Lompat ke isi

Kerajaan Kahuripan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 23 Agustus 2024 07.10 oleh Dakwah Islam (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Kerajaan Kahuripan

1019–1043
Wilayah Kahuripan sebelum pendirian Janggala dan Panjalu (Kadiri)
Wilayah Kahuripan sebelum pendirian Janggala dan Panjalu (Kadiri)
Ibu kota
Bahasa yang umum digunakanJawa Kuno, Sansekerta
Agama
Hinduisme, Buddhisme, Animisme
PemerintahanMonarki
Raja 
• 1019 - 1043
Airlangga
• 1042 - 1043
Sanggramawijaya Tunggadewi
Sejarah 
• Didirikan
1019
• Airlangga menyatukan kembali bekas kerajaan Medang setelah jatuh di bawah serangan raja Wurawari dari Lwaram
1019
• Wilayah kerajaan Kahuripan dibagi dua menjadi kerajaan Panjalu dan Janggala
1042
• Dibubarkan
1043
Mata uangKoin emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Medang
krjKerajaan
Panjalu
krjKerajaan
Janggala
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Kahuripan atau dikenal dengan nama Medang Kahuripan, adalah nama yang lazim dipakai untuk sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Airlangga pada tahun 1019 M.[1] Kerajaan ini dibangun sebagai kelanjutan kerajaan Medang yang runtuh tahun 1016 M.[1][2] Pada tahun 1042 M, wilayah kerajaan dibagi dua oleh Airlangga untuk kedua putranya menjadi kerajaan Panjalu dan kerajaan Janggala.[1]

Belum ditemukan adanya prasasti yang menyebut Kahuripan sebagai sebuah nama kerajaan mandiri. Namun, Carita Parahyangan menyebut Kahuripan adalah bagian dari wilayah kerajaan Medang.[3] Dalam cerita Panji dan dongeng rakyat, nama kerajaan ini lebih dikenal dengan sebutan Medang Koripan;[3] sedangkan di masa kerajaan Majapahit, Mpu Prapañca juga menyebutkan wilayah Kahuripan dengan Jiwana, yaitu nama lainnya dalam bahasa Sanskerta.[3]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Runtuhnya kerajaan Medang

[sunting | sunting sumber]

Raja kerajaan Medang yang terakhir bernama Dharmawangsa Teguh, saingan berat kedatuan Sriwijaya. Pada tahun 1016. Raja Wurawari seorang raja bawahan dari Lwaram sekitar Cepu, Blora bersekutu dengan Sriwijaya untuk menyerang istana Wwatan (sekarang sekitar Maospati, Magetan) ibu kota dari kerajaan Medang, yang pada saat itu tengah mengadakan sebuah pesta pernikahan antara putri Dharmawangsa Teguh dengan Airlangga, raja Dharmawangsa Teguh sendiri tewas dalam serangan tersebut sedangkan keponakannya yang bernama Airlangga bersama dengan putri Dharmawangsa berhasil lolos ditemani pembantunya Mpu Narotama.

Airlangga adalah putra dari pasangan Mahendradatta saudari Dharmawangsa Teguh dengan Udayana raja dari kerajaan Bedahulu, Bali. ia lolos bersama putri Dharmawangsa dengan ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan (Vana giri) sekarang Wonogiri, dan selanjutnya menuju Sendang Made, Kudu, Jombang.

Berdirinya kerajaan

[sunting | sunting sumber]

Pada saat pelarian dan dalam masa persembunyiannya dengan kalangan pertapa, setelah melewati tiga tahun hidup di dalam hutan pada tahun 1019, Airlangga didatangi utusan rakyat beserta senopati yang masih setia untuk menyampaikan permintaan agar dirinya mendirikan dan membangkitkan kembali sisa-sisa kejayaan Medang. Atas dukungan para pendeta dari ketiga aliran yakni (Hindu, Buddha, dan Mahabrahmana) ia kemudian membangun kembali sisa-sisa kerajaan Medang yang istananya telah hancur tersebut. Yang lazim dikenal sekarang dengan kerajaan Medang Koripan atau Medang Kahuripan dengan ibu kota baru yang bernama Watan Mas.[3]

15. Kemudian dalam tahun penting yaitu 941 tahun saka, tanggal 13 paro terang, bulan magha, pada hari kamis menghadaplah para abdi dan para Brahmana terpandang kepada raja di raja Erlangga, menunduk hormat disertai harapan tulus. Mereka dengan penuh ketulusan mengajukan permohonan kepadanya: “perintahlah negara ini sampai batas-batas yang paling jauh ! ...”

