933801515 BAB II
933801515 BAB II
933801515 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Ma’ānil Qur`ān
yang amat sempurna dalam aspek tata bahasa dan kesusastraan Arab. Sejak
munculah banyak penghafal al-Qur’an, ahli qira’at, dan ahli tafsir. Di samping
itu, urgensi analisis kebahasaan menjadi prasyarat awal dalam memahami al-
mutlak bagi mufassir.1 Oleh karena itu, sebagian dari mereka memfokuskan
asing (garib), aspek sintaksis dan morfologi seperti al-Akhfash dari aliran
Basrah dan al-Farrā' dari aliran Kufah yang masing-masing menulis buku
Nama lengkap al-Akhfash ialah Abū al-Ḥasan Saīd bin Mas’adah al-
Akhfash dilahirkan di Kota Balkh Khurasan, sekitar tahun 30-an dari abad
1
Abdul Mustaqim, “Tafsir Linguistik (Studi atas Tafsir Ma’anil Qur’an Karya al-Farrā’)”, QOF,
Vol.3, No. 1( Yogyakarta, Januari 2019), 3.
2
Najmuddin H. Abd. Safa, “Perbandingan Metode Nahwu al-Akhfash dan al-Farrā' dalam Kitab
Ma’ānil Qur`ān”, Bahasa dan Seni, Tahun 36, No. 2 (Makasar, Agustus 2008), 139.
17
18
ke-2 Hijrah. Ada perselisihan antara ahli sejarah terkait tahun wafatnya, ada
yang mengatakan tahun 210 Hijrah, ada juga yang berpendapat tahun 211
dan ada juga pendapat yang lain mengatakan pada tahun 215 Hijrah dan
221 Hijrah.
beberapa tokoh nahwu aliran Basrah yang lain. Beliau adalah murid
tokoh nahwu3 dari aliran Basrah4 yang paling terkenal setelah Sibawayh.
tersebut dapat diterima oleh aliran Kufah terutama al-Kisa’i pendiri aliran
3
Dalam cabang ilmu nahwu telah muncul berbagai kelompok aliran tak kurang dari lima aliran yaitu
Bashrah, Kufah, Bagdad, Andalusia dan Mesir. Toni Pransiska, “Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu
(Sebuah Kajian Epistemologisal”, Mahāra, Vol. 1, No.1, (Yogyakarta, Desember 2015), 69.
4
Ahli sejarah sependapat bahwa ilmu nahwu pertama muncul dan berkembang di Basrah. Abu al-
Aswad al-Duali (69 H) sebagai peletak pertama ilmu tersebut atas saran dan arahan Amir al-Mu
minin Ali bin Abi Talib setelah melihat adanya gejala lahn (kesalahan), baik di kalangan
masyarakat Arab maupun di kalangan orang-orang yang baru masuk Islam (al-mawali). Munculnya
ide untuk menyusun kaidah dan dasar ilmu nahwu didasarkan atas beberapa faktor yang
mendorong ke arah itu. Namun, faktor terpenting yang menyebabkan lahirnya ilmu itu ialah adanya
keinginan memelihara al-Qur’an al-Karim dari lahn (kesalahan) dan tahrif (perubahan) yang bisa
menyebabkan kesalahan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Al-Tantaqi
menjelaskan bahwa para tokoh nahwu aliran Basrah dianggap kelompok pertama yang menyusun
dasar-dasar ilmu tersebut. Mereka menumpukan perhatiannya untuk mengembangkan ilmu itu,
hampir satu abad lamanya. Sementara tokoh aliran Kufah memusatkan perhatian mereka terhadap
periwayatan puisi, akhbar al-arab (beritaberita orang Arab) dan kecenderungan mereka
mengumpulkan al-taraif (kata-kata dan gaya bahasa yang indah, jarang digunakan dan didengar).
