Modul 13 Investigasi Tindak Pidana Korupsi Dan Pengadaan
Modul 13 Investigasi Tindak Pidana Korupsi Dan Pengadaan
Modul 13 Investigasi Tindak Pidana Korupsi Dan Pengadaan
Akuntansi
Forensik &
Audit Investigasi
13
Fakultas Ekonomi dan Akuntansi S1 190161037 Tim Dosen
Bisnis
Abstract Kompetensi
Tindak pidana korupsi di sektor Mahasiswa dapat memahami dan
pengadaan barang dan jasa sangat menjelaskan peran BPKP terkait
berpotensi terjadi. BPKP berperan pengadaan barang dan jasa, dapat
mengawasi dan memeriksa keuangan menjelaskan pengertian barang dan
negara terkait pengadaan barang dan jasa beserta faraud yang sering terjadi
jasa agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa.
tujuan pengadaan barang dan jasa. Mahasiswa juga diharapkan dapat
Beberapa fraud dalam pengadaan mengidentifikasi bidang dan tugas
barang dan jasa dapat terjadi sehingga uvestigasi tindak pidana korupsi
dibutuhkan tindakan ivestigasi dalam pengadaan barang dan jasa..
berdasarkan undang-undang.
Pokok Bahasan
Pendahuluan
Pada dasarnya setiap aktivitas bisnis pasti memiliki berbagai macam risiko. Risiko
merupakan kejadian tidak terduga di masa yang akan datang yang bersifat tidak pasti dan
kemungkinannya hanya perkiraan. Oleh karenanya risiko harus dikelola dengan baik supaya
tidak menimbulkan peluang terjadinya kecurangan (fraud), yang dapat mengganggu,
menghalangi, dan menunda pencapaian tujuan atau sasaran unit atau perusahaan.
Sehubungan dengan adanya risiko yang sangat besar dalam proses pengadaan barang dan
jasa ini, maka proses pengadaan barang/jasa perlu diawasi dan diperiksa dengan tepat.
Beberapa risiko Pengadaan barang/jasa yaitu antara lain terkait dengan kualitas
pengendalian intern, besarnya nilai pengadaan barang dan jasa, kegagalan pemanfaatan
atas pengadaan barang dan jasa, serta kompleksitas kegiatan pengadaan barang dan jasa.
Adanya risiko-risiko tersebut, maka diperlukan upaya dan strategi yang tepat untuk
mencegah, mendeteksi dan mengungkapkan fraud yang sangat mungkin sekali terjadi.
Tindakan fraud yang sering dijumpai pada setiap tahap proses pengadaan barang/jasa
mulai dari perencanaan, pembentukan panitia pengadaan, proses pengadaan, penyusunan
kontrak, sampai dengan pelaksanaan kontrak. Fraud pengadaan barang dan jasa
menyebabkan buruknya kualitas barang/jasa yang dihasilkan sehingga mengganggu
efektifitas pelayanan kepentingan publik. Dalam kondisi ini sangat dibutuhkan penerapan
akuntansi forensik dan audit investigasi, akuntansi forensik untuk menerapkan disiplin
akuntansi dalam arti luas, termasuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan,
sedangkan keterampilan audit Investigasi dibutuhkan untuk mengumpulkan bukti,
menganalisis bukti, mengevaluasi bukti, menafsirkan dan mengkomunikasikan hasil temuan
kemungkinan terjadinya (ada atau tidaknya) pelanggaran/perbuatan melawan hukum. Upaya
pencarian dan pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui
kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta.
Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) merupakan proses kegiatan untuk pemenuhan atau
penyediaan kebutuhan dan pasokan barang atau jasa di bawah kontrak atau pembelian
langsung untuk memenuhi kebutuhan perusahaan atau instansi pemerintah akan barang
dan jasa yang dapat menunjang kinerja dan performance instansi. PBJ identik dengan
Menurut Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Perpres 16 Tahun 2018 disebutkan bahwa
pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh
Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya
dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk
memperoleh barang/jasa. Kegiatan pengadaan barang/jasa tersebut dibiayai dengan
APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh Penyedia barang/jasa.
• Menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari
aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi, dan penyedia.
• Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri.
• Meningkatkan peran serta usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah.
• Meningkatkan peran pelaku usaha nasional.
• Mendukung pelaksanaan penelitian dan pemanfaatan barang/jasa hasil penelitian.
• Meningkatkan keikutsertaan industri kreatif.
• Mendorong pemerataan ekonomi.
• Mendorong pengadaan berkelanjutan.
Secara umum tindakan fraud yang sering terjadi pada setiap tahap dalam proses
pengadaan barang dan jasa (PBJ) yaitu:
1. Ketidaksesuaian jenis, kualitas, dan kuantitas barang/jasa yang dijanjikan dalam kontrak
dengan kebutuhan instansi dan/atau masyarakat.
2. Ketidaksesuaian spesifikasi teknis barang/ jasa yang dihasilkan oleh penyedia barang/
jasa dengan yang ditetapkan dalam perjanjian/kontrak.
3. Ketidaksesuaian volume (kuantitas) barang/jasa yang telah diselesaikan oleh penyedia
barang dengan jumlah yang seharusnya sesuai perjanjian/kontrak.
Titik rawan penyimpangan di sektor PBJ dimulai dari tahap perencanaan pengadaan. Pada
tahap ini, cenderung terjadi penggelembungan (mark-up) anggaran yang merugikan
keuangan negara. Kerawanan penyimpangan juga terjadi pada tahap pembentukan lelang,
pra kualifikasi perusahaan, penyusunan dokumen lelang, tahap pengumuman dokumen
lelang, dan tahap penyusunan harga perkiraan sendiri.
Berdasarkan hasil kajian KPK pada Laporan tahunan KPK, 2016 terhadap upaya
pencegahan korupsi pada pengadaan barang dan jasa pemerintah ditemukan bahwa
korupsi PBJ paling banyak terjadi pada 5 (lima) tahapan atau proses, yaitu
Ada beberapa modus operandi keterlibatan pejabat publik dan perusahaan swasta dalam
korupsi PBJ. Pada umumnya modus yang digunakan antara lain:
Korupsi di sektor PBJ Pemerintah ini setidaknya akan mengakibatkan 3 (tiga) hal yaitu
rendahnya kualitas barang dan jasa pemerintah, kerugian keuangan negara, dan rendahnya
nilai manfaat yang didapatkan. Oleh karena itu korupsi di sektor ini harus menjadi perhatian
bersama. Bukan hanya oleh KPK, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai stakeholder utama
pencegah dan pemberantas korupsi, tetapi oleh semua pihak, baik di pemerintahan
(kementerian/ lembaga/ Pemda), juga masyarakat sipil.
Dari pengalaman yang pernah dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW),
terkadang dokumen tender yang diperlukan atau diminta butuh waktu lama untuk mereka
Oleh karena itu perlu dikembangkan keterbukaan informasi publik di sektor pengadaan
barang dan jasa. Keterbukaan ini perlu dilakukan mulai dari proses perencanaan,
perencanaan dan persiapan PBJ Pemerintah, pelaksanaan PBJ Pemerintah, serah terima
dan pembayaran dan tahap pengawasan dan pertanggungjawaban. Mengembangkan
keterbukaan informasi publik di sektor PJB merupakan salah satu upaya preventif yang
sangat penting dalam pencegahan korupsi yang merugikan negara, tidak hanya dilakukan
secara represif ketika korupsi tersebut telah dilakukan.
