Lompat ke isi

Universitas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Balai perguruan tinggi)

Universitas adalah suatu institusi pendidikan tinggi dan penelitian, yang memberikan gelar akademis dalam berbagai bidang. Sebuah universitas menyediakan pendidikan sarjana dan pascasarjana.

Kata universitas berasal dari bahasa Latin universitas magistrorum et scholarium, yang berarti "komunitas guru dan akademisi".[1] Pendahulu universitas sudah ada lama di Asia dan Afrika,[2] akan tetapi sistem universitas modern berakar pada universitas Abad Pertengahan di Eropa yang diciptakan di Italia dan pada dasarnya berakar pada Sekolah Kristen untuk pendeta pada masa Abad Pertengahan Tinggi.[3]

Kata bahasa Latin asli, universitas, secara umum berarti "orang-orang yang terasosiasi dengan sebuah badan, masyarakat, perusahaan, komunitas, kelompok pekerja, korporasi, dll."[4] Dengan perkembangan kehidupan urban, serta munculnya kelompok pekerja di Abad Pertengahan, arti istilah ini kemudian berkembang menjadi "asosiasi siswa dan guru dengan hak legal kolektif yang biasanya dipersetujui dalam sebuah fakta yang dikeluarkan oleh pangeran atau pemimpin kota mereka". Seperti kelompok pekerja lainnya, universitas yang ada pada masa itu memiliki peraturannya sendiri dan bebas menentukan kualifikasi anggotanya sendiri.[5]

Di masa modern, arti kata ini telah berubah menjadi "sebuah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pengajaran dalam bidang-bidang nonvokasi dan biasanya memiliki kekuasaan untuk memberikan gelar".[6]

Kebebasan akademis

[sunting | sunting sumber]

Sebuah konsep penting yang membedakan universitas dengan yang lainnya adalah konsep kebebasan akademis. Dokumen pertama yang menjadi bukti atas hal ini adalah sebuah dokumen dari Universitas Bologna, yaitu sebuah pakta akademis berjudul Constitutio Habita[7] yang keluar pada tahun 1158 atau 1155.[8] Dokumen ini menjamin hak jalan bagi seorang ilmuwan yang sedang bepergian atas nama pendidikan. Kini, dokumen ini diklaim sebagai asal dari konsep "kebebasan akademis".[9] Hal ini kini sudah diketahui secara internasional. Pada 18 September 1988, 430 rektor universitas menandatangani Magna Charta Universitatum,[10] sebuah dokumen yang menandai ulang tahun ke 900 pendirian Universitas Bologna. Jumlah universitas yang menandatangani Magna Charta Universitatum terus tumbuh dari seluruh dunia.

Asal-usul

[sunting | sunting sumber]

Menurut Ensiklopedia Britannica, nenek moyang universitas berada di Asia dan Afrika dan sudah ada lebih dahulu daripada universitas-universitas Abad Pertengahan di Eropa.[11][12] Beberapa orang menganggap Universitas Al Quaraouiyine yang didirikan di Maroko oleh Fatima al Fihri pada tahun 859 adalah universitas pemberi gelar paling tua di dunia.[13][14][15][16][17][18][19][20]

Ada beberapa kesamaan antara universitas-universitas awal yang didirikan di daerah sekitar Laut Mediterania dengan madrasah dalam Islam. Perbedaannya, madrasah biasanya lebih kecil dan yang memberikan gelar biasanya adalah guru-guru dalam madrasah itu sendiri dan bukan madrasahnya.[21] Sejarawan-sejarawan seperti Arnold H. Green dan Hossein Nasr berargumen bahwa pada awal abad ke-10, ada beberapa madrasah Islam yang berubah menjadi universitas.[22][23] Namun, sejarawan lain seperti George Makdisi, Toby Huff dan Norman Daniel[24] berpendapat bahwa universitas gaya Eropa tidak memiliki kesamaan dengan apa pun yang berada dalam dunia Islam Abad Pertengahan.[25] Ada ilmuwan lain yang berpendapat bahwa konsep universitas memang asli berasal dari Eropa, baik dalam sejarah, maupun dalam karakteristik.[26][27] Darleen Pryds mempertanyakan hal ini dan menunjukkan bahwa berbagai madrasah dan universitas Eropa di daerah Laut Mediterania memiliki karakteristik yang mirip, yaitu sama-sama mendapatkan pendanaan dari kaum bangsawan dan diciptakan untuk menyuplai birokrat-birokrat lokal yang setia pada agenda pemerintahan.[28]

Ada juga ilmuwan-ilmuwan, termasuk Makdisi, yang berargumen bahwa universitas-universitas Abad Pertengahan awal terpengaruh dengan madrasah-madrasah di Al-Andalus, di Keamiran Sisilia, serta madrasah-madrasah di Timur Tengah pada saat Perang Salib.[29][30][31] Namun, Norman Daniel mengatakan bahwa klaim ini berlebihan.[32] Roy Lowe serta Yoshihito Yasuhara juga belakangan ini menggunakan dokumen-dokumen yang menunjukkan pengaruh pembelajaran dunia Islam pada universitas-universitas di Eropa Barat, agar para sejarawan dapat mempertimbangkan kembali pengembangan pendidikan tinggi, antara lain dengan cara menjauhkan pandangan mereka dari struktur pendidikan tinggi lokal ke konteks yang lebih global.[33]

Universitas Abad Pertengahan

[sunting | sunting sumber]
Universitas Bologna di Italia, yang didirikan pada tahun 1088, adalah universitas tertua karena kata bahasa Latin universitas digunakan pada saat pendiriannya.

