0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
20 tayangan46 halaman

Tesis

Diunggah oleh

Mirsa Armana
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
20 tayangan46 halaman

Tesis

Diunggah oleh

Mirsa Armana
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 46

ANALISIS KERAGAAN PENGGUNAAN BAHAN KEMASAN

PANGAN DI INDONESIA DAN IDENTIFIKASI POTENSI


MIGRASI KEMASAN PLASTIK

CHOIRUNNISA AMBARWATI

PROGRAM STUDI ILMU PANGAN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Analisis Keragaan
Penggunaan Bahan Kemasan Pangan di Indonesia dan Identifikasi Potensi Migrasi
Kemasan Plastik” adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2022

Choirunnisa Ambarwati
NIM F251170221
RINGKASAN

CHOIRUNNISA AMBARWATI. Analisis Keragaan Penggunaan Bahan Kemasan


Pangan di Indonesia dan Identifikasi Potensi Migrasi Kemasan Plastik. Dibimbing
oleh NUGRAHA EDHI SUYATMA and FAHIM MUCHAMMAD TAQI

Kemasan pangan merupakan salah satu aspek penting pada sebuah produk untuk
menjaga kualitas dan keamanan pangan. Kemasan berperan sebagai wadah untuk
mempermudah dalam proses pendistribusian, melindungi dari bahaya cemaran
fisik, kimia, dan biologi, serta memberikan informasi produk. Kemasan dapat
dibedakan berdasarkan kontak terhadap produk yaitu kemasan primer, kemasan
sekunder, dan kemasan tersier. Jenis kemasan yang sering digunakan yaitu plastik,
logam, kaca, dan kertas. Ketentuan mengenai zat kontak pangan yang dilarang telah
diatur oleh Badan POM melalui Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang
Kemasan Pangan. Oleh karena itu, Produsen perlu memerhatikan terkait penjaminan
keamanan kemasan pangan yang akan digunakan. Produk pangan yang terdaftar
dapat dilihat melalui webiste cekbpom.pom.go.id. Informasi pada website tersebut
salah satunya adalah kemasan, sehingga dapat dilakukan pemanfaatan sebagai
keragaan kemasan yang beredar di Indonesia dengan mengelompokan dan
memvisualisasikan persentase penggunaan kemasan. Kemudian mengidentifikasi
potensi migrasi bahan kemas plastik.
Penelitian ini bertujuan untuk dapat menguraikan bahan kemas yang beredar di
Indonesia dengan 1) melakukan pendataan jenis-jenis bahan kemasan pangan
berdasarkan data registrasi produk pangan olahan kemas pada website
cekbpom.pom.go.id dan memvisualisasikan keragaan jenis-jenis bahan kemas di
Indonesia. 2) Mengidentifikasi potensi migrasi dari bahan kemasan plastik
yang digunakan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan teknik pencacahan
untuk mengetahui besaran penggunaan berbagai jenis bahan kemasan
berdasarkan data registrasi produk pangan pada web cekbpom.pom.go.id. Pada
penelitian ini, jumlah sampel yang digunakan (n) sama dengan jumlah populasi (N)
terhadap data registrasi menjadi pengelompokan data bahan kemasan (plastik,
kertas, logam, kaca, jenis kemasan plastik, dan kombinasi kemasan). Kemudian
dilakukan kajian pustaka potensi migrasi bahan kemas plastik yang beredar di
Indonesia tersebut.
Hasil persentase penggunaan kemasan yang beredar di Indonesia berdasarkan data
produk pangan yang terdaftar di Badan POM dapat diketahui bahwa kemasan
plastik lebih banyak digunakan yaitu 64,03% yang diikuti oleh kemasan kertas
15,22%, kemasan logam 10,88%, dan kemasan kaca 9,88%. Selain itu jenis kemasan
plastik yang banyak digunakan yaitu kemasan plastik polipropilen. Kemasan yang
digunakan juga tidak hanya kemasan tunggal tetapi juga dikombinasikan baik itu
komposit atau sebagai kemasan primer, sekunder, dan tersier. Senyawa zat kontak dan
bahan kontak pangan yang terdapat pada berbagai kemasan plastik hasil migrasi aktual
yang bersumber dari literatur masih dibawah batas migrasi persyaratan yang diizinkan.

Kata kunci: keamanan, kemasan pangan, migrasi kemasan,


SUMMARY

CHOIRUNNISA AMBARWATI. Analysis Performance Food Packaging Materials in


Indonesia and Identification Migration Potential of Plastic Packaging. Supervised by
NUGRAHA EDHI SUYATMA and FAHIM MUCHAMMAD TAQI

Food packaging is one of the important aspects for products to maintain food quality
and safety. The role of packaging is to facilitate the distribution process and protect from
physical, chemical, and biological hazards, by providing product information and brand
image. Packaging can be distinguished based on the contact with the product, which is
primary packaging, secondary packaging, and tertiary packaging. Types of packaging are
plastic, metal, glass, and paper. Provisions regarding prohibited food contact substances
have been regulated by BPOM, through BPOM regulation concerning food packaging
number 20 of 2019. Therefore, producers need to be concerned with guaranteeing
the safety of the food packaging used. Registered food products can be viewed
through the website cekbpom.pom.go.id. One of the information on the website is
packaging, so that it can be used as a performance of packaging circulating in
Indonesia by grouping and visualizing the percentage of packaging usage. Then identify
the potential migration of plastic packaging.
This study aims to describe the packaging materials circulating in Indonesia by 1)
collect data types of food packaging based on registration data website
cekbpom.pom.go.id and visualize the performance types packaging in Indonesia. 2)
Identifying potential migration of plastic packaging materials used in Indonesia. This
study uses enumeration technique to determine the amount of types packaging based on
website cekbpom.pom.go.id. In this study, the number of samples unsed (n) is the same
as the total population (N) into grouping packaging registration data (plastic, paper, metal,
glass, types of plastic packaging, and combination packaging. After that, a literature
review potential migration plastic packaging in Indonesia.
The results of packaging use percentage circulating in Indonesia based on product
data registered in BPOM show that plastic packaging is the most widely used at
64,03%, followed by paper packaging at 15,22%, metal at 10.88%, and glass at
9,88%. Polypropylene plastic packaging is the most common type of plastic
packaging. The packaging used is not only single packaging but also combination
packaging, both in the form of composites and as primary, secondary, and tertiary
packaging. Compounds of contact substances and food contact materials contained in
various plastic packaging resulting from actual migration based literature are still
below the permittd migration limits.

Keywords: food packaging, migration packaging, safety


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2022
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ANALISIS KERAGAAN PENGGUNAAN BAHAN KEMASAN
PANGAN DI INDONESIA DAN IDENTIFIKASI POTENSI
MIGRASI KEMASAN PLASTIK

CHOIRUNNISA AMBARWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister pada
Program Studi Ilmu Pangan

PROGRAM STUDI ILMU PANGAN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
Tim Penguji pada Ujian Tesis:
Dr. Nancy Dewi Yuliana S.T.P., M.Sc.
Judul Tesis : Analisis Keragaan Penggunaan Bahan Kemasan Pangan di Indonesia
dan Identifikasi Potensi Migrasi Kemasan Plastik
Nama : Choirunnisa Ambarwati
NIM : F251170221

Disetujui oleh

Pembimbing 1:
Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA

Pembimbing 2:
Dr. Fahim Muchammad Taqi, STP, DEA

Diketahui oleh

Ketua Program Studi:


Prof. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum
NIP 19640502199303200
Dekan Fakultas Teknologi Pertanian:
Prof. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr.
NIP 196105021993032004

Tanggal Ujian: 18 Agustus 2022 Tanggal Lulus: 26 Agustus 2022


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanaahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2022 sampai bulan Juli 2022 ini ialah
keragaan penggunaan bahan kemasan pangan dan potensi migrasi kemasan plastik,
dengan judul “Analisis Keragaan Penggunaan Bahan Kemasan Pangan di Indonesia dan
Identifikasi Potensi Migrasi Kemasan Plastik”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada para pembimbing, Dr. Nugraha Edhi
Suyatma, S.T.P, D.E.A dan Dr. Fahim Muchammad Taqi, S.T.P, D.E.A yang telah
membimbing pengarahan, saran, masukan, solusi, dan motivasi kepada penulis selama
melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah. Ucapan terima kasih disampaikan
kepada moderator seminar Dr. Ir. Nora Herdiana Pandjaitan D.E.A dan penguji luar
komisi pembimbing Dr. Nancy Dewi Yuliana, S.T.P., M.Sc. Di samping itu, ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum
selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Pangan beserta seluruh staf administrasi
Sekolah Pascasarjana IPB dan Program Studi Ilmu Pangan yang telah banyak membantu
penulis selama masa studi.
Terima kasih tak terhingga kepada orang tua penulis Ayahanda Amrullah dan Ibu
Susilawati, serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan
dukungan yang tiada henti. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
Ilmu Pangan 2017, teman-teman FORMASIP, dan semua pihak yang telah membantu
dan mendukung penulis yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan bagi
kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2022

Choirunnisa Ambarwati
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vii


DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Manfaat 3
1.5 Ruang Lingkup 3
II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Kemasan Pangan 4
2.2 Kemasan Logam 4
2.3 Kemasan Kertas 5
2.4 Kemasan Kaca 5
2.5 Kemasan Plastik 6
2.6 Migrasi Kemasan Pangan 6
III METODE 8
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 8
3.2 Alat dan Bahan 8
3.3 Prosedur Kerja 8
3.4 Analisis data 9
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 10
4.1 Pemetaan Penggunaan Bahan Kemas di Indonesia Berdasarkan Data
Produk Teregistrasi 10
4.2 Pemetaan Penggunaan Jenis Kemasan Plastik 14
4.3 Penggunaan Kemasan Pangan Kombinasi 18
4.4 Penggunaan kemasan pada produk pangan AMDK 20
4.5 Potensi Migrasi Kemasan Pangan 20
V SIMPULAN DAN SARAN 25
5.1 Simpulan 25
5.2 Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 26
RIWAYAT HIDUP 32
DAFTAR TABEL

1. Kemasan AMDK berdasarkan data registrasi 20


2. Potensi Migrasi Kemasan Plastik Pangan 21

DAFTAR GAMBAR

1. Tingkatan Migrasi Kemasan ke Makanan 5


2. Tahapan Penelitian 8
3. Website cekbpom.pom.go.id 9
4. Persentase Penggunaan Bahan Kemasan Pangan Impor di Indonesia 10
5. Persentase Penggunaan Bahan Kemasan Pangan Dalam Negeri di
Indonesia 10
6. Persentase Penggunaan Bahan Kemasan Pangan di Indonesia 11
7. Persentase Penggunaan Kemasan Plastik di Indonesia 15
8. Persentase Kombinasi Kemasan Pangan 18
1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penggunaan kemasan saat ini cukup tinggi, hal ini terjadi seiring terus
berkembangnya inovasi makanan dan minat dari konsumen. Pemenuhan minat konsumen
diwujudkan oleh perusahaan makanan dengan memproduksi berbagai macam produk
pangan, bahkan dengan melakukan impor. Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat
dan Makanan Nomor 27 tahun 2017 Pasal 2 (1) Setiap pangan olahan yang diproduksi di
dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran wajib
memiliki izin edar. Beragamnya produk pangan tidak lepas dari penggunaan bahan
kemas, bahkan hampir tidak ada produk pangan yang dijual tanpa bahan kemas. Kemasan
pangan merupakan salah satu aspek penting pada sebuah produk untuk menjaga kualitas
dan keamanan pangan (Rasul et al. 2022). Peran kemasan yaitu sebagai wadah untuk
mempermudah dalam proses pendistribusian, melindungi dari bahaya cemaran fisik,
kimia, dan biologi, serta memberikan informasi produk, citra merek tersebut (Widiati
2020). Stewart (2004) mendefinisikan juga fungsi kemasan sebagai wadah, melindungi,
dan sebagai identitas produk. Kemasan dapat dibedakan berdasarkan kontak terhadap
produk yaitu kemasan primer, kemasan sekunder, dan kemasan tersier.
Jenis kemasan pangan yang digunakan saat ini sangat beragam, hal ini
menyesuaikan dengan kondisi pangan yang dikemasnya. Jenis kemasan yang sering
digunakan yaitu plastik, logam, kaca, dan kertas (Geueke et al. 2018). Umumnya plastik
paling banyak digunakan untuk produk pangan, biasanya plastik dibentuk menjadi botol
plastik, kantong plastik, nampan plastik, dan lainnya (Geueke et al. 2018). Selain itu,
menurut Mohanty dan Swain (2017) plastik paling banyak juga digunakan sebagai
pengemas produk pangan dikarenakan memiliki biaya yang rendah, memiliki kualitas,
dan sifat fisiko-kimia yang baik. Apabila dikaitkan dengan komposisi sampah di
Indonesia berdasarkan Kementerian Lingkungan Hidup diperoleh data (SIPSN 2021)
bahwa sampah kemasan paling banyak yaitu plastik sebanyak 17,7%. Kemasan plastik
biasanya tersusun dari polimer tunggal seperti Polyethylene Terephthalate (PET),
Polypropylene (PP), High (HDPE) dan Low (LDPE) Density Polyethylene, Polystyrene
(PS), Polyvinylchloride (PVC), atau plastik multilayer yang merupakan kombinasi dari
beberapa jenis lapisan plastik (Geueke et al. 2018).
Pemilihan kemasan tersebut untuk mewadahi suatu produk pangan umumnya
produsen memilih yang memiliki biaya rendah tetapi dapat memenuhi kebutuhan industri,
keinginan konsumen, menjaga keamanan pangan, dan meminimalkan dampak
lingkungan (Marsh dan Bugusu 2007). Menjaga keamanan pangan ini dapat dengan cara
melihat kecocokan antara bahan kemas dengan karakteristik dari produknya dan kondisi
penyimpanannya. Hal ini perlu diperhatikan karena tiap jenis kemasan tersusun oleh
komponen yang berbeda yang memungkinkan terjadinya migrasi antara bahan kemas ke
produk pangan. Proses migrasi ini dapat menurunkan kualitas dan keamanan produk yang
dikemasnya. Migrasi merupakan proses difusi yang dipengaruhi oleh interaksi komponen
makanan dengan bahan pengemasnya selama penyimpanan dan penggunaan. Pelepasan
bahan aditif atau material lain ini dapat terjadi dikarenakan panas yang berasal dari
makanan/minuman yang dikemasnya. Migrasi yang terjadi dari suatu kemasan ke dalam
produk yang dikemas dapat memberikan dampak terhadap kualitas produk yang dikemas,
2

