1412-Article Text-3521-1-10-20190207

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 18

PEMIKIRAN SAYYID QUTHUB DALAM REFERENSI

GERAKAN ISLAM POLITIK

Muhammad Ishom
Dosen Fak. Syariah UIN Banten

Abstraksi
Sayyid Quthub adalah tokoh Ikhwanul Muslimin yang
pemikirannya banyak dijadikan referensi utama kelompok
Ikhwan maupun pecahannya seperti Hizbut Tahrir. Sumber
pemikiran utamanya adalah kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
Pemikiran Sayyid Quthub yang banyak dijadikan referensi
gerakan Islam politik bermuara pada 4 (empat) gagasannya
yaitu; (1) hukum Takfir, (2) tempat suci; (3) hirjah; dan (4)
periodesasi tasyri’. Sekalipun keempat gagasan itu telah banyak
direduksi oleh para penganut gerakan Islam politik.

Kata Kunci: Sayyid Quthub, Gerakan Politik Islam.

A. Latar Belakang Masalah


Di antara pemikiran tokoh-tokoh Islam yang banyak
dijadikan referensi gerakan Islam politis sekarang ini adalah
pemikiran Sayyid Quthub. Gerakan Islam politis adalah gerakan
Islam yang menjadikan tegaknya sistem politik Islam (daulah
islamiyah atau khilafah islamiyah) sebagai aspirasi dan tujuan
politik. Sangat kebetulan Sayyid Quthub adalah tokoh Ikhwanul
Muslimin yang pemikirannya banyak dijadikan referensi utama
kelompok Ikhwan maupun pecahannya seperti Hizbut Tahrir.
Sayyid Quthub sendiri sebetulnya berlatarbelakang pemikir,
intelektual, dan bukan aktivis lapangan. Di antara para ulama
kontemporer yang sangat concern terhadap penafsiran al-Qur`an
adalah Sayyid Quthub (1906-1966 M), salah seorang ulama
terkemuka di kalangan Ikhwan al-Muslimin. Terbukti dia menulis

al Qisthâs; Jurnal Hukum dan Politik 1


kitab tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân yang menjadi master-piece di
antara karya-karya lain yang dihasilkannya.
Kitab tafsir ini sangat diminati oleh kaum intelektual karena
dinilai kaya dengan pemikiaran sosial-kemasyarakan yang
mengkaji masalah-masalah sosial yang sangat digemari oleh
generasi muslim abad modern. Melalui kajian tafsir Sayyid
Quthub ini pula para aktivis Islam politik menjadikannya sebagai
sumber otoritatif untuk menyusun gagasan Islam politik.
Pemikiran Sayyid Quthub sendiri dalam penelitian
Muhammad Taufiq Barakat dapat dibagi membagi 3 (tiga) fase
pemikiran: yaitu (a) Tahap pemikiran sebelum mempunyai
orientasi Islam; (b) Tahap mempunyai orientasi Islam secara
umum; dan (c)Tahap pemikiran berorientasi Islam militan.
Dengan pendekatan ini agaknya perlu dipertimbangkan
pemilahan antar gagasan-gagasan Sayyid Quthub pada setiap fase
itu. Khususnya untuk menvalidasi kecenderungan tafsir Sayyid
Quthub pada fase pemikiran berorientasi Islam militant. Dengan
model ini dapat digarisbawahi gagasan Sayyid Quthub mana yang
benar menjadi sumber otoritatif gerakan Islam politis.
Dalam kajian ini pemikiran Sayyid Quthub dalam Tafsir-
nya dibatasi pada 4 (empat) masalah pokok, yaitu; (1) hukum
Takfir, (2) tempat suci; (3) hirjah; dan (4) periodesasi tasyri’.
Pemilihan keempat masalah ini dikarenakan alasan banyak
dijadikan dasar oleh aktivis gerakan Islam politik. Dengan
pendekatan deskriptif-analisis, tulisan ini ingin memvalidasi
pengaruh pemikiran Sayyid Quthub sebagai referensi gerakan
Islamis.
Oleh karena keunggulan inilah, penulis mencoba mengkaji
serta melihat lebih dalam tentang sosok Sayyid Quthub, salah
satu penafsir kontemporer yang telah mewarnai corak penafsiran
al-Qur`an.1

1
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi “Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Pustaka al
Kautsar, Jakarta 2007. Ha 43