Universitas pada umumnya dianggap sebagai sebuah institusi formal yang berasal dari tradisi Kristen Abad Pertengahan.[26][34] Selama berabad-abad, pendidikan tinggi di Eropa berasal dari sekolah katedral atau sekolah pastor (bahasa Latin: scholae monasticae) yang diajarkan oleh para pastor dan suster. Bukti atas hal ini tersedia di berbagai tempat, hingga abad ke-6.[35] Universitas-universitas yang paling awal dikembangkan di bawah sayap Gereja Latin dengan bulla kepausan, sebagai studia generalia dan mungkin dari sekolah katedral. Tentunya mungkin sekali bahwa sangat sedikit sekolah katedral yang berkembang menjadi universitas, kecuali satu, yaitu Universitas Paris.[36] Universitas juga kemudian didirikan oleh raja-raja (misalnya Universitas Napoli Federico II, Universitas Charles di Praha, Universitas Jagiellonia) atau pemerintahan munisipal (misalnya Universitas Koln atau Universitas Erfurt). Pada awal Abad Pertengahan, kebanyakan universitas baru dikembangkan dari sekolah yang sudah ada, biasanya ketika sekolah-sekolah tersebut sudah dianggap menjadi tempat pendidikan tinggi. Banyak sejarawan yang berpendapat bahwa universitas dan sekolah katedral adalah kelanjutan dari minat para pendeta terhadap pendidikan yang dikembangkan melalui biara.[37] Paus Gregorius VII memegang peranan penting dalam mempromosikan dan meregulasikan konsep universitas modern melalui Dekrit Kepausan Tahun 1079 yang menentukan pendirian sekolah katedral yang kemudian berubah menjadi universitas-universitas pertama di Eropa.[38]

Universitas-universitas pertama di Eropa yang bentuknya berasal dari struktur korporat/persatuan pekerja adalah Universitas Bologna (1088), Universitas Paris (sekitar tahun 1150, kemudian disamakan dengan Sorbonne), serta Universitas Oxford (1167).

Universitas Bologna pada awalnya adalah sebuah sekolah hukum yang mengajarkan ius gentium atau Hukum Romawi, yang pada waktu itu dibutuhkan orang Eropa untuk membantu membela hak-hak negara-negara yang baru muncul di hadapan Gereja. Universitas Bologna memiliki klaim spesial atas Alma Mater Studiorum, yang berdasar pada otonominya, haknya untuk memberikan gelar, dan struktur-struktur lain. Dengan demikian dapat dianggap bahwa universitas itu adalah universitas tertua yang masih berdiri,[8] yang tidak terkait secara langsung dengan raja, kaisar, atau otoritas keagamaan lainnya.[39][40]

Pertemuan para doktor di Universitas Paris. Diambil dari sebuah manuskrip Abad Pertengahan.

Irnerius pertama kali mengajarkan kodifikasi Hukum Romawi abad ke-6 oleh Kaisar Yustinianus I, pada tahun 1088 atau 1087.[41] Kodifikasi ini disebut Corpus Juris Civilis dan pertama kali ditemukan di Pisa. Mahasiswa-mahasiswa baru kemudian datang ke kota itu dari berbagai tempat, untuk meminta kontrak dan mulai mempelajari dokumen itu. Mereka mengorganisasi diri ke dalam 'Nationes', yang kemudian dibagi lagi menjadi Cismontanes dan Ultramontanes. Para mahasiswa "memiliki segala hak ... dan mendominasi guru-guru mereka".[42][43]

Di Eropa, anak-anak muda melanjutkan pendidikan mereka ke universitas ketika mereka sudah menyelesaikan trivium pendidikan, yaitu tata bahasa, retorika dan dialektika atau logika, serta kuadrivium: aritmatika, geometri, musik, serta astronomi.

Di seluruh Eropa, para pemimpin dan pemerintahan kota mulai mendirikan universitas untuk memenuhi keingintahuan mereka. Mereka juga percaya bahwa masyarakat umum akan mendapatkan untung dari keahlian ilmuwan-ilmuwan yang ada dari institusi-institusi ini. Para pangeran dan pimpinan pemerintah kota melihat keuntungan-keuntungan potensial dari keahlian ilmuwan ini berkembang seiring dengan berkembangnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah sulit dan mencapai apa yang mereka inginkan. Munculnya paradigma humanisme juga memegang peranan penting dalam perspektif mereka tentang kegunaan universitas ini. Selain itu, ada pula rasa haus baru tentang pengetahuan yang muncul dari teks-teks Yunani Kuno.[44]

Penemuan kembali karya-karya Aristoteles, yang mana lebih dari 3.000 halaman dari karya-karya tersebut kemudian akan diterjemahkan, membakar kembali semangat keingintahuan akan proses-proses alamiah. Hal ini mulai muncul pada abad ke-12. Ada ilmuwan yang percaya bahwa karya-karya ini merupakan salah satu penemuan dokumen terpenting dalam sejarah intelektual Barat.[45] Richard Dales, misalnya, mengatakan bahwa penemuan karya Aristoteles adalah "titik balik dalam sejarah pemikiran Barat".[46] Setelah kemunculan kembali Aristoteles, ada sekumpulan ilmuwan yang berkomunikasi dalam bahasa Latin yang mempercepat proses dan praktik merekonsiliasi pemikiran Yunani Kuno, terutama yang berhubungan dengan pemahaman mereka atas alam, dengan pemikiran Gereja. Usaha-usaha skolastikisme ini kemudian berfokus pada menggunakan logika serta pemikiran Aristotelian mengenai ilmu alam pada ayat-ayat Injil, dan mencoba untuk membuktikan ayat-ayat tersebut melalui akal budi. Hal ini kemudian menjadi misi utama para dosen dan hal yang diharapkan para mahasiswa.

Universitas Heidelberg adalah universitas tertua di Jerman, dan salah satu universitas yang rankingnya terbaik di Eropa.[47] Universitas ini didirikan pada tahun 1386.