Ilmu nahwu di Basrah yang kemudian dikenal dengan istilah Al-Madrasah Al- Basriyah (aliran
Basrah) berkembang dengan pesat. Selanjutnya, Al-Tantawi membagi aliran Basrah berdasarkan
periode dan tokoh-tokohnya kepada tujuh tingkatan, mulai dari Abu Al- Aswad Al-Du ali - (69 H)
sampai dengan Al- Mubarrid (285 H). Sumber kajian aliran Basrah dalam menetapkan kaidah
nahwu dan kebahasaan adalah (a) al-Qur’an al-Karīm, (b) bahasa kabilah-kabilah Arab, dan (c)
puisi-puisi Arab. Safa, “Perbandingan Metode Nahwu Al-Akhfash dan Al-Farra' dalam Kitab
Ma’ānil Qur`ān”, 140.
19
Qur`ān.
antarnya,5
dipahami.
tanpa sarana yang lengkap dan modern, beliau dapat menghasilkan kajian
5
Ibid., 142
20
Berikut beberapa poin dari hasil analisis kitab Ma’ānil Qur`ān karya
al-Akhfash,7
yang paling menonjol dari aspek sintaksis (nahwu). Hal itu dapat
nahwu berupa bentuk-bentuk i’rab yang terdapat pada suatu ayat serta
c. Penguraian jenis qira’at yang ada pada suatu ayat, walaupun tidak
sedikit saja.
pakar linguistik Arab, dan ulama tafsir untuk memperkuat uraian ayat-
6
Ibid.
7
Ibid., 142-143.
21
A’rāf ayat 59, Yūnus ayat 59, 91, al-Naml ayat 59, al-Ṣaff ayat 153,
Sabā’ ayat 8, Ṣad ayat 62, 63, al-Fatḥ ayat 29, al-Rūm ayat 4, al-Ḥadīd
ayat 10, 22, al-Taubah ayat 69, al-Hashr ayat 10, Yusuf ayat 100, al-
Ḥijr ayat 68, Āli Imrān ayat 119, al-Mu’min ayat 36, dan al-Najm ayat
19.
menyebutkan nama para guru beliau, seperti: Isa bin ‘Umar al-Thaqafi
(149 H), Yunus bin Habib (182 H), Abū Amr bin al-Ala (154 H), Abu
dan ba duhum.
8
Aliran Kufah muncul sebagai suatu aliran tersendiri dalam bidang kajian nahwu sesudah satu abad
lamanya dari lahirnya aliran Basrah. Para tokoh aliran Kufah tidak ikut bersama-sama dengan para
tokoh aliran Basrah dalam kajian nahwu disebabkan mereka memusatkan perhatiannya dalam
bidang lain, seperti periwayatan puisi dan pengumpulannya, periwayatan jenis-jenis qira’at, di
22
Yaḥya bin Ziyād bin Abdullah bin Manẓūr bin Marwān al-Aslami al-
Daylami al-Kūfī. Beliau dilahirkan di Kota Kufah tahun 144 H dan wafat
pada tahun 207 Hijrah. Sejak kecil, al-Farrā' sudah memperlihatkan minat
majelis-majelis pengajian para ulama, baik yang ada di Kufah maupun yang
ada di Basrah dan Baghdad. Keaktifan beliau dalam mengikuti halaqah para
pakar Hadis, ahli qira’at, ulama fikih, perawi puisi Arab, akhbar al- arab
samping perhatian mereka dalam kajian yang mempunyai hubungan dengan masalah-masalah fikih
Awal munculnya aliran Kufah sebagai suatu aliran nahwu tersendiri terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ahli sejarah. Menurut al-Makhzumi, ada yang berpendapat bahwa aliran Kufah dimulai
oleh Abu Ja far Al-Ru asi dan Mu adh bin Muslim al-Harra (187 H). Ada juga yang berpendapat
bahwa aliran Kufah dimulai dengan munculnya al-Kisa’i (189 H) dan al-Farrā' (207 H). Sekalipun
demikian, al-Tantawi tetap membagi aliran Kufah berdasarkan periode dan tokoh-tokohnya
menjadi lima tingkatan, mulai dari al-Ru’āsī dan Mu ādh bin Muslim al-Harrā (187 H) sampai
Thalab (291 H). Sumber kajian aliran Kufah dalam menetapkan kaidah-kaidah nahwu dan
kebahasaan adalah (a) al-Qu’ran al-Karīm, (b) bahasa kabilah-kabilah Arab, (c) puisi-puisi Arab,
dan (d) nahwu aliran Basrah. Ibid., 141.