2 Vol. 9 No.1 Januari-Juni 2018


B. Biografi Sayyid Quthub
Sayyid Quthub nama lengkapnya adalah Sayyid Quthub
Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada tanggal 9 Oktober
1906 M. di Desa Qaha, kota Asyuth, salah satu daerah di Mesir.
Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan
tiga perempuan.
Ayahnya bernama al-Haj Qutb Ibrahim, ia termasuk
anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola
majalah al-Liwâ`, salah satu majalah yang berkembang pada saat
itu. Quthub muda adalah seorang yang sangat pandai. Konon,
pada usianya yang relatif muda, dia telah berhasil menghafal al-
Qur`an diluar kepala pada umurnya yang ke-10 tahun. Pendidikan
dasarnya dia peroleh dari sekolah pemerintah selain yang dia
dapatkan dari sekolah Kuttab (TPA).
Pada tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan
dasarnya. Pada tahun 1921M Sayyid Qutb berangkat ke Kairo
untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Pada
masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk tinggal bersama
pamannya, Ahmad Husain Ustman yang merupakan seorang
jurnalis, pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat
keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan
jenjang perguruannya di Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga
memporelah gelar sarjana (Lc) dalam bidang sastra sekaligus
diploma pendidikan.
Dalam kesehariannya, ia bekerja sebagai tenaga pengajar di
Universitas tersebut. Selain itu, ia juga diangkat sebagai penilik
pada Kementerian Pendidkan dan Pengajaran Mesir, hingga
akhirnya ia menjabat sebagai inspektur. Sayyid Quthub bekerja
dalam Kementerian tersebut hanya beberapa tahun saja. Beliau
kemudian mengundurkan diri setelah melihat adanya ketidak
cocokan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam
bidang pendidikan karena terlalu tunduk oleh pemerintah Inggris.
Pada waktu bekerja dalam pendidikan tersebut, beliau
mendapatkan kesempatan belajar ke U.S.A untuk kuliah di
Wilson’s Teacher College dan Stanford University dan berhasil

al Qisthâs; Jurnal Hukum dan Politik 3


memperoleh gelar M.A di bidang pendidikann. Beliau tinggal di
Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara
Washington dan California. Melalui pengamatan langsung
terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkembang di
Amerika, Sayyid Quthub melihat bahwa sekalipun Barat telah
berhasil meraih kemajuan pesat dalam bidang sains dan
teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang
rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual.
Dari pengalaman yang diperoleh selama belajar di Barat
inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam
pemikiran Sayyid Quthub. Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik
tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan.
Sepulangnya dari belajar di negeri Barat, Sayyid Quthub
langsung bergabung dalam keangotaan gerakan Ikhwân al-
Muslimîn yang dipelopori oleh Hasan al-Banna,dan dia juga
banyak menulis secara terang-terangan tentang masalah
keislaman.
Sepanjang hayatnya, Sayyid Quthub telah menghasilkan
lebih dari dua puluh buah karya dalam berbagai bidang. Penulisan
buku-bukunya juga sangat berhubungan erat dengan perjalanan
hidupnya. Sebagai contoh, pada era sebelum tahun 1940-an,
beliau banyak menulis buku-buku sastra yang hampa akan unsur-
unsur agama. Hal ini terlihat pada karyanya yang berjudul
“Muhimmat al-Syi’r fi al-Hayâh” pada tahun 1933 M dan “Naqd
Mustaqbal al-Tsaqâfah fî Misr” pada tahun 1939 M.
Pada tahun 1940-an, Sayyid Quthub mulai menerapkan
unsur-unsur agama di dalam karyanya, hal itu terlihat pada karya
beliau selanjutnya yang berjudul “al-Tashwîr al-Fanni fi al-
Qur`an” (1945 M) dan “Masyâhid al-Qiyâmah fi al-Qur`an”.
Pada tahun 1950-an, Sayyid Quthub mulai membicarakan soal
keadilan, kemasyarakatan dan fitrah Islam yang suci menerusi
‘al-Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam dan ‘Ma’rakah al-Islam wa
ar-Ra’s al-Maliyyah’. Selain itu, beliau turut menghasilkan “Fî
Zhilâl al-Qur`ân’” dan “Dirâsat Islâmiyyah”. Semasa dalam
penjara, yaitu mulai dari tahun 1954 M hingga 1966 M, Sayyid

4 Vol. 9 No.1 Januari-Juni 2018


Quthub. dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang.2
Pada tahun 1965 M, Sayyid Quthub divonis hukuman mati
atas tuduhan perencanaan menggulingkan pemerintahan Gamal
Abdul Nasher. Menurut sebuah sumber, sebelum dilakukan
eksekusi, Gamal Abdul Nasher pernah meminta Sayyid Quthub
untuk meminta maaf atas tindakan yang hendak dilakukannya,
namun permintaan tersebut ditolak oleh Sayyid Quthub.

