Tesis
Tesis
CHOIRUNNISA AMBARWATI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Analisis Keragaan
Penggunaan Bahan Kemasan Pangan di Indonesia dan Identifikasi Potensi Migrasi
Kemasan Plastik” adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Choirunnisa Ambarwati
NIM F251170221
RINGKASAN
Kemasan pangan merupakan salah satu aspek penting pada sebuah produk untuk
menjaga kualitas dan keamanan pangan. Kemasan berperan sebagai wadah untuk
mempermudah dalam proses pendistribusian, melindungi dari bahaya cemaran
fisik, kimia, dan biologi, serta memberikan informasi produk. Kemasan dapat
dibedakan berdasarkan kontak terhadap produk yaitu kemasan primer, kemasan
sekunder, dan kemasan tersier. Jenis kemasan yang sering digunakan yaitu plastik,
logam, kaca, dan kertas. Ketentuan mengenai zat kontak pangan yang dilarang telah
diatur oleh Badan POM melalui Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang
Kemasan Pangan. Oleh karena itu, Produsen perlu memerhatikan terkait penjaminan
keamanan kemasan pangan yang akan digunakan. Produk pangan yang terdaftar
dapat dilihat melalui webiste cekbpom.pom.go.id. Informasi pada website tersebut
salah satunya adalah kemasan, sehingga dapat dilakukan pemanfaatan sebagai
keragaan kemasan yang beredar di Indonesia dengan mengelompokan dan
memvisualisasikan persentase penggunaan kemasan. Kemudian mengidentifikasi
potensi migrasi bahan kemas plastik.
Penelitian ini bertujuan untuk dapat menguraikan bahan kemas yang beredar di
Indonesia dengan 1) melakukan pendataan jenis-jenis bahan kemasan pangan
berdasarkan data registrasi produk pangan olahan kemas pada website
cekbpom.pom.go.id dan memvisualisasikan keragaan jenis-jenis bahan kemas di
Indonesia. 2) Mengidentifikasi potensi migrasi dari bahan kemasan plastik
yang digunakan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan teknik pencacahan
untuk mengetahui besaran penggunaan berbagai jenis bahan kemasan
berdasarkan data registrasi produk pangan pada web cekbpom.pom.go.id. Pada
penelitian ini, jumlah sampel yang digunakan (n) sama dengan jumlah populasi (N)
terhadap data registrasi menjadi pengelompokan data bahan kemasan (plastik,
kertas, logam, kaca, jenis kemasan plastik, dan kombinasi kemasan). Kemudian
dilakukan kajian pustaka potensi migrasi bahan kemas plastik yang beredar di
Indonesia tersebut.
Hasil persentase penggunaan kemasan yang beredar di Indonesia berdasarkan data
produk pangan yang terdaftar di Badan POM dapat diketahui bahwa kemasan
plastik lebih banyak digunakan yaitu 64,03% yang diikuti oleh kemasan kertas
15,22%, kemasan logam 10,88%, dan kemasan kaca 9,88%. Selain itu jenis kemasan
plastik yang banyak digunakan yaitu kemasan plastik polipropilen. Kemasan yang
digunakan juga tidak hanya kemasan tunggal tetapi juga dikombinasikan baik itu
komposit atau sebagai kemasan primer, sekunder, dan tersier. Senyawa zat kontak dan
bahan kontak pangan yang terdapat pada berbagai kemasan plastik hasil migrasi aktual
yang bersumber dari literatur masih dibawah batas migrasi persyaratan yang diizinkan.
Food packaging is one of the important aspects for products to maintain food quality
and safety. The role of packaging is to facilitate the distribution process and protect from
physical, chemical, and biological hazards, by providing product information and brand
image. Packaging can be distinguished based on the contact with the product, which is
primary packaging, secondary packaging, and tertiary packaging. Types of packaging are
plastic, metal, glass, and paper. Provisions regarding prohibited food contact substances
have been regulated by BPOM, through BPOM regulation concerning food packaging
number 20 of 2019. Therefore, producers need to be concerned with guaranteeing
the safety of the food packaging used. Registered food products can be viewed
through the website cekbpom.pom.go.id. One of the information on the website is
packaging, so that it can be used as a performance of packaging circulating in
Indonesia by grouping and visualizing the percentage of packaging usage. Then identify
the potential migration of plastic packaging.
This study aims to describe the packaging materials circulating in Indonesia by 1)
collect data types of food packaging based on registration data website
cekbpom.pom.go.id and visualize the performance types packaging in Indonesia. 2)
Identifying potential migration of plastic packaging materials used in Indonesia. This
study uses enumeration technique to determine the amount of types packaging based on
website cekbpom.pom.go.id. In this study, the number of samples unsed (n) is the same
as the total population (N) into grouping packaging registration data (plastic, paper, metal,
glass, types of plastic packaging, and combination packaging. After that, a literature
review potential migration plastic packaging in Indonesia.
The results of packaging use percentage circulating in Indonesia based on product
data registered in BPOM show that plastic packaging is the most widely used at
64,03%, followed by paper packaging at 15,22%, metal at 10.88%, and glass at
9,88%. Polypropylene plastic packaging is the most common type of plastic
packaging. The packaging used is not only single packaging but also combination
packaging, both in the form of composites and as primary, secondary, and tertiary
packaging. Compounds of contact substances and food contact materials contained in
various plastic packaging resulting from actual migration based literature are still
below the permittd migration limits.
CHOIRUNNISA AMBARWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister pada
Program Studi Ilmu Pangan
Disetujui oleh
Pembimbing 1:
Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA
Pembimbing 2:
Dr. Fahim Muchammad Taqi, STP, DEA
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanaahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2022 sampai bulan Juli 2022 ini ialah
keragaan penggunaan bahan kemasan pangan dan potensi migrasi kemasan plastik,
dengan judul “Analisis Keragaan Penggunaan Bahan Kemasan Pangan di Indonesia dan
Identifikasi Potensi Migrasi Kemasan Plastik”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada para pembimbing, Dr. Nugraha Edhi
Suyatma, S.T.P, D.E.A dan Dr. Fahim Muchammad Taqi, S.T.P, D.E.A yang telah
membimbing pengarahan, saran, masukan, solusi, dan motivasi kepada penulis selama
melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah. Ucapan terima kasih disampaikan
kepada moderator seminar Dr. Ir. Nora Herdiana Pandjaitan D.E.A dan penguji luar
komisi pembimbing Dr. Nancy Dewi Yuliana, S.T.P., M.Sc. Di samping itu, ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum
selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Pangan beserta seluruh staf administrasi
Sekolah Pascasarjana IPB dan Program Studi Ilmu Pangan yang telah banyak membantu
penulis selama masa studi.
