furosemide bersamaan dengan dopamine dapat
membantu pemeliharaan fase nonoligurik, tapi terapi harus
dihentikan bila tidak memberikan hasil yang diinginkan
- Indikasi dialysis :
- Oliguria
- Anuria
- Hyperkalemia (K>6,5 mEq/l)
- Asidosis berat (pH<7,1)
- Azotemia (ureum>200mg/dl)
67
- Edema paru
- Ensefalopati uremikum

68
- Pericarditis uremik
- Neuropati/miopati uremik
- Disnatremia berat (Na>160mEq/l atau
<115mEq/l)
Hipertermia
- Kelebihan dosis obat yang dapat didialisis
(keracunan)
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

69
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

KRISIS HIPERTENSI
1. Pengertian (Definisi) adalah keadaan hipertensi yang memerlukan penuruan tekanan
darah segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien
selanjutnya. Tingginya tekanan darah bervariasi, yang terpenting
adalah cepat naiknya tekanan darah. Dibagi menjadi dua :
1. Hipertensi emergency : situasi dimana diperlukan
penurunan tekanan darah yang segera dengan obat
antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan organ
target akut atau progresif.
2. Hipertensi urgency : situasi dimana terdapat peningkatan
tekanan darah yang bermakna tanpa adanya gejala yang
berat atau kerusakan organ target progresif dan tekanan
darah perlu diturunkan dalam beberapa jam.
2. Anamnesis Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat pasien,
tekanan darah rata-rata, riwayat pemakaian obat-obat
simpatomimetik dan steroid, kelainan hormonal, riwayat
penyakit kronik lain, gejala – gejala serebral, jantung, dan
gangguan penglihatan.
3. Pemeriksaan Fisik  Tekanan darah pada kedua ekstremitas,

 perabaan denyut nadi perifer,

 bunyi jantung,

 bruit pada abdomen,

 adanya edema atau tanda penumpukan cairan,

 funduskopi, dan status neurologis.


4. Kriteria Diagnosis  Pemeriksaan fisik: sesuai criteria JNC VII

 Fototoraks: kardiomegali

 ECG: LVH, perubahan segmen ST

 Echocardiografi: LVH, disfungsi diastolik ± sistolik


5. Diagnosis Kerja krisis hipertensis
6. Diagnosis Banding Penyebab hipertensi emergency :
Hipertensi maligna terakselerasi dan papilledema
 Kondisi serebrovaskular : ensefalopati hipertensi, infark otak
aterotrombotik dengan hipertensi berat, perdarahan
intraserebral, pendarahan subarahnoid, dan trauma kepala.
 Kondisi jantung : diseksi aorta akut, gagal jantung kiri
akut, infark miokard akut, pasca operasi bypass koroner.
70
71
 Kondisi ginjal : GN akut, hipertensi renovaskular, krisis
renal karena penyakit kolagen-vaskular, hipertensi berat
pasca transplantasi ginjal.
 Akibat katekolamin di sirkulasi : krisis feokromositoma,
interaksi makanan atau obat dengan MAO inhibitor,
penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme rebound
akibat penghentian mendadak obat antihipertensi,
hiperrefleksi otomatis pasca cedera korda spinalis
 Ekslampsia
 Kondisi bedah : hipertensi berat pada pasien yang
memerlukan operasi segera, hipertensi pasca operasi,
perdarahan pasca operasi dari garis jahitan vascular
 Luka bakar berat
 Epistaksis berat
 Thrombotic thrombocytopenic purpura
7. Pemeriksaan Penunjang DPL, urinalisis, ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, EKG
Pemeriksaan khusus sesuai indikasi : foto toraks,
ekokardiografi, aktivitas renin plasma, aldosterone,
metanefrin/katekolamin, USG abdomen, CT scan, dan MRI.
8. Terapi Target terapi hipertensi emergency sampai tekanan darah
diastolic kurang lebih 110 mmHg atau berkurangnya mean
arterial blood pressure 25% (pada strok penurunan hanya boleh
20% dan khusus pada strok iskemik, tekanan darah baru
diturunkan secara bertahap bila sangat tinggi > 220/130
mmHg) dalam waktu 2 jam. Setelah diyakinkan tidak ada tanda
hipoperfusi organ, penurunan dapat dilanjutkan dalam 12 – 16
jam selanjutnya sampai mendekati normal. Penurunan tekanan
darah pada hipertensi urgency dilakukan secara
bertahap dalam waktu 24 jam.
9. Edukasi a. Edukasi jenis penyakit dan perjalannya
(Hospital Health Promotion)
b. Edukasi pengobatan
c. Edukasi nutrisi/ pola hidup
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

72
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

73
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

INFEKSI SALURAN KEMIH


1. Pengertian (Definisi) infeksi bakteri yang mengenai bagian dari saluran kemih,
2. Anamnesis  Dysuria

 Sering BAK
3. Pemeriksaan Fisik  Tak bergejala

 Tak perlu intervensi lebih lanjut

 Bergejala

 Keduanya negatif

 Piuria tanpa bakteriuria

 Piuria dengan atau tanpa bakteriuria


4. Kriteria Diagnosis Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi
kuman yang multiresisten, gangguan fungsi ginjal.
5. Diagnosis Kerja Infeksi saluran kemih
6. Diagnosis Banding  Keganasan kandungan kemih

 Sistitis non bakterial


 Sistitis interstisial

 Pelvic inflammatory disease

 Pyelonefritis akut

 Uretritis

 Vaginitis
7. Pemeriksaan Penunjang urinalisis
8. Terapi trimetroprim-sulfametoksazol dosis rendah (40-200 mg) tiga
kali seminggu tiap malam, fluorokuinolon dosis rendah,
nitrofurantoin makrokristal 100 mg tiap malam. Lama
pengobatan 6 bulan dan bila perlu dapat diperpanjang 1-2 tahun
la
9. Edukasi a. Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)
b. Edukasi factor resiko
c. Edukasi gaya hidup sehat
d. Edukasi obat obatan

74
10. Prognosis ISK tanpa kelainan anatomis mempunyai prognosis lebih baik
bila dilakukan pengobatan pada fase akut yang ade kuat dan
disertai pengawasan terhadap kemungkinana infeksi berulang.
Prognosis jangka panjang pada sebagian besar penderita dengan
kelainan anatomis umumnya kurang memuaskan meskipun telah
diberikan pengobatan yang adekuat dan dilakukan koreksi bedah.
Hal ini terjadi terutama pada penderita dengan nefropati refluks.
Deteksi dini terhadap adanya kelainan anatomis, pengobatan
yang segera pada fase
akut, kerjasama yang baik.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

75
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

BATU SALURAN KEMIH


1. Pengertian (Definisi) adalah batu di traktus urinarius mencakup ginjal, ureter,
vesika urinaria
2. Anamnesis  nyeri/kolik ginjal dan saluran kemih,

 pinggang pegal,

 gejala infeksi saluran kemih,

 hematuria,

 riwayat keluarga.
3. Pemeriksaan Fisik  nyeri ketok sudut kostovertebrata,

 nyeri tekan perut bagian bawah,

 terdapat tanda balotemen.


4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis:
Nyeri/kolik ginjal dan saluran kemih, pingang pegal, gejala
infeksi saluran kemih, hematuria, riwayat keluarga
 Pemeriksaan fisik:
nyeri ketok sudut kostovebrata, nyeri tekan perut bagian
bawah, terdapat tanda balotemen
 Pemeriksaan penunjang:
nefrokalsinosis, lokasi batu : batu ginjal, batu ureter, batu
vesika, jenis batu: asam urat, kalsium, struvite
5. Diagnosis Kerja Batu saluran kemih
6. Diagnosis Banding  Nefrokalsinosis

 Lokasi batu : batu ginjal, batu ureter, batu vesika

 Jenis batu : asam urat, kalsium, struvite


7. Pemeriksaan Penunjang Urinalisis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi
ginjal, elektrolit darah (kalsium, fosfor) dan urin 24 jam
(kalsium, sitrat, oksalat, asam urat), asam urat darah,
hormone paratiroid, foto BNO-IVP, USG abdomen,
pielografi antegrad/retrograde, renogram, analisis batu.

76
8. Terapi Nanfarmakologis :
Batu kalsium : kurangi asupan garam dan protein hewani
Batu urat : diet rendah asam urat
Minum banyak (2,5 l/hari) bila fungsi ginjal masih baik.
Farmakologis :
Antispasmodic bila ada kolik
Antimikroba bila ada infeksi
Batu kalsium : kalium sitrat Batu
urat : allopurinol
Bedah :
Pielotomi
ESWL
Nefrostomi
9. Edukasi a. Penyakit dan komplikasinya
(Hospital Health Promotion)
b. Jenis pemeriksaan penunjang yang mendukung
c. Jenis tindakan yang akan dilakukan dan komplikasinya
d. Prognostik
e. Follow up
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari perawatan
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

77
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

NEFRITIS LUPUS
1. Pengertian (Definisi) Lupus eritematosus sistematik (LES) yang disertai
keterlibatan ginjal
2. Anamnesis keluhan
manifestasi klinis LES sangat beragam dan seringkali tiddak
terjadi saat bersamaaan, keluhan awal berupa:
 Kelelahan, nyeri sendi yang berpindah-pindah, rambut
rontok, ruam pada wajah, sakit kepala, demam, ruam kulit
setelah terpapar sinar matahari, gangguan kesadaran, sesak,
edema anasarka
 Keluhan-keluhan tersebut akhirnya akan berkembang sesuai
manifestasi organ yang terlibat pada LES
 Faktor risiko
pasien dengan gejala klinis yang mendukung dan memiliki
riwayat keluarga yang menderita penyakit autoimun
meningkatkan kecurigaan adanya LES
3. Pemeriksaan Fisik  Memenuhi kriteria LES menurut ACR 1982

 Diagnosis klinis ditegakkan bila pada pasien LES terdapat


proteinuria 1 gram/24 jam dengan/atau hematuria (> 8
eritrosit/LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai
30%.
 Biopsi ginjal harus dilakukan bila tidak ada kontraindikasi,
untuk menentukan pilihan pengobatan berdasarkan kelas
nefritis lupus.
4. Kriteria Diagnosis klasifikasi nefritis lupus ( WHO 1995)
 Kelas 1 : histopatologi glomeruli normal, gejala klinis
hanya proteinuria, kelainan sedimen urin tidak ada
 Kelas 2 : histopatologi perubahan pada mAngial, gejala
klinis kelas ii a: hanya proteinuria, kelainan sedimen urin
tidak ada, kelas ii b: hematuria mikroskopik dan/atau
proteinuria, tanpa hipertensi, tidak perna terjadi SN atau
gangguan fungsi ginjal
 Kelas 3 : histopatologi Glomerulonephritis fokal
segmental, Gejala Klinis Hematuria dan proteinuria pada
seluruh pasien. Hipertensi, SN, dan penurunan

78
fungsi ginjal pada sebagian pasien.

79
 Kelas 4 : histopatologi Glomerulonephritis difus, gejala
klinis Hematuria dan proteinuria pada seluruh pasien.
Hipertensi, SN, dan penurunan fungsi ginjal pada hamper
seluruh pasien.
 Kelas 5: histopatologi Glomerulonephritis membranosa
difus, gejala klinis SN pada seluruh pasien, sebagian
dengan hematuria atau hipertensi, namun fungsi ginjal
masih normal atau sedikit menurun.
 Kelas 6 : histopatologi Glomerulonephritis sklerotik
lanjut, gejala klinis Penurunan fungsi ginjal yang
lambat dengan kelainan urin yang relative normal.
5. Diagnosis Kerja nefritis lupus
6. Diagnosis Banding Glomerulonephritis oleh sebab lain
7. Pemeriksaan Penunjang Urinalisis, protein urin kuantitatif 24 jam, tes fungsi ginjal,
biopsi ginjal, albumin serum, profit lipid, komplemen C3, C4,
anti ds-DNA.
8. Terapi Tujuan pengobatan untuk memperbaiki fungsi ginjal atau
setidaknya mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah
buruk.
9. Edukasi a. Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)
b. Edukasi factor resiko
c. Edukasi gaya hidup sehat
d. Edukasi obat obatan
10. Prognosis pasien LES sangat bervariasi bergantung pada keterlibatan
organya. Sekitar 25% pasien dapat mengalami remisi selama
beberapa tahun, tetapi hal ini jarang menetap. Prognosis
buruk(50% mortalitas dalam 10 tahun) terutama berkaitan
dengan keterlibatan ginjal. Penyebab utama mortalitas
umumnya gagal ginjal, infeksi, serta tromboemboli.
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli
80
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

LIMFOMA NON- HODGKIN


1. Pengertian (Definisi) merupakan penyakit keganasan primer jaringan limfoid padat.
2. Anamnesis  Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum

 Demam

 Penurunan berat badan

 Keringat malam banyak


3. Pemeriksaan Fisik pemeriksaan histopatologi tumor : sesuai d3engan limfona
non hodgkin (LNH)
4. Kriteria Diagnosis  Riwayat pembesaran kelenjar getah bening/massa tumor di
tempat lain (tulang intra abdomen, hidung, lambung, dsb)
 Riwayat demam tanpa sebab yang jelas

 Penurunan berrat badan 10% dalam waktu 1 bulan

 Keringat malam banyak, tanpa sebab yang sesuai


 Pemeriksaan histopatologi tumor : sesuai dengan limfona
non Hodgkin (LNH)
5. Diagnosis Kerja Limfoma non- hodgkin
6. Diagnosis Banding Limfoma Hodgkin, limfadenitis, tuberkolosis,
toksoplasmosis, filariasis, tumor padat yang lain.
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan sitology kelenjar/massa tumor untuk mengetahui
LNH tersebut serta keterlibatan kelenjar lain yang membesar.
 Laboratorium : darah tepi lengkap, gula darah, fungsi hati,
fungsi ginjal
 Aspirasi dan biopsy sumsum tulang

 CT scan atau USG abdomen untuk mengetahui adanya


pembesaran kelenjar getah bening (KGB) paraaorta abdominal
atau KGB lainnya, massa tumor dalam abdomen
 Foto toraks untuk mengetahui pembesaran KGB mediastinum
 Pemeriksaan telingan hidung tenggorokan (THT) untuk
melihat keterlibatan cincin Waldeyer
 Gastroskopi bila perlu untuk melihat keterlibatan lambung
 Bone scan atau foto bone survey bila perlu untuk melihat
keterlibatan tulang
8. Terapi Derajat keganasan rendah
 Kemoterapi obat tunggal atau ganda, peroral
81
82
 Radioterapi paliatif Derajat
keganasan menengah
 Stadium I s.d IIa : radioterapi atau kemoterapi parenteral
kombinasi
 Stadium IIb s.d IV : kemoterapi parenteral kombinasi,
radioterapi berperan untuk tujuan paliatif
Derajat keganasan tinggi
 Selalu kemoterapi parenteral kombinasi (lebih agresif)
 Radioterapi hanya berperan untuk tujuan paliatif
Reevaluasi hasil pengobatan :
 Setelah sekilas kemoterapi kedua, keempat
 Setelah selesai pengobatan lengkap
9. Edukasi 1. Edukasi tentang tindakan/prosedur diagnostik yang
(Hospital Health Promotion) dilakukan, mulai yang sederhana sampai invasif/pembedahan
2. Tindakan teraupetik, misal bedah/radioterapi, prosedur dan
efek samping secara umum
3. Prognosis penyakit
4. Paliatif care/ homecare
10. Prognosis Bergantung pada derajat keganasan, tingkat penyakit bulky mass,
keadaan umum pasien dan ada tidaknya gangguan organ yang
mempengaruhi pengobatan.
 Derajat keganasan rendah : Tidak dapat sembuh, namun
dapat hidup lama
 Derajat keganasan menengah : sebagian dapat
disembuhkan
Derajat keganasan tinggi : Dapat disembuhkan, cepat
meninggal apabila tidak diobati
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

83
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

ANEMIA APLASTIK
1. Pengertian (Definisi) adalah anemia akibat aplasia sumsum tulang dimana jaringan
hemopoiesis diganti oleh jaringan lemak, dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Anemia aplastik berat
Selularitas sumsum tulang belakang <25% dan terdapat 2
dari 3 gejala berikut :
 Granulosit < 500/ul
 Trombosit < 20.000/ul
 Retikulosit < 10%
2. Anemia aplastik
 Sumsum tulang hipoplastik
 Pansitopenia dengan satu dari tiga pemeriksaan darah
seperti pada anemia aplastik berat
2. Anamnesis  Riwayat paparan terhadap zat toksik (obat, lingkungan kerja,
hobi), menderita infeksi virus 6 bulan terakhir (hepatitis,
parvovirus), pernah mendapat transfusi darah.
 Gejala anemia : rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak napas
/ gagal jantung, berkunang-kunang.
 Tanda-tanda infeksi : sering demam
 Akibat trombositopenia : perdarahan (menstruasi lama,
epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan dibawah kulit,
hematuria, buang air besar campur darah, muntah darah).
3. Pemeriksaan Fisik  Kongjungtiva pucat

 Takikardi

 Tanda pendarahan
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan beratnya, anemia aplastik dibagi 2 :
- Anemia aplastik berat
Selularitas sumsum tulang belakang <25% dan terdapat 2
dari 3 gejala berikut :
 Granulosit < 500/ul
 Trombosit < 20.000/ul
 Retikulosit < 10%
- Anemia aplastik sangat berat
 Seperti anemia aplastik berat
 Netrofil < 0.2 x 109 /L
- Anemia aplastik tidak berat

84
5. Diagnosis Kerja Anemia aplastik
6. Diagnosis Banding Mielofibrosis, anemia hemolitik, anemia defisiensi, anemia
karena penyakit kronik, anemia karena penyakit keganasan
sumsum tulang, hipersplenisme, leukemia akut.
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium : darah tepi lengkap, serologi virus

 Aspirasi dan biopsy sumsum tulang


8. Terapi Terapi penunjang :
 Transfusi komponen darah (PRC dan/atau TC) sesuai
indikasi (pada topik transfusi darah)
 Menghindari dan mengatasi infeksi
 Kortikosteroid : prednisone 1-2 mg/kgBB/hari
 Androgen : Metenolol asetat 2-3 mg/kgBB/hari, maksimal
diberikan selama 3 bulan
 Splenektomi dilakukan bila tidak respons dengan steroid.
Bila pasien menolak splenektomi dapat diberikan terapi
imunosupresif :
- Siklosporin 5 mg/kgBB/hari
- ATG (anti thymocyte globulin) 15 mg/kgBB/hari
intravena selama 5 hari
- Transplantasi sumsum tulang, bila ditemukan HLA yang
cocok
Respons terapi :
 Komplit : granulosit > 1000/ul, trombosit > 100.000/ul, Hb
normal
 Parsial : granulosit > 500/ul, tidak membutuhkan transfusi
darah merah dan trombosit
 Tidak berespon : anemia aplastik berat menetap
14. Edukasi 1. Hindari diet berlebihan
(Hospital Health Promotion)
2. Perbaiki status gizi dengan makanan gizi seimbang
3. Kontrol rutin ke pelayanan kesehatan untuk cek kesehatan
berkala
15. Prognosis  Dubia, tergantung tingkat hipoplasianya
 Pada umumnya pasien meninggal karena infeksi,
perdarahan atau komplikasi transfusi darah
16. Tingkat Evidens
17. Tingkat Rekomendasi
18. Indikator Medis kesembuhan pasien tergantung dari jenis anemia, kepatuhan

85
pasien, pemeriksaan yang adekuat, dan terapi yang sesuai.