C. Tafsir Sayyid Quthub dan Coraknya


1. Latar Belakang Penulisan Tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân
Kondisi Mesir kala itu sedang porak poranda ketika Sayyid
Quthub telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di
negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik
yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan Juli
1952 M. Pada saat itulah, Sayyid Quthub memulai
mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan
terhadap kritik sosial dan politik. Oleh karenanya, tak heran
memang jika kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid
Quthub dalam tafsirnya lebih cenderung mengangkat tema sosial-
kemasyarakatan. Salah satu karya terbesar beliau yang sangat
terkenal adalah karya tafsir Al-Qur`an yang diberi nama Fî Zhilâl
al-Qur`ân. Tafsir ini lebih cenderung membahas tentang logika
konsep negara Islam sebagaimana yang didengungkan oleh
pengikut Ikhwan al-Muslimin.
Secara singkat, sebenarnya Sayyid Quthub memulai
menulis tafsirnya atas permintaan rekannya yang bernama Dr.
Said Ramadhan yang merupakan redaktur majalah al-Muslimûn
yang ia terbitkan di Kairo dan Damaskus. Dia meminta Sayyid
Quthub untuk mengisi rubrik khusus mengenai penafsiran Al-
Qur`an yang akan diterbitkan satu kali dalam sebulan. Sayyid
Quthub menyambut baik permintaan rekannya tersebut dan
mengisi rubrik itu yang kemudian diberi nama Fî Zhilâl al-
Qur`ân. Adapun mengenai tulisan yang pertama yang dimuat

2
Thawil Ahyar Dasoeki,”Sebuah Kompilasi Bersifat Islam”, Dina Utama, Semarang 1994 hal. 67

al Qisthâs; Jurnal Hukum dan Politik 5


adalah penafsiran surat al-Fâtihah, lantas dilanjutkan dengan surat
al-Baqarah. Namun, hanya beberapa edisi saja tulisan itu
berlangsung yang kemudian Sayyid Quthub berinisiatif
menghentikan penulisan itu dengan maksud hendak menyusun
satu kitab tafsir sendiri yang diberi nama Fî Zhilâl Al-Qur`ân,
sama halnya dengan rubrik yang beliau asuh. Karya beliau lantas
dicetak dan didistribusikan oleh penerbit Al-Bâb Al-Halabi, akan
tetapi penulisan tafsir tersebut tidak langsung serta merta dalam
bentuk 30 juz. Setiap juz kitab tersebut terbit dalam dua bulan
sekali, meski ada yang kurang dalam dua bulan dan sisa-sisa juz
itu beliau selesaikan ketika berada dalam tahanan3.
2. Sekilas Tentang Corak Penafsiran Sayyid Quthub
Bisa dikatakan kitab Fî Zhlilâl Al-Qur`ân yang dikarang
oleh Sayyid Quthub termasuk salah satu kitab tafsir yang
mempunyai terobosan baru dalam malakukan penafsiran Al-
Qur`an. Hal ini dikarenakan tafsir beliau selain mengusung
pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan
Islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan
Al-Qur`an. Termasuk di antaranya adalah melakukan
pembaharuan dalam bidang penafsiran dan di satu sisi beliau
mengesampingkan pembahasan yang dirasa kurang begitu
penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsiran beliau
adalah mengetengahkan segi sastra untuk melakukan pendekatan
dalam menafsirkan Al-Qur`an.
Sisi sastra beliau terlihat jelas ketika kita menjulurkan
pandangan kita ke tafsirnya, bahkan dapat kita lihat pada barisan
pertama. Akan tetapi, semua pemahaman ushlûb al-Qur`ân,
karakteristik ungkapan serta dzauq yang diusung semuanya
bermuara untuk menunjukkan sisi hidayah al-Qur`an dan pokok-
pokok ajarannya, yang ditujukan untuk memberikan pendekatan
pada jiwa para pembacanya. Melalui pendekatan semacam ini
diharapkan Allah dapat memberikan manfaat serta hidayah-Nya.

3
Ali. H. M., “ Alam Pemikiran Islam di India dan Paskistan”, Mizan, Bandung 1993 hal. 32

6 Vol. 9 No.1 Januari-Juni 2018


Karena pada dasanya, hidayah merupakan hakikat dari Al-Qur`an
itu sendiri, hidayah juga merupakan tabiat serta esensi Al-Qur`an.
Menurutnya, Al-Qur`an adalah kitab dakwah, undang-
undang yang komplit serta ajaran kehidupan, dan Allah telah
menjadikannya sebagai kunci bagi setiap sesuatu yang masih
tertutup dan obat bagi segala penyakit. Pandangan seperti ini
beliau sarikan dari firman Allah yang berbunyi, “Dan kami
turunkan dari al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman...” dan firman Allah;
“Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih lurus...”.4
Sejak pada barisan pertama dalam kitab tafsirnya, Sayyid
Quthub sudah menampakkan karakterisktik seni yang terdapat
dalam Al-Qur`an. Dalam permulaan surat al-Baqarah misalnya,
akan kita temukan gaya yang dipakai Al-Qur`an dalam mengajak
masayarakat Madinah dengan gaya yang khas dan singkat.
Dengan hanya beberapa ayat saja dapat menampakkan gambaran
yang jelas dan rinci tanpa harus memperpanjang kalam yang
dalam ilmu balaghah disebut dengan ithnâb, namun di balik
gambaran yang singkat ini tidak meninggalkan sisi keindahan
suara dan keserasian irama.
Mengenai klarifikasi metodologi penafsiran, Dr. Abdul Hay
al-Farmawy seorang guru besar Tafsir dan Ilmu-ilmu al-Qur`an
Universitas al-Azhar membagi corak penafsirkan al-Qur`an
menjadi tiga bentuk; yaitu tahlîly, maudhû’i dan ijmâli muqârin.
Dilihat dari corak penafsiran yang terdapat yang tafsir Fî Zhilâl
al-Qur`ân dapat digolongkan ke dalam jenis tafsir tahlîli. Artinya,
seorang penafsir menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek
yang ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai
dengan urutan yang terdapat dalam mushaf.
Menurut Issa Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony H.
Johns, pendekatan yang dipakai oleh Sayyid Quthub dalam
menghampiri al-Qur`an adalah pendekatan tashwîr (deskriptif)
yaitu suatu gaya penghampiran yang berusaha menampilkan