Terima kasih tak terhingga kepada orang tua penulis Ayahanda Amrullah dan Ibu
Susilawati, serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan
dukungan yang tiada henti. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
Ilmu Pangan 2017, teman-teman FORMASIP, dan semua pihak yang telah membantu
dan mendukung penulis yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan bagi
kemajuan ilmu pengetahuan.
Choirunnisa Ambarwati
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
I PENDAHULUAN
yaitu mempengaruhi aroma, bau serta rasa dari produk serta memberikan dampak
terhadap kesehatan manusia.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang
Keamanan Pangan mengharuskan setiap orang yang melakukan Produksi Pangan dalam
kemasan untuk diedarkan, dilarang menggunakan bahan kemasan pangan yang
mengandung zat kontak pangan yang dilarang yang dapat melepaskan cemaran
membahayakan Kesehatan manusia. Ketentuan mengenai zat kontak pangan yang
diizinkan dan dilarang telah diatur oleh Badan POM melalui Peraturan Badan POM
Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Oleh karena itu, Produsen perlu
memerhatikan terkait penjaminan keamanan kemasan pangan yang akan digunakan.
Produk pangan yang terdaftar di BPOM dapat diketahui melalui website
cekbpom.pom.go.id. Website tersebut berisi mengenai informasi suatu produk pangan
yaitu nomor izin edar, nama produk, merk, kemasan, pendaftar dan produsen. Produk
pangan yang beredar di Indonesia sangat banyak dengan menggunakan berbagai bahan
kemas. Maka, dengan adanya data registrasi pada website cekbpom.pom.go.id ini dapat
juga sebagai pemanfaatan untuk persentase keragaan bahan kemas yang digunakan di
Indonesia. Penggunaan bahan kemas produk yang tersebar di Indonesia dapat dilihat
melalui website cekbpom.pom.go.id dengan mengelompokan dan memvisualisasikan
jumlah kemasan serta mengidentifikasi potensi migrasi bahan kemas plastik yang banyak
digunakan di Indonesia.
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk dapat menguraikan bahan kemas yang beredar di
Indonesia dengan:
1. Melakukan Keragaan jenis bahan kemasan pangan berdasarkan data registrasi produk
pangan olahan kemas pada website cekbpom.pom.go.id dan memvisualisasikan jenis-
jenis bahan kemas di Indonesia
2. Mengidentifikasi potensi migrasi dari bahan kemasan plastik yang digunakan di
Indonesia
3
1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Menjadi informasi dan sebagai referensi bagi pemangku kebijakan dan regulator
tentang keamanan kemasan dan penanganan limbah kemasan
2. Meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap aspek keamanan
kemasan pangan.
2011). Kemasan kaca memiliki banyak keuntungan namun memiliki dampak pada
lingkungan lebih besar daripada botol plastik seperti polipropilen (Wohner et al. 2020).
Harga produk yang dikemas menggunakan kemasan kaca pun lebih besar seiring dengan
visualisasi produk yang lebih baik (Kobayashi dan Benassi 2015).
atau pengirimannya, dan sifat produk. Faktor eksternal dipengaruhi dengan kadar oksigen,
jenis bahan dan suhu penyimpanan (Hasibuan 2020). Setiap kemasan memiliki
kandungan dan karakteristik berbeda sehingga memiliki kecepatan tertentu dalam proses
migrasi kemasan ke makanan.
Bahaya kimia dari migrasi makanan secara potensial harus dipertimbangkan seperti
aditif yang sengaja ditambahkan selama pembuatan untuk meningkatkan karakteristik
kemasan (Itnawita 2014). Selain itu, zat yang ditambahkan secara tidak sengaja karena
penggabungan bahan daur ulang. Saat berfungsi sebagai kemasan utama, kertas, dan
plastik paling sering digunakan untuk kontak dengan makanan padat kering. Situasi ini
zat yang ada pada kemasan dapat bermigrasi ke dalam makanan melalui kontak langsung
atau secara tidak langsung melalui fase gas antara permukaan material dan permukaan
makanan (Vapenka et al. 2016). Proses pemanasan dapat terjadi transfer zat kemasan ke
produk melibatkan penguapan komponen yang mudah menguap dari kemasan dan dengan
distilasi uap dalam kasus makanan lembab atau berair (Qiu et al. 2021).
Pergerakan kinetik dari molekul-molekul kecil seperti halnya monomer sangat
tergantung pada keadaan dan konsentrasi zat-zat yang termigrasi serta sifat kemasan
makanan (Wei 2014). Tingkat kontak antara makanan dan kemasan juga memiliki
pengaruh langsung pada migrasi, dan dalam kasus di mana masalah tertentu telah
dihadapi, perlu untuk melindungi makanan dari kontak langsung seperti permukaan yang
dicetak. Hal ini dikarenakan migrasi adalah proses yang biasanya terjadi secara bertahap,
periode waktu kontak antara makanan dan kemasan juga harus dipertimbangkan ketika
mencoba mengantisipasi potensi masalah migrasi (Suciu et al. 2013). Dampak bagi
lingkungan bisa menjadi sumber utama makanan kontaminasi jika tidak higienis. Banyak
kontaminan lingkungan, seperti debu, mikroba, serangga, dan naftalena, dapat ditransfer
ke dalam makanan dan mengakibatkan kontaminasi. Hal ini dapat terjadi melalui bahan
kemasan yang rusak atau menyerap dengan migrasi berikutnya ke makanan (Guerrerio
2018).
8
III METODE
22,82%
45,69%
14,07%
17,42%
9,38%
14,17%
72,67%
Berikut hasil pengelompokan total data persentase bahan kemas yang digunakan
di Indonesia dari website tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
9,88%
10,88%
15,21%
64,03%
padatan kristal, atau padatan semi kristalin (kristalit) atau bentuk padatan lainnya. Plastik
memiliki tingkat degradasi yang lambat dan cenderung tahan lama (Ballzaroti et al. 2015).
Plastik termoplastik sebagai bahan plastik yang dapat mengalami daur ulang.
Sedangkan plastik thermoset merupakan plastik yang tidak mengalami daur ulang.
Senyawa penyusun plastik adalah alkena, polietilena, dan etena (Marcena dan Carvalho
2021). Plastik sebagian besar adalah atom berbasis karbon. Atom karbon mampu
menghubungkan ke atom lain dengan hingga empat ikatan kimia. Dalam plastik, atom
karbon juga terhubung dengan hidrogen, oksigen, nitrogen, klorin, atau belerang. Ketika
ikatan atom-atom ini menghasilkan rantai panjang, seperti mutiara pada untaian mutiara,
polimer ini disebut sebagai termoplastik. Termoplastik dapat meleleh, semua
termoplastik memiliki unit berulang misalnya bagian rantai terkecil yang identik. Hampir
sebagian besar plastik adalah 92% termoplastik (Jogi dan Bhat 2020).
