ID Pemikiran Teologi Hassan Hanafi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

Aksiologi Ilmuwan Modal Bagi Generasi

Riza Zahriyal
Berjati Diri:
FalahBelajar
dan Irzum
dari Sejarah
Farihah
FIKRAH: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
Volume 3, No.1, Juni 2015

PEMIKIRAN TEOLOGI HASSAN HANAFI

Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah


STAIN Ponorogo & STAIN Kudus
Email: [email protected] dan [email protected]

ABSTRACT

Theology is a religion foundation, meanwhile theological


thought of theologian will give significantly to its
adherents in concrete life. As a religion foundation,
theology will be the base for someone behave and
motivation in their life. So it would be needed the
concept theology, which is not only teosentris, but also
anthropocentric. Hassan Hanafi to try to interpret a
theology postulate from Al-Qur’an and Sunnah, with
the dialectic thought method, phenomenology, and
hermeneutic. Theology postulation is no longer be
utilized by Hassan Hanafi to prove to the Greatest and
sainthood of God, but used as a requirement for people
to be put into practice the concept of postulate in the
real life. The concept anthropocentric attributes that
is reinforced by the theologians in contemporary era
such as Muhammad Abduh, M. Iqbal, Fazlur Rahman,
Murtadha Mutahhari. Theology reconstruction from
Hassan Hanafi teosentric to anthropocentric attributes
that applied in “Kiri Islam” movement, has inspired
many people to think again about theology thought,
which has a positive contribution in the behavior of the
nation.
Keywords: Theology, teosentris, anthropocentric
attributes

Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 1


Pemikiran Teologi Hassan Hanafi

ABSTRAK

Teologi merupakan pondasi sebuah agama, sedangkan


emikiran Teologi dari seorang ahli teolog akan
memberikan efek yang signifikan kepada penganutnya
dalam kehidupan konkret. Karena sebagai pondasi
agama tadi, teologi akan menjadi dasar berperilaku dan
penyemangat kehidupan seseorang. Maka dibutuhkan
konsep teologi yang tidak hanya teosentris, namun juga
antroposentris. Hasan Hanafi mencoba menafsirkan
kembali dalil-dalil teologi dalam al-Qur’an dan Sunnah,
dengan metode pemikiran dialektika, fenomenologi,
dan hermeneutik. Dalil-dalil teologi tidak lagi
dipergunakan Hasan Hanafi untuk membuktikan ke-
Maha-an dan kesucian Tuhan, namun digunakan
sebagai tuntutan kepada manusia untuk dapat
mengamalkan konsep dari dalil-dalil tersebut dalam
kehidupan nyata. Konsep antroposentris inilah yang
ditekankan oleh para teolog di era kontemporer seperti
Muhammad Abduh, M. Iqbal, Fazlur Rahman, Murtadha
Mutahhari dan lain- lain. Rekonstruksi Teologi Hasan
Hanafi dari teosentris ke antroposentris yang
diejawentahkan dalam gerakan “Kiri Islam”, telah
menginspirasi banyak orang untuk memikirkan kembali
pemikiran teologi yang mempunyai kontribusi positif
dalam perilaku kehidupan umat Islam.
Kata kunci: Teologi, teosentris, antroposentris

Pendahuluan
Teologi berhubungan erat dengan sikap dan perilaku
orang-orang meyakininya. Karena konsep teologi yang
diyakini oleh seseorang akan menjadi dasar dalam menjalani
kehidupannya. Seperti misalnya kaum Jabariyyah (fatalism)
yang meyakini bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan
untuk menghasilkan suatu perbuatan tertentu, membuat tingkah
laku mereka dalam keseharian lebih banyak mengandalkan
tawakkal dan menyedikitkan untuk ikhtiyar. Teologi Islam yang
dianut oleh mayoritas umat Islam saat ini menurut Hassan
Hanafi belum bisa mengantarkan umat Islam kepada
keyakinan atau

2 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015


Riza Zahriyal Falah dan Irzum
Farihah
pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud
spiritual lainnya, tetapi baru pada tahap mendekati keyakinan. 1
Selain itu menurutnya, konsep-konsep teologi yang dianut umat
Islam saat ini lebih berisi konsep-konsep yang melangit dan ide-
ide kosong, bukan ide-ide konkret yang bisa membangkitkan
dan menuntun umat untuk menjalani kehidupan nyata dan
seakan konsep-konsep tersebut seperti asing bagi dirinya
sendiri dan orang banyak.2
Kenyataannya, konsep-konsep teologi yang berkembang
hanya digunakan untuk mempertahankan dogma-dogma
yang bersifat teosentris daripada mendiskusikan masalah-
masalah yang berkaitan dengan kehidupan individu dan sosial
manusia yang bersifat antroposentris. Kalau melihat kembali
kepada sejarah masa lalu, dan bisa jadi juga terjadi pada saat
ini, pemikiran teologi kerap dijadikan persembahan kepada
penguasa untuk melanggengkan kekuasaan sehingga tidak
jarang terjadi pemaksaan dan pertumpahan darah dalam
perjalanannya. Padahal seharusnya pemikiran teologi bisa menjadi
konsep-konsep yang membebaskan manusia dan menjadi dasar
utama motivasi manusia kearah kemandirian, kesadaran dan
kemajuan.

Sekilas Biografi Hassan Hanafi


Hassan Hanafi lahir di kota Kairo, Mesir pada tahun
13 Februari 1935, berdarah Maroko. Kakeknya berasal dari
Maroko dan neneknya dari kabilah Bani Mur yang diantaranya
menurunkan Bani Gamal Abdul Nasser, presiden Mesir kedua.
pada saat berusia 5 tahun, Hassan Hanafi sudah hafal Al-
Qur’an.3
Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun
1948, kemudian di Madrasah Tsanawiiyah Khalil Agha, Kairo,
selesai tahun 1952. Selama di Tsanawiyah, Hanafi sudah aktif

A. Khudori Sholeh, Filsafat Islam (Sleman: Ar-Ruzz Media,


1

20014), hlm. 63.


2
Hassan Hanafi, Agama, Ideologi, dan Pembangunan (Jakarta:
P3M, 1991), hlm. 408-409.
3
Achmad Baidlowi, “Tafsir Tematik Menurut Hassan Hanafi”,
dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 10, No. 1,
Januari 2009 (Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga), hlm. 38.

Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 20


3
Pemikiran Teologi Hassan Hanafi

mengikuti disskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin,


sehingga dia paham tentang pemikiran yang dikembangkan dan
aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan oleh organisasi tersebut.
Selain itu ia juga mempelajari pemikiran-pemikiran sayyid
Quthb (1906-1966) tentang keadilan sosial dan keislaman.
Hanafi memperoleh gelar sarjana mudanya dari Universitas
Kairo, Jurusan Filsafat Fakultas Adab tahun 1956. Kemudian ia
melanjutkan ke Universitas Sorbonne Perancis dengan konsentrasi
kajian pemikiran Barat modern dan pra-modern.
Selama di Perancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin
ilmu. Ia juga mendalami beberapa metode berfikir, mulai dari
pemikiran fenomenologi Husserl (1859-1938) yang mengakui
kebenaran empiris, kebenaran teoritis (akal) dan kebenaran
nilai. Kemudian ia juga mendalami pemikiran pembaruan dan
sejarah filsafat Jean Guitton (1901-1999), sampai analisis
kesadaran Paul Ricouer (1913-2005), pemikiran Louis
Massignon (1883- 1962) dalam bidang pembaruan.4 Perjalanan
Ilmiah Hanafi selama di Perancis berlangsung selama kurang
lebih 10 tahun yang membuatnya memiliki kesan abadi pada
perkembangan intelektualnya yang membuatnya berucap “ituah
barat yang aku pelajari, aku cintai, aku kritik dan akhirnya aku
benci.5 Namun, walaupun dikemudian hari ia mengkritik dan
bahkan menolak barat, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ide-
ide liberalisme barat, demokratisasi, rasionalisme, dan
pencerahannya telah merasuk dan mempengaruhi pemikiran-
pemikiran hanafi. Pada tahun 1966 ia berhasil menyelesaikan
program Master dan Doktoralnya.
Karier Hanafi di dunia intelektual dimulai pada tahun
1967 ketika diangkat menjadi Lektor, kemudian Lektor Kepala
(1973), Profesor filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas
Kairo serta diserahi jabatan sebagai ketua Jurusan Filsafat pada
universitas yang sama. Selain itu, ia juga aktif dibeberapa negara
dan perguruan tinggi internasional sebagai dosen tamu, seperti

4
A. Khudori Sholeh, Filsafat Islam. hlm. 65.
5
M. Ridlwan hanbali,“Hassan Hanafi: dari Islam Kiri, Revitalisasi
Turats hingga Oksidentalisme” dalam M. Aunul Abied (ed). Islam Garda
Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001),
hlm. 218.

20 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015


4
Riza Zahriyal Falah dan Irzum
Farihah
di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia
AS (1971-1975) Universitas Kuwait (1979), dan Universitas Fez
Maroko (1982-1984). Selanjutnya diangkat sebagai guru besar
pada Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab
(1985) dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di
Jepang (1985-1987).6 Di samping menggeluti dunia akademik,
Hanafi juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan, seperti
Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir sebagai sekretaris umum,
anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, dan wakil presiden
Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di
dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981, ia memprakarsai sekaligus
menjadi pimpinan redaksi Jurnal Ilmiah al-Yasar al-Islami (Kiri
Islam). Pemikirannya dalam jurnal tersebut memancing reaksi
keras dari penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat (1918-1981),
sehingga menyeret Hanafi mendekam dalam penjara. Sejak saat
itu, jurnal al-Yasar al-Islami tidak pernah terbit lagi. Namun
pemikiran al-Yasar al-Islami tidak pernah hilang dikalangan
umat Islam, bahkan menjadi kajian yang menarik dan layak
untuk diteliti dan dikembangkan.
Seperti yang telah diungkap di atas, meskipun Hanafi
menolak dan mengkritik Barat, namun ide-ide Barat telah
mempengaruhi pemikirannya. Oleh karena itu Kazuo Shimogaki
dalam bukunya ”Kiri Islam” mengatakan bahwa Hanafi adalah
seorang modernis-liberal, seperti Luthfi Asy-Sayyid, Taha
Husain, dan Al-Aqqad.7 Salah satu keprihatinan Hanafi adalah
bagaimana melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat
dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh.
Hanafi melihat umat Islam pada masa itu berada dalam
ketidakbebasan, keprihatinan dan berada dalam bayang-bayang
negara Barat.
Ada faktor internal dan eksternal yang menyebabkan
umat Islam berada dalam situasi seperti itu.8 Faktor internal

Keberangkatan Hanafi ke Amerika sebagai dosen tamu


6

dikarenakan perselisihannya dengan Anwar Saddat yang memaksanya


meninggalkan Mesir. AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam
(Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 16.
7
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul
Maula (Yogyakarta: LkiS, 2012), hlm. 5.
8
A. Khudori Sholeh, “Mencermati Hermeunetika Humanistik

Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 20


5
Pemikiran Teologi Hassan Hanafi

yang pertama adalah dari sisi metode tafsir, disebabkan adanya


metode interpretasi yang lebih banyak bersifat tekstual,
terutama oleh kaum Hambali seperti banyak terjadi di Mesir
pada saat itu. Meskipun Al-Qur’an menyangkut yang nyata,
metafor, fenomena dan interpretasi, muhkam dan mutasyabihat
dan seterusnya, kaum Hambali hanya mengambil satu sisi saja
dari aspek kitab suci tersebut dan tidak mendialogkan teks
dengan teks atau teks dengan realitas, sehingga hanya mengarah
kepada pendalaman eksistensi teks, bukan esensinya.9 Kedua
sisi pemikiran, bahwa rasionalitas tidak digunakan pada posisi
netral, kritis dan digunakan sebagai sarana dialog, melainkan
digunakan pada posisi kontradiktif, perselisihan dan justifikasi,
sehingga tidak memberikan kemajuan, penemuan baru dan
kedewasaan berfikir bagi masyarakat Islam. Ketiga sisi Teologi
yang dianut umat Islam cenderung bersifat deterministik,
sentralistik dan otoriter, sehingga memunculkan ide tentang
penguasa tunggal, penyelamat agung dan ketundukan pada
penguasa. Sehingga tidak jarang konsep- konsep teologi yang
ada malah dimanfaatkan oleh penguasa untuk melegalisasi
kezaliman dan kesewenang-wenangan dengan atas nama Tuhan
dan pelayan umat (khadim al-umat). Selain itu, konsep-konsep
teologi terlalu teosentris, tidak berkaitan dengan problem
kemanusiaan, sehingga tidak memberi kontribusi yang positif
bagi kehidupan umat Islam. Keempat sisi sosial budaya,
masyarakat muslim kebanyakan dalam kondisi terbelakang,
tertindas dan jauh dari kemajuan peradaban. Hal ini memang
tidak bisa dipungkiri, tidak hanya umat Islam di Afrika saja,
tetapi juga hampir seluruh umat Islam di dunia berada dalam
situasi seperti ini. Sedangkan faktor eksternal adalah dari luar