yaitu mempengaruhi aroma, bau serta rasa dari produk serta memberikan dampak
terhadap kesehatan manusia.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang
Keamanan Pangan mengharuskan setiap orang yang melakukan Produksi Pangan dalam
kemasan untuk diedarkan, dilarang menggunakan bahan kemasan pangan yang
mengandung zat kontak pangan yang dilarang yang dapat melepaskan cemaran
membahayakan Kesehatan manusia. Ketentuan mengenai zat kontak pangan yang
diizinkan dan dilarang telah diatur oleh Badan POM melalui Peraturan Badan POM
Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Oleh karena itu, Produsen perlu
memerhatikan terkait penjaminan keamanan kemasan pangan yang akan digunakan.
Produk pangan yang terdaftar di BPOM dapat diketahui melalui website
cekbpom.pom.go.id. Website tersebut berisi mengenai informasi suatu produk pangan
yaitu nomor izin edar, nama produk, merk, kemasan, pendaftar dan produsen. Produk
pangan yang beredar di Indonesia sangat banyak dengan menggunakan berbagai bahan
kemas. Maka, dengan adanya data registrasi pada website cekbpom.pom.go.id ini dapat
juga sebagai pemanfaatan untuk persentase keragaan bahan kemas yang digunakan di
Indonesia. Penggunaan bahan kemas produk yang tersebar di Indonesia dapat dilihat
melalui website cekbpom.pom.go.id dengan mengelompokan dan memvisualisasikan
jumlah kemasan serta mengidentifikasi potensi migrasi bahan kemas plastik yang banyak
digunakan di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Produksi dan impor pangan di Indonesia diperkirakan akan terus mengalami
peningkatan mengikuti keinginan konsumen atau sebagai pemenuhan target pasar. Hal ini
seiring diikuti dengan penggunaan berbagai jenis dan bentuk kemasan terhadap produk
pangan. Berdasarkan uraian latar belakang, banyaknya peredaran produk pangan dengan
berbagai bahan kemasan di Indonesia menjadi salah satu fokus perhatian terkait
keamanan produk pangan yang terkemas di dalamnya. Pengaruh kemasan dapat
menimbulkan perubahan pada produk disebabkan dengan berbagai faktor. Belum adanya
penelitian terkait dengan pengelompokan persentase kemasan yang beredar di Indonesia
berdasarkan produk pangan olahan terkemas yang telah memiliki izin edar dari Badan
POM. Maka dianggap perlu untuk melakukan keragaan penggunaan jenis kemasan yang
digunakan di Indonesia dan mengidentifikasi potensi migrasi kemasan yang paling
banyak digunakan.

1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk dapat menguraikan bahan kemas yang beredar di
Indonesia dengan:
1. Melakukan Keragaan jenis bahan kemasan pangan berdasarkan data registrasi produk
pangan olahan kemas pada website cekbpom.pom.go.id dan memvisualisasikan jenis-
jenis bahan kemas di Indonesia
2. Mengidentifikasi potensi migrasi dari bahan kemasan plastik yang digunakan di
Indonesia
3

1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Menjadi informasi dan sebagai referensi bagi pemangku kebijakan dan regulator
tentang keamanan kemasan dan penanganan limbah kemasan
2. Meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap aspek keamanan
kemasan pangan.

1.5 Ruang Lingkup


Penelitian ini dilakukan dengan memperoleh data menggunakan website
cekbpom.pom.go.id, fokus penelitian meliputi keragaan penggunaan kemasan dan
mengidentifikasi terkait potensi migrasi dari bahan kemasan yang paling banyak
digunakan di Indonesia yaitu plastik.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kemasan Pangan


Bahan kemas merupakan wadah yang digunakan untuk memberikan perlindungan,
pemasaran, mempermudah distribusi produk pangan yang dikemasnya. Perusahaan
menggunakan kemasan yang baik dan menarik perhatian bagi konsumen (Pesoth 2015).
Subyektivitas dan paduan warna menentukan pengaruh konsumen untuk melihat kemasan
pangan (Rosalina et al. 2019). Selain itu, kemasan harus menjaga produk yang terkemas
terhindar dari kerusakan secara fisik maupun kimia yaitu dari penyebab kerusakan dari
luar seperti cahaya, oksigen, kelembaban, mikroba atau serangga (Sucipta et al. 2017).
Perlindungan tersebut dengan meminimalisir kontak bahan pangan agar mencegah dan
menunda proses kerusakan bahkan dapat mempertahankan masa simpan dan juga untuk
memperpanjang umur simpan (Rosmawati et al. 2021). Kemasan yang sering digunakan
untuk pangan olahan yaitu plastik, logam, kaca, dan kertas.

2.2 Kemasan Logam


Kemasan logam biasanya berbentuk kaleng menjadi kemasan yang paling
serbaguna dari semua bentuk kemasan, hal ini dikarenakan kemasan tersebut dapat
melindungi isi di dalamnya dengan baik dan juga mampu menghalangi masuknya
kontaminan fisik. Logam yang paling banyak digunakan sebagai kemasan yaitu
aluminium dan baja. Aluminium lebih tahan terhadap korosi, karena terdapat lapisan
alami berupa aluminium oksida yang menjadi penghalang terhadap udara, suhu,
kelembaban, dan bahan-bahan kimia. Pada umumnya, aluminium digunakan untuk
membuat kaleng, foil, dan kertas laminasi (Marsh dan Bugusu 2007).
Logam baja dikenal juga sebagai elektrolisis kromium atau baja berlapis krom
oksida. Kemasan ini membutuhkan pelapis organik supaya tahan terhadap korosi. Baja
dapat diaplikasikan sebagai kaleng makanan, menjadi bagian ujung kaleng, nampan, tutup
botol, dan penutup yang lainnya. Biasanya, wadah besar (seperti drum) yang digunakan
untuk penjualan skala besar dan penyimpanan massal bahan, juga terbuat dari logam baja
(Marsh dan Bugusu 2007).
Kemasan kaleng berupa lembaran baja yang disalut timah (Sn) dengan kadar kurang
dari 1,00-1,25% dari berat kaleng itu sendiri. Biasanya kemasan kaleng tersebut dilapisi
lagi dengan lapisan non-metal untuk mencegah kontak antara kemasan dengan makanan
ataupun minuman di dalamnya.
Saat ini, kemasan kaleng menjadi salah satu kemasan yang sering digunakan di
pasaran. Alasan konsumen dalam memilih kemasan kaleng karena praktis, mudah
dijumpai, dan harganya relatif terjangkau (Perdana 2019). Komponen-komponen
penyusun kemasan kaleng yaitu cover, bottom, dan ring yang tertera pada Gambar1.
5

Gambar 1 Tingkatan Migrasi Kemasan ke Makanan

2.3 Kemasan Kertas


Penggunaan kemasan kertas telah diterapkan secara global di seluruh dunia
termasuk Indonesia. Jaringan serat selulosa yang saling terikat dari kayu, kapas
merupakan sebagai komponen penyusun menjadi kertas dan kertas karton (Marsh dan
Bugusu 2007). Kemasan pangan kertas memiliki sifat kekuatan daya tarik yang berbeda-
beda dipengaruhi oleh kadar air, seperti kertas perkamen, kertas kraft, kertas karton (Rhim
2010). Seiring dengan tingginya kadar air sebagai penyusun dari kemasan maka akan
terjadi penurunan kekakuan lentur dan tarik dari kemasan kertas (Marin 2020). Karton
memiliki bentuk bergelombang yang terdiri dari tiga lapisan, lapisan bergelombang pada
bagian tengah yang ditutupi di permukaan dengan lapisan datar (Aboura et al. 2004). Hal
ini berfungsi untuk memberikan kemudahan geser, melindungi produk dari benturan.
Produk pangan yang dikemas menggunakan kemasan kertas untuk menjaga kualitas
produk dapat juga dilakukan penambahan perlakuan seperti mengatur dan memodifikasi
atmosfer (Suppakul et al. 2003). Selain itu, Kemasan kertas sering kali digabungkan
dengan plastik dengan cara dilaminasi yang berguna sebagai kemasan pangan. Produk
kaleng sangat sesuai dikemas oleh karton solid sehingga bisa menopang seluruh berat
kaleng itu sendiri. Ketebalan pada karton akan melindungi kaleng tersebut dari benturan,
kejatuhan, gangguan luar, dan tusukan benda tajam.

2.4 Kemasan Kaca


Kaca merupakan kemasan berbentuk transparan yang dibentuk dari beberapa
komponen tertentu. Kemasan ini sangat mudah pecah meskipun terdapat kepadatan atau
kerapatan molekulnya sangat tinggi (Nugraheni 2018). Silika merupakan elemen penting
sebagai bahan dari pembuatan kaca, selain itu juga memerlukan natrium karbonat yang
dapat membantu peleburan dan sebagai stabilator menggunakan alumina (Verma et al.
2021). Menurut Geueke et al. (2018) Kemasan tersedia dalam berbagai bahan seperti
kertas, kardus, kaca dan logam. Namun saat ini sudah banyak penemuan terbaru terkait
dengan kemasan ramah lingkungan biodegradable bahkan dapat dikonsumsi. Kemasan
kaca lebih dapat melindungi produk pangan dari faktor luar seperti kelembaban udara dan
juga produk yang dikemas menggunakan kemasan kaca lebih terlihat elegan,
menyenangkan dan menarik bagi konsumen sehingga menjadi prospek dalam pemasaran
(Verma et al. 2021). Selain itu kemasan kaca tidak mempengaruhi aroma pada produk
(Majid et al. 2016). Kemasan kaca biasanya digunakan untuk mengemas produk seperti
susu, minuman ringan, selai saus, jeli, minyak nabati, suplemen makanan dan lainnya
(Verma et al. 2021). Dengan adanya kemasan kaca dan logam sebagai solusi membantu
dalam pendistribusian seperti produk cair (Puscaselu et al. 2019). Kemasan kaca bersifat
inert dan mampu untuk menghambat keluar cairan atau gas dari bahan kemas (Yuyun
6

2011). Kemasan kaca memiliki banyak keuntungan namun memiliki dampak pada
lingkungan lebih besar daripada botol plastik seperti polipropilen (Wohner et al. 2020).
Harga produk yang dikemas menggunakan kemasan kaca pun lebih besar seiring dengan
visualisasi produk yang lebih baik (Kobayashi dan Benassi 2015).

2.5 Kemasan Plastik


Plastik sering digunakan sehingga semakin meningkat jumlah penggunaannya.
Kemasan plastik pada produk pangan adalah senyawa makromolekul organik yang
diperoleh dengan cara polimerisasi, polikondensasi, poliadisi, atau proses serupa lainnya
dari monomer atau oligomer dengan perubahan kimiawi makromolekul alami atau
fermentasi mikroba (Piergiovanni dan Limbo 2015) yang digunakan sebagai sarana
melindungi, memasarkan dan mendistribusikan pangan baik yang bersentuhan langsung
dengan pangan ataupun tidak (Raheem 2012). Plastik dianggap sebagai bahan yang tahan
lama, mudah dibentuk, ringan dan murah sehingga ideal digunakan sebagai bahan
kemasan pangan (Geyer et al. 2017). Plastik aman digunakan pada produk makanan
namun resiko terjadinya migrasi bahan kimia pada makanan dapat saja terjadi (Fweja
2020), oleh karena itu pemilihan penggunaan kemasan plastik sesuai karakteristik pangan
yang akan dikemas perlu untuk dilakukan.
Ketahanan plastik terhadap panas dapat terjadi secara thermoplastic dan thermoset.
Thermoset terjadi proses pemanasan hanya sekali dan tidak bisa kembali pada bentuk
awal atau tidak bisa melunak (Omar et al. 2017). Kemasan plastik sebagai pengemas
pangan umumnya dengan karakteristik thermoplastic yang apabila dipanaskan dalam
temperatur tertentu maka plastik tersebut dapat mencair dan bersifat reversible (Surono
2013). Banyak jenis kemasan polimer yang beredar yang akan kontak langsung dengan
pangan maupun tidak (Siracusa 2012). Perbedaan jenis polimer tersebut dilakukan dengan
pengodean yang pertama kali dikenalkan oleh The US Society of the Plastic Industry pada
tahun 1988 dan saat ini diatur oleh ASTM (American Standard Testing and Material)
International pada The ASTM International Resin Identification Coding System yang
sering disingkat RIC. Nama jenis polimer dari pengkodean yaitu (1) Poly(ethylene
terephthalate); (2) High density polyethylene; (3) Poly(vinyl chloride); (4) Low density
polyethylene; (5) Polypropylene; (6) Polystyrene, dan (7) Other (ASTM 2022).
Keuntungan penggunaan plastik karena memiliki sifat cair dan mudah dibentuk sesuai
kebutuhan dalam pengemas pangan, ringan dapat dikombinasikan dengan jenis kemasan
lainnya. Namun memiliki kelemahan dari segi permeabilitasnya terhadap cahaya, udara,
uap air dan molekul bobot rendah.