Berdasarkan diagram kemasan yang digunakan yaitu kemasan kertas sebanyak
15,21%. Penggunaan kertas ini digunakan tidak hanya sebagai kemasan primer tetapi juga
kemasan sekunder. Kemasan kertas yang digunakan terdiri dari kertas, kertas karton,
kardus, kraft, kertas lilin, dan lainnya. Kemasan kertas seperti kertas kraft, perkamen
dan kertas wax merupakan kemasan kertas yang kontak dengan bahan makanan,
sedangkan kertas karton biasanya digunakan sebagai wadah pengiriman seperti kardus
yang tidak kontak langsung dengan makanan (Raheem 2013).
Kertas merupakan material senyawa berbentuk serat dari tanaman yang disebut
dengan cellulose. Pembuatan kertas berasal dari bahan baku selulosa kayu atau merang
padi. Di dalamnya telah dicampurkan dengan bahan kimia yang kemudian dibentuk dan
dikeringkan (Sonmez dan Ozden 2018). Bahan kertas yang berasal dari kayu terdiri dari
50% selulosa, 30% lignin dan bahan bersifat adhesif di lamela tengah, 20% karbohidrat
berupa xilan, mannan, serta resin, tanin dan gum (Didone et al. 2017). Tipe kayu dan
lembaran akhir kertas yang diinginkan sangat menentukan cara pembuatan kertas. Pada
pembuatan kertas bahan baku berupa kayu atau merang padi terlebih dahulu dibuat
menjadi pulp (Brem et al. 2016).
Jumlah bakteri yang terdapat dalam kertas makanan yang terbuat dari kertas daur
ulang sekitar 1,5 juta koloni per gram, sedangkan rata-rata kertas nasi yang biasa
digunakan memiliki berat 70-100 gram. Artinya ada 105 juta-150 juta bakteri yang
terkandung di dalam kertas (Paramita 2015). Dampaknya bisa bermacam-macam, mulai
dari sakit perut atau diare, kanker, kerusakan hati, kerusakan kelenjar getah bening, risiko
asma, hingga gangguan vitalitas pria dan mutasi gen. Terdapat beberapa senyawa yang
terkandung pada kemasan kertas yakni monokloro, epiklorohidirin, dan propandiol.
Sebagian besar senyawa memiliki dampak buruk bagi kesehatan, seperti kanker payudara,
penurunan kinerja sistem reproduksi, dan kista (Deswal et al. 2013).
Kemasan kertas tidak terlalu menjadi perhatian, hal ini disebabkan limbah
kertas tidak terlalu membahayakan dibandingkan dengan bahan kemasan plastik atau
lainnya (Khasanah et al. 2017). Penggunaan kertas mengalami perkembangan
sesuai dengan kemajuan teknologi. Terdapat banyak jenis kertas dengan keramahan
13
pada lingkungan, seperti kemudahan mendaur ulang limbah, tidak merusak lingkungan,
dan keuntungan lainnya (Suhartono dan Iskandar 2017). Dengan kata lain relevansi
kemasan kertas dengan kondisi sekarang menunjukkan kesesuaian bahan dengan
mendukung kelestarian lingkungan. Namun, masih ada resiko dari bahan kemas kertas
terhadap kesehatan manusia.
Penggunaannya pada produk pangan yang dilaporkan pada aplikasi cekbpom.go.id
cukup rendah dibandingkan plastik, hal ini dikarenakan penggunaan kemasan kertas pada
produk pangan tidak dapat menjaga pangan dari kondisi lingkungan seperti ketahanan
terhadap air dan panas (Stepien 2011). Berdasarkan diagram sebanyak 10,88%
menggunakan logam sebagai bahan kemasan pangan, disusul dengan penggunaan
kemasan berbahan kaca 9,88%. Kemasan logam yang digunakan yaitu aluminium foil
dan kaleng. Namun penggunaan aluminium foil ini tidak hanya secara tunggal tetapi juga
sudah dikomposit, sehingga pada pengelompokan data kemasan aluminium foil tidak
semua dimasukan ke dalam kelompok logam karena ada juga yang masuk kelompok
kemasan komposit.
Sifat pada kemasan berbasis logam memberikan penghalang yang sangat baik untuk
cahaya, gas dan kelembaban, daur ulang, konversi mudah ke dalam berbagai bentuk,
kemampuan untuk menahan suhu pemanasan tinggi, struktur kaku, transportasi ke jarak
jauh dan kemungkinan dekorasi yang unik (Li 2016). Masalah kesehatan dan keamanan
produk utama kemasan logam terdiri dari senyawa pada Bisphenol A, timbal, kadmium,
merkuri, aluminium, besi, nikel, yang membentuk gembungan kaleng, pembubaran timah,
menghitam dan korosi (Montanari dan Zurlini 2018). Selain itu, mengandung senyawa
Bisphenol A Diglycidyl dan fenolik yang mengancam kesehatan manusia. Senyawa
bernama stanum pada kaleng logam mempengaruhi kesehatan usus atau mempengaruhi
kualitas pencernaan manusia. Dampak kesehatan lainnya, adalah berpotensi kanker
payudara, alergi pada kulit, diabetes, hingga keracunan pada makanan (Chen et al. 2013)
Regulasi penggunaan logam pada kemasan telah diatur pada Peraturan Badan
POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Selain itu, Peraturan Pemerintah
Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan menjadi sumber lainnya yang
mengatur tentang kemasan logam (BPOM 2019). Secara peraturan disebutkan bahwa
keamanan pada kemasan pangan mengharuskan produsen tidak mengizinkan tinta pada
cetakan langsung kemasan. Terdapat beberapa zat yang diperbolehkan pada kemasan
logam, misalkan pemlastis, penstabil, degraden, dan acetaldehyde scavenger.
Implementasi penggunaan logam di Indonesia dapat dilihat dari bentuk kaleng, peralatan
makanan, dan sejenis lainnya. Saat ini, kemasan kaleng menjadi salah satu kemasan yang
mendominasi di pasaran. Alasan konsumen dalam memilih kemasan kaleng karena
praktis, mudah dijumpai, dan harganya relatif terjangkau (Perdana 2019).