(Calcutta Stone)

Ibu kota baru bernama Watan Mas terletak di dekat sekitar Gunung Penanggungan. Pada mulanya wilayah kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung Penanggungan dan sekitarnya, karena banyak daerah-daerah bawahan kerajaan Medang yang membebaskan diri setelah keruntuhannya. Baru setelah kedatuan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa, raja Colamandala dari kerajaan Chola, wilayah Coromandel, India di tahun 1025, Airlangga baru bisa dengan leluasa membangun kembali dan menegakkan kekuasaan wangsa Isyana di tanah Jawa.

Perluasan wilayah

[sunting | sunting sumber]

Sejak tahun 1029, Airlangga mulai memperluas wilayah kerajaannya, peperangan demi peperangan dijalani Airlangga. Satu demi satu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukkannya. Namun pada tahun 1031 Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa. Raja wanita itu adalah Ratu Dyah Tulodong, yang merupakan salah satu raja Kerajaan Lodoyong (sekarang wilayah Tulungagung, Jawa Timur). Dyah Tulodong digambarkan sebagai ratu yang memiliki kekuatan luar biasa. Salah satu peristiwa sejarah penting adalah pertempuran antara bala tentara Raja Airlangga yang berhasil dikalahkan oleh Dyah Tulodong. Pertempuran tersebut terjadi lantaran Dyah Tulodong berusaha membendung ekspansi Airlangga yang waktu itu sudah menguasai wilayah-wilayah di sekitar kerajaan Lodoyong. Bahkan di beberapa riwayat, diceritakan pasukan khusus yang dibawa Ratu Dyah Tulodong merupakan prajurit-prajurit wanita pilihan, pasukan ini bahkan berhasil memukul mundur pasukan Airlangga dari pusat kota kerajaannya Watan Mas, (Wotanmas Jedong, Ngoro, Mojokerto) di dekat Gunung Penanggungan hingga ke Patakan (Sambeng, Lamongan, Jawa Timur).

Tetapi satu tahun kemudian di penghujung tahun 1032, Pasukan Airlangga dari arah utara, bergerak ke selatan menuju wilayah Lodoyong. Dyah Tulodong berhasil dikalahkan oleh Airlangga lewat pertempuran sengit. Tidak lama kemudian Airlangga menuju ke arah barat, Raja Wurawari pun dapat dihancurkannya, sekaligus membalaskan dendam Airlangga dan wangsa Isyana. Raja Airlangga juga berhasil mengalahkan raja Wijayawarmman, raja terakhir yang masih belum tunduk pada (bulan Kartika tahun 959 Saka atau 10 November 1037 Masehi).[4] Sejak saat itu wilayah kerajaan Airlangga mencakup hampir seluruh Jawa Timur. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali.

Ibu Kota Kahuripan

[sunting | sunting sumber]

Tahun 1032, menurut prasasti Terep, Airlangga membangun ibu kota baru di wilayah Janggala bernama Kahuripan yang berpusat di daerah Kabupaten Sidoarjo sekarang. Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari yang sebenarnya adalah nama ibu kota, lazim dipergunakan sebagai nama kerajaan yang dipimpin oleh Kertanagara.

Istana Madander

[sunting | sunting sumber]

Di tahun 1037, dikeluarkan prasasti Kusambyan memuat informasi mengenai keraton "Madander" yang diperkirakan sebagai lokasi dari istana Airlangga yang terletak di sekitar Kabupaten Jombang.

Perkembangan kerajaan

[sunting | sunting sumber]
Candi Gunung Gangsir, peninggalan Kerajaan Kahuripan di daerah Beji, Pasuruan.

Ekonomi, Sastra dan Agama

[sunting | sunting sumber]

Kerajaan dengan pusatnya berada di Kahuripan ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Daerah pantai utara Jawa, terutama Sidoarjo, Surabaya dan Tuban menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik takhta dengan bergelar abhiseka (wisuda) Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawamça Airlangga Anãntawikramottunggadewa. Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu, Siwa dan Buddha. Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035, Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan raja Wurawari. Setelah keadaan telah aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain;

  • Pada tahun 1036, Airlangga membangun Sri Wijaya Asrama, yang dibangun sebagai pusat pendidikan dan pengajaran keagamaan.
  • Pada tahun 1037, berdasarkan prasasti Kamalagyan, Airlangga membangun bendungan Waringin Sapta untuk mencegah banjir musiman.
  • Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara sungai Brantas, dekat dengan Surabaya sekarang.
  • Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
  • Berdasarkan prasasti Pucangan, meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.