9
Ridwan, “Karakteristik Nuhat Kufah dan Bashrah”, Jurnal Lingua Humaniora dan Budaya, (UIN
Malang, 2009), 60.
10
. Safa, “Perbandingan Metode Nahwu al-Akhfash dan al-Farrā' dalam Kitab Ma’ānil Qur`ān”, 141.
23
sudah bercampur dengan orang-orang yang bukan bangsa Arab. Hal itu
Farrā',11
ayat al-Qur’an dan pendapat para tokoh nahwu secara umum dan tokoh
11
Ibid., 145.
24
setiap surah, namun tidak semua ayat yang ditafsirkan hanya kata dan
ayat lain seperti surah: al-Baqarah ayat 51, 52, al-A’raf ayat 73, 86, al-
Anbiyā’ ayat 76, 87, al-Ankabūt ayat 16, Ṣad ayat 45 dan al- Anfāl ayat
26.
ayat yang ditafsirkan, seperti pada surah al- Baqarah ayat 259.
sanadnya, misalnya qira’at Sayyidina Ali pada surah al-Ra’d ayat 35.
12
Ibid.
13
Ibid
25
Arab (perkataan orang Arab), baik yang berbentuk prosa maupun syair
Berdasarkan pemaparan data di atas terkait Ma’ānil Qur`ān karya dari al-
Akhfash dan Al-Farrā’ memiliki banyak persamaan dan juga memiliki perbedaan.
Dari keduanya dalam menafsirkan kata maupun ayat-ayat al-Qur’an sama- sama
lebih menonjolkan dalam aspek bahasa atau ilmu nahwunya yaitu pembahasan
tentang bentuk-bentuk i’rab yang ada pada suatu ayat. Sedangkan untuk
perbedaan tidak ada yang secara signifikan bertentangan satu sama lain. Untuk al
sehingga al-Qur’an tidak dianggap sebagai suatu hal yang rumit, akan tetapi
aspek qira’at-nya.
ayat dari surah al-Wāqi’ah sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah diterapkan
dalam kitab Ma’ānil Qur`ān. Dengan tujuan agar hasil penjelasan ini nantinya
B. Fenomenologi
logos, berarti ilmu. Adapun menurut Heidegger istilah fenomena, juga dibentuk
dari istilah phaino, berarti membawa pada cahaya, menempatkan pada terang
benderang, menunjukkan dirinya sendiri di dalam dirinya, totalitas dari apa yang
berbicara filsafat dewasa ini dapat juga dikatakan sebagai ‘percakapan dengan
fenomenon, atau sesuatu yang sedang menggejala. Dengan ini tendensi terdalam
dari aliran fenomenologi, yang sebenarnya merupakan cita-cita dan dan jiwa
dari semua filsafat yaitu pengertian yang benar, sedalam-dalamnya. Filsuf itu
haus akan pengertian yang benar. Pengertian yang benar ialah pengertian yang
Hasan Hanafi adalah salah satu dari beberapa orang yang mengkaji
14
Maraimbang Daulay, Filsafat Fenomenologi, (Medan, Panjiaswaja Press, 2010), 17.
15
Rusli, “Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama Konsep, Kritik Dan Aplikasi”, Islamica, 2
(Maret, 2008), 141.
16
O. Hasbiansyah, “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan
Komunikasi”, Mediator, vol 9, No 1, (Juni, 2008), 167.
17
Moh. Nadhir Mu’ammar, “Analisis Fenomenologi Terhadap Makna dan Realita”, Jurnal Studi
Agama dan Masyarakat, Vol.13, No.1, (Juni 2017), 125
27
para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di
Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen. Hal ini
18
Muhammad Aji Nugroho, “Hermeneutika al-Qur’an Hasan Hanafi; Merefleksikan Teks pada
Realitas Sosial dalam Konteks Kekinian”, Millatī: Journal of Islamic Studies and Humanities, 2
(Desember, 2016), 194.
28
Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah
Masnion.
yang semakin tertinggal dari kemajuan dunia Barat, Hasana Hanafi muncul
19
Aisyah, “Hassan Hanafi dan Gagasan Pembaruannya”, Sulesana, Vol. 6 No. 2 ( Makassar, 2011),
59.