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

86
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

LEUKIMIA AKUT
1. Pengertian (Definisi) merupakan penyakit poliferasi neoplastik yang sangat cepat dan
progresif sehingga susunan sumsum tulang normal digantikan
oleh sel primitive dan sel induk darah (sel blas dan atau suatu
tingkat diatasnya). Leukemia akut dibagi dua yaitu
: leukemia mieblastik akut, leukemia limfoblastik akut.
2. Anamnesis  Gejala anemia : rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak
napas / gagal jantung, berkunang-kunang.
 Tanda-tanda infeksi : sering demam

 Akibat trombositopenia : perdarahan (menstruasi lama,


epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan dibawah kulit,
hematuria, buang air besar campur darah, muntah darah).
3. Pemeriksaan Fisik  Pucat

 Demam

 Pembesaran kelenjar getah bening ( KGB) superfisial

 Organomegali

 Peteki/purpura/ekimosis
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis :
- Gejala anemia : rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak
napas / gagal jantung, berkunang-kunang.
- Tanda-tanda infeksi : sering demam
- Akibat trombositopenia : perdarahan (menstruasi lama,
epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan dibawah kulit,
hematuria, buang air besar campur darah, muntah darah).
 Pemeriksaan fisik : pucat, demam, pembesaran kelenjar getah
bening (KGB) superfisial, organomegali,
petekie/purpura/ekimosis
 Pemeriksaan penunjang : Aspirasi sumsum tulang : hitung
jenis sel blas dan/atau progranulosit > 30%
5. Diagnosis Kerja leukimai akut
6. Diagnosis Banding Sindrom mielodisplasia (MDS), reaksi leukemoid, leukemia
kronis
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium : darah tepi lengkap (termasuk retikulosit dan
hitung jenis), LDH, asam urat, fungsi ginjal, fungsi hati,
serologi virus (hepatitis, HSV, EBV, CMV)
 Sitology aspirasi sumsum tulang, sitogenetik

87
8. Terapi Perawatan di ruang rawat isolasi imunitas menurun :
Persiapan pengobatan sitoreduksi :
 Akses vena sentral
 Anti emetik
 Profilaksis asam urat (allopurinol sesuai CCT, hidrasi cukup
> 2000 ml/24 jam, alkalinisasi urin dengan natrium
bikarbonat oral 4 x 500-1000 mg/hari (target pH urin > 7)
 Tunda haid (lynestrenol)
 Antibiotika dekontaminasi parsial
 Profilaksis streptokokus (benzylpenicilline 4 x 1 gr)
 Vitamin K 2 kali seminggu 5 mg per oral
 Asam folat 1x5 mg/hari dan vit B 12 1000 ug/minggu
 Leukoferesis untuk mencegah leukostasis jika leukosit >
100.000/ul dikombinasi metilprednisolon 5 mg/kg/hari
9. Edukasi 1. Edukasi dan pendampingan orang tua/ tunjangan psikososial
(Hospital Health Promotion) terhadap penderita terutama saat dilakukan tindakan
2. Menerangkan kepada orang tua/keluarga alasan merujuk,
rencana pengobatan dan prognosis
3. Menjaga kebersihan kulit, mulut dan gigi
4. Makanan gizi seimbang dengan mulai makanan lunak
10. Prognosis malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

88
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

SINDROM LISIS TUMOR


1. Pengertian (Definisi) sindrom yang ditandai berbagai kombinasi antara hiperurisemia,
hyperkalemia, hiperfosfatemia, asidosis laktat dan hipokalsemia
yang disebabkan oleh pengrusakan sejumlah besar sel
neoplasma yang sedang berproliferasi
secara cepat.
2. Anamnesis Riwayat mendapat kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir, jenis
tumor yang diderita (limfoma burkitt, leukemia limfoblastik
akut dan limfoma derajat tinggi lainnya).
3. Pemeriksaan Fisik Tidak khas, sesuai dengan kelainan yang terjadi (misalnya :
pernapasan kussmaul pada asidosis laktat, oliguria/anuria bila
terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pada hiperkalemia)
4. Kriteria Diagnosis anamnesis:
riwayat mendapatkan kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir, jenis
tumor yang diderita ( limfoma burkitt, leukimia limfoblastik
akut dan limfoma derajat tinggi lainya). pemeriksaan fisik:
tidak khas, sesuai dengan kelainan yang terjadi ( misalnya:
pernafasan kussmaul pada asidosis laktat, oliguria/anuria bila
terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pada hiperkalemia
pemeriksaan penunjang :
laboratorium: DPL, ureum, kreatinin, LDH,K,F,Ca, asam urat,
AGD, urinalisis
5. Diagnosis Kerja sindrom lisis tumor
6. Diagnosis Banding Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : DPL, ureum, kreatinin, LDH, K, F, Ca, asam
urat, AGD, urinalisis

89
8. Terapi  Mencegah dan mendeteksi faktor resiko lebih penting
 Hidrasi adekuat 3000 ml/m2 per hari

 Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na


bikarbonat
 Allopurinol 300 mg/m2 per hari
 Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD dan asam urat
 Bila secara konservatif tidak berhasil dan ditemukan tanda
– tanda sebagai berikut (K > 6 meq/l, asam urat > 10 mg/dl,
kreatinin > 10 mg/dl, F>10 mg/dl atau semakin meningkat,
hipokalsemia simtomatik) maka dilakukan
hemodialisa.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

90
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
(PPK) TATA LAKSANA KASUS

IDIOPHATIC THROMBOCYTOPENIA PURPURA


1. Pengertian (Definisi) Gangguan darah golongan penyakit autoimun
2. Anamnesis  Riwayat obat-obatan (heparin, alcohol, sulfonamides,
kuinidin/kuinin aspirin) dan bahan kimia
 Gejala sistematik : pusing, demam, penurunan berat badan

 Gejala penyakit autoimun : arthralgia, rash kulit, rambut rontoj


 Riwayat perdarahan (lokasi, banyaknya, lamanya), risiko
infeksi HIV, status kehamilan, riwayat transfusi, riwayat pada
keluarga (trombositopenia, gejala perdarahan dan kelainann
autoimun),
 Penyakit penyerta yang dapat meningkatkan resiko perdarahan
(kelainan gastrointestinal, sistem saraf pusat dan Urologi)
 Kebiasaan / hobi : aktivitas yang traumatic
3. Pemeriksaan Fisik  Perdarahan (lokasi dan beratnya)

 Jarang ditemukan organomegali, tidak ditemukan jaundice


atau stigmata penyakit hati kronik
 Tanda infeksi (bacteremia/ infeksi HIV)
 Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis,
vaskulitis)
4. Kriteria Diagnosis anamnesis:
 riwayat obat-obatan

 gejala sistematik: pusing, demam, penuruna berat badan

 gejala penyakit autiomun

 riwayat perdarahan

 penyakit penyerta yang dapat meningkatkan resiko


perdarahan
 kebiasaan/hobi
pemeriksaan fisik:
 perdarahan ( lokasi dan beratnya)

 jarang ditemukan organomegali, tidak ditemukanya


jaundice atau stigma penyakit hati kronik
 tanda infeksi ( bacteremia/ infeksi HIV)
 tanda penyakit autoimun ( artitis, goiter, nefriti, vaskulitis)
pemeriksaan penunjang:
91
92
 laboratorium: darah tepi lengkap, enzim hati, kimia rutin,
ACA,Comb test, C3, C4,ANA, anti ds DNA, serologi virus,
anti HIV, antibody antitrombosit
 sitology aspirasi sumsum tulang
5. Diagnosis Kerja idiophatic thrombocytopenia purpura
6. Diagnosis Banding  Berkurangnya produksi trombosit / aplasia megakariosit
baik yang konginetal atau didapat
 Gangguan distribusi trombosit (hipersplenisme,
hipotermia)
 Peningkatan penghancuran trombosit (ITP sekunder, drug
induced, kehamilan, dll)
 Pseudotrombositopenia akibat EDTA terlalu banyak pada
specimen darah tepi
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium : darah tepi lengkap, enzim hati, kimia rutin,
ACA, Comb test, C3, C4, ANA, anti ds DNA, serologi virus,
anti HIV, antibody antitrombosit
 Sitology aspirasi sumsum tulang
8. Terapi ITP akut : (anak-anak, self limiting)
 Trombosit > 30.000/ul, asimtomati / purpura minimal →
tidak diterapi rutin
Trombosit <20.000/ul dengan perdarahan bermakna atau
< 10.000/ul dengan purpura minimal → steroid (~ prednison
1-2 mg/kgBB/hari)
 Mengingat ITP pada anak bersifat self limiting, maka lama
terapi dibatasi selama 21 hari. Dapat juga diberikan IV Ig
1gr/kg 1 hari
 Perdarahan yang mengancam jiwa → dirawat, steroid injeksi
dosis tinggi (metilprednisolon 30 mg/kg/hari) atau steroid
oral dosis tinggi (~ prednisone 4-8 mg/kg/hari) dan transfuse
trombosit
ITP kronik (dewasa)
Terapi suportif :
 Membatasi aktifitas yang beresiko trauma
 Menghindari obat-obat yang mengganggu fungsi
trombosit
 Transfusi PRC sesuai kebutuhan
 Transfusi trombosit bila :
- Perdarahan masif
- Adanya ancama perdarahan otak/SSP
93
- Persiapan untuk operasi besar

94
 Perawatan RS untuk pasien dengan :
 Perdarahan berat yang mengancam jiwa
 Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna
 Trombosit > 50.000/ul asimtomatik / dengan purpura
minimal → tidak terapi
 Trombosit < 30.000/ul dengan / tanpa gejala, 30.000 –
50.000/ul dengan perdarahan bermakna, kadar trombosit
berapa saja dengan perdarahan yang mengancam jiwa →
diterapi:
Steroid
(~ prednison 1-2 mg/kg/hari), dipertahankan 3-4 minggu lalu tap
down, maksimal selama 6 bulan. Prednison tidak boleh diberikan
dalam jumlah tinggi lebih dari 4 minggu pada pasien tidak
respon.
Splenoktomi
Indikasi :
 Gagal remisi dengan terapi steroid dalam 6 bulan
observasi
 Memerlukan dosis maintenance steroid yang tinggi
 Adanya kontraindikasi / intoleransi terhadap steroid
Pilihan terapi yang lain :
 Obat-obatan imunosupresan (siklofosfamid, azatioprin,
vinkristin)
 Preparat androgen (danazol)
 Exchange plasmapharesis pada pasien dengan keadaan
sakit berat
 Hormonal anovulatoir
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis  ITP akut : bonam

 ITP kronik : dubia ad malam

11. Tingkat Evidens


12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

95
dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul
Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

96
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

TROMBOSIS VENA DALAM


1. Pengertian (Definisi) adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah vena
terutama pada vena tungkai bawah.
2. Anamnesis  Nyeri loal

 Bengkak
 Perubahan warna dan fungsi berkurang pada anggota tubuh
yang terkena
3. Pemeriksaan Fisik  Edem, eritem, peningkatan suhu local tempat yang terkena,
pembuluh darah vena teraba, Homan’s sign (+)
 Berdasarkan data tersebut diatas sering ditemukan negatif
palsu
 Prosedur diagnosis baku adalah pemeriksaan venografi
4. Kriteria Diagnosis Gejala klinik bervariasi (90% tanpa gejala klinis)
Pasien dengan resiko tinggi yaitu apabila :
 Riwayat trombosis, strok
 Pasca tindakan bedah terutama bedah ortopedi
 Imobilisasi lama terutama paska trauma / penyakit berat
 Luka bakar
 Gagal jantung akut atau kronik
 Penyakit keganasan baik tumor solid maupun keganasan
hematologi
 Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama yang
disertai syok
 Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormone
estrogen
 Kelainan darah bawaan atau didapat yang menjadi
predisposisi untuk thrombosis
5. Diagnosis Kerja trombosis vena dalam
6. Diagnosis Banding Sindrom pasca flebitis, varises, gagal jantung, trauma, refluks
vena, selulitis, limfangitis, abses inguinal, keganasan dengan
sumbatan kelenjar limfe atau vena, gout, dermatitis kontak,
eritema nodosum, kehamilan, flebitis superfisial, paralisis

97
7. Pemeriksaan Penunjang  Radiologi : venografi / flebografi, USG vena-B mode atau
colour Doppler
 Laboratorium : kadar AT III, protein C, protein S, antibody
antikardiolipin, profil lipid, agregrasi trombosit

98
8. Terapi Non farmakologis :
 Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena untuk
melancarkan aliran darah vena
 Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular
 Latihan lingkung gerak sendi (range of motion) seperti
gerakan fleksi-ekstensi, menggenggam, dll, tindakan ini akan
meningkatkan aliran darah di vena-vena yang masih terbuka
(patent)
 Pemakaian kaus kaki elastis (elastic stocking), alat ini
meningkatkan aliran darah vena
Farmakologis :
1. Antikoagulan
Heparin (unfractionated)
 Bolus intravena 100 IU/kg dilanjutkan drip mulai 1000
IU/jam
 Target ApTT 1,5 – 2,5 x kontrol, bila
- aPTT < 1,5 x kontrol, dosis – 100-200 IU/jam
- aPTT 1,5 – 2,5 x kontrol, dosis tetap
- aPTT > 2,5 x kontrol, dosis – 100 – 200 IU/jam
 hari I : aPTT diperiksa tiap 6 jam
 hari II : aPTT diperiksa tiap 12 jam
 hari III : aPTT diperiksa tiap 24 jam

LMWH (low moleculer weight heparin)


 Nadroparin 0,1 ml/kg/12 jam
 Enoksaparin 1 mg/kg/12 jam
 Tidak perlu pemantauan
Warfarin
 Warfarin dapat dimulai segera sesudah pemberian
heparin dengan dosis hari 16-10 mg malam hari, hari II
diturunkan
 INR diperiksa setelah 4-5 hari kemudian dengan target 2-
3
Bila target INR tercapai, heparin dapat dihentikan 24 jam
berikutnya
 Lama pemberian tergantung ada tidaknya faktor resiko
- Bila tidak ada faktor resiko, dapat distop dalam 3-6
bulan
- Bila ada faktor resiko dapat diberikan lebih lama atau
bahkan seumur hidup
99
 Cara penyesuaian dosis INR

100
- INR 1,1 – 1,4
Hari I → naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Mingguan → naikkan 10-20% dari total dosis
mingguan
Kembali 1 minggu
- INR 1,5 – 1,9
Hari I → naikkan 5-10% dari total dosis mingguan
Mingguan → naikkan 5-10% dari total dosis
mingguan
Kembali 2 minggu
- INR 2,0 – 3,0
Tidak ada perubahan
Kembali 1 minggu
- INR 3,1 – 3,9
Hari I → kurangi 5-10% dari total dosis mingguan
Mingguan → kurangi 5-15% dari total dosis mingguan
Kembali 2 minggu
- INR 4,0 – 5,0
Hari I → tidak ada obat
Mingguan → kurangi 10-20% dari dosis mingguan
Kembali 1 minggu
- INR > 5,0
Stop warfarin, pantau sampai INR 3,0
Mulai dengan dosis kurang 20-50%
Kembali tiap hari
2. Trombolisis (streptokinase, tPA)
 Terapi ini dapat dipertimbangkan sampai 2 minggu
setelah pembentukan thrombus (thrombosis vena iliaka
atau vena femoralis akut atau subakut)
 Tidak dianjurkan untuk thrombus yang berusia lebih dari
4 minggu
3.Antiagregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon)
 Bukan merupakan terapi utama
 Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah
terapi standar heparin atau warfarin

101
9. Edukasi 1. Edukasi pengendalian faktor resiko
(Hospital Health Promotion) 2. Edukasi pengawasan komplikasi thrombosis vena antara
lain emboli paru
3. Edukasi pengawasan komplikasi pemberian antikoagulan
pantau nilai
4. INR
10. Prognosis Tergantung pada penyebab, pada yang tidak disertai
komplikasi baik
11. Tingkat Rekomendasi
12. Indikator Medis 80% kasus tanpa komplikasi dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

102
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA


1. Pengertian (Definisi) aktivitas sistem koagulasi dan fibrinolysis secara berlebihan
dan terjadi pada waktu yang bersamaan.
2. Anamnesis  Demam

 Hipotensi

 Asidosis

 Hipoksia

 Proteinuria
3. Pemeriksaan Fisik  Petekia

 Ekimosis

 Hematoma

 Hematemesismelena

 Hematuria

 epitaksis
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis KID ditegakkan melalui scoring The Internatioal
Society for Thrombosis and Haemostasis (ISTH)
5. Diagnosis Kerja Koagulasi intravaskular diseminata
6. Diagnosis Banding Fibrinolysis primer, penyakit hati berat, pseudo KID
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Kompensas Hiperkompensasi komp
i
Trombosit N N ↓
PTT N N/↑ ↑
PT N N/↑ ↑
Fibrinogen N N/↑ ↓
D Dimer +/↑ +/↑ ++/↑↑

 Darah tepi: trombositope u normal, burr cell (+) ID

 Pemeriksaanhemo nia ata n


stasis pada K

103
8. Terapi  Suportif
- Memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik
- Memperbaiki dan menstabilkan tekana darah
- Membebaskan jalan napas
- Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam basa
- Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan elektrolkit
 Mengobati penyakit primer
 Menghambat proses patologis
- Antikoagulan
Heparin inytavena bolus tiap 6 jam dosis 5000 IU, evaluasi aPTT
dengan target 1,5 – 2,5 x kontrol pada jam kedua dan keempat.
Bila pada jam kedua
aPTT < 1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap
aPTT > 2,5 x kontrol, evaluasi APTT pada jam keempat, bila:
aPTT < 1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
aPTT > 2,5 x kontrol, heparin dikurangi menjadi 2500 U
- Transfusi sesuai komponen darah sesuai indikasi (PRC,
TC, FFP, kriopresipitat)
9. Edukasi a. Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)
b. Edukasi factor resiko
c. Edukasi gaya hidup sehat
d. Edukasi obat obatan
10. Prognosis malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

104
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

SINDROM VENA KAVA SUPERIOR


1. Pengertian (Definisi) kumpulan gejala yang disebabkan obstruksi vena kava
superior oleh sebuah tumor mediastinum
2. Anamnesis  Sakit kepalan

 Mual

 Muntah-muntah

 Gangguan penglihatan

 Sinkop

 Suara serak

 Sesak napas

 Disfalgia dan sakit pungggung


3. Pemeriksaan Fisik  Distensi tubuh sebelah atas

 Edema muka

 Leher

 Lengan dan dada atas

 Sianosis
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis : keluhan sakit kepala, mual, muntah-muntah,
gangguan penglihatan, sinkop, suara serak, sesak napas,
disfagia dan sakit punggung
 Pemeriksaan fisik : distensi tubuh sebelas atas, edema muka,
leher, lengan dan dada atas, sianosis.
 Pemeriksaan penunjang :
- Foto dada menunjukkan massa paratrakeal atau di
mediastinum
- CT scan dada membantu memperlihatkan luasnya massa
5. Diagnosis Kerja Sindrom vena kava superior
6. Diagnosis Banding  Tumor mediastinum : tumor ganas, teratoma, limfoma
malignum
 Tumor paru
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan radiologi : foto toraks, CT scan toraks

105
8. Terapi  Radioterapi pada kasus darurat dapat meringankan gejala
pada 70% kasus. Dosis harian dimulai dengan dosis tinggi
(400 cGy) untuk mendapatkan pengecilan masa tumor yang
dibutuhkan.
 Pada limfoma malignum atau kanker paru jenis SCLC,
kemoterapi akan sama efektifnya dengan radioterapi.
14. Edukasi
(Hospital Health Promotion)