Budaya universitas yang berkembang di Eropa utara (terutama Jerman, Perancis, dan Inggris) berbeda dengan yang berkembang di Eropa selatan (Italia), meskipun terdapat beberapa kesamaan. Pada keduanya, bahasa Latin digunakan sebagai bahasa pengantar, yang digunakan untuk semua teks pengajaran, perkuliahan, debat, serta ujian. Buku-buku Aristoteles digunakan untuk logika, filsafat alam, serta metafisika. Sementara itu, karya-karya Hipokrates, Galen, serta Ibnu Sina digunakan untuk kedokteran. Di luar kesamaan-kesamaan ini, ada perbedaan-perbedaan besar antara universitas di utara dan selatan, antara lain di bidang pengajaran. Universitas di Italia berfokus pada hukum dan kedokteran, sementara universitas di Eropa Utara lebih berfokus pada seni dan teologi. Ada pula perbedaan-perbedaan yang besar dalam kualitas pengajaran, yang kongruen dengan bidang yang menjadi fokus masing-masing daerah; mahasiswa yang ingin belajar dalam bidang kedokteran, misalnya, akan pergi ke Eropa selatan dan bukan ke utara. Ada pula perbedaan dalam jenis gelar yang diberikan universitas-univresitas itu. Universitas-universitas di Inggris, Perancis, dan Jerman, biasanya akan memberikan gelar sarjana, kecuali untuk bidang teologi yang lebih didominasi dengan gelar doktoral. Universitas di Italia secara umum hanya memberikan gelar doktoral. Perbedaan ini dapat ditarik kembali kepada tujuan para pemegang gelar setelah lulus; pemegang gelar dari universitas di utara biasanya lebih tertarik untuk mencari posisi pengajar, sementara yang di selatan, mereka lebih ingin segera masuk ke pekerjaan profesional.[48] Struktur universitas di utara lebih mengikuti model pemerintahan fakultas yang dikembangkan di Universitas Paris. Sementara itu, di universitas selatan lebih condong ke pola model pengendalian mahasiswa yang dimulai di Universitas Bologna.[49] Pada universitas-universitas di selatan, ada pula perbedaan yang jelas antara universitas di Italia Utara dan Italia Selatan/Iberia: universitas di Italia Utara mengikuti pola Bologna sebagai "korporasi independen mahasiswa yang punya hukum sendiri", sementara universitas di selatan biasanya "didirikan oleh kaum bangsawan untuk mengisi kebutuhan pemerintah".[50]

Universitas periode modern awal

[sunting | sunting sumber]
Ruang kelas abad 17 di Universitas Salamanca

Dalam periode modern awal (sekitar akhir abad 15 hingga tahun 1800), terdapat pertumbuhan yang besar dalam produktivitas dan riset inovatif di universitas-universitas Eropa. Pada akhir Abad Pertengahan, sekitar 400 tahun setelah pendirian universitas Eropa pertama, terdapat 29 universitas yang tersebar di seluruh Eropa. Di abad ke-15, kembali berdiri 28 universitas baru, dan 18 universitas baru berdiri dalam periode antara 1500 hingga 1625.[51] Perkembangan cepat ini terus berlanjut hingga akhir abad ke-18. Pada masa itu terdapat 143 universitas di Eropa, dengan konsentrasi tertinggi pada Imperium Jerman (34), negara-negara Italia (26), Perancis (25), dan Spanyol (23). Ini menunjukkan perkembangan 500% dalam jumlah universitas di akhir Abad Pertengahan. Angka ini tidak termasuk banyak sekali universitas-universitas yang kemudian menghilang atau bergabung dengan universitas lainnya.[52] Pada periode modern awal, nama "universitas" memang tidak selalu digunakan karena kata ini baru digunakan pada beberapa institusi saja. Negara-negara di sekitar Laut Mediterania lebih banyak menggunakan kata studium generale, sementara universitas-universitas di Eropa Utara lebih banyak menggunakan kata "Akademi".[53]

Universitas tidak berkembang secara stabil karena pada abad 17 banyak sekali hal-hal yang memengaruhi perkembangan universitas secara negatif. Pada saat itu terjadi banyak perang, terutama Perang Tiga Puluh Tahun, yang mengganggu lanskap universitas di seluruh Eropa. Ada pula pengaruh-pengaruh yang bersifat negatif pada dukungan masyarakat terhadap institusi universitas, misalnya perang, penyakit, bencana kelaparan, regisida, serta berbagai perubahan dalam kekuatan dan struktur keagamaan. Kerusuhan internal seperti tawuran antarmahasiswa dan dosen yang tidak hadir juga mengganggu stabilitas institusi-institusi tersebut. Universitas juga malas mengganti kurikulum lama, dan buku-buku Aristoteles terus digunakan meskipun telah terjadi perkembangan dalam sains dan seni.[54] Dalam periode ini pula berkembanglah konsep negara kebangsaan. Universitas-universitas semakin berada di bawah kendali negara atau bahkan dibentuk dalam sayap negara; hal ini membuat model pemerintahan fakultas yang dimulai oleh Universitas Paris semakin banyak digunakan. Meskipun universitas gaya lama yang dikendalikan mahasiswa masih ada, universitas-universitas ini juga perlahan mulai bergerak ke arah organisasi struktural yang sama. Universitas juga cenderung masih independen, meskipun kepemimpinannya semakin diambil alih oleh negara.[55]

Model struktural yang dikembangkan Universitas Paris, yaitu model mahasiswa dipimpin oleh "pimpinan" fakultas, kemudian menjadi standar dalam universitas Eropa. Akan tetapi, pada praktiknya, terdapat tiga bentuk berbeda dari model ini. Ada universitas-universitas yang memiliki sistem fakultas yang mengajarkan kurikulum yang sangat spesifik dan lulusannya cenderung menjadi spesialis. Ada pula model kolegial atau tutorial yang berdasar pada sistem Universitas Oxford; pada model seperti ini, pengajaran dan organisasi lebih ter-desentralisasi dan pengetahuan berkembang secara lebih generalis. Ada pula universitas yang mengembangkan model-model tersebut, menggunakan model kolegial namun juga memiliki organisasi sentral.[56]