2.6 Migrasi Kemasan Pangan


Migrasi merupakan proses perpindahan zat pada kemasan pangan menuju makanan
yang berada di dalamnya. Perpindahan tersebut mempengaruhi kandungan dan mutu pada
makanan, misalkan penurunan kesehatan, kandungan bahaya, dan dampak negatif lainnya
(Irawan 2013). Terjadinya migrasi kemasan pangan tentu dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti luas permukaan kemasan kontak dengan makanan, kecepatan dan lamanya
migrasi, jenis bahan yang digunakan. Indonesia sebagian besar kemasan pangan
menggunakan berbahan plastik dimana migrasi terjadi dari kandungan plastik menuju
makanan di dalamnya (Irawan 2013). Faktor lainnya yang mempengaruhi migrasi
makanan adalah stabilitas produk, kondisi lingkungan khususnya bentuk penyimpanan
7

atau pengirimannya, dan sifat produk. Faktor eksternal dipengaruhi dengan kadar oksigen,
jenis bahan dan suhu penyimpanan (Hasibuan 2020). Setiap kemasan memiliki
kandungan dan karakteristik berbeda sehingga memiliki kecepatan tertentu dalam proses
migrasi kemasan ke makanan.
Bahaya kimia dari migrasi makanan secara potensial harus dipertimbangkan seperti
aditif yang sengaja ditambahkan selama pembuatan untuk meningkatkan karakteristik
kemasan (Itnawita 2014). Selain itu, zat yang ditambahkan secara tidak sengaja karena
penggabungan bahan daur ulang. Saat berfungsi sebagai kemasan utama, kertas, dan
plastik paling sering digunakan untuk kontak dengan makanan padat kering. Situasi ini
zat yang ada pada kemasan dapat bermigrasi ke dalam makanan melalui kontak langsung
atau secara tidak langsung melalui fase gas antara permukaan material dan permukaan
makanan (Vapenka et al. 2016). Proses pemanasan dapat terjadi transfer zat kemasan ke
produk melibatkan penguapan komponen yang mudah menguap dari kemasan dan dengan
distilasi uap dalam kasus makanan lembab atau berair (Qiu et al. 2021).
Pergerakan kinetik dari molekul-molekul kecil seperti halnya monomer sangat
tergantung pada keadaan dan konsentrasi zat-zat yang termigrasi serta sifat kemasan
makanan (Wei 2014). Tingkat kontak antara makanan dan kemasan juga memiliki
pengaruh langsung pada migrasi, dan dalam kasus di mana masalah tertentu telah
dihadapi, perlu untuk melindungi makanan dari kontak langsung seperti permukaan yang
dicetak. Hal ini dikarenakan migrasi adalah proses yang biasanya terjadi secara bertahap,
periode waktu kontak antara makanan dan kemasan juga harus dipertimbangkan ketika
mencoba mengantisipasi potensi masalah migrasi (Suciu et al. 2013). Dampak bagi
lingkungan bisa menjadi sumber utama makanan kontaminasi jika tidak higienis. Banyak
kontaminan lingkungan, seperti debu, mikroba, serangga, dan naftalena, dapat ditransfer
ke dalam makanan dan mengakibatkan kontaminasi. Hal ini dapat terjadi melalui bahan
kemasan yang rusak atau menyerap dengan migrasi berikutnya ke makanan (Guerrerio
2018).
8

III METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan bulan April 2022 hingga Juli 2022. Penelitian dilakukan
menggunakan data primer dari data di website cekbpom.pom.go.id dan menelaah data
sekunder dari peraturan keamanan pangan dan peraturan kemasan pangan di Indonesia.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu laptop, jaringan internet, software
Microsoft Excel. Bahan yang digunakan yaitu data registrasi di web cekbpom.pom.go.id.

3.3 Prosedur Kerja


Secara umum penelitian ini akan dilakukan dengan empat tahapan yaitu tahap
pencarian dan pengelompokan data kemasan produk pangan terdaftar di Indonesia,
tahap analisis keragaan penggunaan kemasan, tahap identifikasi potensi
migrasi kemasan pangan plastik, tahap melakukan analisis pustaka.

Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian

3.3.1 Tahapan I: Pencarian dan Pengelompokan Data


Penelitian ini membuat keragaan penggunaan bahan kemasan pangan di
Indonesia melalui data dari suatu website. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
penelitian kuantitatif deskriptif dengan melakukan pengelompokan data dari suatu
website. Website yang digunakan dalam hal ini yaitu cekbpom.pom.go.id yang berisi
informasi suatu produk yang sudah dikeluarkan izin edarnya oleh Badan POM. Data
yang diinginkan yaitu bahan kemas apa saja yang digunakan di Indonesia dan sudah
berapa banyak penggunaannya. Untuk itu dilakukan pengumpulan data bahan kemas
dengan cara melakukan pengelompokan bahan kemasan seperti plastik, kaca,
logam, kertas, jenis kemasan plastik dan kombinasi kemasan lainnya. Penglompokan
data dengan cara masuk ke website cekbpom.pom.go.id, klik menu produk, pilih
produk pangan, kemudian cek kemasan yang tertera, masukan kedalam excel, apabila
data pada website telah terkumpul, maka di kelompokan berdasarkan data jenis
kemasan yang ingin diragakan. Berikut adalah tampilan website cekbpom.pom.go.id
untuk melakukan pengelompokan data bahan kemas.
9

Gambar 3 website cekbpom.pom.go.id

3.3.2 Tahapan II: Analisis keragaan data kemasan


Pada tahap ini hasil dari pengelompokan data tersebut dilakukan pengolahan
data untuk diubah menjadi sebuah informasi seperti dalam bentuk tabel dan
diagram, agar data yang sudah dikelompokan menjadi mudah untuk dipahami.
Penyajian data menggunakan grafik sangat bervariasi dapat berupa diagram
lingkaran, diagram batang, diagram kotak garis, dan diagram lainnya (Bluman,
2012). Pada penelitian ini dibuat keragaan data penggunaan pangan yang digunakan
di Indonesia.
3.3.3 Tahapan III: Identifikasi potensi migrasi kemasan plastik
Penelitian ini dilakukan berdasarkan kajian studi literatur potensi migrasi
bahan kemasan. Studi literatur dengan melakukan pencarian referensi teori yang
relevan dan berkaitan dengan potensi migrasi bahan kemas pangan. Referensi
tersebut diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, dan sumber lainnya
seperti peraturan kemasan pangan di Indonesia dan berbagai negara lainnya seperti
EU dan Amerika Serikat.

3.3.4 Tahapan IV: Pengumpulan Sumber Pustaka


Mengumpulkan sumber pustaka berupa pustaka ilmiah untuk mendukung data
yang sudah dikelompokan. Sumber Pustaka ini merupakan sumber data sekunder,
sumber data ini tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data karena untuk
mendukung data primer (Sugiyono 2008).

3.4 Analisis data

Penelitian ini menggunakan teknik pencacahan untuk mengetahui besaran


penggunaan berbagai jenis bahan kemasan berdasarkan data registrasi produk pangan
pada web cekbpom.pom.go.id dengan pendekatan deskriptif. Pada penelitian ini,
jumlah sampel yang digunakan (n) sama dengan jumlah populasi (N) terhadap data
registrasi menjadi pengelompokan data bahan kemasan (plastik, kertas, logam, kaca,
jenis kemasan plastik, dan kombinasi kemasan). Kemudian dilakukan kajian
pustaka potensi migrasi bahan kemas yang beredar di Indonesia tersebut.
10

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemetaan Penggunaan Bahan Kemas di Indonesia Berdasarkan Data


Produk Teregistrasi
Bahan kemas merupakan wadah yang digunakan untuk memberikan perlindungan,
pemasaran, mempermudah distribusi produk pangan yang dikemasnya. Salah satu jenis
bahan kemas yang sering digunakan untuk produk pangan adalah plastik. Hasil
pengelompokan data registrasi pada website cekbpom.pom.go.id menunjukkan
beberapa jenis bahan kemas yang digunakan di Indonesia. Jenis kemasan yang sering
digunakan yaitu plastik, logam, kaca, dan kertas (Geueke et al. 2018). Hasil keragaan
persentase penggunaan kemasan produk pangan impor di Indonesia seperti pada gambar
4 dan gambar 5 menunjukkan persentase penggunaan kemasan produk pangan dalam
negeri.

Plastik Kertas Logam Kaca

22,82%
45,69%

14,07%

17,42%

Gambar 4 Persentase penggunaan bahan kemasan pangan impor di Indonesia

Plastik Kertas Logam Kaca


3,77%

9,38%

14,17%

72,67%

Gambar 5 Persentase penggunaan bahan kemasan pangan dalam negeri di Indonesia


11

Berikut hasil pengelompokan total data persentase bahan kemas yang digunakan
di Indonesia dari website tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Plastik Kertas Logam Kaca

9,88%

10,88%

15,21%

64,03%

Gambar 6 Persentase penggunaan bahan kemasan pangan di Indonesia


Total data persentase penggunaan bahan kemas dari data registrasi tersebut
disajikan pada Gambar 6. Gambar 4 dan 5 menunjukkan persentase penggunaan bahan
kemasan yang beredar di Indonesia baik impor maupun produk dalam negeri berdasarkan
data registrasi diperoleh bahwa didominasi oleh bahan kemas plastik. Gambar 6
menunjukkan total data penggunaan plastik sebanyak 64,03% sebagai bahan kemasan
yang tertinggi dibandingkan bahan kemasan lainnya. Menurut Geyer (2017), pada tahun
2015 produksi plastik mencapai 380 juta metrik ton, 40%nya digunakan sebagai kemasan
yang mana 60% diantaranya digunakan sebagai kemasan pangan. Umumnya plastik
paling banyak digunakan untuk produk pangan, biasanya plastik dibentuk menjadi botol
plastik, kantung plastik, nampan plastik, dan lainnya (Geueke et al. 2018). Penggunaan
kemasan plastik ini pada data registrasi tersebut tidak hanya tunggal digunakan
tetapi juga dikombinasikan dengan kemasan lainnya. Kemasan plastik pada produk
pangan adalah senyawa makromolekul organik yang diperoleh dengan cara polimerisasi,
polikondensasi, poliadisi, atau proses serupa lainnya dari monomer atau oligomer dengan
perubahan kimiawi makromolekul alami atau fermentasi mikroba yang digunakan
sebagai sarana melindungi, memasarkan dan mendistribusikan pangan baik yang
bersentuhan langsung dengan pangan ataupun tidak (Raheem 2013). Zat organik mampu
mengalir ketika panas dan tekanan yang diperlukan diterapkan pada beberapa tahap
pembuatannya. Sifat plastik itu yakni sulit menyerap air, bersifat ringan, lentur, isolator,
mudah terbentuk, dan tidak mudah pecah (Bashir 2013). Plastik dianggap sebagai bahan
yang tahan lama, mudah dibentuk, ringan dan murah sehingga ideal digunakan sebagai
bahan kemasan pangan sehingga plastik menjadi pilihan dalam pengemasan (Geyer et al.
2017).
Sifat fisik plastik bervariasi tergantung pada komposisi kimia, pengaturan dan
metode pemrosesan subunitnya. Plastik berasal dari polimer, maka semua plastik adalah
polimer, tetapi tidak semua polimer adalah plastik. Plastik dapat berupa padatan amorf,
12

