Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin diawali dari dikeluarkannya Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 yang isinya :
Demokrasi terpimpin adalah sistem demokrasi di mana seluruh keputusan berpusat pada pemimpin
negara yang saat itu dijabat oleh Presiden Soekarno
Paham demokrasi ini berdasarkan paham kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan ( sila ke-4 dari Pancasila ). Paham ini berintikan musyawarah untuk mufakat
secara gotong royong antara semua kekuatan nasional yang revolusioner dengan
prinsip Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme)
Perkembangan Ekonomi
Untuk merencanakan perekonomian Nasional, presiden membentuk Dewan Perancang
Nasional pada Agustus 1959. Badan ini diketuai oleh Muh. Yamin yang bertugas untuk
mempersiapkan RUU Pembangunan Nasional dan melakukan penyelenggaraan
pembangunan. Badan ini kemudian berganti menjadi Badan Perancang Pembangunan
Nasional (Bappenas) pada tahun 1963. Masuknya masa demokrasi terpimpin terjadi
Bersama dengan kekacauan ekonomi, pemerintah memprioritaskan penurunan inflasi
dan pengurangan mata uang yang beredar. Pemerintah juga mengimbau untuk
melakukan penghematan dan penertiban manajemen terhadap seluruh perusahaan.
Tapi di sisi lain, pemerintah tidak mampu menahan ambisi politiknya seperti dalam
perhelatan Ganefo dan Conefo yang menghabiskan banyak biaya. Di sisi lain
konfrontasi Malaysia dan Irian Barat juga menghabiskan banyak anggaran karena
Indonesia membeli banyak alat-alat militer dari Uni Soviet.
Perkembangan Politik
1. Pembebasan Irian Barat
Pembebasan Irian Barat menjadi program utama pemerintah Indonesia sejak diputuskan
permasalahannya dalam Konferensi Meja Bundar Desember 1949. Program ini baru
digenjot pelaksanaannya pada masa demokrasi terpimpin. Indonesia mengusulkan
pembahasan ini dalam Konferensi Perdana Menteri dan kemudian Sidang Dewan
Keamanan PBB pada 1956 sampai dengan 1960 hingga Indonesia memutuskan
hubungan diplomatiknya pada bulan Agustus. Amerika Serikat ditunjuk PBB untuk
membantu menyelesaikan masalah Irian Barat, namun pada saat yang sama Indonesia
mempersiapkan opsi militer. Jenderal Nasution mengamankan perjanjian senjata
dengan Moskow, sementara Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora).
Hal ini direspon Belanda dengan memperkuat perbatasan. Operasi Mandala dilakukan
di bawah Pimpinan Mayjen Soeharto berhasil menguasai Terminabuan. Belanda
mendapat tekanan dari AS untuk berunding, karena Indonesia mendapatkan dukungan
penuh dari Uni Soviet. Konflik berkelanjutan akan membuat AS dan Uni Soviet terlibat
dalam agresi di Pasifik Barat Daya. Belanda melunak, dan akhirnya menyepakati
Perjanjian New York pada Agustus 1962. Perjanjian ini ditindaklanjuti dengan
penyerahan Irian Barat dari PBB ke RI secara sementara pada 1 Mei 1963.
2. Gerakan Non-Blok
Politik Luar Negeri Indonesia didasarkan pada prinsip bebas-aktif, sehingga dapat
berhubungan dengan negara manapun yang berusaha mewujudkan perdamaian. Tidak
terikat pada blok barat ataupun timur. Hal ini diterjemahkan dalam keikutsertaan
Indonesia dalam Gerakan Non-Blok. Gerakan ini berupaya untuk membentuk kekuatan
netral dan mencegah konflik berkelanjutan antara AS dan Soviet sebagai dua kutub
politik dunia. Gerakan ini juga menangani konflik-konflik seperti India-RRC, India
Pakistan, dan kemudian Indonesia-Malaysia. Dua kali Konferensi Tingkat Tinggi di
Beograd dan Kairo berupaya untuk memberikan tekanan kepada PBB untuk menekan
konflik antara AS-Soviet dan memperingatkan bahaya perang antara keduanya. Meski
begitu, dengan semakin memanasnya konflik Irian Barat, Indonesia menempel blok
timur karena bersedia membantu persenjataan untuk berperang
3. Konfrontasi Malaysia
Indonesia memutuskan untuk keluar dari PBB pada Januari 1965, disebabkan oleh
diterimanya Malaysia sebagai anggota PBB bahkan dewan keamanan tidak tetap. Aksi
ini sangat disayangkan karena Indonesia kehilangan forum yang besar untuk
memperjuangkan penyelesaian konfliknya dengan Malaysia. Hal ini kemudian diganti
dengan menginisiasi berdirinya New Emerging Forces (NEFO) sekaligus
berlangsungnya Conference of New Emerging Forces (CONEFO) dan Games of
Emerging Forces (GANEFO). Meski begitu program ini tidak berjalan efektif, karena
PBB adalah forum yang sangat penting, dan kebijakan Indonesia yang memperbanyak
lawan dibanding lawan sangatlah buruk. Hal ini berlawanan dengan sikap politik luar
negeri Indonesia yang bebas aktif. Indonesia baru masuk kembali ke PBB pada masa
Orde Baru.
1. Membubarkan DPR hasil pemilu pada 4 Juni 1960, kemudian membentuk DPR-GR
karena menolak anggaran belanja negara yang diusulkan pemerintah.
2. Membubarkan konstituante hasil pemilu melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
3. Pembentukan MPRS yang disusun oleh presiden sendiri
4. Mengatur setiap sendi kehidupan negara melalui Manipol, Usdek, dan Nasakom
5. Mengangkat Ketua MPRS dan Ketua DPR-GR sebagai Menteri kabinet kerja.
6. Meningkatkan peranan ABRI dalam politik nasional
7. Membubarkan Masyumi dan PSI dalam kaitannya dengan PRRI dan Permesta.
8. Kekuasaan Presiden yang tidak terbatas, termasuk dalam mengeluarkan kebijakan-
kebijakan secara sepihak seperti keluar dari PBB, konfrontasi Irian Barat dan
Malaysia, Mengadakan CONEFO dan GANEFO.
30 September 1965 malam, sebuah aksi yang diduga dilakukan oleh PKI menewaskan
tujuh perwira tinggi TNI di Jakarta. Presiden Soekarno memberikan mandat kepada
Soeharto selaku Men/PangAD untuk mengembalikan keamanan dan wibawa
pemerintah setelah kekacauan yang terjadi melalui Surat Perintah Sebelas Maret 1966
(Supersemar). Terjadi dualisme kepemimpinan pada masa ini, karena roda
pemerintahan sekarang dijalankan Soeharto. Meski begitu, Soekarno menyampaikan
Pel Nawaksara pada Sidang MPRS 10 Januari 1967, namun dianggap tidak cukup
untuk mempertanggungjawabkan peristiwa yang telah terjadi dalam hampir dua tahun
ini.
TUGAS