Universitas pada periode modern awal, pada awalnya, melanjutkan kurikulum dan riset Abad Pertengahan. Yang mereka pelajari adalah filsafat alam, logika, kedokteran, teologi, matematika, astronomi dan astrologi, hukum, tata bahasa, serta retorika. Aristoteles digunakan secara meluas di dalam kurikulum. Dalam bidang kedokteran, terdapat ketergantungan yang besar pada Galen dan ilmu-ilmu Arab. Peran humanisme dalam mengubah kurikulum ini amat penting.[57] Dosen-dosen humanis mulai masuk ke dalam fakultas universitas dan mereka mulai mengubah studi tata bahasa dan retorika melalui studia humanitatis. Dosen humanis pada umumnya berfokus pada kemampuan mahasiswa untuk menulis dan berbicara secara akademis, menerjemahkan serta menginterpretasikan teks-teks klasik, dan hidup secara terhormat.[58] Ilmuwan-ilmuwan lain di universitas terpengaruh dengan pendekatan humanis dalam pembelajaran, dan keahlian linguistik mereka dalam hal teks-teks kuno; ideologi yang menyatakan bahwa teks-teks kuno itu penting juga memengaruhi cara pandang mereka.[59] Dosen kedokteran seperti Niccolò Leoniceno, Thomas Linacre dan William Cop juga mengajar dalam perspektif humanis; selain itu, mereka juga menerjemahkan teks-teks kedokteran kuno yang penting. Cara berpikir kritis yang dikembangkan humanisme menjadi amat penting bagi perubahan di universitas dan akademia. Misalnya, Andreas Vesalius dididik dalam gaya humanis sebelum akhirnya menerjemahkan Galen; dan pada akhirnya, ia memverifikasi ide-ide Galen melalui pembedahannya sendiri. Dalam bidang hukum, Andreas Alcatius memberikan perspektif humanis pada Corpus Juris dan tulisan-tulisan humanis Jacques Cujas amat penting bagi reputasinya sebagai seorang juris. Philipp Melanchthon menggunakan karya-karya Erasmus sebagai petunjuk yang sangat penting untuk mengembalikan teologi kepada teks-teks awalnya, dan hal ini penting untuk reformasi di kampus-kampus Protestan.[60] Galileo Galilei yang mengajar di Universitas Pisa dan Padua, serta Martin Luther yang mengajar di Universitas Wittenberg (seperti Melanchthon), juga mendapatkan pendidikan dalam gaya humanis. Kaum humanis secara perlahan mulai masuk ke dalam universitas, meningkatkan keberadaan orang-orang berperspektif humanis sebagai dosen dan direktur, mengisi silabus dan buku pelajaran mereka, dan perlahan karya-karya terpublikasi mulai menggambarkan konsep ideal humanis mengenai sains dan pendidikan.[61]

Meskipun fokus awal para ilmuwan humanis adalah menemukan, menggambarkan, dan memasukkan teks-teks dan bahasa-bahasa kuno ke universitas serta ide-ide yang dibawakan teks-teks itu ke tengah-tengah masyarakat, pengaruh mereka pada akhirnya tetap progresif. Kemunculan teks-teks klasik membawakan ide-ide baru dan menciptakan iklim universitas yang lebih kreatif (sebagaimana ditunjukkan daftar ilmuwan di atas). Sebuah fokus baru pengetahuan yang lebih didasarkan pada diri sendiri, dari manusia, memiliki implikasi langsung terhadap bentuk baru pendidikan, dan hal ini pada akhirnya menjadi fondasi atas apa yang kemudian dikenal sebagai ilmu humaniora. Antusiasme terhadap pengetahuan ini tidak hanya muncul dalam bentuk penerjemahan dan penyebaran teks-teks kuno, tetapi juga pada adaptasi dan perluasan teks-teks tersebut. Misalnya, Vesalius memegang peranan penting dalam menyebarkan pentingnya pemikiran Galen, akan tetapi ia juga menambahkan teks-teks itu dengan eksperimen, argumen, dan riset lanjutan.[62] Penyebaran teks-teks tersebut, terutama di kampus, amat dibantu dengan kemunculan mesin cetak dan penggunaan bahasa sehari-hari, yang memudahkan percetakan buku-buku teks besar dengan harga murah.[63]

Apabila melihat pengaruh humanisme pada ilmuwan-ilmuwan kedokteran, matematika, astronomi, dan fisika, seseorang mungkin akan beranggapan bahwa humanisme dan universitas merupakan impetus besar terhadap revolusi sains. Meskipun koneksi awal antara humanisme dan penemuan sains mungkin sekali pada awalnya dimulai di universitas, koneksi ini kemudian dianggap terputus karena sifat sains yang berubah pada masa revolusi sains. Sejarawan Richard S. Westfall, misalnya, berargumen bahwa tradisionalisme berlebihan di kampus-kampus mengganggu percobaan untuk mengonsepkan ulang hubungan alam dan pengetahuan, dan pada akhirnya menciptakan tegangan antara universitas dan ilmuwan.[64] Resistensi terhadap perubahan dalam sains ini mungkin sekali merupakan faktor besar yang menyebabkan para ilmuwan bergerak menjauh dari universitas dan pada pemberi dana swasta, misalnya kaum bangsawan, serta dalam pendirian komunitas-komunitas keilmuan baru.[65]

Sejarawan lain menemukan ide ini tidak kongruen. Menurut mereka, aneh sekali bahwa tempat yang menjadi tempat pendidikan para ilmuwan yang pada akhirnya memengaruhi revolusi sains, juga merupakan tempat yang mempersulit riset serta perkembangan sains. Faktanya, lebih dari 80% peneliti Eropa pada tahun 1450-1650 yang masuk ke dalam Kamus Biografi Sains pernah dididik di universitas, dan sekitar 45% dari mereka memegang jabatan di universitas.[66] Memang, fondasi-fondasi akademis yang berasal dari Abad Pertengahan dianggap stabil dan dapat digunakan sebagai lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan sains. Ada pula kekhawatiran universitas itu sendiri untuk berpindah dari simetri dan kelengkapan yang ada pada sistem Aristotelian, sebuah sistem yang koheren dan efektif untuk memahami dan menginterpretasi dunia. Di sisi lain, dosen-dosen universitas itu juga memiliki otonomi, setidaknya dalam ilmu pengetahuan, untuk memilih dasar-dasar dan metode epistemologis mereka. Misalnya, Melanchthon dan murid-muridnya di Universitas Wittenberg memegang peranan penting untuk mengintegrasikan konstruk matematis Kopernikus ke dalam debat dan pengajaran astronomi.[67] Contoh lain adalah pengadopsian cepat (dan cepat juga hilangnya) epistemologi dan metodologi Kartesian di universitas-universitas di Eropa serta debat-debat mengenai adopsi tersebut, yang pada akhirnya mengantarkan pada pendekatan penyelesaian masalah sains yang lebih mekanistik dan membuka potensi perubahan. Ada banyak contoh yang melawan anggapan bahwa universitas itu kaku dan sulit berubah.[68] Meskipun universitas memang kadang lambat untuk menerima ilmu serta metodologi baru, tetapi ketika mereka menerima sebuah ilmu atau metodologi baru, ilmu atau metodologi itu mendapatkan legitimasi dan rasa hormat. Hal ini bersifat baik bagi perubahan saintifik karena adanya lingkungan stabil untuk pengajaran dan sumber daya material.[69]