Berdasarkan data keragaan tersebut gambar 6. menunjukkan bahwa frekuensi
penggunaan kaca dalam produk kemasan pangan paling sedikit. Hasil penelitian
Rosmawati (2021) menyebutkan bahwa keunggulan kemasan kaca bersifat menghalangi
keluarnya cairan atau gas dari produk yang dikemas dan bersifat inert atau lambat bereaksi
terhadap bahan kimia dan tidak mengontaminasi produk yang dikemas dan mencegah
penguapan, serta melindungi produk dari gangguan lingkungan sekitar karena
permeabilitas yang rendah. Sifat kaca yang stabil menyebabkan kemasan kaca dapat
disimpan dalam jangka waktu panjang tanpa mengalami kerusakan. Faktor terjadinya
migrasi senyawa pada kemasan ke dalam produk pangan dipengaruhi oleh jenis bahan
penyusun itu sendiri. Gelas merupakan campuran pasir dengan soda abu (serbuk
mineral/pasir putih dengan titik leleh rendah), batu kapur dan pecahan atau limbah atau
14
gelas yang didaur ulang (BPOM 2019). Kemasan kaca memiliki beragam bentuk kemasan
namun pada umumnya berbentuk botol. Semua botol kaca dimulai sebagai bahan mentah.
Silika (pasir), soda ash, batu kapur, dan cullet (tungku siap pakai, kaca daur ulang)
digabungkan menjadi campuran tertentu berdasarkan sifat botol yang diinginkan (Yaris
dan Sezgin 2020). Campuran tersebut kemudian dilebur pada suhu tinggi di dalam tungku
sampai menjadi bahan cair, siap untuk dibentuk. Jenis gelas yang akan dihasilkan
campuran ini dikenal sebagai gelas soda-lime, gelas paling populer untuk makanan dan
minuman (Guadagnino et al. 2022). Adapun sifat fisiknya kemasan kaca yakni memiliki
kekuatan lebih, kuat terhadap pemanasan, sulitnya masuk benda padat atau cairan, mudah
diberikan warna, dan harga murah. Penggunaan kemasan kaca tidak hanya berisiko pada
lingkungan melainkan kesehatan manusia (Aversa et al. 2021). Individu yang sering
mengonsumsi makanan atau minuman dengan kemasan berbahan kaca berpotensi
terjadinya kanker payudara, gangguan paru-paru, dan kegagalan pada sistem
pencernaan. Terjadinya ancaman disebabkan adanya bahan pembuatan kaca itu
sendiri atau senyawa yang melekat di dalamnya (Yun 2018).
Relevansi dengan aturan di Indonesia tertuang pada Peraturan Badan POM Nomor
20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Ketatapan tersebut mengatur tentang apa saja
yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan dalam pembuatan kemasan kaca. Secara
garis besar memiliki kesamaan dengan kemasan logam. Penggunaan kemasan kaca dalam
bentuk botol membatasi kedalaman lebih dari 2,5 cm untuk pengisian, senyawa pada
asetat harus sebesar 4 persen dengan suhu kamar tempat gelap, dan timbal yang
diekstraksi tidak lebih dari 1,5 bpj (Syam dan Sukainah 2020).
Kementerian Indonesia melalui Menteri Perindustrian Indonesia menetapkan
Peraturan Menteri Nomor 48 Tahun 2020 tentang Standar Industri Hijau untuk Industri
Kemasan dari Kaca. Peraturan ini sangat spesifik membahas tentang regulasi pada
perusahaan kemasan kaca. Setiap perusahaan diharuskan membuat kemasan kaca yang
tidak mengancam kesehatan dan lingkungan sekitar.
45,00%
40,11%
40,00%
35,00%
30,00% 28,70%
25,00%
20,00% 17,70%
15,00%
8,04%
10,00%
2,91%
5,00% 0,99%
1,54%
0,00%
PET PP HDPE PVC LDPE PS Others
berdasarkan data registrasi digunakan untuk produk pangan seperti kue kering. Ketika
dikombinasikan dengan berbagai pewarna, aditif atau plastik lainnya, polystyrene
digunakan untuk membuat peralatan, elektronik, suku cadang mobil, mainan, pot dan
peralatan berkebun dan banyak lagi (Nukmal et al. 2018). Polystyrene juga dibuat
menjadi bahan busa, yang disebut Expanded Polystyrene (EPS) atau Extruded
Polystyrene (XPS), yang dihargai karena sifat isolasi dan bantalannya. Polystyrene dibuat
dengan merangkai, atau memolimerisasi, styrene, bahan kimia penyusun yang digunakan
dalam pembuatan banyak produk.
Rendahnya penggunaan plastik PVC sebagai kemasan pangan diduga karena
kesadaran masyarakat yang sudah cukup tinggi terkait bahaya penggunaan PVC sebagai
kemasan pangan. Penggunaan PVC sebagai kemasan pangan diizinkan oleh BPOM,
namun tidak dianjurkan penggunaannya untuk produk pangan yang dipanaskan, karena
sifat monomer dari PVC yaitu vinil klorida yang mudah bermigrasi ke makanan jika
terpapar panas. Berdasarkan BPOM RI (2019), monomer vinil klorida termasuk dalam
kategori bahan kontak pangan yang diizinkan penggunaannya dengan persyaratan batas
migrasi 1 bpj (bagian per juta). Monomer vinil klorida bersifat karsinogenik jika bereaksi
dengan komponen DNA guanin dan sitosin, sehingga dapat membahayakan kesehatan
konsumen jika terakumulasi dalam tubuh (Irawan dan Supeni 2013). Phthalates yang
dimasukkan ke dalam plastik sebagai plasticizer (Jannis 2020). Polivinil klorida memiliki
sifat yang menguntungkan dibandingkan dengan polimer lain seperti tahan api, daya
tahan, harga terjangkau, dan lain-lain. Polivinil klorida adalah polimer yang terbentuk
dari polimerisasi monomernya, vinil klorida. Vinyl klorida terbuat dari etilen dan klorida,
etilen berasal dari minyak mentah dan gas alam, sedangkan klorida berasal dari
elektrolisis klor-alkali. PVC dapat berupa polimer kaku atau fleksibel dengan bantuan
bahan tambahan atau aditif seperti plasticizer. Plasticizer ini dikembangkan untuk
meningkatkan fleksibilitas, workability, atau distensibilitas. Di sektor industri konstruksi,
PVC paling signifikan untuk digunakan sekitar 60%-70%. PVC ini digunakan untuk
membuat pipa, kabel, film, lantai, kertas, pelapis, dan lain-lain (Sastri 2022). PVC
memiliki kekerasan dan mekanik yang tinggi. Sifat mekanik meningkat dengan relatif
massa molekul meningkat tetapi menurun dengan suhu meningkat.