15. Prognosis  Ad vitam : dubai ad malam

 Ad fungsionam : malam

 Ad sanasionam : malam
16. Tingkat Evidens IV
17. Tingkat Rekomendasi C
18. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

106
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

TROMBOSITOSIS PRIMER/SENSIAL
1. Pengertian (Definisi)  Trombositosis adalah bila jumlah trombosit lebih dari jumlah
normal tertinggi (450.000/ul)
 Trombositosis primer adalah kelainan klonal dari stem
sel multipotensial hemopoietik
2. Anamnesis  Sakit seperti terbakar pada telapak tangan dan kaki serta
berdenyut, cenderung timbul kembali disebabkan panas,
pergerakan jasmani dan hilang bila kaki ditinggikan
(eritromialgia)
 Gejala-gejala iskemia serebrovaskular kadang tidak spesifik
seperti sakit kepala, pusing, deficit neurologi fokal, serangan
iskemia sepintas, kejang atau oklusi arteri retina.
 Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang,
pertumbuhan fetus terhambat
3. Pemeriksaan Fisik  Splenomegali (40%), tanda-tanda perdarahan atau
trombosis sesuai lokasi yang terkena
4. Kriteria Diagnosis dalam mendiagnosis ET, trombositosis reaktif dan kelainan
myeloid kronik lain harus disingkirkan. Pada tahun 1986, kriteria
diagnosis pertama untuk ET disuslkan oleh kelompok studi
anamnesis:
 Sakit seperti terbakar pada telapak tanggan dan kaki serta
berdenyut, cenderung timbul kembali
 Gejala-gejala iskemia serebrovaskular kadang tidak
spesifik seperti sakit kepala, pusing
 Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang,
pertumbuhan fetus terhambat
pemeriksaan fisik:
 Splenomegali(40%) tanda-tanda perdarahan atau trombosis
sesuai lokasi yang terkena
pemeriksaan penunjang :
pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, morfologi
trombosit, laju endap darah, masa perdarahan, faktor VIII / von
Willebrand, tes agregasi trombosit dengan epinefrin
5. Diagnosis Kerja Trombositosis primer/sensial
6. Diagnosis Banding Trombositosis reaktif, trombositosis sekunder
107
108
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, morfologi
trombosit, laju endap darah, masa perdarahan, faktor VIII /
von Willebrand, tes agregasi trombosit dengan epinefrin
8. Terapi Tujuan pengobatan untuk menurunkan jumlah trombosit dan
menurunkan fungsi trombosit
 Untuk menurunkan trombosit :
1. Hydroxyuria (hydrea) : 15 mg/kgBB/hari
2. Anagrelide (agrylin) : 4 kali 1,5 – 2,5 mg sehari, dimulai
dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap tiap minggu.
3. Thromboreduction
4. Interferon alfa : 3 juta IU, tiga kali satu minggu
5. Fosforous – 32
 Untuk menurunkan fungsi trombosit :
1. Aspirin
2. Tiklopidin
3. Klopidogrel
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis  Ad vitam : dubia

 Ad fungsionam : dubia

 Ad sanasionam : malam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

109
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

HIPERKALSEMIA
1. Pengertian (Definisi) merupakan kedaruratan onkologi yang sering ditemukan
sebagai akibat metabolik dari keganasan.
2. Anamnesis  Anoreksia
 Mual
 Muntah-muntah
 Polyuria
3. Pemeriksaan Fisik  Penurunan kesadaran
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis : anoreksia, mual, muntah-muntah, polyuria
 Pemeriksaan fisik : penurunan kesadaran
 pemeriksaan penunjang : kadar kalsium serum meningkat
5. Diagnosis Kerja hiperkalsemia
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan kadar kalsium darah, fungsi ginjal
8. Terapi 1. diuresis paksa dengan saluran salin (200-250 ml/jam) dan
furosemide disertai monitor ketat balans cairan dan fungsi
kardiopulmoner
2. Mithramycin 25 ug/kg intravena. Tidak boleh digunakan
pada gagal ginjal dan trombositopenia
3. Kortikosteroid, efek terapi dicapai setelah 5-10 hari
pengobatan. Berguna pada hiperkalsemia pada limfoma
malignum, myeloma multiple dan karsinoma payudara.
4. Bisfosfonat (penghambat osteoklas) bila hiperkalsemia
refrakter terhadap cara-cara sebelumnya atau terdapat
kontraindikasi
5. Kunci keberhasilan dalam mengendalikan hiperkalsemia
adalah kemoterapi yang efektif.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
gnosis  Ad vitam : dubia
 As fungsionam : dubia ad malam
 Ad sanasionam : malam
10. Tingkat Evidens IV
11. Tingkat Rekomendasi C
12. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli
110
111
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

HIPERURISEMIA
1. Pengertian (Definisi) merupakan kelainan yang terjadi akibat pengobatan pada
leukemia, gangguan mieloproliferatif, limfoma atau mieloma
yaitu ketika sel-sel tumor mengalami penghancuran selama
kemoterapi dimana purin akan dilepaskan dalam jumlah banyak
untuk kemudian mengalami katabolisme menjadi
asam urat.
2. Anamnesis  Uremia

 Hematuria dan rasa nyeri


3. Pemeriksaan Fisik  Kadar asam urat melebih 10 mg/dl dan rata-rata 20 ml/dl.
Oliguria atau anuria dengan atau tanpa adanya Kristal asam
urat. Kadar nitrogen darah dan serum kreatinin meningkat
 Perbandingan asam urat dengan kreatinin > 1, dihitung
menurut sampel acak, mendukung diagnosis nefropati
akibat hiperurisemia.
4. Kriteria Diagnosis  Uremia, hematuria dan rasa nyeri menandakan adanya batu
ginjal
 Kadar asam urat melebih 10 mg/dl dan rata-rata 20 ml/dl.
Oliguria atau anuria dengan atau tanpa adanya Kristal asam
urat. Kadar nitrogen darah dan serum kreatinin meningkat
 Perbandingan asam urat dengan kreatinin > 1, dihitung
menurut sampel acak, mendukung diagnosis nefropati
akibat hiperurisemia.
5. Diagnosis Kerja hiperurisemia
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan kadar asam urat darah, fungsi ginjal, urinalisis
8. Terapi 1. Alopurinol, hidrasi dan alkalinisasi urin seperti pada
sindrom lisis tumor
2. Hemodialysis jika diperlukan, dapat menurunkan kadar
asam urat dan memperbaiki fungsi ginjal

112
9. Edukasi a. Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)
b. Edukasi factor resiko
c. Edukasi gaya hidup sehat
d. Edukasi obat obatan
10. Prognosis  Ad vitam : malam

 Ad fungsionam : malam

 Ad sanasionam : malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

113
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

TERAPI SUPORTIF PADA PASIEN KANKER


1. Pengertian (Definisi) merupakan hal yang amat penting, sehingga tidak jarang lebih
penting daripada pengobatan pembedahan, radiasi maupun
kemoterapi karena pengobatan suportif ini justru sering berkaitan
dengan usaha untuk mengatasi masalah-masalah yang dapat
mengancam jiwa. Pengobatan suportif ini tidak hanya
diperlakukan pada pasien kanker yang menjalani
pengobatan kuratif tetapi juga pada pengobatan paliatif.
2. Anamnesis Penurunan berat badan yang cepat
3. Pemeriksaan Fisik Antropometri : tebal lemak kulit (M. deltoideus lengan atas),
indeks masa tubuh (dibawah 1,5 menunjukkan katabolisme
berlebihan), penilaian terhadap masa otot.
4. Kriteria Diagnosis Penanganan Nyeri
 Anamnesis : waktu timbul nyeri, lokasinya, intensitasnya dan
faktor yang menambah atau mengurangi nyeri
 Anamnesis yang teliti dapat diketahui jenis nyeri pada pasien,
apakah nyeri visceral, somatik atau neoropatik.
 Dari anamnesis dapat juga diketahui tingkatan nyeri,
menggunakan alat bantu VAS (visual analog scale) yaitu skala
dari nol sampai sepuluh (nol menunjukkan tidak ada nyeri
sama sekali, sepuluh menunjukkan nyeri yang paling hebat).
Angka yang ditunjuk pasien kemudian dapat dibagi menjadi
empat kelompok :
- Angka 0 menyatakan tidak ada nyeri
- Angka 1-3 menyatakan nyeri ringan
- Angka 4-6 menyatakan nyeri sedang
- Angka 7-10 menyatakan nyeri berat
Hal yang penting menentukan untuk memulai pengobatan
adalah jenis tingkatan nyeri.
5. Diagnosis Kerja terapi suportif pada pasien kanker
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Penunjang  Masalah nutrisi
- Antropometri : tebal lemak kulit, indeks masa tubuh dan
masa otot
- Laboratorium : Hitung limfosit, albumin dan
prealbumin darah, urea nitrogen urin, ferritin darah
114
115
 Penanganan Nyeri
- Laboratorium darah perifer lengkap dengan hitung jenis,
kultur darah, kultur urin, kultur sputum, swab tenggorok
untuk mencari focus infeksi, pemeriksaan terhadap koloni
jamur.
- Foto toraks
 Masalah Efek Samping Sitostatika
- Pemeriksaan fisik : luas permukaan tubuh, tingkat
kemampuan berperan mencari sumber infeksi
- Pemeriksaan laboratorium DPL dengan hitung jenis,
fungsi ginjal, urinalisis, asam urat darah, fungsi hati,
kultur pada tempat-tempat tertentu secara berkala
- Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan ekokardiografi
8. Terapi Masalah Nutrisi
 Indikasi terapi :
1. Pasien tidak mampu mengkonsumsi 1000 kalori per hari
2. Bila terjadi penurunan berat badan > 10% BB sebelum
sakit
3. Kadar albumin serum < 3,5 gr/dl
4. Terdapat tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh
 Perhitungan kebutuhan kalori :
Rumus perhitungan kebutuhan kalori =
Kalori basal + aktivitas sehari-hari + keadaan
hiperkatabolik
Kalori basal laki-laki : 27-30 kalori/kgBB ideal/hari Kalori
basal perempuan : 23-26 kalori/kgBB ideal/hari
Perhitungan kebutuhan protein
Protein yang dibutuhkan adalah 0,6 – 0,8 g/kgBB ideal/hari
Untuk mengganti kehilangan nitrogen tubuh diperlukan
tambahan 0,5 g/kgBB ideal/hari
Cara pemberian :
1. Enteral melalui saluran cerna peroral, lewat selang
nasogastric, jejunostomi, gastrostomy
2. Parenteral diberikan bila melalui enteral tidak bisa atau pasien
tidak mau dilakukan gastrostomi / jejunostomi. Nutrisi
sebaiknya melalui vena sentral karena dapat diberikan cairan
dengan osmolalitas tinggi dan dalam waktu lama (6 bulan – 1
116
tahun). Hati-hati terhadap bahaya infeksi dan thrombosis

117
Penanganan Nyeri
Pengobatan medikamentosa/farmakologi
 Pada nyeri ringan pengobatan dimulai dengan asetaminofen
atau OAINS, kemudian dievaluasi dalam 24-72 jam, bila
masih nyeri ditambahkan amitriptilin 3 x 25 mg atau opioid
ringan kodein sampai dengan 6 x 30 mg
/ hari.
 Pada nyeri sedang pengobatan dimulai dengan opioid ringan
kemudian dievaluasi dalam 24 jam, bila masih nyeri obat
diganti dengan opioid kuat, biasanya dipakai morfin.
Pemberian morfin intravena dimulai dengan dosis ditirasi
sampai pasien bebas nyeri
 Pada nyeri berat pengobatan morfin intravena sejak awal dan
dievaluasi sampai hitungan jam sampai nyeri terkendali baik.
Setelah didapat dosis optimal maka pemberian morfin
intravena diganti dengan morfin oral masa kerja pendek 4-6
jam dengan perbandingan 1 : 3, artinya jika dosis injeksi 20
mg/24 jam maka dosis oral sebanyak 3 x 20 mg/24 jam (60
mg), diberikan 6 x 10 mg atau 4 x 15 mg/hari. Bila setelahnya
nyeri terkendali baik maka diganti morfin oral kerja lama
dengan dosis 2 x 30 mg/hari. Bila nyeri belom terkendali,
morfin dinaikkan dosisnya menjadi dua kali lipat dan
dievaluasi lebih lanjut serta berpedoman pada VAS.
 Obat adjuvant diberikan sesuai pengkajian, bila penyebabnya
neuropatik maka selain obat-obatan tersebut ditambahkan
GABA (gabapentin), bila nyeri somatik akibat metastasis
tulang sedikit dapat ditambahkan OAINS dan bisfosfonat, bila
metastasis luas dan multiple maka pilihan utamanya adalah
radioterapi dan dapat ditambahkan bisfosfonat.
Pengobatan Non Medikamentosa :
1. Penanganan psikiatris
2. Operasi bedah saraf
3. Blok anesthesia
4. Rehabilitasi medic
Penanganan Infeksi
 Infeksi oleh bakteri gram negatif
- Kombinasi antibiotik beta lactam dengan
aminoglikosida
- Monoterapi dengan seftazidim, sefepim, imipenem,
118
meropenem

119
 Infeksi oleh bakteri gram positif. Staphylococcus epidermidis
sering resisten pada berbagai macam antibiotik, diberikan
vankomisin dan teikoplanin
 Infeksi jamur. Pemberian amfosterisin B dianjurkan pada
pasien neutropenia dengan demam berkepanjangan setelah
pemberian antibiotika spectrum luas untuk beberapa hari
tanpa adanya bakterimia.
 Infeksi virus dapat terjadi pada pasien neutropenia tanpa
imunosupresi, sehingga beberapa pusat menganjurkan
pemberian asiklovir sejak awal pada pasien yang diperkirakan
akan mengalami neutropenia berat untuk
waktu yang lama.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis  Ad vitam : malam

 Ad fungsionam : malam

 Ad sanasionam : malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

120
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

POLISITEMIA VERA
1. Pengertian (Definisi) merupakan kelainan sistem hemopoesis yang dihubungkan
dengan peningkatan jumlah dan volume sel darah merah
(eritrosit) secara bermakna mencapai 6-10 juta/ml diatas ambang
batas nilai normal dalam sirkulasi darah, tanpa memperdulikan
jumlah leukosit dan trombosit. Disebut polisitemia vera bila
sebagian populasi eritrosit berasal dari suatu klon sel induk darah
yang abnormal (tidak membutuhkan eritropoetin untuk proses
pematangannya). Berbeda dengan polisitemia sekunder dimana
eritropoetin meningkat secara fisiologis sebagai kompensasi atas
kebutuhan oksigen yang meningkat atau eritropoetin meningkat
secara non fisiologis pada sindrom paraneoplastik sebagai
manifestasi neoplasma lain yang mensekresi
eritropoetin.
2. Anamnesis Gejala awal : sangat minimal dan dapat asimptomatik
walaupun telah diketahui melalui test laboratoriun
Gejala akhir dan komplikasi : perdarahan atau thrombosis Fase
spenomegali : sekitrar 30% dari gejala akhir berkembang
menjadi fase splenomegali.
3. Pemeriksaan Fisik Berkeringat, pembesaran limpa, gangguan neurologis seperti
gangguan penglihatan dan transient ischaemic attacks.
4. Kriteria Diagnosis International Polycythemia Study Group II
Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria
a. A1+A2+A3 atau
b. A1+A2+2 kategori B
5. Diagnosis Kerja polisitemia vera
6. Diagnosis Banding Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah
atau eritropoetin meningkat akibat manifestasi sindrom
paraneoplastik.
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium : eritrosit, granulosit, trombosit, kadar B12
serum, NAP, saturasi O2
 Pemeriksaan sumsum tulang untuk menyingkirkan
kelainan mieloproliferatif yang lain

121
8. Terapi Prinsip pengobatan :
1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal
dan mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase
eritrositik/polisitemia yang belum terkendali
3. Menghindari pengobatan berlebihan
4. Menghindari obat mutagenik, teratogenik dan berefek
sterilisasi pada pasien usia muda
5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis
tertentu atau kemoterapi sitostatik pada pasien diatas 40
tahun bila didapatkan :
- Trombositosis persisten diatas 800.000/ml terutama
jika disertai gejala thrombosis
- Leukositosis progresif
- Splenomegaly simtomatik atau menimbulkan
sitopenia problematic
- Gejala sistematik yang tidak terkendali seperti
pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat
badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam Ad
fungsionam : malam
Ad sanasionam : malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

122
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

SINDROM DELIRIUM AKUT


1. Pengertian (Definisi) adalah sindrom mental organik yang ditandai dengan gangguan
kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif atau gangguan
persepsi yang timbul dalam jangka pendek dan
berfluktuasi.
2. Anamnesis  Pencetus yang sering : gangguan metabolic (hipoksia,
hiperkarbia, hipo atau hiperglikemia, hiponatremia, azotemia),
infeksi (sepsis, pneumonia, infeksi saluran kemih), penurunan
cardiac output (dehidrasi, kehilangan darah akut, infark
miokard akut, gagal jantung kongestif), strok (korteks kecil),
obat-obatan (terutama antikolinerrgik), intoksikasi (alcohol,
dll), hipo atau hipertemia, lesi sistem saraf pusat, psikosis
akut, pemindahan ke lingkungan yang baru/tidak familiar,
impaksi fekal, dan retensi urin.
 Faktor resiko : riwayat gangguan kognitif, berusia lebih dari
80 tahun, mengalami fraktur saat masuk perawatan, infeksi
yang simtomatik, jenis kelamin pria, mendapat obat
antipsikotik atau analgesic narkotik, penggunaan pengikat,
malnutrisi, penambahan 3 atau lebih obat, dan penggunaan
kateter urin.
3. Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik generalis terutama
sesuai penyakit utama
4. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM-IV-TR) meliputi gangguan kesadaran
yang disertai penurunan kemampuan untuk memusatkan,
mempertahankan, dan mengalihkan perhatian, perubahan
kognitif (gangguan daya ingat, disorientasi, atau gangguan
berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang bukan akibat
demensia, gangguan tersebut timbul dalam jangka pendek (jam
atau hari) dan cenderung berrfluktuasi sepanjang hari, serta
terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau
pemeriksaan penunjang bahwa gangguan tersebut disebabkan
kondisi medis maupun akibat
intosikasi, efek samping, atau putus obat/zat.
5. Diagnosis Kerja sindrom delirium akut
123
6. Diagnosis Banding Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis
7. Pemeriksaan Penunjang Diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis ;
menemukan penyebab/pencetus :
 Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit
neurologis fokal, adakah cerebro vascular disease atau
transient ischemic attack ; lakukan brain CT scan jika ada
indikasi.
 Darah perifer lengkap
 Elektrolit (terutama natrium), ureum, kreatinin dan glukosa
darah
 Analisis gas darah
 Urin lengkap dan kultur resistensi urin
 Foto toraks
 EKG
8. Terapi  Berikan oksigen, pasang infus dan monitor
 Segera dapatkan hasil pemeriksaan penunjang untuk
memandu langkah selanjutnya ; tujuan utama terapi adalah
mengatasi faktor pencetus.
 Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa naso-gastrik
 Kateter urin dipasang terutama jika terdapat ulkus decubitus
disertai inkontinensia urin.
 Awasi kemungkinan imobilisasi (lihat topik imobilisasi)
 Hindari sebisa mungkin pengikatan tubuh untuk mencegah
imobilisasi. Jika memang diperlukan, gunakan dosis terendah
obat neuroleptic dan atau benzodiazepine dan monitor status
neurologisnya ; pertimbangkan penggunaan antipsikotik
atipikal. Kaji ulang intervensi ini setiap hari; targetnya adalah
penghentian obat antipsikotik dan pembatasan penggunaan
obat tidur secepatnya.
 Kaji status hidrasi secara berkala
 Ruangan tempat pasien harus berpenerangan cukup, terdapat
jam dan kalender yang besar dan jika memungkinkan
diletakkan barang-barang yang familiar bagi pasien dari
rumah, hindari stimulus berlebihan, keluarga dan tenaga
kesehatan harus berupaya sesering mungkin mengingatkan
pasien mengenai hari dan tanggal, jika kondisi klinis sudah
memungkinkan pakai alat bantu dengar atau kacamata yang
biasa digunakan oleh pasien sebelumnya, motivasi untuk
berinteraksi sesering mungkin dengan keluarga dan tenaga
kesehatan, evaluasi strategi orientasi realitas ; beritahu pada
pasien bahwa dirinya sedang bingung dan disorientasi