Universitas di Eropa utara biasanya lebih mau menerima ide-ide Abad Pencerahan, serta amat terpengaruh oleh ide-ide tersebut.[70]

Selain ketegangan antara universitas, ilmuwan individual, serta revolusi sains, ada pula pengaruh langsung pada konstruksi pengajaran di universitas itu sendiri. Epistemologi Aristotelian memberikan wahana yang koheren bagi pengetahuan dan konstruksi pengetahuan, serta untuk pengajaran mahasiswa dalam latar belakang pendidikan tinggi. Penciptaan konstruk-konstruk ilmu baru pada masa revolusi sains serta tantangan-tantangan epistemologi baru yang inheren dalam penciptaan tersebut pada akhirnya membawakan ide otonomi sains dan hierarki disiplin ilmu. Pada masa ini, mahasiswa masuk kampus tidak untuk menjadi "ilmuwan general" yang hendak menjadi ahli dalam semua bidang di kurikulum, tetapi pada akhirnya lahirlah sejenis ilmuwan yang mengedepankan sains dan menganggap sains sebagai suatu pekerjaan. Pemisahan antara orang-orang yang menganggap sains sebagai suatu pekerjaan tersendiri, serta orang-orang yang masih ingin menjadi "ilmuwan general", pada akhirnya memperparah tensi epistemologis yang mulai muncul.[71]

Tensi epistemologis antara ilmuwan dan universitas juga diperparah dengan realita ekonomi penelitian pada masa ini. Ilmuwan-ilmuwan individual, asosiasi, serta universitas, semuanya bersaing untuk mendapatkan pendanaan yang terbatas. Ada pula persaingan dari pembangunan kolese-kolese baru yang didirikan oleh pihak-pihak swasta yang didesain untuk memberikan pendidikan gratis kepada masyarakat umum, atau diciptakan pemerintah lokal untuk memenuhi permintaan pengetahuan sebagai pengganti universitas-universitas tradisional.[72] Meskipun universitas biasanya mendukung penelitian-penelitian saintifik baru dan menyediakan pelatihan serta otoritas dasar untuk melakukan riset dan membuat kesimpulan, universitas-universitas itu biasanya tidak dapat bersaing dengan sumber daya yang tersedia secara swasta.[73]

Pada akhir periode modern awal, struktur dan organisasi pendidikan tinggi sudah jauh berubah, lebih mirip dengan struktur serta organisasi yang ada dalam konteks modern. Aristoteles tidak lagi digunakan sebagai fokus epistemologis dan metodologis perguruan tinggi. Selain itu, ada pula orientasi sains yang lebih mekanistik. Peran pengetahuan teologis telah digantikan dan ilmu humaniora telah menjadi bidang ilmu baru. Ada pula semacam keterbukaan baru untuk mengonstruksi dan mendiseminasi pengetahuan yang kemudian menjadi hal yang diperlukan bagi pendirian negara modern.

Universitas modern

[sunting | sunting sumber]
King's College London, yang didirikan dengan Undang-undang Royal oleh Raja George IV dan Duke of Wellington pada tahun 1829, adalah salah satu kolese pendiri Universitas London.
Institut Teknologi Karlsruhe, universitas teknis Jerman, didirikan pada abad ke-19

Pada abad ke-18, unviersitas mulai memublikasikan jurnal akademis mereka sendiri dan pada abad ke-19, muncullah model-model universitas Perancis dan Jerman. Model universitas Jerman, atau model Humboldt, diciptakan oleh Wilhelm van Humboldt dan berdasar pada ide-ide liberal Friedrich Schleiermacher tentang pentingnya kebebasan akademis, seminar, serta laboratorium di kampus-kampus. Model universitas Perancis menekankan pada disiplin ketat serta pengendalian setiap aspek universitas.

Hingga abad ke-19, agama memainkan peran sentral dalam kurikulum universitas. Akan tetapi, peran agama dalam universitas riset berkurang pada abad ke-19, dan pada akhir abad ke-19, model universitas Jerman telah menyebar ke seluruh dunia. Di abad ke-19 dan 20, universitas-universitas yang berfokus pada pengembangan sains mulai mudah diakses oleh masyarakat luas. Di Amerika Serikat, Universitas Johns Hopkins adalah universitas pertama yang mengadopsi model universitas riset Jerman, dan hal ini kemudian diikuti oleh kebanyakan universitas lain di Amerika. Di Inggris, pergerakan dari Revolusi Industri ke modernitas menyebabkan berdirinya universitas-universitas sipil baru, yang menekankan pada sains dan ilmu teknik; pergerakan ini dimulai pada tahun 1960 oleh Sir Keith Murray (ketua Komite Hibah Universitas) serta Sir Samuel Curran, dengan pengembangan Universitas Strathclyde.[74] Orang Inggris kemudian juga mendirikan universitas di seluruh dunia dan dengan demikian, pendidikan tinggi menjadi dapat diakses orang banyak, tidak hanya di Eropa.