4
Ibid, hal.38

al Qisthâs; Jurnal Hukum dan Politik 7


pesan Al-Qur`an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup
dan konkrit sehingga dapat menimbulkan pemahaman “aktual”
bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk
berbuat. Oleh karena itu, menurut Sayyid Quthub, qashash yang
terdapat dalam Al-Qur`an merupakan penuturan drama kehidupan
yang senantiasa terjadi dalam perjalanan hidup manusia. Ajaran-
ajaran yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah kering
dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup
manusia. Dengan demikian, segala pesan yang terdapat dalam Al-
Qur`an akan selalu relevan uuntuk dibawa dalam zaman
sekarang.
Mengaca dari metode tashwîr yang dilakukan oleh Sayyid
Quthub, bisa dikatakan bahwa tafsir Fî Zhilâl al-Qur`ân dapat
digolongkan ke dalam tafsir al-Adabi al-Ijtimâ’i (sastra-budaya
dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat back-ground beliau yang
merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan
keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa al-Qur`an yang
memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi. 5

3. Embrio Gagasan Islam Politik Sayyid Quthub


1. Gerakan Islam Politik
Dalam leksikon politik Islam sering muncul istilah
Islam politik. Apakah Islam politik itu? Apa bedanya
dengan politik Islam? Dari ideologi dan praktik sejarah,
Islam politik sekurang-kurangnya bertolak dan dikenali dari
empat cara pandang.
Pertama, Islam adalah agama kâffah, agama sekaligus
negara (‫)الدين والدولة‬, ibadah dan politik. Kadar paling radikal
meletakkan politik dan penegakan sistem politik sebagai
pokok dan rukun agama (‫)اصل من اصول الدين وركن من اركانها‬.
Dengan paradigma ini, orang Islam yang tidak berjuang
menegakkan sistem politik Islam adalah kafir karena
mengabaikan pokok agama. Mereka harus diperangi, meski

5
Harun Nasution, “Pembaharuan dalam Islam”, Bulan bintang, Jakarta, 1987, Cet. Ke-05 hal. 125

8 Vol. 9 No.1 Januari-Juni 2018


mengucapkan syahadat, salat, puasa, zakat, dan
haji.Pandangan ini bisa disimak dari ceramah-ceramah
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang tersiar di berbagai
media. Ini berbeda dengan paradigma lain, yang saya ikuti,
bahwa politik itu penting untuk menunjang agama, tetapi
bukan perkara pokok yang tetap (‫ )ثابت‬dan baku (‫)جامد‬.
Politik adalah perkara cabang yang berubah (‫ )متغيّر‬dan
dinamis (‫)متط ّور‬. Imam Syafi’i, misalnya, meletakkan
politik sebagai cabang, bukan cabang akidah pula, tetapi
sekadar cabang syariah:
‫السياسة جزء من اجزاء الشريعة وفرع من فروعها‬
“Politik adalah bagian dari syariah dan salah satu
cabang di antara cabang-cabangnya.”
Dalam perkara cabang, terbuka ruang ijtihad dan
inovasi. Konsepsi ini bisa disebut sebagai politik Islam,
politik yang dipengaruhi nilai-nilai Islam. Karena Islam
adalah sumber inspirasi, penjelmaan politik Islam tidak
baku, tunggal, dan monolitik. Berbagai bentuk ekspresi
politik Islam diakui, termasuk yang berwawasan
kebangsaan.
Dengan paradigma ini, “ayat-ayat politik” dalam nash
tidak dipahami sebagai qath’î (imperatif kategoris) yang
jelas dan pasti, tetapi dhannî (imperatif hipotetis) yang
kondisional dan fleksibel. Karena bukan perkara pokok
yang qathi’î, pilihan politik atau ijtihad politik tidak
mempengaruhi status agama seseorang. Dalam terang ini,
haram menyebut ahlul qiblat sebagai kafir karena tidak
setuju negara Islam atau memilih pemimpin politik non-
Muslim.
Perbedaan Islam politik dan politik Islam bisa ditarik
dari sini. Islam politik menjadikan tegaknya sistem politik
Islam (‫ دولۃ اسالميۃ‬atau ‫ )خالفۃ اسالميۃ‬sebagai aspirasi dan
tujuan politik. Politik Islam, di seberang lain, menganggap
politik penting dan nilai-nilai Islam perlu diadaptasi sebagai
inspirasi politik. Namun, politik adalah sarana (‫ )وسيلة‬karena