124
9. Edukasi namun kondisi tersebut dapat membaik.
(Hospital Health Promotion)  Memberikan informasi terhadap keluarga/ care giver agar
mereka dapat memaham,i tentang delirium dan terapinya
10. Prognosis dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

125
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSAA KASUS

INSTABILITAS DAN JATUH


1. Pengertian (Definisi) Kemampuan untuk mengontrol posisi tubuh dalam ruang
merupakan suatu interaksi kompleks sistem saraf dan
musculoskeletal yang dikenal sebagai sistem kontrol postural.
Jatuh terjadi manakala system kontrol postural tubuh gagal
mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi
terhadap landasan penopang (kaki, saat berdiri) pada waktu yang
tepat untuk menghindari kehilangan keseimbangan. Kondisi ini
sering kali merupakan keluhan utama yang menyebabkan pasien
datang berobat (keluhan utama dari penyakit-penyakit yang juga
bisa mencetus sindrom delirium
akut).
2. Anamnesis Faktor intrinsik terdiri atas faktor lokal dan faktor sistemik.
Faktor instrinsik lokal : osteoarthritis genu/vertebrata lumbal,
plantar fasciitis, kelemahan otot kuadrisep femoris, gangguan
pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pada alat
keseimbangan seperti vertigo yang dapat ditimbulkan oleh
gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulasi,
hiperagregasi, atau spondiloartrosis servikal.
3. Pemeriksaan Fisik Konsumsi obat-obatan :
- Obat-obat beresiko tinggi (benzodiazepine, obat tidur lain,
neuroleptik, antidepresi, antikonvulasi, atau antiaritma kelas
1A)
- Konsumsi 4 macam obat atau lebih
Penglihatan
- Visus < 20/60
- Penurunan persepsi kedalaman (depth perception)
- Penurunan sensitivitas terhadap kontras
 Katarak

126
4. Kriteria Diagnosis I HATE FALLING
I : inflamasi pada sendi H :
hipotensi
A : auditory and visual abnormalities T :
tremor
E : equilibrium problem F :
foot problem
A : aritmia
L : leg lenght discrepancy L :
lack of conditioning
I : illness N :
nutrisi
G : gait disturbance
5. Diagnosis Kerja instabilitas dan jatuh
6. Diagnosis Banding Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis
7. Pemeriksaan Penunjang Beberapa pemeriksaan seperti the timed up-and-go test (TUG),
uji menggapai fungsional (functional reach test), dan uji
keseimbangan Berg (the Berg balance sub-scale of the mobility
index) dapat untuk mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat
mendeteksi perubahan klinis bermakna yang menyebabkan
seseorang berisiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam
mobilitas.
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu
mengidentifikasi faktor risiko ; menemukan penyebab/pencetus :
 Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi deficit
neurologis fokal adakah cerebro vascular disease atau
transient ischemic attack ; lakukan brain CT scan jika ada
indikasi.
 Darah perifer lengkap
 Elektrolit (terutama natrium dan kalium), ureum,
kreatinin, dan glukosa darah Analisis gas darah
 Urin lengkap dan kultur resistensi urin
 Hemostase darah dan agregasi trombosit
 Foto toraks, vertebra, genu dan pergelangan kaki (sesuai
indikasi)
 EKG
 Identifikasi faktor domisili (lingkungan tempat tinggal)

127
8. Terapi  Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah
instabilitas dan riwayat jatuh adalah identifikasi faktor risiko
intrinsic dan ekstrinsik, mengkaji dan mengobati trauma fisik
akibat jatuh; mengobati berbagai kondisi yang mendasari
instabilitas dan jatuh; memberikan terapi fisik dan
penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat
bantu, sepatu atau sandal yang sesuai; mengubah lingkungan
agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup; pegangan;
lantai yang tidak licin, dan sebagainya.
 Latihan desensitisasi faal keseimbangan, latihan fisik
(penguatan otot, fleksibilitas sendi, dan keseimbangan),
latihan Tai Chi, adaptasi perilaku (bangun dari duduk
perlahan-lahan, menggunakan pegangan atau perabot untuk
keseimbangan, dan teknik bangun setelah jatuh) perlu
dilakukan untuk mencegah morbiditas akibat instabilitas dan
jatuh berikutnya)
 Perubahan lingkungan acapkali penting dilakukan untuk
mencegah jatuh berulang karena lingkungan tempat orang
usia lanjut tinggal seringkali tidak aman sehingga upaya
perbaikan diperlukan untuk memperbaiki keamanan
mereka agar kejadian jatuh dapat dihindari.
9. Edukasi perubahan lingkungan acap kali penting untuk mencegah jatuh
(Hospital Health Promotion) berulang, karena lingkungan tempat orang usia lanjut tinggal
sering kali aman, sehingga upaya perbaikan diperlukan untuk
memperbaiki keamanan mereka sehingga kejadian jatuh
dapat dihindari
10. Prognosis dubia
11. Tingkat Evidens -
12. Tingkat Rekomendasi -
13. Indikator Medis Skor TUG,Uji menaggapi fungsional, Keseimbangan Berg,
MORSE

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli
128
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

GANGGUAN KOGNITIF RINGAN DAN DEMENSIA


1. Pengertian (Definisi) Antara fungsi kognitif yang normal untuk usia lanjut dan
demensia yang jelas, terdapat suatu kondisi penurunan fungsi
kognitif ringan yang disebut dengan mild cognitive impairment
(MCI) dan vascular cognitive impairment (VCI), yaitu sebagian
akan berkembang menjadi demensia, baik
penyakit Alzheimer maupun demensia tipe lain.
2. Anamnesis KELUHAN MEMORI SUBJEKTIF, PERUBAHAN adl,
DAN/KELUHAN PENGASUH/KELUARGA
3. Pemeriksaan Fisik  Konsumsi obat-

 Fisik meliputi sistem kardiovaskular dan neurologis

 Pemeriksaan AD 8 pada keluarga/MMSE pada pasien


4. Kriteria Diagnosis A. Munculnya deficit kognitif multiple yang bermanifestasi
pada kedua keadaan berikut :
1. Gangguan memori (ketidakmampuan untuk mempelajari
informasi baru atau untuk mengingat informasi yang baru
saja dipelajari) Satu (atau lebih) gangguan kognitif
berikut :
2. Afasia (gangguan berbahasa)
3. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
motoric walaupun fungsi motoric masih normal)
4. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau
mengidentifikasi benda walaupun fungsi sensorik masih
normal)
5. Gangguan fungsi eksekutif (seperti merencanakan,
mengorganisasi, berpikir runut, berpikir abstrak
B. Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria A1 dan A2
menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi social dan
okupasi serta menunjukkan yang bermakna dari fungsi
sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi
khusus saat timbulnya delirium.
5. Diagnosis Kerja Gangguan kognitif ringan dan demensia
6. Diagnosis Banding Acute confusional state, depresi, Penyakit Parkinson
Catatan : demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi
dan/atau Penyakit Parkinson

129
130
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan neuropsikiatrik dengan the Mini-Mental State
Examination (MMSE), The Global Deterioration Scale (GDS),
dan The Clinical Dementia Ratings (CDR).
Nilai MMSE oleh umur dan tingkat pendidikan, sehingga
pemeriksaan harus mempertimbangkan hal-hal tersebut dalam
menginterprestasi hasil pemeriksaan MMSE.
 Fungsi tiroid, hati dan ginjal

 Kadar vitamin B12

 Kadar obat dalam darah (terutama yang bekerja pada susunan


saraf pusat)
 CT scan, MRI
8. Terapi  Libatkan seorang usia lanjut pada kehidupan social yang
lebih intensif serta partisipasi aktivitas yang menstimulasi
fungsi kognitif dan stimulasi mental maupun emosional
untuk menurunkan resiko penyakit Alzheimer dan
memperlambat munculnya manifestasi klinis gangguan
kognitif.
 Latihan memori multifaset dan latihan relaksasi
 Penyampaian informasi yang benar kepada keluarga, latihan
orientasi realitas, rehabilitasi, dukungan kepada keluarga,
manipulasi lingkungan, program harian untuk pasien,
reminiscence, terapi music, psikoterapi, modifikasi perilaku,
konsultasi untuk pramuwerdha, jaminan nutrisi yang optimal.
 Pemberian obat pada BPSD ditujukan untuk target gejala
tertentu dengan pembatasan waktu. Tentukan target gejala
yang hendak diobati, identifikasi pencetus gejala; psikoterapi
dan konseling diberikan bersama dengan obat (risperidon,
sertraline, atau haloperidol, sesuai dengan gejala yang
muncul.
 Tatalaksana pada demensia berat terutama modalitas non-
farmakologi
 Tatalaksana faktor risiko gangguan kognitif
9. Edukasi -
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Tergantung stadium diagnosis
11. Tingkat Evidens -
12. Tingkat Rekomendasi -
13. Indikator Medis -

131
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

132
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

IMOBILISASI
1. Pengertian (Definisi) kehilangan gerakan anatomic akibat perubahan fungsi fisiologis,
yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas mobilitas di tempat
tidur, transfer atau ambulasi selama lebih dari 3 hari. Imobilisasi
menggambarkan sindrom degenerasi fisiologis
yang diakibatkan penurunan aktivitas dan “deconditioning”.
2. Anamnesis  Riwayat dan lama disabilitas/imobilisasi

 Kondisi medis yang merupakan faktor risiko dan penyebab


imobilisasi
 Kondisi premorbid

 Nyeri

 Obat-obatan yang dikonsumsi

 Dukungan pramuwerdha

 Interaksi social

 Faktor psikologis

 Faktor lingkungan
3. Pemeriksaan Fisik Status kardiopulmonal
Kulit
Muskuloskeletal : kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak
sendi, lesi dan deformitas kaki.
Neurologis : kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik
Gastrointestinal
Genitourinarius
4. Kriteria Diagnosis anamnesis
- Berbagai faktor fisik, psikologis dan lingkungan dapat
menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pengkajian geriatri paripurna diperlukan dalam mengevaluasi
pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi status fungsional, status
mental, status kognitif, dan tingkat mobilitas, serta
pemeriksaan penunjang sesuai indikasi.
5. Diagnosa Kerja Gangguan kognitif ringan dan demensia

133
6. Diagnosis Banding Acute confusional state, depresi, Penyakit Parkinson
Catatan : demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi
dan/atau Penyakit Parkinson
7. Pemeriksaan Penunjang Pengkajian geriatri paripurna diperlukan dalam mengevaluasi
pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi status fungsional, status
mental, status kognitif, dan tingkat mobilitas, serta
pemeriksaan penunjang sesuai indikasi.
8. Terapi  Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien,
keluarga dan pramuwerdha.
 Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah
baring lama, pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini,
serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien.
 Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target
fungsional, dan pembuatan rencana terapi yang mencakup
pula perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target
terapi.
 Temukenali dan tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia,
gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi pada
kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyerta lainnya.
 Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi ; obat- obatan
yang dapat menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus
diturunkan dosisnya atau dihentikan bila memungkinkan.
 Berikan nutrisi adekuat, asupan cairan dan makanan yang
mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral.
 Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan
kondisi medis terjadi meliputi mobilitas ditempat tidur,
latihan lingkup gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan
bantuan), latihan penguatan otot-otot (isotonic, isometric,
isokinetic),latihan koordinasi/keseimbangan (misalnya
berjalan pada satu garis lurus), transfer dengan bantuan, dan
ambulasi terbatas.
 Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-
alat bantu berdiri dan ambulasi
 Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan
komod atau toilet

134
9. Edukasi -
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi
dan komplikasi yang ditimbulkannya. Perlu dipahami,
imobilisasi dapat memperberat penyakit dasarnya bila tidak
ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai
menimbulkan kematian.
11. Tingkat Evidens -
12. Tingkat Rekomendasi -
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

135
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

INKOKTINENSIA URIN
1. Pengertian (Definisi) adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga
menimbulkan masalah hygiene dan social. Inkontinensia urin
merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatric
dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial,
seperti decubitus, jatuh, depresi, dan isolasi sosial.
2. Anamnesis  Sering berkemih

 Keluarnya urine yang tidak terkendali

 Mengelembung nya kandungan kemih melebihi volume


3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan neurologis : kesadaran, nervus cranialis, fungsi
motorik, refleks spinal, dan fungsi sensoris.
4. Kriteria Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis perlu diketahui penyebab dan tipe
inkontinensia urin. Terdapat 2 masalah dalam sistem salurah
kemih yang dapat memberikan gambaran inkontinensia urin
yakni masalah saat pengosongan kandung kemih dan masalah
saat pengisian kandung kemih.
 Untuk inkontinensia urin yang akut, perlu diobati penyakit
atau masalah yang mendasari, seperti infeksi saluran kemih,
obat-obatan, gangguan kesadaran, skibala, prolapse uteri.
Biasanya, pada inkontinensia urin yang akut, dengan
mengatasi penyebabnya, inkontinensianya juga akan teratasi.
 Inkontinensia urin yang kronik dapat dibedakan atas
beberapa jenis :
Inkontinensia tipe urgensi atau overactive bladder,
inkontinensia tipe stress, dan inkontinensia urin tipe
overflow.
- Inkontinensia urin tiper urgensi dicirikan oleh gejala
adanya sering berkemih (frekuensi lebih dari 8 kali),
keinginan berkemih yang tidak tertahankan (urgensi),
sering berkemih di malam hari, dan keluarnya urin yang
tidak terkendali yang didahului oleh keinginan berkemih
yang tidak tertahankan.
- Inkontinensia urin tipe stress dicirikan oleh keluarnya urin
yang tidak terkendali pada saat tekanan intraabdomen
meningkat seperti bersin, batuk, dan

136
tertawa.

137
- Inkontinensia urin tipe overflow dicirikan oleh
menggelembungnya kandung kemih melebihi volume yang
seharusnya dimiliki kandung kemih, post-void residu
(PVR) > 100 cc.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urin lengkap dan kultur urin, PVR, kartu catatan berkemih,
gula darah, kalsium darah dan urin, perineometri, urodynamic
study.
5. Diagnosis Kerja inkoktinensia urin
6. Diagnosis Banding inkontinensia selain dari tipe urgensi dan tipe stres, yaitu
inkontinensia tipe overflow dan tipe fungsional, serta
inkontinensia akut yang biasa disebabkan karena berbagai
macam hal, seperti pada kondisi berkurangnya kesadaran, infeksi
traktus urinarius (cystitis dan urethritis), komsumsi obat-obatan
tertentu, depresi dan kecemasan, diabetes melitus, mobilitas yang
terbatas, dan impaksi feses, yang akan dibahas
lebih lanjut pada etiologi
7. Pemeriksaan Penunjang Urin lengkap dan kultur urin, PVR, kartu catatan berkemih,
gula darah, kalsium darah dan urin, perineometri, urodynamic
study.
8. Terapi Terapi untuk inkontinensia urin tergantung pada penyebab
inkontinensia urin.
 Untuk inkontinensia urin tipe urgensi dan overactive bladder,
diberikan latihan otot dasar panggul, bladder training,
schedule toileting, dan obat yang bersifat antimuskarinik
(antikolinergik) seperti tolterodin atau oksibutinin. Obat
antimuskarinik yang dipilih seyogianya yang bersifat
uroselektif.
 Untuk inkotinensia urin tipe stress, latihan otot dasar panggul
merupakan pilihan utama, dapat dicoba bladder training dan
obat agonis alfa (hati-hati pemberian agonis alfa pada orang
usia lanjut).
 Untuk inkotinensia tipe overflow, perlu diatasi
penyebabnya. Bila ada sumbatan, perlu diatasi sumbatannya.

138
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis  Inkontinensia urin tipe stres biasanya dapat diatasi dengan
latihan otot dasar panggul, prognosis cukup baik.
 Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder
umumnya dapat diperbaiki dengan obat-obatan golongan
antimuskarinik, prognosis cukup baik.
 Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada
penyebabnya (misalnya dengan mengatasi
sumbatan/retensi urin).
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

139
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

DEHIDRASI
1. Pengertian (Definisi) adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya
air lebih banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau
hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (dehidrasi
isotonik), atau hilangnya natrium yang lebih
banyak daripada air (dehidrasi hipotonik).
2. Anamnesis  Rasa haus

 Lidah kering

 Penurunan turgor dan mata cekung

 Penurunan berat badan akut lebih dari 3%


3. Pemeriksaan Fisik Gejala dan tanda klinis dehidrasi pada usia lanjut tak jelas,
bahkan bisa tidak ada sama sekali. Gejala klasik dehidrasi seperti
rasa haus, lidah kering, penurunan turgor dan mata cekung sering
tidak jelas. Gejala klinis paling spesifik yang dapat dievaluasi
adalah penurunan berat badan akut lebih dari 3%. Tanda klinis
obyektif lainnya yang dapat membantu
mengidentifikasi kondisi dehidrasi adalah hipotensi ortostatik.
4. Kriteria Diagnosis anamnesis:gejala klasik dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering,
mengantuk
pemeriksaan fisik: Gejala dan tanda klinis dehidrasi pada usia
lanjut tak jelas, bahkan bisa tidak ada sama sekali. Gejala klasik
dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering, penurunan turgor dan
mata cekung sering tidak jelas. Gejala klinis paling spesifik yang
dapat dievaluasi adalah penurunan berat badan akut lebih dari
3%. Tanda klinis obyektif lainnya yang dapat membantu
mengidentifikasi kondisi dehidrasi adalah
hipotensi ortostatik.
5. Diagnosis Kerja dehidrasi
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Penunjang  Kadar natrium plasma darah

 Osmolaritas serum

 Ureum dan kreatinin darah

 BJ urin

 Tekanan vena sentral (central venous pressure)

140
8. Terapi Lakukan pengukuran keseimbangan (balans) cairan yang masuk
dan keluar secara berkala sesuai kebutuhan.
Pada dehidrasi ringan, terapi cairan dapat diberikan secara oral
sebanyak 1500-2500 ml/24 jam (30 ml/kg berat badan/24 jam)
untuk kebutuhan dasar, ditambah dengan penggantian defisit
cairan dan kehilangan cairan yang masih berlangsung.
Menghitung kebutuhan cairan sehari, termasuk jumlah insensible
water loss sangat perlu dilakukan setiap hari. Perhatikan tanda-
tanda kelebihan cairan yang masih berlangsung. Menghitung
kebutuhan cairan sehari, termasuk jumlah insensible water loss
sangat perlu dilakukan setiap hari. Perhatikan tanda – tanda
kelebihan cairan seperti ortopnea, sesak napas, perubahan pola
tidur, atau confusion. Cairan yang diberikan secara oral
tergantung jenis dehidrasi.
 Dehidrasi hipertonik : cairan yang dianjurkan adalah air atau
minuman dengan kandungan sodium rendah, jus buah seperti
apel, jeruk dan anggur.
 Dehidrasi isotonik : cairan yang dianjurkan selain air dan
suplemen yang mengandung sodium (jus tomat), juga dapat
diberikan larutan isotonic yang ada dipasaran.
 Dehidrasi hipotonik : cairan yang dianjurkan seperti diatas
terapi dibutuhkan kadar sodium yang lebih tinggi.
Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat
minum per oral, selain pemberian cairan enteral, dapat diberikan
rehidrasi parenteral. Jika cairan tubuh yang hilang terutama
adalah air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat
dihitung dengan rumus :
Defisit cairan (liter) = Cairan Badan Total (CBT) yang
diinginkan - CBT saat ini
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑁𝑎 𝑠𝑒𝑟𝑢𝑚 𝑥 𝐶𝐵𝑇 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑖
CBT yang diinginkan =
140

CBT saat ini (pria) = 50% x berat badan (kg)


CBT saat ini (perempuan) = 45% x berat badan (kg)
Jenis cairan kristaloid yang digunakan rehidrasi tergantung dari
jenis dehidrasinya. Pada dehidrasi isotonik dapat diberikan
cairan Na Cl 0,9% atau Dekstrosa 5% dengan kecepatan 25-30%
dari defisit cairan total per hari. Pada dehidrasi hipertonik
digunakan cairan NaCl 0,45%. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana
dengan mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet
natrium, dan bila perlu

141
pemberian cairan hipertonik.