Hassan Hanafi”, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis,


Vol. 11, No. 1, Januari 2010 (Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga), hlm. 44.
9
Kritik terhadap metode penafsiran klasik juga dilakukan oleh
beberapa pembaharu seperti Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman.
Keduanya menginginkan penafsiran atas teks Al-Qur’an haruslah
berorientasi pada tindakan positif dan sesuai dengan kebutuhan nyata
umat Islam dalam kehidupan praktis, sehingga bisa membawa umat Islam
kepada kemajuan bukan keterkungkungan. Ahmad Amir Aziz, Pembaruan
Teologi: Perspektif Modernisme Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme
Fazlur Rahman (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 71-72.

20 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015


6
Riza Zahriyal Falah dan Irzum
Farihah
dunia Islam berupa ancaman kolonialisme, imperialisme,
zionisme dan kapitalisme dari barat. Hanafi mengingatkan
bahwa ancaman Barat yang paling penting bukan dari sisi
ekonomi atau politik, tetapi dari sisi kultural. Imperialisme,
kolonialisme dan kapitalisme pada akhirnya menghancurkan
kebudayaan asli umat Islam, sehingga umat Islam akan
kehilangan jati diri dan kebudayaannya sendiri.10
Memperhatikan kondisi umat Islam dan pengaruh Barat
yang semakin tidak terbendung, Hanafi mengusulkan gerakan
yang revolusioner, ”Kiri Islam” (al-Yasar al-Islami) dengan tiga
pilar pokok dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam,
revolusi Islam (revolusi tauhid) dan kesatuaan umat, yaitu
pertama revitalisasi khazanah Islam klasik. Hanafi menekankan
perlunya rasionalisme dalam revitalisasi ini. Rasionalisme
merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan
muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam duni
Islam. Kedua adalah perlunya menentang peradaban barat.
Seperti disebutkan di atas, Hanafi mengingatkan pembacanya
akan bahayanya kebudayaan barat yang hegemoninya bisa
menghilangkan kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia, tidak
terkecuali kebudayaan umat Islam. Sebagai langkah ini, ia
mengusulkan “oksidentalisme” sebagai lawan dari “orientalisme”
untuk mengakhiri mitos peradaban barat. Ketiga adalah analisis
atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik
metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan
mengabaikan realitas. Ia mengusulkan metode tertentu, agar
realitas dunia Islam bisa berbicara bagi dirinya sendiri.11
Ancaman kapitalisme, imperialisme, dan zionisme barat yang terus
membayang-bayangi, bahkan sudah mencengkeram kuat di dunia
Islam sehingga memunculkan kemiskinan, ketertindasan,
keterbelakangan dikalangan umat Islam, membutuhkan
perhatian serius agar umat Islam bisa bangkit kembali seperti
terdapat dalam lintasan sejarah, dimana umat Islam menjadi
pusat peradaban dunia.

Metode Pemikiran Hassan Hanafi


Semua umat Islam percaya bahwa ajaran Islam adalah

10
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam............hlm. 15.
11
Ibid., hlm. 9.

Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 20


7
Pemikiran Teologi Hassan Hanafi

suatu norma yang dapat diadaptasi oleh bangsa apa saja dan
dalam waktu yang kapan saja (sholikh likulli zaman wa makan).
Ajaran Islam itu bersifat universal dan tidak bertentangan
dengan rasio. Semua muslim harus selalu membangun
peradaban dengan kepercayaan itu dan harus selalu bertumpu
pada pesan-pesan abadi.12 Persoalannya, bagaimana kita mesti
mendekati dan mengkaji aspek-aspek peradaban, kesejarahan,
politik, ekonomi, dan sosial dunia Islam yang dibangu di atas
universalitas itu?.
Ajaran inti Islam adalah tauhid. Tauhid adalah basis
Islam. Hanafi beranggapan, untuk membangun kembali peradaban
Islam tidak bisa tidak dengan membangun kembali semangat
tauhid itu.13 Tauhid adalah pandangan dunia, asal seluruh
pengetahuan.14 Oleh karena itu kita harus mengkaji konsep
tauhid dan kita akan melihat bagaimana pandangan dunia tauhid
itu berfungsi untuk membangun dunia Islam. Kita berupaya
menemukan bahwa tauhid adalah pemikiran yang seluruhnya
mempunyai kaitan yang erat. Hanafi menegaskan bahwa
membangkitkan semangat tauhid merupakan suatu keharusan.
Tauhid di sini bukanlah pernyataan “keesaan Tuhan”
sebagaimana dipahami umat Islam sebagai antitesis dari konsep
Trinitas dalam agama Kristen.
Hasan Hanafi mengajukan konsep baru tentang konsep
teologi Islam yang ilmiah dan membumi sebagai alternatif atas
kritiknya bahwa teologi tidak ilmiah dan melangit. Tujuannya
sudah barang tentu untuk menjadikan teologi tidak sekadar
sebagai dogma keagamaan yang kosong tanpa makna, tetapi
menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan
keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan
12
Mungkin timbul pertanyaan “mengapa peradaban Islam menjadi
lemah dibandingkan peradaban Barat?, padahal Islam percaya dengan
konsep ajaran universal”. Al-Afghani mencoba menjawab pertanyaan ini
“Kristen berkembang pesat karena gereja berkembang di dalam tembok
imperium Romawi dan bekerja sama dengan penyembah berhala. Umat
Islam lemah karena kebenaran Islam telah dibusukkan oleh kesalahan-
kesalahan turun temurun. Kristen kuat karena mereka tidak sungguh-
sungguh Kristen, Islam lemah karena mereka tidak sungguh-sungguh
Islam. Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (London:
Cambridge Unniversity, 1986), hlm. 129)
13
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam. hlm. 18.
14
Murtadha Mutahhari, Fundamentalis of Islamic Thought

