in

Metode Latihan Baca Puisi (di Panggung dan untuk Lomba)

Baca puisi di panggung itu 90% acting. Mulai apresiasi, inner action, sampai penampilan ketika membaca, bisa dilatih menjadi bagus.

ilustrasi vector orang baca puisi dikelilingi huruf berbentuk lingkaran
90% ACTING. Baca puisi di panggung, lebih banyak berisi faktor kognitif, inner action, dan acting. (Credit: Studio M1)

Tulisan ini untuk para penikmat puisi, pekerja teater, dan guru kesenian yang menyiapkan lomba untuk murid mereka.

Saya menulis ratusan puisi, tidak pernah ikut lomba, namun sangat sering baca puisi dan menyiapkan kawan-kawan untuk mengikuti lomba regional dan nasional. Terlepas dari lomba atau tidak, menulis dan membaca puisi sangat bagus untuk membangun mental. Apalagi kalau diajarkan sejak masih sekolah dasar.

Baca puisi sangat bagus untuk membangun mental seseorang. Bukan sekadar berani. Mereka perlu melangkah dari awal dengan apresiasi puisi, pembentukan karakter, inner action, baru kemudian cara “acting” di depan publik. Ini bisa diajarkan dalam seminggu, sebagai tahapan pengenalan metode, namun untuk tampil bagus tentu saja suatu genre seni dan keahlian membutuhkan waktu seumur hidup untuk terus berlatih. Jangan segan berlatih karena tidak ada yang menakutkan kalau kita dekati dengan cara yang asyik.

Berikut ini, persiapan selama latihan yang sering saya pakai untuk baca-puisi di panggung dan lomba.

Hafalkan

Hafalkan puisi itu sampai benar-benar hafal di luar kepala.

Biarpun nanti kamu tetap pegang kertas di atas panggung atau ketika lomba, tetap hafalkan. Gunakan kertas yang sama, yang kamu pakai untuk latihan, dengan yang kamu pakai untuk lomba nanti.

Mengapa perlu kamu hafal?  Ini hal yang paling mendasar. Menyanyi, acting (pakai naskah atau script), baru bagus kalau bisa melewati syarat dasar: menghafal teks. Baca puisi itu 90% acting di atas panggung. Sama seperti keaktoran. Butuh hafalan, penghayatan, gerak, dll. tetapi, yang paling awal: hafal. *) Baca-puisi tidak boleh ada improvisasi teks.

Mengetahui dan Memahami Puisi

Pelajari puisi itu.

Bahas sampai mengerti apa “maksud” puisi itu. Bongkar dari kata per kata. Ketahui latar-belakang dan hal-hal yang berkaitan dengan puisi itu. Kamu butuh orang lain, referensi, dan diskursus di sekitar puisi itu.

Apresiasi puisi berperan penting dalam baca-puisi. Pengetahuan, berperan penting dalam baca-puisi. Kamu tidak perlu membaca puisi #seperti orang-lain, tetapi menjadi berbeda tentunya membutuhkan dasar, bernama pengetahuan puisi.

Latihan Artikulasi, Intonasi, dan Aksentuasi

Baca-puisi, lebih dari berdialog, butuh artikulasi yang jelas, intonasi yang tepat, dan aksentuasi dengan emosi yang sejalan dengan teksnya.

Ucapkan puisi itu (ucapkan, bukan dibatin) dari suku-kata per suku-kata, dengan lambat. Pemenggalan suku-kata itu bukan hal mudah. “Pen-da-pat-an”, bukan “pen-da-pa-tan”. Jangan seolah-olah natural. Ucapkan sampai sangat natural.

Cara baca, juga tidak mudah. Gunakan tanda baca pada huruf. Bongkar setiap kata, uraikan per suku-kata, ketahui ejaannya, dan seterusnya. Lalu kata per kata.

Kemudian, yang terberat: ucapkan secara cepat namun dengan artikulasi yang sangat jelas. Latih ini sampai benar-benar jelas.

Gunakan alat-rekam, dengarkan kembali apakah pengucapanmu (dari lambat, sampai cepat) sudah jelas.

Jauhkan dan semakin jauhkan, apakah masih jelas.

Ukuran latihan artikulasimu berhasil, jika kamu ucapkan teks dengan cepat, tetap bisa ditangkap dari kejauhan.

Dalam setiap puisi, ada struktur kalimat yang mendasar.

Dalam 1 kalimat, ada kata yang mendapat tekanan, butuh perhatian lebih. Berikan penanda (coretan di kertas puisi), selama latihan, agar lebih mudah dibaca.

Coba jalankan latihan dengan teks ini:

 

ibunya bersimpuh, membuka doa, hingga langit setengah terbuka.

begitu pula deru peluh dan asap kota, merobek setengah langit, menanam duka.