142
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

143
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

KONSTIPASI
1. Pengertian (Definisi) merupakan suatu keluhan, bukan penyakit. Konstipasi sulit
didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat
variasi yang berlainan antara individu. Konstipasi sering
diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar (BAB),
biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-
kecil dank eras, serta kadangkala disertai kesulitan
sampai rasa sakit saat BAB.
2. Anamnesis  Konsistensi feses yang keras

 Mengejan dengan keras saat BAB

 Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan


BAB
 Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Rektal (pasien dalam posisi lateral kiri) Inspeksi :
anus “ditarik” ke depan saat mencoba mengedan selama
defekasi. Lubang anus menurun < 1 cm atau > 4 cm saat
mengedan. Balon perineum turun saat mengejan dan mukosa
rectum prolaps melalui anus.
Palpasi : tonus sfingter ani tinggi saat istirahat sehingga jari
sulit masuk. Otot puborektalis teraba nyeri melalui dinding
posterios rectum.
4. Kriteria Diagnosis Kriteria ROME III yaitu muncul gejala dalam 3 bulan terakhir
atau sudah dimulai sejak 6 bulan sebelum terdiagnosis :
1. Terdapat ≥ 2 gejala berikut :
 Mengejan sedikitnya 25% dari defekasi

 Feses keras sedikitnya 25% dari defekasi

 Sensai tidak puas saat evakuasi pada sedikitnya 25%


dari defekasi
 Sensasi obstruksi anorektal pada sedikitnya 25% dari
defekasi
 Diperlukan manuver manual untuk memfasilitasi pada
sedikitnya 25% dari defekasi
 Defekasi < 3 kali dalam seminggu
2. Feses lunak jarang terjadi tanpa penggunaan laksatif

144
3. Kriteria tidak memenuhi sindrom kolon iritabel
5. Diagnosis Kerja konstipasi
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Penunjang  Darah perifer lengkap
 Glukosa dan elektrolit (terutama kalium dan kalsium) darah
 Fungsi tiroid
 CEA
 Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua
pasien dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura,
ulkus, hemoroid, dan keganasan)
 Foto polos perut harus dikerjakan pada pasien konstipasi,
terutama yang terjadinya akut untuk mendeteksi adanya
impaksi feses yang dapat menyebabkan sumbatan dan
perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat
dilanjutkan dengan barium enema untuk memastikan tempat
dan sifat sumbatan.
 Pemeriksaan yang insentif dikerjakan secara selektif setelah
3-6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil dan
dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi
tertentu.
- Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomis (enema,
proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) atau fisiologis
(waktu singgah di kolon, sinedefekografi, manometri,
dan elektromiografi). Proktosigmoidoskop biasanya
dikerjakan pada konstipasi yang baru terjadi sebagai
prosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum.
Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya
darah dari rektum atau adanya riwayat keluarga
dengan kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi.
- Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon
dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan
radiologis setelah menelan bahan tersebut. Bila
timbunan zat ini terutama ditemukan di rektum
menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan
bila di kolon menunjukkan kelemahan yang
menyeluruh.
- Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah
anorektal untuk menilai evakuasi feses secara tuntas,
menidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi

145
kontraksi serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai
semacam pasta yang konsistensinya mirip feses,
dimasukkan ke dalam
rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet

146
yang diletakkan dalam pesawat sinar X. penderita
diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut.
Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung.
- Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan
pada rektum dan saluran anus saat istirahat dan pada
berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal.
- Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur
misalnya tekanan stingter dan fungsi saraf pudendus,
adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respons
sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak
didapat kelainan anatomis maupun fungsional,
sehingga penyebab dari konstipasi disebut sebagai
non-spesifik.
8. Terapi  Aktivitas dan olahraga teratur
 Asupan cairan dan serat (25-30 gram/hari) yang cukup
 Latihan usus besar; Penderita dianjurkan mengadakan waktu
secara teratur tiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus
besarnya. Dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah
makan, sehingga dapat memanfaatkan refleks gastro-kolon
untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan
penderita tanggap terhadap tanda- tanda dan rangsang untuk
BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk
BAB ini.
 Jika modifikasi perilaku kurang berhasil, ditambahkan lagi
terapi farmakologi, dan biasanya dipakai obat-obatan
golongan pencahar.
ada 4 tipe golongan obat pencahar :
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain:
- Cereal
- Methyl selulose
- Psilium
b. Melunakkan dan melicinkan feses obat ini bekerja
dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga
mempermudah penyerapan air.
Contohnya antara lain :
- Minyak kastor
- Golongan docusate

147
c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup
aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal
ginjal, antara lain :
- Sorbitol
- Lactulose
- Glycerin
d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas
usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu
diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bila dipakai
untuk jangka panjang, dapat merusak pleksus
mesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon.
Contohnya antara lain :
- Bisakodil
- Fenolptalein
 Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat
diatasi dengan cara-cara tersebut diatas, mungkin dibutuhkan
tindakan pembedahan. Pada umumnya, bila tidak dijumpai
sumbatan karena massa atau adanya
volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.
9. Edukasi a. Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)
b. Edukasi Edukasi obat obatan
10. Prognosis Dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

148
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

PNEUMONIA PADA GERIATRI


1. Pengertian (Definisi) infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai jenis
bakteri (Gram-positif maupun Gram-negatif, tipikal maupun
atipikal), virus, jamur dan parasit. Terdapat beberapa jenis
pneumonia sesuai dengan tempat didapatnya infeksi : pneumonia
komunitas (community-acquired pneumonia, CAP), pneumonia
yang didapat di rumah sakit (hospital- acquired pneumonia,
HAP), dan pneumonia yang didapat di
ICU (ventilator-associated pneumonia, VAP).
2. Anamnesis Gejala Mayor : 1. batuk
2. sputum produktif
3. demam (suhu > 37, 800C)
Gejala Minor : 1. sesak napas
2. nyeri dada
3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. jumlah leukosit > 12.000/µL
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis infiltrat baru atau perubahan infiltrat progresif pada foto toraks,
dengan disertai sekurang-kurangnya 1 gejala mayor atau 2 gejala
minor berikut:
Gejala Mayor : 1. batuk
2. sputum produktif
3. demam (suhu > 37, 800C)
Gejala Minor : 1. sesak napas
2. nyeri dada
3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. jumlah leukosit > 12.000/µL
pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang
tidak khas, selain batuk dan demam pasien tidak jarang
datang dengan keluhan gangguan kesadaran
5. Diagnosis Kerja Pneumonia pada geriatri
6. Diagnosis Banding Emboli paru, gagal jantung, tuberkolosis paru
7. Pemeriksaan Penunjang Darah lengkap dengan hitung jenis, ureum dan kreatinin, analisis
gas darah dan saturasi oksigen, c-reactive protein, albumin, foto
toraks, EKG, kultur sputum mikroorganisme
dan resistensi.

149
150
8. Terapi  Suportif : oksigen, cairan, nutrisi, mukolitik- ekspektoran,
bronkodilator
 Farmakologis :
- Antibiotika empirik segera diberikan sejak awal
sesuai dengan jenis pneumonia yang terjadi (CAP,
HAP atau VAP). Pada CAP dapat diberikan
antibiotika golongan b-laktam/anti b-laktamase dan
sefalosporin generasi II atau III yang dikombinasi
dengan makrolid atau doksisiklin, atau
fluorokuinolon saluran napas (levofloksasin,
gatifloksasin, moksifloksasin) sebagai obat tunggal.
Pada HAP atau VAP dipilih antibiotika yang bekerja
terhadap kuman Pseudomonas dan kuman nosocomial
lain, seperti sefalosporin generasi III anti-
pseudomonas, sefalosporin generasi IV, piperacillin-
tazobaktam, kuinolon anti-pseudomonas
(ciprofloksasin), atau aminoglikosida.
- Antibiotika spesifik diberikan setelah didapatkan
hasil pemeriksaan biakan kuman dan uji resistensi.
- Pemilihan antibiotika juga harus memperhatikan
penurunan fungsi organ yang mungkin sudah terjadi
pada usia lanjut.
 Program rehabilitas medic (fisioterapi dada dan program
lain yang terkait)
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

151
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

ULKUS DEKUBITUS
1. Pengertian (Definisi) adalah lesi yang disebabkan oleh tekanan yang menimbulkan
kerusakan jaringan dibawahnya.
2. Anamnesis  Imobilisasi

 Inkontinesia

 Fraktur

 Defisiensi nutrisi ( terutama vitamin C dan albumin )

 Kulit kering

 Peningkatan suhu tubuh

 Berkurangnya tekanan darah

 Usia lanjut
3. Pemeriksaan Fisik  Inspeksi kulit dari kepala hingga ujung kaki, depan hingga
belakang, palpasi sesuai indikas: perhatikan jumlah, lokasi,
ukuran(panjang, lebar, kedalaman) ulkus dan periksalah
apakah ada eksudat, bau, traktus sinus, formasi nekrosis atau
eschar
 Penilaiian ulang kulit tiap 8-24 jam, dengan perubahan
kondisi atau level of care
 Tanda infeksi
4. Kriteria Diagnosis anamnesis:
Imobilisasi, Inkontinesia , Fraktur, Defisiensi nutrisi ( terutama
vitamin C dan albumin ), Kulit kering, Peningkatan suhu tubuh,
Berkurangnya tekanan darah ,Usia lanjut pemeriksaan fisik
 Inspeksi kulit dari kepala hingga ujung kaki, depan hingga
belakang, palpasi sesuai indikas: perhatikan jumlah, lokasi,
ukuran(panjang, lebar, kedalaman) ulkus dan periksalah
apakah ada eksudat, bau, traktus sinus, formasi nekrosis atau
eschar
 Penilaiian ulang kulit tiap 8-24 jam, dengan perubahan
kondisi atau level of care
 Tanda infeksi
5. Diagnosis Kerja Ulkus peptikum

152
6. Diagnosis Banding Pada ulkus decubitus stadium IV, bila luka tidak membaik, foto
tulang terdapat kelainan, hitung leukosit > 15.000/µl, atau LED
120 mm/jam kemungkinan 70% sudah ada osteomyelitis
yang mendasari.
7. Pemeriksaan Penunjang DPL, kultur plus (MOR), kadar albumin serum, foto tulang di
region yang dengan ulkus dekubitus dalam.
8. Terapi Umum
 Pengelolaan decubitus diawali dengan kewaspadaan
mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal faktor-
faktor risiko untuk terjadinya dekubitus serta eliminasi
faktor-faktor risiko tersebut.
 Perhatikan status nutrisi pada semua stadium ulkus
dekubitus. Pemberian asam askorbat 500 mg 2 kali sehari
dapat mengurangi luas permukaan luka sebesar 84%. Asupan
protein juga merupakan predictor terbaik untuk membaiknya
luka dekubitus.
 Antibiotika sistematik diberikan bila terdapat bukti selulitis,
sepsis atau osteomyelitis. Klindamisin dan gentamisin dapat
berpenetrasi ke dalam jaringan di sekitar ulkus. Pemberian
antibiotik spektrum luas untuk batang gram negatif dan
positif, anaerob, dan kokus gram positif dilakukan pada
pasien sepsis karena ulkus decubitus.
 Debridement semua jaringan nektrotik harus dilakukan untuk
membuang sumber bakteremia pada pasien tersebut.
 Tempat tidur khusus : penggunaan kasur dekubitus yang
berisi udara serta reposisi 4 kali sehari menurunkan angka
kejadian ulkus dekubitus dibandingkan penggunaan tempat
tidur biasa dengan reposisi setiap 2 jam.
 Perawatan luka : tujuan perawatan luka adalah untuk
mengurangi jumlah bakteri agar proses penyembuhan tidak
terhambat. Hal ini dapat dilakukan dengan debridement
jaringan nekrotik secara pembedahan atau dengan
menggunakan kompres kassa dengan NaCl dua hingga tiga
kali sehari. Antiseptic seperti povidone iodine, asam asetat,
hidrogen peroksida, dan sodium hipoklorit (larutan Dakin)
bersifat sitotoksik terhadap fibroblast sehingga mengganggu
proses penyembuhan. Antibiotik topikal seperti silver
sulfadiazine dan gentamisin tidak menunjukkan sifat
sitotoksik. Bila sangat diperlukan seperti pada luka dengan
pus atau sangat bau, antiseptic dapat digunakan dalam waktu
singkat dan segera dihentikan begitu luka bersih. Zat-

153
zat pembersih
enzimatik seperti kolagenase, fibrinolisin, dan
deoksiribonuklease serta streptokinase-streptodornase bisa
membantu untuk debridement jaringan nekrotik namun zat-
zat ini juga akan merusak proses penyembuhan bila
digunakan setelah luka bersih.
 Bila luka telah bersih, harus dipelihara suasana luka yang
lembab untuk merangsang penyembuhan. Dari penelitian
diketahui bahwa kompres yang tertutup rapat dapat
membantu penyembuhan pada luka superfisial tapi tidak
pada luka dalam. Kompres ini harus dibiarkan selama
beberapa hari untuk memfasilitasi migrasi epidermis
(epitelisasi). Luka dalam yang bersih harus dikompres kasa
steril yang dibasahi dengan larutan NaCl atau RL. Kasa
lembab ini harus dijauhkan dari jaringan kulit sekitar luka
agar jaringan normal tidak teriritasi.
 Tindakan medik berdasarkan derajat ulkus :
a. Dekubitus derajat I : Kulit yang kemerahan dibersihkan
dengan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi
lotion, kemudian dimasase 2-3 kali/hari.
b. Dekubitus derajat II : Perawatan luka memperhatikan
syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Dapat diberikan
salep topical. Pergantian balut dan salep jangan terlalu
sering karena dapat merusak pertumbuhan jaringan yang
diharapkan.
c. Dekubitus derajat III : Usahakan luka selalu bersih dan
eksudat dapat mengalir keluar. Balutan jangan terlalu
tebal dan sebaiknya transparan sehingga udara dapat
masuk dan penguapan berjalan baik. Dengan menjaga
luka agar tetap basah akan mempermudah regenerasi sel-
sel kulit.
d. Semua langkah diatas dikerjakan dan jaringan nekrotik
harus dibersihkan karena akan menghalangi epitelisasi.
 Penilaian tindak lanjut diulang minimal seminggu sekali.
Evaluasi yang diperlukan adalah mengenai lokasi, stadium,
ukuran dan karakteristik lainnya yang perlu dicatat. Dalam
waktu 2 hingga 4 ulkus harus menunjukkan perbaikan.
Berkurangnya ukuran ulkus dalam waktu 2 minggu memberi
gambaran akan terjadinya penyembuhan
sempurna.

154
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

155
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

MALNUTRISI
1. Pengertian (Definisi) adalah keadaan yang disebabkan ketidakseimbangan antara
asupan kalori dan protein dengan kebutuhan tubuh. Pada orang
usia lanjut, malnutrisi sulit dikenali karena terjadi berbagai
perubahan fisiologis seiring peningkatan usia, termasuk
perubahan akan kebutuhan zat gizi, serta adanya berbagai
penyakit kronik. Malnutrisi yang terjadi pada usia lanjut sering
dipengaruhi berbagai hal seperti keadaan gigi- geligi, gangguan
menelan, masalah neuropsikologis (depresi,
demensia), keganasan, dan imobilisasi.
2. Anamnesis Asupan zat gizi sehari-hari (food recall), penurunan berat badan,
gangguan mengunyah, gangguan menelan, status fungsional
(aktivitas hidup sehari-hari terutama yang berhubungan dengan
penyiapan dan proses makan), penyakit kronis yang diderita
(termasuk ada-tidaknya diare kronik),
adanya depresi atau demensia, serta penggunaan obat-obatan.
3. Pemeriksaan Fisik Higiene rongga mulut, status gigi-geligi, status neurologis
(gangguan menelan), kulit yang kering/bersisik, rambut
kemerahan, massa otot, edema tungkai.
4. Kriteria Diagnosis Komponen penilaian status gizi pada usia lanjut mencakup :
anamnesis, pemeriksaan fisis dan antropometrik, serta
laboratorium. Komponen-komponen tersebut tidak selalu dapat
menentukan ada-tidaknya malnutrisi, namun setidaknya dapat
menentukan apakah seorang usia lanjut berisiko atau
diduga mengalami malnutrisi.
5. Diagnosis Kerja malnutrisi
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Penunjang Darah perifer lengkap dengan hitung jenis leukosit, serum
albumin, prealbumin, kadar kolesterol, kadar vitamin/mineral,
elektrolit, bioelectrical impedance analysis.
8. Terapi Evaluasi umum dan kebutuhan nutrisi
 Evaluasi penyebab dan faktor risiko timbulnya malnutrisi
yang pada usia lanjut umumnya merupakan kombinasi dari
berbagai penyebab, mulai dari faktor sosial ekonomi
(kemiskinan, pengetahuan rendah), neuropsikologis (adanya
demensia atau depresi), dan kondisi fisik-medik
156
157
(gangguan fungsi organ pencernaan serta adanya penyakit-
penyakit akut atau kronis).
 Evaluasi status fungsional, terutama yang berhubungan
dengan penyiapan dan proses makan
 Menentukan jumlah energy dan komposisi zat gigi yang akan
diberikan. Jumlah kebutuhan energy dapat ditentukan dengan
menghitung total energy expenditure (TEE). Selain jumlah
kalori, kebutuhan cairan, protein/asam amino, serta mineral
dan vitamin perlu juga ditentukan. Penetuan kebutuhan dan
komposisi nutrisi dan cairan ini juga memerlukan evaluasi
kondisi medic termasuk penurunan fungsi organ yang terjadi
(adanya gagal jantung, penyakit ginjal kronik, hepatitis
kronis dan sirosis hati, diabetes mellitus, keganasan dan
fungsi absorbs saluran cerna).
Terapi/dukungan nutrisi
 Secara umum, dukungan nutrisi pada usia lanjut yang
mengalami malnutrisi dapat dilakukan melalui cara enteral
atau parenteral
 Dukungan nutrisi enteral harus menjadi pilihan utama,
mengingat hal ini merupakan cara yang fisiologis. Pemberian
nutrisi secara enteral akan mempertahankan fungsi mencerna,
absorbs dan barrier imunologis saluran cerna. Bila berbagai
faktor risiko dan kondisi medic dapat diatasi, umumnya
pasien diharapkan dapat makan secara normal. Pada usia
lanjut yang dapat makan secara normal, jumlah dan jenis zat
gizi yang dikonsumsi setiap hari penting untuk dipantau
karena mereka cenderung untuk mengurangi makannya. Pada
beberapa keadaan, nutrisi enteral dapat diberikan melalui
pipa nasogastric, pipa nasoduodenum, pipa nasoileum,
maupun dengan gastrostomy. Dukungan nutrisi enteral
semacam ini umumnya berupa makanan cair, sehingga
overload cairan harus menjadi pertimbangan (misalnya
dengan mengentalkan).
 Dukungan nutrisi parenteral dipilih bila secara enteral nutrisi
tidak mungkin dilakukan. Umumnya digunakan pada pasien
usia lanjut di rumah sakit yang dalam keadaan akut atau sakit
berat (critically ill), dimana fungsi saluran cerna terganggu
atau terdapat kontraindikasi pemberian nutrisi enteral (seperti
adanya perdarahan saluran cerna, pankreatitis, atau ileus).
Namun tidak tertutup
kemungkinan bahwa dukungan nutrisi parenteral