Pada awal abad ke-21, terdapat kekhawatiran mengenai berkembangnya managerialisasi dan standardisasi universitas di seluruh dunia. Dalam hal ini, model manajemen neoliberal dikritik karena dianggap telah menciptakan "universitas korporat yang memindahkan kekuasaan dari fakultas kepada para manajer, didominasi oleh justifikasi ekonomi, dan 'modal' menjadi lebih penting daripada kepentingan-kepentingan pedagogis atau intelektual".[75]

Model universitas kampus, dengan bangunan yang berdekatan, mulai dikenal sejak tahun 1850an. Dalam gambar ini adalah Universitas Cornell.

Universitas negeri

[sunting | sunting sumber]

Secara umum, universitas negeri atau universitas nasional adalah universitas yang diciptakan atau dijalankan oleh entitas negara, namun pada waktu yang sama juga merupakan institusi yang bersifat otonom di dalam negara. Ada universitas-universitas nasional yang berafiliasi dekat dengan kepentingan-kepentingan budaya, agama, atau politik sebuah negara, misalnya Universitas Nasional Irlandia, yang sebagiannya berdiri dari Universitas Katolik Irlandia, yang didirikan hampir sepenuhnya untuk menghadapi perkembangan universitas-universitas nondenominasional di Irlandia pada tahun 1850.

Universitas antarpemerintah

[sunting | sunting sumber]

Ada pula universitas yang didirikan dengan perjanjian bilateral atau multilateral antarpemerintah. Salah satu contoh adalah Akademi Hukum Eropa, yang melatih hukum Eropa kepada calon pengacara, hakim, jaksa, serta akademisi.

Universitas di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Universitas dalam pendidikan di Indonesia merupakan salah satu bentuk perguruan tinggi selain akademi, institut, politeknik, dan sekolah tinggi. Universitas terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademis dan/atau pendidikan vokasi pada sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.[76][77]

Pada tahun 2015, diperkirakan terdapat 3.225 universitas di Indonesia, yang terbagi menjadi 121 universitas negeri dan 3.104 universitas swasta. Angka ini turun sedikit dari statistika tahun sebelumnya, yaitu 3.280 universitas dengan 99 universitas negeri dan 3.181 universitas swasta. Provinsi dengan jumlah universitas terbanyak adalah DKI Jakarta, dengan 393 universitas (12 negeri dan 381 swasta).[78]

Asesmen Kementerian Riset dan Penelitian Republik Indonesia pada tahun 2017 menunjukkan bahwa universitas dengan kualitas terbaik adalah Universitas Gadjah Mada,[79] sementara Politeknik terbaik adalah Politeknik Elektronika Negeri Surabaya.[79]

Salah satu universitas yang paling dikenal di Indonesia adalah Universitas Indonesia. Universitas ini diresmikan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai Dokter Djawa School pada bulan Januari 1851 dan mengkhususkan diri pada ilmu kedokteran.[80] Universitas ini berganti nama menjadi STOVIA dan kemudian menjadi Universitas Indonesia pada tahun 1950.[80]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Google eBook of '''''Encyclopedia Britannica'''''. Books.google.com. 2006-09-22. Diakses tanggal 2010-05-28. 
  2. ^ "University". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-05-13. 
  3. ^ Haskins, Charles H. (January 1898). "The Life of Medieval Students as Illustrated by their Letters". The American Historical Review. 3 (2): 203. doi:10.2307/1832500. ISSN 0002-8762. 
  4. ^ Lewis, Charlton T.; Short, Charles (1966) [1879], A Latin Dictionary, Oxford: Clarendon Press 
  5. ^ Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the Western Intellectual Tradition, 400-1400, (New Haven: Yale Univ. Pr., 1997), p. 267.
  6. ^ "university, n.", OED Online (edisi ke-3rd), Oxford: Oxford University Press, 2010, diakses tanggal 27 August 2013 
  7. ^ Malagola, C. (1888), Statuti delle Università e dei Collegi dello Studio Bolognese. Bologna: Zanichelli.
  8. ^ a b Rüegg, W. (2003), Mythologies and Historiography of the Beginnings, pp 4-34 in H. De Ridder-Symoens, editor, A History of the University in Europe; Vol 1, Cambridge University Press.
  9. ^ Watson, P. (2005), Ideas. London: Weidenfeld and Nicolson, page 373
  10. ^ "Magna Charta delle Università Europee". .unibo.it. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 November 2010. Diakses tanggal 28 May 2010. 
  11. ^ Encyclopædia Britannica: "University" Diarsipkan 15 May 2013 di Wayback Machine., 2012, retrieved 26 July 2012)
  12. ^ Encyclopædia Britannica: "University" Diarsipkan 15 May 2013 di Wayback Machine., 2012, retrieved 26 July 2012
  13. ^ Oldest University Diarsipkan 7 October 2014 di Wayback Machine.
  14. ^ "Medina of Fez". UNESCO World Heritage Centre. UNESCO. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 May 2010. Diakses tanggal 7 April 2016. 
  15. ^ Verger, Jacques: "Patterns", in: Ridder-Symoens, Hilde de (ed.): A History of the University in Europe. Vol. I: Universities in the Middle Ages, Cambridge University Press, 2003, ISBN 978-0-521-54113-8, pp. 35–76 (35)
  16. ^ Esposito, John (2003). The Oxford Dictionary of Islam. Oxford University Press. hlm. 328. ISBN 0-1951-2559-2. 
  17. ^ Joseph, S, and Najmabadi, A. Encyclopedia of Women & Islamic Cultures: Economics, education, mobility, and space. Brill, 2003, p. 314.
  18. ^ Swartley, Keith. Encountering the World of Islam. Authentic, 2005, p. 74.
  19. ^ Illustrated Dictionary of the Muslim World, Publisher: Marshall Cavendish, 2010 [1] Diarsipkan 1 October 2015 di Wayback Machine. p.161
  20. ^ Civilization: The West and the Rest by Niall Ferguson, Publisher: Allen Lane 2011 - ISBN 978-1-84614-273-4
  21. ^ Pryds, Darleen (2000), "Studia as Royal Offices: Mediterranean Universities of Medieval Europe", dalam Courtenay, William J.; Miethke, Jürgen; Priest, David B., Universities and Schooling in Medieval Society, Education and Society in the Middle Ages and Renaissance, 10, Leiden: Brill, hlm. 96–98 
  22. ^ Arnold H. Green. "The History of Libraries in the Arab World: A Diffusionist Model". Libraries & the Cultural Record. 23 (4): 459. 
  23. ^ Hossein Nasr. Traditional Islam in the modern world. Taylor & Francis. hlm. 125. 
  24. ^ Daniel, Norman (1984). "Review of "The Rise of Colleges. Institutions of Learning in Islam and the West by George Makdisi"". Journal of the American Oriental Society. 104 (3): 586–8. doi:10.2307/601679. JSTOR 601679. The first section, typology of institutions and the law of waqf, is crucial to the main thesis, since the college is defined in terms of the charitable trust, or endowment, as in Europe: it is admitted that the university, defined as a corporation, has no Islamic parallel. 
  25. ^ George Makdisi: "Madrasa and University in the Middle Ages", Studia Islamica, No. 32 (1970), pp. 255-264 (264):

