Nyai Ageng Serang: Perbedaan antara revisi
Wadaihangit (bicara | kontrib) k Menambahkan foto ke halaman #WPWP |
|||
Baris 20: | Baris 20: | ||
'''Raden Ayu Serang''' atau '''Nyai Ageng Serang''' ({{lang-jv|ꦚꦲꦶꦲꦒꦼꦁꦱꦺꦫꦁ|Nyai Ageng Sérang}}) (1752-1828) adalah tokoh [[pahlawan nasional Indonesia]] wanita yang memiliki nama kecil '''Raden Ajeng Retno Kursiah Edi'''. Setelah menikah, namanya menjadi '''Bendara Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi'''.<ref name=":0">{{cite book|last=Carey|first=Peter|title=Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|date=2017|location=Jakarta|pages=30|url=http://www.penerbitkpg.id/|isbn=978-602-6208-16-3|year=|last2=Houben|first2=Vincent}}</ref> Ia adalah seorang [[Pahlawan Nasional Indonesia|Pahlawan Nasional]] [[Indonesia]]. Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional, yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai [[Ki Hajar Dewantara]]. |
'''Raden Ayu Serang''' atau '''Nyai Ageng Serang''' ({{lang-jv|ꦚꦲꦶꦲꦒꦼꦁꦱꦺꦫꦁ|Nyai Ageng Sérang}}) (1752-1828) adalah tokoh [[pahlawan nasional Indonesia]] wanita yang memiliki nama kecil '''Raden Ajeng Retno Kursiah Edi'''. Setelah menikah, namanya menjadi '''Bendara Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi'''.<ref name=":0">{{cite book|last=Carey|first=Peter|title=Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|date=2017|location=Jakarta|pages=30|url=http://www.penerbitkpg.id/|isbn=978-602-6208-16-3|year=|last2=Houben|first2=Vincent}}</ref> Ia adalah seorang [[Pahlawan Nasional Indonesia|Pahlawan Nasional]] [[Indonesia]]. Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional, yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai [[Ki Hajar Dewantara]]. |
||
== |
== Masa Kecil == |
||
Nyai Ageng Serang dilahirkan sekitar tahun 1752 di Desa Serang sekitar 40 km sebelah utara Surakarta dekat [[Purwodadi]], [[Jawa Tengah]]. Nyi Ageng Serang masih keturunan [[Sunan Kalijaga]]. Ayahnya adalah Pangeran Ronggo seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati Notoprojo.<ref name=":0" /> Pangeran Notoprojo menguasai wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di wilayah Serang yang sekarang berada di wilayah perbatasan [[Kabupaten Grobogan|Grobogan]]-[[Kabupaten Sragen|Sragen]]. |
Nyai Ageng Serang dilahirkan sekitar tahun 1752 di Desa Serang sekitar 40 km sebelah utara Surakarta dekat [[Purwodadi]], [[Jawa Tengah]]. Nyi Ageng Serang masih keturunan [[Sunan Kalijaga]]. Ayahnya adalah Pangeran Ronggo seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati Notoprojo.<ref name=":0" /> Pangeran Notoprojo menguasai wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di wilayah Serang yang sekarang berada di wilayah perbatasan [[Kabupaten Grobogan|Grobogan]]-[[Kabupaten Sragen|Sragen]]. Pangeran Notoprojo juga adalah penguasa wilayah Serang di Jawa Tengah, yang juga menjabat sebagai Panglima Perang di bawah Sultan Hamengku Buwono I.<ref name=":4">{{Cite web|last=Luthfiana|first=Hisyam|date=2023-11-11|title=Profil Nyi Ageng Serang, Buyut Ki Hajar Dewantara yang Pernah Berperang Bersama Pangeran Diponegoro|url=https://nasional.tempo.co/read/1795261/profil-nyi-ageng-serang-buyut-ki-hajar-dewantara-yang-pernah-berperang-bersama-pangeran-diponegoro|website=Tempo|language=en|access-date=2024-10-19}}</ref> |
||
== Kehidupan Dewasa == |
|||
Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang menikah dua kali, |