158
dilakukan untuk jangka panjang dan dilakukan di rumah atau
fasilitas perawatan jangka panjang lain. Saat ini telah banyak
tersedia berbagai jenis dan komposisi zat nutrisi (kalori, asam
amino, lipid, mineral/vitamin) dalam bentuk cairan
parenteral. Penggunaan dukungan nutrisi parenteral
memerlukan teknik khusus dan pemantauan yang ketat.
Terapi lain
 Pada pasien-pasien keganasan atau keadaan lain dimana
terdapat anoreksia, dapat diberikan peningkat nafsu- makan
(appetite stimulant) seperti megesterol asetat.
9. Edukasi a. Edukasi gizi dan pola makan
(Hospital Health Promotion)
b. Edukasi Edukasi obat obatan
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis 80% pasien dirawat selama 5 hari

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

159
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

DEPRESI
1. Pengertian (Definisi) merupakan gangguan efektif yang ditandai adanya mood depresi
(sedih), hilang minat dan mudah lelah. Pada umumnya pasien
datang ke klinik penyakit dalam dengan keluhan
somatik.
2. Anamnesis Gejala A
 Perasaan sedih (depresif), tidak bisa menikmati hidup
 Kurang atau tidak ada perhatian pada lingkungan
 Mudah lelah
Gejala B
 Konsentrasi dan perhatian kurang
 Harga diri dan kepercayaan diri kurang
 Perasaan bersalah / tidak berguna
 Pandangan masa depan suram/pesimis
 Tidur terganggu
 Nafsu makan kurang/bertambah
3. Pemeriksaan Fisik respirasi meningkat, tekanan darah dapat meningkat, dan
tanda lain sesuai keluhan fisiknya
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan apabila ada gejala-gejala tersebut dengan
ataupun tanpa gejala somatic. Derajat depresi :
1. Ringan : 2 gejala A dan 2 gejala B
2. Sedang : 2 gejala A dan 3 gejala B
3. Berat : 3 gejala A dan 4 gejala B
5. Diagnosis Kerja depresi
6. Diagnosis Banding Gangguan campuran ansietas dan depresi, ansietas, gangguan
somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi).
7. Pemeriksaan Penunjang  Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi
hati, urin lengkap
 AGD, K, Na, Ca, T3, T4, TSH, sesuai indikasi

 Foto toraks, bila perlu

 EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu

 Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila perlu

160
8. Terapi Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapi
Farmakologis :
 Antidepresan : maprotilin, amineptin; moklobemid; dan obat
golongan SRRI seperti sertralin, paroksetin dan lain- lain.
 Simtomatik, sesuai indikasi
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

161
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

DISPEPSI FUNGSIONAL
1. Pengertian (Definisi) adalah perasaan dispepsi tanpa disertai adanya kelainan
organik.
2. Anamnesis  Rasa sakit dan tidak enak di ulu hati
 Perih, mual, kembung, cepat kenyang, muntah, sering
bersendawa, regurgitasi.
 Keluhan dirasakan terutama berhubungan / dicetuskan
dengan adanya stress
 Berlangsung lama dan sering kambuh
 Sering disertai gejala-gejala ansietas dan depresi
 Pemeriksaan endoskopi normal
3. Pemeriksaan Fisik  Evaluasi sistem kardiologi, hepatobilier, ginjal tiroid: dalam
batas normal
 Turgo kulit, berat bdan
4. Kriteria Diagnosis diagnosa ditegakkan berdasarkan klinis dan pemeriksaaan
endoskopi saluran cemas bagian atas
anamnesis: rasa sakit tidak enak diulun hati, perih, mual muntah,
cepat kenyang, kembung, sedang sendawa, regurgitasi.Keluhan
dirasakan umumnya
berhubungan/dicetuskan dengan adanya stres, berlangsung lama
dang sering kambuh, sering disertai gejala-gejala ansietas dan
depresi
pemeriksaan fisik: evaluasi sistem kardiovaskuler
5. Diagnosis Kerja Dispepsi fungsional
6. Diagnosis Banding Dispepsia oleh sebab organic misalnya ulkus peptikum,
gastritis erosive dsb
Gangguan pada sistem hepato-bilier
Dispepsi yang disebabkan penyakit kronik lain misalnya
gagal ginjal, diabetes mellitus, dsb.
7. Pemeriksaan Penunjang  Hb, Ht, leukosit, kreatinin, ureum, gula darah, tes fungsi
hati, urin lengkap
 Radiologis : Foto lambung dan duodenum dengan kontras
 Endoskopi
 Pemeriksaan laboratorium lain sesuai indikasi untuk
menyingkirkan diagnosis banding

162
8. Terapi  Simptomatik diberikan antasida, obat-obatan H2 antagonis,
seperti : simetidin, ranitidine, famotidine; penghambat
pompa proton seperti omeprazole dan obat- obatan
prokinetik.
 Bila jelas terdapat ansietas atau depresi diberikan ansiolitik
atau anti depresan yang sesuai.
 Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia ad Bonam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

163
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

SINDROM LELAH KRONIK


1. Pengertian (Definisi) adalah rasa lelah yang berlangsung lama dan tidak hilang
dengan istirahat tanpa penyebab organik yang jelas.
2. Anamnesis  Gejala utama : rasa lelah kronis yang dirasakan terus
menerus atau berulang. Rasa lelah bertambah bila melakukan
aktivitas atau saat mengalami stress emosi dan tidak pulih
sepenuhnya dengan istirahat.
 Gejala tambahan yang dapat menyertai ialah myalgia,
sefalgia, nyeri sendi, nyeri tenggorok (faringitis), demam,
limfadenopati terutama daerah leher atau aksila. Juga
didapatkan adanya gejala-gejala neuropsikologis seperti
depresi, kecemasan, insomnia.
3. Pemeriksaan Fisik -
4. Kriteria Diagnosis Gejala utama dalam 6 bulan atau lebih disertai minimal 4
gejala tambahan dan tidak didapatkan penyakit kronis lain
yang spesifik.
5. Diagnosis Kerja Sindrom lelah kronik
6. Diagnosis Banding Chronic fatique, fibromyalgia, keganasan, infeksi kronis,
penyakit autoimun, penyalahgunaan obat (drug abuse).
7. Pemeriksaan Penunjang  Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik
 Pemeriksaan penunjang sesuai dengan gejala yang dominan
dan bila diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis
8. Terapi  Terapi simtomatik sesuai gejala yang dominan
 Antidepresan
 Latihan (rehabilitasi) psikis dan fisik
 Terapi penunjang lain, diet rendah lemak, vitamin, tidak
merokok, tidak minum alkohol
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis bonam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

164
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

165
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

ANSIETAS
1. Pengertian (Definisi) merupakan kecemasan yang berlebihan dan lebih bersifat
subyektif. Pada umumnya pasien datang ke poliklinik penyakit
dalam dengan keluhan somatik.
2. Anamnesis  Ketegangan motorik : kedutan otot, kaku, pegal, sakit dada,
sakit persendian
 Hiperaktif otonom : sesak napas, jantung berdebar, telapak
tangan basah, mulut kering, rasa mual, mules, diare dan lain-
lain.
 Bila ditemukan adanya kelainan organis pada umumnya
keluhan tidak sebanding dengan kelainan organ yang
ditemukan.
 Kewaspadaan yang berlebihan dan daya tangkap berkurang :
mudah terkejut, cepat tersinggung sulit
konsentrasi, sukar tidur dan lain-lain.
3. Pemeriksaan Fisik  Tekanan darah

 Nadi

 Suhu

 Pernafasan
4. Kriteria Diagnosis 1. Perasaan cemas berlebihan, subyektif, tidak realistis
2. Terdapat keluhan dan gejala-gejala sbb :
 Ketegangan motorik : kedutan otot, kaku, pegal, sakit
dada, sakit persendian
 Hiperaktif otonom : sesak napas, jantung berdebar,
telapak tangan basah, mulut kering, rasa mual, mules,
diare dan lain-lain.
 Bila ditemukan adanya kelainan organis pada umumnya
keluhan tidak sebanding dengan kelainan organ yang
ditemukan.
 Kewaspadaan yang berlebihan dan daya tangkap
berkurang : mudah terkejut, cepat tersinggung sulit
konsentrasi, sukar tidur dan lain-lain.
3. Aktivitas sehari-hari terganggu : kemampuan kerja menurun,
hubungan sosial terganggu, kurang merawat
diri, dan lain-lain.

166
5. Diagnosis Kerja Ansietas

167
6. Diagnosis Banding Gangguan campuran ansietas dan depresi, deptresi, gangguan
somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi).
7. Pemeriksaan Penunjang  Hb, Ht, Leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi
hati, urin lengkap
 Analisis gas darah, K, Na, Ca, T3, T4, TSH sesuai indikasi
 Foto toraks, bila perlu
 EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu
 Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila perlu
8. Terapi Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapi
Farmakologis :
 Benzodiazepin : Diagzepam, Alprazolam, Clobazam
 Non benzodiazepine : Buspiron, penyekat beta bila gejala
hiperaktivitas otonom menonjol
 Simtomatik, sesuai indikasi
9. Edukasi a. Keluarga
(Hospital Health Promotion)
b. Individu
10. Prognosis bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Indikator Medis 1. keluhan otonomik berkurang
2.ADL baik

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

168
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

SINDROM HIPERVENTILASI
1. Pengertian (Definisi) adalah sesak napas disertai adanya takhipnu tanpa kelainan
organic
2. Anamnesis  Sesak nafas tidak khas
 Merasa adanya kekurangan udara sehingga harus menarik
napas panjang
 Sering disertai adanya takhipneu dan rasa sempit di dada
 Kadang-kadang disertai adanya keluhan pada jantung
 Parestesi
 Badan terasa enteng, melayang, penglihatan kabur
 Gejala-gejala fisik lain yang tidak khas
 Kejang pada tangan dan kaki seperti keadaan histerik
 Adanya gangguan emosional terutama rasa takut
 Stressor psikososial
3. Pemeriksaan Fisik -
4. Kriteria Diagnosis untuk menegakkan diagnosis SH, pada dasarnya mengunakan
kriteria diagnosis ekslusi namun tetap diperlukan pemeriksaan
penunjang tambahan lain, antara lain:
 Tidak ditemukanya etiologi kardiak pada kesulitan bernafas
 Tidak ditemukanya etiologi respirasi pada kesulitan
bernafas
 Pola nafas ireguler dalam keadaan istirahat maupun
olahraga
 Tidak ada buktinya hipertensi pulmonal
 Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menegakan emboli
paru
5. Diagnosis Kerja Sindrom hiperventilasi
6. Diagnosis Banding Angina pectoris, terutama pada orang tua, proses lokal di otak,
gangguan elektrolit dan asam basa, hipoparatiroidisme, tetanus,
ansietas panic.
7. Pemeriksaan Penunjang  Hb, Ht, Leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi
hati, urin lengkap
 AGD, K, Na, Ca
 Foto toraks, EKG, sesuai diagnosis banding
 Hormone paratiroid
169
170
8. Terapi Nonfarmakologis :
Istirahat, psikoterapi suportif
Farmakologis :
 Sungkup dan oksigen nasal
 Ansiolitik golongan benzodiazepin
 Koreksi bila ada gangguan elektrolit dan asam basa
 Simptomatik sesuai keperluan
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

171
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

NYERI PSIKOGENIK
1. Pengertian (Definisi) adalah keluhan nyeri yang penyebabnya bukan penyebab
penyakit organic
2. Anamnesis 1. Adanya nyeri tanpa kelainan organik yang jelas, misalnya
nyeri kepala, migren, mialgia, artalgia, kolik abdomen dll.
2. Stresor psikososial (+)
3. Sering disertai adanya gejala-gejala depresi atau ansietas.
3. Pemeriksaan Fisik diperlukan pemeriksaaan yang teliti pada area nyeri dan
sekitarnya, sistem saraf, fungsi matoris dan sensoris serta fungsi
organ-organ dalam. Pada nyeri psikogenik tidak terdapat temuan
fisis, atau temuan fisis tidak adekuat untuk
menjelaskan keparahan nyeri
4. Kriteria Diagnosis  Nyeri pada satu atau lebih daerah anatomis dengan
keparahaan yang cukup sehinga membutuhkan perhatian
klinis
 Memyebabkan distress atau gangguan pada bidang sosial,
pekerjaan, atau bidang fungsional lain yang signifikan secara
klinis
 Faktor psikologis dinilai memiliki peran penting dalam
awitan, keparahan eksaserbasi atau lamanya nyeri
5. Diagnosis Kerja Nyeri psikogenik
6. Diagnosis Banding Nyeri organic sesuai dengan lokasi nyeri
7. Pemeriksaan Penunjang  Hb, Ht, Leukosit, hitung, urin lengkap
 Foto roentgen, EKG dll sesuai diagnosis banding nyeri
organik
8. Terapi Nonfarmakologis : istirahat, psikoterapi suportif dan psikoterapi
perilaku
Farmakologis :
 Analgetik, NSAID, antispasmodic, ansiolitik dan anti
depresan simtomatik lain bila perlu, analgetik narkotik, obat
yang menghambat saraf lokal.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis bonam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi

172
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

173
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

SINDROM KOLON IRITABEL


1. Pengertian (Definisi) Sakit perut disertai gangguan buang air besar tanpa dijumpai
kelainan organik.
2. Anamnesis  Rasa nyeri/tidak enak di perut disertai diare dan atau
konstipasi
 Perut kembung yang tampak dengan jelas
 Rasa nyeri di perut hilang setelah buang air besar
 Buang air besar lebih sering pada saat timbulnya rasa sakit
 Keluhan-keluhan psikis menonjol seperti gejala-gejala
ansietas atau depresi
 Feses lembek pada saat timbulnya rasa sakit
 Feses campur lender dan tidak berdarah
 Penurunan berat badan tidak lebih dari 5% dalam satu
tahun terakhir
 Pemeriksaan feses tidak ditemukan parasit
 Pemeriksaan barium enema maupun kolonoskopi normal
3. Pemeriksaan Fisik perut tampak kembung atau distensi, kadang dapat teraba kolon
pada fosa iliaka kiri ( 86%) disertai nyeri tekan (78%), bising
usus meningkat pada fosa iliaka kanan ( 36%). Pada colok dubur
didapatkan adanya rasa nyeri (52%), rectum
kosong
4. Kriteria Diagnosis anamnesisi:
 Rasa nyeri/tidak enak di perut disertai diare dan atau
konstipasi
 Perut kembung yang tampak dengan jelas
 Rasa nyeri di perut hilang setelah buang air besar
 Buang air besar lebih sering pada saat timbulnya rasa sakit
 Keluhan-keluhan psikis menonjol seperti gejala-gejala
ansietas atau depresi
 Feses lembek pada saat timbulnya rasa sakit
 Feses campur lender dan tidak berdarah
 Penurunan berat badan tidak lebih dari 5% dalam satu
tahun terakhir
 Pemeriksaan feses tidak ditemukan parasit
 Pemeriksaan barium enema maupun kolonoskopi normal
pemeriksaan fisik :
174
175
perut tampak kembung atau distensi, kadang dapat teraba kolon
pada fosa iliaka kiri ( 86%) disertai nyeri tekan (78%), bising
usus meningkat pada fosa iliaka kanan ( 36%). Pada colok dubur
didapatkan adanya rasa nyeri (52%), rectum
kosong
5. Diagnosis Kerja Nyeri psikogenik
6. Diagnosis Banding  Penyakit kolon inflamasi (kolitis)
 Laktosa intolerans
 Karsinoma kolon
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, ureum,
kreatinin, gula darah, tes fungsi hati
 Faeses lengkap (cacing, amuba)
 Barium enema
 Kolonoskopi
8. Terapi  Diet tinggi serat untuk memperbaiki konstipasi, sedangkan
laksatif diberikan bila perlu dan hanya dalam jangka pendek.
 Untuk nyeri yang mengganggu dapat diberikan
antispasmodic seperti mebeverin hidroklorid, atau obat- obat
anti kolinergik.
 Keluhan diare diobati dengan loperamid 2-4 mg empat kali
sehari
 Bila gejala psikis menonjol diberikan ansiolitik atau anti
depresan yang sesuai
 Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis bonam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

176
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

PENYAKIT JANTUNG FUNGSIONAL


( NEUROSIS KARDIAK)
1. Pengertian (Definisi) adalah kelainan dengan keluhan seperti penyakit jantung
tanpa disertai kelainan organik.
2. Anamnesis  Nyeri dada
 Kesemutan
 Tremor
 Sakit kepala
 Tidak bisa tidur
 Pandangan mata gelap
 Berkunang kunang
 Lemas
 Stressor psikososial (+)
3. Pemeriksaan Fisik  Terdapat keluhan psikis seperti rasa takut, risau/waswas,
gelisah dsb.
 Keluhan-keluhan umum lainnya seperti pandangan mata
gelap, berkunang-kunang, lemas.
4. Kriteria Diagnosis  Nyeri dada menyerupai ‘angina pektoris’ biasanya
dicetuskan oleh suatu stressor tertentu.
 Berdebar-debar/palpitasi, sesak napas atau napas terasa
berat
 Adanya keluhan-keluhan vegetatif seperti kesemutan,
tremor, sakit kepala, tidak bisa tidur, dsb.
 Terdapat keluhan psikis seperti rasa takut, risau/waswas,
gelisah dsb.
 Keluhan-keluhan umum lainnya seperti pandangan mata
gelap, berkunang-kunang, lemas.
 Stressor psikososial (+)
 Pemeriksaan EKG, ekokardiografi maupun tes treadmill
normal.
5. Diagnosis Kerja penyakit jantung fungsional
6. Diagnosis Banding Penyakit jantung koroner (angina pectoris, infark miokard)
7. Pemeriksaan Penunjang Elektrokardiografi, ekokardiografi dan tes treadmill.