20 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015


8
Riza Zahriyal Falah dan Irzum
(Berkeley: Mizan, 1985), hlm. 67. Farihah

Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 20


9
Pemikiran Teologi Hassan Hanafi

motivasi tindakan manusia. Karena itu gagasan Hanafi berkaitan


dengan teologi adalah berusaha untuk mentranformasikan
teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris,
dari Tuhan di langit kepada manusia di bumi, dari tekstual ke
kontekstual, dari teori kepada tindakan, dari takdir terkungkung
kepada takdir kebebasan. Pemikiran ini setidaknya didasari oleh
dua alasan, pertama kebutuhan adanya sebuah ideologi dan
teologi yang jelas dan konkrit ditengah pertarungan ideologi-
ideologi global. Perlunya bangunan teologi yang bukan hanya
bersifat teoritik, namun juga praktis yang bisa melahirkan
gerakan dalam sejarah.15
Hanafi menawarkan dua teori yang ia gunakan untuk
mengatasi kekurangan teologi klasik yang bersifat teosentris. 16
Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi
klasik adalah warisan umat Islam terdahulu yang seolah-olah
menjadi doktrin yang khas yang sudah paten dan tidak bisa
diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi
sebenarnya tidak hanya mengarah kepada yang transenden dan
gaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode
keilmuan, yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan
imamah, atau yang historis seperti nubuwah dan juga yang
metafisis seperti Tuhan dan akhirat. Kedua, analisa realitas sosial.
Analisis ini diperlukan untuk mengetahui latar belakang historis-
sosiologis munculnya teologi di masa lalu dan bagaimana
pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau penganutya.
Selanjutnya analisa realitas sosial digunakan untuk menentukan
arah dan orientasi teologi kontemporer.
Untuk melandingkan dua tawarannya tersebut, Hanafi
menggunakan tiga metode berfikir, dialektika, fenomenologi,
dan hermeunetik.17 Dialektika adalah metode pemikiran yang
didasarkan pada asumsi bahwa proses perkembangan sejarah
terjadi lewat konfrontasi dialektis saat tesis melahirkan antitesis
dan selanjutnya melahirkan sintesis. Fenomenologi merupakan
gagasan Husserl (1859-1938) yang merupakan metode berfikir

15
AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam........hlm. 50.
16
Hassan Hanafi, Agama, Ideologi, dan Pembangunan........hlm.
408-409.
17
A. Khudori Sholeh, Filsafat Islam.......hlm. 67.

21 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015


0
Riza Zahriyal Falah dan Irzum
Farihah
untuk mencari hakikat sebuah fenomena atau realitas. Hakikat
fenomena dapat dicapai menurut Husserl melalui tiga tahap
reduksi, pertama reduksi fenomenologis, yaitu suatu objek
dipandang apa adanya tanpa ada prasangka. Kedua reduksi
eidetik, yaitu menyaring segala sesuatu yang bukan menjadi
hakikat objek, untuk mencari dan mengenal fundamental struktur
dari objek. Ketiga reduksi transendental, yaitu kesadaran murni,
agar dengan objek tersebut seseorang bisa mencapai dirinya sendiri
atau bagaimana ide atau gagasan tentang objek tersebut bisa
dilaksanakan dalam upaya untuk kebaikan dan kesempurnaan
hidup subjek.18 Hanafi menggunakan fenomenologi untuk
menganalisis, memahami, dan memetakan realitas-realitas
sosial, politik, ekonomi, realitas dunia Islam, dan relitas
tantangan barat yang diatasnya dibangun sebuah revolusi.
Sebagaimana kata- katanya “sebagai bagian dari gerakan Islam
di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan
fenomenologi untuk menganalisis Islam di Mesir”.19 Dengan
metode ini, Hanafi ingin realitas Islam berbicara sendiri
mengenai kondisi mereka, Islam adalah Islam yang harus dilihat
dari kacamata Islam, bukan kacamata barat.
Hermeneutik merupakan sebuah cara penafsiran terhadap
teks atau simbol yang mensyaratkan adanya kemampuan untuk
menafsirkan kondisi masa lalu yang tidak dialami kemudian
dibawa pada masa sekarang. Aktifitas penafsirannya terdiri
dari tiga segi yang saling berhubungan, teks, perantara/penafsir
dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan
hermeneutik harus mampu menangkap pesan-pesan yang terdapat
dalam teks dan mengenal lingkungan dan masyarakatnya.20
Hanafi menggunakan metode hermeneutik untuk membumikan
gagasan teologinya yang bersifat antroposentris, dari teks ke
konteks, dari langit ke bumi, dan dari teori ke praktek.
Pada tataran ini, Hanafi menggunakan metodologi
yang lahir dari internal Islam, seperti metodologi ‘aql dan naql.

Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat (Yogyakarta:


18

Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 97-104.


19
AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam........hlm. 22.
20
Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), hlm. 31.

Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 21


1
Pemikiran Teologi Hassan Hanafi

Selanjutnya, dalam rangka membangun kebebasan, Hanafi lebih


banyak menggunakan rasionalisme Mu’tazilah daripada teori
kasb Asy’ariyah dan Jabariyah. Begitu pula ia menggunakan
ushul fiqh dalam mencari sebab-musabab sebuah hukum. Dari
sela-sela ilmu ushul fiqh ini, Hanafi mengetahui masa lampau,
masa kini dan masa depan kaum muslimin. Dari sinilah ia
mengeksplorasi triangle teori kesadaran: (1) kesadaran historis
untuk mengetahui validitas teks-teks historis melalui metode-
metode transmisi,
(2) kesadaran spekulatif untuk menginterpretasi teks-teks
dan memahaminya melalui analisis bahasa, dan (3) kesadaran
praksis untuk signifikansi nilai-nilai dalam kehidupan praksis.
Konsekuensinya, adalah bahwa wahyu ditransformasikan ke
dalam sistem-sistem ideal dunia dari celah-celah usaha dan
tindakan manusia, tauhid akan disempurnakan sebagai praksis
pada akhir tindakan, bukan dipermulaan, dan Tuhan lebih
dekat pada proses “menjadi” daripada realitas “statis”. Dengan
demikian, Hanafi banyak memakai teori klasik yang berkembang
dalam tradisi Islam, tentunya dengan kritisisme yang ketat.