padatan kristal, atau padatan semi kristalin (kristalit) atau bentuk padatan lainnya. Plastik
memiliki tingkat degradasi yang lambat dan cenderung tahan lama (Ballzaroti et al. 2015).
Plastik termoplastik sebagai bahan plastik yang dapat mengalami daur ulang.
Sedangkan plastik thermoset merupakan plastik yang tidak mengalami daur ulang.
Senyawa penyusun plastik adalah alkena, polietilena, dan etena (Marcena dan Carvalho
2021). Plastik sebagian besar adalah atom berbasis karbon. Atom karbon mampu
menghubungkan ke atom lain dengan hingga empat ikatan kimia. Dalam plastik, atom
karbon juga terhubung dengan hidrogen, oksigen, nitrogen, klorin, atau belerang. Ketika
ikatan atom-atom ini menghasilkan rantai panjang, seperti mutiara pada untaian mutiara,
polimer ini disebut sebagai termoplastik. Termoplastik dapat meleleh, semua
termoplastik memiliki unit berulang misalnya bagian rantai terkecil yang identik. Hampir
sebagian besar plastik adalah 92% termoplastik (Jogi dan Bhat 2020).
Berdasarkan diagram kemasan yang digunakan yaitu kemasan kertas sebanyak
15,21%. Penggunaan kertas ini digunakan tidak hanya sebagai kemasan primer tetapi juga
kemasan sekunder. Kemasan kertas yang digunakan terdiri dari kertas, kertas karton,
kardus, kraft, kertas lilin, dan lainnya. Kemasan kertas seperti kertas kraft, perkamen
dan kertas wax merupakan kemasan kertas yang kontak dengan bahan makanan,
sedangkan kertas karton biasanya digunakan sebagai wadah pengiriman seperti kardus
yang tidak kontak langsung dengan makanan (Raheem 2013).
Kertas merupakan material senyawa berbentuk serat dari tanaman yang disebut
dengan cellulose. Pembuatan kertas berasal dari bahan baku selulosa kayu atau merang
padi. Di dalamnya telah dicampurkan dengan bahan kimia yang kemudian dibentuk dan
dikeringkan (Sonmez dan Ozden 2018). Bahan kertas yang berasal dari kayu terdiri dari
50% selulosa, 30% lignin dan bahan bersifat adhesif di lamela tengah, 20% karbohidrat
berupa xilan, mannan, serta resin, tanin dan gum (Didone et al. 2017). Tipe kayu dan
lembaran akhir kertas yang diinginkan sangat menentukan cara pembuatan kertas. Pada
pembuatan kertas bahan baku berupa kayu atau merang padi terlebih dahulu dibuat
menjadi pulp (Brem et al. 2016).
Jumlah bakteri yang terdapat dalam kertas makanan yang terbuat dari kertas daur
ulang sekitar 1,5 juta koloni per gram, sedangkan rata-rata kertas nasi yang biasa
digunakan memiliki berat 70-100 gram. Artinya ada 105 juta-150 juta bakteri yang
terkandung di dalam kertas (Paramita 2015). Dampaknya bisa bermacam-macam, mulai
dari sakit perut atau diare, kanker, kerusakan hati, kerusakan kelenjar getah bening, risiko
asma, hingga gangguan vitalitas pria dan mutasi gen. Terdapat beberapa senyawa yang
terkandung pada kemasan kertas yakni monokloro, epiklorohidirin, dan propandiol.
Sebagian besar senyawa memiliki dampak buruk bagi kesehatan, seperti kanker payudara,
penurunan kinerja sistem reproduksi, dan kista (Deswal et al. 2013).
Kemasan kertas tidak terlalu menjadi perhatian, hal ini disebabkan limbah
kertas tidak terlalu membahayakan dibandingkan dengan bahan kemasan plastik atau
lainnya (Khasanah et al. 2017). Penggunaan kertas mengalami perkembangan
sesuai dengan kemajuan teknologi. Terdapat banyak jenis kertas dengan keramahan
13

pada lingkungan, seperti kemudahan mendaur ulang limbah, tidak merusak lingkungan,
dan keuntungan lainnya (Suhartono dan Iskandar 2017). Dengan kata lain relevansi
kemasan kertas dengan kondisi sekarang menunjukkan kesesuaian bahan dengan
mendukung kelestarian lingkungan. Namun, masih ada resiko dari bahan kemas kertas
terhadap kesehatan manusia.
Penggunaannya pada produk pangan yang dilaporkan pada aplikasi cekbpom.go.id
cukup rendah dibandingkan plastik, hal ini dikarenakan penggunaan kemasan kertas pada
produk pangan tidak dapat menjaga pangan dari kondisi lingkungan seperti ketahanan
terhadap air dan panas (Stepien 2011). Berdasarkan diagram sebanyak 10,88%
menggunakan logam sebagai bahan kemasan pangan, disusul dengan penggunaan
kemasan berbahan kaca 9,88%. Kemasan logam yang digunakan yaitu aluminium foil
dan kaleng. Namun penggunaan aluminium foil ini tidak hanya secara tunggal tetapi juga
sudah dikomposit, sehingga pada pengelompokan data kemasan aluminium foil tidak
semua dimasukan ke dalam kelompok logam karena ada juga yang masuk kelompok
kemasan komposit.
Sifat pada kemasan berbasis logam memberikan penghalang yang sangat baik untuk
cahaya, gas dan kelembaban, daur ulang, konversi mudah ke dalam berbagai bentuk,
kemampuan untuk menahan suhu pemanasan tinggi, struktur kaku, transportasi ke jarak
jauh dan kemungkinan dekorasi yang unik (Li 2016). Masalah kesehatan dan keamanan
produk utama kemasan logam terdiri dari senyawa pada Bisphenol A, timbal, kadmium,
merkuri, aluminium, besi, nikel, yang membentuk gembungan kaleng, pembubaran timah,
menghitam dan korosi (Montanari dan Zurlini 2018). Selain itu, mengandung senyawa
Bisphenol A Diglycidyl dan fenolik yang mengancam kesehatan manusia. Senyawa
bernama stanum pada kaleng logam mempengaruhi kesehatan usus atau mempengaruhi
kualitas pencernaan manusia. Dampak kesehatan lainnya, adalah berpotensi kanker
payudara, alergi pada kulit, diabetes, hingga keracunan pada makanan (Chen et al. 2013)
Regulasi penggunaan logam pada kemasan telah diatur pada Peraturan Badan
POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Selain itu, Peraturan Pemerintah
Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan menjadi sumber lainnya yang
mengatur tentang kemasan logam (BPOM 2019). Secara peraturan disebutkan bahwa
keamanan pada kemasan pangan mengharuskan produsen tidak mengizinkan tinta pada
cetakan langsung kemasan. Terdapat beberapa zat yang diperbolehkan pada kemasan
logam, misalkan pemlastis, penstabil, degraden, dan acetaldehyde scavenger.
Implementasi penggunaan logam di Indonesia dapat dilihat dari bentuk kaleng, peralatan
makanan, dan sejenis lainnya. Saat ini, kemasan kaleng menjadi salah satu kemasan yang
mendominasi di pasaran. Alasan konsumen dalam memilih kemasan kaleng karena
praktis, mudah dijumpai, dan harganya relatif terjangkau (Perdana 2019).
Berdasarkan data keragaan tersebut gambar 6. menunjukkan bahwa frekuensi
penggunaan kaca dalam produk kemasan pangan paling sedikit. Hasil penelitian
Rosmawati (2021) menyebutkan bahwa keunggulan kemasan kaca bersifat menghalangi
keluarnya cairan atau gas dari produk yang dikemas dan bersifat inert atau lambat bereaksi
terhadap bahan kimia dan tidak mengontaminasi produk yang dikemas dan mencegah
penguapan, serta melindungi produk dari gangguan lingkungan sekitar karena
permeabilitas yang rendah. Sifat kaca yang stabil menyebabkan kemasan kaca dapat
disimpan dalam jangka waktu panjang tanpa mengalami kerusakan. Faktor terjadinya
migrasi senyawa pada kemasan ke dalam produk pangan dipengaruhi oleh jenis bahan
penyusun itu sendiri. Gelas merupakan campuran pasir dengan soda abu (serbuk
mineral/pasir putih dengan titik leleh rendah), batu kapur dan pecahan atau limbah atau
14

gelas yang didaur ulang (BPOM 2019). Kemasan kaca memiliki beragam bentuk kemasan
namun pada umumnya berbentuk botol. Semua botol kaca dimulai sebagai bahan mentah.
Silika (pasir), soda ash, batu kapur, dan cullet (tungku siap pakai, kaca daur ulang)
digabungkan menjadi campuran tertentu berdasarkan sifat botol yang diinginkan (Yaris
dan Sezgin 2020). Campuran tersebut kemudian dilebur pada suhu tinggi di dalam tungku
sampai menjadi bahan cair, siap untuk dibentuk. Jenis gelas yang akan dihasilkan
campuran ini dikenal sebagai gelas soda-lime, gelas paling populer untuk makanan dan
minuman (Guadagnino et al. 2022). Adapun sifat fisiknya kemasan kaca yakni memiliki
kekuatan lebih, kuat terhadap pemanasan, sulitnya masuk benda padat atau cairan, mudah
diberikan warna, dan harga murah. Penggunaan kemasan kaca tidak hanya berisiko pada
lingkungan melainkan kesehatan manusia (Aversa et al. 2021). Individu yang sering
mengonsumsi makanan atau minuman dengan kemasan berbahan kaca berpotensi
terjadinya kanker payudara, gangguan paru-paru, dan kegagalan pada sistem
pencernaan. Terjadinya ancaman disebabkan adanya bahan pembuatan kaca itu
sendiri atau senyawa yang melekat di dalamnya (Yun 2018).
Relevansi dengan aturan di Indonesia tertuang pada Peraturan Badan POM Nomor
20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Ketatapan tersebut mengatur tentang apa saja
yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan dalam pembuatan kemasan kaca. Secara
garis besar memiliki kesamaan dengan kemasan logam. Penggunaan kemasan kaca dalam
bentuk botol membatasi kedalaman lebih dari 2,5 cm untuk pengisian, senyawa pada
asetat harus sebesar 4 persen dengan suhu kamar tempat gelap, dan timbal yang
diekstraksi tidak lebih dari 1,5 bpj (Syam dan Sukainah 2020).
Kementerian Indonesia melalui Menteri Perindustrian Indonesia menetapkan
Peraturan Menteri Nomor 48 Tahun 2020 tentang Standar Industri Hijau untuk Industri
Kemasan dari Kaca. Peraturan ini sangat spesifik membahas tentang regulasi pada
perusahaan kemasan kaca. Setiap perusahaan diharuskan membuat kemasan kaca yang
tidak mengancam kesehatan dan lingkungan sekitar.

4.2 Pemetaan Penggunaan Jenis Kemasan Plastik


Berdasarkan data beberapa jenis bahan kemas plastik yang diizinkan digunakan
di Indonesia. Hasil pengelompokan data kemasan plastik dari website tersebut dapat
dilihat pada Gambar 7.
15

45,00%
40,11%
40,00%

35,00%

30,00% 28,70%

25,00%

20,00% 17,70%

15,00%
8,04%
10,00%
2,91%
5,00% 0,99%
1,54%
0,00%
PET PP HDPE PVC LDPE PS Others

Gambar 7 Persentase penggunaan kemasan plastik di Indonesia


Gambar 7 menunjukkan bahwa jenis kemasan plastik untuk produk pangan yang
paling banyak digunakan di Indonesia adalah plastik jenis polipropilen (PP), yaitu
mencapai 40,11% penggunaan, lalu disusul oleh plastik jenis PET yang mencapai
28,70%. Sementara itu, jenis kemasan plastik untuk produk pangan yang paling jarang
digunakan di Indonesia adalah plastik jenis PVC, yaitu hanya mencapai 0,99%
penggunaannya. Pendataan di dalam website cekbpom.pom.go.id ditemukan bahwa
tidak semua data yang tertera menjelaskan spesifik mengenai kemasan produk
yang digunakan, dimana sebagai contohnya pada kemasan plastik ini, tidak seluruh
data produk mencantumkan jenis plastik yang digunakan. Seharusnya, data yang
ditampilkan mencantumkan jenis spesifik dari kemasan berdasarkan peraturan badan
pengawas obat dan makanan nomor 20 tahun 2019 mengenai kemasan pangan dan
peninjuan mengenai migrasi spesifik dari kemasan pangan, sehingga data dikaji apakah
sudah ada kesesuaian dalam penggunaan kemasan spesifik dengan produk pangan yang
terkemas berdasarkan aturan yang sudah diberlakukan.
Polypropylene (PP) memiliki kepadatan terendah di antara plastik komoditas. PP
memiliki ketahanan kimia yang sangat baik dan dapat diproses melalui banyak metode
konversi seperti cetakan injeksi dan ekstrusi. Polypropylene adalah polimer yang dibuat
secara katalitik dari propilena. Polypropylene adalah produk petrokimia hilir yang
berasal dari olefin monomer propilena. Dalam proses ini, panas, radiasi energi tinggi
dan inisiator atau katalis ditambahkan untuk menggabungkan monomer bersama-sama
(Quazi 2013). Jadi, propilena molekul dipolimerisasi menjadi polimer yang sangat
panjang molekul atau rantai. Berdasarkan data registrasi tingginya pilihan produsen
dalam penggunaan jenis kemasan plastik PP dikarenakan banyaknya produk pangan
kering yang beredar, namun juga terdapat minuman yang menggunakan plastik PP.
Ciri-ciri plastik PP biasanya transparan tetapi tidak jernih atau berawan, keras tetapi
fleksibel, kuat, permukaan berlilin, tahan terhadap bahan kimia, panas dan minyak,
melunak pada suhu 140oC. Kemasan jenis PP juga mengandung komponen yang dapat
bermigrasi ke makanan, yaitu antioksidan, baik antioksidan primer dan sekunder
16