    Thus the university, as a form of social organization, was peculiar to medieval Europe. Later, it was exported to all parts of the world, including the Muslim East; and it has remained with us down to the present day. But back in the middle ages, outside of Europe, there was nothing anything quite like it anywhere.

    Toby Huff, Rise of Early Modern Science: Islam, China and the West, 2nd ed., Cambridge 2003, ISBN 0-521-52994-8, p. 133-139, 149-159, 179-189
  26. ^ a b Rüegg, Walter: "Foreword. The University as a European Institution", in: A History of the University in Europe. Vol. 1: Universities in the Middle Ages, Cambridge University Press, 1992, ISBN 0-521-36105-2, pp. XIX–XX
  27. ^ Nuria Sanz, Sjur Bergan. The heritage of European universities, Volume 548. Council of Europe. hlm. 121. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 September 2015. 
  28. ^ Pryds, Darleen (2000), "Studia as Royal Offices: Mediterranean Universities of Medieval Europe", dalam Courtenay, William J.; Miethke, Jürgen; Priest, David B., Universities and Schooling in Medieval Society, Education and Society in the Middle Ages and Renaissance, 10, Leiden: Brill, hlm. 83–99, ISBN 90-04-11351-7, ISSN 0926-6070 
  29. ^ Nuria Sanz, Sjur Bergan. The heritage of European universities, Volume 548. Council of Europe. hlm. 28. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 September 2015. 
  30. ^ Makdisi, George (April–June 1989). "Scholasticism and Humanism in Classical Islam and the Christian West". Journal of the American Oriental Society. Journal of the American Oriental Society, Vol. 109, No. 2. 109 (2): 175–182 [175–77]. doi:10.2307/604423. JSTOR 604423. ; Makdisi, John A. (June 1999). "The Islamic Origins of the Common Law". North Carolina Law Review. 77 (5): 1635–1739. 
  31. ^ Goddard, Hugh (2000). A History of Christian-Muslim Relations. Edinburgh University Press. hlm. 99. ISBN 0-7486-1009-X. 
  32. ^ Daniel, Norman (1984). "Review of "The Rise of Colleges. Institutions of Learning in Islam and the West by George Makdisi"". Journal of the American Oriental Society. 104 (3): 586–8. doi:10.2307/601679. JSTOR 601679. Professor Makdisi argues that there is a missing link in the development of Western scholasticism, and that Arab influences explain the "dramatically abrupt" appearance of the "sic et non" method. Many medievalists will think the case overstated, and doubt that there is much to explain. 
  33. ^ Lowe, Roy; Yasuhara, Yoshihito (2013), "The origins of higher learning: time for a new historiography?", dalam Feingold, Mordecai, History of Universities, 27 (1), Oxford: Oxford University Press, hlm. 1–19, diarsipkan dari versi asli tanggal 5 September 2015 
  34. ^ (Verger 1999)
  35. ^ Riché, Pierre (1978): "Education and Culture in the Barbarian West: From the Sixth through the Eighth Century", Columbia: University of South Carolina Press, ISBN 0-87249-376-8, pp. 126-7, 282-98
  36. ^ Gordon Leff, Paris and Oxford Universities in the Thirteenth and Fourteenth Centuries. An Institutional and Intellectual History, Wiley, 1968.
  37. ^ Johnson, P. (2000). The Renaissance : a short history. Modern Library chronicles (Modern Library ed.). New York: Modern Library, p. 9.
  38. ^ Thomas Oestreich (1913). "Pope St. Gregory VII". In Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company.
  39. ^ Makdisi, G. (1981), Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.
  40. ^ Daun, H. and Arjmand, R. (2005), Islamic Education, pp 377-388 in J. Zajda, editor, International Handbook of Globalisation, Education and Policy Research. Netherlands: Springer.
  41. ^ Huff, T. (2003), The Rise of Early Modern Science. Cambridge University Press, p. 122
  42. ^ Kerr, C. (2001), The Uses of the University. P Harvard University Press.p.16 and 145
  43. ^ Rüegg, W. (2003), Mythologies and Historiography of the Beginnings, pp 4-34 in H. De Ridder-Symoens, editor, A History of the University in Europe; Vol 1, Cambridge University Press.p. 12
  44. ^ Grendler, P. F. (2004). "The universities of the Renaissance and Reformation". Renaissance Quarterly, 57, pp. 2.
  45. ^ Rubenstein, R. E. (2003). Aristotle's children: how Christians, Muslims, and Jews rediscovered ancient wisdom and illuminated the dark ages (1st ed.). Orlando, Florida: Harcourt, pp. 16-17.
  46. ^ Dales, R. C. (1990). Medieval discussions of the eternity of the world (Vol. 18). Brill Archive, p. 144.
  47. ^ Rankings: Universität Heidelberg in International Comparison Diarsipkan 21 September 2014 di Wayback Machine. - Top Position in Germany, Leading Role in Europe (Heidelberg University)
  48. ^ Grendler, P. F. (2004). "The universities of the Renaissance and Reformation". Renaissance Quarterly, 57, pp. 2-8.
  49. ^ Scott, J. C. (2006). "The mission of the university: Medieval to Postmodern transformations". Journal of Higher Education. 77 (1): 6. 
  50. ^ Pryds, Darleen (2000), "Studia as Royal Offices: Mediterranean Universities of Medieval Europe", dalam Courtenay, William J.; Miethke, Jürgen; Priest, David B., Universities and Schooling in Medieval Society, Education and Society in the Middle Ages and Renaissance, 10, Leiden: Brill, hlm. 84–85 
  51. ^ Grendler, P. F. (2004). The universities of the Renaissance and Reformation. Renaissance Quarterly, 57, pp. 1-3.