al Qisthâs; Jurnal Hukum dan Politik 9


tujuan atau ‫ غاية‬sebenarnya adalah kehidupan adil, makmur,
dan sejahtera (‫)بلدة طيبة ورب غفور‬. Sarananya boleh negara-
bangsa dan demokrasi.
Kedua, tujuan penegakan sistem politik Islam ( ‫دولۃ‬
‫ اسالميۃ‬atau ‫ )خالفۃ اسالميۃ‬adalah formalisasi syariat Islam
dalam pengertian sempit yaitu penerapan hukum jinâyat
Islam (hudûd) seperti potong tangan, jilid, rajam, qishâs,
ta’zîr, dan semacamnya. Di berbagai tempat, syariat Islam
telah dijalankan secara swadaya tanpa intervensi negara
seperti salat dan puasa.
Di Indonesia, negara memfasilitasi pelaksanaan syariat
Islam lain seperti haji, zakat, perkawinan, dan keuangan
berbasis syariah. Namun, pelaksanaan syariat Islam
dianggap belum kâffah karena belum mengadopsi hukum
pidana Islam. Orang Islam yang berhenti berjuang
menegakkan hudûd adalah pembela thâghût (‫)انصارالطاغوت‬
karena menerima selain hukum Allah. Mereka belum
dihitung menegakkan syariat Islam, meski rajin salat, selalu
bayar zakat, tekun puasa, haji, dan menabung perbankan
syariah. Dalilnya paten (QS. al-Maidah/5: 44, 45, 47):
‫ومن لم يحكم بما أنزل هللا فأولئك هم الكافرون (فأولئك هم‬
‫الظالمون) (فأولئك هم الفاسقون‬
“Siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang
diturunkan Allah maka mereka itu kafir, (maka mereka itu
zalim), (maka mereka itu fasik).”
Penafsiran harfiah terhadap ayat ini akan membuat
semua orang Islam ngeri dan merasa bersalah karena hidup
di dalam sistem sekuler. Muslim yang tidak berjuang
menegakkan hukum Islam seperti potong tangan dan rajam
mendapat cap langsung dari al-Qur’an sebagai kafir, zalim,
dan fasik.
Hasilnya, sejarah Islam politik dipenuhi oleh narasi
pemberontakan terhadap sistem sekuler. Di berbagai
tempat, termasuk Indonesia, untuk bisa menerapkan hudûd,
mereka memanggul senjata, mengorbankan nyawa sendiri

10 Vol. 9 No.1 Januari-Juni 2018


dan nyawa orang lain. Di Mesir, jutaan nyawa melayang,
hingga kini, akibat amandemen konstitusi tahun 2012 yang
berupaya mengubah frase “negara didirikan berdasarkan
prinsip-prinsip syariah” menjadi “negara didirikan
berdasarkan hukum syariah.”
Frase pertama jelas berbeda dengan frase kedua.
Hukum penjara selaras dengan prinsip syariah karena
hudûd pada dasarnya adalah batas tertinggi (al-hadd al-
a’lâ) untuk memberi efek jera bagi pelaku kejahatan. Ini
tidak bisa diterima oleh mereka yang memahami hudûd
sebagai praktik harfiah penghukuman masa silam. Di
Indonesia, DI/TII memberontak karena tidak legowo
Piagam Jakarta dihapuskan dan syariat Islam batal diadopsi
sebagai hukum positif negara.
Ketiga, selain menghendaki formalisasi Islam dan
positivisasi syariah, Islam politik menghendaki representasi
dan nominasi pemimpin/politisi Muslim serta alokasi kue
ekonomi kepada umat Islam. Islam dalam “politik biting”
(nominal politics) adalah bentuk. Ukuran keberhasilannya
adalah sejauhmana umat Islam mendominasi politik dan
pengusaha Muslim mendominasi ekonomi. Perkara
politiknya berisi kebajikan umum atau ekonominya
berkeadilan adalah urusan lain.
2. Pilar Gagasan Islam Politik Sayyid Quthub
Istilah yang digunakan Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi
Zhilalil Quran banyak menggunakan simbol-simbol, hal ini
agar pemikirannya tidak mudah difahami oleh pihak
penguasa, hal inilah yang menyebabkan timbulnya pro-
kontra di kalangan kritikus maupun pendukung Sayyid
Quthb. Berikut ini beberapa pemikiran Sayyid Quthb yang
dianggap kontroversial itu dengan disertai analisisnya;
a. Hukum Takfir, yaitu pengkafiran atau
“mengkafirkan” yang menurut Sayyid Quthb adalah
istilah yang memperbedakan antara ke-Islam-an dan
kejahiliyahan, artinya pengkafiran itu tidak bersifat