Sesuai dengan Peraturan Kepala BPKP No 17 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengelolaan
Kegiatan Bidang Investigasi, maka Perwakilan BPKP mempunyai kegiatan sebagai berikut:
1. Audit Investigatif
5. Audit Klaim
Audit Klaim adalah proses pengumpulan dan evaluasi bukti-bukti terkait dengan tuntutan
kepada pemberi kerja atas tambahan biaya yang diajukan oleh penyedia barang/jasa
sebagai akibat kondisi yang bukan merupakan kesalahan penyedia barang/jasa. Dalam
audit klaim auditor mengumpulkan dan mengevaluasi bukti untuk menilai ketepatan
aspek kontraktual, aspek teknis, dan aspek keuangan.
Amanat tersebut menunjukkan bahwa upaya pencegahan korupsi tidak terputus pada
kegiatan sosialisasi program anti korupsi namun perlu dilanjutkan dengan kegiatan
bimbingan teknis. BPKP perlu lebih jauh meyakini bahwa tingkat pemahaman dan
kepedulian tersebut diikuti dengan (i) perubahan perilaku menjadi anti korupsi dalam diri
pegawai, pimpinan, pelanggan, penyedia barang/jasa, dan para pihak yang
berkepentingan lainnya serta masyarakat luas, (ii) terjadinya perubahan sistem dalam
organisasi ke arah sistem yang mampu mencegah fraud, dan (iii) terjadinya perubahan
budaya organisasi menjadi budaya organisasi yang anti korupsi.
Konsep MPAK juga berorientasi pada pengguna dan kebutuhan stakeholders yaitu
aparat penegak hukum, pemilik risiko korupsi dan, pegawai/pejabat berisiko korupsi.
Para stakeholder tersebut berstatus sebagai peserta belajar sekaligus sumber belajar
yang berkolaborasi dalam komunitas pembelajaran anti korupsi untuk bersama-sama
merubah perilaku menjadi anti korupsi dengan BPKP sebagai fasilitator dan navigator
perubahan.
Fraud Control Plan (FCP) merupakan pengendalian yang dirancang secara spesifik,
teratur, dan terukur oleh suatu organisasi untuk mencegah, menangkal, dan
memudahkan pendeteksian dan pengungkapan kemungkinan terjadinya
korupsi/kecurangan yang ditandai dengan eksistensi dan implementasi beberapa atribut
dalam upaya mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan. FCP merupakan integrasi
program preventif dan represif dalam satu sistem meliputi penciptaan lingkungan yang
kondusif untuk mencegah dan mendeteksi fraud, penilaian risiko yang secara khusus
ditujukan untuk mencegah dan mendeteksi fraud, aktivitas pengendalian khusus
ditujukan untuk mencegah dan mendeteksi fraud, dan informasi dan komunikasi internal
dan eksternal untuk membangun kepedulian dalam mencegah fraud. Efektivitas
penyelenggaraan FCP ditentukan oleh keberadaan dan berfungsinya 10 (sepuluh)
atribut berikut:
Kegiatan yang terhimpun dalam FCP meliputi Sosialisasi FCP, Diagnostic Assessment,
Bimbingan Teknis FCP, dan Evaluasi atas Implementasi FCP.
Kegiatan Penjaminan Kualitas yang dilakukan oleh Deputi Bidang Investigasi dalam
menjalankan fungsi koordinasi (perencanaan dan pengendalian) bertujuan untuk
memberikan masukan dan arahan atas suatu permasalahan yang ditemukan dalam
penugasan bidang investigasi di unit kerja (perwakilan). Masukan dan arahan tersebut
dimaksudkan untuk mengantisipasi risiko audit (salah dalam mengambil kesimpulan
audit).
Pemerintah yang menerima mandat untuk melaksanakan pembangunan tidak lepas dari
ketidakpuasan masyarakat. Akan selalu ada masyarakat yang menyampaikan rasa tidak
puasnya atas kinerja pemerintah melalui surat pengaduan kepada BPKP sebagai
lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan intern. Pengaduan masyarakat menjadi
sarana yang penting untuk menjadi trigger (pemicu) bagi perbaikan proses
penyelenggaraan pemerintahan, sehinga harus bisa dikelola dengan baik. Atas
pengaduan masyarakat yang diterima oleh Deputi Bidang Investigasi, dilakukan
penelaahan untuk dapat diputuskan tindak lanjutnya.