20
Achmad Khudori Sholeh, “Mencermati Hermenutika Humanistik Hasan Hanafi”, Studi Ilmu-ilmu
Alquran & Hadis, Vol. 11, No. 1, (Januari 2010),42.
29
dunia muslim, dari sisi pemikiran, sosial, politik, maupun ekonomi. Adapun
Memberikan porsi yang berlebih pada salah satu aspek dari ketiga aspek
penafsiran. Hal ini dikarenakan penafsir dalam membaca sebuah teks akan
dalam menafsirkannya.
kitab suci sebagai masalah teoritis yang krusial. Sebab kritik sejarah
21
Sholeh, “Mencermati Hermenutika Humanistik Hasan Hanafi”, 45.
30
yang akan menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya, karena tidak
mungkin akan terjadi pemahaman bila tidak ada kepastian bahwa apa yang
dipahami itu secara historis adalah asli. Kedua, adanya kesadaran eidetik,
menjadikan teks yang rasional dapat ditempuh melalui tiga tahap analisis
yaitu analisis isi atau kajian atas muatan teks (al-Quran atau Hadis) seperti
yaitu pencarian makna universal dari makan tekstual teks dan signifikansi
manusia dan alam semesta sebagai suatu tatanan ideal di mana dunia
22
Nugroho, “Hermeneutika al-Qur’an Hasan Hanafi”, 196.
31
alamiah teks keagamaan. Pemahaman teks itu harus dipahami dengan cara
pribadi atau jamaah, karena teks keagamaan tiada lain adalah kegelisahan,
berikut:24
23
Muhammad Patri Arifin,”Hermeneutika Fenomenologis Hasan Hanafi”, Rausyan Fikr, Vol. 13 No.
1 (Juni, 2017), 9.
24
Ibid., 14.
32
sesuai dengan tema dalam urutan abjad baik berupa kata kerja, kata
linguistic.
yang transformatif.
yang lebih banyak aroma filosofisnya dikupas lebih dalam oleh Schutz agar
New York pada tahun 1959. Schutz menjalani pendidikan formal setelah ia
mengenai tindakan (action) dan tipe ideal (ideal type). Meskipun Schutz
yang ada di dalam karya Weber dengan menyatukan ide filsuf besar
25
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami
Agama”, Walisongo, Volume 20, Nomor 2, (November 2012), 279.
34
The Phenomenology of the social world yang diterbitkan tahun 1932 dalam
bahasa Jerman. Buku ini baru diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris tahun
subyektif dari tindakan atau hasil tindakan yang dilakukan oleh aktor.
merupakan unsur kebudayaan. Oleh karena itu, agama pada dasarnya juga
pemaknaan siapa saja, sehingga dia dapat bermakna positif maupun negatif.
26
Ibid.
35
perangkat simbol mengenai dunia empiris dan tidak empiris yang diyakini
Dunia empiris adalah dunia yang dapat kita ketahui keberadaan dan
sebaliknya. Dunia ini biasa kita sebut “alam gaib”, alam yang tidak
kehidupan manusia yang nyata, dan juga mengenai dunia yang tidak nyata
dan substansial dari fenomena yang disimbolkan ini diyakini oleh penganut
agama Islam. Misalnya tentang iblis yang diyakini adanya dan yang
Qur’an dibaca dengan maksud untuk menghapus rasa takut, sedih, khawatir,
yang lain misalnya masjid untuk shalat, air untuk berwudhu, pakaian untuk
makna yang diberikan tidak hanya ada pada tataran kelompok atau
golongan, tetapi bahkan juga pada tataran individual. Tidak ada individu
yang sama persis pemaknaannya satu dengan yang lain, walaupun itu
sebuah ayat misalnya, tidak akan bisa persis sama antara individu satu
37
yang biasa mendapat perhatian dari para ahli antropologi agama dan ahli
sosiologi agama. Dari hal ini muncul istilah The living qur’an atau “al-
Qur’an yang hidup”, yaitu sebagai sebuah gejala yang berupa pola-pola
27
Ibid., 291-292.
38
kemiskinan.
28
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi”, Walisongo,
Vol. 20, No. 1, (Mei 2012), 250.