al Qisthâs; Jurnal Hukum dan Politik 11


individual atau untuk suatu masyarakat melainkan
terhadap sikap kejahiliyahan atau hukum yang
menyimpang dan memerangi hukum Allah. Misalnya
QS 3:97, tentang kewajiban haji, adapun yang tidak
sanggup berhaji bukan berarti kafir, justeru yang kafir
yang mengingkari kewajiban haji. Sedangkan makna
Kufr bukanlah keluar dari Islam, melainkan kekufuran
dalam praktik, misalnya tidak mensyukuri nikmat
Tuhan, yaitu nikmat Islam, Jadi kata Kufr merujuk
pada makna majazi, bukan hakiki.6 Hakekat kekufuran
itu adalah dengan adanya penolakan terhadap
kewajiban hukum Allah, dan itulah makna Jahiliyah,
dimana Sayyid Quthb menyatakan “diantara
masyarakat ini ada yang menyatakan terang-terangan
apa yang dimauinya, yaitu “ketidakberagamaan” serta
memutuskan hubungan dengan agama secara radikal,
yang lain menyatakan menghormati agama tetapi
mengeluarkan agama dari sistem kemasyarakatan,
mengakui tidak percaya kepada yang ghaib, dan
mendasarkan sistem mereka kepada ilmu pengetahuan-
suatu ketololan yang diucapkan oleh orang bodoh.
Yang lain lagi menjadikan hakimiyah (kehakiman)
yang praktis kepada selain Allah, membuat berbagai
hukum sekehendak hati, serta menyatakan hukum-
hukum kreasinya itu sebagai syariat Allah”. Kemudian
Sayyid Quthb memperjelasnya dengan kalimat
“Ucapan seorang bahwa dirinya muslim cukup untuk
menunjukkan bahwa dirinya adalah muslim, karena
tidak adanya bukti yang menyangkal ucapan tersebut”.
Sedangkan sebuah masyarakat atau negara menjadi
masyarakat atau negara Islam jika didalamnya
menerapkan Syari’at Islam, walaupun penduduknya
mayoritas tidak beragama Islam. Oleh Karenanya

6
K. Salim al-Bahnasawi, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb-menuju pembaruan gerakan Islam,
Gema Insani Press, 2003, hal. 129

12 Vol. 9 No.1 Januari-Juni 2018


Sayyid Quthb tidak memperlakukan pengkafiran
terhadap orang muslim yang tinggal di negara kafir,
atau sebaliknya.
Sedangkan Tauhid Hakimiyah Dan Takfir
Sayyid Qutub rahimahullah, selain mewariskan
fahaman Qutubiyah Khawarijiyah dan Tauhid
Hakimiyah Takfiriyah, beliau juga melahirkan ramai
para pengikut/pendukung yang fanatik kepadanya di
dalam pertubuhan Ikhwanul Muslimin. Gerakan dan
fahaman Qutubiyah yang tersemai di dalam pertubuhan
Ikhwanul Muslimin dan diterima pakai oleh tokoh-
tokohnya telah berjaya menarik minat ramai
masyarakat meniru perjuangan mereka. Lihatlah antara
apa yang difatwakan oleh Sayyid Qutub:
، ‫ إله ومعنى ال اله إال هللا‬: ‫كانوا العرب يعرفون من لغتهم معنى‬
‫ أن األلوهية تعني الحاكمية‬: ‫كانو ايعرفون‬
“Orang-orang Arab dahulu-kala, semuanya
mengetahui melalui bahasa mereka makna Ilah dan
makna Laa Ilaha Illallah, mereka mengetahui:
Bahawasanya Uluhiyah membawa makna pada
hakimiyah”.
‫ فى أي مكان هم مشركون‬، ‫والذين ال يفردون هللا بالحاكمية فى أي زمان‬
“Maka orang-orang yang tidak meng-Esakan
Allah dalam hal Hakimiyah (hukum) di zaman apapun,
di mana pun mereka, maka mereka itu adalah orang-
orang musyrik”. 7
b. Tempat-tempat Ibadah
“dan kami wahyukan kepada Musa dan
saudaranya, ‘Ambillah olehmu berdua beberapa buah
rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan
jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat
dan dirikanlah olehmu sembahyang serta
gembirakanlah orang-orang yang beriman’”(Yunus:97)