PLA adalah bahan berbasis bio tidak beracun, dapat dikomposkan yang berasal dari
pati dan/atau gula dan memiliki kekuatan mekanik dan plastisitas. Ini sangat cocok untuk
digunakan dalam kemasan makanan dan minuman. PLA terutama diperoleh dari asam
laktat yang dapat dihasilkan dari bahan terbarukan seperti kentang, gandum dan pati
jagung. Polimer berbasis minyak bumi menyebabkan peningkatan pemanfaatan energi
bahan bakar dan emisi gas rumah kaca, namun PLA ramah lingkungan.
Nilon sebagai polimer penghalang tinggi dalam aplikasi pengemasan makanan.
Nilon adalah nama generik yang diberikan untuk berbagai poliamida kristalin yang
dihasilkan dari meto-xylenediamine dan asam adipat. Nilon telah digunakan secara luas
dalam campuran polimer dan aplikasi pengemasan makanan berlapis-lapis. Banyak
contoh kinerja penghalang gas diberikan, bersama dengan sifat lain seperti sifat penahan
aroma, sifat mekanik dan retortabilitas. PC sebagai jenis plastik yang baik digunakan
sebagai kemasan makanan dan minuman, karena memiliki perlindungan yang baik
terhadap reaksi kimia. Kemudian sering digunakan dalam pembuatan kotak makanan,
botol minuman, peralatan dapur, sikat gigi, dan sebagainya (Ammala 2011).
18
Komposit 37,46%
akan dikemas. Fungsi pada bentuk kemasan ini memberikan waktu tambahan
penyimpanan makanan. Migrasi makanan dapat dicegah dimana gelas dengan mudah
menerima cahaya akan terhindar ketika dilapisi dengan karton. Kemudian kerusakan
karton dapat dicegah adanya kotak kayu (Sabo et al. 2017).
Kemasan logam yang berasal dari aluminium dalam pengemasan makanan atau
minuman biasanya dilindungi oleh kertas karton. Tujuannya agar tidak terjadi penyok
atau perusakan pada lapisan aluminium. Kemasan tersiernya dilindungi dengan kotak
kayu atau kardus besar dan tebal. Bentuk kemasan ini juga sangat lazim ditemukan di
Indonesia. Keuntungan pada kemasan primer, sekunder, dan tersier ini memberikan
kemudahan dalam distribusi dan mencegah terjadinya migrasi makanan. Ketika makanan
yang dilindungi logam, kertas karton, dan kotak kayu membuat kedap cahaya (Kyratsis
et al. 2013). Tentu migrasi makanan akan dicegah apabila suhu penyimpanannya tidak
panas atau sejuk. Sebagian besar laporan di atas tentang kemasan primer, sekunder, dan
tersier maka dapat ditetapkan suatu asumsi, sebagian besar kemasan primer berasal dari
plastik. Kemasan sekunder menggunakan kardus atau kertas.
Pemilihan antara adanya kombinasi kemasan dan tanpa kombinasi kemasan
sebenarnya lebih menguntungkan kombinasi kemasan. Di samping itu, proses kombinasi
kemasan dapat dilengkapi dengan proses komposit, tunggal, atau laminasi. Komposit
pada dunia industri merupakan campuran antara polimer (bahan makromolekul dengan
ukuran besar yang diturunkan dari minyak bumi ataupun bahan alam lainnya seperti karet
dan serat). Dapat dikatakan bahwa komposit adalah gabungan antara bahan matriks atau
pengikat yang diperkuat. Bahan material terdiri dari dua bahan penyusun, yaitu bahan
utama sebagai pengikat dan bahan pendukung sebagai penguat. Bahan penguat dapat
dibentuk serat, partikel, serpihan atau dapat berbentuk yang lain (Shanker et al. 2017).
Komposit adalah material buatan yang dibentuk oleh kombinasi matriks yang
sering disebut sebagai fase kontinu dan pengisi atau serat yang berada dalam fase
terdispersi. Bahan komposit telah menerima kepentingan yang luar biasa karena sifat
keseluruhan komposit lebih unggul daripada yang lainnya dari komponen individu yang
sangat kuat dan kaku, ringan, tidak menimbulkan korosi seperti baja, dan memiliki
kemampuan untuk digunakan dalam aplikasi struktural kinerja tinggi dan perakitan lebih
cepat (Cirillo 2018). Bahan komposit dapat dikelompokan menjadi tiga kategori utama
berdasarkan konstituen matriks-komposit matriks-logam, komposit matriks-keramik, dan
komposit matriks-polimer.
Kemasan tunggal tanpa melibatkan apa pun seperti yang dilakukan
laminasi dan komposit. Sedangkan, laminasi sebagai upaya memberikan
lapisan makanan atau kemasan berbahan plastik tipis. Laminasi memiliki
beberapa bentuk. Kekurangan dari laminasi adalah lapisan tipis yang dapat
tembus cahaya atau tingkat panas pada suhu tertentu. Bahan ini sangat kurang
di suhu panas namun bagus untuk suhu sejuk dan dingin. Sebaliknya komposit
dapat meredam semuanya dan dapat di tingkatan suhu mana pun (Lagaron et
al. 2005). Keuntungan komposit memiliki kemasan dengan daya rekat yang kuat
sehingga lebih aman produk yang dikemasnya, meminimalisir masuknya cahaya
sehingga lebih awet. Penggunaan kemasan monolayer dapat berpotensi terjadinya
kerusakan atau ancaman masuknya benda eksternal ke dalam kemasan makanan
dan minuman.Penggunaan laminating tidak bisa membungkus kemasan makanan
dan minuman berukuran besar atau dengan kata lain terdapat batasan tertentu
pada kemasannya (Cushen et al. 2012). Produk makanan dan minuman dikemas
untuk menjamin keamanan, kualitas, dan keutuhannya sejak diproduksi
hingga dikonsumsi. Bahan kemasan yang dimaksudkan untuk kemasan makanan
harus tahan kondisi yang keras selama transportasi,
20
Menurut SNI 01-3553-2006, air mineral dalam kemasan merupakan air baku yang
telah diproses, dikemas dan aman diminum mencakup air mineral dan air demineral.
Kemasan yang selama ini digunakan untuk mengemas air minum dalam kemasan dibagi
menjadi 2 jenis yakni kemasan sekali pakai dan kemasan yang dapat dipakai ulang
(Pudjiastuti dan Samiha 2001). Beberapa jenis kemasan yang dapat digunakan untuk
mengemas air dalam kemasan diantaranya kemasan dengan bahan baku poli etilen (PE),
polipropilen (PP) dan polietilen tereftarat (PET) yang hanya boleh digunakan sebagai
kemasan sekali pakai sedangkan kemasan kaca dan plastik poli carbonat (PC) dapat
dipakai ulang (Kemenperin 1997).