maupun gabungan keduanya. Menurut BPOM RI (2019), antioksidan yang diizinkan


penggunaannya sebagai zat kontak pangan adalah senyawa ester asam tiodipropanoat,
didodesil (DLTDP) dan senyawa ester asam tiodipropanoat, dioktadesil (DSTDP)
dengan persyaratan batas migrasi 5 bpj, serta senyawa oktadesil-3-(3,5-di-tert-butil-4-
hidroksifenil) propionat dengan persyaratan batas migrasi 6 bpj.
Polyethylene terephthalate (PET) umumnya disebut sebagai poliester. PET adalah
polimer semiaromatik yang disintesis dari etilen glikol dan asam tereftalat. PET memiliki
suhu transisi gelas 67-81°C dan titik leleh 260 °C. Aplikasi industri karena kelembaban
yang sangat baik dan karakteristik penghalang oksigen yang baik (Mariaenrica 2013).
PET baik sebagai amorf (transparan) dan sebagai bahan termoplastik semikristalin
(buram dan putih). PET semikristalin memiliki kekuatan, keuletan, kekakuan, dan
kekerasan yang baik. PET amorf memiliki keuletan yang lebih baik tetapi lebih
sedikit kekakuan dan kekerasan, menyerap air sangat sedikit (Chowdhunny et al. 2018).
Implementasi jenis plastik ini dapat dilihat dari produk botol air, madu, dan
kemasan makanan. Ini disebabkan dengan kesesuaian terhadap sifat plastik tersebut.
Kemasan jenis PET bersifat jernih dan transparan, kuat, tahan pelarut dan kedap gas
dan air, melunak pada suhu 80oC.
Low-density polyethylene (LDPE) merupakan salah satu film pengemasan yang
paling umum digunakan dalam industri pengemasan. Pengurangan densitas terjadi
melalui penggunaan komonomer yang menempatkan kelompok samping pada rantai
utama yang bertindak seperti cabang dalam mengurangi kristalinitas. LDPE juga
merupakan bahan yang tidak kaku dan fleksibel dengan tampilan kabur. Kepadatan dan
ketebalan yang sama, LDPE memiliki kekuatan kuat, kekuatan tarik, ketahanan tusuk,
dan pemanjangan yang tinggi. LDPE memiliki sifat penghalang uap air yang baik tetapi
merupakan penghalang yang buruk terhadap oksigen, karbon dioksida dan banyak
senyawa bau dan rasa (Heitkemper dan Dasi 2019). LDPE adalah pilihan yang menarik
untuk penyimpanan makanan tidak berbau, steril, kedap air, dan mempertahankan
integritas strukturalnya sekaligus fleksibel, dapat diproduksi untuk produk yang disimpan
disuhu beku yang diperlukan untuk pengawetan makanan. Selain itu, dapat dengan mudah
dicetak untuk keperluan branding dan pelabelan, dapat juga digunakan kembali dan
didaur ulang dengan relatif mudah, bahkan dapat dibuat biodegradable dengan aditif yang
tepat. LDPE juga merupakan bahan yang lembut dan fleksibel dengan tampilan buram.
High-density polyethylene (HDPE) memiliki sifat material yang lebih kuat, lebih
keras, tidak tembus cahaya dan lebih tahan terhadap suhu tinggi. Berdasarkan data
registrasi HDPE umumnya digunakan untuk botol susu berwarna, wadah minyak, botol
kecap, dan masih banyak lagi. HDPE merupakan salah satu bahan plastik yang aman
karena mampu meminimalisir terjadinya reaksi kimia antara kemasan plastik HDPE
dengan makanan atau minuman yang dikemas (Giat et al. 2015). HDPE adalah kelas
polietilen dengan kekakuan tertinggi dan fleksibilitas paling sedikit. Ini sangat cocok
untuk berbagai aplikasi, seperti tempat sampah, dan banyak barang rumah tangga sehari-
hari, seperti botol kecil dan jepitan pakaian. Bahan ringan dan tidak beracun ini mudah
didaur ulang dan semakin berfungsi sebagai alternatif untuk bahan yang kurang ramah
lingkungan (Wani et al. 2020). Kemasan HDPE bersifat keras hingga semifleksibel,
terhadap bahan kimia dan kelembaban, dapat ditembus gas, permukaan berlilin, buram,
mudah diwarnai, diproses dan dibentuk.
Plastik Polystyrene (PS) biasanya berwarna putih atau transparan, tidak kaku, getas,
mudah terpengaruh lemak dan pelarut lain (seperti alkohol). Polystyrene adalah plastik
serbaguna yang digunakan untuk membuat berbagai macam produk konsumen,
17

berdasarkan data registrasi digunakan untuk produk pangan seperti kue kering. Ketika
dikombinasikan dengan berbagai pewarna, aditif atau plastik lainnya, polystyrene
digunakan untuk membuat peralatan, elektronik, suku cadang mobil, mainan, pot dan
peralatan berkebun dan banyak lagi (Nukmal et al. 2018). Polystyrene juga dibuat
menjadi bahan busa, yang disebut Expanded Polystyrene (EPS) atau Extruded
Polystyrene (XPS), yang dihargai karena sifat isolasi dan bantalannya. Polystyrene dibuat
dengan merangkai, atau memolimerisasi, styrene, bahan kimia penyusun yang digunakan
dalam pembuatan banyak produk.
Rendahnya penggunaan plastik PVC sebagai kemasan pangan diduga karena
kesadaran masyarakat yang sudah cukup tinggi terkait bahaya penggunaan PVC sebagai
kemasan pangan. Penggunaan PVC sebagai kemasan pangan diizinkan oleh BPOM,
namun tidak dianjurkan penggunaannya untuk produk pangan yang dipanaskan, karena
sifat monomer dari PVC yaitu vinil klorida yang mudah bermigrasi ke makanan jika
terpapar panas. Berdasarkan BPOM RI (2019), monomer vinil klorida termasuk dalam
kategori bahan kontak pangan yang diizinkan penggunaannya dengan persyaratan batas
migrasi 1 bpj (bagian per juta). Monomer vinil klorida bersifat karsinogenik jika bereaksi
dengan komponen DNA guanin dan sitosin, sehingga dapat membahayakan kesehatan
konsumen jika terakumulasi dalam tubuh (Irawan dan Supeni 2013). Phthalates yang
dimasukkan ke dalam plastik sebagai plasticizer (Jannis 2020). Polivinil klorida memiliki
sifat yang menguntungkan dibandingkan dengan polimer lain seperti tahan api, daya
tahan, harga terjangkau, dan lain-lain. Polivinil klorida adalah polimer yang terbentuk
dari polimerisasi monomernya, vinil klorida. Vinyl klorida terbuat dari etilen dan klorida,
etilen berasal dari minyak mentah dan gas alam, sedangkan klorida berasal dari
elektrolisis klor-alkali. PVC dapat berupa polimer kaku atau fleksibel dengan bantuan
bahan tambahan atau aditif seperti plasticizer. Plasticizer ini dikembangkan untuk
meningkatkan fleksibilitas, workability, atau distensibilitas. Di sektor industri konstruksi,
PVC paling signifikan untuk digunakan sekitar 60%-70%. PVC ini digunakan untuk
membuat pipa, kabel, film, lantai, kertas, pelapis, dan lain-lain (Sastri 2022). PVC
memiliki kekerasan dan mekanik yang tinggi. Sifat mekanik meningkat dengan relatif
massa molekul meningkat tetapi menurun dengan suhu meningkat.
PLA adalah bahan berbasis bio tidak beracun, dapat dikomposkan yang berasal dari
pati dan/atau gula dan memiliki kekuatan mekanik dan plastisitas. Ini sangat cocok untuk
digunakan dalam kemasan makanan dan minuman. PLA terutama diperoleh dari asam
laktat yang dapat dihasilkan dari bahan terbarukan seperti kentang, gandum dan pati
jagung. Polimer berbasis minyak bumi menyebabkan peningkatan pemanfaatan energi
bahan bakar dan emisi gas rumah kaca, namun PLA ramah lingkungan.
Nilon sebagai polimer penghalang tinggi dalam aplikasi pengemasan makanan.
Nilon adalah nama generik yang diberikan untuk berbagai poliamida kristalin yang
dihasilkan dari meto-xylenediamine dan asam adipat. Nilon telah digunakan secara luas
dalam campuran polimer dan aplikasi pengemasan makanan berlapis-lapis. Banyak
contoh kinerja penghalang gas diberikan, bersama dengan sifat lain seperti sifat penahan
aroma, sifat mekanik dan retortabilitas. PC sebagai jenis plastik yang baik digunakan
sebagai kemasan makanan dan minuman, karena memiliki perlindungan yang baik
terhadap reaksi kimia. Kemudian sering digunakan dalam pembuatan kotak makanan,
botol minuman, peralatan dapur, sikat gigi, dan sebagainya (Ammala 2011).
18

4.3 Penggunaan Kemasan Pangan Kombinasi


Berdasarkan Gambar 8 diperoleh data bahwa kemasan yang digunakan tidak hanya
kemasan tunggal tetapi juga menggunakan kemasan kombinasi yang terdapat kemasan
komposit. Saat pengambilan data, didapatkan bahwa pada data registrasi produk tersebut
tidak keseluruhan data kemasan menjelaskan mengenai perbedaan penggunaan kemasan
primer, sekunder dan tersier atau sebagai kemasan komposit. Kemasan kombinasi yang
digunakan ini bisa dilaminasi ataupun sebagai kemasan primer, sekunder dan tersier.
Paling banyak kemasan komposit yang digunakan juga terdapat kemasan aluminium foil.
Kemasan aluminium foil ini sebagai pengemas pangan tidak dapat berdiri sendiri
sehingga dijadikan komposit. Kemasan komposit adalah kemasan yang merupakan
gabungan dari beberapa jenis bahan kemasan, terdiri dari setidaknya dua bahan yang
berbeda yang benar-benar terikat satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan dengan tangan,
misalnya gabungan antara kertas dan plastik, kertas dan logam. Kombinasi kemasan
memiliki beragam tujuan, misalkan jaminan keamanan, terhindar dari kerusakan produk,
dan kemudahan proses distribusi (Hantoro dan Mardiono 2018). Pada kemasan primer
ditujukan untuk memberikan perlindungan produk, estetika, dan pengawetan. Kegunaan
kemasan sekunder adalah melindungi kemasan primer sehingga terhindar dari kerusakan
misalkan penyok, berubah bentuk, atau berdebu. kemasan tersier melindungi bagian
primer dan sekunder. Kegunaan biasanya untuk melakukan pengiriman khususnya benda
yang mudah pecah, rusak, atau sensitif (Dameswari et al. 2017).

Kaca, Kertas, Plastik 0,003%

Logam, Kertas, Kaca 0,003%

Kertas, Kaca 0,64%

Plastik, Logam, Kertas 1,64%

Logam, Kertas 16,46%

Plastik, Kertas 17,96%

Plastik, Logam 25,85%

Komposit 37,46%

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40%

Gambar 7 Persentase Kemasan Pangan Kombinasi


Berbagai bentuk kombinasi antara satu kemasan dengan kemasan lain. Sebagian
besar produsen biasanya menggunakan kemasan gelas (kaca) untuk produk dengan sifat
asam atau basa. Kemasan gelas akan dikombinasikan dengan karton untuk membuat
kenyamanan pada kaca sehingga tidak mengakibatkan pecah. Kemudian, pengemasan
tersiernya berasal dari kotak kayu dimana akan terhindar dari benturan eksternal
(Astawan et al. 2015). Gambaran ini dapat dikategorikan pada kelaziman pengemasan
primer, sekunder, dan tersier. Akan tetapi, semuanya bergantung pada jenis produk yang
19