Pandangan Tauhid Hassan Hanafi


Teologi sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, bukan
hanya membicarakan masalah keesaan Tuhan, namun juga
membahas kondisi sosial umat Islam. Karena Islam adalah
ajaran universal. Maka teologi juga harus bersifat universal,
dalam artian, pembahasannya tidak hanya tentang Tuhan,
namun juga terkait aspek-aspek Islam yang lain yang mencakup
bidang- bidang keduniawian dan mental. Dengan demikian, apa
yang harus di analisa kembali adalah bagaimana Tauhid
berfungsi di dalam pemikiran muslim, di dalam lembaga-
lembaga sosial politik Islam, dan di dalam peradaban. Dalam
bahasa Murtadha Mutahhari hal ini disebut sebagai “pandangan
dunia Tauhid”.21 Dalam pandangan dunia Tauhid, alam bersifat
unipolar dan unaxial. Pandangan dunia Tauhid berarti bahwa
hakikat alam semesta ini berasal dari Allah (Inna lillahi) dan
akan kembali kepadaNya (Inna ilaihi raji’un).
Apa yang dapat dideduksikan dari pandangan dunia ini

21
Murtadha Mutahhari, Fundamentalis of Islamic Thought....
hlm. 74.

21 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015


2
Riza Zahriyal Falah dan Irzum
Farihah
adalah bahwa ada dualisme yang membagi dunia ini pada materi
dan ruh. Akhirnya segala sesuatu akan kembali kepada Tuhan
“kita milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali” (Qs. Al-
Baqarah: 156). Disinilah kita lihat bahwa tidak ada superioritas
manusia kepada makhluk lain di dunia. Bagi muslim hubungan
antara Tuhan dan dunia adalah hubungan antara pencipta dan
yang diciptakan. Jadi hubungan sebab dan akibat penciptaan,
bukan seperti hubungan sinar dan lampu atau kesadaran
manusia terhadap manusia.22 Dalam Tauhid secara logis, dapat
ditarik pengertian bahwa penciptaan Tuhan adalah esa. Ia
menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna
kulit, kelas, garis keturunan, kekayaan dan kekuasaan. Ia
menempatkan manusia dalam kesamaan. Ia juga menyatukan
antara manusia dan alam yang melengkapi penciptaan Tuhan.
Keesaan Tuhan berarti keesaan kehidupan, yakni tidak ada
pemisahan antara keduniawian dan keagamaan.
Sesuai dengan konsep hermeneutikanya bahwa hasil
interpretasi harus bersifat aplikatif dan harus mampu menjawab
problem kemanusiaan, maka Hanafi berusaha menarik gagasan-
gagasan sentral al-Qur’an yang selama ini banyak dipahami dan
diposisikan di atas untuk diturunkan ke bawah atau bersifat
antroposentris. Term-term sakral yang umunya berkaitan dengan
ketuhanan, yang sebelumnya dimaknai dengan sesuatu yang
bertujuan menunjukkan dan menjaga kesucian, kebesaran serta
kekuasaan-Nya, ditarik dan dibumikan menjadi sebuah term
material duniawi. Karena itu, apa yang dimaksud Tauhid bukan
lagi konsep yang menegaskan tentang eksistensi dan keesaan
Tuhan yang bersifat monotheis, politheis, pantheis, deist, dan lain-
lain, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh
dari perilaku dualistik seperti opportunis, hipokrit, munafik dan
perilaku-perilaku madzmum yang lain. Semua deskripsi tentang
Tuhan dan sifat-sifat-Nya sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an
dan Sunnah, sebenarnya lebih mengarah kepada pembentukan
manusia yang bai, manusia ideal, insan kamil. Menurut Hanafi,
bahwa kalimat la ilaha illallaah, mencakup dua hal. Pertama,
negasi yang terdapat dalam kalimat la ilaha. Kedua, afirmasi
yang terdapat dalam kalimat illallah. Kalimat tauhid
mengandung

22
Ibid, hlm. 85.

Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 21


3
Pemikiran Teologi Hassan Hanafi

dua tindakan: tindakan negatif, yaitu menegasikan segala


bentuk ketuhanan, dan tindakan positif, yaitu menempatkan
perasaan dan kesadaran sebagai contoh ideal dan paripurna.
Perasaan manusia melalui tindakan negatif akan terbebas dari
segala bentuk hegemoni, penindasan, dan penghambaan kepada
makhluk (segala sesuatu yang bersifat temporer). Sedangkan
dengan tindakan positif manusia akan menjadi contoh ideal dan
memproklamirkan kesetiaannya terhadap prinsip sempurna,
yang menempatkan seluruh kelompok manusia pada derajat
yang sama. Tindakan ini membebaskan manusia untuk berkreasi
dan mengembangkan diri. Tindakan yang pertama
membebaskan manusia dari subordinasi penguasa, sedangkan
tindakan kedua menjadikan manusia sebagai pelaku tatanan
nilai baru dan mengikat manusia dengan prinsip universal. 23
Dengan kata lain, tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa
diskriminasi ras, tanpa perbedaan apa pun.
Apa yang dimaksud Tauhid menurut Hanafi bukanlah
merupakan sifat dari Zat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar
konsepsi kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi
sebaliknya justru lebih mengarah kepada tindakan konkrit,
baik dari sisi penafian maupun penetapan.24 Sebab, apa yang
dikehendakidarikonsepTauhid tersebuttidakakanbisadimengerti
dan tidak akan bisa dipahami kecuali dengan ditampakkan.
Jadi konsep Tauhid tidak akan mempunyai makna tanpa
direalisasikan dalam kehidupan konkrit. Perealisasian “penafian”
adalah menghilangkan Tuhan-Tuhan modern yang menggerogoti
umat Islam dan menimbulkan kerugian dikalangan umat Islam
sendiri. Tuhan-Tuhan seperti ideologi, gagasan, kebudayaan dan
pengetahuan yang menjadikan manusia terkotak-kotak, dan
tidak bisa hidup tanpanya, yang kemudian menjadikan manusia
terkungkung, harus ditinggalkan. Realisasi dari “penetapan”
adalah dengan menetapkan suatu konsep ideologi tertentu yang
bisa menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu
Tuhan-Tuhan modern tersebut.25 Sehingga bisa diambil sebuah
23
Hassan Hanafi, Islamologi 1: Dari Teologi Statis ke Anarkis, terj.
Miftah Faqih (Cet. I; Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2003), hlm. xxii.
24
Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tzaurah (Kairo: Madbuli, 1991),
hlm. 324.
25
Sedikit berbeda dengan Hanafi, Murtadha Mutahhari juga