Ibukota Dahanapura

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1042, berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, di akhir masa pemerintahannya, Airlangga kemudian memindahkan ibukotanya ke Daha, Kota Kediri.

Pembagian kerajaan

[sunting | sunting sumber]

Menurut prasasti Turun Hyang (1044 M), pada akhir pemerintahannya tahun 1042, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya, raja yang sebenarnya adalah putri Airlangga. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021 M) sampai prasasti Pasar Legi (1043 M) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi, yang menjadi putri mahkota sekaligus pewaris takhta istana Kerajaan Kahuripan, namun dirinya memilih untuk mengundurkan diri dan menjalani kehidupan suci sebagai seorang pertapa biksuni dengan bergelar Dewi Kili Suci. Kemudian di tahun yang sama, berdasarkan prasasti Pamwatan (1042 M) dan Serat Calon Arang, Airlangga memindahkan ibukotanya dan mendirikan kota Dahanapura, di wilayah Panjalu atau Kadiri.

Sebelum turun takhta, pada akhir November 1042, atas saran penasihat kerajaan sekaligus gurunya Mpu Bharada, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, bagian barat yaitu wilayah Panjalu beribukota di Daha diberikan kepada Sri Samarawijaya, kemudian wilayah bagian timur yaitu Janggala beribukota di Kahuripan diberikan kepada Mapanji Garasakan.

Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042 M) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Menurut prasasti Pasar Legi (1043 M), baik Airlangga maupun Sanggramawijaya Tunggadewi masih aktif menjalankan pemerintahan, mengikuti penyebutan gelar kependetaan Airlangga yaitu Resi Aji yang juga berarti sebagai raja pendeta. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Airlangga dan putrinya masih memegang kekuasaan tertinggi sekalipun hidupnya sudah terbagi dengan kegiatan non-duniawi.

Saat Kahuripan menjadi bawahan Majapahit

[sunting | sunting sumber]

Sejak tahun 1293 M. Kahuripan bersama dengan Daha menjadi negeri bawahan dari kerajaan Majapahit yang paling utama. Penguasa Kahuripan atau raja bawahan yang memimpin wilayah ini bergelar sebagai Bhre Kahuripan.

Bhre Kahuripan yang pernah menjabat ialah :

  1. Dyah Gitarja (1309-1328), (1350-1375)
    Kitab Pararaton 27:18,19; 29:32 dan Kakawin Nagarakretagama 2:2.
  2. Hayam Wuruk (1334-1350)
    Prasasti Prapancasarapura (1320 M).
  3. Wikramawardhana (1375-1389)
    Suma Oriental (?).
  4. Surawardhani (1389-1400)
    Kitab Pararaton 29:23,26; 30:37.
  5. Ratnapangkaja (1400-1446)
    Kitab Pararaton 30:5,6; 31:35.
  6. Rajasawardhana (1447-1451)
    Kitab Pararaton 32:11 dan Prasasti Waringin Pitu (1477 M).
  7. Dyah Samarawijaya (1451-1478)
    Kitab Pararaton 32:23.

Situs budaya Kahuripan

[sunting | sunting sumber]
Candi belahan pada tahun 2017

Karya Sastra

[sunting | sunting sumber]

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  • Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Didahului oleh:
Kerajaan Medang
Kerajaan Hindu-Buddha
1019 - 1043
Diteruskan oleh:
Kerajaan Janggala dan Panjalu

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c Aizid, Rizem (2022-03-25). Pasang Surut Runtuhnya Kerajaan Hindu-Buddha dan Bangkitnya Kerajaan Islam di Nusantara. Anak Hebat Indonesia. hlm. 69–75. ISBN 978-623-400-541-7. 
  2. ^ Mulyono, Otto Sukatno, CR dan Untung (2021-05-01). Pararaton: Naskah Pararaton dan Sistem Pemerintahan Kerajaan Konsentris. Nusamedia. hlm. 6. 
  3. ^ a b c d Wignjosoebroto, Wiranto. MENCARI JEJAK KAHURIPAN; Kerajaan Hindu Tertua dan Terlama di Tanah Jawa. Penerbit K-Media. ISBN 978-602-6287-19-9. 
  4. ^ "Prasasti Kamalagean dusun Klagen, desa Tropodo, kecamatan Krian, kabupaten Sidoarjo Jaw". Informasi Situs Budaya Indonesia. 2017-09-18. Diakses tanggal 2017-12-15. 
Didahului oleh:
Medang
Kerajaan Kahuripan
1019-1042
Diteruskan oleh:
Kadiri dan Janggala