Pemilihan kemasan pada air mineral dalam kemasan tentu memiliki pertimbangan
diantaranya kemasan tersebut harus mampu untuk melindungi air mineral kemasan dari
faktor lingkungan dan meminimilasir terjadinya migrasi bahan kemasan. Kemasan PET
memiliki sifat fisik jernih, kaku yang mana biasanya sering digunakan sebagai kemasan
untuk produk pangan cair seperti air mineral. Plastik PP dapat juga digunakan sebagai
bahan kemas air mineral namun memang memiliki sifat fisik yang kurang jernih
dibandingkan PET. Akan tetapi plastik PP dapat menjadi pilihan dikarenakan lebih murah
dibandingkan kemasan plastik PET. Kemasan kaca kini sudah banyak yang melakukan
pengemasan menggunakan kaca, secara fisik kemasan kaca transparan tebal dapat
digunakan berulang kali, membuat produk lebih elegan tetapi juga memiliki kekurangan
seperti mudah pecah, lebih berat, lebih mahal.
Kemasan PET dapat terjadi migrasi kemasan, namun tidak terdeteksi
terbentuknya senyawa formaldehid selama 30 hari penyimpanan, namun hari ke-40
terdeteksi 0.02 mg/l senyawa formaldehid dan hari ke-50 terdeteksi 0.23 mg/l senyawa
formaldehid pada AMDK dalam kemasan PET (Itnawati et al. 2014). Terdeteksinya
senyawa formaldehid selama penyimpanan pada AMDK masih dalam batas aman karena
berada di bawah ambang batas keamanan pangan yang dipersyaratkan oleh WHO yakni
1 mg/l untuk senyawa formaldehid. Terbetuknya senyawa formaldehid yang
membahayakan bagi kesehatan konsumen ini dipercepat karena AMDK dalam kemasan
PET terpapar matahari secara langsung sehingga mempercepat reaksi termal.
Bahan kemas lain yang biasa digunakan yakni kemasan PP. Beberapa keuntungan
yang telah dilaporkan yakni penggunaan kemasan PP pada produk AMDK mempunyai
clarity atau transparansi yang cukup tinggi terutama setelah diisi dengan air mineral, PP
memiliki kandungan logam berat yang sangat kecil (<1000 ppm) serta PP dapat dibentuk
menjadi kemasan dengan ketebalan di atas 0.5 mm seperti PC dan kaca yang dapat dipakai
21
Dibutil ftalat
0,3 0,15
(DBP)
Benzil Butil 30 0,16 Penurunan
(BBP)
fungsi
Dietilheksil ftalat reproduksi
1,5 1,31
(DEHP)
Diisononil ftalat
9 1,52
(DINP)
HDPE, DLTDP 5 -
LDPE
DEHA 18 - Gangguan
pernafasan
Antimoni
0,04 -
trioksida
Monomer vinil 1 - EDC,
PVC
klorida menggang
Dietilheksil ftalat 1,5 - gu fungsi
(DEHP) hati dan
Benzil Butil ginjal
30 -
(BBP)
PP DLTDP 5 - -
DSTDP -
PS Residu stirena 1000 - Gangguan
sistem
DEHA 18 -
saraf pusat
Endocrine
Disrupture
Other (PC) Bisfenol A 0,6 -
Chemicals
(EDC)
(Bart 2006; Hasibuan 2020; Itnawita et al. 2014; Laelasari et al. 2021; Lanang et al.
2020; Perdana 2016; Pereire et al. 2018; Rohman 2003)
Berdasarkan tabel 2. diperoleh data bersumber dari literatur dapat diketahui bahwa
beberapa migrasi aktual kemasan plastik tersebut dengan hasil uji masih dibawah dari
batas migrasi. Migrasi kemasan ini tidak lepas dari proses pemanasan. Berdasarkan
hasil penelitian ini pada Gambar 6. diperoleh data bahwa kemasan paling
banyak digunakan sebagai kemasan produk pangan yaitu bahan kemas plastik. Plastik
merupakan hasil dari teknologi polimer. Plastik berpotensi terjadi migrasi senyawa
kemasan ke produk pangan yang dikemasnya. Namun, kemasan plastik ini
berdasarkan data registrasi produk tersebut banyak dipilih oleh produsen sebagai
kemasan pangan. Hal ini karena biaya yang relatif terjangkau dan mudah untuk
diaplikasikan pada berbagai produk pangan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
akan dibahas potensi migrasi kemasan plastik. Terjadinya migrasi disebabkan panasnya
suhu, sediaan makanan yang dikemas plastik. Hal ini sebenarnya mempercepat
terjadinya perpindahan senyawa atau monomer dari kemasan ke makanan. Migrasi
kemasan plastik ke makanan bersifat karsinogenik. Migrasi dapat berkurang
apabila aditif pada bahan kemasan memiliki berat molekul yang besar, hanya terjadi
23
kontak tidak langsung, dan bahan kemasan yang memiliki lajudifusi rendah (Al Sabagh
et al. 2016). Arvanitoyannis dan Kotsanopoulos (2014) menyatakan bahwa monomer
dengan berat molekul rendah dapat lebih mudah bermigrasi ke makanan jika
dibandingkan dengan polimer kompleks (berat molekul >1200), terutama jika terjadi
kontak erat antara kemasan dengan makanan. Senyawa monomernya adalah dioktil ptalat
yang dapat merusak pencernaan manusia bahkan menghambat kinerja masuknya
makanan dalam proses pencernaan. Produk dekomposisi dari aditif atau monomer juga
akan bermigrasi ke dalam makanan pada kondisi yang tepat. Kehadiran residu bahan
kimia ini dapat menyebabkan kontaminasi. Plastik terdapat jenis monomer yang
bermigrasi dari jenis plastik itu sendiri.
Setiap karakteristik plastik yang digunakan memiliki perbedaan jenis monomer
(Indraswati 2017). Kemasan plastik polimer tunggal seperti polyethylene terephthalate
(PET), polypropylene (PP), high density polyethylene (HDPE), low density polyethylene
(LDPE), polystyrene (PS), polyvinylchloride (PVC), dan others. Jenis kemasan plastik
tersebut dapat terjadi potensi migrasi seperti tersaji pada Tabel 2 yang menunjukkan data
potensi migrasi dari masing-masing jenis kemasan dan dampak migrasi kemasan pada
risiko keamanan pangan. Berdasarkan peraturan BPOM nomor 20 tahun 2019 tentang
kemasan, terdapat persyaratan migrasi spesifik dan migrasi total kemasan dari zat
kontak pangan dan bahan kontak pangan.