Nyi Ageng Serang lahir di desa Serang saat musim hujan. Di masa mudanya, ia menerima pelatihan militer dan sempat menjadi istri dari Sri Sultan [[Hamengkubuwana II]]. Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang menikah dua kali, selain dengan Hamengkubuwana II yang kemudian berpisah, ia menikah dengan Pangeran Serang I (nama asli: Pangeran Mutia Kusumowijoyo). Di Serang, dia melahirkan seorang putra bernama Pangeran Kusumowijoyo atau Sumowijoyo (1794-1852), yang disebut sebagai Pangeran Serang II dalam sumber [[Belanda]]. Dicap oleh Jenderal [[Hendrik Merkus de Kock]], sebagai yang sungguh jahat, tidak berprinsip, dan kecanduan madat.<ref name=":2">{{cite book|last=Carey|first=Peter|title=Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|date=2017|location=Jakarta|pages=31|url=http://www.penerbitkpg.id/|isbn=978-602-6208-16-3|year=|last2=Houben|first2=Vincent}}</ref> Ia juga memiliki seorang putri yang menikah dengan anak Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Mangkudiningrat I (1775-1824), yang diasingkan ke [[Pulau Pinang]] (1812-1815) dan [[Ambon]] (1816-1824) setelah Inggris menyerang [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]]. Pasangan yang terakhir ini punya seorang putra, Raden Tumenggung Mangkudirjo yang kelak akan bergelar Pangeran Adipati Notoprojo atau Raden Mas Papak (1803-1855). Julukan itu diberikan karena jari-jari tengah-tengah kiri sama rata, tanda kebesaran sebagai calon raja. |
||
Setelah berpisah, Nyi Ageng Serang kembali ke daerah Purwodadi dan bergabung dalam perjuangan bersama Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa (1825–1830), meskipun saat itu ia telah berusia 73 tahun. Selama perang tersebut, Nyi Ageng Serang tetap aktif dan gigih melanjutkan perlawanan bersama cucunya, R.M. Papak Nyi Ageng. Dalam Perang Diponegoro, ia memegang posisi strategis sebagai penasihat Pangeran Diponegoro, serta beberapa kali dipercaya memimpin pasukan dalam pertempuran di wilayah Serang, Purwodadi, Gundih, Kudus, Demak, dan Semarang. Nyi Ageng Serang dikenal sebagai ahli strategi militer, terutama dengan taktik yang disebut "strategi lembu," yang memanfaatkan hewan atau daun talas sebagai alat penyamaran dalam peperangan. Selain itu, ia juga pernah memimpin perang gerilya di sekitar Desa Beku, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Atas saran Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang kemudian memindahkan markasnya ke Prambanan dan menjadi penasihat Sultan Sepuh, Hamengku Buwono II.<ref name=":4" /> |
|||
[[Berkas:Ageng Serang.jpg|kiri|jmpl|Lukisan diri Nyai Ageng Serang ]] |
[[Berkas:Ageng Serang.jpg|kiri|jmpl|Lukisan diri Nyai Ageng Serang ]] |
||
Nyi Ageng Serang meninggal di Yogyakarta tahun 1828 dan dimakamkan di [[Kalibawang, Kulon Progo]].<ref name=":3">{{cite book|last=Carey|first=Peter|title=Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|date=2017|location=Jakarta|pages=35|url=http://www.penerbitkpg.id/|isbn=978-602-6208-16-3|year=|last2=Houben|first2=Vincent}}</ref> Namun, beberapa orang meyakini bahwa makamnya berada di daerah [[Grobogan]] yang kini menjadi lokasi [[Waduk Kedung Ombo]], sehingga dibuatlah sebuah makam terapung di waduk tersebut. Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai [[Ki Hajar Dewantara]]. |
Nyi Ageng Serang meninggal di Yogyakarta tahun 1828 dan dimakamkan di [[Kalibawang, Kulon Progo]].<ref name=":3">{{cite book|last=Carey|first=Peter|title=Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|date=2017|location=Jakarta|pages=35|url=http://www.penerbitkpg.id/|isbn=978-602-6208-16-3|year=|last2=Houben|first2=Vincent}}</ref> Namun, beberapa orang meyakini bahwa makamnya berada di daerah [[Grobogan]] yang kini menjadi lokasi [[Waduk Kedung Ombo]], sehingga dibuatlah sebuah makam terapung di waduk tersebut. Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai [[Ki Hajar Dewantara]]. |