177
8. Terapi  Analgetik untuk rasa nyeri
 Pemberian ansiolitik yang sesuai, biasanya untuk ansietas
panik
 Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia ad Bonam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

178
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

INFEKSI HIV/AIDS
1. Pengertian (Definisi) Pasien dinyatakan terbukti terinfeksi HIV bila dari
pemeriksaan penunjang
2. Anamnesis  Stadium 1 : asimtomatik, limfadenopati generalisata
 Stadium 2
- Berat badan turun < 10%
- Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik,
prurigo, infeksi jamur kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis
angularis)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran napas atas rekuren
 Stadium 3
- Berat badan turun > 10%
- Diare yang tidak diketahui penyebab, > 1 bulan
- Demam berkepanjangan (intermitena atau
konstan), > 1 bulan
- Kandidiasis oral
- Oral hairy leucoplakia
- Tuberculosis paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
 Stadium 4
- HIV wasting syndrome
- Pneumonia Pneumocystis carinii
- Toksoplasma serebral
- Kriptosporidiosis dengan diare > 1 bulan
- Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar
getah bening (misalnya retinitis CMV)
- Infeksi herpes simpleks, mukokutan (> 1 bulan) atau
visceral
- Progressive multifocal leucoencephalopathy
- Mikrobakteriosis atipik, diseminata atau paru
- Septikemia salmonella non-tifosa
- Tuberkulosis ekstrapulmonar
- Limfoma
179
- Sarkoma Kaposi
- Ensefalopati HIV

180
3. Pemeriksaan Fisik pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda fital, berat badan, tanda-
tanda yang mengarah kepada infeksi oportunistik sesuain dengan
stadium klinis HIV seperti yang terdapat pada tabel di bawah ini.
Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari faktor resiko
penularan HIV dan AIDS seperti needle
track pada pengfunaan NAPZA suntik, dan tanda-tanda IMS
4. Kriteria Diagnosis anamnesis:
 Stadium 1 : asimtomatik, limfadenopati generalisata
 Stadium 2
- Berat badan turun < 10%
- Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo,
infeksi jamur kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran napas atas rekuren
 Stadium 3
- Berat badan turun > 10%
- Diare yang tidak diketahui penyebab, > 1 bulan
- Demam berkepanjangan (intermitena atau
konstan), > 1 bulan
- Kandidiasis oral
- Oral hairy leucoplakia
- Tuberculosis paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
 Stadium 4
- HIV wasting syndrome
- Pneumonia Pneumocystis carinii
- Toksoplasma serebral
- Kriptosporidiosis dengan diare > 1 bulan
- Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar
getah bening (misalnya retinitis CMV)
- Infeksi herpes simpleks, mukokutan (> 1 bulan) atau
visceral
- Progressive multifocal leucoencephalopathy
- Mikrobakteriosis atipik, diseminata atau paru
- Septikemia salmonella non-tifosa
- Tuberkulosis ekstrapulmonar

181
- Limfoma
- Sarkoma Kaposi

182
 Ensefalopati HIV
pemeriksaan fisik : pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda
fital, berat badan, tanda-tanda yang mengarah kepada infeksi
oportunistik sesuain dengan stadium klinis HIV seperti yang
terdapat pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga
bertujuan untuk mencari faktor resiko penularan HIV dan AIDS
seperti needle track pada pengfunaan NAPZA suntik,
dan tanda-tanda IMS
5. Diagnosis Kerja infeksi hiv/aids
6. Diagnosis Banding Penyakit imunodefisiensi primer
7. Pemeriksaan Penunjang  Anti – HIV ELISA

 Anti – HIV Western Blot

 Antigen p-24

 Hitung CD4

 Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR


 Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi
oportunistik
8. Terapi  Konseling
 Terapi suportif
 Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi
oportunistik
 Terapi antiretrovirus kombinasi, efek samping dan
penanganannya
 Vaksinasi pada peneerita HIV/AIDS
 Terapi pasca paparan HIV (post-exposure prophylaxis)
 Penatalaksanaan infeksi HIV pada kehamilan
 Penatalaksanaan koinfeksi HIV dengan hepatitis C dan
hepatitis B
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Tergantung stadium penyakit
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

183
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

184
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

RENJATAN ANAFILAKSIS
1. Pengertian (Definisi) adalah keadaan gawat darurat yang ditandai dengan (hipotensi
penurunan tekanan darah sistolik < 90 mmHg akibat respons
hipersensitivitas tipe I (adanya reaksi antigen dengan antibody
Ig E)
2. Anamnesis  Reaksi sistematik ringan : rasa geli/gatal serta hangat, rasa
penuh di mulut dan tenggorokan, hidung tersumbat dan
terjadi edema di sekitar mata, kulit gatal, mata berair, bersin-
bersin, onset biasanya 2 jam setelah paparan antigen.
 Reaksi sistematik sedang : seperti reaksi sistematik ringan,
ditambah spasme bronkus dan atau edema saluran napas,
sesak, batuk, mengi, angioedema, urtikaria menyeluruh,
mual, muntah, gatal, badan terasa hangat, gelisah, onset
seperti reaksi anafilatktik ringan.
 Reaksi sistematik berat : terjadi mendadak, seperti reaksi
sistematik ringan dan sedang yang bertambah berat. Spasme
bronkus, edema laring, suara serak, stridor, sesak napas,
sianosis, henti napas. Edema dan hipermotilitas saluran cerna
sehingga sakit menelan, kejang perut, diare dan muntah.
Kejang uterus, kejang umum. Gangguan
kardiovaskulaar, aritmia jantung, koma.
3. Pemeriksaan Fisik -
4. Kriteria Diagnosis -
5. Diagnosis Kerja renjatan anafilaksis
6. Diagnosis Banding Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
7. Pemeriksaan Penunjang Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis gas darah,
EKG

185
8. Terapi A. Untuk renjatan :
1. Adrenalin larutan 1 : 1000, 0,3 – 0,5 ml
subkutan/intramuskular pada lengan atas atau paha. Bila
renjatan anafilaksis disebabkan sengatan serangga
berikan suntikan andrenalin kedua 0,1 – 0,3 ml pada
tempat sengatan kecuali bila sengata di kepala, leher,
tangan dan kaki. Terapi dapat dilanjutkan dengan infus
adrenalin 1 ml (1 mg) dalam dekstrosa 5% 250 cc dimulai
dengan kecepatan I ug/menit dapat ditingkatkan sampai 4
ug/menit sesuai keadaan tekanan darah. hati-hati pada
orang tua dengan kelainan jantung atau gangguan
kardiovaskular lainnya.
2. Pasang tourniquet proksimal dari suntikan atau sengatan
serangga, dilonggarkan 1-2 menit setiap 10 menit.
3. Oksigen bila sesak, mengi, sianosis 3-5 1/menit dengan
sungkup atau kanulnasal
4. Antihistamin intravena, intramuskular atau oral Rawat
pasien di ICU bila dengan tindakan diatas tidak membaik,
dilanjutkan dengan terapi :
1. IVFD Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl 2-3 1/m2 permukaan
tubuh
2. Dopamine 0,3 – 1,2 mg/kgBB/jam bila tekanan darah tidak
membaik
3. Kortikosteroid 7-10 mg hidrokortison/kgBB intravena
dilanjutkan 5 mg/kgBB tiap 6 jam, yang dihentikan setelah
72 jam.
B. Bila disertai spasme bronkus maka pada pasien diberikan
inhalasi beta-2 agoins
Jika spasme bronkus menetap aminofilin 4-6 mg/kgBB
dilarutkan dalam NaCl 0,9% 10 ml diberikan perlahan- lahan
dalam 20 menit, bila perlu dilanjutkan dengan infus
aminofilin 0,2 – 1,2 mg/kgBB/jam.
C. Bila disertai edema hebat saluran napas atas maka pada
pasien dilakukan intubasi dan trakeostomi
D. Pemantauan paling sedikit 24 jam
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Tergantung organ yang terlibat dan beratnya gejala
11. Tingkat Evidens

186
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

187
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

ASMA BRONKIAL
1. Pengertian (Definisi) adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai
dengan obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau
tanpa pengobatan akibat hiperraktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen seluler
terutama mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag,
neutrophil dan epitel.
2. Anamnesis  Sesak nafas

 Rasa berat di dada


3. Pemeriksaan Fisik Temuan fisi paling sering adalah mengi pada auskultasi, pada
eksarsebasi bera, mengi dapat tidak ditemukan namun pasien
mengalami tanda lain seperti sianosis, mengantuk, kesulitan
berbicara, takikardi, dad hiperinflasi, pengunana otot
pernafasan tambahan, dan retraksi interkostal
4. Kriteria Diagnosis Episode berulang sesak napas, dengan atau tanpa mengi dan rasa
berat di dada akibat faktor pencetus. Asma brokial dibagi
menjadi :
1. Asma intermiten, gejala asma < 1 kali/minggu,
asimptomatik, APE diantara serangan normal, asma malam ≤
2 kali/bulan, APE ≥ 80%, variabilitas < 20%
2. Asma persisten ringan, gejala asma ≥ 1 kali/minggu, < 1
kali/hari, asma malam > 2 kali/bulan, APE ≥ 80%,
variabilitas 20-30%
3. Asma persisten sedang, gejala asma tiap hari, tiap hari
menggunakan beta 2 agonis kerja singkat, aktivitas terganggu
saat serangan, asma malam > 1 kali/minggu, APE > 60% dan
< 80% prediksi atau variabilitas > 30%.
4. Asma persisten berat, gejala asma terus menerus, asma
malam sering, aktivitas terbatas, dan APE ≤ 60% prediksi
atau variabilitas > 30%. Asma eksaserbasi akut dapat
terjadi pada semua tingkatan derajat asma.
5. Diagnosis Kerja asma bronkial
6. Diagnosis Banding Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal jantung
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : jumlah eosinophil darah dan sputum, foto toraks,
spirometri, uji tusuk kulit (skin prick test/SPT), uji bronkodilator
atas indikasi, uji provokasi bronkus atas
indikasi, analisis gas darah atas indikasi.

188
189
8. Terapi 1. Asma intermiten tidak memerlukan obat pengendali
2. Asma persisten ringan memerlukan obat pengendali
kortikosteroid inhalasi (500 ug BDP atau ekuivalennya) atau
pilihan lainnya : teofilin lepas lambat, kromolin,
antileukotrien.
3. Asma persisten sedang memerlukan obat pengendali berupa
kortikosteroid inhalasi (200-1000 ug BDP atau ekuivalennya)
+ teofilin lepas lambat atau kortikosteroid inhalasi (500-1000
ug BDP atau ekuivalennya) + LABA oral atau kortikosteroid
inhalasi dosis ditinggikan (> 1000 ug BDP atau
ekuivalennya) atau kortikosteroid inhalasi 500-1000 ug BDP
atau ekuivalennya) + antileukotrien.
4. Asma persisten berat memerlukan kortikosteroid Inhalasi
(> 1000 ug BDP atau ekuivalennya) + LABA Inhalasi +
salah satu pilihan berikut :
 Teofilin lepas lambat
 Antileukotrien
 LABA oral
BDP = Budesonide propionate
Sedangkan untuk penghilang sesak pada pasien diberikan
inhalasi beta-2 agonis kerja singkat tetapi tidak boleh lebih dari
3-4 kali sehari. Inhalasi antikolinergik, agonis beta-2 kerja
singkat oral dan teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai
pilihan lain selai agonis beta-2 kerja singkat inhalasi. Bila terjadi
eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai
berikut :
1. Oksigen
2. Inhalasi agonis beta-2 tiap 20 menit sampai 3 kali
selanjutnya tergantung respons terapi awal
3. Inhalasi antikolinergik (ipratropium bromida) setiap 4-6 jam
terutama pada obstruksi berat (atau dapat diberikan bersama-
sama dengan agonis beta-2)
4. Kortikosteroid oral atau parenteral dengan dosis 40-60
mg/hari setara prednison
5. Aminofilin tidak dianjurkan (bila diberikan dosis awal 5-
6 mg/kgBB dilanjutkan infus aminofilin 0,5-0,6
mg/kgBB/jam)
6. Antibiotik bila ada infeksi sekunder

190
7. Pasien diobservasi 1-3 jam kemudian dengan pemberian
agonis beta-2 tiap 60 menit. Bila setelah masa observasi terus
membaik, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5
hari) : inhalasi agonis beta-2 diteruskan, steroid oral
diteruskan, penyuluhan dan pengobatan lanjutan, antibiotik
diberikan bila ada indikasi, perjanjian kontrol berobat.
8. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada perbaikan atau
pasien termasuk golongan risiko tinggi : pemeriksaan fisik
tambah berat, APE (Arus Puncak Ekspirasi) > 50% dan <
70% dan tidak ada perbaikan hipoksemia (dari hasil analisis
gas darah) pasien harus dirawat.
Pasien dirawat di ICU bila tidak berespon terhadap upaya
pengobatan di unit gawat darurat atau bertambah beratnya
serangan/buruknya keadaan setelah perawatan 6-12 jam, adanya
penurunan kesadaran atau tanda-tanda henti napas, hasil
pemeriksaa analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dengan
kadar pO2 < 60 mmHg dan/atau pCO2 > 45 mmHg
walaupun mendapat pengobatan oksigen yang adekuat.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Tergantung beratnya gejala
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

191
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

URTIKARIA KARENA OBAT


1. Pengertian (Definisi) adalah kelainan kulit dalam mukosa yang diinduksi obat
berupa papul kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan.
2. Anamnesis  Demam

 Batuk

 Sakit kepala

 Malaise

 Nyeri menelan

 Papul kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan


3. Pemeriksaan Fisik bentuk, distribusi dan aktivitas lesi urtikaria pada kulit, adakah
angioedema pada profunda dermis dan jaringa subkutan,
keterlibatan mukosa atau submukosa, memar, keterlibatan
jaringan ikat, dan edema kulit
4. Kriteria Diagnosis Riwayat minum obat sebelumnya yang dapat menginduksi
penyakit, misal : OAINS, sulfonamida, antikonvulsan, penisilin
dan tetrasiklin.
Gejala prodromal berupa gejala radang saluran napas atas :
demam, batuk, sakit kepala, malaise, nyeri menelan. Papul
kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan. Dalam
beberapa hari terjadi erosi multiple pada membrane mukosa,
lepuhan, macula purpura. Daerah yang terkena lepuhan dan
pelepasan kulit ≤ 10%
5. Diagnosis Kerja urtikaria karena obat
6. Diagnosis Banding Toxic epidermal necroticans (TEN), eritema multiformis
7. Pemeriksaan Penunjang Hitung eosinophil, elektrolit, foto toraks, kultur pus dari kulit,
kultur sputum.

192
8. Terapi 1. Hentikan obat penyebab
2. Rawat di pusat luka bakar, skin graft dini untuk mencegah
invasi bakteri
3. Monitor cairan dan elektrolit, termasuk monitor jumlah
urin
4. Monitor infeksi sekunder dengan melakukan kultur berkala
dari darah dan mukokutan
5. Pemberian makanan tinggi kalori
6. Penggantian cairan dan elektrolit
7. Suction, postural drainage, nebulizer, terapi infeksi paru
segera
8. Konsultasi mata
9. Irigasi mata dengan salin hangat, cairan lubrikan mata
10. Antasida cairan dan antagonis H2 bila ada ulserasi
gastrointestinal
11. Antibiotika tergantung hasil kultur.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Tergantung beratnya gejala
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

193
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

ULKUS PEPTIKUM
1. Pengertian (Definisi) adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang
kronis.
2. Anamnesis  Nyeri epigastrium

 Dyspepsia

 Nausea

 Vomitus

 Anoreksia

 Kembung
3. Pemeriksaan Fisik -
4. Kriteria Diagnosis  Faktor risiko : umur, penggunaan obat-obatan aspirin atau
OAINS, kuman Helicobacter pylori
 Anamnesis : terdapat nyeri epigastrium, dyspepsia,
nausea, vomitus, anoreksia dan kembung.
5. Diagnosis Kerja ulkus peptikum
6. Diagnosis Banding Ulkus gaster, ulkus duodenum, dyspepsia non ulkus
7. Pemeriksaan Penunjang  Barium dobel kontras

 Endoskopi saluran cerna bagian atas


8. Terapi  Suportif : nutrisi
 Memperbaiki/menghindari faktor risiko
 Pemberian obat-obatan : antasida, antagonis reseptor H2,
proton pump inhibitor, pemberian obat-obatan untuk
mengikat asam empedu, prokinetik, pemberian obat untuk
meningkatkan faktor detensif.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


194
Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

195
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

DISPEPSIA
1. Pengertian (Definisi) merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas
nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat
kenyang dan sendawa.
2. Anamnesis  Nyeri ulu hati

 Mual

 Kembung

 Muntah

 Rasa penuh atau cepat kenyang

 sendawa
3. Pemeriksaan Fisik nyeri tekan epigastrium
4. Kriteria Diagnosis Anamnesia terdapatnya kumpulan gejala tersebut diatas
5. Diagnosis Kerja dispepsia
6. Diagnosis Banding  Penyakit refluks gastroesofageal

 Irritable Bowel Syndrome

 Karsinoma saluran cerna bagian atas

 Kelainan pancreas dan kelainan hati


7. Pemeriksaan Penunjang Endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsy, pemeriksaan
terhadap adanya infeksi Helicobacter pylori, pemeriksaan fungsi
hati, amylase dan lipase, fosfatase alkali dan gamma
GT, USG Abdomen.
8. Terapi  Suprotif : nutrisi
 Pengobatan empiric selama 4 minggu
 Pengobatan berdasarkan etiologi

9. Edukasi a. Makan sedikit tapi sering


(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli
196
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

KARSINOMA KOLON
1. Pengertian (Definisi) merupakan keganasan pada saluran cerna bagian bawah
(kolon)
2. Anamnesis  Hematokezia

 Dijumpai adanya tanda obstruksi saluran cerna bawah


baik parsial maupun total
 Berat badan kurang
3. Pemeriksaan Fisik tidak ada spesifikasi
4. Kriteria Diagnosis  Perubahan pola defekasi, seringkali didapatkan
hematokezia, dapat dijumpai adanya tanda obstruksi
saluran cerna bawah baik parsial maupun total.
 Berat badan turun tanpa sebab

 Pemeriksaan fisik : tidak ada spesifikasi

 Laboratorium : feses lengkap dan tes benzidin

 Berat badan kurang


 Pemeriksaan colok dubur untuk melihat adanya
perdarahan saluran cerna bagian bawah
5. Diagnosis Kerja karsinoma kolon
6. Diagnosis Banding  Polipkolitis, karsinoma rekti, hemoroid
7. Pemeriksaan Penunjang DPL, analisis feses lengkap, petanda tumor, endoskopi saluran
cerna bagian bawah dan biopsy, USG abdomen
8. Terapi  Berdasarkan staging : kemoterapi atau bedah

9. Edukasi a. Edukasi gizi dan pola makan


(Hospital Health Promotion) b. Edukasi Edukasi obat obatan
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli
197
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

KARSINOMA REKTI
1. Pengertian (Definisi) merupakan keganasan pada rektum
2. Anamnesis  Berat badan turun tanpa sebab
3. Pemeriksaan Fisik colok dubur didapatkan massa
4. Kriteria Diagnosis Perubahan pola defekasi, berat badan turun tanpa sebab,
seringkali pada pemeriksaan colok dubur didapatkan massa.
5. Diagnosis Kerja karsinoma rekti
6. Diagnosis Banding Hemoroid, polip
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan DPL, feses lengkap, endoskopi saluran cerna
bagian bawah dan biopsi
8. Terapi Berdasarkan staging, kemoterapi atau bedah
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

198
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

KARSINOMA GASTER
1. Pengertian (Definisi) merupakan keganasan pada lambung
2. Anamnesis  Rasa tidak enak pada perut bagian atas

 Cepat kenyang

 Nyeri yang hebat dan terus menerus

 Anoreksia

 Mual

 Kesulitan menelan

 Menurun nya berat badan tanpa sebab


3. Pemeriksaan Fisik pada awal penyakit, biasa tidak didapatkan kelainan apapun.
Pada keadaan lanjut didapatkan adanya pembesaran pada
pemeriksaan abdomen.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis dapat ditemukan adanya sindrom dispepsia, rasa
tidak enak pada perut bagian atas yang bersifat difus, cepat
kenyang, sampai nyeri yang hebat dan terus-menerus. Anokresia
yang disertai dengan mual sering dikeluhkan namun tidak selalu.
Keluhan sulit menelan dapat pula terjadi. Berat badan turun
tanpa penyebab.
Pemeriksaan fisik : pada awal penyakit, biasa tidak didapatkan
kelainan apapun. Pada keadaan lanjut didapatkan adanya
pembesaran pada pemeriksaan abdomen.
5. Diagnosis Kerja karsinoma gaster
6. Diagnosis Banding Karsinoma esophagus, esofagitis
7. Pemeriksaan Penunjang DPL, endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsy, USG
abdomen, CT scan abdomen
8. Terapi Berdasarkan staging, kemoterapi atau bedah

9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

199
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

200
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

HEMATEMESIS MELENA
1. Pengertian (Definisi) adalah muntah darah berwarna hitam ter yang berasal dari
saluran cerna bagian atas. Melena dalam buang air besar (BAB)
berwarna hitam ter yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas adalah saluran
cerna diatas (proksimal) ligamentum Treitz, mulai dari jejunum
proksimal, duodenum, gaster dan
esofagus.
2. Anamnesis  Muntah

 BAB darah warna hitam

 Dyspepsia
3. Pemeriksaan Fisik pemeriksaan status hemodinamik:
 Tekanan darah dan nadi posisi baring

 Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi

 Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingging)

 Kondisi pernafasan

 Produksi urine
4. Kriteria Diagnosis Muntah dan BAB darah warna hitam dengan sindrom dyspepsia,
bila ada riwayat makan obat OAINS, jamu pegal linu, alcohol
yang menimbulkan erosi/ulkus peptikum, riwayat sakit
kuning/hepatitis. Keadaan umum pasien sakit ringan sampai
berat, dapat disertai gangguan kesadaran
(prekoma/koma hepatikum), dapat terjadi syok hipovolemik.
5. Diagnosis Kerja hematemesis melena
6. Diagnosis Banding Hemoptoe, hematoskezia
7. Pemeriksaan Penunjang DPL, hemostasis lengkap atau masa perdarahan,masa
pembekuan, masa protrombin, elektrolit (Na, K, Cl),
pemeriksaan fungsi hati (cholinesterase, albumin/globulin,
SGOT/SGPT, petanda hepatitis B dan C), endoskopi SCBA
diagnostik dan foto rontgen OMD, USG hati.