21 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015


4
Riza Zahriyal Falah dan Irzum
Farihah
kesimpulan, bahwa dalam konteks kemanusiaan yang lebih
konkrit, Tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat
tanpa kelas, ras, dan warna kulit. Distingsi kelas bertentangan
dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid
berarti kesatuan manusia tanpa diskriminasi ras, tanpa pembedaan
ekonomi, tanpa pembedaan masyarakat maju dan berkembang,
Barat dan bukan Barat, dan seterusnya.26
Hanafi menilai, bahwa orang-orang terdahulu secara
keliru memandang tema pokok ilmu ini adalah Zat Tuhan.
Padahal sesungguhnya Zat Tuhan itu tidak mungkin dijadikan
tema pokok keilmuan. Zat Tuhan tidak pernah menjadi objek
kajian ilmu. Rumusan bahwa “tema pokok ilmu ini adalah Zat
Tuhan” di dalamnya mengandung suatu kontradiksi. Sebab
Allah itu Zat Yang Maha Mutlak, sedangkan ilmu berdasarkan
karakteristik, metodologi, dan tujuannya mengubah sesuatu
yang mutlak menjadi relatif. Ilmu menempatkan fenomena
umum dalam fenomena khusus yang terikat oleh ruang dan
waktu. Sifat kemutlakan Tuhan ini sering terkubur di bawah
eksistensi manusia yang relatif. Jadi, sekali lagi menurut Hanafi,
Tuhan bukanlah sebuah tema pokok ilmu pengetahuan, bukan
objek pembahasan, bukan sesuatu yang perlu dipahami,
dibenarkan atau diungkapkan, melainkan sesuatu yang
menggerakkan perbuatan dan membangkitkan aktifitas, tujuan
sebuah orientasi, dan puncak dari segala pengejawantahan.
Tuhan, lanjut Hanafi, adalah kekuatan aktual pada diri manusia,
yang menyebabkan ia hidup, berperilaku, bertindak,
mengindera, merasa, berimajinasi, dan juga menerima berbagai
stimulus. Tuhan adalah sebuah daya yang mungkin dapat
diwujudkan melalui kesungguhan usaha manusia. Tuhan
bukanlah sebuah pemaparan, melainkan tindakan. Tuhan bukan
logos, tetapi sebuah praksis. Deskripsi Tuhan tentang Zat-Nya
sendiri memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran
dirinya sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui
dengan melalui perasaan diri (self feeling).

berpendapat bahwa Tauhid tidak akan mempunyai makna kalau


tidak diwujudkan dalam aksi yang konkrit dan bermanfaat, namun ia
mengkaitkan aksi ini dengan ritual ibadah. Lihat Murtadha Mutahhari,
Allah dalam Kehidupan Manusia (Bandung: Yayasan Mutahhari, 1992),
hlm. 7.
26
Hanafi, Min al-Aqidah...hlm. 330.

Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 21


5
Pemikiran Teologi Hassan Hanafi

Penyebutan Tuhan tentang dza-Nya sendiri, sama persis dengan


cogito yang ada dalam diri manusia yang berarti menunjukkan
tentang keberadaannya. Itulah sebabnya, deskripsi pertama dalam
aushaf (sifat-sifat) Tuhan adalah wujud (keberadaan). Adapun
deksrip-Nya tentang sifat-sifat-Nya, berarti ajaran tentang
kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang
lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai
persepsi dan ekspresi teori-teori lainnya. Akhirnya jika Zat
mengacu kepada cogito dan sifat mengacu kepada cogitotum,
keduanya akan menjadi pelajaran langsung dari Tuhan kepada
umat manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar
akan kondisi lingkungannya.27 Rekonstruksi Tauhid ini digagas
Hanafi agar Tauhid yang dijadikan pedoman oleh umat Islam
tidak cenderung metafisis, namun juga lebih berorientasi pada
realitas empirik manusia. Karena bagi Hanafi, Tuhan dalam
istilah Islam bukan hanya Tuhan langit, namun juga Tuhan bumi,
sehingga berjuang membela dan mempertahankan tanah kaum
muslimin dari penjajah atau penguasa dzalim misalnya, adalah
sama persis dengan membela dan mempertahankan kekuasaan
Tuhan. Selanjutnya akan dibahas masalah sifat Tuhan menurut
Hanafi.
Pertama adalah Wujud. Menurut Hanafi, konsep wujud
Tuhan tidak menjelaskan wujud Tuhan, ke-Maha-an dan
kesucian Tuhan sebagaimana ditafsirkan oleh para teolog. Tuhan
tidak butuh pensucian maupun pengakuan manusia. Karena
tanpa yang lainpun Tuhan tetaplah Tuhan yang Maha suci
dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Wujud adalah tuntutan
kepada manusia untuk bisa menunjukkan eksistensi dirinya.28
Menunjukkan eksistensi dalam perilaku positif sudah
mempunyai dalil yang jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah, seperti
hadist Rasulullah yang masyhur “sebaik-sebaik manusia adalah
yang bermanfaat bagi manusia lain”. Salah satu cara
menunjukkan eksistensi diri seperti tergambar dalam hadist
tersebut adalah dengan saling
27
Ibid,. Hlm. 600.
28
Ibid,. Hlm. 600. Seperti yang dikatakan oleh Sir Muhammad
iqbal dalam syair fenomenalnya “kematian bukanlah ketiadaan
nyawa, akan tetapi kematian adalah ketidakmampuan manusia untuk
menunjukkan eksistensi dirinya”. M. Iqbal, Javid Namah, terj. Sadikin
(Jakarta: Panjimas, 1987), hlm. 8.