7
Fii Zilalil Quran, 11/1492)

al Qisthâs; Jurnal Hukum dan Politik 13


Menurut Sayyid Quthb “ini adalah pemantapan rohani,
disamping penetapan aturan. Kedua hal pokok ini
sangat penting bagi setiap individu dan kelompok,
khususnya sebelum menghadapi peperangan dan hal-
hal yang berat lainnya”. selanjutnya, adalah Bani Israil
beribadah di tempat mereka saja selama dalam keadaan
aman. Ketika mereka merasa ketakutan (tidak dalam
keadaan aman dalam menunaikan sembahyang), maka
mereka diizinkan untuk menunaikan sembahyang di
rumah-rumah mereka.8
Adapun keistimewaan umat Islam bahwa bumi ini
suci untuk dijadikan sebagai masjid sebagaimana
Haidts yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
Tirmidzi, an-Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad, bahwa
Nabi Muhammad S.A.W. bersabda “Bumi telah
dijadikan untukku sebagai masjid dan suci”. Maka
selain di boleh melaksanakan shalat di rumah, Umat
Islam juga menunaikan shalat di Masjid. Baik shalat
wajib maupun shalat sunnah.
c. Hijrah Setelah Fat-hu Makkah
Sayyid Quthub berkata soal ini “Kewajiban
berhijrah (sebagai bagian dari Islam) terus berlaku
sampai Fath-hu Mekah; yaitu ketika bumi (tanah) Arab
tunduk kepada Islam dan kekuasaannya, serta ketika
semua orang berada dalam aturan masyarakat Islam.
Maka tidak ada hijrah setelah Fat-hu Mekah, akan
tetapi yang masih ada adalah jihad dan melakukan
amal baik, sebagaimana disabdakan Nabi S.A.W.
Hanya saja hal itu terwujud pada periode (fase) Islam
pertama, yaitu ketika Islam menguasai dunia selama
kurang lebih seribu dua ratus tahun. Selama itu,
penerapan hukum syari’at Islam dan pelaksanaan
pemerintahan berdasarkan Islam tidak pernah terputus.
Sedangkan saat ini dunia telah kembali ke zaman

8
Tafsir Al-Qurthubi 8/342

14 Vol. 9 No.1 Januari-Juni 2018


jahiliyah, dan hukum Allah telah terhapus dari
kehidupan manusia di muka bumi. Pemerintahan di
seluruh muka bumi pun telah kembali kepada para
thaghut (orang-orang zalim) dan manusia
punmenyembah sesama manusia, padahal sebelumnya
mereka telah diselamatkan Islam dari penyembahan ini.
Dan sekarang Islam memasuki periode baru, seperti
periode yang pertama, yaitu mulai menata kembali
seluruh hukum-hukum periodisasinya, hingga berakhir
dengan pendirian darul Islam (negara Islam) dan
tempat hijrah. Kemudian dengan izin Allah, periode ini
terus berlanjut. Sehingga tidak kembali diwajibkan
berhijrah, melainkan wajib berjihad dan melakukan
amal baik sebagaimana terjadi pada periode pertama.”9
d. Periodisasi dalam Tasyri’
Pemikiran Sayyid Quthub yang kritis sering
disalahartikan sehingga dianggap radikal atau bahkan
sesat. Salah satunya adalah mengenai periodeisasi
tasyri. Mengenai hal ini ia berkata;
“Akan tetapi Islam-sebagaimana yang telah kami
katakan-tidak dapat terwujud dalam teori saja. Yaitu
(jika) akidah dan ritual-ritual ibadahnya yang hanya
diambil oleh par pemeluknya, serta dilaksanakan secara
sendiri-sendiri dalam masyarakat jahiliyah yang benar-
benar eksis. Sesungguhnya keberadaan mereka (para
pemeluk Islam) dengan kondisi seperti ini, walaupun
dalma jumlah yang banyak, tidak akan mampu
menunjukkan eksistensi Islam secara nyata. Karena
orang-orang muslim yang menerpkan Islam secara
teori-yang masih berada dalam amsyarakat jahili- akan
selalu terpaksa mengabulkan tuntutan-tuntutan
masyarakat jahili itu. Mereka n(orang-orang musloim)
baik secara suka rela maupun terpaksa dan dengan

9
K. Salim al-Bahnasawi, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb-menuju pembaruan gerakan Islam,
Gema Insani Press, 2003, hal. 129

al Qisthâs; Jurnal Hukum dan Politik 15


sadar atau tidak, akan bergerak memenuhi kebutuhan
pokok kehidupan masyarakat itu. Mereka pun akan ikut
mempertahankan mempertahankan masyarakat jahiliah
tersebut, dan juga mereka akan ikut menangkis segala
faktor yang membahayakan dan mengancam eksistensi
masyarakat jahili. Kaena anggota sebuah masyarakat,
akan menunaikan segala tugas-tugas mereka dengan
seluruh anggota tubuhnya, baik dengan kemauan
mereka sendiri atau tidak. Artinya, para pemeluk Islam
secara teori akan selalu mendukung tegaknya
masyarakat jahili, yang secara teori juga akan berusaha
melenyapkan para pemeluk Islam tersebut. Dan orang-
orang muslim yang hidup di masyarakat jahili tersebut
menjadi sel-sel hidup, yang akan memberikan zat-zat
yang melangsungkan eksistensi masyarakat jahili.
Mereka juga akan memberikan segala kemampuan,
pengalaman,m dan semangat mereka kepada
masyarakat jahili untuk hidup dan menjadi kuat. Dan
aktivitas orang-orang Islam dalam masyarakat jahili itu
bukan bergerak untuk menumbangkannya dalam
rangka mendirikan masyarakat islami, namun malah
sebaliknya”.
Dari sini dapat dimaknai bahwa kewajiban hijrah
yang dimaksud Sayyid Quthub adalah hijrah kepada
Islam, jamaah Islam, dan pergerakan Islam. Hijrah
yang dikmaksudkannya bukanlah hijrah ke gua-gua
dan gunung-gunung, jadi hijrah yang dimaksudkanya
bukanlah hijrah secara fisik.10 Kesalahan makna sering
terjadi pada fanatisme manhaj dan pergerakan
kelompok tertentu, misalnya suatu kelompok
pergerakan Islam yang bersikap mengkafirkan orang
yang tidak ikut dalam manhajnya, penafsiran atas tafsir
Sayyid Quthub inilah yang kemudian dikembangkan
sendiri oleh para tokoh pergerakan Islam.