  52. ^ Frijhoff, W. (1996). Patterns. In H. D. Ridder-Symoens (Ed.), Universities in early modern Europe, 1500-1800, A history of the university in Europe. Cambridge [England]: Cambridge University Press, p. 75.
  53. ^ Frijhoff, W. (1996). Patterns. In H. D. Ridder-Symoens (Ed.), Universities in early modern Europe, 1500-1800, A history of the university in Europe. Cambridge [England]: Cambridge University Press, p. 47.
  54. ^ Grendler, P. F. (2004). The universities of the Renaissance and Reformation. Renaissance Quarterly, 57, p. 23.
  55. ^ Scott, J. C. (2006). "The mission of the university: Medieval to Postmodern transformations". Journal of Higher Education. 77 (1): 10–13. doi:10.1353/jhe.2006.0007. 
  56. ^ Frijhoff, W. (1996). Patterns. In H. D. Ridder-Symoens (Ed.), Universities in early modern Europe, 1500-1800, A history of the university in Europe. Cambridge [England]: Cambridge University Press, p. 65.
  57. ^ Ruegg, W. (1992). Epilogue: the rise of humanism. In H. D. Ridder-Symoens (Ed.), Universities in the Middle Ages, A history of the university in Europe. Cambridge [England]: Cambridge University Press.
  58. ^ Grendler, P. F. (2002). The universities of the Italian renaissance. Baltimore: Johns Hopkins University Press, p. 223.
  59. ^ Grendler, P. F. (2002). The universities of the Italian renaissance. Baltimore: Johns Hopkins University Press, p. 197.
  60. ^ Ruegg, W. (1996). Themes. In H. D. Ridder-Symoens (Ed.), Universities in Early Modern Europe, 1500-1800, A history of the university in Europe. Cambridge [England]: Cambridge University Press, pp. 33-39.
  61. ^ Grendler, P. F. (2004). The universities of the Renaissance and Reformation. Renaissance Quarterly, 57, pp. 12-13.
  62. ^ Bylebyl, J. J. (2009). Disputation and description in the renaissance pulse controversy. In A. Wear, R. K. French, & I. M. Lonie (Eds.), The medical renaissance of the sixteenth century (1st ed., pp. 223-245). Cambridge University Press.
  63. ^ Füssel, S. (2005). Gutenberg and the Impact of Printing (English ed.). Aldershot, Hampshire: Ashgate Pub., p. 145.
  64. ^ Westfall, R. S. (1977). The construction of modern science: mechanisms and mechanics. Cambridge: Cambridge University Press, p. 105.
  65. ^ Ornstein, M. (1928). The role of scientific societies in the seventeenth century. Chicago, IL: University of Chicago Press.
  66. ^ Gascoigne, J. (1990). A reappraisal of the role of the universities in the Scientific Revolution. In D. C. Lindberg & R. S. Westman (Eds.), Reappraisals of the Scientific Revolution, pp. 208-209.
  67. ^ Westman, R. S. (1975). "The Melanchthon circle:, rheticus, and the Wittenberg interpretation of the Copernicantheory". Isis. 66 (2): 164–193. doi:10.1086/351431. 
  68. ^ Gascoigne, J. (1990). A reappraisal of the role of the universities in the Scientific Revolution. In D. C. Lindberg & R. S. Westman (Eds.), Reappraisals of the Scientific Revolution, pp. 210-229.
  69. ^ Gascoigne, J. (1990). A reappraisal of the role of the universities in the Scientific Revolution. In D. C. Lindberg & R. S. Westman (Eds.), Reappraisals of the Scientific Revolution, pp. 245-248.
  70. ^ Eddy, Matthew Daniel (2008). The Language of Mineralogy: John Walker, Chemistry and the Edinburgh Medical School, 1750-1800. Aldershot: Ashgate. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 September 2015. 
  71. ^ Feingold, M. (1991). Tradition vs novelty: universities and scientific societies in the early modern period. In P. Barker & R. Ariew (Eds.), Revolution and continuity: essays in the history and philosophy of early modern science, Studies in philosophy and the history of philosophy. Washington, D.C: Catholic University of America Press, pp. 53-54.
  72. ^ Feingold, M. (1991). Tradition vs novelty: universities and scientific societies in the early modern period. In P. Barker & R. Ariew (Eds.), Revolution and continuity: essays in the history and philosophy of early modern science, Studies in philosophy and the history of philosophy. Washington, D.C: Catholic University of America Press, pp. 46-50.
  73. ^ See; Baldwin, M (1995). "The snakestone experiments: an early modern medical debate". Isis. 86 (3): 394–418. doi:10.1086/357237. 
  74. ^ "Oxford Dictionary of National Biography". Oxforddnb.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 March 2016. Diakses tanggal 28 May 2010. 
  75. ^ Maggie Berg & Barbara Seeber. The Slow Professor: Challenging the Culture of Speed in the Academy, p. x. Toronto: Toronto University Press. 2016.
  76. ^ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
  77. ^ "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-05-13. Diakses tanggal 2011-09-09. 
  78. ^ "Badan Pusat Statistik". www.bps.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-05-20. 
  79. ^ a b "100 Besar Perguruan Tinggi Non Politeknik dan 25 Besar Perguruan Tinggi Politeknik di Indonesia Tahun 2017". ristekdikti. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-17. Diakses tanggal 2018-05-20. 
  80. ^ a b weboffice-humas (2013-11-20). "Sejarah". Universitas Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-18. Diakses tanggal 2018-05-20. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]