 

Rima, menjadi salah satu unsur “musik” dalam puisi.

Berikan coretan mana yang menaik, mana yang datar dan menurun, dan mana yang perlu mendapatkan tekanan.

Tambahkan penanda, coretan-coretan, pada kata-kata dan kalimat.

Intonasi: tinggi-rendah nada pada kalimat, dengan cara: memberi penekanan tertentu pada kata-kata terpilih.

Aksentuasi: memberi penekanan berbeda pada kata-kata tertentu. Dalam setiap kalimat, pasti ada kata yang butuh perhatian-khusus.

Antara intonasi dan aksentuasi (penekanan) itu menyatu. Tak-terpisahkan.

Jangan lupa, berikan jeda. Itulah trmpatmu bernafas. Memberi kesempatan orang menikmati baca puisimu. Jangan tampa-jeda.

Suara dan Pernafasan

Gunakan nafas perut untuk suara keras, gunakan nafas dada untuk suara berpenghayatan.

Suara keras berasal dari nafas perut.

Suara “emosional”, pakai perasaan, berasal dari dada.

Pernafasan perut itu, saat ambil-nafas (inhale) perut membesar, saat hembus-nafas (exhale) perut mengempis. Jangan terbalik. Nafas perut itu nafas paling alami, seperti seorang bayi yang bernafas itu pakai pernafasan perut. Bayi baru kenal pernafasan dada sesudah dia bisa marah.

Ini bagian yang sulit:

Pilih pada kata-kata tertentu, yang sudah kamu beri penanda, kemudian baca dengan keras, hanya pada kata-kata itu. Teruskan dengan membaca secara utuh, sebagaimana kalimat-kalimat dalam puisi.

Gunakan nafas-perut dan berlatihlah membaca keras, tanpa alat-pengeras suara. Jangan pakai kekuatan suara di awal latihan baca puisi.

Jangan segan untuk merekam suara kamu baca puisi. Buatlah dirimu benar-benar menyukai caramu baca puisi. Kalau sudah percaya-diri, perdengarkan kepada orang lain. Lebih baik bisa kamu perbaiki selama masih latihan, daripada kamu tidak bisa perbaiki lagi.

Inner Action

“Inner action” itu tindakan yang berasal dari dalam batin. Bisa dilatih.

Antara yang kamu batin atau rasakan, tidak terlalu beda dengan tindakan luar (berkata). Seperti itulah “inner action”. Orang sering menyingkatnya sebagai: penghayatan. Sebenarnya tidak. Penghayatan lebih banyak ke “emosi” dan “rasio”, sedangkan “inner-action” itu tindakan yang terlihat.

Inner action itu skill (kemampuan), bisa dilatih.

Kalau pembaca puisi sudah memilih sebuah puisi, ia akan menumbuhkan simpati dan empati dari dalam dirinya, agar puisi tadi terlahir-kembali sebagaimana adanya. Seorang pembaca puisi, yang telah memilih, bisa menjadi persembahan terbaik dari puisi itu, dengan cara membaca sebaik-baiknya. Ini bisa terjadi jika ada “inner action” dalam baca-puisi.

Setiap kata memiliki “kekuatan”, “energi”, dan “getaran” berbeda-beda.

Ketiganya terasa, kalau kamu melatihnya. Kata “merdeka” menjadi tak-berkekuatan bagi pendengarnya, jika kata itu diucapkan orang yang tidak berkeinginan dan tidak “merdeka”. Orang yang tidak pernah meneliti kedalaman arti “merah”, tidak memiliki “getaran” ketika mengucapkan merah.

Setelah kamu hafalkan teks puisi dan membacanya, cobalah membatin, setiap saat. Mungkin tidak keseluruhan puisi itu. Hanya pada kata tertentu, atau kalimat tertentu. Batin sampai kamu benar-benar ingin mengucapkannya. Ketika kamu sedang makan, mau tidur, bangun tidur, sedang chat, bayangkan kamu sedang membaca kalimat itu. Sampai kamu benar-benar ingin mengucapkannya. Tahan, jangan keluarkan, simpan terus sampai kamu memang ingin membacakan kalimat puisi itu.

Metode ini juga dipakai dalam bernyanyi. Seorang penyanyi, ketika tidak sedang menyanyi, ia bersenandung. Ketika ia diam, atau mendengarkan lagu yang akan ia nyanyikan, dalam hati ia menyanyi. Ketika dia sedang dalam sepi dan sunyi, ia melihat dirinya sedang menyanyi.

Orang suka reffrain. Penyanyi, saat berlatih, sebelum sampai reffrain ia berhenti. Ia menyanyikan reffrain dalam batin. Giliran saatnya menyanyi, ia akan bawakan reffrain dengan bagus. Sebab dalam batin ia ingin menampilkan reffrain itu setiap saat.