akan dikemas. Fungsi pada bentuk kemasan ini memberikan waktu tambahan
penyimpanan makanan. Migrasi makanan dapat dicegah dimana gelas dengan mudah
menerima cahaya akan terhindar ketika dilapisi dengan karton. Kemudian kerusakan
karton dapat dicegah adanya kotak kayu (Sabo et al. 2017).
Kemasan logam yang berasal dari aluminium dalam pengemasan makanan atau
minuman biasanya dilindungi oleh kertas karton. Tujuannya agar tidak terjadi penyok
atau perusakan pada lapisan aluminium. Kemasan tersiernya dilindungi dengan kotak
kayu atau kardus besar dan tebal. Bentuk kemasan ini juga sangat lazim ditemukan di
Indonesia. Keuntungan pada kemasan primer, sekunder, dan tersier ini memberikan
kemudahan dalam distribusi dan mencegah terjadinya migrasi makanan. Ketika makanan
yang dilindungi logam, kertas karton, dan kotak kayu membuat kedap cahaya (Kyratsis
et al. 2013). Tentu migrasi makanan akan dicegah apabila suhu penyimpanannya tidak
panas atau sejuk. Sebagian besar laporan di atas tentang kemasan primer, sekunder, dan
tersier maka dapat ditetapkan suatu asumsi, sebagian besar kemasan primer berasal dari
plastik. Kemasan sekunder menggunakan kardus atau kertas.
Pemilihan antara adanya kombinasi kemasan dan tanpa kombinasi kemasan
sebenarnya lebih menguntungkan kombinasi kemasan. Di samping itu, proses kombinasi
kemasan dapat dilengkapi dengan proses komposit, tunggal, atau laminasi. Komposit
pada dunia industri merupakan campuran antara polimer (bahan makromolekul dengan
ukuran besar yang diturunkan dari minyak bumi ataupun bahan alam lainnya seperti karet
dan serat). Dapat dikatakan bahwa komposit adalah gabungan antara bahan matriks atau
pengikat yang diperkuat. Bahan material terdiri dari dua bahan penyusun, yaitu bahan
utama sebagai pengikat dan bahan pendukung sebagai penguat. Bahan penguat dapat
dibentuk serat, partikel, serpihan atau dapat berbentuk yang lain (Shanker et al. 2017).
Komposit adalah material buatan yang dibentuk oleh kombinasi matriks yang
sering disebut sebagai fase kontinu dan pengisi atau serat yang berada dalam fase
terdispersi. Bahan komposit telah menerima kepentingan yang luar biasa karena sifat
keseluruhan komposit lebih unggul daripada yang lainnya dari komponen individu yang
sangat kuat dan kaku, ringan, tidak menimbulkan korosi seperti baja, dan memiliki
kemampuan untuk digunakan dalam aplikasi struktural kinerja tinggi dan perakitan lebih
cepat (Cirillo 2018). Bahan komposit dapat dikelompokan menjadi tiga kategori utama
berdasarkan konstituen matriks-komposit matriks-logam, komposit matriks-keramik, dan
komposit matriks-polimer.
Kemasan tunggal tanpa melibatkan apa pun seperti yang dilakukan
laminasi dan komposit. Sedangkan, laminasi sebagai upaya memberikan
lapisan makanan atau kemasan berbahan plastik tipis. Laminasi memiliki
beberapa bentuk. Kekurangan dari laminasi adalah lapisan tipis yang dapat
tembus cahaya atau tingkat panas pada suhu tertentu. Bahan ini sangat kurang
di suhu panas namun bagus untuk suhu sejuk dan dingin. Sebaliknya komposit
dapat meredam semuanya dan dapat di tingkatan suhu mana pun (Lagaron et
al. 2005). Keuntungan komposit memiliki kemasan dengan daya rekat yang kuat
sehingga lebih aman produk yang dikemasnya, meminimalisir masuknya cahaya
sehingga lebih awet. Penggunaan kemasan monolayer dapat berpotensi terjadinya
kerusakan atau ancaman masuknya benda eksternal ke dalam kemasan makanan
dan minuman.Penggunaan laminating tidak bisa membungkus kemasan makanan
dan minuman berukuran besar atau dengan kata lain terdapat batasan tertentu
pada kemasannya (Cushen et al. 2012). Produk makanan dan minuman dikemas
untuk menjamin keamanan, kualitas, dan keutuhannya sejak diproduksi
hingga dikonsumsi. Bahan kemasan yang dimaksudkan untuk kemasan makanan
harus tahan kondisi yang keras selama transportasi,
20

distribusi, pemasaran, penyimpanan, dan penggunaan akhir. Terutama, kemasan harus


melindungi makanan dari bahan kimia (Videria et al. 2021).

4.4 Penggunaan Kemasan pada Produk Pangan AMDK

Berdasarkan data registrasi produk air mineral dalam kemasan (AMDK)


menggunakan kemasan yang berbeda, seperti pada tabel 1. dibawah ini.

Tabel 1. Kemasan AMDK berdasarkan data registrasi


Produk Pangan Jenis Kemasan
AMDK Plastik PP
Plastik PET
Kaca

Menurut SNI 01-3553-2006, air mineral dalam kemasan merupakan air baku yang
telah diproses, dikemas dan aman diminum mencakup air mineral dan air demineral.
Kemasan yang selama ini digunakan untuk mengemas air minum dalam kemasan dibagi
menjadi 2 jenis yakni kemasan sekali pakai dan kemasan yang dapat dipakai ulang
(Pudjiastuti dan Samiha 2001). Beberapa jenis kemasan yang dapat digunakan untuk
mengemas air dalam kemasan diantaranya kemasan dengan bahan baku poli etilen (PE),
polipropilen (PP) dan polietilen tereftarat (PET) yang hanya boleh digunakan sebagai
kemasan sekali pakai sedangkan kemasan kaca dan plastik poli carbonat (PC) dapat
dipakai ulang (Kemenperin 1997).
Pemilihan kemasan pada air mineral dalam kemasan tentu memiliki pertimbangan
diantaranya kemasan tersebut harus mampu untuk melindungi air mineral kemasan dari
faktor lingkungan dan meminimilasir terjadinya migrasi bahan kemasan. Kemasan PET
memiliki sifat fisik jernih, kaku yang mana biasanya sering digunakan sebagai kemasan
untuk produk pangan cair seperti air mineral. Plastik PP dapat juga digunakan sebagai
bahan kemas air mineral namun memang memiliki sifat fisik yang kurang jernih
dibandingkan PET. Akan tetapi plastik PP dapat menjadi pilihan dikarenakan lebih murah
dibandingkan kemasan plastik PET. Kemasan kaca kini sudah banyak yang melakukan
pengemasan menggunakan kaca, secara fisik kemasan kaca transparan tebal dapat
digunakan berulang kali, membuat produk lebih elegan tetapi juga memiliki kekurangan
seperti mudah pecah, lebih berat, lebih mahal.
Kemasan PET dapat terjadi migrasi kemasan, namun tidak terdeteksi
terbentuknya senyawa formaldehid selama 30 hari penyimpanan, namun hari ke-40
terdeteksi 0.02 mg/l senyawa formaldehid dan hari ke-50 terdeteksi 0.23 mg/l senyawa
formaldehid pada AMDK dalam kemasan PET (Itnawati et al. 2014). Terdeteksinya
senyawa formaldehid selama penyimpanan pada AMDK masih dalam batas aman karena
berada di bawah ambang batas keamanan pangan yang dipersyaratkan oleh WHO yakni
1 mg/l untuk senyawa formaldehid. Terbetuknya senyawa formaldehid yang
membahayakan bagi kesehatan konsumen ini dipercepat karena AMDK dalam kemasan
PET terpapar matahari secara langsung sehingga mempercepat reaksi termal.
Bahan kemas lain yang biasa digunakan yakni kemasan PP. Beberapa keuntungan
yang telah dilaporkan yakni penggunaan kemasan PP pada produk AMDK mempunyai
clarity atau transparansi yang cukup tinggi terutama setelah diisi dengan air mineral, PP
memiliki kandungan logam berat yang sangat kecil (<1000 ppm) serta PP dapat dibentuk
menjadi kemasan dengan ketebalan di atas 0.5 mm seperti PC dan kaca yang dapat dipakai
21

ulang (Pusjiastuti dan Samiha 2001), sehingga direkomendasikan untuk kemasan


penggunaan galon isi ulang.
Kemasan PET memiliki ketahanan terhadap gas lebih baik dibandingkan dengan
bahan kemasan PP dan kaca (Sampurno 2006). AMDK memiliki persyaratan uji terhadap
beberapa mikroorganisme yang harus dipenuhi, oleh karena itu kehigenisan dari produk
AMDK harus dapat terpenuhi. Pemilihan kemasan yang memiliki ketahanan terhadap gas
yang kurang baik akan menyebabkan berberapa mikroorganisme persyaratan dapat
berpindah melalui udara, sehingga produk mengalami penurunan mutu.

4.5 Potensi Migrasi Kemasan Plastik Pangan


Bahan kemas dapat menyebabkan terjadinya migrasi kemasan pangan yaitu proses
perpindahan komponen penyusun kemasan (migran) ke dalam makanan. Komponen
tersebut dapat berasal dari monomer residu bahan baku dan/atau dari bahan tambahan
yang digunakan dalam proses pembuatan kemasan pangan. Berdasarkan Peraturan
BPOM 2019 migrasi kemasan pangan dibedakan menjadi 2 jenis yaitu migrasi spesifik
dan migrasi total. Setiap kemasan memiliki kandungan dan karakteristik berbeda
sehingga memiliki kecepatan tertentu dalam proses migrasi ke makanan. Migrasi
makanan terjadi melalui pengaruh suhu, proses pengolahan, dan waktu penyimpanan.
Suhu tinggi berdampak pada percepatan proses migrasi. Makanan yang disimpan
dalam waktu lama mempengaruhi percepatan proses migrasi. Faktor lainnya yang
mempengaruhi migrasi makanan adalah stabilitas produk, kondisi lingkungan
khususnya bentuk penyimpanan atau pengirimannya, dan sifat produk. Faktor eksternal
dipengaruhi dengan kadar oksigen, bahan logam atau tidak, dan suhu penyimpanan
(Hasibuan 2020).

Tabel 2. Potensi Migrasi Kemasan Plastik Pangan

Batas Batas Migrasi


Risiko
Persyaratan/ Maksimal Spesifik (bpj) Migrasi
Kemasan Keamanan
Senyawa (bpj) (BPOM (BPOM 20 Aktual
20 tahun 2019) tahun 2019) Pangan
Plastik
Plastik Migrasi total 60
Timbal (Pb) 1 <0,0025 Gangguan
Kadmium (Cd) 1 <0,0025 Ginjal, hati
Kromium (Cr) 1 <0,0025 Kanker
Merkuri (Hg) 1 0,001 Paru, asma
Plastik
Lapis
Tunggal
PET Dietilena glikol 30 -
Etilena glikol 30 -
Asetaldehid 6 -
22

Dibutil ftalat
0,3 0,15
(DBP)
Benzil Butil 30 0,16 Penurunan
(BBP)
fungsi
Dietilheksil ftalat reproduksi
1,5 1,31
(DEHP)
Diisononil ftalat
9 1,52
(DINP)
HDPE, DLTDP 5 -
LDPE
DEHA 18 - Gangguan
pernafasan
Antimoni
0,04 -
trioksida
Monomer vinil 1 - EDC,
PVC
klorida menggang
Dietilheksil ftalat 1,5 - gu fungsi
(DEHP) hati dan
Benzil Butil ginjal
30 -
(BBP)
PP DLTDP 5 - -
DSTDP -
PS Residu stirena 1000 - Gangguan
sistem
DEHA 18 -
saraf pusat
Endocrine
Disrupture
Other (PC) Bisfenol A 0,6 -
Chemicals
(EDC)
(Bart 2006; Hasibuan 2020; Itnawita et al. 2014; Laelasari et al. 2021; Lanang et al.
2020; Perdana 2016; Pereire et al. 2018; Rohman 2003)

Berdasarkan tabel 2. diperoleh data bersumber dari literatur dapat diketahui bahwa
beberapa migrasi aktual kemasan plastik tersebut dengan hasil uji masih dibawah dari
batas migrasi. Migrasi kemasan ini tidak lepas dari proses pemanasan. Berdasarkan
hasil penelitian ini pada Gambar 6. diperoleh data bahwa kemasan paling
banyak digunakan sebagai kemasan produk pangan yaitu bahan kemas plastik. Plastik
merupakan hasil dari teknologi polimer. Plastik berpotensi terjadi migrasi senyawa
kemasan ke produk pangan yang dikemasnya. Namun, kemasan plastik ini
berdasarkan data registrasi produk tersebut banyak dipilih oleh produsen sebagai
kemasan pangan. Hal ini karena biaya yang relatif terjangkau dan mudah untuk
diaplikasikan pada berbagai produk pangan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
akan dibahas potensi migrasi kemasan plastik. Terjadinya migrasi disebabkan panasnya
suhu, sediaan makanan yang dikemas plastik. Hal ini sebenarnya mempercepat
terjadinya perpindahan senyawa atau monomer dari kemasan ke makanan. Migrasi
kemasan plastik ke makanan bersifat karsinogenik. Migrasi dapat berkurang
apabila aditif pada bahan kemasan memiliki berat molekul yang besar, hanya terjadi
23

