Materi Aswajaan 2

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 8

Ruang Lingkup Ahlus sunnah Wal Jama’ah

Menurut Abd al-Qahir al-Baghdadi dalam kitabnya, al-Farq Bayn al-Firaq, Ahlussunnah wal
jama’ah terdiri atas delapan kelompok: Mutakallimun atau Ahli ilmu Tawhid, Ahli Fiqh
aliran al-Ra’y dan al-Hadis, Ahli Hadis, Ahli Ilmu Bahasa, Ahli Qira’at dan Tafsir, Ahli
Tasawwuf, Para Mujahidin, dan Masyarakat awam yang mengikut pegangan ahlussunnah wal
jama’ah.

Sedangkan dalam kitabnya yang berjudul Ziyadat Ta’liqat,1 KH. Hasyim Asy’ari menyebut
Ahlussunnah wal jama’ah sebagai kelompok Ahli Tafsir, Ahli Hadis dan Ahli Fikih.
Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah
Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-
najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam
madzhab yang empat yaitu Mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.

Ringkasnya, faham Ahlussunah Waljama’ah meliputi tiga ruang lingkup yaitu: Lingkup
akidah, lbadah, dan akhlak. Selanjutnya, untuk membedakan lingkup-lingkup Ahlussunnah
Waljamaah tersebut dengan lingkup-lingkup lain, perlu ditegaskan dengan menyebut masing
masingnya menjadi Akidah Ahlussunnah waljamaah, Ibadah (fikih) Ahlussunnah Waljamaah,
dan Akhlak Ahlussunnah Waljamaah.

Namun, mengacu pada hadits iftiraq tersebut di atas, sebenarnya pada asalnya, ahlussunnah
itu hanya dalam lingkup akidah. Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu
sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek
akidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang
paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial karena pada
saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa
Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam.

Pertama, Akidah Ahlussunnah Waljamaah. Adapun dalam bidang akidah, yang memenuhi
kriteria Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang dikenal dengan nama
Asy’ariyah (pengikut Imam Abu Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (pengikut Imam
Abu Manshur al-Maturidi). Merekalah golongan mayoritas ulama dari masa ke masa.

1
. Ziyadat Ta’liqat (hlm. 23-24)

1
Pandangan mereka dalam akidah adalah sama persis dengan pandangan ulama salaf,
hanya saja sesuai tuntutan zaman, mereka memberikan hujjah dengan argumen-
argumen rasional sehingga akidah salaf yang mereka perkenalkan adalah akidah yang
kuat dari sisi naql (periwayatan) dan juga kuat dari sisi ‘aql (rasio). Tak heran, sejarah
membuktikan bahwa hanya akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah yang tahan uji
menghadapi berbagai tantangan dari kelompok lain.

Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran


teologi Islamnya sebagai koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah dalam beberapa hal yang
dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam
menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang
kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab
Asy’ari. Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu
Manshur al-Maturidi ( W. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi
Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang
kemudian diakui sebagai Imam penyelamat akidah keimanan,karena karya pemikiran dua
imam ini tersiar keseluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi SAW serta
petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang
sepaham yaitu Imam al-Thohawi (238 H – 321 H) di Mesir, akan tetapi karya beliau tidak
sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan rumusan akidah Imam
Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.

Kedua, Imam tersebut sama-sama mempergunakan akal sebatas untuk memahami


naql, tidak sampai mensejajarkannya apalagi memujanya. Bahkan secara terang-terangan
melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak dan menentang logika Mu’tazilah
yang terlalu memuja akal dan nyaris mengabaikan petunjuk naql.

Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang karena metodenya lebih
mengutamakan akal daripada nash (Taqdimu al-‘Aql ‘ala al-Nash), dinilai tidak sejalan
dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam
tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan
pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum

2
terinstitusikan dalam bentuk madzhab. Karena itu secara historis, term aswaja baru dianggap
secara resmi muncul dari periode ini.
Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib kw
tetapi dari segi fisik dalam bentuk madzhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi
dan al-Thahawi.
Dengan demikian, maka dalam konteks historis, paham Ahlussunnah Waljamaah
adalah sebuah paham yang dalam lingkup akidah mengikuti pemikiran kalam al Asy’ari atau
al-Maturidi. Yang institusinya kemudian disebut al-Asy’ariyah atau al-Maturidiyah. Dan
sebagai institusi besar, keduanya tidak luput dari tokoh-tokoh pengikut yang selain
menyebarkan, juga mengembangkan pemikiran kalam yang dicetuskan oleh pendirinya.

Beberapa nama tokoh yang menyebar-kembangkan pemikiran kalam al-Asy’ari dan


al-Maturidi itu, tercatat nama-nama besar seperti, al-Baqilani, al-Juwaini (Imam al-
Haramain), al-Isfirayini, Abu Bakar al-Qaffal, al-Qusyairi, Fahr al-Din al-Razi, Izz al-Din’
Abd al Salam, termasuk al Ghazali dan al-Bazdawi. Dan pemikiran kalam yang banyak
masuk serta mewarnai umat Islam di Indonesia ialah pemikiran kalam al-Asy’ari yang telah
dikembangkan oleh al-Ghazali yang lebih dikenal sebagai tokoh sufistik.