Bahan kontak pangan yaitu komponen penyusun kemasan itu sendiri dapat terjadi
migrasi sehingga diberi persyaratan batas maksimum. Plastik PVC selain zat kontak
pangan juga komponen penyusunnya vinyl klorida dapat bermigrasi dengan batas 1 bpj.
Bhunia et al. (2013) menyatakan bahwa monomer vinil klorida dapat bebas bergerak
karena sifatnya yang tidak memiliki ikatan kimiawi dengan molekul polimer plastik,
sehingga mudah bermigrasi ke makanan. Plastik polystyrene penyusunnya yaitu
monomer stirena dengan batas maksimal 1% yang memiliki dampak gangguan sistem
saraf pusat bagi konsumen apabila terjadi migrasi pada makanan (Rohman 2003). Plastik
polycarbonate salah satu penyusunnya yaitu Bisfenol A (BPA) yang dapat membuat
plastik tersebut keras dan tidak mudah pecah, biasa diaplikasikan pada galon. Penggunaan
kemasan galon polycarbonate yang berulang dan apabila terdapat proses pemanasan
maka akan berpotensi terjadi migrasi, sehingga batas persyaratan migrasi 0,6 bpj. Potensi
migrasi ini dapat menjadi risiko keamanan pangan hingga berdampak pada Kesehatan
seperti Endocrine Disrupture Chemicals (EDC) (Perdana 2016).
Senyawa bahan kontak pada kemasan plastik yang berbahaya misalnya Bisphenol
A. Ini merupakan zat yang digunakan dalam industri pembuatan produk plastik. Resin
epoksi yang mengandung pada Bisphenol A digunakan untuk melapisi bagian dalam pipa
air dan bagian dalam kaleng makanan dan minuman untuk meningkatkan masa simpan
dan menghindari rasa logam pada makanan atau minuman. BPA telah diklasifikasikan
sebagai pengganggu endokrin, yang berarti memiliki efek toksik pada kemampuan kita
untuk bereproduksi (Costa dan Coltro 2014). Kemudian, Phthalates adalah bahan kimia
yang sering digunakan sebagai pelembut untuk plastik PVC mengandung bahan
berbahaya bagi kesehatan. Spesifiknya, bahan berbahaya bagi kesuburan dan
perkembangan janin (Alamri dan Mohammed 2021).
Zat kontak pangan ada sebagai pemlastis, antioksidan, antistatis, penstabil, katalis,
degradat, perekat, pewarna, dan asetaldehid scavenger. Salah satu polimer yang
menggunakan asetaldehid dengan batas 6 bpj yaitu plastik PET yang biasa digunakan
sebagai pengemas air mineral. Plastik HDPE salah satu zat kontak pangan yaitu katalis
antimoni trioksid batas migrasi spesifik 0,04 bpj, migrasi pada pangan yang dikemasnya
24
dapat menyebabkan risiko kesehatan gangguan pernafasan (Bart 2006; Lanang et al.
2020). Pemlastis ini paling banyak digunakan pada plastik PVC dan PE. Salah satu zat
kontak pangan adalah pemlastis memiliki senyawa ftalat yang diizinkan digunakan
tetapi dapat berisiko sehingga terdapat batas migrasi spesifik. Senyawa ftalat memiliki
gugus fungsi ester yang terikat dengan cincin benzene. Senyawa ftalat digunakan
sebagai pemlastis pada bahan kemas plastik yang bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan dan elastisitas bahan kemasan plastik sehingga menjadi lebih baik
Namun, senyawa tersebut memberikan efek negatif apabila terjadi migrasi yang
mengakibatkan pada risiko keamanan pangan berakibat pada kesehatan konsumen.
Bahan pemlastis ftalat tersebut dapat memberikan risiko kesehatan seperti penurunan
reproduksi dan gangguan saraf (Laelasari et al. 2021).
Potensi migrasi tersebut perlu menjadi perhatian dalam pemilihan kemasan
khususnya plastik yang saat ini menjadi pilihan utama bagi produsen. Adanya peraturan
BPOM nomor 20 tahun 2019 sebagai acuan dalam menjalankan kesesuaian kemasan
terhadap produk juga memperhatikan persyaratan agar menjaga produk baik saat produksi,
distribusi, retail hingga sampai di konsumen masih aman dan layak dikonsumsi untuk
meminimalisir risiko keamanan pangan.
25
5.1 Simpulan
Persentase penggunaan kemasan yang beredar di Indonesia berdasarkan data
produk yang terdaftar di Badan POM dapat diketahui bahwa kemasan plastik lebih
banyak digunakan yaitu 64,03% yang diikuti oleh kemasan kertas 15,22%, kemasan
logam 10,88%, dan kemasan kaca 9,88%. Selain itu jenis kemasan plastik yang
banyak digunakan yaitu kemasan plastik polipropilen. Kemasan yang digunakan
juga tidak hanya kemasan tunggal tetapi juga dikombinasikan baik itu komposit atau
sebagai kemasan primer, sekunder, dan tersier. Senyawa zat kontak dan bahan
kontak pangan yang terdapat pada berbagai kemasan plastik hasil migrasi aktual
bersumber dari berbagai literatur masih dibawah batas migrari persyaratan yang
diizinkan, walaupun demikian perlu dilakukan pengawasan berlanjut agar aman.
5.2 Saran
Perlu dilakukan pengambilan data yang dapat mencakup kondisi kemasan
yang beredar di Indonesia, termasuk kemasan yang digunakan pada produk yang
belum terdaftar di BPOM dan perlu dilakukan penelitian dengan uji
berbagai bahan kemasan pangan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Aboura Z, Talbi N, Allaoui S, Benzeggagh M.L 2004. Elastic behavior of
corrugated cardboard : Experiments and Modeling. Composite Structure.
63(1):53-62. doi: 10.1016/S0263-8223(03)00131-4
Al-Sabagh AM, Yehia FZ, Eshaq Gh, Rabie AM, El-Metwally AE. 2015. Greener
routes for recycling of polyethilene terephtalate. Egypt J Petrol. 1-12.
doi:10.1016/j.ejpe.2015. 03.001.
Alamri Q, Mohammed A. 2021. Food Packaging Materials: A Food Safety Perspective.
Saudi Journal of Biological Sciences, 4490-4499.
Ammala A. 2011. Nylon-MXD6 Resins for Food Packaging. Multifunct Nanoreinforced
Polym Food Package. 243-260. doi: 10.1533/9780857092786.1.243
Arvanitoyannis IS, Kotsanopoulos KV. 2014. Migration phenomenon in food packaging.
food-package interactions, mechanisms, types of migrants, testing and relative
legislation-A Review. Food Bioprocess Technol. 7(1):21–36. doi:10.1007/s11947-
013-1106-8.