kontak tidak langsung, dan bahan kemasan yang memiliki lajudifusi rendah (Al Sabagh
et al. 2016). Arvanitoyannis dan Kotsanopoulos (2014) menyatakan bahwa monomer
dengan berat molekul rendah dapat lebih mudah bermigrasi ke makanan jika
dibandingkan dengan polimer kompleks (berat molekul >1200), terutama jika terjadi
kontak erat antara kemasan dengan makanan. Senyawa monomernya adalah dioktil ptalat
yang dapat merusak pencernaan manusia bahkan menghambat kinerja masuknya
makanan dalam proses pencernaan. Produk dekomposisi dari aditif atau monomer juga
akan bermigrasi ke dalam makanan pada kondisi yang tepat. Kehadiran residu bahan
kimia ini dapat menyebabkan kontaminasi. Plastik terdapat jenis monomer yang
bermigrasi dari jenis plastik itu sendiri.
Setiap karakteristik plastik yang digunakan memiliki perbedaan jenis monomer
(Indraswati 2017). Kemasan plastik polimer tunggal seperti polyethylene terephthalate
(PET), polypropylene (PP), high density polyethylene (HDPE), low density polyethylene
(LDPE), polystyrene (PS), polyvinylchloride (PVC), dan others. Jenis kemasan plastik
tersebut dapat terjadi potensi migrasi seperti tersaji pada Tabel 2 yang menunjukkan data
potensi migrasi dari masing-masing jenis kemasan dan dampak migrasi kemasan pada
risiko keamanan pangan. Berdasarkan peraturan BPOM nomor 20 tahun 2019 tentang
kemasan, terdapat persyaratan migrasi spesifik dan migrasi total kemasan dari zat
kontak pangan dan bahan kontak pangan.
Bahan kontak pangan yaitu komponen penyusun kemasan itu sendiri dapat terjadi
migrasi sehingga diberi persyaratan batas maksimum. Plastik PVC selain zat kontak
pangan juga komponen penyusunnya vinyl klorida dapat bermigrasi dengan batas 1 bpj.
Bhunia et al. (2013) menyatakan bahwa monomer vinil klorida dapat bebas bergerak
karena sifatnya yang tidak memiliki ikatan kimiawi dengan molekul polimer plastik,
sehingga mudah bermigrasi ke makanan. Plastik polystyrene penyusunnya yaitu
monomer stirena dengan batas maksimal 1% yang memiliki dampak gangguan sistem
saraf pusat bagi konsumen apabila terjadi migrasi pada makanan (Rohman 2003). Plastik
polycarbonate salah satu penyusunnya yaitu Bisfenol A (BPA) yang dapat membuat
plastik tersebut keras dan tidak mudah pecah, biasa diaplikasikan pada galon. Penggunaan
kemasan galon polycarbonate yang berulang dan apabila terdapat proses pemanasan
maka akan berpotensi terjadi migrasi, sehingga batas persyaratan migrasi 0,6 bpj. Potensi
migrasi ini dapat menjadi risiko keamanan pangan hingga berdampak pada Kesehatan
seperti Endocrine Disrupture Chemicals (EDC) (Perdana 2016).
Senyawa bahan kontak pada kemasan plastik yang berbahaya misalnya Bisphenol
A. Ini merupakan zat yang digunakan dalam industri pembuatan produk plastik. Resin
epoksi yang mengandung pada Bisphenol A digunakan untuk melapisi bagian dalam pipa
air dan bagian dalam kaleng makanan dan minuman untuk meningkatkan masa simpan
dan menghindari rasa logam pada makanan atau minuman. BPA telah diklasifikasikan
sebagai pengganggu endokrin, yang berarti memiliki efek toksik pada kemampuan kita
untuk bereproduksi (Costa dan Coltro 2014). Kemudian, Phthalates adalah bahan kimia
yang sering digunakan sebagai pelembut untuk plastik PVC mengandung bahan
berbahaya bagi kesehatan. Spesifiknya, bahan berbahaya bagi kesuburan dan
perkembangan janin (Alamri dan Mohammed 2021).
Zat kontak pangan ada sebagai pemlastis, antioksidan, antistatis, penstabil, katalis,
degradat, perekat, pewarna, dan asetaldehid scavenger. Salah satu polimer yang
menggunakan asetaldehid dengan batas 6 bpj yaitu plastik PET yang biasa digunakan
sebagai pengemas air mineral. Plastik HDPE salah satu zat kontak pangan yaitu katalis
antimoni trioksid batas migrasi spesifik 0,04 bpj, migrasi pada pangan yang dikemasnya
24

dapat menyebabkan risiko kesehatan gangguan pernafasan (Bart 2006; Lanang et al.
2020). Pemlastis ini paling banyak digunakan pada plastik PVC dan PE. Salah satu zat
kontak pangan adalah pemlastis memiliki senyawa ftalat yang diizinkan digunakan
tetapi dapat berisiko sehingga terdapat batas migrasi spesifik. Senyawa ftalat memiliki
gugus fungsi ester yang terikat dengan cincin benzene. Senyawa ftalat digunakan
sebagai pemlastis pada bahan kemas plastik yang bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan dan elastisitas bahan kemasan plastik sehingga menjadi lebih baik
Namun, senyawa tersebut memberikan efek negatif apabila terjadi migrasi yang
mengakibatkan pada risiko keamanan pangan berakibat pada kesehatan konsumen.
Bahan pemlastis ftalat tersebut dapat memberikan risiko kesehatan seperti penurunan
reproduksi dan gangguan saraf (Laelasari et al. 2021).
Potensi migrasi tersebut perlu menjadi perhatian dalam pemilihan kemasan
khususnya plastik yang saat ini menjadi pilihan utama bagi produsen. Adanya peraturan
BPOM nomor 20 tahun 2019 sebagai acuan dalam menjalankan kesesuaian kemasan
terhadap produk juga memperhatikan persyaratan agar menjaga produk baik saat produksi,
distribusi, retail hingga sampai di konsumen masih aman dan layak dikonsumsi untuk
meminimalisir risiko keamanan pangan.
25

V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Persentase penggunaan kemasan yang beredar di Indonesia berdasarkan data
produk yang terdaftar di Badan POM dapat diketahui bahwa kemasan plastik lebih
banyak digunakan yaitu 64,03% yang diikuti oleh kemasan kertas 15,22%, kemasan
logam 10,88%, dan kemasan kaca 9,88%. Selain itu jenis kemasan plastik yang
banyak digunakan yaitu kemasan plastik polipropilen. Kemasan yang digunakan
juga tidak hanya kemasan tunggal tetapi juga dikombinasikan baik itu komposit atau
sebagai kemasan primer, sekunder, dan tersier. Senyawa zat kontak dan bahan
kontak pangan yang terdapat pada berbagai kemasan plastik hasil migrasi aktual
bersumber dari berbagai literatur masih dibawah batas migrari persyaratan yang
diizinkan, walaupun demikian perlu dilakukan pengawasan berlanjut agar aman.

5.2 Saran
Perlu dilakukan pengambilan data yang dapat mencakup kondisi kemasan
yang beredar di Indonesia, termasuk kemasan yang digunakan pada produk yang
belum terdaftar di BPOM dan perlu dilakukan penelitian dengan uji
berbagai bahan kemasan pangan.
26

DAFTAR PUSTAKA
Aboura Z, Talbi N, Allaoui S, Benzeggagh M.L 2004. Elastic behavior of
corrugated cardboard : Experiments and Modeling. Composite Structure.
63(1):53-62. doi: 10.1016/S0263-8223(03)00131-4
Al-Sabagh AM, Yehia FZ, Eshaq Gh, Rabie AM, El-Metwally AE. 2015. Greener
routes for recycling of polyethilene terephtalate. Egypt J Petrol. 1-12.
doi:10.1016/j.ejpe.2015. 03.001.
Alamri Q, Mohammed A. 2021. Food Packaging Materials: A Food Safety Perspective.
Saudi Journal of Biological Sciences, 4490-4499.
Ammala A. 2011. Nylon-MXD6 Resins for Food Packaging. Multifunct Nanoreinforced
Polym Food Package. 243-260. doi: 10.1533/9780857092786.1.243
Arvanitoyannis IS, Kotsanopoulos KV. 2014. Migration phenomenon in food packaging.
food-package interactions, mechanisms, types of migrants, testing and relative
legislation-A Review. Food Bioprocess Technol. 7(1):21–36. doi:10.1007/s11947-
013-1106-8.
Astawan M, Nurwitri C.C, Suliantari, Rochim DA. 2015. Kombinasi Kemasan
Vakum dan Penyimpanan Dingin untuk Memperpanjang Umur Simpan
Tempe Bacem. J Pangan. 24(2):83-166. doi: 10.33964/jp.v24i2.27
ASTM. 2022. D-7611 tentang Standard practice for Coding plastic manufactured
articles for resin identification. ASTM International.
Aversa C, Barletta M, Gisario A, Pizzi E, Prati R, Vesco S. 2021. Design,
Manufacturing and Preliminary Assessment of the Suitability of Bioplastics
Bootle for Wine Packaging. Journal of Polymer Testing. doi:
10.1016/j.polymertesting.2021.107227
[BPOM RI]. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 27 Tahun 2017
tentang Pendaftaran Pangan Olahan. 2017. Jakarta (ID): BPOM RI
[BPOM RI] Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 20 Tahun 2019
tentang Kemasan Pangan. 2019. Jakarta (ID): BPOM RI
[BSN [Badan Standardisasi Nasional]. 2006. Persyaratan Uji Air Mineral dalam
Kemasan. Jakarta (ID): BSN
Ballzaroti, Mavigllia, Ciceri. 2015. Glass Vs Plastic: Affective Judgments of Food
Packages After Visual and Haptic Exploration. Journal of Procedia Manuf. 2251-
2258.
Bart JCJ. 2006. Plastics Additives: Advanced Industrial Analysis. Amsterdam: IOS
Press.
Bashir NHH. 2013. Plastic Problem in Africa. Journal of Veterinary Research. 61.
Bhunia K, Sablani SS, Tang J, Rasco B. 2013. Migration of chemical compounds from
packaging polymers during microwaver, conventional heat treatment, and storage.
Compr. Rev. Food Sci. Food Saf. 12(1):523-545. doi: 10.1111/1541-4338.12028.
Bluman, AG. 2012. Elementary statistics: A step by step approach.8th ed. New
York: McGraw Hill.
Brem SB, Biedermann M, Grob K. 2016. Required barrier efficiency of internal bags
against the migration from recylced paperboard packaging into food: a bench
mark. Journal of Food Addit Contamination. 33(4). doi:
10.1080/19440049.2016.1160744
27

Chen F, Huang Y. 2013. Establishment of HACCP Management System in Production


Enterprises of TCM Injection. Journal of China Pharmacy.
Chowdhunny TU, Mahi MA, Haque KA, Rahman M. 2018. A Review on The
Use of Polyethylene Thereplate as Aggregrats in Concrete. Malaysia Journal of
Science. 37(2): 118-136. doi: 10.22452/mjs.vol37no2.4
Cirillo G, Kozlowski M, Spizzirri UG, Raja V, Thiyaku T, Natesan R. 2018. 4 Zinc
Composite Materials and Food Packaging. Composite Materials for Food
Packagung.153-173. doi: 10.1002/9781119160243.ch4
Coltro L, Pitta JB, da Costa PA, Fávaro Perez MÂ, de Araújo VA, Rodrigues R. 2014.
Migration of conventional and new plasticizers from PVC films into food
simulants: A comparative study. Food Control. 44:118–129.
doi:10.1016/j.foodcont.2014.03.058.
Cushen M, Kerry J, Morris M Romero MC, Cummins E. 2012. Nanotechnologies in
the food industry- recent developments, risks and regulation. Journal of Trends
Food Science Technology. 24(1):30-46. doi: 10.1016/j.tifs.2011.10.006
Dameswari AH, Darmawati E, Nugroho LPE. 2017. Combination of food packaging
technology and additives materials to preserve the quality of gomutipalm. Jurnal
Keteknikan Pertanian. 5(3):201-208.
Deswal G, Raju N, Alam T. 2013. An Overview of Paper and Paper Based Food
Packaging Materials: Health Safety and Environmental Concern. Journal of Food
Sciences and Technology. 4391-4403.
Didone M, Saxena P, Meijer EB, Tosello G, Bissaco G, McAloone TC, Pigosso DCA,
Howard TJ. 2017. Moulded Pulp Manufacturing: Overiew and Prospect for the
Process Technology. Jurnal Technol Sci. 30(6(: 231-249. doi: 10.1002/pts.2289
Fweja LWT. 2020. Plastic Packaging Materials as Possible Source of Hazardous
Chemicals to Food and human health: A Review. Huria Journal. 27(1):46-75.
Geueke B, Groh K, Muncke J. 2018. Food packaging in the circular economy: Overview
of chemical safety aspects for commonly used materials. Journal of Cleaner
Production. 193:491–505. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2018.05.005
Geyer R, Jambeck JR, Law KL. 2017. Production, Use, Fate of All Plastic ever Made.
Sci Advance. 3(7):1-10.
Giat S, Sudirman, Anwar DI, Lukitowati F, Abbas, B. 2015. Sifat Fisis dan Mekanis
Komposit High Density Polyethylene (HDPE) dengan Teknik Iradiasi Gamma.
Jurnal Kimia Kemasan. 37(1):53. doi:10.24817/jkk.v37i1.1812
Guadagnino E, Guglielmi M, Nicoletti F. 2022. Glass: The Best Material
for Pharmaceurical Packaging. International Journal of Applied Glass
Science. 13 (3):281-291. doi: 10.1111/ijag.16559
Guerreiro TM, Catharino R. 2018. Migration from Plastic Packaging into Meat. Journal
of Food Research International. 320-324.
Hantoro MR, Mardiono B. 2018. Eksplorasi Desain Kemasan Berbahan Bambu
sebagai Produk Oleh-oleh Premium dengan Studi Kasus Produk Makanan UKM
Purnama Jati Jember. Jurnal Sains dan Seni ITS. 7(1):2337-3520
Hasibuan HA. 2020. Review Jenis, Aspek Perlindungan, dan Migrasi Bahan Kemasan
dalam Pengemasan Minyak Nabati. Jurnal Pangan, 29(3):243-252.
28

Heitkemper M, Dasi LP. 2019. Polymeric heart valves. Elsevier Inc.