||
Baris 34: | Baris 37: | ||
Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah. Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran.<ref name=":1" /> |
Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah. Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran.<ref name=":1" /> |
||
== Wafat == |
|||
Nyi Ageng Serang meninggal pada tahun 1838 di usia 86 tahun dan dimakamkan di Bukit Traju Mas, Padukuhan Beku, Kalurahan Banjarharjo, Kabupaten Kulon Progo. Pada tahun 1974, ia diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden No. 084/TK/1974, tertanggal 13 Desember 1974. Namanya juga diangkat sebagai teladan perempuan nasional dalam pidato Hari Ibu Nasional pada tahun yang sama, karena integritas, nasionalisme, dan religiusitas yang ia tunjukkan sepanjang hidupnya.<ref name=":4" /> |
|||
== Referensi == |
== Referensi == |
Revisi per 19 Oktober 2024 13.58
Nyai Ageng Serang | |
---|---|
Nama asal | ꦔꦲꦶꦲꦒꦼꦁꦱꦺꦫꦁ |
Lahir | Raden Ajeng Retno Kursiah Edi 1752 Serang, Kabupaten Grobogan, Hindia Belanda |
Meninggal | 1752 (umur -77–-76) Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Hindia Belanda |
Nama lain | Bendara Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi |
Dikenal atas | Pahlawan Nasional Indonesia |
Raden Ayu Serang atau Nyai Ageng Serang (bahasa Jawa: ꦚꦲꦶꦲꦒꦼꦁꦱꦺꦫꦁ, translit. Nyai Ageng Sérang) (1752-1828) adalah tokoh pahlawan nasional Indonesia wanita yang memiliki nama kecil Raden Ajeng Retno Kursiah Edi. Setelah menikah, namanya menjadi Bendara Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi.[1] Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional, yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.
Masa Kecil
Nyai Ageng Serang dilahirkan sekitar tahun 1752 di Desa Serang sekitar 40 km sebelah utara Surakarta dekat Purwodadi, Jawa Tengah. Nyi Ageng Serang masih keturunan Sunan Kalijaga. Ayahnya adalah Pangeran Ronggo seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati Notoprojo.[1] Pangeran Notoprojo menguasai wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di wilayah Serang yang sekarang berada di wilayah perbatasan Grobogan-Sragen. Pangeran Notoprojo juga adalah penguasa wilayah Serang di Jawa Tengah, yang juga menjabat sebagai Panglima Perang di bawah Sultan Hamengku Buwono I.[2]
Kehidupan Dewasa
Nyi Ageng Serang lahir di desa Serang saat musim hujan. Di masa mudanya, ia menerima pelatihan militer dan sempat menjadi istri dari Sri Sultan Hamengkubuwana II. Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang menikah dua kali, selain dengan Hamengkubuwana II yang kemudian berpisah, ia menikah dengan Pangeran Serang I (nama asli: Pangeran Mutia Kusumowijoyo). Di Serang, dia melahirkan seorang putra bernama Pangeran Kusumowijoyo atau Sumowijoyo (1794-1852), yang disebut sebagai Pangeran Serang II dalam sumber Belanda. Dicap oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, sebagai yang sungguh jahat, tidak berprinsip, dan kecanduan madat.[3] Ia juga memiliki seorang putri yang menikah dengan anak Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Mangkudiningrat I (1775-1824), yang diasingkan ke Pulau Pinang (1812-1815) dan Ambon (1816-1824) setelah Inggris menyerang Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pasangan yang terakhir ini punya seorang putra, Raden Tumenggung Mangkudirjo yang kelak akan bergelar Pangeran Adipati Notoprojo atau Raden Mas Papak (1803-1855). Julukan itu diberikan karena jari-jari tengah-tengah kiri sama rata, tanda kebesaran sebagai calon raja.