Jauh (berabad-abad) pasca tokoh-tokoh tersebut, di Indonesia dikenal pula tokoh-


tokoh al-Asy’ariyah (Asya’irah) seperti, Syaikh al-Sanusi, Syaikh al-Syarqawi, Syaikh al-
Bajuri, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh al-Tarabilisi, Syaikh al-Fatani, dan lain-lain. Yang
tidak mustahil, pemikiran kalam mereka sudah berbeda dengan pemikiran kalam al-Asy’ari
sendiri atau setidak-tidaknya ada nuansa lain.

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian
dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau
Maturidiyah, dalan fiqh adalah madzhab empat dan dalam tasawuf adalah al-Ghozali dan
ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.

Kedua, Fikih Ahlussunnah Waljamaah. Dalam konteks historis, institusi fiqh yang sejalan
dengan konteks substansial paham Ahlussunnah Waljamaah ialah empat mazhab
besar dalam fikih Islam, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Bahwa mazhab
Hanafi dianut pula oleh mu’asis (pendiri) kalam al-Maturidiyah, yakni Abu Mansur

3
al-Maturidi. Sedangkan mazhab Syafi’i dianut pula oleh muassis kalam al-Asy’ariyah,
yakni Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan
mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar
keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan.
Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga
mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan
komunikasi dengan Allah SWT, dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk
mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun
sosial.

Tak bisa dipungkiri, bahwasanya di antara keempat fiqh tersebut satu sama lain banyak
ditemui perbedaan di sana sini. Akan tetapi, perbedaan-perbedaan itu masih berada dalam
koridor ikhtilaf-rahmat (perbedaan yang membawa rahmat). Abu Hanifah yang dikenal
sebagai ahl al-ra’yi (banyak menggunakan akal/logika), tidak mengklaim pendapatnya
sebagai terbenar. Dan ketiga Imam yang lain pun tidak pernah menyalahkan pendapat
mazhab yang lain.

Imam Mazhab tersebut sama-sama commited terhadap petunjuk Al-Quran dan as-Sunnah.
sama-sama berpola-pikir Taqdim al-Nas ‘ala al-’aql (mendahulukan petunjuk nas daripada
logika). Dalam berijtihad, mereka tidak mengedepankan akal kecuali sebatas untuk
beristinbat (menggali hukum dan Al-Quran dan al-Hadits), tidak sampai mensejajarkan apa
lagi mengabaikan nas. Dan inilah substansi paham Ahlussunnah Waljamaah.

Dengan demikian, diketahui bahwa dalam masalah fiqh, ahlussunnah wal jama’ah adalah
pengikut mazhab yang empat. Ahlussunnah wal jama’ah mengharuskan pengikutnya di masa
ini untuk bermazhab karena bermazhab merupakan satu-satunya cara yang menjamin
keterkaitan dan kesinambungan kita dengan generasi salaf. Imam Waliyullah al-Dahlawi
memberikan penjelasan sebagai berikut:

Sebenarnya dalam mengikuti madzhab yang empat ini terdapat kemaslahatan yang besar, dan
berpaling darinya akan menimbulkan mafsadah yang besar pula. Hal ini dapat diuraikan
melalui beberapa alasan berikut ini:

4
1. Kesepakatan umat Islam untuk berpegangan kepada generasi salaf pendahulu
mereka dalam upaya mengetahui syari’ah. Generasi tabi’in berpegangan kepada
generasi sahabat. Generasi setelah tabi’in berpegangan kepada generasi tabi’in.
Dan demikian pula dalam setiap generasi, selalu berpegangan kepada generasi
sebelumnya.

2. Mengikuti madzhab yang empat tersebut berarti mengikuti sabda Rasulullah


SAW: “Ikutilah kelompok mayoritas (al-sawad al-a’zham).” Hal ini berangkat
dari suatu realitas sosial umat Islam, di mana setelah madzhab-madzhab yang
benar telah punah kecuali madzhab yang empat ini, maka mengikutinya berarti
mengikuti kelompok mayoritas (al-sawad al-a’zham), dan keluar darinya berarti
keluar dari kelompok mayoritas (al-sawad al-a’zham).

3. Setelah masa generasi salaf, yang dikatakan sebagai sebaik-baik generasi, semakin
jauh dari masa kita sekarang dan amanat telah banyak diabaikan, maka kita tidak
dibolehkan berpegangan kepada pendapat para ulama yang jahat seperti para
hakim yang curang dan para mufti yang mengikuti hawa nafsunya, kecuali apabila
mereka menisbahkan apa yang mereka katakan kepada sebagian ulama salaf yang
dikenal jujur, agamis dan amanat, baik penisbahan itu secara eksplisit maupun
secara implisit. Demikian pula kita tidak boleh berpegangan pada pendapat orang
yang tidak kita ketahui apakah ia telah memenuhi syarat-syarat melakukan ijtihad
atau tidak.”

Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk
hukum yang dihasilkan dari empat madzhab diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh
imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an,
Hadits, Ijma’ dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awza’i, dan lain-lain tercakup dalam lingkup
pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdimu al-Nash ‘ala al-
‘Aql (mengedepankan daripada akal).

Ketiga, Akhlak Ahlussunnah Waljamaah. Adapun lingkup yang ketiga ini,


paham Ahlussunnah Waljamaah mengikuti wacana akhlak (tasawuf) yang
dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti al-Ghazali, al-Junaid, dan tokoh-tokoh lain
yang sepaham termasuk Abu Yazid al-Bustami. Pemikiran akhlak mereka ini memang

5
tidak melembaga menjadi sebuah mazhab tersendiri sebagaimana dalam lingkup
akidah (kalam) dan fikih. Namun wacana mereka itu sejalan dengan substansi
paham Ahlussunnah Waljamaah serta banyak diterima dan diakui oleh mayoritas
umat Islam.

Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang
dirumuskan oleh Imam al-Ghozali, Yazid al-Busthomi dan al-Junayd al-Baghdadi, serta
ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ketiga ini dalam diskursus Islam dinilai
penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan
keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan
iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah
manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi
manfaat kepada orang lain. Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia
memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya
tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah,
juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang
lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang
lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.

Diskursus Islam kedalam lingkup akidah, ibadah, dan akhlak ini bukan berarti
pemisahan yang benar-benar terpisah. Ketiga-tiganya tetap Integral dan harus diamalkan
secara bersamaan oleh setiap muslim, termasuk kaum Sunni” (kaum yang
berpaham Ahlussunnah Waljamaah). Maka seorang muslim dan seorang sunni yang baik,
harus baik dalam berakidah juga sekaligus dalam berakhlak. Seseorang baru baik akidah dan
ibadahnya saja Ia belum bisa dikatakan baik, jika akhlaknya belum baik.

Oleh karena itu, maka lingkup akhlak tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia justru
teramat penting dan menjadi cerminan ihsan dalam diri seorang muslim. Jika iman
menggambarkan akidah, dan Islam menggambarkan ibadah; maka akhlak akan
menggambarkan ihsan yang sekaligus mencerminkan kesempurnaan iman dan Islam pada
diri seseorang. Iman ibarat akar, dan “Islam” ibarat pohonnya; maka “Ihsan” ibarat buahnya.

Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil diantara kelompok dan madzhab
dalam Islam.

6
Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Qur’an
dan al-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.
Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang berbeda pendapat
mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah SWT, kewajiban shalat, zakat dan
lain-lain. Tetapi mereka berbeda dalam beberapa hal diluar ajaran pokok Islam, lantaran
berbeda didalam manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks sunnah.

Masing masing firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendiri-sendiri.


Mu’tazilah disebut kelompok liberal dalam Islam. Keliberalan Mu’tazilah, berpangkal dari
paham bahwa akal sebagai anugerah Allah SWT, memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-
hal yang berhubungan dengan Allah SWT dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk.
Sementara bagi kelompok Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal tersebut,
kecuali ada petunjuk dari naql atau nash. Kelompok Maturidiyah sedikit lebih “menengah”
dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia mengandung efek yang disebut baik atau
buruk, apa yang dinyatakan oleh akal baik, tentu ia adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi
tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan
buruknya. Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui
naql atau nash.

Mustahil sebatang pohon akan tumbuh subur tanpa akar dan pohon yang tumbuh
subur serta berakar kuatpun akan menjadi tak bermakna tanpa memberikan buah secara
sempurna. Mustahil seorang muslim beribadah dengan baik tanpa didasari akidah kuat, dan
akidah yang kuat serta ibadah yang baik akan menjadi tak bermakna tanpa terhiasi oleh
akhlak mulia.

Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan akidah, maka peran akal dan naql
berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka
peran akal dan naql berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan
dengan akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naql berhubungan dengan hubungan spiritual
antara manusia dengan tuhannya. Baik dalam ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf, Aswaja
memiliki prinsip manhaj taqdimu al-nash ‘ala al-naql. Maka paham keagamaan Aswaja
dengan manhaj seperti itu selalu berorientasi mengedepankan nash daripada akal. Berbeda
dengan paham Mu’tazilah, meskipun sama-sama mengacu pada nash, Aswaja tidak terlalu

7
mendalam dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak memberikan akses, bahwa
nash dalam agama harus sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal, tetapi akal
hanyalah menjadi alat bantu untuk memahami nash yang karena itu penafsiran nash agama
tidak selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang matang
sekalipun, akal seringkali salah daya tangkapnya.

Idealnya, ialah berakidah kuat, beribadah dengan baik dan benar, serta berakhlak
mulia. Beriman kuat, berislam dengan baik dan benar, serta berihsan sejati. Maka yang
demikian inilah wujud insan kamil (the perfect man) yang dikehendaki oleh paham
Ahlussunnah waljamaah.

Anda mungkin juga menyukai