Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) mengadakan program pendalaman lesson study bagi para dosen dalam Short Term Training on Lesson Study (STOLS) for Institutes of Teachers Training and Education Personel (ITTEP) tahun 2019. Kegiatan yang dilaksanakan dari Februari hingga Maret 2019 di Jepang ini, diikuti 12 peserta dosen dari seluruh Indonesia dan 3 perwakilan dari Kemendikbud. Peserta dari Universitas Mathla’ul Anwar Banten diwakili oleh Veny Agustini Prianggita, M.Pd. Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP ini, merupakan salah satu peserta yang berhasil lolos dari rangkaian seleksi bertingkat yang diikuti oleh 600 pelamar.
Tujuan utama program ini ialah membekali para dosen pendamping Leson Study di masing-masing wilayah tentang fondasi Lesson Study Learning Community (LSLC), yakni bagaimana sistem belajar dengan sistem kelompok kolaboratif membentuk komunitas belajar. Program ini dibiayai oleh JICA bekerjasama dengan pemerintah Indonesia, peserta mendapat materi dan perkembangan Leson Study di Jepang serta melakukan praktik observasi langsung dari SD, SMP, dan Perguruan Tinggi. Praktik dilakukan pada sekolah perkotaan yakni Tokyo. Selain itu para peserta juga diperkenalkan tentang kekayaan budaya masyarakat Jepang.
Instruktur dan pemateri program STOLS terdiri dari akademisi yakni professor dan dosen senior yang ahli dalam Leson Study, praktisi, dinas pendidikan masing-masing provinsi dan kota terkait di Jepang, kepala sekolah, serta guru-guru yang terjun langsung dan berpengalaman dalam LSLC. Prof. Manabu Sato yang terkenal dengan reformasi sekolah melalui LSLC juga turut menjadi pembicara dan mempraktikan langsung kepada peserta bagaimana ia mendampingi sekolah dalam LSLC.
Dalam observasi sekolah, para peserta diperlihatkan keadaan real sekolah yang ada di Jepang dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dari segi fasilitas, sekolah-sekolah di jepang telah terstandar hingga ke wilayah terpencil. Kekurangan guru juga terjadi di Jepang, banyaknya siswa yang terkategori miskin dan menengah ke bawah hampir ada di semua sekolah, sehingga anggaran pendidikan di Jepang terserap tinggi untuk biaya harian sekolah termasuk makan siang dan semua kebutuhan siswa. Hasil penjelasan guru menunjukan bahwa siswa menjadikan sekolah sebagai rumah kedua, karena semua kebutuhannya terpenuhi di sekolah.
Fenomena siswa yang malas dan bullying juga menjadi masalah di jepang, karenanya guru di Jepang semuanya memiliki kesabaran yang tinggi. Hal ini sangat nampak di semua sekolah, yakni bagaimana guru menangani siswa yang nakal, malas atau siswa yang mengalami gangguan. Hasil diskusi dengan pihak dinas pendidikan juga menunjukan bahwa siswa yang tidak masuk sekolah sangat banyak, tetapi dengan pelaksanan sistem LSLC selama beberapa tahun telah mengalami perubahan dibeberapa sekolah.
Prinsip dasarnya ialah tidak boleh ada siswa yang dikucilkan dalam belajar, juga tidak boleh ada siswa yang sendirian, semua siswa harus mendapatkan hal belajar (bukan hanya hak sekolah). Sehingga semua siswa terperhatikan, dengan sistem LSLC siswa diarahkan untuk berkolaborasi dengan siswa kelompoknya. Begitu juga dengan guru, dimana kepala sekolah memastikan bahwa tidak ada guru yang terkucilkan, menyendiri atau tertinggal dalam update perkembangan pendidikan.
Salah satu sekolah yang menerapkan LSLC ialah SD Nakane di Ushika. Sekolah ini sukses menaikan tingkat standar pengetahuan siswa secara nasional setelah beberapa tahun menerapkan LSLC. Beberapa sekolah lain yang menjadi tujuan kunjungan lapangan ialah SD Kamiya, SD Hamanogo, SMP Ushiku Daisan, SMP ASO, SMP Fujikawa serta melakukan kunjungan lapangan ke University of Gakushuin dan University of Tokyo dimana kedua Perguruan Tinggi tersebut sudah berhasil mengimplementasikan Lesson Study. Peserta juga mempelajari tentang budaya Jepang melalui program pengenalan budaya.
Leave a Reply