Indraswati D. 2017. Pengemasan Makanan. Ponorogo: Forum Ilmiah Kesehatan.
Irawan S, Supeni G. 2013. Karakterisasi migrasi kemasan dan peralatan rumah tangga
berbasis polimer. Jurnal Kimia dan Kemasan. 35(2):105-112. doi:
10.24817/jkk.v35i2.18 81.
Itnawita, Hanifah A, Khoirul. 2014. Analisis Kandungan Formaldehid dalam Minuman
dengan Kemasan Plastik Polyethylen Tereftalat yang Beredar di Kodya Pekanbaru.
Jurnal Photon. 4(2). doi: 10.37859/jp.v4i2.
Jannis K. 2020. PVC Plastic Uses, Properties, Benefits. Journal of Polym Science.
4(5)
Jogi, Bhat. 2020. Valorization of Food Processing Wastes and By Products for
Bioplastic Production. Journal of Sustainabilty Chemistry.
[Kemenperin] Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 48 Tahun 2020 tentang Standar
Industri Hijau untuk Industri Kemasan dari kaca. 2020. Jakarta (ID): Kemenperin
[Kemenperindag]. 1997. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
167/MPP/Kep/5/1997. Persyaratan Teknis Industri dan Perdagangan Air Minum
Dalam Kemasan. [diakses 25 Agustus 2022].
Khasanah LU, Atmaka W, Kurniasari D. 2017. Karakterisasi Kemasan Kertas Aktif
dengan Penambahan Oleoresin Ampas Destilasi Sereh Dapur. Jurnal Agritech.
Kobayashi ML, Benassi M. de T. 2015. Impact of Packaging Characteristics on
Consumer Purchase Intention: Instant Coffee in Refill Packs and Glass Jars.
Journal of Sensory Studies. 30(3):169–180. https://doi.org/10.1111/joss.12142
Kyratsis P, Efkolidis N, Manavis A, Peristeri S. 2013. Design for Skin and Shape in the
Packaging Industry. Journal of Manufacturing Engineering. 11(4):56-61
Laelasari E, Anwar A, Puspita T. 2021. Perbandingan risiko kesehatan pemggunaan
aditif ftalat dan non ftalat pada bahan plastik kemasan makanan. J ekol kesehat.
20(1):21-35. DOI: 10.22435/jek.v20i1.3683
Lagaron JM, Cabedo L, Cava D, Feijoo JL, Gavara R, Gimenez E. 2005. Improving
Packaged Food Quality and Safety. Food Addit Contaminants. 22(10):994-8. doi:
10.1080/02652030500239656
Lanang, Yonald AN, Rhohman F, Utami E. 2020. Perbandingan Pemakaian Hasil
Pirolisis Plastik HDPE dengan Premium Terhadap Kerja Mesin Menggunakan
ANSYS. Di dalam: Seminar Nasional Inovasi Teknologi. Kediri: UN PGRI Kediri.
hlm 299–304.
Li X. 2016. Metal Food Packaging Design Based on Hazard Analysis Critical Control
Point System in Canned Food Safety. Journal of Urban Construction University.
Macena MW, Carvalho R. 2021. Plastic Food Packaging: Perceptions and Attitides of
Portugese Consumer about Environmental Impact and Recycling. Journal of
Sustainability.
Majid I, Gulzar AN, Shuaib MD, Vikas N. 2016. Vovel food packaging technologies:
Innovations and future prospective. Journal of the Saudi Society of Agricultural
Sciences, 17:456-462
Mariaenrica F. 2013. Recycling of PET Bottles as Fine Aggregrate in Concrete. Journal
of Waste Management. 30(6): 1101-1106. doi: 10.1016/j.wasman.2010.01.030
Marin G, nygards M, ostlund S. 2020. Elastic-plastic model for the mechanical
properties of paperboard as a function of moisture. Nordic Pulp and Paper
Research Journal. 35(3): 353–361. doi: doi:10.1515/npprj-2019-0104
29

Marsh K, Bugusu B. 2007. Food packaging - Roles, materials, and environmental issues:
Scientific status summary. Journal of Food Science. 72(3).
https://doi.org/10.1111/j.1750-3841.2007.00301.x
Mohanty F, Swain SK. 2017. Bionanocomposites for Food Packaging Applications.
Nanotechnology Applications in Food. 363-379.doi:10.1016/B978-0-12-
811942-6.00018-2.
Montanari, Zurlini. 2018. Influence of Side Stripe on the Corrosion of Unlacquered
Tinplate Cans for Food Preserves. Journal Packag Technology Science, 15-25.
Nugraheni M. 2018. Kemasan Pangan. Yogyakarta: Plantaxia
Nukmal N, Umar S, Puspita S, kanedi M. 2018. Effect of Styrofoam Waste Feeds on the
Growth, Development and fecundity of mealworms. J Bio Sci. 18(1):24-28. doi:
10.3844/ojbsci.2018.24.28
Omar TFA, Sukhn C, Fares SA, Abiad MG, Habib RR, Dhaini HR. 2017. Bisphenol A
exposure assessment from olive oil consumption. Environmental Monitoring and
Assessment. 189(7). doi: 10.1007/s10661-017-6048-6
[PP] Peraturan Pemerintah RI Nomor 86 Tahun 2019 Tentang Keamanan Pangan. 2019.
Jakarta (ID): PP
Paramita AL. 2015. Analisis Pemilihan Kertas sebagai Bahan Baku untuk Kotak
Kemasan pada CV. Surya Cemerlang Menggunakan Analytic Hierarcy Process.
Jurnal Ilmiah Ekonomi Bisnis.
Perdana WY, Jacobus DJ. 2016. Bisphenol (BPA) adalah endocrine disrupture
chemicals (EDC) yang berperan sebagai agen diabetogenik. Opini CDK-244. 43(9):
706-711.
Perdana WW. 2019. Analisis Logam Berat Di Kemasan Kaleng. Agroscience (Agsci).
9(2):215. doi:10.35194/agsci.v9i2.785.
Pereira J, Selourne MC, Pocas F. 2018. Determination of phthalates in olive oil from
European market. Food contol. doi: 10.1016/j/foodcont.2018.11.003
Pesoth MC. (2015). Pengaruh Kualitas Produk, Packaging, dan brand image
terhadap kepuasan pelanggan pada perusahaan rokom dunhill di kota Manado.
Journal EMBA. 3(3):1101-1112
Piergiovanni L, Limbo S. 2015. Plastic Packaging Materials. Food Packaging
Materials. Springer. 33-49. doi:10.1007/978-3-319-24732-8_5.
Pudjiastusi W, Samiha S. 2001. Poli Propilen (PP) sebagai Alternatif untuk Kemasan
AMDK Isi Ulang. Buletin Penelitian. 23(2):5-9.
Puscaselu R., Gutt G, Amariei S. 2019. Rethinking the future of food packaging:
Biobased edible films for powdered food and drinks. Molecules. 24(17).
https://doi.org/10.3390/molecules24173136
Qiu Y, Li G, Zhang Q, Tan C, Xiang D. 2021. Study on migration of two acrylate
monomers in plastic food contact materials. IOP Conference Series : Earth and
Enviromental Science. https://doi.org/10.1088/1755-1315/657/1/012036.
Quazi S. 2013. Mechanical Properties of Polypropylene Composites. Journal of
Thermoplastic Composite Materials.
Raheem D. 2012. Application of Plastics and Paper as Food Packaging Materials. J
Food Agriculture. 25(3):177-188.
Rasul SF, Noori RJ, Ali KM, Khdhir RB, Ahmed SR, Qadir AM. 2022. Roles of
different packaging materials on the quality and shelf life of yogurt. Food Science
and Technology (Brazil). 42:1–6. https://doi.org/10.1590/fst.70821
30

Rhim J. 2010. Effect of moisture content on tensile properties of paper-based food


packaging materials. Food Sci Biotechnol. 19(1):243–247.
https://doi.org/10.1007/s10068-010-0034-x.
Rohman S. 2003. Evaluasi kandungan monomer stirena dalam plastik pengemas
makanan. Prosiding Simposium Nasional Polimer IV. Tangerang:BPPT. hlm.118-
121
Rosalina Y, Alnopri, Prasetyo. 2019. Disain kemasan untuk meningkatkan nilai tambah
madu bunga kopi sebagai produk unggulan daerah. Jurnal Agroindustri. 2(1):8-13
Rosmawati, Syam H, Sukainah A. 2021. Pengaruh jenis kemasan dan lama
penyimpanan terhadap kualitas minuman khas Sinjai (ires). Jurnal Pendidikan
Teknologi Pertanian. 7(1):79-92
Sabo B, Becica T, Keles N, Kovacevic D, Brozovic M. 2017. The impact of packaging
transparency on product attractiveness. J Graph Eng Des. 8(2):5-9. doi:
10.24867/JGED-2017-2-005
Sampurno RB. 2006. Aplikasi Polimer dalam Industri Kemasan. Jurnal Sains Materi
Indonesia. (2006):15-22.
Sastri VR. 2010. Commodity Thermoplastics: Polyvinyl Chloride, Polyolefins,
Cycloolefins and Polystyrene. Journal of Plastics Devices. 73-119. doi:
10.1016/B978-0-8155-2027-6.10006-6
Shanker S, Jong WR, Won K. 2017. Preparation of poly nanoparticles composite
films with UV lights barrier and antibacterial propoerties. International
Journal of Bilogical Macomolecules. doi: 10.1016/j.ijbiomac.2017.10.038
Siracusa V. 2012. Food Packaging Permeability Behaviour : A Report. 2012(i).
https://doi.org/10.1155/2012/302029.
Sistem Informasi Pengolahan Sampah. 2021. Komposisi Sampah Berdasarkan Jenis.
https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/public/data/komposisi
Sonmez S, Ozden O. 2018. Barrier Properties of Paper and Cardboard. Journal of
Engineering, Planning, and Design.
Stepien JL. 2011. Paper packaging materials and food safety. IJGER. 48-51.
Stewart B. 2004. Packaging design strategies. Edisi ke-2. The UK: Pira International
Ltd.
Sucipta IN, Suriasih K, Kenacana PKD. 2017. Pengemasan pangan kajian pengemasan
yang aman, nyaman, efektif dan efisien. Udayana University Press. 1–178.
Suciu NA, Tiberto F, Vasileiadis S, Lamastra L, Trevisan M. 2013. Recycled paper –
paperboard for food contact materials : Contaminants suspected and migration
into foods and food simulant. Food Chemistry. 141(4):4146–4151.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2013.07.014.
Sugiyono. 2008. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Suhartono, Iskandar R. 2017. Pengaruh Penggunaan Berbagai Jenis Kemasan
Kertas terhadap Daya Simpan Kubis. Jurnal Siliwangi Sains Teknologi.
Suppakul P, Miltz J, Sonneveld K, Bigger SW. 2003. Active Packaging Technologies
with an Emphasis on Antimicrobial Packaging and its Application. Journal of Food
Science. 68(2):409-420.
Surono UB. 2013. Berbagai metode konversi sampah plastik menjadi bahan bakar
minyak. Jurnal Teknik. 3(1).
31

Vapenka, Lenka, Adam. 2016. Contaminants in the Paper-based Food Packaging


Materials Used in the Czech Republic. Journal Food and Nutrition Research,.
55(4):361-373.
Videira D, Martin O, Montalvo G. 2021. Recent Advances in Polymer-metallic
Composites for Food Packaging Applications. Journal of Trend in Food Science
and Technology. 109:230-244. doi: 10.1016/j.tifs.2021.01.020
Verma MK, Shakya S, Kumar P, Madhavi J, Murugaiyan J, Rao MVR. 2021. Trends in
packaging material for food products: historical background, current scenario, and
future prospects. Journal of Food Science and Technology, 58(11):4069–4082.
https://doi.org/10.1007/s13197-021-04964-2
Wani T, Pasha SAQ, Poddar S, Balaji HV. 2020. A Review on the Use of High Density
Polyethylene (HDPE) in Concrete Mixture. International Journal of Engineering
Research and Technology. doi: 10.17577/IJERTV9IS050569
Wei, Loke, Michelle. 2014. Determination of Six Phthalates in Polypropylene
Consumer Products by Sonication Assisted Extraction. Journal Analytical Sciences.
167-174.
Widiati A. 2020. Peranan kemasan (packaging) dalam meningkatkan pemasaran produk
usaha mikro kecil menengah (UMKM) di “Mas Pack” terminal kemasan Pontianak.
JAAKFE UNTAN. 8(2):67–76. doi:10.26418/jaakfe.v8i2.40670.
Wohner B, Gabriel VH, Krenn B, Krauter V, Tacker M. 2020. Environmental and
economic assessment of food-packaging systems with a focus on food waste. Case
study on tomato ketchup. Science of the Total Environment. 738.
https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2020.139846.
Yaris A, Sezgin A. 2020. Food Packaging: Glass and Plastic. Journal of Sciences and
Arts. 735-740
Yun B, Bisquert P, Buche P, Croitoru M, Guillard V, Thomopouluos R. 2018.
Choice of Environment-Friendly Food Packaging Through Argumentation
Systems and Preferences. Journal of Ecological Informatics. 48:24-36. doi:
10.1016/j.ecoinf.2018.07.006
Yuyun A dan Gunarsa D. 2011. Cerdas Mengemas Produk Makanan & Minuman,
Jakarta:Agro Media Pustaka.
32

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada 21 Juli 1994 sebagai anak pertama dari
pasangan bapak Amrullah dan ibu Susilawati. Pendidikan sarjana ditempuh di
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas
Jenderal Soedirman, dan lulus pada tahun 2016. Pada tahun 2017, penulis diterima
sebagai mahasiswa program magister (S-2) di Program Studi Ilmu Pangan pada
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti program S-2,
penulis aktif menjadi pengurus FORMASIP (Forum Mahasiswa Ilmu Pangan) IPB.

Anda mungkin juga menyukai