Papers by Ririn Herlinawaty
Pemberian ASI EKslusif merupakan hal penting bagi tumbuh kembang bayi sebagai penerus bangsa. Ter... more Pemberian ASI EKslusif merupakan hal penting bagi tumbuh kembang bayi sebagai penerus bangsa. Terlebih, pemberian ASI Ekslusif sangat berkaitan erat dengan poin-poin MDGs. Sayang, meski sudah ada himbauan dari pemerintah, nyatanya pengaplikasian program tersebut belum berjalan dengan maksimal. Penelitian ini mengangkat pola komunikasi tenaga kesehatan, baik dokter anak, dokter kandungan, dan bidan; kepada ibu menyusui yang bekerja terhadap keberhasilan program pemberian ASI Ekslusif di rumah sakit sayang ibu dan anak di Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi Schutz dengan teori komunikasi terapeutik dan teori interaksionalisme simbolik.

media seakan menjual gender yang ada pada sosok perempuan. Perempuan yang dianggap memiliki sosos... more media seakan menjual gender yang ada pada sosok perempuan. Perempuan yang dianggap memiliki sososk yang feminin, ternyata dijadikan sebuah komoditas dalam pemberitaan yang dilakukan. Akhirnya, sosok perempuan yang feminin dibuat komodifikasi untuk menguntungkan media massa tersebut. Kecantikan fisik dan kerapuhan diri perempuan dijual untuk menarik perhatian khalayak sehingga rating atau oplah pemasaran media tersebut meningkat.
Hal ini terlihat dari beragam pemberitaan yang dilakukan media massa. Dalam kasus kriminalitas misalnya, di mana perempuan menjadi korban, sisi feminitas perempuan sangat ditonjolkan – misalnya cantik, seksi, lembut, dan sebagainya. Hal tersebut kemudian membuat terbentuknya opini bahwa ia pantas atau wajar menjadi korban karena ia cantik, seksi, dan lembut.
Tidak jarang, pemberitaan seperti itu akhirnya malah menyudutkan sosok perempuan. Si perempuan yang menjadi korban kekerasan atau kriminalitas, tidak mendapat kedudukan dan perlindungan yang layak. Alih-alih mendapatkah hal tersebut, perempuan justru merasa terintimidasi.

Laiknya berita bencana lainnya, media di Indonesia tampaknya lebih senang mengedepankan kecepatan... more Laiknya berita bencana lainnya, media di Indonesia tampaknya lebih senang mengedepankan kecepatan dibandingkan kualitas berita itu sendiri. Akhirnya, berita yang dihasilkan terasa kaku dan dingin, meski data-data yang disajikan terbilang lengkap, mulai dari jumlah korban, kronologi kejadian, dan lain-lain.
Padahal, dalam meliput berita bencana, seorang wartawan memikul kewajiban yang cukup berat. Tidak hanya sekadar melaporkannya kepada masyarakat, namun juga mengajak masyarakat untuk lebih sadar terhadap suatu bencana, bagaimana menanggulanginya, bagaimana menghindarinya, dan lain-lain. Hasilnya, berita tersebut justru menambah ketakutan masyarakat pada bencana-bencana lain. Padahal, menurut Joe Hight dalam Covering Tragedy (2006) mengenai jurnalisme bencana, cara wartawan meliput suatu peristiwa akan mempengaruhi bagaimana individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam bereaksi menyusul tragedi tersebut. Sayang, tampaknya belum banyak media dan awak media yang menganggap serius vitalnya tugas wartawan tersebut pada masa-masa bencana.
Uploads
Papers by Ririn Herlinawaty
Hal ini terlihat dari beragam pemberitaan yang dilakukan media massa. Dalam kasus kriminalitas misalnya, di mana perempuan menjadi korban, sisi feminitas perempuan sangat ditonjolkan – misalnya cantik, seksi, lembut, dan sebagainya. Hal tersebut kemudian membuat terbentuknya opini bahwa ia pantas atau wajar menjadi korban karena ia cantik, seksi, dan lembut.
Tidak jarang, pemberitaan seperti itu akhirnya malah menyudutkan sosok perempuan. Si perempuan yang menjadi korban kekerasan atau kriminalitas, tidak mendapat kedudukan dan perlindungan yang layak. Alih-alih mendapatkah hal tersebut, perempuan justru merasa terintimidasi.
Padahal, dalam meliput berita bencana, seorang wartawan memikul kewajiban yang cukup berat. Tidak hanya sekadar melaporkannya kepada masyarakat, namun juga mengajak masyarakat untuk lebih sadar terhadap suatu bencana, bagaimana menanggulanginya, bagaimana menghindarinya, dan lain-lain. Hasilnya, berita tersebut justru menambah ketakutan masyarakat pada bencana-bencana lain. Padahal, menurut Joe Hight dalam Covering Tragedy (2006) mengenai jurnalisme bencana, cara wartawan meliput suatu peristiwa akan mempengaruhi bagaimana individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam bereaksi menyusul tragedi tersebut. Sayang, tampaknya belum banyak media dan awak media yang menganggap serius vitalnya tugas wartawan tersebut pada masa-masa bencana.
Hal ini terlihat dari beragam pemberitaan yang dilakukan media massa. Dalam kasus kriminalitas misalnya, di mana perempuan menjadi korban, sisi feminitas perempuan sangat ditonjolkan – misalnya cantik, seksi, lembut, dan sebagainya. Hal tersebut kemudian membuat terbentuknya opini bahwa ia pantas atau wajar menjadi korban karena ia cantik, seksi, dan lembut.
Tidak jarang, pemberitaan seperti itu akhirnya malah menyudutkan sosok perempuan. Si perempuan yang menjadi korban kekerasan atau kriminalitas, tidak mendapat kedudukan dan perlindungan yang layak. Alih-alih mendapatkah hal tersebut, perempuan justru merasa terintimidasi.
Padahal, dalam meliput berita bencana, seorang wartawan memikul kewajiban yang cukup berat. Tidak hanya sekadar melaporkannya kepada masyarakat, namun juga mengajak masyarakat untuk lebih sadar terhadap suatu bencana, bagaimana menanggulanginya, bagaimana menghindarinya, dan lain-lain. Hasilnya, berita tersebut justru menambah ketakutan masyarakat pada bencana-bencana lain. Padahal, menurut Joe Hight dalam Covering Tragedy (2006) mengenai jurnalisme bencana, cara wartawan meliput suatu peristiwa akan mempengaruhi bagaimana individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam bereaksi menyusul tragedi tersebut. Sayang, tampaknya belum banyak media dan awak media yang menganggap serius vitalnya tugas wartawan tersebut pada masa-masa bencana.