8. Terapi Nonfarmakologis : tirah baring, puasa, diet hati/lambung,


pasang NGT untuk dekompresi, pantau perdarahan.
Farmakologis :
 Transfuse darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan
Hb). Pada kasus varises transfuse sampai dengan Hb

201
10gr%, pada kasus non varises transfuse sampai dengan
Hb 12gr%.
 Sementara menunggu darah dapat diberikan pengganti
plasma (misalnya dekstran/hemacel) atau NaCl 0,9% atau
RL
 Untuk penyebab non varises :
1. Injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat
pompa proton
2. Sitoprotektor : Sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon
3 x 1 tab
3. Antasida
4. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati
kronis atau sirosis hati
 Untuk penyebab varises :
1. Somatostatin bolus 250 ug + drip 250 µg/jam
intravena atau okreotide (sandostatin) 0,1 mg/2 jam.
Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti atau
bila mampu diteruskan 3 hari setelah
skleroterapi/ligasi varises esophagus.
2. Propranolol, dimulai dosis 2 x 10 mg dosis dapat
ditingkatkan hingga tekanan diastolik turun 20
mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah keadaan
stabil → hematemesis melena (-))
3. Isosorbid dinitrat/mononitrat 2 x 1 tablet/hari hingga
keadaan umum stabil
4. Metoklorpramid 3 x 10 mg/hari
 Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan
 Pada pasien dengan pecah varises/penyakit hati
kronik/sirosis hati diberikan :
1. Laktulosa 4 x 1 sendok makan
2. Neomisin 4 x 500 mg
Obat ini diberikan sampai tinja normal
Prosedur bedah dilakukan sebagai tindakan emergensi atau
efektif. Bedah emergensi di indikasikan bila pasien masuk
dalam keadaan gawat I-II.

202
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

203
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

DIARE KRONIK
1. Pengertian (Definisi) adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari sejak awal
diare
2. Anamnesis  Waktu dan frekuensi diare

 Bentuk tinja

 Keluhan lain yang menyertai seperti nyeri abdomen,


demam, mual, muntah, penurunan berat badan
 Obat-obatan: laksan, antibiotika

 Mankan/minuman
3. Pemeriksaan Fisik keadaan umum, status dehidrasi
4. Kriteria Diagnosis Diare dengan lama lebih dari 15 hari
5. Diagnosis Kerja diare kronik
6. Diagnosis Banding Kelainan pankreas, kelainan usus halus dan usus besar,
kelainan PEM dan tirotoksikosis, kelainan hati, sindrom kolon
iritabel tipe diare.
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan tinja

 Pemeriksaan darah : DPL, kadar ferritin, SI-IBC, kadar


vitamin B12 darah, kadar asam folat darah, albumin serum,
eosinophil darah, serologi amuba (IDT), widal, pemeriksaan
imunodefisiensi (CD4, CD8), feses lengkap dan darah samar.
 Pemeriksaan anatomi usus : Barium enema/colon in loop
(didahului BNO), Kolonoskopi, ileoskopi, dan biopsi, barium
follow through atau enteroclysis, ERCP, USG abdomen, CT
Scan abdomen.
 Fungsi usus dan pankreas : tes fungsi ileum dan yeyunum,
tes fungsi pankreas, tes Schilling, CEA dan Ca 19-9

204
8. Terapi  Non farmakologis : diet lunak tidak merangsang, tinggi
kalori, tinggi protein, bila tidak tahan laktosa diberikan
rendah laktosa, bila maldigesti lemak diberikan rendah
lemak. Bila penyakit Crohn dan kolitis ulserosa diberikan
rendah serat pada keadaan akut. Pertahankan minum yang
baik, bila perlu infus untuk mencegah dehidrasi.
 Farmakologis :
- Bila sesak napas bisa diberikan oksigen, infus untuk
memberikan cairan dan elektrolit.
- Antibiotika bila terdapat infeksi
- Bila penyebab amuba/parasite/giardia dapat diberikan
metronidazol
- Bila alergi makanan/obat/susu, diobati dengan
menghentikan makanan/obat penyebab alergi tersebut
- Keganasan/polip diobati dengan pengangkatan
kanker/polip
- TB usus diobati dengan OAT
- Diare karena kelainan endokrin, diobati dengan kelainan
endokrinnya
- Malabsorsi diatasi dengan pemberian enzim
- Kolitis diatasi sesuai jenis colitis
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

205
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

PANKREASTITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) adalah reaksi peradangan pankreas yang akut.
2. Anamnesis  Dyspepsia sedang sampai berat

 Gelisah

 Gangguan kesadaraan

 Demam

 Ikterik
3. Pemeriksaan Fisik demam ( biasanya ˂38.5 ⁰C, takikardia, gangguan
hemodinamika( hipotensi), nyeri perut besar, guarding/defans
muscular, distres pernafasan dan distensi abdomen
4. Kriteria Diagnosis  Keadaan umum pasien seperti dyspepsia sedang sampai
berat, gelisah kadang serta gangguan kesadaran
 Demam, ikterus, gangguan hemodinamik, syok dan
takikardia, bising usus menurun (ileus paralitik)
 Penyakit penyerta yang meningkatkan risiko : batu empedu,
trauma, tindakan bedah di abdomen, diabetes mellitus,
hipertiroidisme, alkoholisme, ulkus peptikum,
leptospirosis, demam berdarah dengue.
5. Diagnosis Kerja diare kronik
6. Diagnosis Banding Perforasi ulkus peptikum, kolangitis akut, kolesistitis akut,
apendisistis akut, nefrolitiasis kanan akut, infark miokard akut
inferior.
7. Pemeriksaan Penunjang DPL, amylase serum, lipase serum, gula darah, kalsium serum,
LDH serum, fungsi ginjal, SGOT/SGPT, analisis gas
darah, elektrolit.
8. Terapi Non farmakologis : Puasa dan pemasangan infus untuk nutrisi
parenteral total sampai amilase dan lipase serum
normal/mendekati normal dan pada selang nasogastric cairan
lambung < 300 cc, dan pasien tak merasakan nyeri ulu hati.
Farmakologis :
 Analgesik dan sedatif, infus cairan, pasang selang lambung
 Antibiotika bila ada infeksi
 Penghambat sekresi enzim pankreas
 Prosedur bedah pada infeksi berat berupa drainase cairan
9. Edukasi

206
207
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia ad bonam (tergantung berat ringannya pankreatitis
akut, gunakan kriteria RANSON)
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

208
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

ILEUS PARALITIK
1. Pengertian (Definisi) adalah keadaan abdomen akut berupa kembung/distensi usus
karena usus tidak dapat bergerak (mengalami dismotilitas),
pasien tidak dapat buang air besar.
2. Anamnesis  Perut kembung

 Muntah

 Diare

 Demam

 Bisa disertai penurunan kesdaraan


3. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai
penurunan kesadaran, demam, tanda dehidrasi, syok. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan distensi, bising usus yang
menurun sampai hilang.
4. Kriteria Diagnosis  Perut kembung (distensi), bising usus menurun dan
menghilang
 Muntah, bisa disertai diare, tak bisa buang air besar

 Dapat disertai demam

 Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa


disertai penurunan kesadaran, syok
 Pada colok dubur : rektum tidak kolaps, tidak ada kontraksi
 Adanya penyakit yang meningkatkan risiko : batu empedu,
trauma, tindakan bedah di abdomen, DM, hypokalemia, obat
spasmolitik, pankreatitis akut, pneumonia, dan semua jenis
infeksi tubuh.
Pemeriksaan fisik : Keadaan umum pasien sakit ringan sampai
berat, bisa disertai penurunan kesadaran, demam, tanda
dehidrasi, syok. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
distensi, bising usus yang menurun sampai hilang.
5. Diagnosis Kerja ileus paralitikn
6. Diagnosis Banding Ileus obstruktif
7. Pemeriksaan Penunjang DPL, amilase-lipase, gula darah, kalium serum dan analisis
gas darah. foto abdomen 3 posisi.

209
8. Terapi  Non farmakologis :
- Puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif
atau dapat buang angin melalui dubur.
- Pasang selang lambung dan dekompresi
- Pasang kateter urin
 Farmakologis :
- Infus cairan, rata-rata 2,5-3 liter/hari disertai elektrolit
- Natrium dan kalium sesuai kebutuhan / 24 jam
- Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai kebutuhan kalori
basal ditambah kebutuhan lain
 Terapi etiologi
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

210
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

SIROSIS HATI
1. Pengertian (Definisi) merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya nekrosis, pembentukan jaringan ikat disertai nodul.
2. Anamnesis  Lesu, dan berat badan turun

 Anoreksia-dispepsia

 Nyeri perut, sebah

 Ikterus, perdarhan gusi


3. Pemeriksaan Fisik  Stigmata sirosis ( palmar eritema, spider nevi)

 Vena kolateral dinding perut

 Ikterus

 Edema pretibial

 Asites

 splenomegaly
4. Kriteria Diagnosis  Pemeriksaan fisik : stigmata sirosis (palmar eritema, spider
nevi) vena kolateral dinding perut, ikterus, edema pretibial,
asites, splenomegaly.
 Laboratorium : rasio albumin dan globulin terbalik.
5. Diagnosis Kerja sirosis hati
6. Diagnosis Banding Hepatitis kronik aktif
7. Pemeriksaan Penunjang (DPL, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, albumin, kolin esterase,
PT, seromarker hepatitis), USG, biopsi hati, endoskopi
saluran cerna bagian atas, analisis cairan asites
8. Terapi  Istirahat cukup
 Diet seimbang (tergantung kondisi klinis)
 Roboransia
 Mengatasi komplikasi

9. Edukasi a. Menjelaskan mengenai penyakit pasien


(Hospital Health Promotion) b. Hindari alkohol
c. Hindari obat-obatan hepatoloksi
10. Prognosis Dubia ad malam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

211
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

212
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

HEPATOMA

1. Pengertian (Definisi) merupakan tumor ganas hati primer


2. Anamnesis  Penurunan berat badan

 Nyeri perut kanan atas

 Anoreksia

 Malaise

 Benjolan perut kanan atas


3. Pemeriksaan Fisik  Hepatomegaly berbenjol benjol

 Stigmata penyakit hati kronik


4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis : penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
 Pemeriksaan fisik : hepatomegaly berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.
 Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, fosfatase
alkali USG : lesi fokal/difus di hati
5. Diagnosis Kerja hepatoma
6. Diagnosis Banding Abses hati
7. Pemeriksaan Penunjang  AFP, PIVKA II, fosfatase alkali, SGOT, SGPT, seromaker
hepatitis
 USG : lesi fokal/difus

 CT Scan, biopsi hati


8. Terapi  Pembedahan/reseksi tumor (bila tumor mengenai 1 lobus,
ukuran < 3 cm)
 Injeksi etanol perkuatan dengan tuntunan USG (bila tumor
< 3 buah, ukuran < cm, tumor yang residif pasca reseksi
hati, tumor residual pasca embolisasi)
 Transplantasi hati
 Kemoembolisasi pada a. hepatika
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis malam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

213
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

214
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

HEPATITIS VIRUS AKUT


1. Pengertian (Definisi) inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung
selama < 6 bulan.
2. Anamnesis  Mual

 Malase

 Anoreksia

 Urine berwarna gelap


3. Pemeriksaan Fisik  Ikterus

 Hepatomegali
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis : mual, malase, anoreksia, urin berwarna gelap

 Pemeriksaan fisik : ikterus, hepatomegali

 Laboratorium : ALT dan AST meningkat > 3 kali normal


5. Diagnosis Kerja hepatitis virus akut
6. Diagnosis Banding Hepatitis akibat obat, hepatitis alkoholik, penyakit saluran
empedu, leptospirosis
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : SGOT, SGPT, fosfatase alkali, bilirubin,
seromaker (IgM anti HAV, HBsAg, IgM anti HBc, anti HCV,
Ig M anti HEV)
8. Terapi Tirah baring, diet seimbang, pengobatan suportif

9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Bonam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

215
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

HEPATITIS VIRUS KRONIK

1. Pengertian (Definisi) adalah suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan
oleh bermacam-macam etiologi, ditandai oleh berbagai
tingkat peradangan dan nekrosis pada hati.
2. Anamnesis umunya tanpa keluhan
3. Pemeriksaan Fisik Hepatomegali
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis : umumnya tanpa keluhan

 Pemeriksaan fisik : bisa ditemukan hepatomegali

 Laboratorium : petanda virus hepatitis B atau C positif

 USG : hepatitis kronik

 Biopsi hati : peradangan dan fibrosis pada hati


5. Diagnosis Kerja hepatitis virus kronik
6. Diagnosis Banding Perlemakan hati
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan laboratorium seperti pada hepatitis akut

 USG hati

 Biopsi hati
8. Terapi Hepatitis B kronik : lamivudin
Hepatitis C kronik : interferon α + ribavirin

9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis 20% akan berkembang menjadi sirosis hati
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

216
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

ABSES HATI
1. Pengertian (Definisi) adalah rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang timbul
dalam jaringan hati akibat infeksi amuba atau bakteri.
2. Anamnesis  demam

 perasaan nyeri perut kanan atas


3. Pemeriksaan Fisik  Icterus

 Hepatomegali yang nyeri tekan

 Nyeri tekan perut kanan atas


4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis : demam, perasaan nyeri perut kanan atas

 Pemeriksaan fisik : icterus, hepatomegali yang nyeri


tekan, nyeri tekan perut kanan atas
 Laboratorium : leukositosis, gangguan fungsi hati

 USG : rongga dalam hati

 Aspirasi : pus (+)


5. Diagnosis Kerja abses hati
6. Diagnosis Banding Hepatoma, kolesistitis, tuberkolosis hati, aktinomikosis hati
7. Pemeriksaan Penunjang DPL, SGPT, bilirubin, serologi amuba ; USG, kultur cairan
pus
8. Terapi  Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein
 Pada abses amuba : metronidazole 4 x 500-750 mg/hari
selama 5-10 hari. Pada abses piogenik : antibiotika
spektrum luas atau sesuai hasil kultur kuman. Pada abses
campuran : kombinasi metronidazol dan antibiotika.
 Drainase cairan abses terutama pada kasus yang gagal
dengan terapi konservatif atau bila abses berukuran besar (>
5 cm)
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Bonam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

217
Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

218
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

KOLESISTITIS AKUT
1. Pengertian (Definisi) adalah reaksi inflasi kandung empedu akibat infeksi bacterial
akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan
dan panas badan
2. Anamnesis  nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat
menjalar ke daerah scapula kanan,
 demam
3. Pemeriksaan Fisik  teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-
tanda peritonitis lokal,
 tanda Murphy (+),
 ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran
empedu ekstrahepatik
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang
dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam
 Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu, nyeri
tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal, tanda Murphy (+),
ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran empedu
ekstrahepatik
 Laboratorium : leukositosis
 USG : penebalan dinding kandung empedu, sering ditemukan
pula sludge atau batu
5. Diagnosis Kerja kolesistitis akut
6. Diagnosis Banding Angina pectoris, infark miokard akut, apendisitis akut
retrosaekal, tukak peptik perforasi, pankreatitis akut, obstruksi
intestinal.
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium : DPL, SGOT, SGPT, fosfatase alkali,
bilirubin, kultur darah
 USG hati

219
8. Terapi  Tirah baring
 Puasa sampai nyeri berkurang / hilang
 Pengobatan suportif (antipiretik, analgetik, pemberian
cairan infus dan mengoreksi kelainan elektrolit)
 Antibiotika parenteral
 Kolesistektomi bila diperlukan
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Bonam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

220
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
TATA LAKSANA KASUS

PERLEMAKAN HEPATITIS NON ALKOHOLIK


1. Pengertian (Definisi) merupakan suatu sindrom klinis dan patologis akibat
perlemakan hati, ditandai oleh berbagai tingkat perlemakan,
peradangan dan fibrosis pada hati.
2. Anamnesis  Rasa menganjal di perut kanan atas
3. Pemeriksaan Fisik  kelebihan berat badan,

 hepatomegali
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis : rasa mengganjal di perut kanan atas

 Pemeriksaan fisik : kelebihan berat badan, hepatomegali

 USG : gambaran bright liver

 Biopsi hati : ditemukan perlemakan hati, peradangan


lobulus, kerusakan hepatoselular, hialin Mallory dengan
atau tanpa fibrosis.
5. Diagnosis Kerja perlemakan hepatitis non alkoholik
6. Diagnosis Banding Hepatitis virus kronik
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium : gula darah, profil lipid,SGOT, SGPT,
fosfatase alkali, gamma GT, seromarker hepatitis, ANA, anti
ds DNA.
 Biopsi hati
8. Terapi Mengoreksi faktor risiko (penurunan berat badan, kontrol gula
darah, memperbaiki profil lipid dan olahraga)
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis Bonam
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Indikator Medis

Diketahui Oleh : Diketahui Oleh :

dr. Alemina Ginting, Sp.A dr. Syaiful M. Sitompul


Komite Medik RSU Martha Friska Multatuli Direktur RSU Martha Friska Multatuli

221
222

Anda mungkin juga menyukai