Atlit angkat-besi, berlatih mengangkat 50-60 kilogram, karena ia perlu menyimpan tenaga sepenuhnya untuk berat yang dilombakan, misalnya: 100 kg.

Singkatnya, ketika latihan sudah semakin sering, jangan terlalu sering membaca seluruh puisi yang akan kamu bacakan. Simpan energimu sampai kamu ingin membaca secara utuh (satu puisi).

Orang marah, ingin berlari bebas, berpidato, menulis puisi, memiliki prinsip sama: seberapa kuat kamu menahan dan mengeluarkan di saat tepat.

Jika kata “tolong” terlalu sering diucapkan kepada orang lain, tetapi Si Pengucap jarang menolong orang lain, maka kata “tolong” kehilangan kekuatan di lisan orang itu.

Ingat selalu: nafas menghasilkan kata, dari kata terjadilah tindakan. Orang terpengaruh pada apa yang kamu katakan jika kata itu sudah menjadi bagian dari batin kamu, sudah kamu alami, dan ketika kamu ucapkan, orang akan merasakan energi kata itu.

Endapkan dalam batin, sampai kata-kata itu menjadi milikmu, yang benar-benar kamu kuasai, kamu tahu cara mengucapkannya, riwayat kata itu, apa artinya, dan bagaimana kata itu “tumbuh” dalam dirimu, kamu bawa ke mana-mana. Seperti itulah mantera bekerja.

Singkatnya: baca dalam batin, sambil melakukan aktivitas apa saja. Makan, berjalan, duduk, chat, puisi itu ada di pikiranmu. Sampai kamu melihat dirimu sendiri “sedang” membacanya.

Dengarkan Suaramu Sendiri

Kamu belum mendengarkan suaramu sendiri. Kamu hanya mendengarkan rekaman suaramu sendiri.

Tutup kedua telingamu (dengan kedua jarimu) lalu bacalah puisimu dengan mata terpejam, pelan-pelan saja. Jangan bersuara keras.

Sekalipun di hasil rekaman ponsel suaramu bagus, belum tentu bagus saat kamu mendengarnya langsung dari telinga kamu. Metode menutup telinga untuk mendengarkan suaramu sendiri, agar kamu mengenal suaramu yang sebenarnya. Suara itu tidak didengar dari luar dirimu saat kamu menutup telinga. Kamu sendiri yang mendengarnya, langsung dari dalam kepala.

Kalau belum bagus saat tutup telinga, ulangi lagi. Sampai menurutmu sudah enak didengar. Tentu dengan menggabungkan semua metode sebelumnya. Tidak usah terlalu keras.

Membaca Biasa, di depan Orang Lain

Baca seperti membaca surat. Tidak keras.

Apakah orang lain di dekatmu merasakan “emosi” kamu ketika baca puisi itu? Apakah dia menoleh dan bertanya? Apakah dia menghentikan aktivitasnya sejenak atau bisa menikmati baca puisimu sambil tetap beraktivitas?

Cobalah membaca biasa, di depan orang lain. Mintalah ijin, misalnya, saat mereka berkerumun di kantin, “Kawan-kawan, saya akan membaca puisi..”.

Apakah mereka akan memperhatikanmu? Tidak. Hanya sebagian saja yang mau melihatmu. Karena kamu belum membaca. Satu-satunya yang membuat mereka memperhatikan kamu, kalau kamu baca puisi dengan bagus. Kamu sudah merampas waktu mereka, jadi berikanlah hal sepadan. Berikan 3 menit baca puisi yang telah kamu bangun selama 2 minggu berlatih setiap hari, agar mereka tidak kecewa.

Kamu gemetaran karena dirimu yang kemarin belum melihat dirimu yang baca puisi. Buktikan kepada dirimu sendiri, kamu berani, tidak malu, dan layak membaca puisi.

Bacalah dengan caramu. Tujuan latihan tahap ini, untuk melatih mental.

Setiap kali “down”, katakan dalam hati:

“Saya berlatih, mereka tidak.”

“Saya membaca puisi dengan “cara saya”.”

“Saya adalah seekor burung yang merdu, yang tak peduli apa arti suaraku bagi mereka, namun mereka menyukai suaraku.”

Kalau perlu, di tempat berkerumun kawan-kawanmu sendiri. Ini lebih berat dibandingkan di tempat orang-asing (yang belum mengenal kamu).

Berikutnya, saat orang sedang berkerumun, misalnya sedang makan atau istirahat, cobalah menginterupsi mereka dengan membaca puisi, tanpa meminta ijin.

Tenang. Tidak usah terlalu keras. Jika bisa menyita perhatian mereka (ingat, kamu menginterupsi tanpa-ijin), sekalipun mereka marah atau tidak suka, berarti kamu berhasil.