21 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015


6
Riza Zahriyal Falah dan Irzum
Farihah
tolong-menolong, gotong-royong, penuh kepedulian kepada
orang lain. Sehingga memberi efek positif dalam kehidupan
sosial masyarakat.
Kedua qidam (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan
yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia di dalam
sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan
kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa
depan, sehingga bisa menghindarkan diri dari kesalahan taqlid,
kesesatan dan kesalahan berifikir. Melihat kesejarahan umat
Islam, adalah penting dilakukan. Karena umat Islam pernah
menjadi pusat peradaban, pengetahuan dan kebudayaan
dunia. Dengan menguasai 1/3 wilayah dunia, uamt Islam layak
disandingkan dengan imperium Romawi, imperium Mongol,
imperium Macedonia (di masa Alexander the Great) dan juga
imperium Persia. Islam yang bisa dikatakan “anak kemarin sore”
pada masa itu, sudah mengalami kemajuan yang luar biasa, jauh
melampaui bangsa Barat pada masa itu yang masih berada
dalam kondisi jahiliyyah atau terkenal dengan the Dark Age.
Ketiga Baqa berarti kekal/abadi (immortal), pengalaman
kemanusiaan yang merupakan lawan dari sifat fana/rusak.
Berarti tuntutan kepada manusia untuk tidak cepat rusak, yang
dilakukan dengan cara melakukan tindakan-tindakan yang
positif, konstruktif, dan progressif, baik dalam perbuatan maupun
pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa merusak
keseimbangan alam dan manusia. Menjaga kelestarian alam
merupakan salah satu tugas manusia di muka bumi sebagai
wakil Tuhan (khalifatullah). Maka dari itu tidak dibenarkan
perbuatan merusak, eksploitasi, destruktif dan lain-lain terhadap
alam.29 Begitupun dengan hubungannya kepada manusia lain.
Manusia dituntut untuk meninggalkan karya-karya yang
monumental yang bisa membuat namanya tetap abadi
Keempat dan kelima Mukhalafatu li al-hawadist

Salah satu perintah menjaga alam Sebagaimana Hadist


29

Rasulullah dalam Musnad Imam Ahmad “jika hari kiamat telah datang
sedang di tangan salah satu diantara kalian terdapat bibit pohon kurma,
maka jika dia tidak mampu berdiri untuk menanamnya, maka lakukanlah.
HR. Imam Ahmad. Musnad Imam Ahmad bab Musnad Anas bi Malik r.a.
Hadist no.12512. Maktabah Syamilah.

Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 21


7
Pemikiran Teologi Hassan Hanafi

(berbeda dengan yang lain) dan qiyam binafsihi (berdiri


sendiri). Keduanya merupakan tuntutan kepada manusia agar
menunjukkan eksistensi dirinya secara mandiri tanpa bergantung
kepada orang lain, dan tuntutan meninggalkan taklid buta pada
pemikiran dan budaya orang lain.30 Konsep ini diajukan Hanafi
salah satunya adalah untuk membendung ekspansi Barat dalam
setiap lini kehidupan umat Islam, dan juga untuk memunculkan
kemandirian dikalangan umat Islam. Proses qiyam binafsihi
tentu memerlukan perencanaan yang matang dan penuh
kesadaran. Dalam aspek pemikiran, umat Islam dituntut kritis
terhadap setiap bentuk pemikiran agar bisa menghasilkan
pengetahuan yang komprehensif dan bisa membuat karya tanpa
terus-menerus mengikuti pemikiran orang lain. Dalam konteks
kenegaraan, kiranya sudah tepat apa yang dilakukan bangsa
Indonesia dalam sikap politik luar negerinya, yaitu bebas aktif.
Bebas melakukan kerja sama dengan negara manapun tanpa
intervensi negara lain dan aktif dalam kegiatan-kegiatan
internasional. Pemikiran non-blok memang sudah seharusnya
dimiliki oleh umat Islam biar tidak terpengaruh kebudayaan lain
yang nantinya akan menghilangkan kebudayaan sendiri.
kelima wahdaniyyah (keesaan), bukan merujuk kepada
keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirik) yang
diarahkan kepada paham trinitas maupun polyteisme, akan
tetapo mengarah kepada kondisi sosial manusia. Wahdaniyyah
adalah tuntutan kepada manusia untuk tidak melakukan
praktek- praktek diskriminasi, eksploitasi tanpa batas, intimidasi
kepada manusia lain. Wahdaniyyah merupakan ajaran tentang
kesatuan manusia, kesetaraan manusia, keadilan umum dan lain-
lain. Tidak ada yang membedakan antara manusia yang satu
dengan manusia yang lain kecuali ketaqwaannya. Manusia
dituntut untuk melakukan kasih sayang, baik kepada yang seagama
maupun yang berbeda agama. Juga identitas yang diberikan para
pemikir esensi kemanusiaan karena realitasnya adalah tunggal-
unifikatif, tidak akan jatuh tergelincir di dalam lautan kolektif,
tidak tenggelam dalam lautan misteri, tidak terhapus dalam
kekacauan umum, dan tidak mungkin melihatnya karena dia
adalah kesadaran murni yang tidak terformulasi dan tidak
lahir dalam bentuk sensual.
30
Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tzaurah.....hlm. 143.