Setelah berpisah, Nyi Ageng Serang kembali ke daerah Purwodadi dan bergabung dalam perjuangan bersama Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa (1825–1830), meskipun saat itu ia telah berusia 73 tahun. Selama perang tersebut, Nyi Ageng Serang tetap aktif dan gigih melanjutkan perlawanan bersama cucunya, R.M. Papak Nyi Ageng. Dalam Perang Diponegoro, ia memegang posisi strategis sebagai penasihat Pangeran Diponegoro, serta beberapa kali dipercaya memimpin pasukan dalam pertempuran di wilayah Serang, Purwodadi, Gundih, Kudus, Demak, dan Semarang. Nyi Ageng Serang dikenal sebagai ahli strategi militer, terutama dengan taktik yang disebut "strategi lembu," yang memanfaatkan hewan atau daun talas sebagai alat penyamaran dalam peperangan. Selain itu, ia juga pernah memimpin perang gerilya di sekitar Desa Beku, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Atas saran Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang kemudian memindahkan markasnya ke Prambanan dan menjadi penasihat Sultan Sepuh, Hamengku Buwono II.[2]
Nyi Ageng Serang meninggal di Yogyakarta tahun 1828 dan dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo.[4] Namun, beberapa orang meyakini bahwa makamnya berada di daerah Grobogan yang kini menjadi lokasi Waduk Kedung Ombo, sehingga dibuatlah sebuah makam terapung di waduk tersebut. Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.
Sebagai pahlawan nasional, Nyi Ageng Serang cenderung hampir terlupakan. Mungkin karena namanya tak sepopuler R.A. Kartini atau Cut Nyak Dhien. Bagaimanapun warga Kulon Progo mendirikan monumen di tengah kota Wates untuk mengenangnya. Monumen tersebut berupa patung Nyi Ageng Serang yang sedang menaiki kuda dengan membawa tombak.
Perjuangan
Pada awal Perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Tidak hanya turut berperang, ia juga menjadi penasihat perang. Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.[5]
Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah. Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran.[5]
Wafat
Nyi Ageng Serang meninggal pada tahun 1838 di usia 86 tahun dan dimakamkan di Bukit Traju Mas, Padukuhan Beku, Kalurahan Banjarharjo, Kabupaten Kulon Progo. Pada tahun 1974, ia diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden No. 084/TK/1974, tertanggal 13 Desember 1974. Namanya juga diangkat sebagai teladan perempuan nasional dalam pidato Hari Ibu Nasional pada tahun yang sama, karena integritas, nasionalisme, dan religiusitas yang ia tunjukkan sepanjang hidupnya.[2]
Referensi
- ^ a b Carey, Peter; Houben, Vincent (2017). Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 30. ISBN 978-602-6208-16-3.
- ^ a b c Luthfiana, Hisyam (2023-11-11). "Profil Nyi Ageng Serang, Buyut Ki Hajar Dewantara yang Pernah Berperang Bersama Pangeran Diponegoro". Tempo (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-10-19.
- ^ Carey, Peter; Houben, Vincent (2017). Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 31. ISBN 978-602-6208-16-3.
- ^ Carey, Peter; Houben, Vincent (2017). Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 35. ISBN 978-602-6208-16-3.
- ^ a b Adryamarthanino, Verelladevanka (2021-06-05). Nailufar, Nibras Nada, ed. "Nyi Ageng Serang: Kehidupan, Perjuangan, dan Akhir Hidup". Kompas.com. Diakses tanggal 2021-06-17.