Yang penting, bisa menyita perhatian. Kalau buruk dan mereka kecewa, no-problem. Tinggal bagaimana cara kamu menyita perhatian ini kamu perbaiki.

Apa yang perlu diperbaiki? Teknik.

Membaca puisi itu “kemampuan” (skill). Apapun yang dari belum bisa menjadi bisa, itu “skill”. Bisa dilatih, ada tekniknya, dan bisa diperbaiki sampai bagus.

Gesture, Ekspresi, Jeda, dan Musikalitas Puisi

Cobalah mulai gunakan ekspresi dan gesture minimalis. Tidak perlu berlebihan.

Jangan dikira, gesture minimalis itu mudah. Biarkan gesture terjadi karena kamu membaca puisi. Jangan dibuat-buat.

Cobalah tidak melangkah, tidak merendahkan tubuhmu, tidak mengubah mimik wajah. Batasi dulu pada gerakan tangan, seperempat atau setengah berputar. Kemudian mulai ke bahu. Kali ini, gunakan nafas dada. Inhale dada menaik, exhale dada menurun.

Gerakkan jari-jari dan lakukan ketukan dengan hentakan kaki pelan-pelan saja. Apa yang membuatmu “bergerak”? Kemudian, perhatikan ketukanmu. Ini tentang menampilkan musikalitas dalam puisi. Perhatikan ketukan.

Buatlah jeda. Adanya jeda, yang membuat kita bergerak. Baca puisi, seperti menulis dan berbicara, memerlukan “jeda” (pause). Dalam jeda pula, kamu bisa menarik perhatian.

Jeda itu seperti “spasi” di antara kata, seperti “menarik nafas” sebelum menyatakan hal mengejutkan, seperti sebaris tulisan berukuran kecil di tengah halaman kosong. Jeda membuat tulisan itu memiliki kekuatan seperti gambar besar.

Lakukan ketukan dan jeda itu dengan “hentakan kaki” atau “ketukan jari”.

Kelihatan penonton? No problem. Memang kita sengaja agar penonton melihat gerak kecil ini. Dari penyanyi profesional sampai aktor kawakan, mereka memainkan jari dan kakinya.

Ajak penonton mengikuti iramamu, tanpa mereka sadari.

Sesekali, saat latihan sendirian, cobalah memejamkan mata, dan bergeraklah.

Pandangilah ruangan yang akan kamu pakai untuk baca-puisi. Bayangkan kamu akan di sana. Semua mata akan memandangmu, semua “diam” akan membuatmu salah-tingkah, nervous, demam panggung. Saat memejamkan mata, lihatlah dirimu sendiri sedang di sana, baca-puisi.

Mulailah melangkah saat memainkan jeda. Atau merendah. Atau tiba-tiba bergerak cepat.

Bisakah intonasi dan aksentuasi terjaga sambil kamu bergerak?

Bisakah “getaran” dan “inner-action” kamu dirasakan penonton saat kamu berekspresi?

Bisakah kamu “on-off” ekspresimu?

Setelah itu, cobalah rekam dalam bentuk video dan lihat, seperti apa penampilan baca-puisimu.

Masih ada waktu. Latihan lagi, perbaiki lagi. Kombinasikan semua cara di atas.

Mengatasi Demam Panggung

Demam panggung itu menyenangkan, karena menyadarkan dirimu.

Demam panggung menyadarkanmu bahwa kamu sedang di atas panggung. Bahwa persiapanmu bukan apa-apa, kalau tidak bermain dengan baik “sekarang”. Bahwa kamu sudah meluangkan waktu dan energi panjang untuk tampil.

Demam panggung itu “keadaan”, pasti berjalan beriringan dengan “tindakan”. Kalau tindakanmu berganti, sudah pasti keadaannya akan berbeda. Kalau tindakanmu gemetaran, maka keadaan yang mengikutinya adalah sorakan “huu..” dari para penonton. Jadi, nikmati demam-panggung. Ganti tindakan agar keadaan yang menakutkan, bisa hilang dengan sendirinya.

Demam-panggung itu hanya bisa diatasi dengan pengalaman di atas panggung.

Kamu baru bisa percaya diri kalau kamu tahu apa yang kamu lakukan.

Latihanmu belum terbuktikan kalau kamu jarang di atas panggung. Semua tempat bisa menjadi ruang penuh kesempatan untuk berlatih. Panggung itu diciptakan. Banyak orang akan mendengarkanmu baca-puisi, di sela-sela 2-3 menit. Banyak orang bilang “iya” kalau kamu meminta mereka meluangkan 2-3 menit untuk mendengarmu baca puisi #sebelum di atas panggung.

Pilihlah puisi dan mulailah berlatih baca-puisi. [dm]