Astawan M, Nurwitri C.C, Suliantari, Rochim DA. 2015. Kombinasi Kemasan
Vakum dan Penyimpanan Dingin untuk Memperpanjang Umur Simpan
Tempe Bacem. J Pangan. 24(2):83-166. doi: 10.33964/jp.v24i2.27
ASTM. 2022. D-7611 tentang Standard practice for Coding plastic manufactured
articles for resin identification. ASTM International.
Aversa C, Barletta M, Gisario A, Pizzi E, Prati R, Vesco S. 2021. Design,
Manufacturing and Preliminary Assessment of the Suitability of Bioplastics
Bootle for Wine Packaging. Journal of Polymer Testing. doi:
10.1016/j.polymertesting.2021.107227
[BPOM RI]. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 27 Tahun 2017
tentang Pendaftaran Pangan Olahan. 2017. Jakarta (ID): BPOM RI
[BPOM RI] Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 20 Tahun 2019
tentang Kemasan Pangan. 2019. Jakarta (ID): BPOM RI
[BSN [Badan Standardisasi Nasional]. 2006. Persyaratan Uji Air Mineral dalam
Kemasan. Jakarta (ID): BSN
Ballzaroti, Mavigllia, Ciceri. 2015. Glass Vs Plastic: Affective Judgments of Food
Packages After Visual and Haptic Exploration. Journal of Procedia Manuf. 2251-
2258.
Bart JCJ. 2006. Plastics Additives: Advanced Industrial Analysis. Amsterdam: IOS
Press.
Bashir NHH. 2013. Plastic Problem in Africa. Journal of Veterinary Research. 61.
Bhunia K, Sablani SS, Tang J, Rasco B. 2013. Migration of chemical compounds from
packaging polymers during microwaver, conventional heat treatment, and storage.
Compr. Rev. Food Sci. Food Saf. 12(1):523-545. doi: 10.1111/1541-4338.12028.
Bluman, AG. 2012. Elementary statistics: A step by step approach.8th ed. New
York: McGraw Hill.
Brem SB, Biedermann M, Grob K. 2016. Required barrier efficiency of internal bags
against the migration from recylced paperboard packaging into food: a bench
mark. Journal of Food Addit Contamination. 33(4). doi:
10.1080/19440049.2016.1160744
27
Marsh K, Bugusu B. 2007. Food packaging - Roles, materials, and environmental issues:
Scientific status summary. Journal of Food Science. 72(3).
https://doi.org/10.1111/j.1750-3841.2007.00301.x
Mohanty F, Swain SK. 2017. Bionanocomposites for Food Packaging Applications.
Nanotechnology Applications in Food. 363-379.doi:10.1016/B978-0-12-
811942-6.00018-2.
Montanari, Zurlini. 2018. Influence of Side Stripe on the Corrosion of Unlacquered
Tinplate Cans for Food Preserves. Journal Packag Technology Science, 15-25.
Nugraheni M. 2018. Kemasan Pangan. Yogyakarta: Plantaxia
Nukmal N, Umar S, Puspita S, kanedi M. 2018. Effect of Styrofoam Waste Feeds on the
Growth, Development and fecundity of mealworms. J Bio Sci. 18(1):24-28. doi:
10.3844/ojbsci.2018.24.28
Omar TFA, Sukhn C, Fares SA, Abiad MG, Habib RR, Dhaini HR. 2017. Bisphenol A
exposure assessment from olive oil consumption. Environmental Monitoring and
Assessment. 189(7). doi: 10.1007/s10661-017-6048-6
[PP] Peraturan Pemerintah RI Nomor 86 Tahun 2019 Tentang Keamanan Pangan. 2019.
Jakarta (ID): PP
Paramita AL. 2015. Analisis Pemilihan Kertas sebagai Bahan Baku untuk Kotak
Kemasan pada CV. Surya Cemerlang Menggunakan Analytic Hierarcy Process.
Jurnal Ilmiah Ekonomi Bisnis.
Perdana WY, Jacobus DJ. 2016. Bisphenol (BPA) adalah endocrine disrupture
chemicals (EDC) yang berperan sebagai agen diabetogenik. Opini CDK-244. 43(9):
706-711.
Perdana WW. 2019. Analisis Logam Berat Di Kemasan Kaleng. Agroscience (Agsci).
9(2):215. doi:10.35194/agsci.v9i2.785.
Pereira J, Selourne MC, Pocas F. 2018. Determination of phthalates in olive oil from
European market. Food contol. doi: 10.1016/j/foodcont.2018.11.003
Pesoth MC. (2015). Pengaruh Kualitas Produk, Packaging, dan brand image
terhadap kepuasan pelanggan pada perusahaan rokom dunhill di kota Manado.
Journal EMBA. 3(3):1101-1112
Piergiovanni L, Limbo S. 2015. Plastic Packaging Materials. Food Packaging
Materials. Springer. 33-49. doi:10.1007/978-3-319-24732-8_5.
Pudjiastusi W, Samiha S. 2001. Poli Propilen (PP) sebagai Alternatif untuk Kemasan
AMDK Isi Ulang. Buletin Penelitian. 23(2):5-9.
Puscaselu R., Gutt G, Amariei S. 2019. Rethinking the future of food packaging:
Biobased edible films for powdered food and drinks. Molecules. 24(17).
https://doi.org/10.3390/molecules24173136
Qiu Y, Li G, Zhang Q, Tan C, Xiang D. 2021. Study on migration of two acrylate
monomers in plastic food contact materials. IOP Conference Series : Earth and
Enviromental Science. https://doi.org/10.1088/1755-1315/657/1/012036.
Quazi S. 2013. Mechanical Properties of Polypropylene Composites. Journal of
Thermoplastic Composite Materials.
Raheem D. 2012. Application of Plastics and Paper as Food Packaging Materials. J
Food Agriculture. 25(3):177-188.
Rasul SF, Noori RJ, Ali KM, Khdhir RB, Ahmed SR, Qadir AM. 2022. Roles of
different packaging materials on the quality and shelf life of yogurt. Food Science
and Technology (Brazil). 42:1–6. https://doi.org/10.1590/fst.70821
30
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada 21 Juli 1994 sebagai anak pertama dari
pasangan bapak Amrullah dan ibu Susilawati. Pendidikan sarjana ditempuh di
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas
Jenderal Soedirman, dan lulus pada tahun 2016. Pada tahun 2017, penulis diterima
sebagai mahasiswa program magister (S-2) di Program Studi Ilmu Pangan pada
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti program S-2,
penulis aktif menjadi pengurus FORMASIP (Forum Mahasiswa Ilmu Pangan) IPB.