21 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015


8
Riza Zahriyal Falah dan Irzum
Farihah
Oleh karena itu, esensi religius pada hakikatnya merupakan
sampul yang menguak esensi kemanusiaan.31
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bagaimana
corak atau watak pemikiran Hanafi yang hendak membawa
dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh.
Sebagai anak zaman, Hanafi merupakan sosok pemikir yang
unik. Ia tidak dapat dikategorikan sebagai pemikir tradisional
dikarenakan ia membongkar dan mengkritik pemikiran
tradisional. Ia bukan
moderniskarenaiamengkritikmodernitasdanmenjadikanwacana
tradisional sebagai landasan pemikiran yang diproyeksikan pada
masa kini dan yang akan datang. Bahkan ia tidak termasuk
dalam kategori fundamentalis dikarenakan ia memakai analisis
intelektual dengan penekanan rasionalitas. Pemikiran Hanafi
senantiasa mempresentasikan hubungan dialektis antara subjek
diri dan yang lain dalam proses sejarah. Demikian itu adalah dalam
rangka melakukan reinterpretasi terhadap tradisi yang relevan
dengan tuntutan kontemporer. Dengan begitu dapat dikatakan
bahwa teori pengetahuan Hanafi mempunyai paradigma
kebenaran relatif dengan rasio sebagai sarana untuk mencapai
kebenaran. Untuk itu terjadi sebuah relasi kesadaran subjek
dengan realitas objektif. Realitas dipandang sebagai objek sejauh
ia dipersepsikan subjek dengan kesadaran. Jadi, terdapat relasi-
unikatif di antara subjek-objek-dan kesadaran. Di sisi lain, dapat
disaksikan bahwa Hanafi menyeru manusia untuk menelusuri
historisitas akidah dengan menggunakan nalar hingga tauhid
mempunyai ikatan dengan praksis, Allah dengan bumi, subjek
Ilahiah dengan subjek insaniah, sifat-sifat ketuhanan dengan
nilai-nilai kemanusiaan, dan kehendak Allah dengan perjalanan
sejarah. Tujuan penelusuran rasional ini bukan untuk
menyerang orang kafir dan membela akidah itu sendiri,
melainkan untuk menunjukkan bukti-bukti kebenaran internal
melalui analisis rasional terhadap pengalaman generasi masa
lalu dan cara yang ditempuh untuk mengimplementasikannya.
Langkah ini akan mampu memberikan kebenaran eksternal
hingga akidah menjadi inklusif dan diterima orang untuk
diterjemahkan dalam dunia.

31
Hassan Hanafi, Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke
Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 21
9
Pemikiran Teologi Hassan Hanafi
Antroposentrisme, terj. Miftah Faqih (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 75

22 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015


0
Riza Zahriyal Falah dan Irzum
Farihah
Simpulan
Teologi yang selama ini dipahami oleh umat Islam
menurut Hanafi, tidak membawa perubahan atau semangat
kemajuan dikalangan umat Islam. Konsep-konsep Teologi yang
ditafsirkan oleh para ahli teolog terlalu bersifat teosentris, dan
sama sekali belum menjamah aspek antroposentri. Padahal
manusia membutuhkan konsep-konsep Teologi yang bersifat
antroposentris yang bisa diaktualisasikan dalam kehidupan
empirik. Teologi merupakan dasar agama Islam, semangatnyalah
yang mendasari lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan dan semangat
keagamaan. Maka dari itu konsep Teologi harus bisa dipahami
manusia dalam kaitannya dengan perilaku kehidupan manusia,
karena Teologi yang teosentris dan melangit akan tidak
mempunyai arti apa-apa atau kosong bagi aktualisasi manusia
di muka bumi.
Pemikiran Hanafi walaupun kontroversial, bahkan
sampai menyeretnya ke dalam penjara, namun telah menginspirasi
banyak umat muslim. Peemikirannya tentang al-Yasar al-Islami
tidak menghilang begitu saja, walaupun jurnalnya hanya terbit
satu kali. Pemikirannya Hanafi membuka persepsi banya orang,
bahwa kita umat Islam bisa menandingi Barat. Peradaban Barat
yang penuh dengan doktrin imperialisme, zionisme, dan
kapitalisme harus dilawan dengan pemikiran-pemikiran yang
progresif, salah satunya adalah rekonstruksi Teologi
antroposentris. Terlepas apakah pemikiran besar Hanafi akan
bisa direalisasikan atau tidak, jelas gagasan Hanafi adalah
langkah berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan
kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya di
hadapan Barat. Walaupun, ada anggapan miring yang
menyebutkan bahwa rekonstruksi teologi yang dilakukan oleh
Hanafi dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat
spiritual-religius menjadi sekadar material- duniawi akan bisa
menggiring pada pemahaman agama menjadi hanya sebagai
agenda sosial, praktis dan fungsional, lepas dari muatan-muatan
spiritual dan transenden. Namun sangat jelas bisa ditarik
kesimpulan kalau pemikiran Hanafi dalam dunia Islam patut
untuk dijadikan kajian dan tidak bisa dianggap remeh.
Wallahua’lam

Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015 22


1
Pemikiran Teologi Hassan Hanafi

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Ahmad Amir, Pembaruan Teologi: Perspektif Modernisme


Muhammad Abduh dan Neo-Modernisme Fazlur Rahman.
Yogyakarta: Teras, 2009.
Baidlowi, Achmad, “Tafsir Tematik Menurut Hassan Hanafi”,
dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis.
Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga, Vol. 10, No. 1, Januari 2009.
Hanbali, M. Ridlwan.“Hassan Hanafi: dari Islam Kiri, Revitalisasi
Turats hingga Oksidentalisme” dalam M. Aunul Abied
(ed). Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam
Timur Tengah. Bandung: Mizan, 2001.
Hanafi, Hassan. Agama, Ideologi, dan Pembangunan. Jakarta:
P3M, 1991.
Islamologi 1: Dari Teologi Statis ke Anarkis, terj. Miftah Faqih.
Cet. I; Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2003.
----------Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme,
terj. Miftah Faqih. Yogyakarta: LKiS, 2004.
------------Min al-Aqidah ila al-Tzaurah. Kairo: Madbuli, 1991.
Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age. London:
Cambridge Unniversity, 1986.
Iqbal, M. Javid Namah, terj. Sadikin. Jakarta: Panjimas, 1987.
Murtadha, Mutahhari, Allah dalam Kehidupan Manusia
(Bandung: Yayasan Mutahhari, 1992).
-----------Fundamentalis of Islamic Thought. Berkeley: Mizan,
1985.
Ridwan, AH. Reformasi Intelektual Islam. Yogyakarta: Ittaqa
Press, 1998.
Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul
Maula. Yogyakarta: LkiS, 2012.
Sholeh, A. Khudor, Filsafat Islam. Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014.
Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 1993.

22 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015


2

Anda mungkin juga menyukai