Infiltrasi militer dimulai pada awal 1962. Setelah negosiasi berkepanjangan dan tekanan kuat dari Amerika Serikat, pemerintah Belanda menyerahkan wilayah tersebut kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 15 Agustus 1962.
PBB kemudian menyerahkannya kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 dan membentuk UN Temporary Executive Authority (UNTEA) untuk mengawasi penyerahan dan membantu persiapan "Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)" yang akan diadakan dalam waktu lima tahun untuk menentukan keinginan penduduk wilayah ini.
Dengan tidak adanya penjelasan Pepera ini, Operasi Khusus Ali Moertopo kemudian memimpin dengan melakukan gerakan kampanye integrasi dan melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat pada Juli-Agustus 1969 dengan meminta pendapat 1.025 kepala suku terpilih yang dikumpulkan khusus untuk kegiatan tersebut. Mereka setuju tanpa melakukan pemilihan suara untuk mengesahkan integrasi ke dalam Republik.
Pada masa rezim Soeharto, ekonomi provinsi ini diubah melalui gerakan ekspansi eksploitasi kehutanan, pertambangan emas dan tembaga Freeport yang sangat besar, kedatangan para pemukim Jawa berdasarkan program transmigrasi, dan perpindahan orang-orang Bugis pemilik lahan kecil.
Gerakan aktivitas penyebaran agama Kristen dan Islam juga meluas. Para pejabat Indonesia mendorong penduduk suku untuk meninggalkan pakaian dan kebiasaan tradisional mereka.
Gerakan aktivitas penyebaran agama Kristen dan Islam juga meluas. Para pejabat Indonesia mendorong penduduk suku untuk meninggalkan pakaian dan kebiasaan tradisional mereka.
Ketidakpuasan terhadap kebijakan kebudayaan dan ekonomi pemerintah, serta adanya dominasi jabatan-jabatan pemerintahan oleh orang-orang non-Papua itulah yang kemudian memicu adanya gerakan pembentukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1965.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) melakukan perang gerilya sporadis melawan pasukan pemerintah. Operasi militer Indonesia sepanjang perbatasan dengan Papua Nugini (PNG) adalah sumber gesekan antara kedua negara, terutama karena pengungsi Papua dari Irian melintasi perbatasan memasuki PNG.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) melakukan perang gerilya sporadis melawan pasukan pemerintah. Operasi militer Indonesia sepanjang perbatasan dengan Papua Nugini (PNG) adalah sumber gesekan antara kedua negara, terutama karena pengungsi Papua dari Irian melintasi perbatasan memasuki PNG.
Dengan jatuhnya Soeharto, harapan untuk mendapatkan kemerdekaan berkobar kembali dan bendera "bintang kejora" dikibarkan diseluruh wilayah pada Juli 1998. Militer dengan cepat menanggapinya, dengan membunuh atau melukai ratusan orang Papua. Namun, Presiden B.J. Habibie lebih memilih untuk berdamai. Dia melakukan pertemuan dengan seratus orang Papua pada 26 Februari 1999 dan mendengarkan keluhan mereka.
Pada 1 Desember, ribuan orang menaikkan bendera Papua dan para tokoh masyarakat meminta DPRD provinsi untuk meneruskan tuntutan kemerdekaan mereka kepada pemerintah pusat.
Presiden pengganti Habibie yaitu Abdurrahman Wahid mengadakan pertemuan terbuka dengan para pemimpin Papua. Dia menyetujui pengibaran "bintang kejora" bersebelahan dengan merah-putih, tetapi harus lebih rendah daripada bendera Indonesia serta harus menggunakan nama Papua dan bukan Irian Jaya.
Dalam Kongres Nasional yang diadakan di Jayapura pada akhir Mei 2000, perwakilan dari seluruh Papua membuat rencana garis besar untuk mencapai kemerdekaan.
Sejak 1999, sejumlah kelompok milisi bermunculan di wilayah ini. Dua milisi terbesar adalah Satuan Tugas Papua (Satgas Papua) pendukung kemerdekan yang dipimpin oleh Theys Eluay hingga kematiannya, dan Satgas Merah Putih (SMP) pendukung dilanjutkannya pemerintahan Indonesia.
Kelompok ketiga adalah Tentara Pembebasan Nasional (TPN) yang dipercaya berafiliasi dengan kelompok oposisi bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ketegangan tumbuh antara pendukung kemerdekaan dengan penentangnya setelah Wahid memberikan tanggungjawab kepada Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjadi Wakil Presiden, untuk mengelola hubungan pemerintah dengan Indonesia bagian timur.
Kelompok ketiga adalah Tentara Pembebasan Nasional (TPN) yang dipercaya berafiliasi dengan kelompok oposisi bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ketegangan tumbuh antara pendukung kemerdekaan dengan penentangnya setelah Wahid memberikan tanggungjawab kepada Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjadi Wakil Presiden, untuk mengelola hubungan pemerintah dengan Indonesia bagian timur.
Ketika Megawati menggantikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden pada Juli 2001, dia bekerjasama dengan pimpinan Angkatan Darat untuk memulai kebijakan represi militer yang lebih ketat terhadap kemungkinan separatisme Papua.
Kejadian ini semakin memperkuat ketidakpercayaan Papua terhadap pemerintah Jakarta dan militer. Walaupun diprotes luas di Papua, pada Agustus 2003, pemerintah membagi provinsi ini menjadi tiga: Papua, Irian Jaya Barat, dan Irian Jaya Tengah.
Kejadian ini semakin memperkuat ketidakpercayaan Papua terhadap pemerintah Jakarta dan militer. Walaupun diprotes luas di Papua, pada Agustus 2003, pemerintah membagi provinsi ini menjadi tiga: Papua, Irian Jaya Barat, dan Irian Jaya Tengah.
Sumber :
Cribb, Robert dan Audrey Kahin. 2012. Kamus Sejarah Indonesia.
Cribb, Robert dan Audrey Kahin. 2012. Kamus Sejarah Indonesia.
No comments