Materi Fiat Eksekusi & Parate Eksekusi

Unduh sebagai pptx, pdf, atau txt
Unduh sebagai pptx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

Fiat Eksekusi &

Parate Eksekusi

Oleh : Markus Kurniawan Nababan, S.H., M.H.


Partner Law Firm Bertua & Co.
A. Dasar Hukum
 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”);
 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”);
 Herzien Inlandsch Reglement (Statsblaad Nomor 44 Tahun 1941) (“HIR”);
 Rechtreglement voor de Buitengewesten (“RBG”).
FIAT EKSEKUSI adalah Penetapan Pengadilan untuk melaksanakan Putusan
(melalui sita eksekusi atas harta kekayan pihak yang kalah), dalam hal pihak
yang kalah tersebut menolak untuk melaksanakan Putusan Pengadilan secara
sukarela. Terhadap Fiat Eksekusi juga dapat dimintakan atas objek jaminan
yang diberikan oleh Debitor kepada Kreditor berdasarkan perjanjian.
PARATE EKSEKUSI secara etimologis berasal dari kata “paraat” artinya siap
ditangan, sehingga parate eksekusi dikatakan sebagai sarana yang siap di
tangan. Menurut kamus hukum, parate eksekusi mempunyai arti pelaksanaan
yang langsung tanpa melewati proses pengadilan atau hakim.
PARATE EKSEKUSI
PERJANJIAN
KREDIT

DEBITU JAMINAN KREDITU


R R

HAK TANGGUNGAN HIPOTEK FIDUSIA GADAI

TANAH DAN MESIN ATAU ALAT Emas, Handphone


KENDARAAN
BANGUNAN BERAT (KAPAL, Laptop, dsb.
BERMOTOR
HELIKOPTER, dsb)
UU No. 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan UU No. 17 Tahun 2008 UU No. 42 Tahun 1150-1161 KUH
Tentang Pelayaran 1999 Tentang Fidusia Perdata
B. Pelaksanaan Putusan
Pengadilan(Fiat Eksekusi)
 Penyelesaian pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dapat
dilakukan dengan dua cara, yakni secara sukarela (dalam hal
pihak yang kalah dengan sukarela melaksanakan putusan
pengadilan) dan secara paksa melalui eksekusi oleh
Pengadilan (dalam hal pihak yang kalah tidak melaksanakan
putusan secara sukarela).
Eksekusi dapat dimintakan oleh pihak yang menang dengan memasukkan
permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang,
dimana selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan memanggil pihak yang kalah
untuk dilakukan teguran (aanmaning) agar pihak tersebut dengan segera
melaksanakan putusan pengadilan dalam jangka waktu selama 8 (delapan) hari
(Pasal 196 HIR Jo. Pasal 207 ayat (1) RBg).
Bahwa hingga jatuh tempo jangka waktu yang ditetapkan, pihak yang kalah
tersebut tetap tidak melaksanakan Putusan Pengadilan tersebut, maka Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang akan memerintahkan agar dilakukan Fiat
Eksekusi/ Penyitaan atas barang-barang milik pihak yang kalah sampai dirasa
telah cukup untuk menggantikan kerugian pihak yang menang ditambah
dengan semua biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan putusan tersebut
(executorial beslag).
Pasal 197 HIR Jo. Pasal 208 RBg.
Dalam Pelaksanaanya Fiat Eksekusi harus terlebih dahulu meminta Penetapan oleh Pengadilan
dan Parate Eksekusi justru dapat dilakukan secara mandiri, dimana pemegang jaminan
(Kreditur) memiliki kewenangan untuk mengeksekusi objek jaminan berupa Hak Tanggungan
yang diberikan oleh Debitur secara langsung tanpa harus melalui Penetapan dari Pengadilan
(Pasal 1131 KUH Perdata). Objek Jaminan yang dapat dibebankan Parate Eksekusi adalah
grosse akta (salinan pertama dari akta autentik) dan surat utang yang mempunyai titel
eksekutorial, sehingga terhadapnya disamakan dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1131 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata.
Kamus Hukum Edisi Lengkap, Bahasa Belanda ± Indonesia ± Inggris. (Semarang : Aneka,
1977), hlm. 655.
Eksekusi terhadap Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan cara:
(Pasal 20 UU Hak Tanggungan)

A. Pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual hak tanggungan atas


kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum (Pasal 6 UU Hak Tanggungan). Hak
untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu
perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak
tanggungan atau pemegang hak tanggungan tingkat pertama dalam hal terdapat lebih
dari pemegang hak tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan
oleh pemberi hak tanggungan, bahwa apabila debitur cidera janji,
pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek
hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi
pemberi hak tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan itu lebih dahulu dari kreditur-kreditur yang lain. Sisa hasil
penjualan tetap menjadi pemberi hak tanggungan;
B. Eksekusi atas titel eksekutorial yang terdapat pada sertifikat Hak Tanggungan.
Irahirah (Kepala Putusan) “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
dicantumkan pada sertifikat Hak Tanggungan dimaksud untuk menegaskan adanya
kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur
cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu Putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan
lembaga Parate Eksekusi sesuai dengan hukum acara perdata; atau
Pasal 14 ayat (2) UU Hak Tanggungan.
C. Eksekusi di bawah tangan, yakni penjualan objek hak tanggungan yang
dilakukan pemberi hak tanggungan, berdasarkan kesepakatan dengan
pemegang hak tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang
tertinggi (Salim Hs, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Depok:
Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 190).
Namun, mengacu pada kondisi saat ini upaya Parate Eksekusi yang dilakukan
oleh kreditur untuk memperoleh pelunasan masih mengalami banyak kendala
terutama ketika Parate Eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditur tidak
dimintakan Fiat Eksekusi dari Pengadilan Negeri terlebih dahulu.
Dalam ketentuan Pasal 6 UU Hak Tanggungan menyatakan untuk melakukan
parate eksekusi tidak diperlukan lagi adanya Fiat Eksekusi, sedangkan menurut
ketentuan Pasal 224 HIR (sebagai hukum acara eksekusi) ditentukan bahwa
untuk melakukan eksekusi Hak Tanggungan harus dilaksanakan atas perintah
Ketua Pengadilan Negeri (fiat eksekusi), sehingga Parate Eksekusi seolah
kehilangan makna, hal ini sama saja dengan eksekusi menggunakan grosse akta
hipotek dan surat utang yang mempunyai title eksekutorial, ciri pokok dari
Parate Eksekusi berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri tanpa
harus ada title eksekutorial dan tanpa ada campur tangan dari pengadilan
menjadi tidak bisa dilaksanakan.
Hal inilah yang masih menjadi permasalahan atas adanya konflik norma antara
Pasal 6 UU Hak Tanggungan (hukum materiil) dan Pasal 224 HIR yang
mengatur hukum acara eksekusi (hukum formil). Akibat hukum dengan adanya
konflik norma dalam pengaturan Parate Eksekusi debitur bisa mendalilkan
bahwa pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh kreditur menurut ketentuan
Pasal 6 UU Hak Tanggungan telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 224
HIR.

Anda mungkin juga menyukai