Rekomendasi sebagai hasil akhir kegiatan audit diharapkan memberikan efek solutif
yang efektif dalam meningkatkan kinerja operasional organisasi. Rekomendasi yang balk
adalah rekomendasi yang mampu menghilangkan penyebab yang hakiki. Untuk dapat
memenuhi harapan tersebut diperlukan sebuah cara yang mampu mengidentifikasi
dengan baik penyebab hakiki atau akar penyebab permasalahan. Salah satu teknik
untuk mengidentifikasi akar penyebab masalah adalah Analisis Akar Penyebab Masalah
(Root Cause Analysis-RCA). RCA dapat membantu memecahkan permasalahan serta
memusatkan perhatian pada area yang dapat memberikan solusi terbaik untuk
mengatasi kegagalan/penyimpangan sebagai solusi jangka pendek, jangka menengah,
dan jangka panjang.
14. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Kajian Peraturan Berpotensi Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme
Kajian atas kelemahan peraturan merupakan salah satu bentuk kegiatan Deputi Bidang
Investigasi yang bersifat pencegahan. Fokus pengkajian adalah atas peraturan yang
berpotensi menimbulkan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam rangka mendeteksi dan
menghindari terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pelaksanaannya
kelak. Hasil kajian berupa rekomendasi perbaikan peraturan.
Sepanjang tahun 2017, kasus korupsi megaproyek penerapan Kartu Tanpa Penduduk
Elektronik (KTP Elektronik) masih belum tuntas. Hingga hari ini kasus ini masih menyisakan
berbagai polemik karena di samping nilai kerugiannya yang besar, kasus ini melibatkan
banyak sekali nama pejabat pemerintahan, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.
Kasus korupsi proyek penerapan KTP Elektronik merupakan salah satu contoh kasus
korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) di Indonesia. Kerugian negara akibat
korupsi KTP Elektronik ini tebilang sangat besar yakni sebesar Rp. 2,3 triliun dari total dana
proyek yang dianggarkan sebesar Rp. 5,9 triliun. Artinya hampir 50% dana proyek KTP
Elektronik ini telah dikorupsi. Sebagaimana kasus korupsi PBJ yang banyak terjadi selama
ini, kasus korupsi KTP Elektronik juga melibatkan banyak pihak, baik dari swasta yakni
pemenang dan pemegang tender, maupun pemerintah yang kemudian melakukan
persekongkolan dengan pihak pemegang tender proyek tersebut.
Sebagai contoh kasus korupsi PBJ lainnya adalah kasus korupsi proyek pembangunan
Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sarana Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang atau
dikenal dengan Kasus Hambalang. Kasus ini mulai diselidiki oleh KPK sejak tahun 2011.
Kerugian negara akibat kasus ini adalah sebesar Rp. 706 miliar. Selain kerugian yang cukup
besar kasus ini juga telah menyeret beberapa nama politisi, seperti Nazaruddin, Anas
Urbaningrum, Andi Alfian Mallarangeng (Menteri Pemuda dan Olah Raga pada saat itu),
Angelina Sondakh (anggota DPR Fraksi Partai Demokrat pada saat itu), dan beberapa
pejabat pemerintahan lainnya, khususnya di Kementerian Pemuda dan Olah Raga
(Kemenpora). Hingga saat ini proses pengusutan terhadap kasus ini belum dihentikan oleh
KPK. Pada Februari 2017, KPK menetapkan tersangka baru dalam Kasus Hambalang yakni
Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel, yang kemudian ditahan oleh KPK (Tempo.co,
19/02/17).
Daftar Pustaka