10
Ibid hal. 131.

16 Vol. 9 No.1 Januari-Juni 2018


Periodisasi menurut Sayyid Quthub adalah bukan
masa pembentukan tasyri, melainkan perumpamaan
atas keberadaan jamaah Islam dalam suatu
kekhalifahan atau kepemimpinan Islam sebagaimana
pada masa yang dijalankan oleh Rasulallah S.A.W.
sendiri di Madinah. Bahwa menurut beliau, di masa
sekarang ini –pada masa hidup beliau- sudah tidak ada
lagi kepemimpinan Islam. Oleh karenanya, periode
ketika tidak ada kepemimpinan yang legal itu dapat
diumpamakan sebagai periode Mekah, sedangkan
ketika kepemimpinan itu telah terbangun, dapat
diumpamakan sebagai periode Madinah.
Kesalahan tafsir yang sering terjadi adalah
pemaknaan bahwa pada periode Mekah sebagaimana
dialami Rasulallah S.A.W. yang seharusnya sebatas
“diumpamakan” dengan masa sekarang tetapi justeru
diperlakukan “serupa”, dimana kondisi masa kini
terdapat banyak aturan yang secara kewahyuan belum
turun sebagaimana periode Mekah di zaman Rasulallah
S.A.W., diperlakukan juga pada masa sekarang, Sayyid
Quthub tidak bermaksud demikian, apa yang sudah
berlaku tetap berlaku hingga zaman sekarang.
Kesalahan tafsir atas pemikiran Sayyid quthub itu
misalnya tentang menghalalkan perkawinan dengan
wanita musyrik. Tentu hal ini bukanlah hasil
pemikiran Sayyid Quthub, sementara ia sendiri
menafsirkan ayat 221 surat Al-Baqarah sebagai dua
belas hukum nikah-sebagaimana dalam tafsir Fi
Zhilalil Qur’an, yaitu “Hukum pertama mengandung
larangan bagi muslim (laki-laki) untuk menikah dengan
wanita musyrik dan mengandung larangan untuk
menikahkan seorang musyrik dengan seorang
muslimah.”11

11
Ibid. hal. 174.

al Qisthâs; Jurnal Hukum dan Politik 17


D. Kesimpulan
Sayyid Quthub adalah tokoh Ikhwanul Muslimin yang
pemikirannya banyak dijadikan referensi utama kelompok
Ikhwan maupun pecahannya seperti Hizbut Tahrir. Sumber
pemikiran utamanya adalah kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
Pemikiran Sayyid Quthub yang banyak dijadikan referensi
gerakan Islam politik bermuara pada 4 (empat) gagasannya yaitu;
(1) hukum Takfir, (2) tempat suci; (3) hirjah; dan (4) periodesasi
tasyri’. Sekalipun keempat gagasan itu telah banyak direduksi
oleh para penganut gerakan Islam politik.

DAFTAR PUSTAKA
Ali. H. M., “ Alam Pemikiran Islam di India dan Paskistan”,
Mizan, Bandung 1993
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi 8/342
H. M. Laily Mansyur, LPh “Pemikiran Kalam Dalam Islam”
lSIK Jakarta 1994
Harun Nasution, “ Pembaharuan dalam Islam ”, Bulan Bintang,
Jakarta, 1987
K. Salim al-Bahnasawi, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb-
menuju pembaruan gerakan Islam, Gema Insani Press, 2003
Karim, Muhammad Rusli, Negara Dan Peminggiran Islam
Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan
Pembangunan Bagi Keberadaan "Islam Politik" Di Indonesia
Era 1970-An Dan 1980-An, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999
Quthub, Sayyid, Fii Zilalil Quran, 1492
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi “Tokoh-Tokoh Besar Islam
Sepanjang Sejarah, Pustaka al Kautsar, Jakarta 2007.
Thawil Ahyar Dasoeki,”Sebuah Kompilasi Bersifat Islam”, Dina
Utama, Semarang 1994
Thawil Ahyar Dasoeki,”Sebuah Kompilasi Bersifat Islam”, Dina
Utama, Semarang 1994.
Yusuf Qordowi, Ijtihad Dalam Sariat Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1987.

18 Vol. 9 No.1 Januari-Juni 2018

Anda mungkin juga menyukai